Anda di halaman 1dari 59

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa ta’ala, yang Maha Pemberi


Kemudahan dan Maha Pemberi Anugerah, karena hanya dengan izin dan kuasa-
Nya serta rahmat kesehatan dan ilmu yang diberikan-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Laporan Praktik Klinik Manajemen TB Paru di
Puskesmas Sipatana Program Studi Diploma IV Keperawatan Politeknik
Kesehatan Kemenkes Gorontalo.
Penyusunan laporan akhir praktik klinik manajemen TB Paru ini banyak
menemui kendala dan kesulitan yang dihadapi. Namun, berkat izin dan kuasa
Allah Subhanahu Wa ta’ala disertai adanya kemauan, ketekunan dan usaha kerja
keras serta bantuan dari semua pihak sehingga kendala-kendala yang dihadapi
dapat teratasi.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penyusun menyadari bahwa
laporan ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, oleh sebab itu kritik dan
saran sangat diharapkan dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Gorontalo, Desember 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Profil Puskesmas Sipatana............................................................................1
B. Latar Belakang Pengobatan TB Paru............................................................2
C. Kebijakan Manajemen TB Paru....................................................................4
D. Data Kesehatan Dan Penanggulangan TB Paru Nasional.............................6
E. Tujuan Umum Dan Khusus.........................................................................10
BAB II....................................................................................................................11
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................11
A. Pengertian TB Paru dan Manajemen TB Paru............................................11
B. Penyebab dan Penularan TB Paru...............................................................11
C. Pemeriksaan TB Paru..................................................................................14
D. Pengobatan TB Paru....................................................................................17
E. Pencegahan TB Paru dan Pencegahan Kontak Serumah............................23
BAB III..................................................................................................................25
PEMBAHASAN....................................................................................................25
A. Indikator Program TB Paru.........................................................................25
B. Gambaran Umum TB paru di Puskesmas Sipatana tahun 2017.................26
C. Alur Diagnosis Pasien TB...........................................................................27
BAB IV..................................................................................................................45
KESIMPULAN......................................................................................................45
A. Kesimpulan.................................................................................................45
B. Saran............................................................................................................46
BAB I

PENDAHULUAN

A. Profil Puskesmas Sipatana


Puskesmas Sipatana merupakan salah satu dari delapan puskesmas yang
ada diwilayah kota Gorontalo. Puskesmas Sipatana memiliki wilayah kerja
mencakup Kecamatan Sipatana yang merupakan salah satu kecamatan baru yang
ada di kota Gorontalo.
Puskesmas Sipatana berkedudukan di Kelurahan Bulotadaa Barat
kecamatan Sipatana Kota Gorontalo tepatnya di lapangan Bulota jalan Ahmad
arbie kelurahan Bulotadaa Barat dengan batas batas wilayah kerja sebagai
berikut:
a) Sebelah utara berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Tapa Kabupaten
Bone Bolango.
b) Sebelah barat berbatasan dengan sungai Bolango Kabupaten Gorontalo.
c) Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Dulalowo
Kecamatan Kota Tengah.
d) Sebelah timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Wongkaditi
Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo

Jarak antara ibu kota kecamatan dengan puskesmas Sipatana adalah 1,5
Km, sedangkan dengan ibu kota Gorontalo adalah 5 Km. Luas wilayah kerja
puskesmas sipatana adalah 494,891 ha/m2 , mencakup pada lima kelurahan dan
satu kecamatan dengan 12 RW dan 27 RT yaitu :
Kecamatan sipatana
1. Kelurahan Tapa
2. Kelurahan Molosipat U
3. Kelurahan Bulotadaa Barat
4. Kelurahan Bulotadaa Timur
5. Kelurahan Tanggikiki

