Anda di halaman 1dari 21

MIGRAIN

Rahma Nur Zakia Herman, Happy Handaruwati

A. PENDAHULUAN
Nyeri kepala merupakan salah satu gejala yang paling sering ditemui
dalam praktik dokter umum, dengan tingkat konsultasi 4,4 dari 100 pasien. Di
Inggris, gejala nyeri kepala merupakan 22% penyebab rujukan ke spesialis
neurologi. Nyeri kepala primer biasanya bersifat paroksismal, namun 3%
populasi umum memiliki nyeri kepala primer yang bersifat kronis.1
Nyeri kepala kronis adalah nyeri pada kepala berdurasi lebih dari 15
hari dalam sebulan dan dirasakan lebih dari 3 bulan. Kondisi ini sering terjadi,
mengenai 5% populasi umum dan berpotensi menyebabkan disabilitas.
Tension type headache kronis dan migren adalah dua jenis nyeri kepala yang
paling sering ditemui, baik pada praktik dokter umum maupun klinik
spesialis.1
. Insidens nyeri kepala pada anak dan remaja berkisar antara 20% sampai
55%. Prevalensinya meningkat pada anak menjelang remaja, 75% pada anak
usia 15 tahun dan 40% pada anak usia 7 tahun.2 Suatu penelitian di New York
mendapatkan nyeri kepala pada laki laki sebanyak 22% dan perempuan 78%.
Dilain pihak, dari suatu penelitian berbasis populasi di Singapura diperoleh
hasil penderita nyeri kepala pada laki laki 47% dan pada perempuan 53%
dengan perbedaan suku: Cina 79%, Melayu 14%, India 6% dan lainnya 1%.
Di Indonesia dari penelitian di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta periode
Januari sampai dengan Mei 1986 didapatkan 17,4% pasien baru dengan
keluhan utama nyeri kepala.3
Dalam hasil penelitian multisenter berbasis rumah sakit pada 5 rumah
sakit besar di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai
berikut: Migren tanpa aura 10%, Migren dengan aura 1,8%, Episodik Tension
type Headache 31%, Chronic tension type Headache 24%, Cluster Headache
0,5%, Mixed Headache 14% (Sjahrir, 2004). Di RSUP Dr. Kariadi Semarang,
oleh Tjipto.H (1993) dilaporkan dari 551 kasus nyeri kepala di Poliklinik
Saraf 10,16% merupakan penderita dengan sindroma migren, Kalianda B

1
(1988) mendapatkan kasus migren sebesar 10.55% dari 788 penderita baru
nyeri kepala di RS Hasan Sadikin, dan Sugeng (1983) mendapatkan 110
kasus dengan nyeri kepala vaskuler tipe migren dari 916 penderita baru nyeri
kepala di RSUD Dr. Soetomo.2
Migren dialami oleh lebih dari 28 juta orang di seluruh dunia. Migren
diperkirakan prevalensinya di dunia mencapai 10%; wanita lebih banyak dari
pada pria. Beberapa studi menunjukkan bahwa prevalensi seumur hidup
(lifetime prevalence) pada wanita sebesar 25%, sedangkan pada pria hanya
sebesar 8%. Usia penderita migren terbanyak sekitar 25-55 tahun. Total biaya
langsung dan tak langsung (direct and indirect costs) diperkirakan 5,6 hingga
17,2 milyar dolar Amerika berdasarkan hilangnya waktu kerja dan
produktivitas akibat migren. Migren menduduki peringkat ke-19 diantara
semua penyakit penyebab hendaya (disability) atau cacat di dunia, dan
peringkat ke-12 diantara wanita di seluruh dunia.2
Migrain adalah suatu kondisi kronik dengan serangan yang bersifat
episodik tanpa adanya ancaman kehidupan, tetapi keadaan ini dapat
mempengaruhi fungsi dan kesehatan sebagai akibat langsung serangan dan
efek jangka panjang dapat berpengaruh pada prestasi, kesuksesan kerja,
produktifitas, kesehatan mental, hubungan keluarga dan sosial. 9 Faktor risiko
yang berhubungan bermakna dengan migrain adalah jenis kelamin, umur, dan
adanya distres; sedangkan komorbiditas migrain bermakna dengan penyakit
jantung koroner.11
Oleh sebab itu, penanganan migrain sebaiknya dilakukan secara
holistik yaitu mengenali dan menghindari faktor pencetus migrain dan
melakukan pengobatan. Pengobatan migrain dapat dilakukan dengan berbagai
cara antara lain pengobatan dengan obat antinyeri (analgetik) yang berfungsi
mengurangi rasa sakit dan dikonsumsi saat timbul serangan migrain,
pengobatan dengan obat pencegahan (preventif) yang berfungsi untuk
mengurangi frekuensi atau mencegah terjadinya migrain sehingga frekuensi
migrain berkurang dengan dikonsumsi secara teratur/dikonsumsi setiap hari.9

