Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2023


UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT PALU

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh:
Musfirah Indar Pratiwi, S.Ked
(18 21 777 14 497)

Pembimbing :
dr. Arfan Sanusi, Sp.PD, FINASIM

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Musfirah Indar Pratiwi, S.ked

No. Stambuk : 18 21 777 14 497

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Alkhairaat

Judul Refarat : Sindrom Nefrotik

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, Februari 2023

Pembimbing Dokter Muda

dr. Arfan Sanusi, Sp.PD, FINASIM Musfirah Indar Pratiwi, S.Ked

2
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan keadaan dimana terjadi hilangnya protein


yang berlebih ke dalam urin akibat gangguan filtrasi pada glomerulus yang
menyebabkan gejala kompleks berupa proteinuria (> 3,5 g / 24 jam),
hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Sindrom nefrotik dapat
diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu sindrom nefrotik primer dan
sindrom nefrotik sekunder. Sindrom nefrotik primer terdiri dari idiopatik dan
genetik. Sindrom nefrotik idiopatik menggambarkan penyakit atau kondisi yang
tidak diketahui penyebabnya, yang termasuk kedalam kelompok ini terdiri tiga
macam jaringan yaitu minimal change nephrotic syndrome (MCNS), focal
segmental glomerulosclerosis (FSGS), dan membranouse nephropathy (MN).
Sindrom nefrotik genetik merupakan sindrom nefrotik kongenital yang diperoleh
bawaan dari lahir. Sedangkan sindrom nefrotik sekunder merupakan sindrom
nefrotik yang dapat disebabkan oleh penyakit, seperti diabetes nefropati,
amyloidosis, sistemic lupus erythematosus (SLE), dan infeksi.26,17
Menurut penelitian di Amerika Serikat insiden tahunan sindrom nefrotik pada
orang dewasa adalah tiga per 100.000 orang. Sedangkan di Pakistan diperkirakan
tingkat prevalensi keseluruhan sindrom nefrotik sebesar 2 sampai 5 kasus per
100.000 anak dengan prevalensi kumulatif sebesar 15,5 kasus per 100.000 pada
usia anak-anak. Di Indonesia sendiri berdasarkan catatan pada ruang perawatan
anak RSUP Sanglah Denpasar selama periode 6 tahun (2001-2007), terdapat 68
anak menderita sindrom nefrotik. Usia penderita berkisar antara 6 bulan sampai
11 tahun (rata-rata 5,1) dengan lakilaki berjumlah 50 (73,5%) sedangkan
perempuan berjumlah 18 (26,5%) dengan rasio 2,7: 1. Sementara di dunia tercatat
bahwa negara Jepang diketahui sebanyak 477 mengalami kematian akibat sindrom
nefrotik, kemudian disusul negara Mesir sebanyak 243 anak-anak mengalami
kematian, dan negara selanjutnya United State dengan 153 yang mengalami
kematian akibat sindrom nefrotik.28

3
Pada pasien sindrom nefrotik terjadi kondisi proteinuria (hilangnya protein
berlebih) akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein yang
disebabkan oleh kerusakan dinding kapiler glomeruli sehingga terjadi gangguan
filtrasi pada glomerulus. Kondisi proteinuria akan mengarah ke hipoalbuminemia.
Edema juga merupakan gejala yang sering terjadi akibat kondisi hipoalbuminemia
yang menyebabkan tekanan onkotik plasma menurun sehingga terjadi manifestasi
edema.29 Hiperlipidemia merupakan gejala umum dari sindrom nefrotik akibat
peningkatan sintesis lipoprotein di hati, gangguan transport lipid dan menurunnya
katabolisme lipid.30

4
1. BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal


Ginjal adalah dua buah organ berbentuk menyerupai kacang merah yang
berada di kedua sisi tubuh bagian belakang atas, tepatnya dibawah tulang rusuk
manusia. Ginjal sering disebut bawah pinggang. Bentuknya seperti kacang dan
letaknya di sebelah belakang rongga perut, kanan kiri dari tulang punggung.
Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan.
Setiap ginjal panjangnya 12-13 cm dan tebalnya 1,5-2,5 cm. Pada orang dewasa
beratnya kira-kira 140 gram. Pembuluh-pembuluh ginjal semuanya masuk dan
keluar pada hilus (sisi dalam). Di atas setiap ginjal menjulang sebuah kelenjar
suprarenalis.25
Struktur ginjal dilengkapi selaput membungkusnya dan membentuk
pembungkus yang halus. Di dalamnya terdapat struktur-struktur ginjal. Terdiri 7
atas bagian korteks dari sebelah luar dan bagian medula di sebelah dalam. Bagian
medula ini tersusun atas 15 sampai 16 massa berbentuk piramida yang disebut
piramis ginjał. Puncak-puncaknya langsung mengarah ke hilus dan berakhir di
kalises. Kalises ini menghubungkannya dengan pelvis ginjal.25
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan mengkilat yang disebut
kapsula fibrosa (true capsule) ginjal melekat pada parenkim ginjal. Di luar kapsul
fibrosa terdapat jaringan lemak yang bagian luarnya dibatasi oleh fasia gerota.
Diantara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsul gerota terdapat rongga perirenal. Di
sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal atau
disebut juga kelenjar suprarenal yang berwarna kuning. Di sebelah posterior,
ginjal dilindungi oleh berbagai otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI
dan XII, sedangkan disebelah anterior dilindungi oleh organ intraperitoneal.
Ginjal kanan dikelilingi oleh hati, kolon, dan duodenum, sedangkan ginjal kiri
dikelilingi oleh limpa, lambung, pankreas, jejenum, dan kolon.25

