SINDROM NEFROTIK
Disusun Oleh:
Musfirah Indar Pratiwi, S.Ked
(18 21 777 14 497)
Pembimbing :
dr. Arfan Sanusi, Sp.PD, FINASIM
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Alkhairaat
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Pada pasien sindrom nefrotik terjadi kondisi proteinuria (hilangnya protein
berlebih) akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein yang
disebabkan oleh kerusakan dinding kapiler glomeruli sehingga terjadi gangguan
filtrasi pada glomerulus. Kondisi proteinuria akan mengarah ke hipoalbuminemia.
Edema juga merupakan gejala yang sering terjadi akibat kondisi hipoalbuminemia
yang menyebabkan tekanan onkotik plasma menurun sehingga terjadi manifestasi
edema.29 Hiperlipidemia merupakan gejala umum dari sindrom nefrotik akibat
peningkatan sintesis lipoprotein di hati, gangguan transport lipid dan menurunnya
katabolisme lipid.30
4
1. BAB II
KAJIAN PUSTAKA
5
2.2 Fisiologi Ginjal
Mekanisme utama nefron adalah untuk membersihkan atau menjernihkan
plasma darah dari zat-zat yang tidak dikehendaki tubuh melalui
penyaringan/difiltrasi di glomerulus dan zat-zat yang dikehendaki tubuh
direabsropsi di tubulus. Sedangkan mekanisme kedua nefron adalah dengan
sekresi (prostaglandin oleh sel dinding duktus koligentes dan prostasiklin oleh
arteriol dan glomerulus). Beberapa fungsi ginjal adalah sebagai berikut:
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh Kelebihan air dalam tubuh
akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin yang encer dalam jumlah
besar. Kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urin yang
diekskresikan jumlahnya berkurang dan konsentrasinya lebih pekat
sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan relatif
normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotik dan keseimbangan ion Fungsi ini terjadi
dalam plasma bila terdapat pemasukan dan pengeluaran yang abnormal
dari ion-ion. Akibat pemasukan garam yang berlebihan atau penyakit
perdarahan, diare, dan muntah-muntah, ginjal akan meningkatkan ekskresi
ion-ion yang penting misalnya Na, K, Cl, Ca, dan fosfat.
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh Tergantung pada apa
yang dimakan, campuran makan (mixed diet) akan menghasilkan urin
yang bersifat agak asam, pH kurang dari enam. Hal ini disebabkan oleh
hasil akhir metabolisme protein. Apabila banyak makan sayur-sayuran,
urin akan bersifat basa, pH urin bervariasi antara 4,8 sampai 8,2. Ginjal
mengekskresikan urin sesuai dengan perubahan pH darah
d. Ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme (ureum, kreatinin, dan asam urat)
Nitrogen nonprotein meliputi urea, kreatinin, dan asam urat. Nitrogen dan
urea dalam darah merupakan hasil metabolisme protein. Jumlah ureum
yang difiltrasi tergantung pada asupan protein. Kreatinin merupakan hasil
akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang
hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama.
Peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang meningkat disebut azotemia
6
(zat nitrogen dalam darah). Sekitar 75% asam urat diekskresikan oleh
ginjal, sehingga jika terjadi peningkatan konsentrasi asam urat serum akan
membentuk kristalkristal penyumbat pada ginjal yang dapat menyebabkan
gagal ginjal akut atau kronik.
e. Fungsi hormonal dan metabolisme Ginjal mengekskresikan hormon renin
yang mempunyai peranan penting dalam mengatur tekanan darah (system
rennin-angiotensis-aldesteron), yaitu untuk memproses pembentukan sel
darah merah (eritropoesis). Disamping itu ginjal juga membentuk hormon
dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi
ion kalsium di usus.