2
B. DEFINISI
Istilah migrain berasal dari kata yunani yang berarti ’sakit kepala
sesisi’. Memang pada 2/3 penderita migrain nyerinya dirasakan secara
unilateral, tetapi pada 1/3 sisanya dinyatakan pada kedua belah sisi secara
bergantian dan tidak teratur.5 Migren merupakan gangguan nyeri kepala
berulang, serangan berlangsung selama 4-72 jam dengan karakteristik khas:
berlokasi unilateral, nyeri berdenyut (pulsating), intensitas sedang atau berat,
diperberat oleh aktivitas fisik rutin, dan berhubungan dengan mual dan/atau
fotofobia serta fonofobia.4
Secara umum migrain dibagi menjadi dua, yaitu migrain dengan aura
dan migrain tanpa aura. Migrain dengan aura disebut juga sebagai migrain
klasik. Diawali dengan adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual,
kemudian diikuti nyeri kepala unilateral, mual, dan kadang muntah, yang
terjadi berurutan serta manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih dari 60
menit yaitu sekitar 5-20 menit. Migrain tanpa aura disebut juga sebagai
migrain umum. Sakit kepalanya hampir sama dengan migrain dengan aura.
Nyerinya pada salah satu bagian sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan
disertai mual, fotofobia (sensitif terhadap cahaya) dan fonofobia (sensitif
terhadap suara). Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam.6
C. EPIDEMIOLOGI
Migrain pada wanita terjadi 3 kali lebih sering dari pada pria,
migrain bisa dikatakan merupakan penyakit kronis yang paling umum
terjadi pada wanita, rasa sakit biasanya dideskripsikan “sakit” dan “sangat
sakit” oleh 60%-80% penderita migrain. WHO menyatakan migrain
merupakan satu penyakit yang paling menyebabkan disabilitas (Daniel
MD, 2010).7
Prevalensi migrain adalah 18% lebih sering terjadi pada wanita dan
6% terjadi pada pria, awitan sering terjadi di usia belasan dengan
prevalensi puncak pada usia 35-45 tahun. Umumnya penyebab migrain
disebabkan oleh beberapa faktor seperti hormon, nutrisi, cuaca, stres,
tekanan, emosional, masalah sensori (asap rokok, parfum dan lain- lain),
kurang tidur, tidur berlebihan, kelelahan dan aktivitas fisik. Serangan

3
migrain kebanyakan disebabkan oleh berbagai faktor yang beragam. Sekitar
tiga sampai empat penderita melaporkan bahwa migrain yang mereka
alami disebabkan oleh faktor yang spesifik, terkadang penyebab muncul
secara bersamaan, seperti stres, kurang tidur, dan menstruasi.7
Migrain pada anak dan remaja biasanya terjadi secara relatif. 20%
pasien migrain mengalami migrain pertama mereka sebelum berusia lima
tahun, sekitar 5% anak usia prasekolah, 4-11% anak usia sekolah dasar, dan
hampir dialami oleh sekitar 23% remaja dan dewasa muda.7
D. ANATOMI
Cranium atau tulang tengkorak adalah sekumpulan tulang yang saling
berhubungan satu sama lain yang di dalamnya terdapat cavum cranii yang
berisi otak atau encephalon. Cranium dibagi menjadi neurocranium dan
viscero-cranium, yang melindungi otak adalah neurocranium dan yang
membentuk tulang wajah adalah viscerocranium. Disebelah profunda dari
cranium terdapat lembaran jaringan ikat yang juga berfungsi melindungi otak
disebut meninges yang terdiri dari atas 3 lapis yaitu duramater,
arachnoidmater, dan piamater. Selain itu kulit kepala, otot, tendon, dan
jaringan ikat atau fascia kepala yang letaknya lebih superficial juga ikut
berperan dalam melindungi otak. 12
Dari semua struktur cranium tersebut, ada yang memiliki reseptor
peka nyeri dan ada yang tidak memiliki reseptor nyeri. Yang memiliki
reseptor nyeri dibagi menjadi struktur peka nyeri ekstrakranial dan
intrakranial. Struktur peka nyeri ekstrakranial antara lain kulit kepala, otot
kepala, tendon, fascia, arteri ekstrakranial, periosteum, sinus paranasalis,
rongga hidung, rongga orbita, dan nervus cervicalis (C2 dan C3). Sedangkan
struktur peka nyeri intracranial antara lain sinus venosus (sinus sagitalis),
duramater, arteri meningea media, nervus cranialis (trigeminus, facialis,
glossofaringeus, dan vagus), dan arteri sirkulus Willisi. Sedangkan struktur
kranial yang tidak peka nyeri antara lain tulang kepala, parenkim otak,
ventrikel, dan plexus choroideus.12