5
2.2 Fisiologi Ginjal
Mekanisme utama nefron adalah untuk membersihkan atau menjernihkan
plasma darah dari zat-zat yang tidak dikehendaki tubuh melalui
penyaringan/difiltrasi di glomerulus dan zat-zat yang dikehendaki tubuh
direabsropsi di tubulus. Sedangkan mekanisme kedua nefron adalah dengan
sekresi (prostaglandin oleh sel dinding duktus koligentes dan prostasiklin oleh
arteriol dan glomerulus). Beberapa fungsi ginjal adalah sebagai berikut:
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh Kelebihan air dalam tubuh
akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin yang encer dalam jumlah
besar. Kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urin yang
diekskresikan jumlahnya berkurang dan konsentrasinya lebih pekat
sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan relatif
normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotik dan keseimbangan ion Fungsi ini terjadi
dalam plasma bila terdapat pemasukan dan pengeluaran yang abnormal
dari ion-ion. Akibat pemasukan garam yang berlebihan atau penyakit
perdarahan, diare, dan muntah-muntah, ginjal akan meningkatkan ekskresi
ion-ion yang penting misalnya Na, K, Cl, Ca, dan fosfat.
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh Tergantung pada apa
yang dimakan, campuran makan (mixed diet) akan menghasilkan urin
yang bersifat agak asam, pH kurang dari enam. Hal ini disebabkan oleh
hasil akhir metabolisme protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran,
urin akan bersifat basa, pH urin bervariasi antara 4,8 sampai 8,2. Ginjal
mengekskresikan urin sesuai dengan perubahan pH darah
d. Ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme (ureum, kreatinin, dan asam urat)
Nitrogen nonprotein meliputi urea, kreatinin, dan asam urat. Nitrogen dan
urea dalam darah merupakan hasil metabolisme protein. Jumlah ureum
yang difiltrasi tergantung pada asupan protein. Kreatinin merupakan hasil
akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang
hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama.
Peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang meningkat disebut azotemia

6
(zat nitrogen dalam darah). Sekitar 75% asam urat diekskresikan oleh
ginjal, sehingga jika terjadi peningkatan konsentrasi asam urat serum akan
membentuk kristalkristal penyumbat pada ginjal yang dapat menyebabkan
gagal ginjal akut atau kronik.
e. Fungsi hormonal dan metabolisme Ginjal mengekskresikan hormon renin
yang mempunyai peranan penting dalam mengatur tekanan darah (system
rennin-angiotensis-aldesteron), yaitu untuk memproses pembentukan sel
darah merah (eritropoesis). Disamping itu ginjal juga membentuk hormon
dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi
ion kalsium di usus.
f. Pengeluaran zat beracun Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan
makanan, obat-obatan, atau zat kimia asing lain dari tubuh.25

2.3 Sindrom Nefrotik


2.3.1 Definisi
Nefrotik Sindrom (NS) adalah salah satu penyakit glomerulus yang paling
sering terjadi pada anak-anak. Nefrotik Sindrom (NS) adalah keadaan klinis yang
ditandai proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema anasarka, dan
hiperlipidemia.13
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai dengan
edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/ hari,
hiperkolesterolemia dan lipiduria. Sindrom nefrotik adalah self-limited dan
Sebagian diantaranya respon dengan terapi spesifik, sementara sebagiannya lagi
merupakan kondisi kronis.9,10

2.3.2 Epidemiologi

Sindrom nefrotik merupakan penyakit kronis yang penting pada anak-anak.


Perkiraan kejadian tahunan sindrom nefrotik pada anak sehat adalah dua sampai
tujuh kasus baru per 10 0.000 anak kurang dari 18 tahun. Ini lebih sering terjadi
pada anak laki-laki daripada perempuan pada usia yang lebih muda, tetapi begitu
remaja tercapai, tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin.

7
Peningkatan kejadian dan penyakit yang lebih parah terlihat pada populasi Afrika-
Amerika dan Hispanik.12

Kami akan melihat statistik dari berbagai wilayah di dunia.

Statistik Amerika Serikat

Nefropati diabetik yang terkait dengan sindrom nefrotik adalah yang paling
sumum, dengan perkiraan angka sekitar 50 kasus per juta populasi. Pada populasi
pediatrik, sindrom nefrotik dapat terjadi pada tingkat 20 kasus per juta.8

Statistik Internasional

Di India dan Turki, hasil biopsi pada anak-anak dengan sindrom nefrotik telah
mengungkapkan jenis histologi yang serupa dibandingkan dengan apa yang
diharapkan di negara-negara Barat. Pada pasien dewasa Pakistan dengan sindrom
nefrotik, pola histologis biopsi ginjal mirip dengan yang terlihat di negara-negara
barat.8

Di beberapa bagian Timur Tengah dan Afrika, penyakit glomerulus juga dikaitkan
dengan infeksi schistosomal urogenital.8 Namun, sindrom nefrotik tropis akibat
penyakit parasit seperti malaria atau schistosomiasis mungkin tidak ada.

Doe dkk. melaporkan penyebab sindrom nefrotik pada populasi pediatrik Afrika
di mana biopsi ginjal paling sering mengungkapkan temuan histologis yang khas,
seperti penyakit perubahan minimal dan glomerulosklerosis fokal dan segmental.
Sindrom nefrotik akibat malaria quartan bukanlah fenomena yang sangat mapan.
Di Kongo, Pakasa dan Sumaili meminta perhatian pada jatuhnya sindrom nefrotik
terkait parasit.8

8
Demografi Terkait Ras dan Jenis Kelamin

Karena diabetes melitus merupakan salah satu penyebab utama sindrom nefrotik,
orang Indian Amerika, Afrika Amerika, dan Hispanik mengalami peningkatan
insidensi sindrom nefrotik dibandingkan orang kulit putih. Nefropati terkait HIV
adalah akibat infeksi HIV yang jarang terjadi pada orang kulit putih; namun, ini
sering terlihat pada orang Afrika-Amerika karena prevalensi alel ApoL1 mereka
yang lebih besar.8 Glomerulosklerosis fokal tampaknya terlalu direpresentasikan
sebagai salah satu penyebab sindrom nefrotik pada orang Afrika-Amerika
dibandingkan dengan anak kulit putih. Ada dominasi laki-laki dalam sindrom
nefrotik, seperti yang terlihat pada penyakit ginjal kronis pada umumnya. Pola ini
juga diamati pada nefropati membran paraneoplastik. Namun, nefritis lupus
kebanyakan menyerang wanita.

