Anda di halaman 1dari 32

REFERAT Juli, 2018

“ Sindrom Nefrotik “

DISUSUN OLEH :
I MADE MUSTIKA
N 111 17 104

PEMBIMBING KLINIK
dr. Eva Yunita W, Sp.PD

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN PENYAKIT DALAM
RSUD UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : I Made Mustika

No. Stambuk : N 111 17 104

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran

Judul Referat : Sindrom Nefrotik

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako

Palu, Juli 2018

Pembimbing Klinik Ko – Assisten

dr. Eva Yunita W, Sp.PD I Made Mustika


NIP. N 111 17 104

2
BAB I
PENDAHULUAN

Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik


glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ( 3,5
g/hari), hipoalbuminemia (<3,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada
proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala
tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada
SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam
urin juga berkurang. Sindrom nefrotik merupakan manifestasi kelainan glomerular
yang dapat disebabkan oleh kelainan primer atau sekunder dengan gambaran
histopatologi yang bervariasi.1,2
Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode,
SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi
steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik. Sindrom nefrotik
bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu petunjuk
awal adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada ginjal,
dimana urine dibentuk.1,3
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang umum terjadi pada
anak. Insidennya diperkirakan berkisar 2 sampai 7 kasus baru per 100 000 anak,
dan prevalensinya sekitar 16 kasus per 100.000 anak, atau 1 : 6000. Di Indonesia,
insiden diperkirakan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada anak yang lebih
muda, kemungkinan terjadinya SN pada laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Perbandingan ini menjadi sama ketika menginjak remaja dan dewasa.4
Dalam perjalanan penyakitnya, penderita SN mempunyai risiko untuk
terjadinya infeksi. Kejadian infeksi penderita SN karena adanya kelainan
fungsional dalam sistem kekebalan. Kurangnya protein yang mengopsonisasi
target, seperti immunoglobin atau protein komplemen dan kurangnya reseptor
untuk mengikat target yang teropsonisasi adalah kelainan fungsional dalam sistem
kekebalan.4

3
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN,
tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein
dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkonrtibusi terhadap komplikasi
yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan
keseimbangan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.5
Umumnya SN dengan fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi panyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat
sembuh sendiri. dan menunjukan respon yang baik terhadap terapi steroid, akan
tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
a. Anatomi Ginjal

Setiap manusia mempunyai dua ginjal dengan berat masing-masing


± 150 gram. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena
adanya lobus hepatis dekstra yang besar. Setiap ginjal terbungkus oleh
selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa. Korteks renalis terdapat di
bagian luar yang berwarna cokelat gelap dan medula renalis di bagian
dalam berwarna cokelat lebih terang.6
Bagian medula berbentuk kerucut disebut pelvis renalis, yang akan
terhubung dengan ureter sehingga urin yang terbentuk dapat lewat
menuju vesika urinaria. Terdapat kurang lebih satu juta nefron yang
merupakan unit fungsional ginjal dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari
glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus
kontortus distalis dan tubulus kolektivus.6
Glomerulus merupakan unit kapiler yang disusun dari tubulus
membentuk kapsula Bowman. Setiap glomerulus mempunyai pembuluh
darah arteriola afferen yang membawa darah masuk glomerulus dan
pembuluh darah arteriola efferen yang membawa darah keluar
glomerulus. Pembuluh darah arteriola efferen bercabang menjadi kapiler

5
peritubulus yang memperdarahi tubulus. Di sekeliling tubulus ginjal
tersebut terdapat pembuluh kapiler, yaitu arteriola yang membawa darah
dari dan menuju glomerulus, serta kapiler peritubulus yang
memperdarahi jaringan ginjal.6
b. Fisiologi Ginjal
Ginjal berfungsi sebagai organ ekskresi yang utama dari tubuh.
Fungsi utama ginjal mempertahankan volume dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus.7,8
Darah dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan
keluar dari dalam ginjal melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari
aorta abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali ke dalam
vena kava inferior.Aliran darah yang melalui ginjal jumlahnya 25% dari
curah jantung.8
Urin terbentuk di nefron. Proses pembentukan urin dimulai ketika
darah mengalir lewat glomerulus. Ketika darah berjalan melewati sruktur
ini, filtrasi terjadi. Air, elektrolit dan molekul kecil akan dibiarkan lewat,
sementara molekul besar (protein, sel darah merah dan putih, trombosit)
akan tetap tertahan dalam aliran darah. Cairan disaring lewat dinding
jonjot-jonjot kapiler glomerulus dan memasuki tubulus, cairan ini disebut
“filtrat”. Di dalam tubulus ini sebagian substansi secara selektif
diabsorpsi ulang ke dalam darah,sebagian lagi disekresikan dari darah ke
dalam filtrate yang mengalir disepanjang tubulus. Filtrat ini akan
dipekatkan dalam tubulus distal serta duktus pengumpul, dan kemudian
menjadi urin yang akan mencapai pelvis ginjal. Kemudian urin yang
terbentuk sebagai hasil dari proses ini diangkut dari ginjal melalui ureter
ke dalam kandung kemih (tempat sementara urin disimpan). Pada saat
urinasi, kandung kemih berkontraksi dan urin akan diekskresikan dari
tubuh lewat uretra.8
Fungsi utama ginjal adalah :
1) Fungsi Ekskresi

