Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-keduanya. Diabetes mellitus merupakan penyakit
kronik yang akan diderita seumur hidup dan dapat memicu terjadinya komplikasi serius dan
berujung pada kematian. Diabetes Melitus juga merupakan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. Klasifikasi utama DM yaitu Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM/DM
tipe 1) dan Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM/DM tipe 2).
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan angka insiden dan
prevalensi DM tipe 2 di berbagai belahan dunia. Diabetes mellitus tipe 2 meliputi 90% kasus
DM di negara-negara berkembang dan merupakan kasus terbesar pada beberapa negara
berkembang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 di Indonesia. Hasil penelitian terakhir
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi di Indonesia. Penelitian di Jakarta melaporkan
bahwa prevalensi DM 1,7% oada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan menjadi
12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta. Diperkirakan pada tahun 2030 akan
ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada
urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang DM di
daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Menurut survey yang dilakukan oleh WHO,
Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penyandang DM, sedangkan urutan
diatasnya yaitu India, China, dan Amerika Serikat. Temuan tersebut semakin membuktikan
bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius. Oleh
karena itu, makalah ini akan membahas mengenai DM berikut pencegahan dan
pengobatannya.
Diabetes Mellitus biasa disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat

1
1
1
1
1
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang
akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit
ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru,
gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah
parah menjalani amputasi anggota tubuh karena terjadi pembusukan (Depkes,2005).
Melihat bahwa Diabetes Mellitus akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber
daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka sangat diperlukan
program pengendalian Diabetes Mellitus. Diabetes Mellitus Tipe 2 bisa dicegah, ditunda
kedatangannya atau dihilangkan dengan mengendalikan faktor resiko (Kemenkes, 2010).
Oleh karena itu perlu dilakukan adanya skrining terhadap faktor risiko DM, sehingga
penanganan dan pencegahan kasus DM dapat dilakukan lebih terarah dan disesuaikan
dengan kondisi setempat serta dapat mengurangi jumlah penderita DM beserta asuhan
keperawatan yang dilakukan pada pasien diabetes mellitus. Selain itu, mengetahui faktor-
faktor risiko apa saja yang menjadi determinan kasus DM merupakan hal yang penting.
Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai berbagai faktor resiko,
distribusi frekuensi, penatalaksaan, pencegahan hingga asuhan keperawatan penyakit
diabetes mellitus.
1.2 Rumusan Masalah
a) Bagaimana anatomi dan fisiologi organ yang berhubungan dengan diabetes mellitus?
b) Apa yang dimaksud dengan diabetes mellitus?
c) Bagaimana etiologi dari diabetes mellitus?
d) Bagaimana klasifikasi dari penyakit diabetes mellitus?
e) Bagaimana patofisiologi dari penyakit diabetes mellitus?
f) Bagaimana manifestasi klinik dari penyakit diabetes mellitus?
g) Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari penyakit diabetes mellitus?
h) Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit diabetes mellitus
i) Bagaimana komplikasi dari penyakit diabetes mellitus?

2
2
2
2
2
j) Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari penyakit diabetes mellitus?
1.3 Tujuan
a) Tujuan Umum
Untuk pemenuhan tugas keperawatan medical keperawatan bedah mengenai
diabetes mellitus serta mahasiswa dapat mengetahui dan mendeskripsikan tentang
diabetes mellitus dan asuhan keperawatan mengenai diabetes mellitus.

b) Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi organ yang berhubungan dengan diabetes
mellitus
 Untuk mengetahui definisi dari diabetes mellitus
 Untuk memahami etiologi dari diabetes mellitus
 Untuk mengetahui dan memahami klasifikasi dari penyakit diabetes mellitus
 Untuk memahami patofisiologi dari mellitus
 Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinik dari diabetes mellitus
 Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit diabetes mellitus
 Untuk memahami penatalaksanaan dari diabetes mellitus
 Untuk mengetahui komplikasi dari diabetes mellitus
 Untuk mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan dari penyakit
diabetes mellitus
1.4 Manfaat
a) Untuk Mahasiswa
Makalah ini bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan tentang diabetes
mellitus untuk mahasiswa. Dan dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa apabila
mendapat tugas untuk membuat makalah tentang diabetes mellitus.
b) Untuk Kampus

3
3
3
3
3
Makalah ini dapat menjadi tambahan bahan bacaan di perpustakaan. Dan dapat di
gunakan juga sebagai bahan acuan untuk mencari referensi tentang diabetes mellitus
beserta asuhan keperawatannya

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Organ Yang Berhubungan Dengan Diabetes Mellitus

1) Anatomi dan Fisiologi Pankreas


 Anatomi Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki fungsi
utama yaitu untuk menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon
penting seperti insulin dan glukagon. Kelenjar pankreas terletak pada
bagian belakang lambung dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua
belas jari), strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah. Jaringan pankreas
terdiri atas lobula dari sel sekretori yang tersusun mengitari saluran-saluran
halus. Saluran-saluran ini mulai dari persambungan saluran-saluran kecil dari
lobula yang terletak di dalam ekor pankreas dan berjalan melalui badannya
dari kiri ke kanan.

4
4
4
4
4
Panjangnya kira-kira 15 cm dan mengandung sekumpulan sel yang
disebut kepulauan Langerhans, dinamakan Langerhans atas penemunya, Paul
Langerhans pada tahun 1869. Pulau Langerhans, terdiri dari dua macam sel yaitu
alfa dan beta. Tiap pankreas mengandung lebih kurang 100.000 pulau
Langerhans dan tiap pulau berisi 100 sel beta Sel beta memproduksi insulin
sedangkan sel-sel alfa memproduksi glukagons, Juga ada sel delta yang
mengeluarkan somatostatin dan sel polipeptida pankreas yang mensekresi
hormon polipeptida pancreas.

Gambar 2.1 Pulau Langerhans pada kelenjar pankreas

5
5
5
5
5
Gambar 2.2 Anatomi Pankreas

Pankreas dibagi menurut bentuknya :

 Kepala (kaput) yang paling lebar terletak di kanan rongga abdomen,


masuk lekukan sebelah kiri duodenum yang praktis melingkarinya.
 Badan (korpus) menjadi bagian utama terletak dibelakang lambung dan
didepan vertebra lumbalis pertama.
 Ekor (kauda) adalah bagian runcing di sebelah kiri sampai menyentuh
pada limpa (lien). (Ethel Sloane,2004)
 Fisiologi Pankreas
Pankreas disebut sebagai organ rangkap, mempunyai dua fungsi yaitu
sebagai kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin. Kelenjar eksokrin menghasilkan
sekret yang mengandung enzim yang dapat menghidrolisis protein, lemak, dan
karbohidrat; sedangkan endokrin menghasilkan hormon insulin dan glukagon
yang memegang peranan penting pada metabolisme karbohidrat.Kedua hormon
ini langsung masuk dalam peredaran darah dan digunakan untuk mengatur jumlah
gula dalam darah. Insulin akan mengubah kelebihan glukosa darah menjadi
glikogen untuk kemudian menyimpannya di dalam hati dan otot. Suatu saat ketika
tubuh membutuhkan tambahan energi, glikogen yang tersimpan di dalam hati
akan diubah oleh glukagon menjadi glukosa yang dapat digunakan sebagai
energi tambahan. (Ethel Sloane,2004)
Pankreas menghasilkan:
 Garam NaHCO3 : membuat suasana basa.
 Karbohidrase : amilase ubah amilum → maltosa.
 Dikarbohidrase :
- Maltase ubah maltosa → 2 glukosa.

6
6
6
6
6
- Sukrase ubah sukrosa → 1 glukosa + 1 fruktosa. c.
Laktase ubah laktosa → 1 glukosa + 1 galaktosa.
 Lipase mengubah lipid → asam lemak + gliserol.
 Enzim entrokinase mengubah tripsinogen → tripsin dan ubah
pepton → asam amino. (Ethel Sloane,2004)
 Sistem kendali pada sekresi pancreas
Sekresi eksokrin pankreas dipengaruhi oleh aktivitas refleks saraf selama
tahap sefalik dan lambung pada sekresi lambung. (Ethel Sloane,2004)
 Komposisi cairan pankreas
Cairan pankreas mengandung enzim-enzim untuk mencerna protein,
karbohidrat, dan lemak.
 Enzim proteolitik pankrease (protease)
o Tripsinogen yang disekresi pankreas diaktivasi menjadi tripsin oleh
enterokinase yang diproduksi usus halus. Tripsin mencerna protein
dan polipeptida besar untuk membentuk polipeptida besar untuk
membentuk polipeptida dan peptida yang lebih kecil.
o Kimotripsin teraktivasi dari kimotripsinogen oleh tripsin.
Kimotripsin memiliki fungsi yang sama seperti tripsin terhadap
rotein.
o Karboksipeptidase, aminopeptidase, dan dipeptidase adalah enzim
yang melanjutkan proses pencernaan protein untuk menghasilkan
asam amino bebas.

 Lipase pankreas
Menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol setelah
lemak diemulsi oleh garam-garam empedu.

7
7
7
7
7
 Amilase pankreas
Menghidrolisis zat tepung yang tidak tercerna oleh amilase saliva
menjadi disakarida (maltosa, sukrosa, dan laktosa).
 Ribonuklease dan Deoksiribonukleus
Menghidrolisis RNA dan DNA menjadi blok-blok
pembentuk nukleotidanya. (Ethel Sloane, 2004)
 Kepulauan Langerhans
Membentuk organ endokrin yang menyekresikan insulin, yaitu sebuah
hormon antidiabetika, yang diberikan dalam pengobatan diabetes.Insulin ialah
sebuah protein yang dapat turut dicernakan oleh enzim-enzim pencerna protein
dan karena itu tidak diberikan melalui mulut melainkan dengan suntikan
subkutan. Insulin mengendalikan kadar glukosa dan bila digunakan sebagia
pengobatan dalam hal kekurangan seperti pada diabetes, ia memperbaiki
kemampuan sel tubuh untuk mengasorpsi dan menggunakan glukosa dan lemak.
Pada pankreas paling sedikit terdapat empat peptida dengan aktivitas
hormonal yang disekresikan oleh pulau-pulau (islets) Langerhans.Dua dari
hormon-hormon tersebut, insulin dan glukagon memiliki fungsi penting dalam
pengaturan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.Hormon ketiga,
somatostatin berperan dalam pengaturan sekresi sel pulau, dan yang keempat
polipeptida pankreas berperan pada fungsi saluran cerna. (Ethel Sloane,2004)
2) Anatomi dan Fisiologi Hati
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1300 – 1550
gram. Hepar berwarna merah coklat, sangat vaskular dan lunak. Hepar berbentuk baji
dengan dasarnya pada sisi kanan dan apeks pada sisi kiri. Organ ini terletak pada
kuadran kanan atas abdomen dilindungi oleh cartilago costalis, tepi bawahnya mencapai
garis cartilago costalis tetapi tepi hepar yang sehat tidak dapat teraba. Dipertahankan
dalam posisinya oleh tekanan organ lain didalam abdomen dan oleh “ligamentum”