2.3.3 Klasifikasi

Sindrom Nefrotik

Kongenital sekunder
Idiopatik/Primer

Ada beberapa klasifikasi Sindrom Nefrotik saat ini. Berdasarkan etiologinya,


SN dibagi tiga yaitu kongenital, idiopatik/primer, dan sekunder. Hampir 90%
kasus SN pada anak adalah idiopatik. Berdasarkan gambaran histopatologi, ada
beberapa bentuk Sindrom Nefrotik. Bentuk tersering adalah lesi minimal (85%),
glomerulosklerosis fokal segmental (10%), mesangial proliferatif difus (3%), dan
glomerulonefritis membranoproliferatif (2%). Keempat bentuk ini merupakan
bagian dari SN idiopatik. Berdasarkan respon terhadap terapi kortikosteroid dibagi

9
menjadi Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten
Steroid (SNRS). Klasifikasi SN berdasarkan respon terhadap terapi kortikosteroid
yang sering ditemukan di klinik saat ini. Sindrom Nefrotik dengan gambaran
histopatologi lesi minimal umumnya (80%) berespon baik terhadap pemberian
steroid sedangkan gambaran glomerulosklerosis fokal segmental, mesangial
proliferatif difus, dan glomerulonefritis membranoproliferatif umumnya resisten
terhadap pemberian steroid.14

2.3.4 Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi primer (idiopatik) gangguan
glomerulus dan patologi sekunder yang menyebabkan disfungsi glomerulus.
Penyebab utama sindrom nefrotik adalah penyakit perubahan minimal (MCD),
nefropati membranosa (MN), glomerulosklerosis fokal dan segmental (FSGS) dan
mesangiocapillary (membranoproliferatif) glomerulonefritis (MCGN). MCD lebih
sering terjadi pada anak-anak, FSGS pada dewasa muda dan MN pada pasien
yang lebih tua.3

Penyebab sekunder sindrom nefrotik adalah sebagai berikut:

• Diabetes mellitus

• Kekebalan: lupus eritematosus, vaskulitis antibodi, penyakit Berger, nefritis


pasca infeksi akut glomeruli, neutrofil sitoplasma antineutrofil (ANCA), sindrom
Goodpasture, glomerulonefritis ekstramembran atau membranoproliferatif,
mikroangiopati trombotik, alloantibodi dari terapi penggantian enzim, atau
toksisitas antiinflamasi nonsteroid obat-obatan (NSAID) atau garam emas

• Infeksi: human immunodeficiency virus (HIV), virus hepatitis B, hepatitis C,


sitomegalovirus, parvovirus B1, preeklampsia, toksoplasmosis, amiloidosis, dan
paraproteinemia

Penyebab paling umum pada anak-anak adalah glomerulonefritis perubahan


minimal. Pada orang dewasa kulit putih, sindrom nefrotik paling sering
disebabkan oleh nefropati membranosa, sedangkan pada populasi keturunan

10
Afrika, penyebab paling umum dari sindrom nefrotik adalah glomerulosklerosis
segmental fokal.

Satu lagi skenario di mana proteinuria kisaran nefrotik dapat terjadi adalah
pada trimester ketiga kehamilan, sebuah temuan preeklampsia klasik. Namun, itu
mungkin mulai de novo atau ditumpangkan pada penyakit ginjal kronis dari
sebelumnya. Akan ada proteinuria yang sudah ada sebelumnya pada yang
terakhir, yang memburuk selama kehamilan.

Obat juga dapat menyebabkan sindrom nefrotik, termasuk yang berikut:

 Jarang terjadinya penyakit minimal¬-perubahan dengan obat antiinflamasi


nonsteroid (NSAID)

 Terjadinya glomerulonefritis membranosa dengan penggunaan emas,


bucillamine, dan penicillamine, yang digunakan untuk penyakit rematik

 Glomerulosklerosis fokal dapat terjadi karena bifosfonat

 Terapi litium dan interferon ditemukan berhubungan dengan


glomerulosklerosis fokal.5,6,7

2.3.5 Patofisiologi
Proteiunria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilangan
protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria glomerular. Proteinuria
pada penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul
melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan
pada podosit glomerular. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua
berdasarkan muatan listriknya. Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut
terganggu.proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Protein selktif apabila protein
yang keluar terdiri dari molekul kecil mialnya albumin, sedangkan yang non-

11
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
imunoglobulin. Proteinuria sendiri akan menyebabkan peradangan dan fibrosis
tubulointerstitial, berkontribusi terhadap memburuknya fungsi ginjal; proteinuria
juga merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular.3,9
Hipoalbuminemia
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130- 200
mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme.
Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di
katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah
difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi
dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme
albumin. Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting
pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan
merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju
sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu
dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin.10,11
Proteinuria dapat berkontribusi pada hipoalbuminemia berikutnya, tetapi hati
harus mampu menghasilkan albumin yang cukup untuk mengkompensasi
kerugian tersebut. Ada sejumlah teori untuk menjelaskan hilangnya albumin
secara terus menerus. Misalnya, sitokin yang bersirkulasi dapat mengubah
produksi albumin oleh hati.2,3
Edema
Ada dua hipotesis luas untuk pengembangan edema pada sindrom nefrotik. Itu
'underfill' hipotesis adalah bahwa tekanan onkotik rendah sekunder
hipoalbuminemia menyebabkan retensi natrium dan air di ruang ekstraseluler.
Sebaliknya hipotesis 'overfill' menunjukkan bahwa proteinuria menyebabkan
peningkatan natrium, dan dengan demikian, resorpsi air di tubulus.2,3
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini
berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik
intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar

12
sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka
kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding
kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema. 10
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal
primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan
terbentuknya edema.
Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan
antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis
protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme
lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem
enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Beberapa peningkatan serum
lipoprotein yang di filtrasi di glomerulus akan mencetuskan terjadinya lipiduria
sehingga adanya temuan khas oval fat bodies dan fatty cast pada sedimen urin.
Penurunan tekanan onkotik plasma dapat menyebabkan peningkatan metabolisme
lipid di hati, menyebabkan hiperlipidemia. Ada juga peningkatan produksi faktor
prokoagulan, peningkatan kehilangan antikoagulan urin faktor (antitrombin III)
dan perubahan fungsional pada trombosit, mengarah ke keadaan protombotik pada
pasien dengan sindrom nefrotik, terutama pada nefropati membranosa. Hilangnya
imunoglobulin dan komplemen melalui glomerulus yang bocor dapat
meningkatkan risiko infeksi. Patologi yang mendasari dan proteinuria itu sendiri
juga bisa menyebabkan cedera ginjal akut (AKI) dan dalam beberapa kasus,
stadium akhir gagal ginjal jika tidak diobati.3,4

13
2.3.6 Diagnosa banding

Diagnosis banding untuk sindrom nefrotik adalah sebagai berikut:

• Hati: insufisiensi, sirosis hepatoseluler, sindrom Budd-Chiar9

2. • Pencernaan: enteropati eksudatif, limfangiektasis, malnutrisi

3. • Jantung: edema angioneurotik hered iter

4. • Kekebalan: anafilaksis

5. • Ginjal: glomerulonefritis kronis, nefropati diabetik, glomerulosklerosis


segmental fokal, nefropati terkait HIV, nefropati IgA, glomerulonefritis
membranosa, penyakit perubahan minimal.

2.3.7 Terapi
Penilaian terperinci diperlukan sebelum memulai kortikosteroid. Tinggi, berat
badan, dan tekanan darah pasien harus dipantau. Catatan berat badan yang teratur
membantu memantau penurunan atau peningkatan edema. Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk mendeteksi infeksi dan kelainan sistemik yang
mendasarinya.15,16,17

Pengobatan khusus sindrom nefrotik tergantung pada penyebabnya. Oleh karena


itu, manajemen bervariasi antara populasi dewasa dan anak. Penyakit Ginjal
Meningkatkan Hasil Global (KDIGO) mengeluarkan pedoman pada tahun 2012
yang mencakup rekomendasi untuk mengobati sindrom nefrotik.

Pengobatan Khusus pada Anak

Kortikosteroid terutama digunakan untuk anak-anak dengan sindrom nefrotik


idiopatik. Agen imunosupresif alternatif seringkali diperlukan untuk anak-anak
dengan sindrom nefrotik yang sering kambuh atau tergantung steroid. Contoh obat
ini termasuk siklofosfamid, mikofenolat mofetil (MMF), penghambat kalsineurin,

14
dan levamisole. Dalam kasus sindrom nefrotik resisten steroid, pilihan lini
pertama adalah penghambat kalsineurin, dan jika tidak ada respons, maka agen
seperti MMF atau kortikosteroid nadi berkepanjangan dan/atau intravena dapat
digunakan.18,19,20

Rituximab, sebuah antibodi sel anti-B, telah terbukti sebagai agen hemat steroid
yang efektif pada populasi pediatrik. Namun, rituximab mungkin gagal mencapai
remisi bebas obat pada anak-anak yang tergantung pada penghambat kalsineurin
dan steroid. Rituximab mungkin juga memiliki peran pada anak-anak dengan
penyakit resisten steroid.20

Pada anak-anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid rumit yang merespons
rituximab, Okutsu et al. mengamati bahwa pengobatan rituximab tambahan pada
pemulihan sel B dapat mempertahankan remisi berkepanjangan.21

Pengobatan Khusus pada Orang Dewasa

Pengobatan bervariasi berdasarkan etiologi, sebagai berikut:

• Nefropati perubahan minimal pada orang dewasa biasanya merespons prednison.

• Pada nefritis lupus, kombinasi prednison dengan siklofosfamid atau mikofenolat


mofetil menginduksi remisi.

• Amiloidosis sekunder dengan sindrom nefrotik akan membaik dengan


penatalaksanaan antiinflamasi pada penyakit primer.22

Sindrom Nefrotik Akut pada Anak

Rawat inap biasanya tidak diperlukan dengan perawatan tindak lanjut rawat jalan
yang dekat dan pendidikan orang tua dan pasien yang baik. Rawat inap menjadi
membantu jika salah satu dari berikut hadir:

• Edema menyeluruh yang cukup parah hingga menyebabkan distres pernapasan

• Edema skrotum atau labial yang tegang

• Komplikasi seperti bakteri peritonitis, pneumonia, sepsis, atau tromboemboli8

15
• Gagal untuk berkembang

• Ketidakpastian tentang kepatuhan pasien atau keluarga dengan pengobatan

Diuretik biasanya diperlukan. Furosemide (1 mg/kg/hari) dan spironolakton (2


mg/kg/hari) membantu bila retensi cairan cukup parah, asalkan tidak ada tanda-
tanda gagal ginjal atau penyusutan volume. Mencapai diuresis yang memuaskan
sulit dilakukan bila kadar albumin serum kurang dari 1,5 g/dL, sehingga
terkadang albumin harus diberikan.

Untuk mencegah infeksi, penisilin dapat dimulai pada anak-anak dengan edema
terbuka. Parasentesis perut direkomendasikan pada pasien yang menunjukkan
tanda-tanda peritonitis, dan infeksi bakteri harus ditangani lebih cepat. 8 Pasien
non-imun dengan varicella harus menerima terapi imunoglobulin jika terjadi
paparan cacar air, dan asiklovir harus dimulai jika pasien terkena cacar air.

Sindrom Nefrotik Akut pada Orang Dewasa

Prinsip pengobatan pada orang dewasa dengan sindrom nefrotik akut tidak
berbeda dengan anak-anak. Diuretik, seperti furosemide, spironolactone, dan
bahkan metolazone, mungkin diperlukan. Penggunaan diuretik dapat
menyebabkan penurunan volume, yang harus dinilai dengan memantau gejala,
berat badan, denyut nadi, dan tekanan darah.

