Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA DIABETES MELITUS TIPE LAIN

Oleh:
Rahma Nur Zakia Herman, S.Ked
K1A1 14 058

Pembimbing:
dr. Tety Yuniarty Sudiro, Sp. PD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Rahma Nur Zakia Herman
NIM : K1A1 14 058
Judul : Diagnosis dan tatalaksana diabetes melitus tipe lain

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas : Kedokteran
Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juli 2020

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Tety Yuniarty Sudiro, Sp. PD, FINASIM


DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA DIABETES MELITUS TIPE LAIN
Rahma Nur Zakia Herman, Tety Yuniarty Sudiro

A. PENDAHULUAN
Diabetes adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Hiperglikemia kronis dari diabetes dikaitkan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, dan kegagalan organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung,
dan pembuluh darah1.
Beberapa proses patogenik terlibat dalam pengembangan diabetes. Proses
patogenik tersebut berkisar dari penghancuran sel-sel β-pankreas secara
autoimun dengan defisiensi insulin sebagai akibat dari kelainan yang
mengakibatkan resistensi terhadap kerja insulin. Dasar kelainan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein pada diabetes adalah kurangnya kerja insulin
pada jaringan target. Defisiensi kerja insulin terjadi akibat sekresi insulin
yang tidak adekuat dan /atau berkurangnya respons jaringan terhadap insulin
pada satu atau lebih titik di jalur kompleks aksi hormon1.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Pankreas
Pankreas merupakan kelenjar eksokrin dan endokrin yang sedikit
mengandung jaringan ikat. Pankreas terdiri dari caput, corpus dan cauda
pancreatic. Terletak pada bagian konkaf dari duodenum. Antara caput dan
corpus terdapat collum pancreatis, dan di sebelah dorsal collum pancreatis
terletak vena portae. Pankreas ditutupi oleh peritoneum (retroperitoneal)2.
Caput Pankreas
Terletak di sebelah kiri dan ditutupi oleh pylorus dan pars superior
duodeni. Ductus choledochus berada di bagian dorsal caput pancreatis.
Processus uncinatus adalah bagian caudal dari caput pancreatis yang
menonjol ke sebelah kiri, ke bagian posterior vasa mesenterica superior. Vena
mesenterica superior berjalan melalui incisura pancreatica, yang dibentuk
oleh processus uncinatus2.
Corpus dan Cauda Pankreatis
Kedua bagian ini meluas ke kiri menyilang columna vertebralis. Cauda
pancreatis menonjol ke dalam ligamentum lienorenale sehingga berbatasan
dengan lien. Corpus pancreatis berada di sebelah caudal arteria coeliaca, di
sebelah cranial dari flexura duodenojejenalis, berbentuk prisma dengan 3
permukaan, masing-masing facies anterior, posterior dan inferior. Dengan
demikian ada 3 tepi, yaitu margo superior, anterior dan inferior2.
Tuber omentale adalah tonjolan pada margo superior yang berbatasan
dengan facies posterior dan omentum minus. Saluran keluar kelenjar dimulai
dari cauda pancreatic, berjalan di bagian cranial, disebut ductus pancreaticus
Wirsungi. Kadang-kadang terdapat ductus pancreaticus accessories Santorini,
berada di sebelah cranial dari ductus Wirsungi2.

Gambar 1. Letak pankreas (Netter, 2013).

Lokalisasi
Di sebelah ventral dari pancreas terdapat gaster dan colon transversum. Di
sebelah posterior terdapat2 :
1. Vena cava inferior, aorta abdominalis, vasa renalis sinister (di bagian
posterior caput pancreatis),
2. Vasa mesentrica superior, vena portae (di dorsal collum pancreatis),
3. Diaphragma thoracis, gld.suprarenalis sinister, ren sinister (di posterior
corpus pancreatis),
4. Vasa lienalis, vena letak di cranialis arteri, berada di sebelah dorsal
corpus dan cauda pancreatis, dan selanjutnya berada pada margo superior
pancreatis.
Vascularisasi
Diperoleh dari2 :
1. Arteria pancreatico duodenalis superior, cabang dari arteria
gastroduodonalis, berada di sebelah ventral pancreas dan pars descendens
duodeni; mengadakan anastomose dengan arteria pancreatico duodenalis
inferior di bagian dorsal caput pancreatis ;
2. Cabang dari arteria lienalis :
a. Arteria pancreatica dorsalis, yang dipercabangkan dari pangkal
arteria lienalis, cabang ini menuju ke collum dan corpus pancreatis;
b. Ateria pancreatica magna, dipercabangkan dari bagian tengah
a.lienalis; cabang ini adalah yang terbesar di antara cabang-cabang
lainnya;
c. Arteria pancreatica caudalis, dipercabangkan dari bagian distal
a.linealis, menuju ke caudal pancreatis.

Gambar2. Vaskularisasi Pankreas (Netter, 2013).