B. Latar Belakang Pengobatan TB Paru


Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Sesuai
dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, WHO menargetkan untuk
menurunkan kematian akibat tuberkulosis sebesar 90% dan menurunkan insidens
sebesar 80% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2014.
Pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru tuberkulosis
atau 142 kasus/100.000 populasi, dengan 480.000 kasus multidrug-resistant.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di dunia
setelah India. Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis menurun 22% antara
tahun 2000 dan 2015, tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi
di dunia pada tahun 2015 (WHO, Global Tuberculosis Report, 2016).
Menurut Gobal Tuberculosis Report WHO (2016), diperkirakan insidens
tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 395 kasus/100.000 penduduk
dan angka kematian sebesar 40/100.000 penduduk. Menurut perhitungan model
prediction yang berdasarkan data hasil survei prevalensi tuberkulosis tahun 2013-
2014, estimasi prevalensi tuberkulosis tahun 2015 sebesar 643 per 100.000
penduduk dan estimasi prevalensi tuberkulosis tahun 2016 sebesar 628 per
100.000 penduduk.
Angka kasus Baru TB Paru BTA positif yang ditemukan di Provinsi
Gorontalo Tahun 2014, terbanyak dikabupaten Gorontalo yaitu sebanyak 620
kasus paling sedikit dikabupaten Pohuwato sebanyak 124 kasus, rata-rata Provinsi
Gorontalo Case Notofication Rate (CNR) adalah 179 per 100.000 penduduk.
Capaian ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 dengan CNR mencapai
163 per 100.000 penduduk tahun 2013. Presentase Success Rate (SR) di Provinsi
Gorontalo mencapai 85,3%. (Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2014).
Berbagai program telah direncanakan demi menuntaskan masalah yang
timbul akibat TB Paru dan salah satunya adalah dengan melaksanakan strategi
Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) semenjak tahun 1995.
Strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO telah diimplementasikan
keseluruhan unit pelayanan kesehatan dan institusi terkait. Seperti tercantum
dalam target Sistem Kesehatan Nasional SDG’s (SUSTAINABLE
DEVELOPMENT GOALS) pada tahun 2030, mengakhiri tuberkulosis dengan
perangkat Implementasi (Means Of Implementation) yaitu mendukung penelitian
dan pengembangan vaksin dan obat penyakit menular maupun tidak menular yang
mempengaruhi terutama negara-negara berkembang, menyediakan akses obat dan
vaksin dasar yang terjangkau, sesuai Doha Declaration tentang TRIPS Agreement
and Public Health, tentang menyediakan obat bagi semua orang. (sumber:
Kemenkes RI 2015).
Pada tahun 1995 pemerintah memberikan anggaran obat bagi penderita
tuberkulosis secara gratis ditingkat Puskesmas, dengan sasaran utama adalah
penderita tuberkulosis dengan ekonomi lemah. Obat tuberkulosis harus diminum
oleh penderita secara rutin selama enam bulan berturut-turut tanpa henti.
Kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu diawasi
oleh anggota keluaga terdekat yang tinggal serumah, yang setiap saat dapat
mengingatkan penderita untuk minum obat. Apabila pengobatan terputus tidak
sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali penyakitnya
dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya besar
untuk pengobatannya.
Selain program DOTS yang dicanangkan oleh pemerintah, adapun upaya
yang telah dilakukan oleh petugas kesehatan khususnya petugas program
penanggulangan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Siapatana yakni melalui
sosialisasi atau penyuluhan dan adapula kunjungan rumah yang dilakukan sebagai
Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk pasien dengan pengobatan kategori II.
Berdasarkan data tahun 2016 yang didapat secara langsung dari
penanggung jawab program TB paru , jumlah penderita TB Paru di wilayah
puskesmas Sipatana adalah 57 Orang, dengan data sebagai berikut :

Tabel I.I
Proporsi Penderita TB Paru, Gagal Pengobatan dan Meninggal
Puskesmas Sipatana Tahun 2016

BTA (-), RO Gagal


Triwulan Suspek BTA (+) Meninggal
Mendukung Pengobatan
I 134 12 2 - -
II 102 9 3 - -
III 110 15 0 1 -
IV 116 12 4 - -
(Sumber, Buku register TB 01 dan TB 06 PKM Sipatana Tahun 2016)