f. Pengeluaran zat beracun Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan
makanan, obat-obatan, atau zat kimia asing lain dari tubuh.25
2.3.2 Epidemiologi
7
Peningkatan kejadian dan penyakit yang lebih parah terlihat pada populasi Afrika-
Amerika dan Hispanik.12
Nefropati diabetik yang terkait dengan sindrom nefrotik adalah yang paling
sumum, dengan perkiraan angka sekitar 50 kasus per juta populasi. Pada populasi
pediatrik, sindrom nefrotik dapat terjadi pada tingkat 20 kasus per juta.8
Statistik Internasional
Di India dan Turki, hasil biopsi pada anak-anak dengan sindrom nefrotik telah
mengungkapkan jenis histologi yang serupa dibandingkan dengan apa yang
diharapkan di negara-negara Barat. Pada pasien dewasa Pakistan dengan sindrom
nefrotik, pola histologis biopsi ginjal mirip dengan yang terlihat di negara-negara
barat.8
Di beberapa bagian Timur Tengah dan Afrika, penyakit glomerulus juga dikaitkan
dengan infeksi schistosomal urogenital.8 Namun, sindrom nefrotik tropis akibat
penyakit parasit seperti malaria atau schistosomiasis mungkin tidak ada.
Doe dkk. melaporkan penyebab sindrom nefrotik pada populasi pediatrik Afrika
di mana biopsi ginjal paling sering mengungkapkan temuan histologis yang khas,
seperti penyakit perubahan minimal dan glomerulosklerosis fokal dan segmental.
Sindrom nefrotik akibat malaria quartan bukanlah fenomena yang sangat mapan.
Di Kongo, Pakasa dan Sumaili meminta perhatian pada jatuhnya sindrom nefrotik
terkait parasit.8
8
Demografi Terkait Ras dan Jenis Kelamin
Karena diabetes melitus merupakan salah satu penyebab utama sindrom nefrotik,
orang Indian Amerika, Afrika Amerika, dan Hispanik mengalami peningkatan
insidensi sindrom nefrotik dibandingkan orang kulit putih. Nefropati terkait HIV
adalah akibat infeksi HIV yang jarang terjadi pada orang kulit putih; namun, ini
sering terlihat pada orang Afrika-Amerika karena prevalensi alel ApoL1 mereka
yang lebih besar.8 Glomerulosklerosis fokal tampaknya terlalu direpresentasikan
sebagai salah satu penyebab sindrom nefrotik pada orang Afrika-Amerika
dibandingkan dengan anak kulit putih. Ada dominasi laki-laki dalam sindrom
nefrotik, seperti yang terlihat pada penyakit ginjal kronis pada umumnya. Pola ini
juga diamati pada nefropati membran paraneoplastik. Namun, nefritis lupus
kebanyakan menyerang wanita.
2.3.3 Klasifikasi
Sindrom Nefrotik
Kongenital sekunder
Idiopatik/Primer
9
menjadi Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten
Steroid (SNRS). Klasifikasi SN berdasarkan respon terhadap terapi kortikosteroid
yang sering ditemukan di klinik saat ini. Sindrom Nefrotik dengan gambaran
histopatologi lesi minimal umumnya (80%) berespon baik terhadap pemberian
steroid sedangkan gambaran glomerulosklerosis fokal segmental, mesangial
proliferatif difus, dan glomerulonefritis membranoproliferatif umumnya resisten
terhadap pemberian steroid.14
2.3.4 Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi primer (idiopatik) gangguan
glomerulus dan patologi sekunder yang menyebabkan disfungsi glomerulus.
Penyebab utama sindrom nefrotik adalah penyakit perubahan minimal (MCD),
nefropati membranosa (MN), glomerulosklerosis fokal dan segmental (FSGS) dan
mesangiocapillary (membranoproliferatif) glomerulonefritis (MCGN). MCD lebih
sering terjadi pada anak-anak, FSGS pada dewasa muda dan MN pada pasien
yang lebih tua.3
• Diabetes mellitus
10
Afrika, penyebab paling umum dari sindrom nefrotik adalah glomerulosklerosis
segmental fokal.
Satu lagi skenario di mana proteinuria kisaran nefrotik dapat terjadi adalah
pada trimester ketiga kehamilan, sebuah temuan preeklampsia klasik. Namun, itu
mungkin mulai de novo atau ditumpangkan pada penyakit ginjal kronis dari
sebelumnya. Akan ada proteinuria yang sudah ada sebelumnya pada yang
terakhir, yang memburuk selama kehamilan.