Fisiologi
Pankreas merupakan organ kelenjar lunak yang memiliki fungsi eksokrin
dan endokrin. Bagian endokrin yang lebih kecil terdiri dari pulau-pulau
jaringan endokrin terisolasi, pulau pulau Langerhans, yang tersebar di seluruh
pankreas dan mensekresikan hormon insulin dan glukagon ke dalam darah.
Sebagai kelenjar eksokrin, pankreas mengeluarkan jus pankreas melalui
saluran pankreas ke dalam duodenum. Di dalam lobulus pankreas adalah unit
sekretori eksokrin, yang disebut asini. Setiap asinus terdiri dari satu lapisan
sel epitel asinar yang mengelilingi lumen, di mana konstituen jus pankreas
disekresikan3.
Pankreas eksokrin dan endokrin berasal dari jaringan berbeda selama
perkembangan masa mudigah dan hanya memiliki kesamaan lokasi.
Meskipun sama-sama terlibat dalam metabolisme molekul nutrien namun
keduanya memiliki fungsi berbeda di bawah kontrol mekanisme regulatorik
yang berlainan. Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pankreas yang terdiri
dari dua komponen: (1) enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh
sel asinus yang membentuk asinus dan (2)larutan cair basa yang secara aktif
disekresikan oleh sel duktus yang melapisi duktus pankreatikus. Komponen
encer alkalis banyak mengandung natrium bikarbor.rat (NaHCO 3). Enzim ini
termasuk (1) amilase, yang mencerna pati; (2) trypsin, yang mencerna
protein; dan (3) lipase, yang mencerna trigliserida4.
C. EPIDEMIOLOGI
Secara global, prevalensi diabetes telah meningkat secara terus-menerus
sejak 1980. Pada tahun 1980, prevalensi diabetes yang didiagnosis di antara
orang dewasa berusia> 20 tahun adalah 4%; pada tahun 2000 adalah 6%, dan
pada 2012 adalah 8%, dua kali lipat dalam prevalensi penyakit dalam sekitar
30 tahun. Baru-baru ini, data ini menunjukkan perbedaan nyata dalam
distribusi geografis diabetes — misalnya, perkiraan terbaru berkisar antara
11,2% dari orang dewasa ≥45 tahun di Colorado hingga 26,8% di Puerto
Rico. Demikian pula, data yang dilaporkan sendiri secara konsisten
menunjukkan perbedaan ras / etnis dalam prevalensi diabetes di Amerika
Serikat. Pada tahun 2010, dibandingkan dengan populasi kulit putih, non-
hispanik (prevalensi 6,8%), prevalensi diabetes yang didiagnosis berdasarkan
usia di Amerika Serikat lebih tinggi di antara orang Asia (7,8%) orang kulit
hitam non-Hispanik (11,3%), Hispanik (11,5) %), dan ras campuran /
kelompok ras lain (14,0%)5.
Prevalensi orang dewasa dengan diabetes meningkat dari 4,7% menjadi
8,5%; peningkatan prevalensi ini tercatat di semua wilayah. Hal yang menjadi
perhatian selama ini adalah meningkatnya kasus diabetes di negara-negara
miskin dan berpenghasilan menengah. Perkiraan prevalensi diabetes di
seluruh Afrika adalah 3,1% pada 1980 dan 7,1% pada 2014. Jumlah terbesar
penderita diabetes ditemukan di Cina (114,4 juta), India (72,9 juta), Amerika
Serikat (30,2 juta), Brasil (12,4) juta), Meksiko (12,0 juta), dan Indonesia
(10,3 juta). Namun sehubungan dengan prevalensi diabetes yang disesuaikan
dengan usia, jumlah terbesar penyakit ini ditemukan di beberapa negara
Kepulauan Pasifik (misalnya, 30,5% orang dewasa di Kepulauan Marshall,
22% di Mauritius, 17,7% di Papua-Nugini) , diikuti oleh beberapa negara di
Timur Tengah (Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab — 17% –18% orang
dewasa)6.
D. DEFINISI
Diabetes didefenisikan sebagai sekelompok gangguan metabolisme yang
ditandai dan diidentifikasi oleh adanya hiperglikemia tanpa adanya
pengobatan. Diabetes memiliki etio-patologi yang heterogen termasuk cacat
dalam sekresi insulin, kerja insulin, atau gabungan keduanya, serta gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein7.
E. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Ada hubungan langsung antara hiperglikemia dan respons fisiologis &
perilaku. Setiap kali ada hiperglikemia, otak mengenalinya dan mengirim
pesan melalui impuls saraf ke pankreas dan organ lain untuk mengurangi
efeknya8.
Gambar 1. Respon fisiologis terhadap hiperglikemia (Baynest, 2015).

Tipe 1
Diabetes tipe 1 ditandai dengan penghancuran sel-sel penghasil insulin di
pankreas secara autoimun oleh sel T CD4+ dan CD8+ dan makrofag yang
menginfiltrasi Langerhans. Beberapa fitur mencirikan diabetes mellitus tipe 1
sebagai penyakit autoimun8:
1. Adanya sel-sel yang imuno- kompeten dalam langerhans pankreas yang
terinfiltrasi;
2. Asosiasi kerentanan terhadap penyakit dengan gen MHC kelas II;
3. Kehadiran autoantibodi spesifik pada sel langerhans;
4. Perubahan imunoregulasi yang dimediasi sel T, khususnya di
kompartemen sel T CD4+;
5. Keterlibatan monokin dan sel TH1 memproduksi interleukin dalam proses
penyakit;
6. Respon terhadap imunoterapi dan;
7. Adanya penyakit autoimun dalam riwayat keluarga3.
Gambar 2. Patogenesis DM Tipe 1 (Baynest, 2015).