Antikoagulan telah disarankan untuk mencegah komplikasi tromboemboli, namun


perannya dalam pencegahan primer tidak terbukti. Agen hipolipidemik dapat
digunakan.23

Pada pasien dengan sindrom nefrotik sekunder, seperti nefropati diabetik


sekunder, beberapa obat digunakan secara luas untuk mengurangi proteinuria,
seperti angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan/atau angiotensin 2
receptor blocker.24 Dengan mengurangi proteinuria, obat ini akan menyebabkan
penurunan tekanan intraglomerular yang menyebabkan penurunan tekanan darah
sistemik.

16
6. Diet dan Aktivitas

7. Diet pada pasien sindrom nefrotik ditujukan untuk memenuhi asupan kalori
dan protein (1 g/kg/hari) yang cukup. Protein diet tambahan tidak memiliki
nilai yang terbukti. Diet rendah garam membantu membatasi retensi cairan
dan edema.8

2.3.8 Komplikasi
a) Infeksi
Infeksi sering terjadi pada anak-anak dengan sindrom nefrotik. Infeksi
disebabkan oleh hilangnya imunoglobulin dan faktor komplemen,
gangguan fungsi limfositik, pengobatan dengan agen imunosupresif,
asites, dan edema. Infeksi termasuk pneumonia, bakteremia, peritonitis
bakteri spontan, dan selulitis, dengan peningkatan kerentanan terhadap
organisme berkapsul seperti Streptococcus.
pneumoniae
b) Acute kidney injury
Cedera ginjal akut (AKI) umumnya disebabkan oleh penurunan volume
intravaskular, yang dapat diperburuk oleh diuretik jika penggantian
albumin intravena bersamaan tidak dilakukan. AKI lebih mungkin terjadi
pada anak-anak dengan penyakit resisten steroid, infeksi penyerta, dan
paparan obat nefrotoksik.
c) Tromboemboli
Tromboemboli diperkirakan terjadi pada sekitar 3% masa kanak-kanak
pasien sindrom nefrotik, dengan gumpalan vena terhitung 97% dari kasus.
Hiperkoagulabilitas pada sindrom nefrotik bersifat multifaktorial:
peningkatan trombosit agregasi, peningkatan sintesis faktor protrombotik
dan kehilangan urin dan penurunan kadar antitrombin III, protein C, dan
protein S. Faktor risiko tradisional, seperti trombofilia yang diturunkan,
deplesi volume intravaskular, dan penggunaan kateter vena sentral
semakin meningkatkan risiko. Menyajikan keluhan termasuk
pembengkakan ekstremitas asimetris, malfungsi kateter vena sentral, gross

17
hematuria (trombosis vena ginjal), sindrom vena kava superior, dan
gangguan pernapasan (emboli paru)1
2.3.9 Prognosis

8. Prognosisnya sangat baik untuk pasien dengan perubahan patologi minimal,


dengan sebagian besar pasien mengalami remisi setelah pengobatan
kortikosteroid.24 Namun, 85 hingga 90% pasien responsif terhadap steroid dan
dapat kambuh, menempatkan mereka pada risiko toksisitas steroid, infeksi
sistemik, dan komplikasi lainnya.

Untuk pasien dengan glomerulosklerosis fokal-segmental (FSGS),


prognosisnya buruk. Umumnya akan berkembang menjadi penyakit ginjal
stadium akhir yang membutuhkan dialisis dan transplantasi ginjal. Hanya
sekitar 20% pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi
proteinuria; 10% lainnya membaik tetapi tetap proteinurik. Antara 25 dan 30%
pasien dengan FSGS mengembangkan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD)
dalam lima tahun. Ada beberapa penelitian yang menyarankan hasil ginjal 5
tahun yang lebih baik pada orang dewasa Cina dengan FSGS primer
dibandingkan dengan barat.

9. Dari pasien dengan nefropati membranosa, sekitar 30% mengalami remisi


spontan. Namun, untuk pasien dengan sindrom nefrotik persisten, 40% sampai
50% mengembangkan ESRD selama sepuluh tahun.8

18
BAB III
REFLEKSI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. F

Jenis kelamin : Perempuan

Lahir pada tanggal/umur : 29 april 2002 / 20 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : BTN Palupi

Tanggal Masuk RS : 07 desember 2022

Masuk Di Ruangan : Cendrawasih Bawah

Anamnesis
Keluhan utama : Bengkak seluruh tubuh
Keluhan Sekarang :
Seorang perempuan usia 20 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
bengkak pada seluruh tubuh yang dialami sejak ± 2 minggu yang lalu. Bengkak
dialami secara perlahan yang bermula dari area wajah, ke empat anggota gerak
(ekstremitas) kemudian diikuti oleh bengkak pada perut 1 minggu yang lalu.
Pasien juga mengalami muntah dengan frekuensi ± 5 kali yang berisi makanan
dan air. Mual (+), demam (-), nyeri uluh hati (+). Riwayat penyakit maag (+),
kencing disertai darah (+), tidak ada Riwayat konsumsi obat. BAB baik dan BAK
lancar.

19
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat maag (+)
 Riwayat DM (-)
Riwayat Gaya Hidup:
 Riwayat sering makan makanan siap saji, junkfood, berminyak dan santan
(+)
 Riwayat minum alkhohol (-)
 Riwayat merokok (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa

PEMERIKSAAN FISIS

Keadaan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran : E4M6V5 (Compos Mentis)

Antropometri : BB: 60 kg TB: 152 cm

BB koreksi : BB x 30%

: 60 x 30%

: 42 kg

IMT: 18,17 kg/m2 Status Gizi: normal

Tanda Vital : TD :119/75mmHg Pernapasan : 24 x/menit

Nadi : 84 x/menit Suhu : 36,8°C

SpO2 : 97% O2 NK 3 lpm

20
Kepala

a) Mata
Exopthalmus : -/-
Sklera : Ikterus -/-
Konjungtiva : Anemis +/+
Pupil : Isokor, diameter 2,5/2,5 mm
Palpebra : Edema +/+
b) Telinga
Otorrhoe :-
Pendengaran : Normal/normal
c) Hidung
Rhinorrhea :-
d) Mulut
Bau Napas :-
Tonsil : T1/T1
Pharynx : Hiperemis (-)
Bibir : Pucat (+) Kering (+), sianosis (-), stomatitis(-)
Lidah : Kotor (-)