4
Gambar 1. Nervus Trigeminus14

Apabila terjadi rangsangan yang melibatkan reseptor peka nyeri pada


struktur cranium maka akan menyebabkan nyeri kepala atau cephalgia. Jika
nyeri kepala melibatkan struktur di dua per tiga fossa cranium anterior
(supratentorium) maka nyeri akan diproyeksikan ke daerah frontalis,
temporalis, dan parietalis yang diperantarai oleh nervus trigeminal, dan jika
nyeri kepala melibatkan struktur di daerah fossa cranii posterior
(infratentorial) maka nyeri akan diproyeksikan ke daerah occipitalis, leher,
dan belakang telinga yang diperantarai oleh nervus cervicalis atas C1, C2,
dan C3.12
Nyeri kepala dipengaruhi oleh nukleus trigeminoservikalis yang
merupakan nosiseptif yang penting untuk kepala, tenggorokan dan leher
bagian atas. Semua aferen nosiseptif dari saraf trigeminus, fasial,
glosofaringeus, vagus, dan saraf dari C1 - C3 beramifikasi pada grey matter
area ini. Nukleus trigeminoservikalis terdiri dari tiga bagian yaitu pars oralis
yang berhubungan dengan transmisi sensasi taktil diskriminatif dari regio
orofasial, pars interpolaris yang berhubungan dengan transmisi sensasi taktil
diskriminatif seperti sakit gigi, pars kaudalis yang berhubungan dengan
transmisi nosiseptif dan suhu.12

5
Terdapat over lapping dari proses ramifikasi pada nukleus ini seperti
aferen dari C2 selain beramifikasi ke C2, juga beramifikasi ke C1 dan C3.
Selain itu, aferen C3 juga akan beramifikasi ke C1 dan C2. Hal ini lah yang
menyebabkan terjadinya nyeri alih dari pada kepala dan leher bagian atas.12 
Nyeri alih biasanya terdapat pada oksipital dan regio fronto orbital
darikepala dan yang jarang adalah daerah yang dipersarafi oleh nervus
maksiliaris dan mandibularis. Ini disebabkan oleh aferen saraf tersebut tidak
atau hanya sedikit yang meluas ke arah kaudal. Lain halnya dengan saraf
oftalmikus dari trigeminus. Aferen saraf ini meluas ke pars kaudal.12
Saraf trigeminus terdiri dari 3 yaitu V1, V2, dan V3. V1 , oftalmikus,
menginervasi daerah orbita dan mata, sinus frontalis, duramater dari fossa
kranial dan falx cerebri serta pembuluh darah yang berhubungan dengan
bagian duramater ini.12
V2, maksilaris, menginervasi daerah hidung, sinus paranasal, gigi
bagian atas, dan duramater bagian fossa kranial medial. V3, mandibularis,
menginervasi daerah duramater bagian fossa cranial medial, rahang bawah
dan gigi, telinga, sendi temporomandibular dan otot menguyah.12
Selain saraf trigeminus terdapat saraf kranial VII, IX, X yang
innervasi meatus auditorius eksterna dan membran timfani. Saraf kranial IX
menginnervasi rongga telinga tengah, selain itu saraf kranial IX dan X
innervasi faring dan laring.12

Gambar 1. Sistem Trigeminovascular13

6
Saraf servikalis yang terlibat dalam sakit kepala adalah C1, C2, dan
C3. Ramus dorsalis dari C1 menginnervasi otot suboccipital triangle -
obliquus superior, obliquus inferior dan rectus capitis posterior major dan
minor. Ramus dorsalis dari C2 memiliki cabang lateral yang masuk ke otot
leher superfisial posterior, longis simus capitis dan splenius sedangkan
cabang besarnya bagian medial menjadi greater occipital nerve. Saraf ini
mengelilingi pinggiran bagian bawah dari obliquus inferior, dan balik ke
bagian atas serta ke bagian belakang melalui semispinalis capitis, yang mana
saraf ini di suplai dan masuk ke kulit kepala melalui lengkungan yang
dikelilingi oleh superior nuchal line dan the aponeurosis of trapezius. Melalui
oksiput, saraf ini akan bergabung dengan saraf lesser occipital yang mana
merupakan cabang dari pleksus servikalis dan mencapai kulit kepala melalui
pinggiran posterior dari sternokleidomastoid. Ramus dorsalis dari C3
memberi cabang lateral ke    longissimus capitisda n splenius. Ramus ini
membentuk 2 cabang medial. Cabang superfisial medial adalah nervus
oksipitalis ketiga yang mengelilingi sendi C2-3 zygapophysial bagian lateral
dan posterior. 12
Pada nyeri kepala migraine, walaupun patomekanisme defek anatomi
belum dapat ditentukan secara pasti, diyakini bahwa adanya perangsangan
pada saraf yang hiperaktif dan pembuluh darah yang berdilatasi di
intracranial, memicu pengeluaran sitokin proinflamasi yang merangsang
reseptor nyeri intracranial dan di perivaskular (nervus trigeminus), yang
kemudian dipersepsikan sebagai nyeri kepala unilateral daerah
frontotemporal dengan kualitas yang berdenyut.12
E. ETIOPATOFISIOLOGI
Ada banyak hipotesis tentang migren. Hipotesis neurovaskular
menyatakan bahwa migren adalah kepekaan sistem trigeminal vaskular
yang diturunkan. Depresi menyebar (spreading depression, SD), suatu
bentuk self propagating front of depolarization yang dihubungkan dengan
penurunan aktivitas bioelektrik persarafan selama beberapa menit,
dikemukakan berperan penting dalam induksi fase aura. SD tampaknya
bertanggung jawab menimbulkan nyeri dan gejala-gejala lain. SD dan aura