Penghancuran sel β-pankreas secara autoimun, menyebabkan defisiensi


sekresi insulin yang mengakibatkan gangguan metabolisme yang terkait
dengan DM tipe 1. Selain hilangnya sekresi insulin, fungsi sel α-pankreas
juga terganggu dan ada sekresi glukagon yang berlebihan pada pasien DM
tipe 1. Biasanya, hiperglikemia menyebabkan berkurangnya sekresi glukagon,
namun, pada pasien dengan DM tipe 1, sekresi glukagon tidak ditekan oleh
hiperglikemia. Kadar glukagon yang meningkat secara tidak tepat
memperburuk defek metabolik karena defisiensi insulin. Kekurangan insulin
menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol dan peningkatan kadar asam
lemak bebas dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa dalam
jaringan perifer seperti otot rangka. Ini mengganggu pemanfaatan glukosa
dan defisiensi insulin juga menurunkan ekspresi sejumlah gen yang
diperlukan oleh jaringan target untuk merespons secara normal terhadap
insulin seperti glukokinase dalam hati dan GLUT-48.
Tipe 2
Dalam situasi di mana resistensi terhadap insulin mendominasi, massa sel
β mengalami transformasi yang mampu meningkatkan pasokan insulin dan
mengkompensasi permintaan yang berlebihan. Secara absolut, konsentrasi
insulin plasma (baik puasa maupun stimulasi makan) biasanya meningkat,
namun peningkatan bersifat relatif dengan tingkat keparahan resistensi
insulin, sehingga konsentrasi insulin plasma kemudian menjadi tidak cukup
untuk mempertahankan homeostasis glukosa normal. Resistensi terhadap
kerja insulin ini akan mengakibatkan gangguan uptake glukosa yang
dimediasi insulin di perifer (oleh otot dan lemak)8.
Gambar 3. Patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan asam lemak yang bersirkulasi pada
Diabetes tipe 2 (Baynest, 2015).

F. KLASIFIKASI DIABETES MELITUS TIPE LAIN


1. Kerusakan Monogenik Fungsi Sel β
Gejala klinis dari kerusakan monogenik pada fungsi sel β meliputi
maturity-onset diabetes of the young (MODY), permanent neonatal
diabetes (PNDM), transient neonatal diabetes (TNDM), dan sindrom
genetik di mana diabetes kekurangan insulin dikaitkan sebagai gejala
klinis yang spesifik7.
a. Maturity-onset diabetes of the young (MODY)
Diabetes familial onset dini yang diturunkan secara inheren
(umumnya dengan onset sebelum usia 25 tahun) yang tidak
tergantung pada insulin dan hasil dari disfungsi sel β secara klinis
disebut sebagai MODY. Subtipe genetik yang paling umum adalah
karena mutasi pada gen glukokinase (GCK MODY) dan hepato-
nuclear factor gene (HNF1A MODY dan HNF4A MODY). Respons
fenotipe dan pengobatan bervariasi. GCK MODY menghasilkan
hiperglikemia puasa ringan seumur hidup yang sedikit memburuk
seiring bertambahnya usia. Penderita ini jarang mengalami
komplikasi mikrovaskuler dan biasanya tidak memerlukan
pengobatan farmakologis untuk hiperglikemia. HNF1A MODY
sebagai bentuk MODY paling umum, menghasilkan hiperglikemia
progresif dan ditandai dengan risiko tinggi komplikasi mikrovaskuler
dan makrovaskular. Orang-orang ini sangat peka terhadap efek
hipoglikemik sulfonilurea, memungkinkan orang dengan HNF1A
yang diobati dengan insulin berhasil ditransfer ke sulfonilurea.
Orang-orang dengan HNF4A MODY mirip dengan yang dengan
HNF1A MODY kecuali mereka telah ditandai makrosomia dan
transient neonatal hypoglycaemia7.
Pasien dengan MODY biasanya memiliki beberapa gejala klinis:
keturunan diabetes yang kuat dalam keluarga, onset awal penyakit,
ketergantungan insulin relatif, tidak adanya resistensi insulin dan β-
sel autoimunitas. Pasien yang memiliki dua atau lebih anggota
keluarga dengan diabetes mungkin memiliki MODY hingga 45%
dari kasus9.

Tabel 1. Gejala Klinis MODY (Covantev, 2016)