6
2) Mempertahankan osmolalitas plasma (285 m Osmol) dengan
mengubah-ubah ekskresi air
3) Mempertahankan kadar elektrolit plasma
4) Mempertahankan pH plasma (7,4) dengan mengeluarkan kelebihan H+
dan membentuk kembali HCO3
5) Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (urea,
asam urat dan kreatinin).8
Fungsi Non Ekskresi :
1) Menghasilkan renin untuk pengaturan tekanan darah
2) Menghasilkan eritropoietin untuk stimulasi produksi sel darah merah
oleh sumsum tulang
3) Metabolisme vitamin D
4) Menghasilkan prostaglandin.8

2.2 Definisi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang
menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema.
Sifat khusus penyakit ini adalah sering kambuh, sering gagalnya
pengobatan dan timbul penyulit, baik akibat penyakitnya sendiri maupun
oleh karena akibat pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada
sindrom nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi,
gangguan pertumbuhan, hiperlipidemia, anemia.9

2.3 Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai
pada anak, dengan angka kejadian 15 kali lebih banyak dibandingkan
orang dewasa. Sindrom nefrotik pada anak dapat terjadi pada semua usia,
tetapi lebih banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun. Pada anak-
anak yang onsetnya dibawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan
perempuan bervariasi dari 2:1 hingga 3:2. Pada anak yang lebih tua,

7
remaja dan dewasa, prevalensi antara laki-laki dan perempuan kira-kira
sama. Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,
dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per
100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.10,3

2.4 Etiologi
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh Glomerulonefritis (GN)
primer atau sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan
penghubung, obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik.
Glomerulonefritis primer / idiopatik merupakan penyebab SN yang paling
sering. Penyebab primer sindrom nefrotik adalah membranous
glomerulopathy, focal and segmental glomerulosclerosis (FSGS), minimal
change disease glomerulopathy, IgA nephropathy, membrano-proliferative
glomerulonephritis, glomerulopathy, fibrillar glomerulopathy, dan
congenital podocyte anomaly. Sepertiga kasus sindrom nefrotik primer
disebabkan oleh membranous nephropathy dan FSGS yang merupakan
penyebab paling sering munculnya sindrom nefrotik pada orang dewasa.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN
pascainfeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat
misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan
akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan
diabetes mellitus.1,2

2.5 Patofisiologi
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler
terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal
membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan

8
muatan listrik (charge barrier). Pada SN mekanisme barrier tersebut
akan terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga
menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal
glomerulus.5
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin.
Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
kecil misalnya albumin sedangkan non-selektif apabila yang keluar
terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas
proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal
glomerulus.5
Pada SN yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal
ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron
memperlihatkan fusi dari foot processus sel epitel viseral glomerulus
dan terlepasnya sel dari struktur membran basal glomerulus.
Berkurangnya preparat heparan sulfat proteoglikan pada
glomerulonefritis lesi minimal menyebabkan muatan negatif membran
basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urine.
Pada glomerulosklerosis fokal segmental peningkatan permeabilitas
membran basal glomerulus disebabkan suatu faktor yang ikut dalam
sirkulas. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus
terlepas dari membran basal glomerulus sehingga permeabilitasnya
meningkat. Pada glomerulonefritis membranosa kerusakan membran
basal glomerulus terjadi akibat endapa komplek imun di sub-epitel.
Kompleks C5b-9 yang terbentuk pada glomerulonefritis membranosa
akan meningkatkan permeabilitas membran glomerulus, walaupun
mekanisme yang pasti belum diketahui.5

b. Hipoalbuminemia
Hipolbuminemia Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh
asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui

9
urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif
dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak
berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein
dapat meningkatkan sintesis albumin hati akan tetapi dapat mendorong
peningkatan ekskresi albumin melalui urin.5
c. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia
merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia
menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma sehingga terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi air dan natrium. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume inravaskular tetapi juga
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.5
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek
renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi
glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada pasien
SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid,
derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan
dengan penyakit jantung dan hati akan menentukan mekanisme mana
yang lebih berperan.5

d. Hiperlipidemia
Penemuan karakteristik lainnya di sindrom nefrotik secara klinis
sebagai komplikasi medis. Hiperlipidemia yang terkait dengan sindrom
ini terutama disebabkan oleh homeostasis lipoprotein abnormal yang

10
menghasilkan peningkatan sintesis dan penurunan katabolisme. Pasien
biasanya memiliki peningkatan dari total kolesterol plasma,
trigliserida, very low density lipoprotein (VLDL), dan low density
lipoprotein (LDL). Dislipidemia meningkatkan risiko aterosklerosis
dan penyakit kardiovaskular pada pasien dengan sindrom nefrotik, dan
pasien dapat hadir dengankomplikasi penyakit ini.5

2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis SN ditandai dengan proteinuria masif
(>40mg/m2/jam), hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema, dan
hiperlipidemia. Gejala sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema
palpebra dan pretibia. Edema palpebra timbul pada saat bangun tidur,
semakin siang edema palpebra akan semakin berkurang namun akan
tampak edema pretibia. Apabila lebih berat akan disertai asites, edema
skrotum/labia, dan efusi pleura. Ketika sudah terdapat efusi pleura dapat
timbul gejala sesak napas. Asites dan sesak napas sering menyebabkan
anak menjadi rewel, tidak mau makan, tampak lemah, nyeri perut, dan
gejala lain. Protein yang terdapat dalam urin menyebabkan urin menjadi
berbuih. Gejala lain yang dapat timbul namun jarang terjadi misalnya
hipertensi, hematuria, diare, dan lain-lain. Pada sindrom nefrotik sekunder
akan disertai gejala penyakit dasarnya.10

2.6 Pendekatan Diagnosis


Diagnosis SN ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang
didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seringkali ditandai
dengan edema yang timbul pertamakali pada daerah sekitar mata dan
ekstremitas bagian bawah. Selanjutnya edema semakin meluas yang
ditandai dengan asites efusi pleura, dan edema pada daerah genital.
Seringkali dijumpai dengan gejala anokreksia, nyeri perut dan diare. Pada
kasus lain dapat disertai hipertensi maupun hematuria gross. Dari
pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan urin menunjukkan

11
proteinuria 3+ atau 4+ atau protein dalam urin >40 mg/m2/jam; pada 20%
kasus dapat dijumpai hematuria mikroskopik. Kadar albumin serum umum
berkurang dari 2,5 g/ dL dan terjadi peningkatan kolesterol dengan kadar
C3 maupun C4 normal.10

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
a. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
b. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
c. Pemeriksaan darah
1) darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
2) kadar albumin dan kolesterol plasma
3) kadar ureum, kreatinin,serta klirens kreatinin dengan cara klasik
atau dengan rumus Schwarzt
4) kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody ), dan anti ds-DNA.11

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom nefrotik meliputi terapi spesifik untuk
kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada sindrom nefrotik
sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki
hipoalbuminemia serta mencegah dan mengatasi komplikasi nefrotiknya.12
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari obat-obatan kortikosteroid
dan imunosupresif yang ditujukan terhadap lesi pada ginjal, diet tinggi
protein dan rendah garam, diuretik, infus albumin intravena, pembatasan
aktivitas selama fase akut serta manjauhkan pasien dari sumber-sumber
infeksi. Penatalaksanaan dalam jangka panjang sangat penting, karena
banyak penderita akan mengalami eksaserbasi dan remisi berulang selama
bertahun-tahun, tetapi dengan semakin lanjutnya hialinisasi glomerulus

12
maka proteinuria akan semakin berkurang sedangkan azotemia semakin
berat.12
a. Diet
Diet Penderita Sindrom Nefrotik sejak dahulu diberikan diet
protein tinggi dan rendah garam, dengan harapan dapat meningkatkan
sintesa albumin. Biasanya protein diberikan sebanyak 3-3,5
gr/kgBB/hari. Pemberian protein diatas jumlah ini tidak
direkomendasikan pada Sindrom Nefrotik karena pemberian protein
yang terlalu tinggi akan mempercepat terjadinya gagal ginjal pada
penyakit yang kronis. Diet rendah garam diberikan untuk menurunkan
derajat edema dan sebaiknya kurang dari 35% kalori berasal dari
lemak untuk mencegah obesitas selama terapi steroid, dan mengurangi
hiperkolesterolemia.12
b. Albumin
Albumin Untuk menghilangkan edema hebat dapat diberikan
albumin (salt poor human albumin, suatu larutan dengan kadar natrium
130-160 mEq/L). Namun demikian, mengingat risiko albumin ini
sangat besar, yaitu bisa menimbulkan hipertensi dan overload, maka
pemberian albumin harus lebih selektif, yaitu hanya diberikan apabila:
1) ada penurunan volume darah hebat (hipovolemi hebat) dengan
gejala postural hipotensi, sakit perut, muntah, dan diare. 2) Sesak dan
edema berat disertai edema pada skrotum/labia. Dosis albumin adalah
0,5-1 gr/kgBB i.v, diberikan dalan beberapa jam (2-4 jam), diikuti oleh
pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB i.v.12