Leher

a) JVP : Peningkatan (-)

b) Kelenjar : Pembesaran (-)

c) Struma :-

21
Thoraks

a) Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternalis dextra

Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra

Batas jantung kanan ICS V linea parasternalis dextra


 Auskultasi : S1/S2 murni regular, murmur (-)
b) Paru-paru
 Inspeksi : Bentuk dan pergerakkan dada simetris
 Palpasi : Vocal fremitus normal
 Perkusi : Perkusi paru dekstra dan sinistra sonor. Batas paru dengan
hepar, jantung kanan, lambung, jantung kiri normal.
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), Asites (+)
Palpasi : Nyeri tekan pada regio epigastrium
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik normal
Ekstremitas
Atas Bawah
Akral hangat : +/+ +/+
Edema : +/+ +/+

22
Tofi : -/- -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Laboratorium (07/12/2022)

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN


WBC 3,8 4,8-10,8 103/ µl
RBC 3,86 3,8-5,30 106/µl
HGB 7,1 14-18 g/dl
HCT 23,4 42-56 %
MCV 61 80-99 fL
MCH 18,5 27-31 pg
MCHC 30,5 33-37 g/dl
PLT 261 150-450 103/µl

23
 Urine Lengkap (07/12/2022)

No. Pemeriksaan Urine Hasil Nilai Rujukan


1. PH 6,0 4,8-8,0
2. BJ 1,025 1,003-1,022
3. Protein +2 Negatif
4. Reduksi Negatif Negatif
5. Urobilinogen Negatif Negatif
6. Bilirubin Negatif Negatif
7. Keton Negatif Negatif
8. Nitrit Negatif Negatif
9. Blood +3 Negatif
10. Leukosit Negatif Negatif
11. Sedimen
- Leukosit 2 0-5

- Eritrosit Tak terhitung 0-3

- Kristal Negatif Negatif

- Granula Negatif Negatif

- Epitel sel + Negatif

24
- Bakteri Negatif Negatif

 Profil Lipid (09/12/2022)

Hasil Nilai Rujukan

Cholesterol 218 0-200


Trigliserida 85 0-200
LDL 126 0-130
HDL 29 30-55

 Ureum, Creatinin, Albumin (09/12/2022)

Hasil Nilai Rujukan


Ureum 16 18-55
Creatinine 0,62 0,80-1,30
Albumin 1,5 3,2-4,5

 Morfologi Sel Darah (09/12/2022)

Eritrosit : anisopoikilositosis, mikrositik hipokrom, anulosit ditemukan


(+1), ovalosit ditemukan (+), sel target ditemukan (+1), benda inklusi tidak
ditemukan, normoblast tidak ditemukan.

Leukosit : jumlah menurun, PMN> limfosit, granulasi toksik ditemukan


(+1), sel muda tidak ditemukan

Trombosit : jumlah cukup, morfologi normal.

Kesan : Anemia mikrositik hipokrom suspek causa defisiensi Fe DD/


penyakit kronik disertai leukosit dengan tanda infeksi.

Saran : Fe serum, TIBC, ferritin tes fungsi hati, tes fungsi ginjal

25
 USG
- Hepar : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal. Tip tajam.
Irregularitas permukaan hepar disertai splenomegali. Tidak tampak dilatasi
bile duct ekstra/intrahepatik. Tidak tampak dilatasi vascular. Tidak tampak
SOL
- GB : dinding tidak menebal, mukosa reguler. Tampak multiple echo batu
dengan ukuran terbesar 1,6 cm
- Pankreas : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidak tampak
SOL
- Lien : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal. Tidak tanpak
SOL
- Ginjal : subacute renal disease bilateral
- VU : dinding tidak menebal, mukosa reguler, tidak tampak echo batu /
SOL didalamnya
Tampak echo cairan bebas pada cavum peritonium maupun cavum pleura
bilateral
Kesan :
- Irregularitas permukaan hepar disertai splenomegaly
- Ascites
- Subacute renalis disease bilateral
- Efusi pleura bilateral

26
RESUME

Seorang perempuan usia 20 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan


bengkak pada seluruh tubuh yang dialami sejak ± 2 minggu yang lalu. Bengkak
dialami secara perlahan yang bermula dari area wajah, ke empat anggota gerak
(ekstremitas) kemudian diikuti oleh bengkak pada perut 1 minggu yang lalu.
Pasien juga mengalami muntah dengan frekuensi ± 5 kali yang berisi makanan
dan air. Nausea (+), febris (-), nyeri uluh hati (+), hematuria (+). Riwayat penyakit
maag (+), tidak ada Riwayat konsumsi obat. BAB baik dan BAK lancar.

Pemeriksaan fisik keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : komposmentis ,


status gizi : baik, TD : 140/100 mmHg, N : 84x/menit, S : 36,8 0C, R : 20x/menit.
Pemeriksaan penunjang tanggal 07-12-2022 (WBC 3,8x103/Ul, RBC 3,86 x
106/UI, HGB 7,1 g/dl, HCT 23,4%, MCV 61 fL, MCH 18,5 pg, MCHC 30,5 g/Dl,
PLT 261x103/mm. tanggal 07-12-2022 (UL : protein +2, blood +3, sedimen
eritrosit tak terhitung, epitel sel (+)). Tanggal 09-12-2022 (Profil lipid :
cholesterol 218, TG 85, LDL 126, HDL 29), tanggal 09-12-2022 (ureum 16,
creatinin 0,62, albumin 1,5). Tanggal 09-12-2022 (morfologi sel darah, kesan
Anemia mikrositik hipokrom suspek causa defisiensi Fe DD/ penyakit kronik
disertai leukosit dengan tanda infeksi), tanggal 09-12-2022 (USG : irregularitas

27
permukaan hepar disertai splenomegaly, asites, subacute renalis disease bilateral,
efusi pleura bilateral).