8
8
8
8
8
peritoneum. Permukaan atasnya yang licin membulat terletak dibawah diafragma. Facies
viseralisnya (posteroinferior) terletak di atas lambung, duodenum, flexura hepatica colon,
ginjal kanan, dan kelenjar adrenal kanan.
Hepar adalah tempat penyimpanan utama dari tubuh. Hepar menyimpan glukosa
dalam bentuk glikogen dengan bantuan enzim – enzim glikogen yang dapat diubah
menjadi glukosa ketika tubuh memerlukanya. Oleh karena glukosa merupakan sumber
energi utama, penyimpanannya sangat penting. Hepar juga dapat menyimpan lemak dan
asam amino yang dapat diubah menjadi glukosa jika tubuh memerlukannnya.
 Metabolisme Karbohidrat
Keterkaitan metabolisme karbohidrat, bahwa zat tersebut dapat digunakan
untuk menghasilkan energi dalam bentuk ATP. Tahap awal pemecahan karbohidrat
dan zat makanan lainnya berbeda- beda, tetapi masing-masing produknya akan
masuk ke dalam siklus krebs atau siklus asam trikarboksilat atau siklus asam sitrat
pada beberapa tempat-tempat kemudian dipecah guna pembentukan energi.
Karbohidrat mengalami perombakan menjadi glukosa (monosakarida).
Kemudian, melalui proses glikolisis glukosa dirombak menjadi gliseraldehid
fosfat dan selanjutnya menjadi asam piruvat. Proses berikutnya, asam piruvat
masuk ke mitokondria untuk diubah menjadi asetil koenzim A. Asetil
koenzim A kemudian masuk ke siklus krebs untuk menghasilkan ATP.
Di dalam tubuh, senyawa polisakarida dan disakarida dicerna dengan
bantuan enzim menjadi molekul sederhana, yaitu glukosa. Glukosa dalam tubuh
diuraikan sehingga menghasilkan energi, yang digunakan tubuh untuk
melakukan berbagai aktivitas.
Jika jumlah glukosa dalam tubuh berlebih, tidak sesuai dengan jumlah
aktivitas yang dilakukan, maka glukosa yang ada akan diubah oleh tubuh
menjadi glikogen dan disimpan sebagai cadangan makanan. Glukosa yang

9
9
9
9
9
berlebih dapat diubah menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adipose
(jaringan lemak).
Manusia tidak dapat mencerna selulosa sehingga serat selulosa yang
dikonsumsi manusia hanya lewat melalui saluran pencernaan dan keluar bersama
feses. Serat-serat selulosa mengikis dinding saluran pencernaan dan
merangsangnya mengeluarkan lendir yang membantu makanan melewati saluran
pencernaan dengan lancar sehingga selulosa disebut sebagai bagian penting dalam
menu makanan yang sehat. Contoh makanan yang sangat kaya akan serat selulosa
ialah buah-buahan segar, sayur-sayuran, dan biji-bijian. Selain sebagai sumber
energi, karbohidrat juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan asam basa di
dalam tubuh, berperan penting dalam proses metabolisme dalam tubuh, dan
pembentuk struktur sel dengan mengikat protein dan lemak.
Karbohidrat menyediakan kebutuhan dasar yang diperlukan tubuh
makhluk hidup. Monosakarida, khususnya glukosa, merupakan nutrien utama sel.
Sel-sel tubuh menyerap glukosa dan mengambil tenaga yang tersimpan di dalam
molekul tersebut pada proses respirasi seluler untuk menjalankan sel-sel tubuh.
Selain itu, kerangka karbon monosakarida juga berfungsi sebagai bahan baku
untuk sintesis jenis molekul organik kecil lainnya, termasuk asam amino dan
asam lemak.
Sebagai nutrisi untuk manusia, 1 gram karbohidrat memiliki nilai energi 4
Kalori. Dalam menu makanan orang Asia Tenggara termasuk Indonesia,
umumnya kandungan karbohidrat cukup tinggi, yaitu antara 70–80%. Bahan
makanan sumber karbohidrat ini misalnya padi-padian atau serealia (gandum dan
beras), umbi- umbian (kentang, singkong, ubi jalar), dan gula. Namun demikian,
daya cerna tubuh manusia terhadap karbohidrat bermacam-macam bergantung
pada sumbernya, yaitu bervariasi antara 90%–98%. Serat menurunkan daya
cerna karbohidrat menjadi 85%.

10
10
10
10
10
 Glikolisis
Glikolisis adalah proses oksidasi glukosa menjadi piruvat (aerob) dan
laktat (anaerob). Proses ini berlangsung di seluruh sitosol/ jaringan.
Glikolisis aerob, piruvat yang dihasilkan dapat diubah menjadi asetil KoA
selanjutnya dioksidasi di TCA (Tri Carboxylic Acid atau siklus asam sitrat)
menghasilkan lebih banyak NADH dan FADH2. Sebuah Molekul ATP
dibutuhkan untuk mengkonversi glukosa menjadi glukosa 6 fosfat. Reaksi
ini disebut fosforilasi substrat dengan bantuan enzim heksosinase sehingga
menjaga kadar gula dalam sitoplasma tetap rendah sebagai stimulus agar asupan
ke dalam sitosol tetap mengalir dan mencegah glukosa untuk keluar kembali ke
dalam periplasma.
 Glikogenesis
Glikolisis anaerob, rantai transport electron tidak dapat berlangsung.
Reoksidasi NADH menjadi NAD terjadi melalui reduksi piruvat menjadi
laktat. Terjadi reduksi asam piruvat menjadi asam laktat menghasilkan NAD+ dan
menggunakan NADH. NAD+ dapat dipakai oleh enzim glisraldehid,
dehidrogenase, shingga glikolisis dapat berjalan biarpun tidak ada oksigen
(anaerob).
Glikogenesis adalah proses perubahan glukosa menjadi glikogen. Fungsi
glikognesis adalah untuk mempertahankan kadar gula darah.
Reaksi pertama glukosa dan ATP melalui enzim glukokinase dan
heksokinase, akan menghasilkan glukosa 6 fosfat dan ADP. Glukosa 6 fosfat ini
melalui proses dengan enzim fosfoglukomutase akan menjadi glukosa 1
fosfat. Enzim glikogen sintetase membentuk ikatan alfa 1,4 glikosidik
(rantai lurus) dari glikogen. Enzim pencabang (branching enzyme) akan
membentuk ikatan alfa 1,6 (rantai cabang) dari glikogen.
 Glikogenolisis

11
11
11
11
11
Glikogenolisis adalah proses pemecahan glikogen. Dalam otot, proses ini
bertujuan untuk mendapatkan energy pada otot. Dalam hati, tujuannya adalah
untuk mempertahankan kadar glukosa. Glikogenolisis merupakan kebalikan
proses dari glikogenesis.
 Glukoneogenesis
Glukoneogenesis adalah suatu proses perubahan prekusor menjadi
glukosa atau glikogen. Jaringan utama tempat berlangsungnya
glukoneogenesis adalah hati dan ginjal. Organ yang peka terhadap glukosa
adalah eritrosit dan system saraf. Fungsi dari glukoneogenesis adalah
meningkatkan kadar glukosa darah untuk kebutuhan normal sel. Organ yang peka
terhadap glukosa adalah eritrosit dan system saraf. Fungsi dari glukoneogenesis
adalah meningkatkan kadar glukosa darah untuk kebutuhan normal sel.

Metabolisme karbohidrat / lemak


Glikogenesis mengubah fruktosa, galaktosa, glukosa menjadi glikogen
Glikogenolisis mengubah glikogen menjadi glukosa

Glukoneogenesis membentuk glukosa baru dari asam amino, gliserol, asam laktat
Lipogenesis karbohidrat yang berlebih diubah menjadi lemak

Menjadi proses tersebut, hepar dapat mempertahankan kadar gula darah dengan bantuan hormon.

Tabel 2.1 Metabolisme karbohidrat/ lemak

 Metabolisme Protein
Hepar sangat penting untuk metabolisme protein. Melalui proses
transaminase, hepar dapat menghasilkan asam amino. Hepar merupakan satu –
satunya sumber plasma protein utama. Albumin merupakan salah satu protein
12
12
12
12
12
plasma utama yang hanya dapat dihasilkan oleh hepar. Albumin ini yang
memeprtahankan tekanan osmotik koloid, sehingga distribusi yang normal dari
cairan antara kompartemen interstisial dan intrasel dapat dipertahankan.
Hepar merupakan sumber faktor – faktor pembekuan darah. Hepar
menghasilkan fibrinogen (faktor I), protrombin (faktor II), proaselarin (faktor V),
akselerator konversi protrombin serum (faktor VII), faktor christmas (faktor IX),
faktor Stuart (faktor X). Produksi faktor II, VII, IX dan X memerlukan vitamin K.
Karena vitamin K ini dapat larut hanya dalam lemak, vitamin ini memerlukan
empedu agar dapat diabsorpsi.
 Metabolisme Lemak
Gula glukosa dalam darah yang berlebih dapat diubah menjadi komponen
lemak, antara lain dalam bentuk trigliserida atau lebih sering disebut lemak
kolesterol. Darah yang bersifat seperti air dapat melarutkan lemak dalam batas
tertentu menjadi semacam emulsi dengan bantuan lipoprotein. Bila kadar gula
glukosa darah berlebih maka pembentukan lemak kolesterol juga berlebih,
sedangkan kemampuan lipoprotein terbatas sehingga sebagian kolesterol tidak
terlarut. Akibat lebih lanjut adalah menimbulkan endapan kolesterol pada dinding
pembuluh darah, sehingga rongga pembuluh darah menyempit dan pasokan darah
ke sel jaringan organ berkurang. Pada jaringan otak berdampak memperparah
stroke hipoglikemia akibat kompikasi metabolisme protein tersebut diatas. Bila
mengenai pembuluh darah jantung yang mengaliri dinding otot jantung (arteria
koronaria), menimbulkan gangguan penyakit jantung koroner.
Membantu proses Beta oksidasi, dimana hati mampu menghasilkan asam
lemak dari Asetil Koenzim A. Mengubah kelebihan Asetil Koenzim A menjadi
badan keton (Ketogenesis). Mensintesa lipoprotein-lipoprotein saat transport
asam-asam lemak dan kolesterol dari dan ke dalam sel, mensintesa kolesterol dan

13
13
13
13
13
fosfolipid juga menghancurkan kolesterol menjadi garam empedu, serta
menyimpan lemak.
 Hormon Insulin
Insulin merupakan protein kecil, terdiri dari dua rantai asam amino yang
satu sama lainnya dihubungkan oleh ikatan disulfida. Bila kedua rantai asam
amino dipisahkan, maka aktivitas fungsional dari insulin akan hilang. Translasi
RNA insulin oleh ribosom yang melekat pada reticulum endoplasma membentuk
preprohormon insulin -- melekat erat pada reticulum endoplasma -- membentuk
proinsulin -- melekat erat pada alat golgi -- membentuk insulin -- terbungkus
granula sekretorik dan sekitar seperenam lainnya tetap menjadi proinsulin yang
tidak mempunyai aktivitas insulin.
Insulin dalam darah beredar dalam bentuk yang tidak terikat dan memilki
waktu paruh 6 menit. Dalam waktu 10 sampai 15 menit akan dibersihkan dari
sirkulasi. Kecuali sebagian insulin yang berikatan dengan reseptor yang ada
pada sel target, sisa insulin didegradasi oleh enzim insulinase dalam hati, ginjal,
otot, dan dalam jaringan yang lain. Reseptor insulin merupakan kombinasi dari
empat subunit yang saling berikatan bersama oleh ikatan disulfide, 2 subunit alfa (
terletak seluruhnya di luar membrane sel ) dan 2 subunit beta ( menembus
membrane, menonjol ke dalam sitoplasma ). Insulin berikatan dengan subunit alfa
-- subunit beta mengalami autofosforilasi -- protein kinase-- fosforilasi dari
banyak enzim intraselular lainnya.
Insulin bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, asam- asam
lemak, dan asam-asam amino.Glukagon bersifat katabolik, memobilisasi glukosa,
asam-asam lemak, dan asam-asam amino dari penyimpanan ke dalam aliran
darah.Kedua hormon ini bersifat berlawanan dalam efek keseluruhannya dan pada
sebagian besar keadaan disekresikan secara timbal balik.Insulin yang berlebihan
menyebabkan hipoglikemia, yang menimbulkan kejang dan koma.