c. Diuretik
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan
pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama
menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan
yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat- zat
terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi

13
cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sehingga
volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal. Secara umum
diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu :
1) diuretik osmotic
Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit
yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Manitol paling sering
digunakan karena manitol tidak mengalami metabolisme dalam
badan dan hanya sedikit sekali direabsorbsi tubuli bahkan praktis
dianggap tidak direabsorbsi. Manitol harus diberikan secara IV,
jadi obat ini tidak praktis untuk pengobatan edema kronik. Manitol
dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria, kongesti
atau udem paru yang berat, dehidrasi berat dan perdarahan
intrakranial kecuali bila akan dilakukan kraniotomi. Infus manitol
harus segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda gangguan fungsi
ginjal yang progresif, payah jantung dan kongesti paru.12
2) penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal,
yaitu penghambat karbonik anhidrase, benzotiadiazid, diuretik
hemat kalium dan diuretik kuat.12
d. Kortikosteroid
Terapi glukokortikoid segera diberikan saat diagnosis ditegakkan
bila tidak terdapat gambaran atipikal seperti hipertensi yang persisten,
hematuria yang terus menerus, adanya penurunan GFR dan level C3
yang rendah. Regimen ini digunakan oleh kebanyakan nefrologis lebih
dari 30 tahun yang lalu sejak diperkenalkan oleh ISKDC (International
Study of Kidney Disease of Children), atau modifikasinya.12
Yang digunakan sebagai imunosupresan pada Sindrom Nefrotik
adalah golongan glukokortikoid yaitu prednison, prednisolon, dan
metilprednison. Dalam hal ini, efek glukokortikoid sebenernya terjadi
berdasarkan mekanisme antiinflamasi yaitu mengurangi respons
peradangan dan juga digunakan untuk menekan imunitas. 12

14
1) Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik dengan kortikosteroid yaitu :
Sebelum pemberian kortikosteroid perlu dilakukan pemeriksaan
skrining untuk menentukan ada tidaknya TBC.
2) Obat golongn kortikosteroid yang sering dipakai adalah prednison
dan prednisolon.
3) Pengobatan dengan prednison, secara luas dipakai standar ISKDC,
yaitu:
a) Empat minggu pertama: prednison 60 mg/hari (2mg/kgBB)
dibagi dalam 3-4 dosis sehari. Dosis ini diteruskan selama 4
minggu tanpa memperhitungkan adanya remisi atau tidak
(maksimum 80mg/hari).
b) Empat minggu kedua: prednison diteruskan dengan dosis 40
mg/hari, diberikan dengan cara: intermitten, yaitu 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu dengan dosis tunggal setelah
makan pagi atau alternate, yaitu selang sehari dengan dosis
tunggal setelah makan pagi.
c) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan tiap
mingguy menjadi 30mg, 20mg, 10mg/hari, diberikan secara
intermitten atau alternate.
d) Bila terjadi relaps, pengobatan diulangi dengan cara yang
sama.12
e. Antibiotik
Terapi antibiotik digunakan jika pasien Sindrom Nefrotik
mengalami infeksi. Infeksi ini harus diobati dengan adekuat untuk
mengurangi morbiditas penyakit. Jenis antibiotik yang banyak dipakai
yaitu dari golongan penisilin dan sefalosporin. 12
1) Penisilin
Penisilin diekskresikan terutama melalui ginjal, dan sekitar 10%
dari ekskresinya oleh filtrasi glomerulus dan 90% oleh tubulus. Hal
ini membuat perlunya modifikasi dosis sesuai fungsi ginjal bagi
obat golongan penisilin kira-kira seperempat sampai sepertiga