7
dapat disebabkan oleh kadar glutamat abnormal pada individu rentan. Hal
ini berbeda pada fase awal migren tanpa aura, dimana platelet activating
factor (PAF) dilepaskan dari platelet dan leukosit, menyensitisasi trigeminal
vascular endings. Riset terbaru membuktikan bahwa amina, seperti tiramin
dan oktopamin, berperan penting dalam patogenesis migren. Trace amine
receptors (TAARs) dijumpai di berbagai jaringan dan organ, termasuk area
otak yang spesifik, seperti rinensefalon, sistem limbik, amigdala,
hipotalamus, sistem ekstrapiramidal, dan locus coeruleus. 4
Mekanisme utama yang mendasari terjadinya migren meliputi teori
biologis, psikologis, dan psikofisiologis. Teori-teori biologis berfokus pada
mekanisme serebrovaskular dan menekankan peran agen-agen biokimiawi
(misalnya, serotonin, histamin, dan katekolamin) yang berperan pada
kejadian pemicu nyeri kepala. Teori-teori psikologis memusatkan pada
hubungan berbagai variabel psikologis (misalnya, kekhususan emosional,
faktor psikodinamis, kepribadian, stres, kondisi kejiwaan, penguatan atau
reinforcement) dan kecenderungan terhadap migren. Teori psikofisiologis
menekankan peran potensial ‘stres’ dan berusaha menjelaskan mekanisme
spesifik stres yang memicu nyeri kepala. Tidak ada teori tunggal yang dapat
menjelaskan terjadinya migren, teori yang berlaku sekarang adalah
berdasarkan suatu hyperexcitable ”trigeminovascular complex” pada
penderita yang secara genetis cenderung menderita migren. 4
Pemicu serangan migren akut bersifat multifaktorial, meliputi faktor
hormonal (menstruasi, ovulasi, kontrasepsi oral, penggantian hormon), diet
(alkohol, daging glutamat, aspartam, cokelat, keju yang sudah lama/basi,
tidak makan, puasa, minuman mengandung kafein), psikologis (stres,
kondisi setelah stres/liburan akhir minggu, cemas, takut, depresi),
lingkungan fisik (cahaya menyilaukan, cahaya terang, stimulasi visual,
sinar berpendar/ berpijar, bau yang kuat, perubahan cuaca, suara bising,
ketinggian, mandi keramas), faktor yang berkaitan dengan tidur (kurang
tidur, terlalu banyak tidur), faktor yang berkaitan dengan obat-obatan
(atenolol, kafein, simetidin, danazol, diklofenak, estrogen, H2-receptor
blockers, histamin, hidralazin, indometasin, nifedipin, nitrofurantoin,

8
nitrogliserin, etinil estradiol, ranitidin, reserpin), dan faktor lainnya (trauma
kepala, latihan fisik, kelelahan). 4
Teori vasogenik menghipotesiskan bahwa terjadinya vasokonstriksi
intrakranial dapat menimbulkan aura dan vasodilatasi reaktif yang akan
menyebabkan nyeri kepala. Hal ini diperkuat oleh adanya bukti bahwa aura
visual dapat diatasi sementara dengan menggunakan vasodilator amyl
nitrate. Peningkatan amplitudo pulsasi arteri temporal superfisial
memperburuk nyeri kepala, dan dengan pemberian vasokonstriktor
ergotamin akan memperkecil amplitudo.6
Vasokonstriksi terjadi saat fase prodormal. Hal ini dapat
menimbulkan aura atau tidak. Karena terjadi vasokonstriksi maka otak akan
memunculkan sinyal bahwa otak kekurangan oksigen. Selanjutnya terjadi
vasodilatasi. terlalu besar sehingga pembuluh darah menjadi permeabel dan
menyebabkan kebocoran plasma juga produksi neuropeptida seperti
substansi P dan calcitonin generelated peptide (cGRP). Neuropeptida ini
merangsang nosiseptor kranial sehingga menimbulkan rasa nyeri dan
berdenyut.6
Inflamasi neurogenik yang terjadi berulang akan merangsang
nosiseptor kranial secara berulang juga dan kemudian menurunkan ambang
aktivasinya dan memperluas jarak reseptifnya. Serangan nyeri berulang
menghasilkan hiperalgesia atau penurunan ambang nyeri.6
Terdapat teori lain yaitu teori neurovaskular dan neurokimia dimana
pada saat serangan migrain terjadi, nervus trigeminus mengeluarkan CGRP
(Calcitonin Gene-related Peptide) dalam jumlah besar. Hal inilah yang
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga
menimbulkan nyeri kepala.6

