Anda di halaman 1dari 24

REFRAT

Enselopati Uremikum

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Pembimbing :

dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD

Disusun Oleh :
Linna Asni Zalukhu
1610211027

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN


ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL VETERAN JAKARTA
PERIODE 7 AGUSTUS 14 OKTOBER 2017

1
LEMBAR PENGESAHAN KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT DALAM

Refrat dengan judul :

Enselopati Uremikum

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Ambarawa

Disusun Oleh:

Linna Asni Zalukhu

1610221027

Telah Dipresentasikan pada Tanggal Oktober 2017

Telah Disetujui oleh Pembimbing:

Ambarawa, Oktober 2017

Pembimbing

dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan penyusunan Refrat yang berjudul
Enselopati Uremikum Laporan kasus ini kami susun untuk melengkapi tugas
kepaniteraan Departemen Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa. Kami mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar besarnya
kepada dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD yang telah membimbing dan membantu
kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun laporan kasus ini.

Penulis menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak


kekurangan dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna menambah ilmu dan
pengetahuan penulis dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, khususnya yang
berhubungan dengan laporan kasus ini

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Pasien dengan gagal ginjal sering mengalami gejala klinis yang berkaitan
dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi dan gangguan
gastrointestinal. Salah satu dari komplikasi tersebut adalah uremic
encephalopathy. Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan
nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt.
Prevalensi internasional tidak diketahui, namun dengan bertambahnya jumlah
pasien dengan ESRD, diasumsikan jumlah kasus UE juga bertambah.

Patofisiologi dari UE masih belum diketahui pasti namun diduga akibat


peningkatan hormon paratiroid dan akumulasi komponen guanidino yang
mengakibatkan ketidakseimbangan neurotransmitter di dalam otak. Apatis, fatig,
iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi, gangguan persepsi
sensoris, halusinasi, kejang dan stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari hari ke
hari, bahkan dalam hitungan jam. Diagnosis banding UE antara lain ensefalopati
hipertensif, ensefalopati hepatikum, sindrom respons inflamasi sistemik pada
pasien sepsis, vaskulitis sistemik, neurotoksisitas akibat obat (opioid,
benzodiazepin, neuroleptik, antidepresan), cerebral vascular disease, hematom
subdural.

Pemeriksaan pada UE yaitu laboratorium, EEG, Lumbal Pungsi dan


pencitraan otak digunakan terutama untuk menyingkirkan diagnosis.
Penatalaksanaan berupa dialisis dan non dialisis. Dengan pengenalan terhadap
dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat keparahan dari UE dapat
dikurangi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Uremic encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati


metabolik. Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang
global yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku
dan kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak.

Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang


ditandai dengan:

1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat

2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi

3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak

4. Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bacterial yang jelas

Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan
mengalami perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul
sederhana yaitu asam amino. Selain asam amino, hasil perombakan protein juga
menghasilkan senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N), yaitu amonia
(NH3). Asam amino tersebut merupakan produk dari perombakan protein yang
dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sedangkan amonia merupakan senyawa toksik
yang bersifat basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di hati menjadi
senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Selain itu, urea juga
disintesis di hati melalui siklus urea yang berasal dari oksidasi asam amino. Pada
siklus urea, kelompok asam amino (amonia dan L-aspartat) akan diubah menjadi
urea. Produksi urea di hati diatur oleh N-acetylglutamate. Urea kemudian
mempunyai sifat yang mudah berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui ginjal
sebagai komponen urin, serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.

5
Sedangkan uremia adalah suatu sindrom klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan hormon serta abnormalitas metabolik
yang berkembang secara paralel dengan menurunnya fungsi ginjal. Uremia sendiri
berarti ureum di dalam darah.