15
dosis lazim jika klirens kreatinin 10 ml/menit atau kurang.
Penisilin merupakan amtimikroba yang tidak toksik dan
kebanyakan efek samping yang serius adalah karena
hipersensitivitas.12
2) Sefalosporin
Secara kimiawi, mekanisme kerja dan efek toksisitas golongan
sefalosporin sama dengan penisilin, tetapi sefalosporin lebih stabil
terhadap enzim beta laktamase sehingga sefalosporin berspektrum
lebih luas.12
Sebagian besar sefalosporin diekskresi melalui ginjal
sehingga perlu modifikasi dosis pada pasien Sindrom Nefrotik.
Sefalosporin potensial nefrotoksik walaupun lebih kecil
dibandingkan aminoglikosid dan polimiksin, tetapi jika
sefalosporin diberikan sesuai dosis yang dianjurkan akan
mengurangi efek toksik bahkan jarang menghasilkan nefrotoksik
yang signifikan jika digunakan dengan dosis tunggal.12

2.9 Komplikasi
Komplikasi sindrom nefrotik adalah gangguan keseimbangan
nitrogen menjadi negatif akibat proteinuria masif sehingga menurunkan
massa otot, hiperlipidemia dan lipiduria akibat peningkatan sintesis lipid
dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme, hiperkoagulasi akibat
peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan penurunan
fibrinolisis, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, infeksi, gangguan
fungsi ginjal dengan proteinuria masif yang menyebabkan inflamasi
tubulointersisial ginjal.2
Komplikasi sindrom nefrotik (SN) yang sering telambat terdeteksi
adalah gangguan ginjal akut (GnGA). Gangguan ginjal akut (GnGA)
merupakan salah satu komplikasi dari SN yang sering dipresipitasi oleh
hipovolemia dan ditandai dengan adanya penurunan Laju Filtrasi

16
Glomerulus (LFG). Penilaian LFG dapat dilakukan berdasarkan kadar
kreatinin dan cystatin C serum.13

2.10 Prognosis
Respon terhadap penggunaan steroid lebih sering digunakan untuk
menentukan prognosis. Sindrom nefrotik resisten steroid dikaitkan dengan
prognosis yang buruk karena penurunan laju filtrasi glomerulus yang lebih
besar dibandingkan dengan anak yang mendapat terapi imunosupresif.4

BAB III

LAPORAN KASUS

17
I. IDENTITAS
Nama : Tn. R
Umur : 41 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Dusun Rojo
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 25 april 2018
Ruangan : Paviliun Seroja Kelas IIIA

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bengkak pada seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh,
bengkak dirasakan semakin membesar pada bagian perut, pipi, scrotum,
dan kedua kaki yang dialami kurang lebih sejak 2 dua bulan yang lalu
sebelum pasien dirawat di rumah sakit undata. Tidak terdapat nyeri pada
daerah bengkak. Pasien juga mengeluhkan nyeri uluhati (+) sejak 2 hari
yang lalu, nyeri hilang timbul dirasakan seperti di tusuk-tusuk. Pasien juga
mengeluhkan kadang-kadang disertai sesak napas sejak 1 minggu yang
lalu. Nyeri kepala (+), demam (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), nafsu
makan baik, BAK(+) lancar dan BAB: biasa.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Pasien pernah dirawat di rumah sakit Undata, di Pav. Bogenvile 2 bulan
yang lalu dengan Hipoalbumin dan batu empedu. Hipertensi (+).
Riwayat Pengobatan :
 Captopril 25 mg 1x1
 Metilprednisolon 4 mg 3x1
 Furosemide 40 mg 1x1
Riwayat Penyakit dalam Keluarga :
Tidak ada yang mengalami hal yang seperti ini HT (-), DM (-)

18
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum :
SP : Sakit Sedang/Composementis
Vital Sign :
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Nadi : 86x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 36,7 C

Kepala :
Wajah : Edema pada wajah
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal

Mata :

Konjugtiva : Anemis (+/+)

Skelera : Ikterik (-/-)

Pupil : Isokor (+), diameter (2,5 cm/2,5 cm), RCL (+/+),


RCTL (+/+)

Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)

Leher :

Kelenjar GB : Tidak ada pembesaran

Tiroid : Tidak ada pembesaran

JVP : 5 (+3) cm H20

Massa lain : Tidak ada

19
Dada :

Paru-paru

Inspeksi : Simetris bilateral

Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor (+)

Auskultasi : Vesikular (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midcalvicularis


sinistra

Perkusi

Batas Atas : SIC III linea parasternalis sinistra

Batas Kanan : SIC V linea midclavicularis dextra

Batas Kiri : SIC VI linea midcalvicularis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung S1/S2, murmur (-)

Perut

Inspeksi : Tampak cembung

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : Shifting Dullnes (+)