Diagnosis
Prosedur diagnostik paling tepat yang dapat dilakukan adalah
pengujian genetik sebagai standar baku emas pada pasien yang
datang dengan penyakit monogenik. Haplotip juga memiliki dampak
yang signifikan ketika mendiagnosis MODY karena T1DM biasanya
dikaitkan dengan specific human leukocyte antigens9.
Keterbatasan alat diagnostik di berbagai negera untuk negara
untuk melakukan pengujian genetik, maka harus mempertimbangkan
data lain seperti9:
1) Menderita diabetes sebelum 45 tahun,
2) Autoantibodi diabetes negatif (GADA, IA-2, transporter seng
ZnT8, dan autoantibodi insulin (IAA)),
3) Tidak ada resistensi insulin,
4) Riwayat keluarga diabetes,
5) C-peptida yang terdeteksi lebih dari 0,2 nmol / l di luar periode
bulan madu, GST lebih dari 0,2 nmol/l,
6) Adanya kelainan hati terutama tumor hepatosit jinak dan ganas
(adenomatosis hati, karsinoma hepatoseluler)
Selama kehamilan indeks massa tubuh (BMI) <25 kg / m2 dan
glukosa puasa ≥5,5 mmol / L juga dapat digunakan sebagai indikator
terpisah dari mutasi GCK dan memiliki sensitivitas 68% dan
spesifisitas 96%. Sebuah penelitian yang melibatkan kohort Atlantik
Diabetes dalam Kehamilan menunjukkan bahwa 1,1 dari 1.000
wanita hamil mengalami mutasi GCK. Studi lain menunjukkan
bahwa dalam 3% kasus mutasi GCK adalah penyebab diabetes
gestasional9.
Rasio kreatinin C-peptida pada urin adalah tes lain yang dapat
membantu membedakan MODY dari T1DM, tetapi tidak
menunjukkan perbedaan besar antara MODY dan T2DM. UCPCR
adalah <0,03-0,39 nmol / mmol untuk T1DM dan 2,37-5,32 nmol /
mmol untuk MODY. Tes ini dilaporkan memiliki sensitivitas hingga
93% dan spesifisitas hingga 90% untuk membedakan antara MODY
dan T1DM10.
Tatalaksana
Mutasi GCK biasanya menyebabkan hiperglikemia ringan tanpa
gejala. Tidak diperlukan pengobatan untuk kelompok pasien ini
tetapi harus dilakukan pemantauan. Diagnosis dini penyakit ini
sangat penting untuk menghentikan terapi insulin pada waktunya.
Manajemen wanita hamil dengan mutasi GCK lebih sulit daripada
wanita dengan mutasi HNF-1a10.
Mutasi HNF-1a dan HNF-4a menyebabkan hiperglikemia yang
lebih menonjol dan komplikasi vaskular. Pilihan pengobatan yang
optimal dalam kondisi ini adalah obat sulfonylureas. Pasien harus
dipantau dengan hati-hati karena penyakit ini tidak selalu stabil dan
terapi tambahan mungkin bermanfaat untuk kedepannya. Sekitar 70-
80% pasien dapat berhasil diobati dengan sulfonilurea tanpa suntikan
insulin. Di sisi lain beberapa pasien tetap menggunakan pengobatan
insulin akibat adanya komplikasi10.
Sebuah penelitian menyebutkan, mayoritas subjek yang diobati
dengan sulfonylurea tetap tidak tergantung insulin (80%). Obat lain
juga dapat bermanfaat, misalnya agonis reseptor peptida-1 seperti
glukagon, inhibitor dipeptidyl peptidase IV, analog meglitinide
menunjukkan hasil yang sangat baik dalam mengendalikan kadar
glukosa juga9.
b. Permanent neonatal diabetes (PNDM)
Permanent neonatal diabetes (PNDM) ditandai dengan timbulnya
hiperglikemia dalam enam bulan pertama kehidupan dengan usia
rata-rata saat diagnosis tujuh minggu (kisaran: lahir hingga 26
minggu). Diabetes melitus dikaitkan dengan defisiensi insulin parsial
atau komplit. Manifestasi klinis saat diagnosis meliputi retardasi
pertumbuhan intrauterin (IUGR; refleksi defisiensi insulin dalam
rahim), hiperglikemia, glikosuria, poliuria osmotik, dehidrasi parah,
dan kegagalan tumbuh. Terapi dengan insulin memperbaiki
hiperglikemia dan menghasilkan pertumbuhan yang dramatis11.
PNDM diturunkan melalui kelainan autosom dominan untuk
mutasi KCNJ11, autosom dominan atau autosom resesif untuk
mutasi ABCC8 dan INS, dan resesif autosomal untuk mutasi GCK
dan PDX1. Setiap anak dari individu dengan PNDM dominan
autosom memiliki kemungkinan 50% untuk mewarisi varian
patogen. Orang tua dari anak dengan autosom resesif PNDM adalah
heterozigot obligat dan karenanya membawa satu varian patogen.
Heterozigot untuk varian patogen pada GCK dan PDX1 memiliki
bentuk ringan diabetes mellitus yang dikenal sebagai diabetes
monogenik yang bersifat familial GCK (sebelumnya dikenal sebagai
MODY2) dan diabetes monogenik familial PDX1 (sebelumnya
dikenal sebagai MODY4). Pada saat pembuahan, setiap saudara dari
individu yang terkena memiliki peluang 25% untuk terkena, 50%
kemungkinan menjadi pembawa asimptomatik (atau memiliki
diabetes monogenik keluarga), dan peluang 25% untuk tidak
terpengaruh dan bukan pembawa11.
Diagnosis
Diagnosis prenatal untuk kehamilan dengan risiko yang lebih
tinggi adalah mungkin jika varian patogen dalam keluarga diketahui.
PNDM harus dicurigai pada individu dengan hasil laboratorium11:
1) Hiperglikemia persisten (konsentrasi glukosa plasma >150-200
mg/dL) pada bayi lebih muda dari usia enam bulan
2) Gejala khas sebagai diabetes mellitus (mis., Glukosuria,
ketonuria, hiperketonemia)
3) Insulin plasma dan C-peptida plasma yang rendah atau tidak