2.3.5 Patofisiologi
Proteiunria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilangan
protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria glomerular. Proteinuria
pada penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul
melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan
pada podosit glomerular. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua
berdasarkan muatan listriknya. Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut
terganggu.proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Protein selktif apabila protein
yang keluar terdiri dari molekul kecil mialnya albumin, sedangkan yang non-
11
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
imunoglobulin. Proteinuria sendiri akan menyebabkan peradangan dan fibrosis
tubulointerstitial, berkontribusi terhadap memburuknya fungsi ginjal; proteinuria
juga merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular.3,9
Hipoalbuminemia
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130- 200
mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme.
Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di
katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah
difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi
dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme
albumin. Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting
pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan
merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju
sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu
dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin.10,11
Proteinuria dapat berkontribusi pada hipoalbuminemia berikutnya, tetapi hati
harus mampu menghasilkan albumin yang cukup untuk mengkompensasi
kerugian tersebut. Ada sejumlah teori untuk menjelaskan hilangnya albumin
secara terus menerus. Misalnya, sitokin yang bersirkulasi dapat mengubah
produksi albumin oleh hati.2,3
Edema
Ada dua hipotesis luas untuk pengembangan edema pada sindrom nefrotik. Itu
'underfill' hipotesis adalah bahwa tekanan onkotik rendah sekunder
hipoalbuminemia menyebabkan retensi natrium dan air di ruang ekstraseluler.
Sebaliknya hipotesis 'overfill' menunjukkan bahwa proteinuria menyebabkan
peningkatan natrium, dan dengan demikian, resorpsi air di tubulus.2,3
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini
berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik
intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar
12
sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka
kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding
kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema. 10
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal
primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan
terbentuknya edema.
Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan
antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis
protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme
lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem
enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Beberapa peningkatan serum
lipoprotein yang di filtrasi di glomerulus akan mencetuskan terjadinya lipiduria
sehingga adanya temuan khas oval fat bodies dan fatty cast pada sedimen urin.
Penurunan tekanan onkotik plasma dapat menyebabkan peningkatan metabolisme
lipid di hati, menyebabkan hiperlipidemia. Ada juga peningkatan produksi faktor
prokoagulan, peningkatan kehilangan antikoagulan urin faktor (antitrombin III)
dan perubahan fungsional pada trombosit, mengarah ke keadaan protombotik pada
pasien dengan sindrom nefrotik, terutama pada nefropati membranosa. Hilangnya
imunoglobulin dan komplemen melalui glomerulus yang bocor dapat
meningkatkan risiko infeksi. Patologi yang mendasari dan proteinuria itu sendiri
juga bisa menyebabkan cedera ginjal akut (AKI) dan dalam beberapa kasus,
stadium akhir gagal ginjal jika tidak diobati.3,4
13
2.3.6 Diagnosa banding
4. • Kekebalan: anafilaksis
2.3.7 Terapi
Penilaian terperinci diperlukan sebelum memulai kortikosteroid. Tinggi, berat
badan, dan tekanan darah pasien harus dipantau. Catatan berat badan yang teratur
membantu memantau penurunan atau peningkatan edema. Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk mendeteksi infeksi dan kelainan sistemik yang
mendasarinya.15,16,17
14
dan levamisole. Dalam kasus sindrom nefrotik resisten steroid, pilihan lini
pertama adalah penghambat kalsineurin, dan jika tidak ada respons, maka agen
seperti MMF atau kortikosteroid nadi berkepanjangan dan/atau intravena dapat
digunakan.18,19,20
Rituximab, sebuah antibodi sel anti-B, telah terbukti sebagai agen hemat steroid
yang efektif pada populasi pediatrik. Namun, rituximab mungkin gagal mencapai
remisi bebas obat pada anak-anak yang tergantung pada penghambat kalsineurin
dan steroid. Rituximab mungkin juga memiliki peran pada anak-anak dengan
penyakit resisten steroid.20
Pada anak-anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid rumit yang merespons
rituximab, Okutsu et al. mengamati bahwa pengobatan rituximab tambahan pada
pemulihan sel B dapat mempertahankan remisi berkepanjangan.21
Rawat inap biasanya tidak diperlukan dengan perawatan tindak lanjut rawat jalan
yang dekat dan pendidikan orang tua dan pasien yang baik. Rawat inap menjadi
membantu jika salah satu dari berikut hadir:
15
• Gagal untuk berkembang
Untuk mencegah infeksi, penisilin dapat dimulai pada anak-anak dengan edema
terbuka. Parasentesis perut direkomendasikan pada pasien yang menunjukkan
tanda-tanda peritonitis, dan infeksi bakteri harus ditangani lebih cepat. 8 Pasien
non-imun dengan varicella harus menerima terapi imunoglobulin jika terjadi
paparan cacar air, dan asiklovir harus dimulai jika pasien terkena cacar air.