14
14
14
14
14
Defisiensi insulin baik absolut maupun relatif, menyebabkan diabetes
melitus, suatu penyakit kompleks yang bila tidak diobati dapat
mematikan.Defisiensi glukagon dapat menimbulkan hipoglikemia, dan kelebihan
glukagon menyebabkan diabetes memburuk.Produksi somatostatin yang
berlebihan oleh pankreas menyebabkan hiperglikemia dan manifestasi diabetes
lainnya. (Ethel Sloane,2004)
 Sintetis Insulin
o Insulin disintesis oleh sel-sel beta, terutama ditranslasikan ribosom yang
melekat pada retikulum endoplasma (mirip sintesis protein) dan
menghasilkan praprohormon insulin dengan berat molekul sekitar 11.500.
o Praprohormon diarahkan oleh rangkaian “pemandu” yang bersifat
hidrofibik dan mengandung 23 asam amino ke dalam sisterna retikulum
endoplasma.

Gambar Struktur Kovalen Insulin Manusia (M.J. Neal, 2006)

o Di retikulum endoplasma, praprohormon ini dirubah menjadi proinsulin


dengan berat molekul kira-kira 9000 dan dikeluarkan dari retikulum
endoplasma.
o Molekul proinsulin diangkut ke aparatus golgi, di sini proteolisis
serta pengemasan ke dalam granul sekretorik dimulai.

15
15
15
15
15
o Di aparatus golgi, proinsulin yang semua tersusun oleh rantai B—peptida
(C) penghubung—rantai A, akan dipisahkan oleh enzim mirip tripsin dan
enzim mirip karboksipeptidase. Pemisahan itu akan menghasilkan
insulin heterodimer (AB) dan C peptida. Peptida-C dengan jumlah
ekuimolar tetap terdapat dalam granul, tetapi tidak mempunyai
aktivitas biologik yang diketahui. (M.J.Neal,2006)
 Sekresi Insulin

Gambar 2.8 Proses sekresi insulin (M.J. Neal, 2006)

Sekresi insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan


melibatkan sistem mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel B pada pulau
Lengerhans. Sejumlah kondisi intermediet turut membantu pelepasan insulin :

 Glukosa
Apabila kadar glukosa darah melewati ambang batas normal—
yaitu 80-100 mg/dL–maka insulin akan dikeluarkan dan akan mencapai
kerja maksimal pada kadar glukosa 300-500 mg/dL.
- Dalam waktu 3 sampai 5 menit sesudah terjadi peningkatan segera
kadar glukosa darah, insulin meningkat sampai hampir 10 kali
16
16
16
16
16
lipat. Keadaan ini disebabkan oleh pengeluaran insulin yang sudah
terbentuk lebih dahulu oleh sel beta pulau langerhans pankreas.
Akan tetapi, kecepatan sekresi awal yang tinggi ini tidak dapat
dipertahankan, sebaliknya, dalam waktu 5 sampai 10 menit
kemudian kecepatan sekresi insulin akan berkurang sampai kira-
kira setengah dari kadar normal.
- Kira-kira 15 menit kemudian, sekresi insulin meningkat untuk
kedua kalinya, sehingga dalam waktu 2 sampai 3 jam akan
mencapai gambaran seperti dataran yang baru, biasanya pada saat
ini kecepatan sekresinya bahkan lebih besar daripada kecepatan
sekresi pada tahap awal. Sekresi ini disebabkan oleh adanya
tambahan pelepasan insulin yang sudah lebih dahulu terbentuk dan
oleh adanya aktivasi system enzim yang mensintesis dan
melepaskan insulin baru dari sel.
- Naiknya sekresi insulin akibat stimulus glukosa menyebabkan
meningkatnya kecepatan dan sekresi secara dramatis.
Selanjutnya, penghentian sekresi insulin hampir sama cepatnya,
terjadi dalam waktu 3 sampai 5 menit setelah pengurangan
konsentrasi glukosa kembali ke kadar puasa.
- Peningkatan glukosa darah meningkatkan sekresi insulin dan
insulin selanjutnya meningkatkan transport glukosa ke dalam hati,
otot, dan sel lain, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa darah
kembali ke nilai normal.
 Asam Amino (Arginin dan Lisin)
- Pemberian asam peningkatan sekresiamino sewaktu tidak ada
peningkatan kadar glukosa darah insulin sedikit saja.

17
17
17
17
17
- Bila pemberian insulin pada saat terjadi sekresi insulin yang
diinduksi oleh glukosa dapat peningkatan glukosa darah berlipat
ganda saat kelebihan asam amino.
- Jadi, asam amino sangat memperkuat rangsangan glukosa
terhadap sekresi insulin. Tampaknya perangsangan sekresi insulin
oleh asam amino merupakan respons yang sangat bermakna sebab
insulin sendiri sebaliknya meningkatkan pengangkutan asam amino
ke dalam sel jaringan demikian juga meningkatkan pembentukan
protein intraselular. Sehingga hal ini menyebabkan insulin
sangat berguna untuk pemakaian asam amino yang berlebihan.
 Faktor Hormonal
Ada beberapa hormon yang meningkatkan insulin dalam darah,
yaitu epinefrin (meningkatkan cAMP intrasel), kortisol, laktogen plesenta,
esterogen dan progestatin.
 Preparat Farmakologi
Banyak obat merangsang sekresi insulin, tetapi preparat yang
digunakan paling sering untuk terapi diabetes pada manusia adalah
senyawa sulfaonilurea.
 Mekanisme Kerja dan Metabolisme Insulin
Insulin merupakan hormon yang berfungsi sebagai second messenger yang
merangsang dengan potensial listrik. Insulin terutama dimetabolisme oleh hati dan
40 sampai 50 persen insulin yang memasuki susunan porta dimetabolisme pada
lintasanya melalui hati. Insulin meregulasi fungsi hepatosit dengan menekan
glikogenolisis dan mempercepat pembentukan asam nukleat dan sintetis protein.
Insulin juga antiliplitik, sehingga insulin mencegah pemecahan asam lemak.
Karena alasan ini, defesiensi insulin yang parah tidak hanya menyebabkan
penimbunan glukosa yang progesif dalam darah, tetapi terjadi pembentukan

18
18
18
18
18
keton, yang menyebabkan ketoasidosis diabetes. Kelebihan insulin atau efek
perifer atau hepatik berlibihan dari insulin menyebabkan hipolikemia. Beberapa
peristiwa yang terjadi setelah insulin berikatan dengan reseptor membran:
- Terjadi perubahan bentuk reseptor.
- Reseptor akan berikatan silang dan membentuk mikroagregat.
- Reseptor diinternalisasi.
- Dihasilkan satu atau lebih sinyal.

Setelah peristiwa tersebut, glukosa akan masuk ke dalam sel dan membentuki
glikogen. Insulin yang telah terpakai maupun yang tidak terpakai, akan
dimetabolisme. Ada dua mekanisme untuk metabolisme insulin:

- Melibatkan enzim protese spesifik-insulin yang terdapat pada banyak


jaringan, tetapi banyak terdapat pada hati, ginjal, dan plasenta.
- Melibatkan enzim hepatik glutation-insulin transhidrogenase,
yang mereduksi ikatan disulfida, dan kemudian rantai A dan B masing-
masing diuraikan dengan cepat. (M.J.Neal,2006)
 Fungsi Insulin
Fungsi spesifik dari hormon insulin adalah untuk menstimulasi proses
glikogenesis, lipogenesis, dan sintesis protein. (M.J.Neal,2006)

2.2 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”
(siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit
diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang banyak
dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai

19
19
19
19
19
dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap
insulin (Corwin, 2009).

Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam
pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer dkk, 2007)

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2005, diabetus merupakan suatu
kelompok panyakit metabolik dengan karakterristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan kadar


glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau akibat kerja
insulin yang tidak adekuat (Brunner & Suddart, 2002).

Diabetes merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan
cukup insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
dihasilkan. Hiperglikemia, atau gula darah yang meningkat, merupakan efek umum
dari diabetes yang tidak terkontrol dan dari waktu ke waktu menyebabkan kerusakan serius
pada banyak sistem tubuh, khususnya saraf dan pembuluh darah.
Diabetes Melitus (atau diabetes) adalah sebuah kondisi kronis dimana tubuh tidak dapat
menggunakan sumber energi (glukosa) yang terdapat dalam darah sebab tubuh tidak dapat
melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Kondisi tersebut mengakibatkan
kadar glukosa darah meningkat.
Insulin merupakan hormon yang dilepaskan oleh pankreas, merupakan zat utama yang
bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar gula darah tetap stabil. Insulin
menyebabkan gula (glukosa) berpindah ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau
disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen. Peningkatan kadar gula darah

20
20
20
20
20
setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula merangsang pankreas untuk
menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar gula darah yang lebih lanjut dan
menyebabkan kadar gula darah menurun secara perlahan. Pada saat melakukan aktivitas
fisik kadar gula darah juga bisa menurun karena otot menggunakan glukosa untuk energi
(Anonim, 2008).
Dalam kondisi normal, karbohidrat dan gula yang dikonsumsi akan diubah menjadi
sumber energi yang disebut glukosa. Sel-sel tubuh membutuhkan glukosa sebagai energi
untuk menjalankan fungsinya. Akan tetapi, tubuh membutuhkan hormon insulin untuk
menyerap glukosa dari aliran darah dan mensirkulasikannya ke berbagai sel-sel tubuh.
Dalam keadaan diabetes, sel-sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, baik karena tubuh
tidak memproduksi hormon insulin yang cukup, sel tubuh tidak merespon insulin secara
normal, atau kombinasi keduanya.
Keadaan itu mengakibatkan glukosa tetap berada dalam darah dan akan terus
bertambah seiring dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh. Tingginya level glukosa
dalam darah dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pembuluh darah di jantung, hati,
ginjal, mata dan juga sistem saraf. Jika tidak ditangani dengan baik, diabetes dapat
menyebabkan serangan jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, dan lain sebagainya.

2.2 Etiologi Diabetes Mellitus

Penyebab diabetes mellitus adalah kurangnya produksi dan ketersediaan insulin dalam
tubuh atau terjadinya gangguan fungsi insulin, yang sebenarnya jumlahnya cukup.
Kekurangan insulin disebabkan terjadinya kerusakan sebagian kecil atau sebagian besar sel
– sel beta pulau langerhans dalam kelenjar pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin
(Prapti Utami, 2008).

1) Diabetes Melitus Tipe 2 (diabetes yang tidak tergantung kepada insulin/ NIDDM)

21
21
21
21
21
Jika dirunut lebih mendalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan diabetes
mellitus, yaitu sebgai berikut:
a. Genetik atau Faktor Keturunan
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA
(human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya. Sembilan puluh lima persen
pasien berkulit putih (caucasian) dengan diabetes tipe I memperlihatkan tipe HLA
yang spesifik (DR3 atau DR4).
Risiko terjadinya diabetes tipe I meningkat tiga hingga lima kali lipat pada
individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Risiko tersebut meningkat
sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4
(jika dibandingkan dengan populasi umum).
b. Virus dan Bakteri
Virus yang diduga menyebabkan diabetes mellitus adalah rubela, mumps, dan
human coxsackievirus B4. Hasil penelitian menyebutkan bahwa virus dapat
menyebabkan diabetes mellitus melalui mekanisme infeksi sitolitik pada sel beta yang
mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Selain itu, melalui reaksi otoimunitas yang
menyebabkan hilangnya otoimun pada sel beta.
c. Bahan toksik atau beracun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung, yakni
alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozotocin (produksi jenis jamur). Bahan toksik
lain berasal dari cassava atau singkong. Singkong merupakan tanaman yang banyak
tumbuh didaerah tropik, merupakan sumber kalori utama penduduk kawasan tertentu.
Singkong mengandung glikosida sianogenik yang dapat melepaskan sianida sehingga
memberi efek toksik terhadap jaringan tubuh.