Uremia lebih sering terjadi pada chronic kidney disease (CKD), tetapi dapat
juga terjadi pada acute renal failure (ARF) jika penurunan fungsi ginjal terjadi
secara cepat. Hingga sekarang, belum ditemukan satu toksin uremik yang
ditetapkan sebagai penyebab segala manifestasi klinik pada uremia. 1

Gambar 1. Gejala klinis pada Uremia

6
II.1 Definisi

Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut


maupun subakut yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun
kronik. Biasanya dengan nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap
di bawah 15 mL/mnt. Sebutan uremic encephalopathy sendiri memiliki arti
gejala neurologis non spesifik pada uremia. 2,3

II.2 Epidemiologi4

Prevalensi internasional tidak diketahui. Di Amerika Serikat, prevalensi


UE sulit ditentukan. UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan end-stage
renal disease (ESRD),dan secara langsung tergantung pada jumlah pasien
tersebut. Pada 1990an, lebih dari 165,000 orang diobati untuk ESRD. Pada
tahun 1970an, jumlahnya 40,000. Dengan bertambahnya jumlah pasien
dengan ESRD, diasumsikan jumlah kasus UE juga bertambah.

Gambar 2. Insidens ESRD

7
Mortalitas

Gagal ginjal fatal jika tidak ditangani

UE menunjukkan fungsi ginjal yang memburuk. Jika tidak ditangani, UE


dapat menyebabkan koma dan kematian.
Pasien memerlukan penanganan agresif untuk mencegah komplikasi dan
menjaga homeostasis yang tergantung pada intensive care dan dialisis. Di
AS, lebih dari 200.000 pasien menjalani hemodialisa.

Ras

Gagal ginjal lebih sering pada ras Afrika Amerika dibandingkan ras lainnya.

Jenis Kelamin

Insidens pada pria dan wanita sama banyak.

Usia

Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih
progresif pada usia lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.

II.3 Patofisiologi

Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus


sawar darah otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa
dijadikan satu-satunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena
jumlah ureum dan kreatinin tidak berhubungan dengan tingkat penurunan
kesadaran ataupun adanya asterixis dan myoclonus.5
Perubahan yang ditemukan pada mayat pasien dengan chronic kidney
disease biasanya ringan, tidak spesifik dan lebih berhubungan dengan

8
penyakit yang menyertainya. Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir
dua kali lipat dari nilai normal. Peningkatan jumlah kalsium ini mungkin
diperantarai oleh aktivitas hormon Paratiroid. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian pada anjing yang mengalami gagal ginjal akut maupun kronik,
EEG dan abnormalitas kalsium dapat dicegah dengan dilakukannya
paratiroidektomi. Pada manusia dengan gagal ginjal, EEG dan gangguan
psikologik juga dapat membaik dengan paratiroidektomi.6
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga
menyebabkan rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang
memungkinkan pada perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter,
menyebabkan aktivitas metabolik berkurang. Pompa Na/K ATPase
mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting dalam menjaga gradien
kalsium 10 000:1 (di luardi dalam sel). Dengan adanya uremia, terdapat
peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi menyatakan bahwa
aktivitas pompa Na/K ATPase ouabain-sensitif menurun pada keadaan
uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan
neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu
menjelaskan gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi
neurotransmitter yang ditemukan pada tikus yang mengalami uremi. 6
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan
jumlah glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi
perubahan metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan
gejala awal berupa clouded sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat
gangguan fungsi sinaps yaitu adanya studi bahwa dengan memburuknya
uremia, terjadi akumulasi komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic
acid, yang meningkat pada otak dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek
inhibisi pada pelepasan -aminobutyric acid (GABA) dan glisin pada
binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA). Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan neurotransmitter
dengan cara menghambat channel klorida pada membran neuronal. Hal ini

9
dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan,
methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8

Gambar 3. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat

Kontribusi aluminium pada UE kronik masih belum jelas diketahui.


Sumber alumunium diperkirakan dari diet dan obat-obatan terikat fosfat.
Transpor aluminium menuju otak hampir pasti melalui reseptor transferin
pada permukaan luminal pada sel endotel kapiler otak. Jika sudah melewati
otak, aluminium dapat mempengaruhi ekspresi A4 protein prekursor yang
melalui proses kaskade menyebabkan deposisi ekstraselular dari A4 protein.
Secara ringkas, patofisiologi dari UE adalah kompleks dan mungkin
multifaktorial.6

II.4. Gejala klinis

Apatis, fatig, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi


konfusi, gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat
berfluktuasi dari hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa

10
pasien, terutama pada pasien anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat
hingga koma. Pada pasien lain, halusinasi visual ringan dan gangguan
konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa minggu.

Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai


gangguan motorik, yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien
mulai kedutan, jerk dan dapat kejang. Twitch dapat meliputi satu bagian otot,
seluruh otot, atau ekstremitas,aritmik, asinkron pada kedua sisi tubuh pada
saat bangun ataupun tidur. Pada beberapa waktu bisa terdapat fasikulasi,
tremor aritmik, mioklonus, khorea, asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi
phenomena motorik yang tidak terklasifikasi, yang disebut uremic twitch-
convulsive syndrome.

Gambar 4. Asterixis

Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan


koma. Jika asidosis metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi

11
pernapasan Kussmaul yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan
Cheyne-Stokes.9

Tabel 1. Gejala dan Tanda Ensefalopati Uremikum10

Ringan Sedang Berat


Anoreksia Muntah Gatal
Mual Lamban Gangguan
orientasi
Insomnia Mudah lelah Kebingungan
restlessness Mengantuk Tingkah laku aneh
Kurang atensi Perubahan pola tidur Bicara pelo
Tidak mampu Emosional Hipotermia
menyalurkan ide
Penurunan libido Paranoia Mioklonus
Penurunan kognitif Asterixis
Penurunan abstraksi Kejang
Penurunan Stupor
kemampuan seksual
Koma

II. 5 Diagnosis

Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan


kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan
laboratorium pada UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum,
kreatinin, fungsi hati dan amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang
tinggi. Darah lengkap diperiksa untuk melihat adanya anemia karena dapat
berperan dalam beratnya perubahan status mental. Sementara jika ditemukan
leukositosis menunjukkan adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa
diperiksa untuk menyingkirkan penyebab ensefalopati lainnya.

Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan


infeksi. Pada ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala

12
menunjukan pleositosis ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya
konsentrasi protein (biasanya <100mg/dl).

EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan


dengan gejala klinis. Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan
penyebab lain dari konfusi seperti infeksi dan abnormalitas struktural.
Gambaran EEG yang sering ditemukan adalah perlambatan secara general.
Ritme tetha pada frontal yang intermiten dan paroksisimal, bilateral, high
voltage gelombang delta juga sering ditemukan. Kadangkala kompleks spike-
wave bilateral atau gelombang trifasik pada regio frontal dapat terlihat. 3,11,12

Gambar 5. Hasil elektroensefalografi pada pasien uremic encephalopathy,


didapatkan perlambatan general dengan gelombang delta dan theta dan spikes
bilateral12

Pencitraan otak seperti CT scan atau MRI dilakukan untuk


menyingkirkan adanya hematom subdural, stroke iskemik. Namun biasanya
menunjukkan atrofi serebri dan pelebaran ventrikel pada pasien dengan
chronic kidney disease.11

13
Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan jumlah sel darah lengkap untuk mendeteksi leukositosis,


yang mungkin menunjukkan penyebab infeksi dan menentukan apakah
terdapat anemia. (Anemia dapat berkontribusi pada keparahan perubahan
mental.)
2. Pemeriksaan kalsium serum, fosfat, dan kadar PTH untuk menentukan
adanya hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan hiperparatiroidisme yang
parah, yang menyebabkan ensefalopati metabolik.
3. Kadar magnesium serum mungkin meningkat pada pasien dengan
insufisiensi ginjal, terutama jika pasien mengkonsumsi magnesium yang
mengandung antasida. Hipermagnesemia mungkin bermanifestasi sebagai
ensefalopati.
4. Elektrolit, BUN, kreatinin, dan glukosa
a. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin terlihat pada ensefalopati
uremik.
b. Pemeriksaan elektrolit serum dan pengukuran glukosa untuk
menyingkirkan hiponatremia, hipernatremia, hiperglikemia, dan
sindrom hiperosmolar sebagai penyebab ensefalopati.7
5. Kadar obat dalam darah
a. Menentukan kadar obat karena obat dapat terakumulasi pada
pasien dengan gagal ginjal dan berkontribusi untuk ensefalopati
(misalnya, digoxin, lithium).
b. Beberapa obat tidak dapat dideteksi dan diekskresikan oleh ginjal.
Ini juga dapat terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal,
sehingga terjadinya ensefalopati (misalnya, penisilin, cimetidine,
meperidin, baclofen).
Pemeriksaan Radiologi