9
Gambar 3. Mekanisme terjadinya Migrain15
CGRP adalah peptida yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator
poten. Aksi keja CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan CGRP
2. Pada prinsipnya, penderita migrain yang sedang tidak mengalami serangan
mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral, terutama di
korteks oksipital, yang diketahui dari studi rekaman MRI (magnetic
resonance imaging) dan stimulasi magnetik transkranial.6
Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migrain menjadi rentan
mendapat serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para pengidap
epilepsi. Hal ini diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migrain, sering
terjadi alodinia (hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut
tersensitisasi saat episode migrain. Mekanisme migrain berwujud sebagai
refleks trigeminal vaskular yang tidak stabil dengan cacat segmental pada
jalur nyeri. Cacat segmental ini yang memasukkan rangsang aferen secara
berlebihan yang kemudian akan terjadi dorongan pada kortikobular yang
berlebihan. Adanya rangsangan aferen pada pembuluh darah, maka
menimbulkan nyeri berdenyut.6

10
F. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum terdapat 4 fase gejala, meskipun tak semua penderita
migren mengalami keempat fase ini. Keempat fase tersebut adalah fase
prodromal, aura, serangan, dan postdromal.
1. Fase Prodromal
Gejala pada fase prodromal terjadi pada 40-60% penderita migren.
Fase ini dapat berlangsung selama beberapa jam, bahkan dapat 1-2 hari
sebelum serangan.5
Gejalanya antara lain: 5
a. Psikologis: depresi, hiperaktivitas, euforia (rasa gembira yang
berlebihan), banyak bicara (talkativeness), sensitif atau iritabel,
gelisah, rasa mengantuk atau malas. 5
b. Neurologis: sensitif terhadap cahaya dan/atau bunyi (fotofobia &
fonofobia), sulit berkonsentrasi, menguap berlebihan, sensitif
terhadap bau (hiperosmia). 5
c. Umum: kaku leher, mual, diare atau konstipasi, mengidam atau nafsu
makan meningkat, merasa dingin, haus, merasa lamban, sering
buang air kecil. 5
2. Fase Aura
Terjadi pada 20-30% penderita migren yang menderita migren
dengan aura, aura terdiri dari focal neurological phenomena yang
mendahului atau bersamaan dengan serangan. Aura nampak secara
berangsur-angsur 5-20 menit dan biasanya berlangsung kurang dari 60
menit. Fase serangan migren pada umumnya di mulai dalam 60 menit
tahap akhir dari aura, tetapi kadang-kadang tertunda sampai beberapa
jam, dan dapat hilang seluruhnya. Gejala aura dari migren dapat berupa
visual, berhubungan dengan sensorik, atau motorik.5
Beberapa gejala neurologis dapat muncul bersamaan dengan
timbulnya aura. Gejala-gejala ini umumnya: gangguan bicara, kesemutan,
rasa baal, rasa lemah pada lengan dan tungkai bawah, gangguan persepsi
penglihatan seperti distorsi terhadap ruang, dan kebingungan
(confusion).5

11
3. Fase Serangan
Tanpa pengobatan, serangan migren umumnya berlangsung antara
4-72 jam. Migren yang disertai aura disebut sebagai migren klasik.
Sedangkan migren tanpa disertai aura merupakan migren umum
(common migraine). Gejala-gejala yang umum adalah:
a. Nyeri kepala satu sisi yang terasa seperti berdenyut-denyut atau
ditusuk-tusuk. Nyeri kadang-kadang dapat menyebar sampai terasa di
seluruh bagian kepala
b. Nyeri kepala bertambah berat bila melakukan aktivitas
c. Mual, kadang disertai muntah
d. Gejala gangguan penglihatan dapat terjadi
e. Wajah dapat terasa seperti baal atau kebal, atau semutan
f. Sangat sensitif terhadap cahaya dan bunyi (fotofobia dan fonofobia)
g. Wajah umumnya terlihat pucat, dan badan terasa dingin
h. Terdapat paling tidak 1 gejala aura (pada migren klasik), yang
berkembang secara bertahap selama lebih dari 4 menit. Nyeri kepala
dapat terjadi sebelum gejala aura atau pada saat yang bersamaan.
4. Fase Postdromal
Setelah serangan migren, umumnya terjadi masa postdromal,
dimana pasien dapat merasa kelelahan (exhausted) dan perasaan seperti
berkabut.4 Selain itu juga pasien mengalami penurunan konsentrasi,
perubahan mood
Pada waktu serangan, vena-vena di dahi dan pelipis tampak
dengan jelas. Hampir semua penderita migrain merasakan mual ketika
diserang nyeri dan sebagian disertai dengan muntah-muntah juga.
Diantaranya (20%) mendapatkan diare satu sampai beberapa kali dengan
tinja yang encer atau tinja yang berupa cairan. Sebelum, seketika atau
setelah serangan, banyak penderita mengeluh adanya manifestasi retensi
air, sepertu dema wajah, kelopak mata, pelipis dan jari-jari.5