22
22
22
22
22
d. Nutrisi
Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan nutrisi, baik
sebagai faktor penyebab maupun pengobatan. Nutrisi yang berlebihan (overnutrition)
merupakan faktor resiko pertama yang diketahui menyebabkan diabetes mellitus.
Semakin lama dan berat obesitas akibat nutrisi yang berlebihan, semakin besar
kemungkinan terjangitnya diabetes mellitus.
e. Otoimun
Disebabkan kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta
pankreas. Respon ini merupakan proses abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Otoantibodi terhadap sel-sel pulau
langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dan bahkan
beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I yang baru
terdiagnosis atau pada pasien pradiabetes (pasien dengan antibodi yang terdeteksi tetapi
tidak memperlihatkan gejala klinis diabetes). Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu
pula oleh adanya infeksi pada tubuh. Ditemukan beberapa petanda imun (immune
markers) yang menunjukkan pengrusakan sel beta pankreas untuk mendeteksi
kerusakan sel beta, seperti "islet cell autoantibodies (ICAs), autoantibodies to insulin
(IAAs), autoantibodies to glutamic acid decarboxylase (GAD).)", dan antibodies to
tyrosine phosphatase IA-2 and IA-2.
f. Faktor lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor eksternal
yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai contoh hasil penyelidikan yang
menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan detruksi sel beta.
Interaksi antara faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan dalam etiologi
diabetes tipe I merupakan pokok perhatian riset yang terus berlanjut. Meskipun kejadian

23
23
23
23
23
yang menimbulkan destruksi sel beta tidak dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan
bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya
diabetes tipe I merupakan hal secara umum dapat diterima
g. Idiopatik
Sebagian kecil diabetes melitus tipe 1 penyebabnya tidak jelas(idiopatik).
2) Diabetes Melitus Tipe 2 (diabetes yang tidak tergantung kepada insulin / NIDDM)
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
Diabetes melitus tipe-2 merupakan jenis diabetes melitus yang paling sering ditemukan di
praktek, diperkirakan sekitar 90% dan semua penderita diabetes melitus di Indonesia.
Sebagian besar diabetes tipe-2 adalah gemuk (di negara barat sekitar 85%, di Indonesia
60%), disertai dengan resistensi insulin, dan tidak membutuhkan insulin untuk
pengobatan. Sekitar50% penderita sering tidak terdiagnosis karena hiperglikemi
meningkat secara perlahan-lahan sehingga tidak memberikan keluhan. Walaupun
demikian pada kelompok diabetes melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler, bahkan tidak jarang ditemukan beberapa komplikasi
vaskuler sekaligus. (Slamet Suyono,2006)
2.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus


berdasarkan perawatan dan simtoma:

 Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di
dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat
idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau
defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.
 Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai
dengan sindrom resistansi insulin

24
24
24
24
24
 Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, dan
menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:
- Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-
C.
- Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin
endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak
disertai dengan tambahan hormon dari luar tubuh.
- Not insulin requiring diabetes.
1) Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset
diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes
yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel
beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh
anak-anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan
dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan
dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas
maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini,
terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi
autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan
pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian
darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun,
adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa
menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan

25
25
25
25
25
pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada
umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan
untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan,
juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan pada saat
makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled
powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan
memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang
tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa
rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120
mg/dl, 4-6 mmol/l. Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5
mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti
"frequent hypoglycemic events".Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti
dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan
dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan
secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat glukosa darah yang rendah,
yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
2) Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related
diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes
mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah,
melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak
gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin,
resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor
hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka
terhadap insulinserta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun

26
26
26
26
26
meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada
kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan hormon
resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis
pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada
hati.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap
insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia
dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap
insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit,
sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada
beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi
ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi
terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok
hormon) itu merusak toleransi glukosaObesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien
dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi
mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat
mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes
tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet
(umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini
dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban
adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama
ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,,
perawatan dengan lisan [antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon
insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di
kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g.,

27
27
27
27
27
sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh
hati ( dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g., metformin),
dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika
ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara
normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang
cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan
perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.
Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru
ini diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2. Seperti
zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi
perkembangan sel tumor maupun kanker.
Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah
defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria pada otot lurik. Sebaliknya,
hormon tri-iodotironina menginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan
sintesis ATP sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada
kompleks IV, menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif, sedang
hormon melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta
meningkatkan aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV. Bersama
dengan insulin, ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif
mitokondria di dalam otot lurik. Di sisi lain, metalotionein yang menghambat aktivitas
GSK-3beta akan mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.
Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti
dengan pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui
sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat
menentukan apakah metoda ini dapat memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan
perubahan homeostasis glukosa.

28
28
28
28
28
Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan
naringin, diketahui menyebabkan
- Peningkatan mRNA glukokinase,
- Peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan
- Peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom
- Peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin
- Penurunan ekspresi GLUT2 pada hati
- Penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati
- Penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain dengan
menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol
asiltransferase
- Penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil,
antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan
fosfatidat fosfohidrolase
- Meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan
glukoneogenesis

sedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA fosfoenolpiruvat


karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di dalam hati.

Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada buah jenis
jeruk, sedang naringin banyak ditemukan pada buah jenis anggur.

3) Diabetes mellitus tipe 3


Diabetes mellitus gestasional (bahasa Inggris: gestational diabetes, insulin-
resistant type 1 diabetes, double diabetes, type 2 diabetes which has progressed to
require injected insulin, latent autoimmune diabetes of adults, type 1.5" diabetes, type 3
diabetes, LADA) atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih
29
29
29
29
29
setelah melahirkan, dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan
patogenesisnya.[29] GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar
20–50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan.
GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan.
GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama
masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat
membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi
meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan
dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin
dapat menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan
pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada
kasus yang parah, kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai
akibat dari perfusi plasenta yang buruk karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan
dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan
dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang
berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.

2.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus


Pancreas yang disebut kelenjar ludah perut, adalah kelenjar penghasil insulin yang
terletak di belakang lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti
pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang
mengeluarkan hormone insulin yang sangt berperan dalam mengatur kadar glukosa darah.
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang
dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel
glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila isulin tidak ada, maka glukosa
dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam darah tidak

30
30
30
30
30
dapat masuk ke dalams el dengan akibat kadar glukosa dalam darah meningkat. Keadaan
inilah yang terjadi pada diabetes mellitus tipe 1.
Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi fenomena autoimun yang ditentukan secara genetik
dengan gejala yang akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang
memproduksi insulin. Tipe diabetes ini berkaitan dengan tipe histokompabilitas (Human
Leucocyt Antigen/HLA) spesifik. Tipe gen histokompabilitas ini adalah yang memberi kode
pada protein yang berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Protein ini
mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari sistem imun. Jika terjadi
kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting dalam patogenesis
perusakan pulau langerhans. Sedangkan pada diabetes melitus tipe2 berkaitan dengan
kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari
sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Pada tipe ini terdapat kelainan dalam pengikatan
insulin dengan reseptor yang disebabkan oleh berkurangnya tempat reseptor pada membran
sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidakabnormalan reseptor intrinsik
insulin. Akibatnya, terjadi penggabungan abnornmal antara komplek reseptor insulin dengan
sistem transpor glukosa. Ketidakabnormalan posreseptor ini dapat menggangu kerja insulin.
(Sylvia A Price, 2006)
Pada keadaan diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin bisa normal, bahkan lebih banyak,
tetapi jumlah reseptor (penangkap) insulin di permukaan sel kurang. Reseptor insulin ini
dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan DM
tipe 2, jumlah lubang kuncinya kurang, sehingga meskipun anak kuncinya (insulin)
banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk ke
dalam sel sedikit, sehingga sel kekurangan bahan bakar (glukosa) dan kadar glukosa dalam
darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan keadaan DM tipe 1, bdanya
adalah pada DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi atau
normal. Pada DM tipe 2 juga bisa ditemukan jumlah insulin cukup atau lebih tetapi
kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk ke dalam sel. Di samping

31
31
31
31
31
penyebab di atas, DM juga bisa terjadi akibat gangguan transport glukosa di dalam sel
sehingga gagal digunakan sebagai bahan bakar untuk metabolism energi.
Jadi sebagian besar patologi Diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama
kekurangan insulin. Keadaan patologi tersebut akan berdampak hiperglikemia,
hiperosmolaritas, dan starvasi seluler.
 Hiperglikemia
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa dalam tubuh akan
difasilitasi oleh insulin untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa ini kemudian
diolah menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada
sisa akan disimpan dalam bentuk glukogen dalam hati dan sel-sel otot proses
glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah
hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung
dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia).
 Hiperosmolaritas
Pada penderita diabetes melitus hiperosmolaritas terjadi karena
peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa dalam darah
akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk mengabsorbsi dan
memfiltrasi glukosa. Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan
glukosa melalui urin (glukosuria). Ekresi molekul glukosa yang aktif secara
osmosis akan menyebabkan kehilangan sebagian besar air (diuresis osmotik) dan
berakibat peningkatan volume air (poliuria).
 Starvasi Seluler
Starvasi seluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena
glukosa sulit masuk padahal disekeliling sel banyak glukosa. Dampak dari
starvasi seluler ini terjadi proses kompensasi seluler untuk tetap
mempertahankan fungsi sel antara lain:
- Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-

32
32
32
32
32
jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan
lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan
glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energi
mungkin juga menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini ini
berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot dan rasa mudah
lelah.
- Strarvasi seluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme
protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan
untuk glukoneogenesis dalam hati. Proses ini akan menyebabkan
penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur
pembentuk protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi
diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan melalui urin. Depresi
proin akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap
infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak.
- Starvasi juga akan berdampak peningkatan mobilisasi lemak (lipolisis)
asam lemak bebas. Trigliserida dan gliserol yang meningkat bersirkulasi
dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses kekogenesis yang
digunakan untuk melakukan aktivitas sel.
- Starvasi juga akan meningkatkan mekanisme penyesuaian tubuh untuk
meningkatkan pemasukan dan munculnya rasa ingin makan (polifagi).
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), patogenesis  DM yaitu :
1. Diabetes Tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena
sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia bisa
terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa
yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada
dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan).

33
33
33
33
33
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar : akibatnya, glukosa tersebut muncul
dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlabihan diekskresikan ke urin,
ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula.
Keadaan ini dinamakan dieresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (Polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori, gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan.
2. Diabetes Tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insuliin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini ter-jadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
2.6 Manifestasi Klinik Diabetes Mellitus
Manifestasi klinis pada penderita Diabetes Melitus, yaitu:
a) Gejala awal pada penderita DM adalah

34
34
34
34
34
1. Polyuria (peningkatan volume urin)
Penyakit Diabetes Melitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon
insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi
glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi.
Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula
darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal
tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah.
Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan
dikeluarkan bersama urin yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan
glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urin (Price,2006).
2. Polydipsia (peningkatan rasa haus)
Akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang
menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehisrasi intrasel mengikuti dehidrasi
ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan
gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi
intrasel merangsang pengeluaran ADH (antidiuretic hormone) dan
menimbulkan rasa haus.
3. Polyphagia (peningkatan rasa lapar)
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport
glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan
karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk
melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga
menyebabkan banyak makan (Price,2006)
4. Rasa lelah dan kelemahan otot
Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien
diabetes lama, katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian
besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.