Prinsip pengobatan pada orang dewasa dengan sindrom nefrotik akut tidak
berbeda dengan anak-anak. Diuretik, seperti furosemide, spironolactone, dan
bahkan metolazone, mungkin diperlukan. Penggunaan diuretik dapat
menyebabkan penurunan volume, yang harus dinilai dengan memantau gejala,
berat badan, denyut nadi, dan tekanan darah.
16
6. Diet dan Aktivitas
7. Diet pada pasien sindrom nefrotik ditujukan untuk memenuhi asupan kalori
dan protein (1 g/kg/hari) yang cukup. Protein diet tambahan tidak memiliki
nilai yang terbukti. Diet rendah garam membantu membatasi retensi cairan
dan edema.8
2.3.8 Komplikasi
a) Infeksi
Infeksi sering terjadi pada anak-anak dengan sindrom nefrotik. Infeksi
disebabkan oleh hilangnya imunoglobulin dan faktor komplemen,
gangguan fungsi limfositik, pengobatan dengan agen imunosupresif,
asites, dan edema. Infeksi termasuk pneumonia, bakteremia, peritonitis
bakteri spontan, dan selulitis, dengan peningkatan kerentanan terhadap
organisme berkapsul seperti Streptococcus.
pneumoniae
b) Acute kidney injury
Cedera ginjal akut (AKI) umumnya disebabkan oleh penurunan volume
intravaskular, yang dapat diperburuk oleh diuretik jika penggantian
albumin intravena bersamaan tidak dilakukan. AKI lebih mungkin terjadi
pada anak-anak dengan penyakit resisten steroid, infeksi penyerta, dan
paparan obat nefrotoksik.
c) Tromboemboli
Tromboemboli diperkirakan terjadi pada sekitar 3% masa kanak-kanak
pasien sindrom nefrotik, dengan gumpalan vena terhitung 97% dari kasus.
Hiperkoagulabilitas pada sindrom nefrotik bersifat multifaktorial:
peningkatan trombosit agregasi, peningkatan sintesis faktor protrombotik
dan kehilangan urin dan penurunan kadar antitrombin III, protein C, dan
protein S. Faktor risiko tradisional, seperti trombofilia yang diturunkan,
deplesi volume intravaskular, dan penggunaan kateter vena sentral
semakin meningkatkan risiko. Menyajikan keluhan termasuk
pembengkakan ekstremitas asimetris, malfungsi kateter vena sentral, gross
17
hematuria (trombosis vena ginjal), sindrom vena kava superior, dan
gangguan pernapasan (emboli paru)1
2.3.9 Prognosis
18
BAB III
REFLEKSI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. F
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Kebangsaan : Indonesia
Anamnesis
Keluhan utama : Bengkak seluruh tubuh
Keluhan Sekarang :
Seorang perempuan usia 20 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
bengkak pada seluruh tubuh yang dialami sejak ± 2 minggu yang lalu. Bengkak
dialami secara perlahan yang bermula dari area wajah, ke empat anggota gerak
(ekstremitas) kemudian diikuti oleh bengkak pada perut 1 minggu yang lalu.