Palpasi : Terdapat nyeri tekan (+) R. epigastric, hepatomegali


(-), splenomegali (-)

Anggota gerak :

Atas : Akral hangat (+), edema (+) pada tangan kiri

Bawah : Akral hangat (+), edema (+) pada kaki kanan dan kiri

20
IV. Usulan Pemeriksaan
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan urinalisis
3. Pemeriksaan fungsi hati
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
5. Pemeriksaan gula darah

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Darah Rutin : Nilai Rujukan
WBC : 10,2 x 103/mm3 ( ) ( 4,0 - 10,0 x 103/ mm3 )
RBC : 3,45 x 106/ mm3 ( ) ( 4,50 – 6,50 x 106/ mm3 )
HGB : 9,9 g/dL ( ) ( 13,0 - 17,0 g/dL )
PLT : 504 x 103/ mm3 ( ) ( 150 - 500 x 103/mm3 )
HCT : 29,8 % ( ) ( 40 – 54,0% )

Albumin : 0,8 g/dL ( ) ( 3,8 - 5,4 g/dL )


Kolestrol : 429,1 mg/dL ( ) ( 50,3 – 201,2 g/dL )

Pemeriksaan Urinalisis :
Protein : +3 (-) Negatif
Glukosa : +3 (-) Negatif
Keton :- (-) Negatif
Bilirubin :- (-) Negatif
Urobilinogen : +1 Normal

Eritrosit : +3 (-) Negatif


Leukosit :- (-) Negatif
Nitrit :- (-) Negatif

Sedimen

21
Leukosit :5 ( 0-2 )
Eritrosit : (+) Penuh ( 0-1 )
Epitel : (+) (+) Positif
Kristal : (-) (-) Negatif

Pemeriksaan fungsi hati :


HBSAg : Non Reaktif Non Reaktif
HCV : Non Reaktif Non Reaktif

GDS : 101 mg/dl ( N) ( 74 – 100 mg/dL)


Ureum : 59,9 mg/dL ( ) ( 18,0 – 55,0 mg/dL )
Creatinin : 3,57 mg/dL ( ) ( 0,70 – 1,30 mg/ dL )
GFR : 31,19 ml/menit/1,73m2
Radiologi :

22
Kesan :
1) Chirosis hepatis
2) Chronic renal disease bilateral

VI. RESUME
Pasien laki-laki 41 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan edema
anasarka sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan

23
nyeri pada bagian abdomen regio epigastric, seperti tertusuk-tusuk.
Dyspnea (+) kadang-kadang, cephalgia (+) , BAK Lancar, BAB biasa
Pada pemeriksaan fisik didepatkan edema pada wajah, abdomen dan
ekstremitas bawah, konjugtiva anemis (+/+), pada pemeriksaan abdomen
inspeksi didapatkan tampak cembung, perkusi didapatkan shifting
dullnes(+), pada palpasi didapatkan nyeri tekan regio Epigaastric.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan proteinuria +3,
hipoalbumenia 0,8 g/dL dan hiperkolesterolnemia 429,1 mg/dL.

VII. Diagnosis Kerja :


Sindrom Nefrotik

VIII. Diagnosis Banding :


 Chronic Kidney Disease stage III

IX. Penatalaksanaan :
Non Medikamentosa :
 Tirah baring/istirahat
 Diet yang dianjurkan oleh pasien SN adalah rendah garam dan rendah
kolesterol
 Asupan protein 0,8 g/kgBB/hari

Medikamentosa :

 Inj Furosemide/8jam/iv
 Inj. Ranitidine/12jam/iv
 Ketoacid 3xII
 Human albumin 25% 100cc/hari
 atorvastatin 20 mg ( 0-0-1 )
 candesartan 8 mg ( 0-0-1 )
 Metilprednisiolon 8 mg ( 4-0-0 )