35
35
35
35
35
Penurunan berat badan juga menjadi dapat menjadi gambaran DM tipe 2
ini, tetapi penurunan berat bada ntersebut tidak ekstrem bahkan mungkin
tidak diperhatikan. Sebagian besar penyandang yang baru didiagnosis
mengalami DM tipe 2 mengalami kelebihan berat badan (Brooker, 2008).
Gejala Somnolen juga akan terlihat pada penderita yang mengalami DM tipe
2, dimana terjadi penurunan kesadaran, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur (Price, 2006).
b) Gejala lain yang muncul:
1. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan
pembentukan antibody, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus,
gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes
kronik.
2. Adanya kelainan kulit seperti gatal-gatal, bisul.
3. Kelainan ginekologis seperti keputihan dengan penyebab tersering yaitu
jamur terutama candida.
4. Kesemutan, rasa baal akibat neuropati.
5. Penurunan energi metabolik yang dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis
tidak dapat berlangsung secara optimal.
6. Luka yang lama sembuh, proses penyembuhan luka membutuhkan bahan
dasar utama dari protein dan unsur makanan yang lain. Bahan protein banyak
diformulasikan untuk kebutuhan energi sel sehingga bahan yang diperlukan
untuk penggantian jaringan yang rusak mengalami gangguan.
7. Laki-laki dapat terjadi impotensi, ejakulasi dan dorongan seksualitas
menurun karena kerusakan hormon testosteron.
8. Terjadi pengaburan atau kehilangan penglihatan karena katarak atau
gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia.
9. Kelemahan tubuh

36
36
36
36
36
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang
dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar
gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan
gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak
dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa
menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis
diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri
perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh
berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau
aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma,
kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin,
penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali
penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakan atau penyakit yang
serius.
Penderita diabetes tipe II, bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun.
Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih
dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi
(sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres, misalnya infeksi atau obat-
obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma, hiperglikemik -
hiperosmolar non-ketotik.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Mellitus


Seperti diketahui bahwa masalah yang dihadapi oleh seorang diabetisi adalah
timbulnya komplikasi spesifik seperti retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal ginjal,
neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), gangren, dan penyakit arteria
koronaria (coronary artery disease).

37
37
37
37
37
Oleh sebab itu seorang diabetisi membutuhkan beberapa jenis pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui dan memantau perkembangan komplikasi spesifik diatas. Dengan
demikian, perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.
Jenis Pemeriksaan Medis Kedokteran yang biasa dilakukan adalah kadar glukosa darah
puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta
pemeriksaan fruktosamin. Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena
pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang
bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment
untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.
1. Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara
glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang
dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan
ireversibel.
 Metode pemeriksaan HbA1C
a) Metode Ion-exchange chromatography: harus dikontrol perubahan suhu
reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu
adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil negatif palsu.
b) Metode HPLC (high performance liquid chromatography): prinsip sama
dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan
presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.
c) Metode Electroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi
presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi
kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.
d) Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur
HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.

38
38
38
38
38
e) Metode Affinity chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk
labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi
suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini,
tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil
pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.
f) Metode Analisis kimiawi dengan Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2
jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated
labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran yang kurang
dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
 Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena
itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada
penderita diabetes (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-
nya) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih
intensif untuk menghindari komplikasi.Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk
HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah
penatalaksanaan sudah ada kuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini
dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.
2. Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi Diabetes
Komplikasi spesifik DM: Aterosklerosis, Nefropati, Neuropati, dan Retinopati.
Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari komplikasi
spesifik tersebut, misalnya untuk memprediksi Nefropati dan gangguan Aterosklerosis.
 Memprediksi Nefropati
Pemeriksaan mikroalbuminuria untuk memantau komplikasi nefropati:
mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine (pemeriksaan ini jarang dilakukan).
Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah pemeriksaan serum ureum dan kreatinin
untuk melihat fungsi ginjal.

39
39
39
39
39
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam
atau sebesar 20-200 mg/menit. Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi
makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan
yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat dapat memperbaiki
mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan menuju ke nefropati
bisa diperlambat.
Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan
menggunakan strip atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor
pasien tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang digunakan. Yang sering adalah
cara kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion (RID), Radio Immunoassay
(RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay (ELISA), dan Immunoturbidimetry.
Metode kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan range yang mirip, serta
semuanya menggunakan antibodi terhadap human albumin. Sampel yang
digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam.
 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu
albuminuria normal (<20 mg/menit), mikroalbuminuria (20–200 mg/menit), Overt
Albuminuria (>200 mg/menit). Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan
minimal 1 X per tahun pada semua penderita DM usia > 12 tahun.
3. Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid,
yaitu kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density
lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria. Pada
pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika
tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan mencapai puncaknya 6 jam setelah makan).
4. Tes Toleransi Glukosa Oral/TTGO

40
40
40
40
40
Tes toleransi glukosa oral/TTGO (oral glucose tolerance test, OGTT) dilakukan
pada kasus hiperglikemia yang tidak jelas; glukosa sewaktu 140-200 mg/dl, atau glukosa
puasa antara 110-126 mg/dl, atau bila ada glukosuria yang tidak jelas sebabnya. Uji ini
dapat diindikasikan pada penderita yang gemuk dengan riwayat keluarga diabetes
mellitus; pada penderita penyakit vaskular, atau neurologik, atau infeksi yang tidak jelas
sebabnya.
TTGO juga dapat diindikasikan untuk diabetes pada kehamilan (diabetes
gestasional). Banyak di antara ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan gejala,
tetapi menderita gangguan metabolisme glukosa pada waktu hamil. Penting untuk
menyelidiki dengan teliti metabolisme glukosa pada waktu hamil yang menunjukkan
glukosuria berulangkali, dan juga pada wanita hamil dengan riwayat keluarga diabetes,
riwayat meninggalnya janin pada kehamilan, atau riwayat melahirkan bayi dengan berat
lahir > 4 kg. Skrining diabetes hamil sebaiknya dilakukan pada umur kehamilan antara
26-32 minggu. Pada mereka dengan risiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining
lebih awal.
 Nilai Rujukan
Puasa : 70 – 110 mg/dl (3.9 – 6.1 mmol/L)
½ jam : 110 – 170 mg/dl (6.1 – 9.4 mmol/L)
1 jam : 120 – 170 mg/dl (6.7 – 9.4 mmol/L)
1½ jam : 100 – 140 mg/dl (5.6 – 7.8 mmol/L)
2 jam : 70 – 120 mg/dl (3.9 – 6.7 mmol/L
 Interpretasi
a) Toleransi glukosa normal
Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa darah meningkat dan mencapai
puncaknya pada waktu 1 jam, kemudian turun ke kadar 2 jam yang besarnya di
bawah 126 mg/dl (7.0 mmol/L). Tidak ada glukosuria.Gambaran yang diberikan
berikut adalah untuk darah vena. Jika digunakan darah kapiler, kadar puasa lebih

41
41
41
41
41
tinggi 5.4 mg/dl (0.3 mmol/L), kadar puncak lebih tinggi 19.8 – 30.6 mg/dl (1.1 – 1.7
mmol/L), dan kadar 2 jam lebih tinggi 10.8 – 19.8 mg/dl (0.6 – 1.1 mmol/L). Untuk
plasma vena kadar ini lebih tinggi sekitar 18 mg/dl (1 mmol/L).
b) Toleransi glukosa melemah
Pada toleransi glukosa yang melemah, kurva glukosa darah terlihat meningkat dan
memanjang. Pada diabetes mellitus, kadar glukosa darah di atas 126 mg/dl (7.0
mmol/L); jika tak begitu meningkat, diabetes bisa didiagnosis bila kadar antara dan
kadar 2 jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L). Toleransi glukosa melemah ringan (tak
sebanyak diabetes) jika kadar glukosa puasa dibawah 126 mg/dl (7.0 mmol/L), kadar
antara di bawah 180 mg/dl (10 mmol/L), dan kadar 2 jam antara 126-180 mg/dl (7.0-
10.0 mmol/L). Terdapat glukosuria, walaupun tak selalu ada dalam sampel puasa.
Pada diabetes gestasional, glukosa puasa normal, glukosa 1 jam 165 mg/dl (9.2
mmol/L), dan glukosa 2 jam 145 mg/dl (8.0 mmol/L).
Pada banyak kasus diabetes, tidak ada puncak 1 jam karena kadar glukosa darah
meningkat pada keseluruhan waktu tes. Kurva diabetik dari jenis yang sama dijumpai
pada penyakit Cushing yang berat.
Toleransi glukosa yang lemah didapatkan pada obesitas (kegemukan), kehamilan
lanjut (atau karena kontrasepsi hormonal), infeksi yang berat (terutama staphylococci,
sindrom Cushing, sindrom Conn, akromegali, tirotoksikosis, kerusakan hepar yang
luas, keracunan menahun, penyakit ginjal kronik, pada usia lanjut, dan pada diabetes
mellitus yang ringan atau baru mulai.
Tes toleransi glukosa yang ditambah dengan steroid dapat membantu mendeteksi
diabetes yang baru mulai. Pada pagi dini sebelum TTGO dilaksanakan, penderita
diberikan 100 mg kortison, maka glukosa darah pada 2 jam bisa meningkat di atas
138.8 mg/dl (7.7 mmol/L) pada orang-orang yang memiliki potensi menderita
diabetes.
c) Penyimpanan glukosa yang lambat

42
42
42
42
42
Kadar glukosa darah puasa normal. Terdapat peningkatan glukosa darah yang
curam. Kadar puncak dijumpai pada waktu ½ jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L).
Kemudian kadar menurun tajam dan tingkatan hipoglikemia dicapai sebelum waktu 2
jam. Terdapat kelambatan dalam memulai homeostasis normal, terutama
penyimpanan glukosa sebagai glikogen. Biasanya ditemukan glukosuria transien.
Kurva seperti ini dijumpai pada penyakit hepar tertentu yang berat dan kadang-
kadang para tirotoksikosis, tetapi lebih lazim terlihat karena absorbsi yang cepat
setelah gastrektomi, gastroenterostomi, atau vagotomi. Kadang-kadang dapat
dijumpai pada orang yang normal.
d) Toleransi glukosa meningkat
Kadar glukosa puasa normal atau rendah, dan pada keseluruhan waktu tes
kadarnya tidak bervariasi lebih dari ± 180 mg/dl (1.0 mmol/L). Kurva ini bisa terlihat
pada penderita miksedema (yang mengurangi absorbsi karbohidrat) atau yang
menderita antagonis insulin seperti pada penyakit Addison dan hipopituarisme. Tidak
ada glukosuria. Kurva yang rata juga sering dijumpai pada penyakit seliak. Pada
glukosuria renal, kurva toleransi glukosa bisa rata atau ormal tergantung pada
kecepatan hilangnya glukosa melalui urine.
Faktor yang dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium
a) Penggunaan obat-obatan tertentu
b) Stress (fisik, emosional), demam, infeksi, trauma, tirah baring, obesitas dapat
meningkatkan kadar glukosa darah.
c) Aktifitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan kadar glukosa darah. Obat
hipoglikemik dapat menurunkan kadar glukosa darah.
d) Usia. Orang lansia memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Sekresi insulin
menurun karena proses penuaan.