1. Pasien dengan gejala ringan, awalnya pasien diobati dengan dialisis dan
diamati untuk perbaikan neurologis.
2. Pasien dengan gejala parah

14
a. Pemeriksaan MRI atau CT scan kepala untuk pasien uremik
dengan gejala neurologis yang parah untuk menyingkirkan
kelainan struktural (misalnya, trauma serebrovaskular, massa
intrakranial).
b. CT scan tidak menunjukkan adanya temuan karakteristik
ensefalopati uremik.7

Pemeriksaan Lain

1. Elektroensefalogram
a. Pemeriksaan EEG biasanya dilakukan pada pasien dengan
ensefalopati metabolik. Temuan biasanya meliputi:
i. Perlambatan dan hilangnya gelombang frekuensi alpha
ii. Disorganisasi
iii. Semburan intermiten gelombang theta dan delta dengan
aktivitas latar belakang lambat.
b. Pengurangan frekuensi gelombang EEG berkorelasi dengan
penurunan fungsi ginjal dan perubahan dalam fungsi otak. Setelah
periode awal dialisis, stabilisasi klinis mungkin terjadi saat temuan
EEG tidak membaik. Akhirnya, hasil EEG bergerak ke arah
normal.
c. Selain dari EEG rutin, evoked potentials (EP) (yaitu, sinyal EEG
yang terjadi pada waktu reproduksi setelah otak menerima stimulus
sensorik [misalnya, visual, auditori, somatosensorik]) dapat
membantu dalam mengevaluasi ensefalopati uremik.
d. Gagal ginjal kronis memperpanjang waktu dari respon visual-
evoked kortikal. Respon auditory-evoked umumnya tidak berubah
dalam uremia, tapi keterlambatan dalam potensi kortikal dari
respon somatosensory-evoked memang terjadi.
2. Tes fungsi kognitif: Beberapa tes fungsi kognitif yang digunakan untuk
mengevaluasi ensefalopati uremik.

15
a. Uremia dapat mengakibatkan hasil buruk pada tes membuat-
keputusan, yang mengukur kecepatan psikomotor, tes memori terus
menerus, yang mengukur rekognisi jangka pendek, dan tes waktu
reaksi pilihan, yang mengukur membuat keputusan sederhana.
b. Perubahan dalam waktu reaksi pilihan tampaknya berkorelasi baik
dengan gagal ginjal.7
3. Punksi lumbal
a. Pungsi lumbal tidak rutin dilakukan, namun dapat diindikasikan
untuk menemukan penyebab lain dari ensefalopati jika status
mental pasien tidak membaik setelah dialisis dimulai.
b. Tidak ada temuan CSF spesifik menunjukkan ensefalopati uremik.

II.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding UE antara lain ensefalopati hipertensif, ensefalopati


hepatikum, sindrom respons inflamasi sistemik pada pasien sepsis, vaskulitis
sistemik, neurotoksisitas akibat obat (opioid, benzodiazepin, neuroleptik,
antidepresan), cerebral vascular disease, hematom subdural. Kejang dapat
terjadi pada UE, ensefalopati hipertensif, emboli serebral, gangguan elektrolit
dan asam-basa, tetanus.9,11

II.7 Penatalaksanaan

Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang


terjadi sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif,
prognosis buruk tanpa dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana
dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis, walaupun biasanya dibutuhkan
waktu 1 sampai 2 hari dibutuhkan untuk mengembalikan status mental.
Kelainan kognitif dapatmenetap meskipun setelah dialisis. Kerugian dari
dialisis adalah sifat non-spesifik sehingga dialisis juga dapat menghilangkan
komponen esensial. Transplantasi ginjal juga dapat dipertimbangkan.12

16
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan
fungsi renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau
dengan pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk
menurunkan toksin uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian
prebiotik.atau probiotik seperti bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal
juga penting untuk eliminasi toksin uremik.12
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine
untuk kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau
absens; ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk
status epileptikus konvulsif.13 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk
kejang myoklonik pada end stage renal disease. 14

Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas


GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA A, sehingga
memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor spesifiknya.
Terikatnya BZD menyebabkan peningkatan frekuensi terbukanya channel
klorida, menghasilkan hiperpolarisasi membran yang menghambat eksitasi
selular.15

17
Gambar 6. Mekanisme kerja Benzodiazepine15

Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialisis


dengan target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan
meningkatnya fungsi kognitif dan menurunkan perlambatan pada EEG.11

II.8 Dialisis

Hemodialisis adalah prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-


zat sisa atau racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui
membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke
cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh.
Hal ini sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti
memindahkan.