terdeteksi relatif terhadap hiperglikemia
4) Elastase fekal rendah dan lemak tinja tinggi pada bayi dengan
aplasia pankreas atau hipoplasia
Pengukuran HbA1c tidak cocok untuk mendiagnosis diabetes
mellitus pada bayi yang lebih muda dari usia enam bulan karena
proporsi hemoglobin janin yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Hb A. Pengujian molekuler direkomendasikan untuk
mengidentifikasi varian patogen dalam ABCC8 atau KCNJ11 dapat
memandu pengobatan11.
Tatalaksana
Pengobatan PNDM dimulai dengan rehidrasi dan infus insulin
intravena segera setelah diagnosis. Ketika bayi stabil dan
mentoleransi pemberian makanan oral, terapi insulin subkutan
diberikan. Anak-anak dengan varian patogen pada ABCC8 atau
KCNJ11 dapat diobati dengan sulfonilurea oral; semua yang lain
membutuhkan terapi insulin jangka panjang. Asupan kalori tinggi
diperlukan untuk penambahan berat badan yang tepat. Terapi
penggantian enzim pankreas diperlukan bagi mereka yang memiliki
kekurangan pankreas eksokrin11.
Pencegahan komplikasi sekunder dilakukan dengan perawatan
agresif dan pemantauan konsentrasi glukosa darah yang sering untuk
menghindari komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetikum dan
hipoglikemia serta mengurangi komplikasi jangka panjang dari
diabetes mellitus11.
Pasien PNDM yang sedang menjalani terapi perlu dilakukan
pemantauan konsentrasi glukosa darah seumur hidup setidaknya
empat kali sehari; evaluasi perkembangan berkala. Setelah usia
sepuluh tahun, perlu dilakukan skrining tahunan terhadap komplikasi
kronis diabetes mellitus termasuk urinalisis untuk mikroalbuminuria
dan pemeriksaan oftalmologi untuk retinopati. Secara umum,
penggunaan sediaan insulin kerja cepat (lispro dan aspart) serta
sediaan insulin kerja singkat (reguler) (kecuali sebagai infus
intravena atau subkutan yang terus menerus) perlu dihindari karena
dapat menyebabkan hipoglikemia berat pada anak kecil11.
c. Transient Neonatal Diabetes (TNDM)
Diabetes yang didiagnosis sebelum usia 6 bulan kemungkinan
besar adalah diabetes neonatal monogenik daripada T1DM. Sekitar
setengahnya mengalami TNDM dan diabetesnya sembuh; dan
mayoritas (~ 70%) dengan TNDM memiliki kelainan di daerah
kromosom 6q2411.
TNDM terkait 6q24 didefinisikan sebagai diabetes mellitus
neonatal transien yang disebabkan oleh ekspresi berlebih dari gen
yang dicetak pada 6q24 (PLAGL1 dan HYMAI). Gejala utamanya
adalah: retardasi pertumbuhan intrauterin yang parah, hiperglikemia
yang dimulai pada periode neonatal pada bayi cukup bulan dan
sembuh pada usia 18 bulan, dehidrasi, dan tidak terjadi ketoasidosis.
Macroglossia dan umbilical hernia sering ditemukan. Pada kelompok
anak-anak dengan varian patogen ZFP57, gejala lain dapat
mencakup kelainan struktural otak, keterlambatan perkembangan,
dan penyakit jantung bawaan. Diabetes mellitus biasanya dimulai
pada minggu pertama kehidupan dan rata-rata berlangsung tiga bulan
tetapi bisa bertahan lebih dari satu tahun. Meskipun insulin biasanya
diperlukan pada tatalaksana awal, kebutuhan akan insulin secara
bertahap menurun seiring waktu. Episode intermiten hiperglikemia
dapat terjadi pada masa kanak-kanak, terutama selama penyakit yang
terjadi berulang. Kekambuhan pada remaja lebih mirip dengan
diabetes mellitus tipe 2. Relaps pada wanita selama kehamilan
dikaitkan dengan diabetes mellitus gestasional12.
Diagnosis
Sampai saat ini pasien dengan diabetik monogenik masih sering
terjadi kesalahan dalam diagnosis. Hal ini disebabkan oleh beberapa
gejala klinis yang terkait dengan TNDM juga terlihat pada subtipe
diabetes poligenik yang umum (diabetes tipe 1 dan tipe 2), dan
keterbatasan alat diagnostik yang ada untuk mengidentifikasi kasus
monogenik. Tes C-peptide dan autoantibody dapat membantu
sampai taraf tertentu, tetapi sekitar 8% dari mereka yang menderita
diabetes tipe 1 adalah C-peptide positif, dan sekitar 18% adalah
autoantibody negatif, membuat orang-orang tersebut tidak dapat
dibedakan dari orang-orang dengan TNDM mutasi berdasarkan pada
biomarker ini saja. Berat badan lahir rendah dapat menunjukkan
adanya diabetes monogenik, akan tetapi gejala ini tidak spesifik
untuk TNDM13.
Tatalaksana
Meskipun sulfonilurea adalah pengobatan yang paling umum
untuk individu dengan 6q24 TNDM, saat ini tidak ada bukti uji coba
keunggulan obat ini dibandingkan obat antidiabetik lainnya, dan
daya tahan sulfonilurea jangka panjang masih belum diketahui.
Dalam penelitian terbaru terkait TNDM 6q24, Garcin et al
menggambarkan pengobatan sulfonilurea berhasil pada 11 pasien (4
sebelum remisi dan 7 pada fase relaps); Namun, 4 dari 7 pasien
dalam fase relaps juga memerlukan terapi oral tambahan, seperti
metformin dan sitagliptin, untuk mempertahankan kontrol
metabolisme. Hal ini mendukung efektivitas sulfonylureas pada
kasus 6q24 TNDM sampai batas tertentu, tetapi studi jangka panjang
lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi daya tahan mereka.
Meskipun demikian, diagnosis genetik masih penting karena dapat
berarti penghindaran terapi insulin yang tidak perlu14.
2. Kerusakan Monogenik pada Kerja Insulin
Monogenik yang disebabkan oleh resistensi insulin lebih jarang
dibandingkan dengan defek sel β monogenik. Biasanya timbul yang
ditandai dengan resistensi insulin tanpa obesitas, termasuk
hiperinsulinaemia, acanthosis nigricans, penyakit ovarium polikistik dan
virilisasi. Diabetes hanya berkembang ketika sel-β gagal mengimbangi
resistensi insulin7.
Mutasi pada reseptor insulin menghasilkan berbagai macam klinis dan
derajat hiperglikemia. Leprechaunism dan Rabson-Mendenhall syndrome
adalah dua sindrom pediatrik yang memiliki mutasi pada gen reseptor
insulin dengan resistensi insulin ekstrem, dysmorphism, retardasi
intrauterin yang parah, dan kematian dini. Mutasi yang lebih ringan
menghasilkan apa yang disebut sebagai sindrom resistensi insulin tipe A7.
Resistensi insulin adalah bagian dari sekumpulan gangguan
penyimpanan lipid yang ditandai oleh adanya lipodistrofi. Lipodistrofi
parsial familial adalah kondisi dominan yang ditandai oleh lipoatrofi
tungkai pada masa dewasa muda, disertai dengan hiperlipidemia dan
diabetes yang resisten insulin. Mutasi dalam pengkodean gen LMNA
untuk A / C lamin nuklir adalah faktor risiko genetik yang paling umum.
Mutasi PPARG juga menghasilkan lipodistrofi parsial yang biasanya
berhubungan dengan resistensi insulin yang parah, T2DM onset dini dan
hipertensi7.
Tatalaksana
Kontrol metabolik pada pasien dengan mutasi INSR tetap buruk dan
komplikasi diabetes jangka panjang sering terjadi. Pemakaian insulin
sensitizer dapat dicoba pada awal terapi, tetapi kebanyakan pasien
membutuhkan dosis insulin yang sangat tinggi, dengan efek terbatas.
Sebagai metode terapi alternatif untuk anak kecil, recombinant human
IGF-I telah dilaporkan memperbaiki gula darah puasa dan postprandial
walaupun efek jangka panjangnya tentang kelangsungan hidup masih
belum jelas13.
3. Penyakit pada Eksokrin Pankreas
Setiap proses yang secara difus merusak pankreas dapat menyebabkan
diabetes. Proses yang didapat termasuk pankreatitis, trauma, infeksi,
kanker pankreas, dan pankreatektomi. Selain kanker, untuk sampai
terjadi diabetes maka kerusakan pancreas harus cukup luas. Akan tetapi,
adenokarsinoma yang hanya melibatkan sebagian kecil pankreas telah
dikaitkan dengan diabetes. Ini menyiratkan mekanisme selain
pengurangan sederhana dalam massa sel β. Pada cystic fibrosis terjadi
kegagalan eksokrin pankreas dan penurunan sekresi insulin yang
menyebabkan diabetes, tetapi hubungan antara kedua defek ini belum
jelas. Pankreatopati fibrokalkulus dapat disertai dengan nyeri abdomen
dan kalsifikasi pankreas pada rontgen atau ultrasonografi dan dilatasi
duktus7.
Diabetes yang terjadi setelah penyakit pankreas (kejadian 2,59 per
100.000 orang-tahun) lebih lebih sering terjadi daripada T1DM (kejadian
1,64 per 100.000 orang-tahun). Mayoritas diabetes setelah penyakit
pankreas diklasifikasikan oleh dokter sebagai T2DM (87,8%) dan jarang
sebagai diabetes pankreas eksokrin (2,7%). Proporsi orang yang
menggunakan insulin dalam 5 tahun diagnosis adalah 4,1% untuk T2DM,
20,9% untuk diabetes setelah pankreatitis akut, dan 45,8% untuk diabetes
setelah penyakit pankreas kronis7.
Diagnosis
Diagnosis DEP (Diabetic of the Exocrine Pancreas) didasarkan pada
kriteria standar untuk diabetes mellitus: gejala klinis hiperglikemia dan
glukosa ≥ 11,1 mmol/L atau pada individu tanpa gejala dengan
setidaknya dua tes biokimia abnormal: glukosa puasa 7,0 mmol/L,
glukosa 2-jam ≥ 11,1 mmol/L setelah konsumsi glukosa oral 75 g, atau
HbA1c ≥ 6,5% (48 mmol/mol) . Tes toleransi glukosa 75 g tetap menjadi
standar emas untuk diagnosis DEP. Namun, saat ini, tidak ada konsensus
tentang apakah semua diabetes bersamaan dengan penyakit pankreas
harus dianggap sebagai DEP. Ewald dan Bretzel mengusulkan kriteria
diagnostik berikut15:
a. Terdiagnosis diabetes mellitus
b. Bukti insufisiensi eksokrin pankreas (fecal elastase 1 <200 μg / g
atau direct function testing yang tidak normal)
c. Kelainan pada pemeriksaan radiologi pancreas (ultrasonografi
endoskopi, CT-Scan dan MRI)
d. Tidak adanya penanda autoimun terkait diabetes tipe 1 (antibodies
against glutamine acid decarboxylase, islet cell antigen, atau
insulin).
Kriteria ini sangat berguna dalam menentukan diagnosis, tetapi sulit
diterapkan dalam kegiatan praktek klinis. Sensitivitas dapat menurun
karena berkurangnya fungsi eksokrin juga ditemukan di T1DM dan
T2DM. Sebaliknya, spesifisitas mungkin lebih rendah dari yang
diharapkan karena disfungsi eksokrin yang terang-terangan mungkin
tidak terbukti pada adenokarsinoma duktus pankreas. Klasifikasi lebih
rumit dengan tingginya prevalensi T2DM yang mungkin tumpang tindih
dengan DEP15.