Pasien juga mengalami muntah dengan frekuensi ± 5 kali yang berisi makanan
dan air. Mual (+), demam (-), nyeri uluh hati (+). Riwayat penyakit maag (+),
kencing disertai darah (+), tidak ada Riwayat konsumsi obat. BAB baik dan BAK
lancar.
19
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat maag (+)
Riwayat DM (-)
Riwayat Gaya Hidup:
Riwayat sering makan makanan siap saji, junkfood, berminyak dan santan
(+)
Riwayat minum alkhohol (-)
Riwayat merokok (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa
PEMERIKSAAN FISIS
BB koreksi : BB x 30%
: 60 x 30%
: 42 kg
20
Kepala
a) Mata
Exopthalmus : -/-
Sklera : Ikterus -/-
Konjungtiva : Anemis +/+
Pupil : Isokor, diameter 2,5/2,5 mm
Palpebra : Edema +/+
b) Telinga
Otorrhoe :-
Pendengaran : Normal/normal
c) Hidung
Rhinorrhea :-
d) Mulut
Bau Napas :-
Tonsil : T1/T1
Pharynx : Hiperemis (-)
Bibir : Pucat (+) Kering (+), sianosis (-), stomatitis(-)
Lidah : Kotor (-)
Leher
c) Struma :-
21
Thoraks
a) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternalis dextra
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), Asites (+)
Palpasi : Nyeri tekan pada regio epigastrium
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik normal
Ekstremitas
Atas Bawah
Akral hangat : +/+ +/+
Edema : +/+ +/+
22
Tofi : -/- -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (07/12/2022)
23
Urine Lengkap (07/12/2022)
24
- Bakteri Negatif Negatif
Saran : Fe serum, TIBC, ferritin tes fungsi hati, tes fungsi ginjal
25
USG
- Hepar : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal. Tip tajam.
Irregularitas permukaan hepar disertai splenomegali. Tidak tampak dilatasi
bile duct ekstra/intrahepatik. Tidak tampak dilatasi vascular. Tidak tampak
SOL
- GB : dinding tidak menebal, mukosa reguler. Tampak multiple echo batu
dengan ukuran terbesar 1,6 cm
- Pankreas : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidak tampak
SOL
- Lien : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal. Tidak tanpak
SOL
- Ginjal : subacute renal disease bilateral
- VU : dinding tidak menebal, mukosa reguler, tidak tampak echo batu /
SOL didalamnya
Tampak echo cairan bebas pada cavum peritonium maupun cavum pleura
bilateral
Kesan :
- Irregularitas permukaan hepar disertai splenomegaly
- Ascites
- Subacute renalis disease bilateral
- Efusi pleura bilateral
26
RESUME
27
permukaan hepar disertai splenomegaly, asites, subacute renalis disease bilateral,
efusi pleura bilateral).
Diagnosis kerja :
- Sindrom nefrotik
- Dispepsia
Pentalaksanaan :
- IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
- O2 nasal kanul 3 lpm
- Transfusi PRC 2 kantong
- Prednisone 8x5 mg
- Furosemide 1 ampul/12 jam/IV
- Pantoprazole 40 mg/24 jam IV
- Domperidone 10mg 3x1
28
BAB IV
DISKUSI
29
gejala tipikal pada sindrom nefrotik. Pada kondisi yang lebih serius, akan terjadi
edema periorbital dan genital, ascites, efusi pleura.
Sesuai dengan teori dari hasil pemeriksaan fisik, berupa pemeriksaan fisik
akan di temukan pretibial edema, edema periorbita, edema anasarka, dan ascites.
Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan edema kedua tungkai, wajah dan bagian
perut. Pemeriksaan penunjang dari sindrom nefrotik didapatkan proteinuria masif
>3,5 gram/hari, hipoalbunemia < 1500 ml/hari, kemudian pasien disarankan untuk
istirahat, retriksi asupan protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB/hari serta
ekskresi protein urin/24 jam dan jika fungsi ginjal menurun maka diet disesuaikan
hingga 0,6 gram/kgBB/hari disertai ekskresi protein dalam urin/24 jam kemudian
diet rendah kolesterol.