TUJUAN HEMODIALISIS
Alat hemodialisis merupakan alat yang berada di luar tubuh yang dipergunakan
sebagai pengganti fungsi ginjal dan pemakaiannya biasanya dilakukan pada
pasien yang menderita gagal ginjal tahap akhir. Karena hemodialisis merupakan
terapi untuk mengganti fungsi ginjal yang rusak, maka hemodialsis memilki
tujuan yang sama dengan fungsi ginjal, seperti membersihkan produk-produk
dalam tubuh yang bersifat racun, mengeluarkan kelebihan garam, dan
mengeluarkan kelebihan air. Hemodialisis juga dapat membantu dalam
mengontrol tekanan darah dan menjaga keseimbangan ion-ion yang penting dalam
tubuh, seperti kalium, natrium, kalsium, dan bikarbonat. Terapi dengan
menggunakan hemodialisis ini tidak bertujuan untuk mengembalikan fungsi
ginjal, melainkan hanya mengganti sebagian fungsi ginjal agar dapat
meminimalisasi kerusakan organ yang lain.

INDIKASI HEMODIALISIS
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu :

18
1. Indikasi absolut
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

2. Indikasi elektif
Indikasi elektif, yaitu Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Indikasi pada gagal ginjal stadium terminal


Indikasi dilakukannya hemodialisis pada penderita gagal ginjal stadium terminal
antara lain karena telah terjadi:
Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensepalopati uremik)
Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit misalnya: asidosis metabolik,
hiperkalemia dan hipercalsemia
Edema paru sehingga menimbulkan sesak nafas berat
Gejala-gejala keracunan ureum (uremic symptoms)

Indikasi pada gagal ginjal kronik


Pada umumnya indikasi dialisis pada Gagal Ginjal Kronik adalah bila laju filtrasi
glomerulus (GFR) kurang dari 5mL/menit (normalnya GFR mencapai 125
mL/menit) dan dianggap baru perlu di mulai bila dijumpai salah satu dari hal
tersebut di bawah:
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinisnya nyata
2. Serum Kalium > 6 meq/L
3. Ureum darah > 200 mg/dl
4. pH darah < 7,1
5. Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
6. Fluid overloaded (papdi jilid 1 edisi V)

19
Indikasi dialisis pada gagal ginjal akut
Terapi dialisis pada gagal ginjal akut memudahkan dalam pemberian cairan dan
nutrisi. Indikasi terapi dialisis ditetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan, bila
diberikan pada saat yang tepat dan cara yang benar akan memperbaiki morbiditas
dan mortalitas. Pada gagal ginjal akut berat yang pada umumnya dirawat di unit
perawatan intensif terapi dialisis diberikan lebih agresif. Menunda terapi dialisis
pada gagal ginjal akut berat hanya akan memperburuk gangguan fisiologis dengan
konsekuensi peningkatan mortalitas. Adapun indikasi dialisis pada gagal ginjal
akut, antara lain;

Severe fluid overload


Refractory hypertension
Hiperkalemia yang tidak terkontrol
Mual, muntah, nafsu makan kurang, gastritis dengan pendarahan
Letargi, malaise, somnolence, stupor, coma, delirium, asterixis, tremor,
seizures, perikarditis (risiko pendarahan atau tamponade)
Perdarahan diathesis (epistaksis, pendarahan gastrointestinal dan lain-lain)
Asidosis metabolik berat
Blood urea nitrogen (BUN) > 70 100 mg/dl