G. KRITERIA DIAGNOSIS

12
1) Migrain tanpa aura
a) Sekurang-kurangnya 10 kali serangan termasuk B-D
b) Serangan nyeri kepala berlangsung antara 4-72 jam (tidak diobati atau
pengobatan tidak adekuat) dan diantara serangan tidak ada nyeri
kepala
c) Nyeri kepala yang terjadi sekurang-kurangnya dua dari karakteristik
sebagai berikut:
1. Lokasi unilateral
2. Sifatnya berdenyut
3. Intensitas sedang sampai berat
4. Diperberat dengan kegiatan fisik
d) Selama serangan sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut di
bawah ini:
1. Mual atau dengan muntah
2. Fotofobia atau dengan fonofobia
e) Sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut di bawah ini:
1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan
adanya kelainan organik4
Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik diduga adanya kelainan
organik, tetapi pemeriksaan neuro imaging dan pemeriksaan tambahan
lainnya tidak menunjukkan kelainan.
2) Migrain dengan aura
a) Sekurang-kurangnya 2 serangan seperti tersebut dalam B
b) Sekurang-kurangnya terdapa 3 dari 4 karakteristik tersebut dibawah
ini:
1. Satu atau lebih gejala aura yang reversible yang menunjukkan
disfungsi hemisfer dan/atau batang otak
2. Sekurang-kurangnya satu gejala aura berkembang lebih dari 4
menit, atau 2 atau lebih gejala aura terjadi bersama-sama
3. Tidak ada gejala aura yang berlangsung lebih dari 60 menit; bila
lebih Dari satu gejala aura terjadi, durasinya lebih lama

13
4. Nyeri kepala mengikuti gejala aura dengan interval bebas nyeri
kurang Dari 60 menit, tetapai kadang-kadang dapat terjadi sebelum
aura4
c) Sekurang-kurangnya terdapat satu dari yang tersebut dibawah ini:
1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan
adanya kelainan organik.
2. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik diduga adanya kelainan
organik, tetapi pemeriksaan neuro imaging dan pemeriksaan
tambahan lainnya tidak menunjukkan kelainan.4
H. DIAGNOSIS BANDING
Migrain dapat didiagnosis banding dengan penyakit cephalgia
lainnya, seperti :
1. Tension Type Headache
Tension-type Headache ( TTH) adalah nyeri kepala bilateral yang
menekan (pressing/ squeezing), mengikat, tidak berdenyut, tidak
dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas fisik, bersifat ringan
hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan/ atau muntah, serta
disertai fotofobia atau fonofobia.8
TTH dibedakan menjadi tiga subklasifikasi:
a. TTH episodik yang jarang (infrequent episodic): 1 serangan per bulan
atau kurang dari 12 sakit kepala per tahun.
b. TTH episodik yang sering (frequent episodic): 1-14 serangan per
bulan atau antara 12 dan 180 hari per tahun.
c. TTH menahun (chronic): lebih dari 15 serangan atau sekurangnya 180
hari per tahun.
2. Cluster Headache
Sakit kepala ini dikenal sebagai ‘red migrain’ karena pada waktu
serangan sakit kepala wajah pada sisi yang nyeri tampak merah. Nyeri
kepala ini timbul secara berkala dan pada satu sisi saja. Penderitanya
kebanyakan terdiri dari kaum pria, dengan perbandingan 7:1 terhadap
wanita, yang tergolong dalam kelompok usia 40-55 tahun.5

14
Faktor keturunan tidak dapat dibuktikan, akan tetapi diantara para
penderita terdapat orang-orang yang juga menderita migrain. Walaupun
namanya cluster headache, namun nyeri yang dirasakan ialah di wajah,
yaitu di pipi, lubang hidung, langit-langit dan gusi.5
3. Post Traumatic Headache
Post-traumatic headache (PTH) mengenai jutaan manusia setiap
tahunnya dan merupakan keluhan umum dari sindroma postconcusio.
Post- traumatic haedache (PTH) didefinisikan sebagai sakit kepala baru,
yang dimulai setelah cedera kepala atau cedera leher dan kemungkinan
cedera otak. Sakit kepala yang dihubungkan dengan cedera otak
umumnya sebentar tapi bisa menetap berbulan-bulan atau tahun setelah
kejadian. Post- traumatic headache (PTH) akut umumnya hilang dalam
waktu minggu dan sasaran penting saat ini adalah diagnosis untuk setiap
patologi serebral dan leher yang dapat diterapi, termasuk fraktur vertebra
servikalis dan perdarahan intrakranial. Bila PTH menetap melebihi 3
bulan, disebut sebagai PTH kronis dan yang menjadi masalah utama
adalah managemen nyeri dan masalah psikososial.10
International Headache Society (IHS) telah menguraikan tipe-tipe dari
PTH :
1) PTH akut (ringan-sedang-berat)
2) PTH kronis (ringan- sedang-berat)
3) Sakit kepala akut dihubungkan akibat adanya sentakan
4) Sakit kepala kronis dihubungkan dengan sentakan
5) Sakit kepala dihubungkan dengan hematoma intracranial
6) Sakit kepala yang dihubugkan dengan trauma leher atau kepala
lainnya
7) Sakit kepala setelah kraniotomi. Sakit kepala ini mempunyai
karakteristik yang bervariasi dan mungkin menyerupai migrain,
cluster headache, atau sakit kepala tipe tension.10
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dll (atas indikasi, untuk
menyingkirkan penyebab sekunder)