Sedangkan, pada manajemen farmakologi diberikan obat-obatan berupa
diuretik seperti Furosemide (Lasix) pada 40 mg per oral dua kali setiap hari atau
bumetanide 1 mg dua kali sehari. Batas atas perkiraan untuk furosemide adalah
240 mg per dosis atau total 600 mg per hari. Pemberian agen diuretic ini bertujuan
untuk mengurangi gejala edema pada pasien. Pemberian Angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dapat menurunkan proteinuria dengan menurunkan
tekanan darah, mengurangi tekanan intraglomerular dan aksi langsung di podosit,
dan mengurangi risiko progresifitas dari gangguan ginjal pada pasien sindrom
nefrotik sekunder. Terapi kortikosteroid golongan glukokortikoid yaitu prednison,
prednisolon dan metilprednisolon yang digunakan sebagai immunosupressan.
Pemberian hiperlipidemic agents, bertujuan untuk menurunkan risiko
atherogenesis atau miokard infark, pada pasien dengan sindrom nefrotik memiliki
resiko peningkatan lipid yang signifikan.
30
gerakan peristaltik dan pengosongan lambung melalui mekanisme penghambatan
dopamine D2-receptor dalam saluran gastrointestinal dan berbagai sistem Saraf
pusat dan perifer.
DAFTAR PUSTAKA
31
6. Jia N, Cormack Fc, Xie B, Shiue Z, Najafian B, Gralow Jr. Collapsing Focal
Segmental Glomerulosclerosis Following Long-Term Treatment With Oral
Ibandronate: Case Report And Review Of Literature. Bmc Cancer. 2015 Jul
22;15:535. [ Pubmed: 26197890]
7. Kayar Y, Bayram Kayar N, Alpay N, Hamdard J, Ekinci I, Emegil S, Bag
Soydas R, Baysal B. Interferon Induced Focal Segmental
Glomerulosclerosis. Case Rep Nephrol. 2016;2016:6967378. [ Pubmed:
27847659]
8. Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. [Updated 2022 Jun 5]. In: Statpearls
[Internet]. Treasure Island (Fl): Statpearls Publishing; 2022 Jan-. Available
From: Https://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Books/Nbk470444/
9. Koedner, C. (2016). Diagnosis And Management Of Nephrotic Syndrome In
Adults. American Academy Of Family Physician, 93(6):479-485.
10. Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik. Universitas Islam
Bandung
11. Ukk Idai. (2014). Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada
Anak. Jakarta.
12. Mccloskey O, Maxwell Ap. Diagnosis And Management Of Nephrotic
Syndrome. Practitioner. 2017 Feb;261(1801):11-5. [Pubmed]
13. Dewi, D. A. (2019). Risk Factors For Steroid Resistant Nephrotic Syndrome
In Children.Medicina, 67.
14. Manalu, Erida. Volume 5 Nomor 3 Januari-Juli 2019. Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid, Jurnal Ilmiah Widya.
15. Cambier A, Rabant M, Peuchmaur M, Hertig A, Deschenes G, Couchoud C,
Kolko A, Salomon R, Hogan J, Robert T. Immunosuppressive Treatment In
Children With Iga Nephropathy And The Clinical Value Of Podocytopathic
Features. Kidney Int Rep. 2018 Jul;3(4):916-925. [Pmc Free Article]
[Pubmed].
16. Bérody S, Heidet L, Gribouval O, Harambat J, Niaudet P, Baudouin V,
Bacchetta J, Boudaillez B, Dehennault M, De Parscau L, Dunand O, Flodrops
H, Fila M, Garnier A, Louillet F, Macher Ma, May A, Merieau E, Monceaux
32
F, Pietrement C, Rousset-Rouvière C, Roussey G, Taque S, Tenenbaum J,
Ulinski T, Vieux R, Zaloszyc A, Morinière V, Salomon R, Boyer O.
Treatment And Outcome Of Congenital Nephrotic Syndrome. Nephrol Dial
Transplant. 2019 Mar 01;34(3):458-467. [Pubmed].
17. Trivin-Avillach C, Thervet É. [Immunizations For Patients With Kidney
Disease]. Nephrol Ther. 2019 Jul;15(4):233-240. [Pubmed].