KONTRA INDIKASI HEMODIALIS


Dalam kaitan dengan kontraindikasi absolut hemodialysis, ada sangat sedikit
kontra indikasi untuk hal tersebut, dan mungkin yang yang paling sering adalah
tidak adanya akses vaskuler dan toleransi pada hemodialysis prosedur yang buruk,
selain juga terdapat ketidakstabilan hemodinamik yang parah.
Kontraindikasi Relatif Terapi Dialisis
1. Malignansi stadium lanjut (kecuali multiple myeloma)
2. Penyakit Alzheimers
3. Multi-infarct dementia
4. Sindrom Hepatorenal
5. Sirkosis hati tingkat lanjut dengan enselopati

20
6. Hipotensi
7. Penyakit terminal
8. Organic brain syndrome

II.9 Prognosis

Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah. Dengan


pengenalan terhadap dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat
keparahan dari UE dapat dikurangi.

II.10 Disequilibrium syndrome

Dialysis disequilibrium syndrome terjadi pada pasien yang menjalani


hemodialisis. Gejalanya antara lain sakit kepala,mual, muntah, penglihatan
kabur, disorientasi, delirium, hipertensi, tremor dan kejang.Kondisi ini
biasanya sembuh dengan sendirinya dalam beberapa jam. Hal ini terjadi
karena adanya reverse urea effect. Urea dibersihkan lebih lama dari otak
daripada darah, sehingga menyebabkan perbedaan osmotik dan menyebabkan
serebral edema transien.12

II.11 Dialysis encephalopathy

Beberapa pasien yang menjalani dialisis dalam waktu lama dapat


mengalami dialysis encephalopathy atau dialysis dementia. Keadaan ini
subakut, progresif dan seringkali fatal. Gejalanya antara lain disartria,
apraksia, perubahan kepribadian, psikosis, mioklonus, kejang dan demesia.
Pada sebagian besar kasus, keadaan ini dapat menyebabkan kematian dalam
6 bulan.12

21
BAB III

KESIMPULAN

Meskipun pengenalan terhadap berbagai prosedur dialisis sudah ada sejak


beberapa dekade terakhir, komplikasi neurologis uremia tetap rumit dan
berbahaya. Komponen guanidino memiliki relevansi yang tinggi dalam uremic
encephalopathy. Molekul tersebut dianggap memiliki efek neuroeksitatorik dan
menyebabkan kejang. Walaupun onset dari uremic encephalopathy seringkali
samar, diagnosis dini sangat penting dalam penatalaksanaan. Penatalaksanaan
pilihan pada uremic encephalopathy adalah dialisis karena terbukti memperbaiki
prognosis.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Alper AB. Uremia . Diunduh dari URL:


http://emedicine.medscape.com/article/245296-overview . Akses tanggal
19 April 2013.
2. Lohr JW. Uremic encephalopathy. Diunduh dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/239191-overview . Akses tanggal:
19 April 2013.
3. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. Edisi 1. Springer. 2009
4. Bucurescu G. Neurological Manifestations of Uremic Encephalopathy.
Diunduh dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/1135651-
overview . Akses tanggal: 19 April 2013.
5. Wijdicks EFM. Neurologic complications of critical illness. Edisi 2. Oxfor
Univ Press. 2002. Hlm 175
6. Burn, D.J., Bates, D. Neurology and the kidney. J. Neurol. Neurosurg.
Psychiatry Vol.65, No.6 810-821
7. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke K, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of
organic anion transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-
brain barrier. J Neurochem. Feb 2006;96(4):1051-9.
8. De Deyn PP, Vanholder R, Eloot S, et al. Guanidino compounds as uremic
(neuro)toxins. Semin Dial. Jul-Aug 2009;22(4):340-5.
9. Ropper AH, Samuels MA. Principles of neurology. Edisi 9. McGrawHill.
2009.
10. Weiner HL,Levitt LP. Buku saku neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2006.
Hlm 214.
11. Seifter JL, Samuels MA. Uremic encephalopathy and other brain
disorders associated with renal failure. Seminars in neurology/volume 31,
number 2 2011. Pg 139-141.

23
12. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012).
Uremic Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second
Look, Dr. Radu Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech
13. Krishnan V, Murray P. Pharmacological issues in the critically ill. Clin
Chest Med 2003;24:671-88
14. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced
myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005;46:156-8.
15. Neal MJ. At a glance: Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2006. Hlm 54;57

24

Anda mungkin juga menyukai