Diagnosis kerja :
- Sindrom nefrotik
- Dispepsia

Pentalaksanaan :
- IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
- O2 nasal kanul 3 lpm
- Transfusi PRC 2 kantong
- Prednisone 8x5 mg
- Furosemide 1 ampul/12 jam/IV
- Pantoprazole 40 mg/24 jam IV
- Domperidone 10mg 3x1

28
BAB IV
DISKUSI

Berdasarkan kasus, pasien mengeluhkan bengkak pada seluruh tubuh yang


dialami secara perlahan, bermula dari area wajah, keempat ekstremitas dan perut.
Pasien mengatakan bengkak yang dialaminya ini baru pertama kali dan terjadi
secara tiba-tiba. Bengkak dikatakan tidak nyeri saat digerakkan ataupun saat di
tekan. Bengkak di kaki membuat pasien sulit untuk beraktivitas seperti biasa.
Nyeri uluh hati (+), nausea (+), vomitus (+). Sebelumnya pasien mengalami BAK
disertai darah. Keadaan ini merupakan manifestasi klinis pada sindrom nefrotik,
Pada pemeriksaan laboratorium pasien, didapatkan hasil interpretasi anemia,
hypoalbuminemia, darah pada urin, hal ini sesuai dengan penelitian yang
mengatakan bahwa sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang
ditandai dengan edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5
gram/ hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
Pada penegakan diagnosis kasus sindrom nefrotik dapat dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis akan
di dapatkan bahwa pasien sindrom nefrotik datang dengan edema yang progresif
pada ekstremitas bawah, peningkatan berat badan dan lemah, yang merupakan

29
gejala tipikal pada sindrom nefrotik. Pada kondisi yang lebih serius, akan terjadi
edema periorbital dan genital, ascites, efusi pleura.
Sesuai dengan teori dari hasil pemeriksaan fisik, berupa pemeriksaan fisik
akan di temukan pretibial edema, edema periorbita, edema anasarka, dan ascites.
Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan edema kedua tungkai, wajah dan bagian
perut. Pemeriksaan penunjang dari sindrom nefrotik didapatkan proteinuria masif
>3,5 gram/hari, hipoalbunemia < 1500 ml/hari, kemudian pasien disarankan untuk
istirahat, retriksi asupan protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB/hari serta
ekskresi protein urin/24 jam dan jika fungsi ginjal menurun maka diet disesuaikan
hingga 0,6 gram/kgBB/hari disertai ekskresi protein dalam urin/24 jam kemudian
diet rendah kolesterol.
Sedangkan, pada manajemen farmakologi diberikan obat-obatan berupa
diuretik seperti Furosemide (Lasix) pada 40 mg per oral dua kali setiap hari atau
bumetanide 1 mg dua kali sehari. Batas atas perkiraan untuk furosemide adalah
240 mg per dosis atau total 600 mg per hari. Pemberian agen diuretic ini bertujuan
untuk mengurangi gejala edema pada pasien. Pemberian Angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dapat menurunkan proteinuria dengan menurunkan
tekanan darah, mengurangi tekanan intraglomerular dan aksi langsung di podosit,
dan mengurangi risiko progresifitas dari gangguan ginjal pada pasien sindrom
nefrotik sekunder. Terapi kortikosteroid golongan glukokortikoid yaitu prednison,
prednisolon dan metilprednisolon yang digunakan sebagai immunosupressan.
Pemberian hiperlipidemic agents, bertujuan untuk menurunkan risiko
atherogenesis atau miokard infark, pada pasien dengan sindrom nefrotik memiliki
resiko peningkatan lipid yang signifikan.

Pemberian obat pantoprazole yang merupakan golongan PPI bekerja


menghambat sekresi asam lambung dengan cara inhibit sistem enzim adenosin
trifosfate hydrogen kalium (pompa proton) dari sel parietal lambung agar HCL
tidak terbentuk dan memperbaiki keluhan nyeri ulu hati pada pasien. Pasien juga
diberikan domperidon, merupakan obat yang digunakan pada muntah.
Domperidone 10 mg adalah golongan antiemetik yang membantu memfasilitasi

30
gerakan peristaltik dan pengosongan lambung melalui mekanisme penghambatan
dopamine D2-receptor dalam saluran gastrointestinal dan berbagai sistem Saraf
pusat dan perifer.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chia-Shi Wang, Larry A. Greenbaum, Nephrotic Syndrome, Pediatric Clinics


Of North America, Volume 66, Issue 1, 2019, Pages 73-85, Issn 0031-3955,
Isbn 9780323655095, Https://Doi.Org/10.1016/J.Pcl.2018.08.006
2. Gupta S, Pepper Rj, Ashman N, Et Al. (2019) Nephrotic Syndrome: Oedema
Formation And Its Treatment With Diuretics. Frontiers In Physiology 9:
1868. Doi: 10.3389/Fphys.2018.01868.
3. Ware, T. (2020). Nephrotic Syndrome. Innovait: Education And Inspiration
For General Practice, 13(3), 159–163. Doi:10.1177/1755738019895050
4. Agrawal S, Zaritsky J, Fornoni A, Et Al. (2018) Dyslipidaemia In Nephrotic
Syndrome: Mechanisms And Treatment. National Review In Nephrology
14(1): 57–70. Doi: 10.1038/ Nrneph.2017.155.
5. Mérida E, Praga M. Nsaids And Nephrotic Syndrome. Clin J Am Soc
Nephrol. 2019 Sep 06;14(9):1280-1282. [ Pubmed: 31416889]