18. Mühlig Ak, Lee Jy, Kemper Mj, Kronbichler A, Yang Jw, Lee Jm, Shin Ji,
Oh J. Levamisole In Children With Idiopathic Nephrotic Syndrome: Clinical
Efficacy And Pathophysiological Aspects. J Clin Med. 2019 Jun
16;8(6) [Pmc Free Article] [Pubmed].
19. Sinha A, Puraswani M, Kalaivani M, Goyal P, Hari P, Bagga A. Efficacy
And Safety Of Mycophenolate Mofetil Versus Levamisole In Frequently
Relapsing Nephrotic Syndrome: An Open-Label Randomized Controlled
Trial. Kidney Int. 2019 Jan;95(1):210-218. [Pubmed].
20. Kallash M, Smoyer We, Mahan Jd. Rituximab Use In The Management Of
Childhood Nephrotic Syndrome. Front Pediatr. 2019;7:178. [Pmc Free
Article] [Pubmed].
21. Okutsu M, Kamei K, Sato M, Kanamori T, Nishi K, Ishiwa S, Ogura M, Sako
M, Ito S, Ishikura K. Prophylactic Rituximab Administration In Children
With Complicated Nephrotic Syndrome. Pediatr Nephrol. 2021
Mar;36(3):611-619. [Pubmed].
22. Papa R, Lachmann Hj. Secondary, Aa, Amyloidosis. Rheum Dis Clin North
Am. 2018 Nov;44(4):585-603. [Pubmed]
23. Lin R, Mcdonald G, Jolly T, Batten A, Chacko B. A Systematic Review Of
Prophylactic Anticoagulation In Nephrotic Syndrome. Kidney Int Rep. 2020
Apr;5(4):435-447. [Pmc Free Article] [Pubmed].
24. Vivarelli M, Massella L, Ruggiero B, Emma F. Minimal Change
Disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2017 Feb 07;12(2):332-345. [Pmc Free
Article] [Pubmed]
25. Savitri Devi Ulandari, Ni Gusti Ayu And Dewi Sarihati, I Gusti
Agung And Jirna, I Nyoman (2020) Gambaran Kadar Kreatinin Serum
33
Pada Sopir Bus. Diploma Thesis, Jurusan Teknologi Laboratorium
Medis.
26. Turner, N., Lameire, N., Goldsmith, D. J., Winearls, C. G., Himmelfarb, J., &
Remuzzi, G., 2016. Oxford Textbook Of Clinical Nephrology. 4th Edn.
United Kingdom: Oxford Univeraity Press. Doi: 10.1007/S13398-014-0173-
7.2.
27. Kaneko, K., 2016. Molecular Mechanisms In The Pathogenesis Of Idiopathic
Nephrotic Syndrome. Tokyo: Springer Japan. Doi: 10.1007/978-4-431-
55270-3.
28. Khider, S. I., Mohamed, A. R., Mahmoud, N. F., & Essame, R., 2017.
Nephrotic Syndrome Knowledge And Health Care Related Practices Among
School Age Children And Their Mothers. Medical Journal Of Cairo
University, 85(2), Pp. 515–522. Available At:
Www.Medicaljournalofcairouniversity.Net.
29. Merseburger, A. S., Kuczyk, M. A. & Moul, J. W., 2014. Urology At A
Glance. Moul. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. Doi:
10.1007/978-3- 642-54859-8.
30. Agrawal, S., Joshua J, Z., Alessia, F., William E, S., 2017. Dyslipidaemia In
Nephrotic Syndrome: Mechanisms And Treatment. Nature Reviews
Nephrology. Nature Publishing Group, 14(1), Pp. 57–70. Doi:
10.1038/Nrneph.2017.155.
31. Dewi, I. P. And Merry, M. S., 2017. Editorial Peranan Obat Golongan Statin.
02(September), Pp. 2–4.
32. Pardede, S. O., 2017. Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom Nefrotik
Pada Anak. Sari Pediatri, 19(1), P. 53. Doi: 10.14238/Sp19.1.2017.53-62.
34