15
2. CT scan kepala/MRI kepala (untuk menyingkirkan penyebab sekunder)
Neuroimaging diindikasikan pada :
a. Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup
penderita.
b. Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis pada
migren.
c. Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
d. Sakit kepala yang progresif atau persisten
e. Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren
tanpa aura atau hal-hal lain yang memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut.
f. Defisit neurologis yang persisten.
g. Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan dengan
gejala-gejala neurologis yang kontralateral.
h. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin.
i. Gejala klinis yang tidak biasa.
J. PENATALAKSANAAN
Secara umum dibedakan menjadi terapi farmakologis dan
nonfarmakologis. Terapi farmakologis termasuk simtomatis, abortif, dan
pencegahan (proflaktik). Tidak perlu resep obat dokter bila serangan migren
jarang- jarang dan dengan mudah dihilangkan dengan tidur. Untuk sebagian
besar penderita, terapi simtomatis atau abortif saja sudah cukup. Untuk
episode yang sering, diperlukan terapi kombinasi antara simtomatis, abortif,
dan profilaktik. Seorang klinisi hendaknya memahami terapi yang tepat dan
efektif untuk penderita migren.4
Pengobatan penderita migren dengan penyerta/komorbiditas juga
memerlukan perhatian, misalnya migren pada wanita hamil, migren dengan
depresi, migren dengan hipertensi, migren dengan asma. Untuk wanita hamil
setelah trimester pertama, steroid merupakan obat yang paling aman untuk
mengakhiri serangan. Contoh lainnya, memberikan beta-bloker, antagonis
kalsium, atau angiotensin receptor blocker (ARB) untuk penderita migren
berat dengan hipertensi, atau antidepresan trisiklik untuk penderita migren

16
dengan depresi atau yang sulit tidur, dapat memberikan manfaat bagi kedua
kondisi medis (migren dan penyertanya). Obat tertentu perlu diperhatikan,
seperti beta-bloker pada penderita depresi, asma, dan hipotensi, atau carbonic
anhydrase inhibitor membrane stabilisers (topiramat dan zonisamid) pada
penderita dengan batu ginjal.4
Secara umum, direkomendasikan tiga lini terapi. Pemilihan obat
bergantung pada indikasi, pengalaman klinisi, cost-effectiveness, efek
samping, waktu paruh, keterjangkauan, dan ketersediaan obat.4
Terapi lini pertama menggunakan antiemetik oral atau intravena,
parasetamol, asam asetil salisilat (ASA), NSAID (ibuprofen, naproksen,
diklofenak), fenotiazin, di-hidroergotamin (DHE) intranasal atau subkutan,
naratriptan, rizatriptan, atau zolmitriptan. Terapi lini kedua menggunakan
antiemetik (intravena), NSAID (mis., ketorolak intramuskular), sumatriptan
(subkutan), ergotamin, haloperidol, lidokain intranasal, opiat intranasal,
kortikosteroid, fenotiazin, atau opiat. Terapi lini ketiga menggunakan
sumatriptan (intranasal), fenotiazin intraven a, barbiturat. Tiga lini terapi
migren di atas secara umum dapat dikelompokkan lagi menjadi terapi akut
non- spesifik dan terapi akut spesifik.4
Terapi akut non-spesifik
Analgesik dan NSAID (non-steroidal anti- inflammatory drugs)
Analgesik dan NSAID merupakan terapi akut lini pertama. Obat-obat
golongan ini meliputi asam asetilsalisilat (500-1000 mg), kalium diklofenak
(50-100 mg), flubiprofen (100-300 mg), ibuprofen (400-2400 mg atau 200-
800 mg), naproxen (750-1250 mg), naproksen sodium (550-1100 mg),
parasetamol (1000 mg), piroksikam SL (40 mg), dan asam tolfenamat (200-
400 mg). Kombinasi analgesik seperti: parasetamol, aspirin dan kafein,
secara signifikan terbukti lebih efektif daripada plasebo. Terkadang efikasi
analgesik dilengkapi dengan pemberian bersama metoklopramid (5 mg atau
10 mg oral) diberikan sebelum atau bersamaan dengan analgesik oral);
penambahan ini dapat meningkatkan absorpsi asam asetilsalisilat,
menurunkan mual, dan memperbaiki respons terapeutik.4