Tatalaksana
Dalam memberikan penanganan pada kasus DAP, terapi gaya hidup
dan farmakologis harus digunakan untuk memastikan nutrisi yang
cukup, kesehatan tulang, dan kontrol glikemik. Program diet
(disesuaikan dengan status gizi), olahraga, penggunaan alkohol, dan
berhenti merokok sangat penting untuk hasil kesehatan secara
keseluruhan15.
Manajemen harus fokus pada pencegahan malnutrisi, menambah
vitamin yang larut dalam lemak jika kurang, mengurangi gejala
steatorrhea, dan mengoptimalkan kontrol glikemik. Skrining untuk
vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak dapat membantu
memastikan kekurangan nutrisi dan memantau efektivitas terapi
penggantian enzim pankreas (PERT)15.
Metformin telah terbukti mengurangi risiko adenokarsinoma duktus
pankreas dalam studi kasus-kontrol (rasio odds 0,38) dan dalam meta-
analisis studi observasional retrospektif (risiko relatif 0,63) pasien
dengan T2DM. Efek anti-neoplastik metformin mungkin disebabkan
oleh aktivasi jalur kinase hati kinase B-1-adenyl monophosphate protein
kinase, penghambat yang diketahui dari target mamalia dari rapamycin.
Metformin telah terbukti mengurangi proliferasi duktus pankreas dan
mencegah perkembangan adenokarsinoma pada model hewan15.
Penggunaan terapi increatin seperti analog GLP-1 dengan disuntikkan,
dan inhibitor dipeptidyl peptidase-4 oral, masih kontroversial pada
pasien DEP karena kemungkinan hubungannya dengan pankreatitis dan
kanker pankreas. Telah dikemukakan bahwa hubungan ini dapat
dimediasi oleh peningkatan penggunaan obat-obatan ini pada individu
yang obesitas. Meskipun jalur incretin adalah target yang menarik dalam
DEP, studi keamanan lebih lanjut diperlukan sebelum obat ini dapat
direkomendasikan15.
Sebagian besar pasien DEP membutuhkan terapi insulin dini. Pasien
harus dikonseling tentang gejala hiperglikemia dekompensasi dan
kemungkinan kebutuhan untuk perawatan insulin. Insulin mungkin
diperlukan sementara selama episode AP, selama agen oral mungkin
tidak efektif dan berpotensi berbahaya. Terapi insulin harus dimulai
dengan perhitungan dosis yang serupa dengan yang digunakan dalam
T1DM, karena banyak pasien dengan DEP menunjukkan sensitivitas
insulin perifer yang terjaga dan rentan terhadap hipoglikemia15.
4. Kelainan Endokrin
Beberapa hormon (mis. Hormon pertumbuhan, kortisol, glukagon,
epinefrin) dapat mempengaruhi kerja insulin. Penyakit yang terkait
dengan sekresi hormon yang berlebihan ini juga terkait dengan diabetes
(mis. Akromegali, sindrom Cushing, glukagonoma, dan
phaeochromocytoma). Bentuk-bentuk hiperglikemia ini biasanya sembuh
ketika kondisi yang mendasarinya yang menyebabkan kelebihan hormon
berhasil diobati. Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes,
setidaknya sebagian dengan menghambat sekresi insulin. Hiperglikemia
umumnya sembuh setelah pengangkatan tumor7.
5. Diabetes yang Diinduksi Obat atau Bahan Kimia
Banyak obat dapat merusak sekresi insulin atau aksi insulin. Obat-
obatan ini dapat memicu diabetes pada orang dengan resistensi insulin
atau disfungsi sel β sedang. Racun tertentu seperti pyrinuron (racun
tikus) dan pentamidine dapat secara permanen menghancurkan sel-sel β
pankreas. Untungnya, reaksi obat semacam itu jarang terjadi7.
6. Diabetes yang Berkorelasi dengan Infeksi
Virus tertentu telah dikaitkan dengan penghancuran sel β dan telah
terlibat dalam menginduksi atau memicu T1DM, tetapi peran mereka
dalam etiologinya tetap tidak pasti. Diabetes terjadi pada beberapa orang
dengan rubella bawaan. Selain itu, Coxsackie B dan virus seperti
cytomegalovirus, adenovirus dan gondong) telah terlibat dalam
menginduksi T1DM7.