31
6. Jia N, Cormack Fc, Xie B, Shiue Z, Najafian B, Gralow Jr. Collapsing Focal
Segmental Glomerulosclerosis Following Long-Term Treatment With Oral
Ibandronate: Case Report And Review Of Literature. Bmc Cancer. 2015 Jul
22;15:535. [ Pubmed: 26197890]
7. Kayar Y, Bayram Kayar N, Alpay N, Hamdard J, Ekinci I, Emegil S, Bag
Soydas R, Baysal B. Interferon Induced Focal Segmental
Glomerulosclerosis. Case Rep Nephrol. 2016;2016:6967378. [ Pubmed:
27847659]
8. Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. [Updated 2022 Jun 5]. In: Statpearls
[Internet]. Treasure Island (Fl): Statpearls Publishing; 2022 Jan-. Available
From: Https://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Books/Nbk470444/
9. Koedner, C. (2016). Diagnosis And Management Of Nephrotic Syndrome In
Adults. American Academy Of Family Physician, 93(6):479-485.
10. Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik. Universitas Islam
Bandung
11. Ukk Idai. (2014). Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada
Anak. Jakarta.
12. Mccloskey O, Maxwell Ap. Diagnosis And Management Of Nephrotic
Syndrome. Practitioner. 2017 Feb;261(1801):11-5. [Pubmed]
13. Dewi, D. A. (2019). Risk Factors For Steroid Resistant Nephrotic Syndrome
In Children.Medicina, 67.
14. Manalu, Erida. Volume 5 Nomor 3 Januari-Juli 2019. Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid, Jurnal Ilmiah Widya.
15. Cambier A, Rabant M, Peuchmaur M, Hertig A, Deschenes G, Couchoud C,
Kolko A, Salomon R, Hogan J, Robert T. Immunosuppressive Treatment In
Children With Iga Nephropathy And The Clinical Value Of Podocytopathic
Features. Kidney Int Rep. 2018 Jul;3(4):916-925. [Pmc Free Article]
[Pubmed].
16. Bérody S, Heidet L, Gribouval O, Harambat J, Niaudet P, Baudouin V,
Bacchetta J, Boudaillez B, Dehennault M, De Parscau L, Dunand O, Flodrops
H, Fila M, Garnier A, Louillet F, Macher Ma, May A, Merieau E, Monceaux

32
F, Pietrement C, Rousset-Rouvière C, Roussey G, Taque S, Tenenbaum J,
Ulinski T, Vieux R, Zaloszyc A, Morinière V, Salomon R, Boyer O.
Treatment And Outcome Of Congenital Nephrotic Syndrome. Nephrol Dial
Transplant. 2019 Mar 01;34(3):458-467. [Pubmed].
17. Trivin-Avillach C, Thervet É. [Immunizations For Patients With Kidney
Disease]. Nephrol Ther. 2019 Jul;15(4):233-240. [Pubmed].
18. Mühlig Ak, Lee Jy, Kemper Mj, Kronbichler A, Yang Jw, Lee Jm, Shin Ji,
Oh J. Levamisole In Children With Idiopathic Nephrotic Syndrome: Clinical
Efficacy And Pathophysiological Aspects. J Clin Med. 2019 Jun
16;8(6) [Pmc Free Article] [Pubmed].
19. Sinha A, Puraswani M, Kalaivani M, Goyal P, Hari P, Bagga A. Efficacy
And Safety Of Mycophenolate Mofetil Versus Levamisole In Frequently
Relapsing Nephrotic Syndrome: An Open-Label Randomized Controlled
Trial. Kidney Int. 2019 Jan;95(1):210-218. [Pubmed].
20. Kallash M, Smoyer We, Mahan Jd. Rituximab Use In The Management Of
Childhood Nephrotic Syndrome. Front Pediatr. 2019;7:178. [Pmc Free
Article] [Pubmed].
21. Okutsu M, Kamei K, Sato M, Kanamori T, Nishi K, Ishiwa S, Ogura M, Sako
M, Ito S, Ishikura K. Prophylactic Rituximab Administration In Children
With Complicated Nephrotic Syndrome. Pediatr Nephrol. 2021
Mar;36(3):611-619. [Pubmed].
22. Papa R, Lachmann Hj. Secondary, Aa, Amyloidosis. Rheum Dis Clin North
Am. 2018 Nov;44(4):585-603. [Pubmed]
23. Lin R, Mcdonald G, Jolly T, Batten A, Chacko B. A Systematic Review Of
Prophylactic Anticoagulation In Nephrotic Syndrome. Kidney Int Rep. 2020
Apr;5(4):435-447. [Pmc Free Article] [Pubmed].
24. Vivarelli M, Massella L, Ruggiero B, Emma F. Minimal Change
Disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2017 Feb 07;12(2):332-345. [Pmc Free
Article] [Pubmed]
25. Savitri Devi Ulandari, Ni Gusti Ayu And Dewi Sarihati, I Gusti
Agung And Jirna, I Nyoman (2020) Gambaran Kadar Kreatinin Serum

33
Pada Sopir Bus. Diploma Thesis, Jurusan Teknologi Laboratorium
Medis.
26. Turner, N., Lameire, N., Goldsmith, D. J., Winearls, C. G., Himmelfarb, J., &
Remuzzi, G., 2016. Oxford Textbook Of Clinical Nephrology. 4th Edn.
United Kingdom: Oxford Univeraity Press. Doi: 10.1007/S13398-014-0173-
7.2.
27. Kaneko, K., 2016. Molecular Mechanisms In The Pathogenesis Of Idiopathic
Nephrotic Syndrome. Tokyo: Springer Japan. Doi: 10.1007/978-4-431-
55270-3.
28. Khider, S. I., Mohamed, A. R., Mahmoud, N. F., & Essame, R., 2017.
Nephrotic Syndrome Knowledge And Health Care Related Practices Among
School Age Children And Their Mothers. Medical Journal Of Cairo
University, 85(2), Pp. 515–522. Available At:
Www.Medicaljournalofcairouniversity.Net.
29. Merseburger, A. S., Kuczyk, M. A. & Moul, J. W., 2014. Urology At A
Glance. Moul. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. Doi:
10.1007/978-3- 642-54859-8.
30. Agrawal, S., Joshua J, Z., Alessia, F., William E, S., 2017. Dyslipidaemia In
Nephrotic Syndrome: Mechanisms And Treatment. Nature Reviews
Nephrology. Nature Publishing Group, 14(1), Pp. 57–70. Doi:
10.1038/Nrneph.2017.155.
31. Dewi, I. P. And Merry, M. S., 2017. Editorial Peranan Obat Golongan Statin.
02(September), Pp. 2–4.
32. Pardede, S. O., 2017. Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom Nefrotik
Pada Anak. Sari Pediatri, 19(1), P. 53. Doi: 10.14238/Sp19.1.2017.53-62.

34

Anda mungkin juga menyukai