Antiemetik

17
Beberapa agen gastroprokinetik efektif mengatasi mual dan muntah
pada penderita migren. Contoh obat golongan ini adalah metoklopramid (10
mg PO, IM, atau IV ) dan domperidon (20-30 mg PO atau PR), yang
memiliki keuntungan tambahan dalam meningkatkan bioavailabilitas obat-
obat yang diberikan bersamaan secara oral untuk mengatasi migren.
Klorpromazin (25-50 mg IM), metoklopramid (10 mg IV atau IM), dan
proklorperazin (10 mg IV atau IM) juga telah digunakan sebagai terapi
tunggal untuk mengatasi migren.4
Terapi akut spesifik
Triptan
Sumatriptan, triptan yang pertama, pada mulanya tersedia dalam
sediaan subkutan. Enam triptan yang ditemukan setelah sumatriptan ialah
almotriptan, eletriptan, frovatriptan, naratriptan, rizatriptan, dan zolmitriptan.
Onset tercepat dijumpai pada pemberian sumatriptan subkutan. Eletriptan dan
rizatriptan adalah triptan oral dengan aksi paling cepat, yang efeknya terlihat
setelah 30 menit. Almotriptan, sumatriptan, dan zolmitriptan bekerja dalam
waktu 45-60 menit. Yang paling memungkinkan untuk keberhasilan terapi
secara konsisten adalah almotriptan, eletriptan, dan rizatriptan. Efek samping
paling rendah dilaporkan pada almotriptan, eletriptan, dan naratriptan.
Triptan lebih efektif bila nyeri kepala masih ringan, tidak bermanfaat bila
diminum sebelum onset nyeri kepala, atau selama gejala-gejala premonitory
atau aura. Kontraindikasi pemberian triptan antara lain penyakit arteri yang
tidak diobati, penyakit Raynaud, kehamilan, laktasi, gagal ginjal berat, dan
gagal hati berat. Triptan sebaiknya dihindari penderita dengan aura yang
tidak biasa atau memanjang, migren basilar, dan migren hemiplegik.4
Turunan ergot
Dihidroergotamin dapat diberikan secara intramuskuler, intravena,
subkutan, dan in- tranasal. Kontraindikasi pemberian turunan ergot sama
seperti kontraindikasi pemberian triptan.4

Manajemen migren akut


Di IGD, untuk migren derajat ringan/sedang dan pasien belum
minum obat, dapat diberikan aspirin 900 mg dan metoklopramid 10 mg per

18
oral.38-40 Untuk migren sedang hingga berat, ada dua pilihan. Pilihan
pertama, bila sudah diberi obat dokter, biasa minum obat, atau disertai
muntah, dapat diberikan metoklopramid 10 mg IM atau proklorperazin 12,5
mg IM atau sumatriptan 6 mg SC. Pilihan kedua, untuk migren derajat
sedang hingga berat (pada situasi kegawatdaruratan), bisa digunakan
klorpromazin 25 mg dalam 1.000 mL saline normal IV, diberikan dalam 30-
60 menit (diulangi bila perlu), atau proklorperazin 12,5 mg IV atau
sumatriptan 6 mg SC.4

DAFTAR PUSTAKA

Susanto, A. 2014. Peranan CT Scan Kepala dalam Diagnosis Nyeri Kepala


Kronis. CDK-214. Vol. 41. No.3.
Liulfa, F. Nahariani, P. Affandi, M.I.A. 2013. Hubungan Pola Tidur dengan
Kejadian Migren pada Mahasiswa Tingkat IV Semester VIII Prodi S1
Keperawatan di STIKES Pemkab Jombang. Program S1 Keperawatan
Pemkab Jombang.
Tandaju, Y. Runtuwene, T. Kembuan, M.A.H.N. 2016. Gambaran Nyeri Kepala
Primer pada Mahasiswa Angkatan 2013Fakultas Kedokteran Universitas
Samratulangi. Manado.
Anurogo, D. 2013. Penatalaksanaan Migren. RS. PKU Muhammadiyah Palangka
Raya Kalimantan Tengah Indonesia. CDK-198. Vol.39. No.10.
Sidharta, P. 2013. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian Rakyat. Jakarta.
Utami, M.N. Oktarlina, R.Z. Himayani, R. 2017. Korelasi antara Migrain dengan
Kejadian Stroke. Medula. Vol.7. No.4.
Bahri, T.S. Zulkifli. 2014. Faktor-faktor Penyebab dan Jenis Migrain pada

19
Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala tahun 2014.
Bagian Keperawatan Medical Bedah. Banda Aceh.
Anurogo, D. 2014. Tension Type Headache. Neuroscience Department Brain and
Circulation Institute of Indonesia. Surya.
Budianto, Z. 2015. Efektivitas Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
Untuk Mengurangi Frekuensi Kekambuhan Pada Pasien Penyakit Migrain.
RSJ Lambang Sihum. Poli Psikologi. Kab. Banjar.
Bisri, D.Y. Bisri, T. 2014. Sakit Kepala yang dihubungkan dengan Cedera Otak
Traumatik. Anasthesia and Critical Care. Vol. 32. No.2.
Riyadina, W. Turana, Y. 2014. Faktor Risiko dan Komorbiditas Migrain. Pusat
Penelitian Kesehatan FK UNIKA Atmajaya. Jakarta.
Hartwig M WL. Nyeri. In: Price S WL, editor. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC;
https://healthmaza.com/migraine-cocktail/ diakses pada 5 Februari 2020
Baehr, M.Frotscher, M. 2012. Diagnosis Topis Neurologi DUUS. Jakarta: EGC

Charles A, Brennan KC (2011): The neurobiology of migraine. Chapter 7. In:


Handbook of Clinical Neurology, Vol 97 Headache. Nappi G, Moskowitz
MA Eds, Elsevier.

20
21

Anda mungkin juga menyukai