5. Reduksi Urine

43
43
43
43
43
Pemeriksaan ini merupakan bagian dari pemeriksaan urine rutin yang selalu
dilakukan di klinik. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil
pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya glukosuria dimana didapatkan adanya
glukosa dalam urine. Beberapa hal yang perlu diingat dari hasil pemeriksaan reduksi
urine adalah:
 Digunakan pada pemeriksaan pertama sekali untuk tes skrining, bukan untuk
menegakkan diagnosis
 Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine dengan nilai (+) sampai
(++++)
 Warna hijau reduksi (+) : masih mungkin oleh sebab lain, seperti: renal
glukosuria, obat-obatan, dan lainnya
 Warna kuning reduksi (++) : kemungkinan KGD: 200 – 300 mg%
 Warna merah reduksi (+++) : kemungkinan KGD: 300 – 400 mg%
 Warna merah bata reduksi (++++) : kemungkinan KGD: • 400 mg%
 Dapat digunakan untuk kontrol hasil pengobatan
 Bila ada gangguan fungsi ginjal, tidak bisa dijadikan pedoman
6. Urinalisis
Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton. Pada respons terhadap
defisiensi intraseluller, protein dan lemak diubah menjadi glukosa (glikoneogenesis)
untuk energi. Selama proses pengubahan ini, asam lemak bebas dipecah menjadi badan
keton dan hepar. Ketosis terjadi ditunjukkan oleh ketonuria. Glukosuria menunjukkan
bahwa ambang ginjal terhadap reabsorpsi glukosa dicapai. Ketonuria menandakan
ketoasidosis.
7. Pemeriksaan Essei Hemoglobin Glikolisat
Tes ini mengukur persentase glukosa yang melekat pada hemoglobin. Glukosa
tetap melekat pada hemoglobin selama hidup. Rentang normal adalah 5 – 6%
8. Pemeriksaan C-peptide

44
44
44
44
44
Pemeriksaan ini digunakan untuk membedakan diabetes melitus tipe 1 dengan
tipe 2. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga
bisa digunakan untuk memonitor respons individual setelah operasi pankreas.
Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel
- sel pulau pankreas.
2.8 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Beberapa penelitian mencatat bahwa 50-80% diabetes memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang kurang dalam mengelola penyakitnya (Norris et all, 2001 dalam Sutandi,
2012). Minimnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola penyakit diabetes
mellitus dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada
diabetes mellitus tipe-2 dan mengenai organ vital yang dapat fatal, sehingga perlu
penatalaksanaan dan terapi agresif untuk mencapai kendali faktor resiko diabetes mellitus.
Dalam Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe-2 di Indonesia tahun
2011, penatalaksanaan dan pengelolaan diabetes mellitus dititik beratkan pada empat pilar
penatalaksanaan diabetes mellitus, yaitu:
1) Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan
secara komprehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki
perilaku sehat.
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang
diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya. Salah satu
upaya edukasi dalam penatalaksanaan diabetes mellitus adalah Diabetes Self-
Management Education (DSME). Diabetes Self-Management Education (DSME)
merupakan proses pendidikan kesehatan bagi individu atau keluarga dalam mengelola
penyakit diabetes yang telah dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh Joslin Diabetes
Center (Barlett, 1986 dalam Sutandi, 2012). DSME menggunakan metode pedoman,

45
45
45
45
45
konseling, dan intervensi perilaku untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes
dan meningkatkan ketrampilan individu dan keluarga dalam pengelolaan penyakit
diabetes mellitus. Pendekatan pendidikan kesehatan dengan metode DSME tidak sekedar
menggunakan metode baik langsung maupun tidak langsung namun telah berkembang
dengan mendorong partisipasi dan kerjasama diabetesi dan keluarganya. Pendidikan
kesehatan yang diberikan akan lebih efektif bila petugas kesehatan mengenal tingkat
pengetahuan, sikap dan kebiasaan sehari-hari pasien dan keluarga tersebut. Pendidikan
kesehatan yang sesuai kebutuhan pasien dan keluarga, secara langsung atau tidak
langsung dapat meningkatkan kemampuan perawatan secara mandiri sehingga
produktifitas pasien dan keluarganya dapat meningkat juga.
2) Terapi gizi medis
Prinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Penderita harus
mengurangi makanan yang cepat diserap menjadi gula darah yaitu karbohidrat sederhana,
seperti yang terdapat pada gula pasir, gula jawa, sirop, dodol, selai, permen, cokelat, es
krim, dan minuman ringan. Namun sebaliknya, justru dianjurkan untuk mengkonsumsi
karbohidrat kompleks, yang mengandung lebih dari satu rantai glukosa sehingga sebelum
diserap ke aliran darah akan lebih dulu terurai menjadi satu rangkai glukosa melalui
proses pencernaan. Contoh karbohidrat kompleks yaitu zat-zat tepung, dan roti gandum.
3) Latihan jasmani
Diet dan olahraga harus dilakukan bersamaan sebagai sarana untuk mengontrol
gula darah yang cukup ampuh bagi penderita diabetes mellitus. Latihan jasmani
dianjurkan yang bersifat aerobik, seperti berjalan santai, jogging, bersepeda, dan
berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan meningkatkan sensitifitas insulin. Kegiatan olahraga yang baik memenuhi
kriteria sebagai berikut:

46
46
46
46
46
 Dilakukan secara teratur 3 – 4 kali seminggu dengan teratur. Selang sehari sebaiknya
dipergunakan untuk beristirahat atau pemulihan.
 Intensitas latihan, sebaiknya dipilih yang sedang, yaitu sekitar 70% dari detak jantung
maksimal. Detak janung maksimal seseorang adalah 220 dikurangi usia orang yang
bersangkutan.
 Tempo layihan, sebaiknya 30 – 60 menit setiap kali berolahraga.
 Melakukan pemanasan atau warming up sebelum latihan dan mengakhirinya dengan
cooling down atau pendinginan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya timbunan
zat racun akibat gangguan metabolisme tubuh sewaktu berolahraga.
4) Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan, dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1. Pemicu sekresi insulin:
 Sulfonilurea
- Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas.
- Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
- Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi
 Glinid
- Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
- Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih
ditekankan pada sekresi insulin fase pertama
- Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
2. Peningkat sensitivitas insulin
47
47
47
47
47
 Biguanid
- Golongan biguanid yang banyak digunakan adalah
metformin
- Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati
- Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita
diabetes gemuk, disertai dislipidemia dan resistensi insulin
 Tiazolidindion
- Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa perifer
- Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung
karena meningkatkan retensi cairan
3. Penghambat glukoneogenesis
 Biguanid (Metformin)
- Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga
mengurangi produksi glukosa hati
- Metmorfin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal
dengan kreatinin serum >1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati,
serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada
sepsis
- Metmorfin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia
seperti golongan sulfonylurea
- Metmorfin mempunyai efek samping pada saluran cerna
namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan
4. Penghambat glukosidase alfa
48
48
48
48
48
 Acarbose
- Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus
- Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia
seperti golongan sulfonylurea
- Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu
kembung dan flatulens
- Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) glucagon-like
peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptide yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi
bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan
perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon.
Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi etabolit yang
tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat
meningkatkan pelepasan insulin dan menghambat pelepasan
glukagon.
Obat Suntikan
Obat suntikan pada penderita diabetes mellitus adalah berupa terapi
insulin. Tujuan terapi ini terutama untuk mempertahankan glukosa darah dalam
kadar normal atau mendekati normal dan menghambat kemungkinan timbulnya
komplikasi kronis pada diabetes. Tugas pokok insulin adalah mengatur
pengangkutan atau masuknya glukosa dari darah ke dalam sel sehingga glukosa
darah bisa turun. Jadi, insulin berperan dalam mengatur kestabilan glukosa di
dalam darah.
Struktur kimia hormon insulin bisa rusak oleh proses pencernaan sehingga
insulin tidak bisa diberikan melalui tablet atau pil. Satu-satunya jalan pemberian
insulin adalah melalui suntikan. Berikut ini macam-macam insulin berdasarkan
kecepatan kerja:

49
49
49
49
49
1. Insulin kerja cepat (short-acting insulin)
Insulin jenis ini kerjanya capt, tetapi berakhir dengan cepat pula.
Insulin reguler (regular insulin) akan mulai bekerja setelah disuntikkan 30
menit sampai 1 jam, puncaknya pada 3 – 4 jam setelah disuntikkan. Efek
obat berakhir setelah 6 – 10 jam. Contoh lain yang beredar di pasaran
Indonesia adalah Actrapid dan Humulin R
2. Insulin kerja sangat cepat (quick-acting insulin)
Insulin lispro atau insulin aspart adalah insulin analogues yang
bekerjanya lebih cepat. Hanya dalam 15 menit sudah menunjukkan
efeknya. Puncak efek obat dicapai dalam waktu 1 jam dan pengaruh obat
akan berakhir dalam 3 – 5 jam.
3. Insulin kerja sedang (intermediate-acting insulin)
Dibandingkan dengan insulin kerja cepat, insulin ini kerjanya lebih
lambat dan lebih panjang. Insulin NPH atau Lente bekerja mulai 2 jam
setelah disuntikkan. Efek obat mencapai puncak setelah 8- 12 jam, dan
berakhir setelah 24 jam.
4. Mixed insulin
Insulin campuran adalah campuran dua macam insulin yang short-
acting insulin dan intermediate-acting. Insulin jenis ini mulai bekerja
dalam 30 menit atau 1 jam. Efek puncak tercapai dalam dua fase, yaitu 3
jam dan 8 – 12 jam setelah suntik, dan berakhir setelah 24 jam.
5. Insulin kerja panjang (long-acting insulin)
Insulin ini membutuhkan beberapa jam sebelum bekerja. Puncak
efek tercapai lebih lama daripada jenis insulin sebelumnya. Insulin
Ultralnete mulai menunjukkan efek obatsetelah 7 jam penyuntikan. Puncak
dari efek obat timbul lebih dari 22 jam dan pengaruh obat akan belangsung
lebih dari 24 jam.