X. Diagnosis Akhir
Sindrom Nefrotik

24
XI. Prognosis
Qua ad Vitam : Dubia ad bonam
Qua ad Fungtionam : Dubia ad malam
Qua ad Sanationam : Dubia ad malam

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik


glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3,5 g/24 jam disertai
hipoalbuminemia < 3,5 g/L, edema, hiperkolestronemia, lipiduria dan manifestasi
klinis edema peripheral.
Pada kasus ini, pasien Tn. R didiagnosis dengan “Sindrom Nefrotik”.
Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Pada hasil anamnesis pasien ini
mengeluhkan bengkak pada seluruh tubuh, bengkak pada bagian pipi, scrotum,
perut dan kedua kaki yang dialami kurang lebih sejak 2 dua bulan yang lalu
sebelum pasien dirawat di rumah sakit undata. Tidak terdapat nyeri pada daerah
bengkak. Pasien juga mengeluhkan nyeri uluhati (+) sejak 2 hari yang lalu, nyeri
hilang timbul dirasakan seperti di tusuk-tusuk. Pasien juga mengeluhkan kadang-
kadang disertai sesak napas sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri kepala (+), demam
(-), batuk (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan baik, BAK (+) lancar dan BAB:
biasa.
Dari pemeriksaan fisik, pasien sakit sedang, gizi lebih, komposmentis.
Tanda-tanda vital : tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 86 x/m, pernapasan 22
x/m, suhu 36,7°C. Thorax simetris bilateral, vocal fremitus kiri dan kanan sama,
perkusi sonor dikedua lapang paru, bunyi pernapasan vesikuler, rhonki (-/-),
wheezing (-/-). Jantung dalam batas normal. Abdomen tampak cembung,
peristaltik (+) kesan normal, perkusi timpani, shifting dullness (+), nyeri tekan (+)
regio epigastric.
Pada pemeriksaan penujang untuk darah rutin didapatkan WBC 10,2 x
103/mm3, RBC 3,45 x 106/mm3, HGB 9,9 g/dL, PLT : 504x 103/mm3 dan HCT
29,68%. Pada pemeriksaan didapatkan albumin 0,8 g/dL dan kolestrol 414,8 mg/
g/dL ). Kemudian pada pemeriksaan urinalisis didapatkan protein +3, glukosa +3,
bilirubin -, urobilinogen +1, eritrosit +3, leukosit - , nitrit -. Pada pemeriksaan
fungsi hati HBSAg Non Reaktif, HCV Non Reaktif, dan pemeriksaan lainnya

26
Ureum 59,5 mg/dL, Creatinin 3,57 mg/dL. Pemeriksaan radiologi didapatkan
kesan Chirosis hepatis dan Chronic renal disease bilateral
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka pasien didiagnosis sebagai Sindrom Nefrotik dimana terdapat gejala khas
pada pasien yaitu edema anasarka, hipoalbuminemia dan hiperkolesteronemia.
Kondisi bengkak seluruh badan atau edema anasarka disebabkan oleh
terjadinya proses patologis pada jaringan tubuh dimana cairan intravaskular
terekstravasasi ke jaringan interstitial, sehingga memperlihatkan kondisi edema.
Hal ini didasari oleh kurangnya kadar protein serum, utamanya albumin, yang
mana albumin serum pada pasien ini 0,8 g/dl, sedangkan nilai rujukan albumin
serum normal adalah 3.2-4.5 g/dl yang mengakibatkan turunnya tekanan onkotik
vaskuler, sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke jaringan tubuh.5
Menurut teori, edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor
kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema akan semakin berlanjut.14
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga terjadi
retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme
tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN.14
Dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa pasien juga
mengalami hiperkolesterolemia (Kolesterol total 429,1 mg/dl), proteinuria
(protein pada pemeriksaan urinalisis +3), hipoalbuminemia (0.8 g/dl). Hal ini
sesuai dengan kriteria diagnosis untuk sindrom nefrotik yaitu edema anasarka,

27
proteinuria masif >3,5 g/hari, hipoalbuminemia <3,5 g/hari, hiperkolesterolemia,
dan lipiduria.14
Proteinuria disebabkan karena peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Pada pasien ditemukan kadar protein urin
mencapai (+3). Dalam keadaan normal membrane basal glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme pertama yaitu berdasarkan muatan listrik dan kedua berdasarkan
ukuran molekul. Dalam hal ini kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu,
yang diduga disebabkan oleh suatu proses autoimun.14
Pasien juga mengalami hipoalbuminemia yang disebabkan oleh proteinuria
masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma.14
Pada pasien ini juga terjadi hiperkolesterolemia. Menurut teori terjadi
karena peningkatan produksi lipoprotein oleh hati akibat hipoalbuminemia. Sel-
sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan
dengan sintesis albumin, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL yang dalam
keadaan normal akan diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN
aktifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar
asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini
disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat
keluarnya protein kedalam urin.5
Penanganan pada pasien SN dapat diberikan terapi medikamentosa dan
terapi non medikamentosa. Terapi non medikamentosa adalah diet rendah garam
untuk mengurangi terjadinya retensi cairan oleh natrium yang juga berperan
dalam terjadinya edema. Diet cukup protein 0,8 gr/kgBB/hari karena pemberian
protein yang tinggi walaupun dapat meningkatkan sintesis albumin hati namun
dapat juga mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Diet rendah
cairan untuk membantu mengurangi edema, diet rendah kolesterol <600 mg/hari.
Sedangkan terapi medikamentosa adalah dengan pemberian furosemid sebagai
diuretik, human albumin untuk hipoalbuminemia, simvastatin untuk menurunkan
kadar lipid, methylprednisolone sebagai imunosupressan, ranitidin untuk
mencegah efek samping dari kortikosteroid, candesartan sebagai anti proteinuria.15