7. Bentuk Tidak Spesifik dari Diabetes yang dimediasi Imun


Beberapa bentuk diabetes yang berhubungan dengan penyakit
imunitas khusus memiliki patogenesis atau etiologi yang berbeda dengan
yang mengarah ke T1DM. Hiperglikemia dari keparahan yang cukup
untuk memenuhi kriteria diabetes telah dilaporkan dalam kasus yang
jarang terjadi pada individu yang secara spontan mengembangkan
autoantibodi insulin. Namun, orang-orang ini umumnya hadir dengan
gejala hipoglikemia daripada hiperglikemia. "Stiff man syndrome"
adalah kelainan autoimun dari sistem saraf pusat, ditandai dengan
kekakuan otot-otot aksial dengan kejang yang menyakitkan. Orang yang
terkena biasanya memiliki titer autoantibodi GAD65 yang tinggi dan
sekitar setengahnya akan menderita diabetes. Orang yang menerima
interferon alfa dilaporkan mengalami diabetes yang berhubungan dengan
autoantibodi sel pulau dan, dalam kasus tertentu, defisiensi insulin yang
parah7.
Autoantibodi reseptor insulin dapat menyebabkan diabetes dengan
mengikat reseptor insulin, sehingga mengurangi pengikatan insulin ke
jaringan target. Namun, autoantibodi ini juga dapat bertindak sebagai
agonis insulin setelah berikatan dengan reseptor dan dengan demikian
dapat menyebabkan hipoglikemia. Autoantibodi reseptor insulin kadang-
kadang ditemukan pada pasien dengan systemic lupus erythematosus dan
penyakit autoimun lainnya. Seperti di negara-negara lain dari resistensi
insulin yang ekstrim, orang dengan autoantibodi reseptor insulin sering
memiliki acanthosis nigricans. Di masa lalu, sindrom ini disebut
resistensi insulin Tipe B7.
8. Sindrom Genetik yang Berhubungan dengan Diabetes
Banyak sindrom genetik disertai dengan peningkatan insiden diabetes. Ini
termasuk sindrom genetik yang terkait dengan obesitas awal-awal yang
parah, termasuk sindrom Prader-Willi, sindrom Alstrom dan banyak
subtipe yang didefinisikan secara genetik dari sindrom Bardet-Biedl.
Pengelompokan kedua adalah kelainan kromosom sindrom Down,
sindrom Klinefelter, dan sindrom Turner. Kelompok terakhir adalah
kelainan neurologis, terutama ataksia Friedreich, koreografi Huntington,
dan distrofi miotonik7.
G. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
Prognosis pada pasien dengan diabetes mellitus sangat dipengaruhi oleh
tingkat kontrol penyakit mereka. Pengembalian kadar glukosa normal selama
upaya untuk mencegah perkembangan penyakit adalah indikator yang baik
untuk memperlambat progresi penyakit, dan dikaitkan dengan prognosis yang
baik16.
Dalam perjalanan penyakit DM dapat menimbulkan bermacam-macam
komplikasi yaitu komplikasi akut dan kronik. Ketoasidosis diabetikum
(KAD), keadaan hiperosmolar hiperglikemik, asidosis laktat, dan
hipoglikemia adalah komplikasi diabetes akut dan berpotensi mengancam
jiwa17.
KAD disebabkan oleh rendahnya level dari sirkulasi insulin yang efektif
dan peningkatan bersamaan dari tingkat hormon yang berlawanan, seperti
glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Kombinasi ini
menyebabkan perubahan katabolik dalam metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein. Pemanfaatan glukosa yang terganggu dan peningkatan produksi
glukosa oleh hati dan ginjal menyebabkan hiperglikemia17.
Komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular merupakan komplikasi
kronis dari diabetes Komplikasi makrovaskular terutama didasari oleh karena
adanya resistensi insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskular lebih
disebabkan oleh hiperglikemia kronik. Kerusakan vaskular ini diawali dengan
terjadinya disfungsi endotel akibat proses glikosilasi dan stress oksidatif pada
sel endotel18.
Disfungsi endotel memiliki peranan penting dalam mempertahankan
homeostasis pembuluh darah. Untuk memfasilitasi hambatan fisik antara
dinding pembuluh darah dengan lumen, endotel menyekresikan sejumlah
mediator yang mengatur agregasi trombosit, koagulasi, fibrinolisis, dan tonus
vaskular. Istilah disfungsi endotel mengacu pada kondisi dimana endotel
kehilangan fungsi fisiologisnya seperti kecenderungan untuk meningkatkan
vasodilatasi, fibrinolisis, dan antiagregasi. Sel endotel mensekresikan
beberapa mediator yang dapat menyebabkan vasokontriksi seperti endotelin-a
dan tromboksan A2, atau vasodilatasi seperti nitrik oksida (NO), prostasiklin,
dan endotheliumderived hyperpolarizing factor. NO memiliki peranan utama
pada vasodilatasi arteri18.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. 2014. Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diabetes care. 37:81-90
2. Datu, AR. 2014. Diktat Abdomen. Bagian Anatomi Fak. Kedoteran
Universitas Hasanuddin. Makassar
3. Fox, SI. 2011. Human Physiology Twelfth Edition. McGwar-Hill
Companies. New York.; 634-635
4. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Edisi 8. EGC.
Jakarta; 666-668
5. Mekala, KC., Bertoni, AG. 2020. Epidemiology of diabetes mellitus.
Transplantation, Bioengineering, and Regeneration of the Endocrine
Pancreas. 1:49-58
6. Farouhi, NG., Wareham, NJ. 2014. Epidemiology of diabetes. Medicine.
42(12):698-702
7. World Health Organization. 2019. Classification of Diabetes Mellitus:
Geneva. Switzerland
8. Baynest, HW. 2015. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and
Management of Diabetes Mellitus. Journal of Diabetes and Metabolism.
6(5):1-9
9. Convantev, S., Chiriac, A., Perciuleac, L., Zozina, V. 2016. Maturity onset
diabetes of the young: Diagnosis and treatment options. Russian Open
Medical Journal. 5(4): 1-7
10. Thanabalasingham, G., Owen, KR. 2011. Diagnosis and management of
maturity onset diabetes of the young (MODY). BMJ. 343:1-9
11. Leon, DDD., Stanley, CA. 2016. Permanent Neonatal Diabetes Mellitus.
GeneReviews. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/ (diakses pada tanggal
21/7/2020)
12. Docherty, LE., dkk. 2013. Clinical presentation of 6q24 transient neonatal
diabetes mellitus (6q24 TNDM) and genotype–phenotype correlation in an
international cohort of patients. Diabetologia. 56:758–762
13. Hattersley, AT., dkk. 2018. ISPAD Clinical Practice Consensus
Guidelines 2018: The diagnosis and management of monogenic diabetes
in children and adolescents. Pediatric Diabetes October. 19(27): 47–63
14. Novak, A., dkk. 2020. Transient Neonatal Diabetes: An Etiologic Clue for
the Adult Diabetologist. Canadian Journal of Diabetes. 44: 128-130
15. Wynne, K., Devereaux, B., Dornhorst, A. 2019. Diabetes of the Exocrine
Pancreas. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 34: 346–354
16. Albers, JW, dkk. 2010. Effect of Prior Intensive Insulin Treatment During
the Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) on Peripheral
Neuropathy in Type 1 Diabetes During the Epidemiology of Diabetes
Interventions and Complications (EDIC) Study. Diabetes Care. 33(5):
1090-1096
17. Rewers, A. 2016. Acute Metabolic Complications in Diabetes. Diabetes in
America. 3:1-19
18. Decroli, E. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK Univ Andalas: Padang

Anda mungkin juga menyukai