50
50
50
50
50
6. Insulin kerja sangat panjang (very long-acting insulin)
Insulin Glargine (Lantus) atau insulin Detemir (Levenir) mulai
bekerja dalam 1 – 2 jam. Puncak efek obat hampir tidak ada atau merata
selama 24 jam, dan efek obat akan berakhir sampai lebih dari 24 jam.
2.9 Komplikasi Diabetes Mellitus
1) Komplikasi Jangka Pendek
Penyakit diabetes melitus bisa diikuti dengan berbagai komplikasi. Dalam jangka
pendek, diabetes dapat menyebabkan:
 Hiperglikemia (Hyperglycemia)
Hiperglikemia atau gula darah tinggi dalam waktu yang panjang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan organ tubuh. Komplikasi ini dapat terjadi jika
pasien tidak mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi level glukosa dalam
darah seperti injeksi insulin, atau karena disebabkan pola makan dan hidup yang
tidak berorientasi pada penanganan penyakit diabetes. Hiperglikemia adalah kondisi
yang serius dan membutuhkan tindakan medis secepatnya.
 Hipoglikemia (Hypoglycemia)
Dalam beberapa kasus, penderita diabetes melakukan penanganan yang salah dan
berlebihan sehingga level glukosa dalam darah menjadi terlalu rendah. Melewatkan
jam makan dan olahraga serta mengkonsumsi obat diabetes (memperkecil kadar
glukosa) atau melakukan injeksi insulin bisa menyebabkan hipoglikemia. Selalu
mengontrol level glukosa dalam darah dan konsultasikan dengan dokter mengenani
penanganan diabetes yang tepat, agar pasien tidak jatuh dalam kondisi hipoglikemia
ini.
 Ketoacidosis
Ketoacidosis adalah komplikasi penyakit diabetes yang terjadi saat tubuh tidak
mampu menggunakan glukosa/gula darah sebagai energi karena kekurangan insulin.
Saat sel-sel tubuh kekurangan energi, mereka akan menggunakan cadangan lemak

51
51
51
51
51
sebagai energi. Saat jaringan lemak terganggu, terbentuklah zat keton (racun) dalam
tubuh. Kondisi ini bisa mengakibatkan kesulitan bernapas, sakit perut parah, dan juga
dehidrasi.
2) Komplikasi Jangka Panjang
Semakin lama seseorang menderita penyakit diabetes, maka semakin tinggi pula
resikonya mengalami komplikasi akibat problem glukosa dalam darah ini. Penanganan
yang baik bisa mencegah terjadinya komplikasi-komplikasi ini, atau semakin baik pasien
mengontrol level glukosa tetap normal maka semakin kecil resikonya.
Komplikasi akibat diabetes umumnya berhubungan dengan kerusakan pembuluh
darah. Diabetes dalam jangka panjang dapat menyebabkan pembuluh darah menyempit
dan mengurangi volume aliran darah ke berbagai bagian tubuh seperti mata, ginjal,
jaringan saraf, dan lain sebagainya. Akibatnya bagian-bagian tubuh tersebut akan
mengalami kerusakan fungsi yang serius, bahkan mengancam nyawa.
 Kerusakan mata
Penyakit diabetes dapat merusak pembuluh darah di mata, yang bisa
menyebabkan berbagai seperti katarak, glaukoma, kerusakan retina, hingga kebutaan.
 Masalah pada kulit dan kaki
Penderita diabetes sangat rentan terhadap masalah pada kaki. Rusaknya jaringan
saraf dan pembuluh darah akan membatasi aliran darah ke tempat tersebut. Luka
gores kecil di kaki atau kulit dengan mudah berubah menjadi luka infeksi yang
sangat parah. Tanpa perhatian yang serius, luka tersebut akan semakin menyebar dan
merusak. Pada kondisi terparah, bagian tersebut harus diamputasi agar infeksi tidak
terus menyebar.
 Masalah jantung
Seseorang dengan diabetes beresiko tinggi terkena masalah jantung. Peneliti
mengatakan bahwa resiko serangan jantung pada penderita diabetes sama dengan
orang yang pernah terkena serangan jantung sebelumnya.

52
52
52
52
52
Beberapa masalah pada jantung dan penyempitan pembuluh darah yang
berhubungan dengan diabetes antara lain: Stroke, Kerusakan pembuluh arteri,
Tekanan darah tinggi dan Kolesterol tinggi
 Neuropathy
Gula yang berlebih pada tubuh dapat merusak saraf dan jaringan pembuluh di
kaki dan tangan, menyebabkan kesemutan, mati rasa, sakit atau sensasi seperti
terbakar. Pada kondisi mati rasa yang parah, penderita diabetes bahkan tidak dapat
merasakan rasa sakit jika tergores, hingga akhirnya sadar saat luka tersebut melebar
dan terinfeksi. Selain beberapa komplikasi di atas, penyakit-penyakit berikut juga
memiliki potensi terjadi pada penderita diabetes dalam jangka panjang: Infeksi kulit,
Infeksi saluran kemih, Gagal ginjal, dan Disfungsi ereksi
2.10 Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus
1. Pengkajian

Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes melitus dilakukan
mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat
keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari. Hal yang
perlu dikaji pada klien degan diabetes melitus :

 Pengkajian focus
Menurut (Doenges, 2000) pengkajian meliputi:
1. Aktivitas istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus
otot menurun. Gangguan tidur/istirahat.
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau
dengan aktivitas. Letargi/disorientasi, koma. Penurunan kekuatan otot.
2. Sirkulasi

53
53
53
53
53
Gejala : Adanya riwayat hipertensi; IM akut. Klaudikasi, kebas
dan kesemutan pada ekstremitas. Ulkus pada kaki, penyembuhan yang
lama. Tanda : Takikardia. Perubahan tekanan darah postural;
hipertensi. Nadi yang menurun atau tak ada. Distritmia. Krekels; DVJ
(GJK). Kulit panas, kering dan kemerahan; bola mata cekung.
3. Integritas Ego
Gejala : Stres, tergantung pada orang lain. Masalah finansial
yang berhubungan dengan kondisi.
Tanda : Ansietas, peka rangsang.
4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia. Rasa nyeri terbakar,
kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru atau berulang. Nyeri tekan
abdomen.
Tanda : Urine encer, pucat, kuning; poliuria (dapat berkembang menjadi
oliguria atau anuria jika terjadi hipovolemia berat). Urine berkabut,
bau busuk (infeksi). Abdomen keras, adanya asitesis. Bising usus lemah
dan menurun; hiperaktif (diare).
5. Makanan/cairan
Gejala : Hilang nafsu makan. Mual atau muntah. Tidak mengikuti diet,
peningkatan masukan glukosa atau karbohidrat. Penurunan berat
badan lebih dari periode beberapa hari atau minggu. Haus. Penggunaan
diaretik (tiazid).
Tanda : Kulit kering atau bersisik, turgor jelek. Kekakuan atau
distensi abdomen, muntah. Pembesaran iroid (peningkatan kebutuhan
metabolik dengan peningkatan gula darah). Bau halitosis atau manis, bau
buah (napas aseton).
6. Neurosenseri

54
54
54
54
54
Gejala : Pusing atau pening. Sakit kepala. Kesemutan, kebas. Kelemahan
pada otot, parestesia. Gangguan penglihatan.
Tanda : Disorientasi, mengantuk, letargi, stupor atau koma (tahap lanjut).
Gangguan memori (baru, masa lalu); kacau mental. Refleks tendon dalam
(RTD) menurun (koma). Aktivitas kejang (tahap lanjut dari DKA).
7. Nyeri Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang atau nyeri (sedang atau berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati.
8. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit
Tanda : Demam, diaforesis, Kulit rusak, lesi / ulserasi
9. Pernafasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan atau tanda
sputum purulen (tergantung adanya infeksi atau tidak).
Tanda : Demam, diaforesis. Menurunnya kekuatan umum / rentang
gerak. Parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernafasan.
10. Seksualitas
Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi)
Tanda : Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.
11. Penyuluhan atau Pembelajaran
Gejala : Faktor resiko keluarga; DM, penyakit Jantung, Stroke,
Hipertensi, fenobarbital penyembuhan yang lambat. Penggunaan obat
seperti steroid, diuretik (tiazid); Dilantin dan dapat meningatkan kadar
glukosa darah). Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat :
5,9 hari Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam
pengaturan diet, pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa
darah.

55
55
55
55
55
 Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan laboratorium
1. Glukosa Urin
Pada umumnya, jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin orang
normal sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes, glukosa yang
dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai dengan
berat penyakitnya dan asupan karbohidratnya.
2. Kadar glukosa darah puasa
Kadar glukosa darah sewaktu pada pagi hari, normalnya ialah 80 mg/dl
dan 110 mg/dl dipertimbangkan sebagai batas normal atas kadar normal.
Kadar glukosa diatas nilai ini seringkali menunjukkan adanya penyakit
diabetes mellitus.
3. Uji toleransi glukosa
Didapatkan bila orang normal yang puasa memakan 1 gram glukosa per
kilogram berat badan maka kadar glukosa darahnya akan meningkat dari
kadar kira – kira 90 mg/dl menjadi 120-140 mg/dl dan dalam waktu 2
jam kadar ini kan menurun ke nilai normalnya.
4. Pernapasan aseton
Sejumlah kecil asam asetoasetat, yang sangat meningkat pada penderita
diabetes berat dapat diubah menjadi aseton. Aseton bersifat mudah
menguap dan dikeluarkan melalui udara ekspirasi, akibatnya seringkali
seseorang dapat membuat diagnosis diabetes mellitus hanya dengan
mencium bau aseton pada napas pasien. (Guyton & Hall, 1996).
Pemeriksaan Penunjang
 Insulin darah

56
56
56
56
56
Mungkin menurun bahkan sampai tidak ada ( pada tipe I ) atau normal
sampai tinggi ( tipe II ) yang mengidentifikasi insufisiensi insulin/ gangguan
dalam penggunaan ( endogen atau eksogen)
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut b/d agen injuri fisik.
b) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan tubuh mengabsorbsi zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis.
c) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik: perubahan
sirkulasi, imobilitas dan penurunan sensabilitas (neuropati).
d) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak nyaman nyeri, intoleransi
aktifitas, penurunan kekuatan otot.
e) Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal (Familiar) dengan sumber
informasi.
f) Deficit self care b/d kelemahan, penyakitnya.
g) Potensial Komplikasi (PK) : Hipo / Hiperglikemi.
h) Potensial Komplikasi (PK) : Infeksi.

3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
1 Nyeri akut b/d Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
agen injuri asuhan keperawatan,  Lakukan pegkajian nyeri secara
fisik tingkat komprehensif termasuk lokasi,
kenyamanan klien karakteristik, durasi, frekuensi,
meningkat, dan kualitas dan ontro presipitasi.
dibuktikan dengan  Observasi  reaksi nonverbal dari
level nyeri: ketidaknyamanan.
klien dapat  Gunakan teknik komunikasi

57
57
57
57
57
melaporkan nyeri terapeutik untuk mengetahui
pada petugas, pengalaman nyeri klien
frekuensi nyeri, sebelumnya.
ekspresi wajah,  dan  Kontrol ontro lingkungan yang
menyatakan mempengaruhi nyeri seperti suhu
kenyamanan fisik dan ruangan, pencahayaan, kebisingan.
psikologis, TD  Kurangi ontro presipitasi nyeri.
120/80 mmHg, N: Pilih dan lakukan penanganan
60-100 x/mnt, RR: nyeri (farmakologis/non
16-20x/mnt farmakologis)..
Control nyeri   Ajarkan teknik non farmakologis
dibuktikan dengan (relaksasi, distraksi dll) untuk
klien melaporkan mengetasi nyeri..
gejala nyeri dan  Berikan analgetik untuk
control nyeri. mengurangi nyeri.
 Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
 Kolaborasi dengan dokter bila ada
komplain tentang pemberian
analgetik tidak berhasil.
 Monitor penerimaan klien tentang
manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :.
 Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
 Cek riwayat alergi.. Tentukan

58
58
58
58
58
analgetik pilihan, rute pemberian
dan dosis optimal.
 Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian analgetik.
 Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
 Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek samping.

2. Ketidakseimb Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi


angan nutrisi asuhan keperawatan,  Kaji pola makan klien
kurang dari klien menunjukan  Kaji adanya alergi makanan.
kebutuhan status nutrisi  Kaji makanan yang disukai oleh
tubuh bd adekuat dibuktikan klien.
ketidakmamp dengan BB stabil  Kolaborasi dg ahli gizi untuk
uan tubuh tidak terjadi mal penyediaan nutrisi terpilih sesuai
mengabsorbsi nutrisi, tingkat energi dengan kebutuhan klien.
zat-zat gizi adekuat, masukan  Anjurkan klien untuk
berhubungan nutrisi adekuat meningkatkan asupan nutrisinya.
dengan faktor  Yakinkan diet yang dikonsumsi
biologis. mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
 Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan pentingnya
bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
 Monitor BB setiap hari jika

59
59
59
59
59
memungkinkan.
 Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan klien
makan.
 Monitor lingkungan selama
makan.
 Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan dengan
waktu klien makan.
 Monitor adanya mual muntah.
 Monitor adanya gangguan dalam
proses mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan, bengkak
dsb.
 Monitor intake nutrisi dan kalori.