28
BAB V
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan


permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema. Sifat khusus penyakit ini adalah
sering kambuh, sering gagalnya pengobatan dan timbul penyulit, baik akibat
penyakitnya sendiri maupun oleh karena akibat pengobatannya. Penyulit yang
sering terjadi pada sindrom nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut,
malnutrisi, gangguan pertumbuhan, hiperlipidemia, anemia
Pengobatan SN biasanya mencakup pengobatan dan perubahan diet. Dua
jenis obat penurun tekanan darah, penghambat enzim pengubah angiotensin

29
(ACE) dan penghambat reseptor angiotensin (ARB), terbukti efektif dalam
memperlambat perkembangan penyakit ginjal sehingga mengurangi tekanan di
dalam glomeruli dan dengan demikian mengurangi proteinuria. Obat diuretik juga
membantu ginjal mengeluarkan cairan dan bermanfaat membantu mengurangi
tekanan darah dan edema. Obat statin dapat diberikan untuk menurunkan
kolesterol. Terapi imunosupresif jauh lebih banyak untuk mengobati penyebab
SN. Pengobatan penyakit perubahan minimal terutama menggunakan
kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsita, Elli. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik.


Jurnal Kedokteran Meditek, volume 23 No. 64 okt-des 2017. Avaible at
http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Ked/article/view/1579. 2017
2. Prabu, Gryagus Oryza & Hamzah Shatri. Penggunaan ACE-inhibitor untuk
Mengurangi Proteinuria pada Sindrom Nefrotik. eJKI. Vol. 3, No. 2, Agustus
2015. Avaible at http://journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/article/view/5047 .
2015
3. Elizabeth, rosdiana. Sindrom Nefrotik Kasus Baru pada Anak Usia 2 Tahun.
Jurnal Agromed Unila ,Volume 2 No. 3 agustus 2015. Avaible at
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/1378. 2015

30
4. Mujab, Saiful & Wistiani. Perbandingan fungsi fagositosis neutrofil pada
SNRS dengan SNSS. Sari Pediatri, Vol. 17, No. 3, Oktober 2015. Avaible at
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/105. 2015
5. Prodjosudjadi, W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Interna
Pubhlishing ; Jakarta. 2009
6. Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CDK-237/ vol. 43 no. 2, th. 2016.
Avaible at http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/25.
2016
7. Sherwood Luralee. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. EGC.
Jakarta
8. Keddis, M, Karnath, B. The Nephrotic Syndrome. Review of Clinical Signs.
Hospital Physician October 2007. Avaible at https://pdfs.semanticscholar.org/
e1bf/1079ed4408ccc66891bc4a3344589083baf9.pdf. 2007
9. Prabowo, Arif Y. Nefrotic Syndrome In Children. Medula, Volume 2, Nomor
4, Juni 2014. Avaible at http://download.portalgaruda.org/article.php?article.
2014
10. Nilawati, GAP. Profil sindrom nefrotik pada ruang perawatan anak. Sari
Pediatri, Vol. 14, No. 4, Desember 2012. Avaible at https://saripediatri.org 2012
11. IDAI. Konsesus tatalaksana Sindrom Nefrotik Pada anak. Edisi II. Avaible
http://www.idai.or.id/professional-resources/guideline-consensus/tata-laksana-
sindrom-nefrotik-idiopatik-pada-anak. 2012
12. Kharisma, Yukthiana. Tinjauan umum penyakit sindrom nefrotik. Universitas
Islam Bandung. Available at http://repository.unisba.ac.id/bitstream handle/1
23456789/8313/kharisma_mak_tinjauan_penyakit_sindroma_nefrotik_2017_s
v.pdf. 2017
13. Hartati, Ackni., dkk. Perbedaan LFG berdasarkan kadar kreatinin dan
cystatin C serum pada SN. Sari Pediatri, Vol. 16, No. 5, Februari 2015.
Avaible at https://saripediatri.org. 2015
14. Marbun MB and Lydia A. Sindrom Nefrotik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Ed VI. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit
Dalam;2014. Pp 2080-86

31
15. Tanto C, Liwang F, et al,. Kapita Selekta Kedokteran Essentials of Medicine.
Ed 4. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2014. Pp 649-651

32

Anda mungkin juga menyukai