3. Kerusakan Setelah dilakukan Wound care


integritas asuhan keperawatan,  Catat karakteristik luka:tentukan
jaringan bd Wound healing ukuran dan kedalaman luka, dan
faktor meningkat klasifikasi pengaruh ulcers
mekanik: dengan criteria:  Catat karakteristik cairan secret
perubahan Luka mengecil dalam yang keluar.
sirkulasi, ukuran dan  Bersihkan dengan cairan anti
imobilitas dan peningkatan bakteri Bilas dengan cairan NaCl
penurunan granulasi jaringan 0,9%
sensabilitas  Lakukan nekrotomi K/P
(neuropati)  Lakukan tampon yang sesuai

60
60
60
60
60
 Dressing dengan kasa steril sesuai
kebutuhan
 Lakukan pembalutan
 Pertahankan tehnik dressing steril
ketika melakukan perawatan luka
 Amati setiap perubahan pada
balutan
 Bandingkan dan catat setiap
adanya perubahan pada luka
 Berikan posisi terhindar dari
tekanan

4.. Kerusakan Setelah dilakukan Terapi Exercise : Pergerakan sendi


mobilitas fisik Asuhan keperawatan,  Pastikan keterbatasan gerak sendi
bd tidak dapat teridentifikasi yang dialami
nyaman nyeri, Mobility level  Kolaborasi dengan fisioterapi
intoleransi Joint movement:  Pastikan motivasi klien untuk
aktifitas, aktif. mempertahankan pergerakan sendi
penurunan Self care:ADLs  Pastikan klien untuk
kekuatan otot Dengan criteria hasil: mempertahankan pergerakan sendi
Aktivitas fisik  Pastikan klien bebas dari nyeri
meningkaT. sebelum diberikan latihan
ROM normal  Anjurkan ROM Exercise aktif:
Melaporkan perasaan jadual; keteraturan, Latih ROM
peningkatan kekuatan pasif.
kemampuan dalam Exercise promotion
bergerak.  Bantu identifikasi  program latihan

61
61
61
61
61
Klien bisa melakukan yang sesuai
aktivitas.  Diskusikan dan instruksikan pada
Kebersihan diri klien klien mengenai latihan yang tepat
terpenuhi walaupun Exercise terapi ambulasi
dibantu oleh perawat  Anjurkan dan Bantu klien duduk di
atau keluarga tempat tidur sesuai toleransi
 Atur posisi setiap 2 jam atau sesuai
toleransi.
 Fasilitasi penggunaan alat Bantu
Self care assistance:
Bathing/hygiene, dressing, feeding
and toileting.
 Dorong keluarga untuk
berpartisipasi untuk kegiatan
mandi dan kebersihan diri,
berpakaian, makan dan toileting
klien
 Berikan bantuan kebutuhan sehari
– hari sampai klien dapat merawat
secara mandiri.
 Monitor kebersihan kuku, kulit,
berpakaian , dietnya dan pola
eliminasinya.
 Monitor kemampuan perawatan
diri klien dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
 Dorong klien melakukan aktivitas

62
62
62
62
62
normal keseharian sesuai
kemampuan.
 Promosi aktivitas sesuai usia
5. Kurang Setelah dilakukan Teaching : Dissease Process
pengetahuan asuhan keperawatan,  Kaji  tingkat pengetahuan klien
tentang pengetahuan klien dan keluarga tentang proses
penyakit dan meningkat. penyakit.
perawatan Knowledge : Illness  Jelaskan tentang patofisiologi
nya Care dg kriteria : penyakit, tanda dan gejala serta
Tahu Diitnya penyebab yang mungkin.
Proses penyakit  Sediakan informasi tentang kondisi
Konservasi energi klien.
Kontrol infeksi  Siapkan keluarga atau orang-orang
Pengobatan yang berarti dengan informasi
Aktivitas yang tentang perkembangan klien.
dianjurkan  Sediakan informasi tentang
Prosedur pengobatan diagnosa klien
Regimen/aturan  Diskusikan perubahan gaya hidup
pengobatan yang mungkin diperlukan untuk
Sumber-sumber mencegah komplikasi di masa
kesehatan                    yang akan datang dan atau kontrol
Manajemen penyakit proses penyakit.
 Diskusikan tentang pilihan tentang
terapi atau pengobatan
 Jelaskan alasan dilaksanakannya
tindakan atau terapi.
 Dorong klien untuk menggali

63
63
63
63
63
pilihan-pilihan atau memperoleh
alternatif pilihan.
 Gambarkan komplikasi yang
mungkin terjadi.
 Anjurkan klien untuk mencegah
efek samping dari penyakit.
 Gali sumber-sumber atau
dukungan yang ada.
 Anjurkan klien untuk melaporkan
tanda dan gejala yang muncul pada
petugas kesehatan.
 Kolaborasi dg  tim yang lain.
6. Defisit self Setelah dilakukan Bantuan perawatan diri
care asuhan keperawatan,  Monitor kemampuan pasien
klien mampu terhadap perawatan diri.
Perawatan diri  Monitor kebutuhan akan personal
Self care :Activity hygiene, berpakaian, toileting dan
Daly Living (ADL) makan.
dengan indicator :  Beri bantuan sampai klien
Pasien dapat mempunyai kemapuan untuk
melakukan aktivitas merawat diri.
sehari-hari (makan,  Bantu klien dalam memenuhi
berpakaian, kebutuhannya.
kebersihan, toileting,  Anjurkan klien untuk melakukan
ambulasi). aktivitas sehari-hari sesuai
Kebersihan diri kemampuannya.
pasien terpenuhi  Pertahankan aktivitas perawatan

64
64
64
64
64
diri secara rutin.
 Evaluasi kemampuan klien dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
 Berikan reinforcement atas usaha
yang dilakukan dalam melakukan
perawatan diri sehari hari.

7. PK: Hipo / Setelah dilakukan Managemen Hipoglikemia:


Hiperglikemi asuhan keperawatan,  Monitor tingkat gula darah sesuai
diharapkan perawat indikasi.
akan menangani dan  Monitor tanda dan gejala
meminimalkan hipoglikemi ; kadar gula darah <
episode hipo / 70 mg/dl, kulit dingin, lembab
hiperglikemia pucat, tachikardi, peka rangsang,
gelisah, tidak sadar , bingung,
ngantuk.
 Jika klien dapat menelan berikan
jus jeruk / sejenis jahe setiap 15
menit sampai kadar gula darah >
69 mg/dl.
 Berikan glukosa 50 % dalam IV
sesuai protokol.
 K/P kolaborasi dengan ahli gizi
untuk dietnya.
Managemen Hiperglikemia :
 Monitor GDR sesuai indikasi.
 Monitor tanda dan gejala diabetik

65
65
65
65
65
ketoasidosis ; gula darah > 300
mg/dl, pernafasan bau aseton, sakit
kepala, pernafasan kusmaul,
anoreksia, mual dan muntah,
tachikardi, TD rendah, polyuria,
polidypsia,poliphagia, keletihan,
pandangan kabur atau kadar
Na,K,Po4 menurun.
 Monitor v/s :TD dan nadi sesuai
indikasi.
 Berikan insulin sesuai order.
Pertahankan akses IV.
 Berikan IV fluids sesuai
kebutuhan.
 Konsultasi dengan dokter jika
tanda dan gejala Hiperglikemia
menetap atau memburuk.
 Dampingi/ Bantu ambulasi jika
terjadi hipotensi.
 Batasi latihan ketika gula darah
>250 mg/dl khususnya adanya
keton pada urine.
 Pantau jantung dan sirkulasi
( frekuensi & irama, warna kulit,
waktu pengisian kapiler, nadi
perifer dan kalium.
 Anjurkan banyak minum

66
66
66
66
66
 Monitor status cairan I/O sesuai
kebutuhan
8. PK : Infeksi Setelah dilakukan  Pantau tanda dan gejala infeksi
asuhan keperawatan, primer & sekunder.
perawat akan  Bersihkan lingkungan setelah
menangani / dipakai pasien lain. Batasi
mengurangi pengunjung bila perlu.
komplikasi defesiensi  Intruksikan kepada keluarga untuk
imun   mencuci tangan saat kontak dan
sesudahnya.
 Gunakan sabun anti miroba untuk
mencuci tangan.
 Lakukan cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan.
 Gunakan baju dan sarung tangan
sebagai alat pelindung.
 Pertahankan teknik aseptik untuk
setiap tindakan.
 Lakukan perawatan luka dan
dresing infus setiap hari.
 Amati keadaan luka dan sekitarnya
dari tanda – tanda meluasnya
infeksi
 Tingkatkan intake nutrisi.dan
cairan
 Berikan antibiotik sesuai program.
 Monitor hitung granulosit dan

67
67
67
67
67
WBC.
 Ambil kultur jika perlu dan
laporkan bila hasilnya positip.
 Dorong istirahat yang cukup
 Dorong peningkatan mobilitas dan
latihan.
 Ajarkan keluarga/klien tentang
tanda dan gejala infeksi.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan hormonal
(dalam hal ini hormon insulin yang dihasilkan oleh pankreas) dan melibatkan metabolisme
karbohidrat dimana seseorang tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi dengan baik, karena proses autoimmune, dipengaruhi
68
68
68
68
68
genetik dengan gejala yang pada akhirnya menuju tahap perusakan imunologi sel-sel yang
memproduksi insulin.

Penyakit Diabetes Mellitus diklasifikasikan menjadi empat golongan atau tipe yaitu DM
tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain, dan DM gestasional. Tanda dan gejala yang terjadi pada
penderita diabetes mellitus dibedakan menjadi gejala akut dan gejala kronik.

Determinan atau faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit diabetes mellitus
secara umum dapat digolongkan menjadi faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak
dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah meliputi usia, jenis kelamin, dan genetis.
Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah diantaranya faktor soioekonomi, faktor perilaku,
faktor lingkungan, dan faktor individunya sendiri yang mencakup penyakit yang diderita
maupun kondisi tubuhnya.

Minimnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola penyakit diabetes mellitus


dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada diabetes
mellitus tipe-2 dan mengenai organ vital yang dapat fatal, sehingga perlu penatalaksanaan
dan terapi agresif untuk mencapai kendali faktor resiko diabetes mellitus.

3.2 Saran
Untuk mahasiswa semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa yang
ingin membuat makalah penyimpanan bahan pangan kering dan dapat menambah wawasan
bagi mahasiswa.
Untuk dosen pengajar kami memohon bimbingan apabila dalam pembuatan tugas
makalah ini terjadi kesalah atau kekurangan, agar dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa
lebih baik.

69
69
69
69
69
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
70
70
70
70
70
Carpenito, L.J., 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, edisi 2, Penerbit EGC,
Jakarta.

Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6, Penerbit
EGC, Jakarta.

Joanne C.Mc Closkey. 1996. Nursing intervention classification (NIC). Mosby year book. St.
Louis

Marjory godon,dkk. 2000. Nursing diagnoses: Definition & classification 2001-2002. NANDA

Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi III),
EGC, Jakarta. FKUI, 1979, Patologi, FKUI, Jakarta

Ganong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta

Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta

Hinchliff, 1999, Kamus Keperawatan, EGC, Jakarta

Price, S. A dan Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC, Jakarta

71
71
71
71
71

Anda mungkin juga menyukai