C. Kebijakan Manajemen TB Paru


Pada sidang WHA (World Health Assembly) ke 67 tahun 2014 ditetapkan
resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan
untuk menghentikan epidemic global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
Kebijakan pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan :
1) Sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan
kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi:
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin
ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
2) Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
sebagai kerangka dasar dan memperhatikan strategi global untuk
mengendalikan TB (Global Stop TB Strategy).
3) Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB.
4) Penguatan pengendalian Tb dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya TB resisten obat.
5) Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan
oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL), meliputi: Puskesmas,
Rumah Sakit, Pemerintah Dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai
Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik Pengobatan
Serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).
6) Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan
TB dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat di tatalaksana di FKTP akan
dilakukan di FKTRL, dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor
penyulit telah dapat ditangani.
7) Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama
kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB
(Gerdunas TB).
8) Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan
ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan
9) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara
Cuma-Cuma dan dikelola dengan manajemen logistic yang efektif demi
menjalin ketersediannya.
10) Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program
11) Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan lainnya terhadap TB
12) Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya
13) Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global
pengendalian TB (Kemenkes, 2014)

D. Data Kesehatan Dan Penanggulangan TB Paru Nasional


1. Data Kesehatan TB Paru
Estimasi pravalensi TB semua kasus adalah sebesar 600.000
(WHO,2010) dan estimasi insiden berjumlah 430.000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian akibat TB diperkirakan Indonesia merupakan negara dengan
percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi diantara negara-negara di
Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik terkonsentrasi (a concentrated
epidemic), dengan perkecualian di provinsiPapua yang pravalensi HIVnya
sudah mencapai 2,5% (generalized epodemic). Secara nasional angka estimasi
pravalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.
Menurut hasil Riskesdas 2013, Pravalensi TB berdasarkan diagnosis
sebesar 0.4% dari jumlah penduduk. Menurut provinsi , pravalensi TB paru
tertinggi berdasarkan diagnosis yaitu Jawa Barat sebesar 0.7% , DKI Jakarta
dan Papua masing-masing Sebesar 0.6%. sedangkan menurut Global
Tuberculosis control, estimasi insiden semua tipe TB Tahun 2013 yang
sebesar 183 per 100.000 penduduk mengalami penurunan dibandingan tahun
1990 yang sebesarnya 343 per 100.000 penduduk. Begitu juga dengan
pravalensi TB dan mortalitas yang mengalami penurunan pada tahun 2013,
hal tersebut memperlihatkan bahwa program pengendalian Tb di Indonesia
telah berhasil menurunkan insiden, pravalensi, dan mortalitas akibat penyakit
TB.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk
intervensi HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV atau AIDS di
Indonesia sekitar 190.000 sampai 400.000. estimasi nasional prevalensi HIV
pada pasien TB Baru adalah 2,8%. Angka MDR(Multi Drug Resisten) TB
diperkirakan sekitar 2% dariseluruh kasus TB Baru dan 20% dari kasus TB
dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR
(Multi Drug Resisten) TB setiap tahun.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia
merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah
WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk
deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009
tercatat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan di obati ( data awal
Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA Positif. Dengan
demikian Case Notificatin Rate untuk TB BTA Positif adalah 73/100.000
(Case Detection Rate 73%). Data pencapaian angka keberhasilan pengobatan
selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada tahun 2008 mencapai
91%. Pencapaian target global merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB Nasional yang utama.
Meskipun secara nasional menunjukan perkembangan yang meningkat
dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian ditingkat
provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah. Sebanyak 28 Provinsi
di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan
hanya 5 Provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.
Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan
dibawah 2% maka angka resistensi obat TB pada pasien yang di obati
dipelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Namun demikian
sebagian besar data berasal dari Puskemas yang telah menerapkan strategi
DOTS dengan baik selama lebih dari 5 tahun terakhir. Probabilitas terjadinya
resistensi obat TB lebih tinggi di Rumah Sakit dan sektor swasta yang belum
terlibat dalam program pengendalian TB Nasional sebagai akibat dari
tingginya ketidakpatuhan dan tingkat Drop Out pengobatan karena tidak
diterapkannya strategi DOTS yang tinggi. Data dari penyedia pelayanan
swasta belum termasuk dalam data di program pengendalian TB
nasional.Sedangkan untuk Rumah Sakit data yang tersedia baru berasal dari
sekitar 30% Rumah Sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS. Proporsi
kasus TB dengan BTA Negatif sedikit meningkat dari 56% pada tahun 2008
menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus TB BTA Negatif
yang terjadi selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin disebabkan oleh
karena meningkatnya pelaporan kasus TB dari Rumah Sakit yang telah
terlibat dalam program TB nasional.
Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk
1.865 kasus BTA Positif. Proporsi kasus TB anak dari semua kasus TB
mencapai 10,45%. Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari
keseluruhan kasus TB Anak yang sesungguhnya mengingat tingginya kasus
over diagnosis difasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi dengan rendahnya
pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Penanggulangan TB Paru secara Nasional
Upaya pengendalian Tuberculosis (TB) di Indonesia sudah
berlangsung sejak masa pra-kemerdekaan. Terdapat empat tonggak penting
yang menandai perkembangan implementasi dan pencapaian program
pengendalian.
Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di indonesia secara
administrative berada di bawah dua Direktorat Jenderal kementerian
Kesehatan, yaitu Bina Upaya Kesehatan, dan P2PL (Subdit Tuberkulosis yang
bernaung di bawah Ditjen P2PL). Pembinaan puskesmas berada di bawah
Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan merupakan tulang punggung layanan TB
dengan arahan dari subdit Tuberkulosis,sedangkan pembinaan rumah sakit
berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan.
Pelayanan TB juga diselenggarakan di praktik swasta, rutan/lapas,
militer dan perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak berada di dalam
koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama antar ditjen dan
koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat diperluka dalam menerapkan
program pengendalian TB yang terpadu.
Struktur program penanggulangan TB Nasional, dalam menjalankan
fungsinya, penanggulangan Tuberkulosis Nasional menggunakan fasilitas
yang ada dalam struktur pelayanan kesehatan nasional, yaitu puskesmas
dibagi menjadi tiga kategori menurut fungsi yang berbeda-beda, yaitu:
a. Puskesmas rujukan mikroskopi (PRM): melatih para staf laboratorium dan
melakukan pembacaan sediaan apus dahak untuk beberapa
b. Puskesmas satelit (PS): tidak memiliki fasilitas laboratorium sendiri, dan
hanya membuat sediaan apus dahak difikasi, kemudian dikirim ke PRM
untuk dibaca hasilnya. Setelah setelah mendapatkan hasil, puskesmas
satelit akan menentukan rencana pengobatan
c. Puskesmas pelaksana mandiri (PPM): menyediakan layanan diagnosis dan
pengobatan TBC, tanpa bekerja sama dengan puskesmas satelit.

Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB


digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional
ada 2 yaitu:
a. Angka penemuanpasien TB BTA positif (Case Detection Rate/CDR)
b. Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate/SR)

Di samping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai


indikator nasional tersebut diatas, yaitu:
a. Angka penjaringan suspek
b. Proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa
dahaknya
c. Proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
d. roporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
e. Angka notifikasi kasus
f. Angka konversi
g. Angka kesembuhan
h. Angka kesalahan laboratorium (kemenkes RI,2014)

E. Tujuan Umum Dan Khusus


1. Tujuan Umum
Menggambarkan secara umum mengenai sistem manajemen TB Paru
terutama yang diterapkan atau diaplikasikan di Puskesmas Sipatana tahun
2017.
2. Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan kegiatan praktek manajemen TB Paru diharapkan
mampu:
a. Menggambarkan pengertian TB Paru dan Manajemen TB Paru di wilayah
puskesmas Sipatana
b. Menggambarkan penyebab dan penularan TB Paru di wilayah puskesmas
Sipatana
c. Menggambarkan pemeriksaan TB Paru di wilayah puskesmas Sipatana
d. Menggambarkan pengobatan TB Paru di wilayah puskesmas Sipatana
e. Menggambarkan pencegahan TB Paru dan pencegahan kontak serumah di
wilayah puskesmas Sipatana
f. Menggambarkan pencatatan dan pelaporan TB Paru di wilayah puskesmas
Sipatana
g. Menggambarkan hasil cakupan program TB paru dengan menggunakan
rumus perhitungan indicator di wilayah puskesmas Sipatana
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian TB Paru dan Manajemen TB Paru


1. Pengertian TB Paru
Tuberkulos Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang
menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar kebagian tubuh lain seperti
meningen, ginjal, tulang, dan modus limfe.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan mycobacterium
tuberkulosis yang hampir seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya,tapi
yang paling banyak adalah paru-paru (Herdman, 2015)
2. Pengertian Manajeman TB Paru
Manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang telah dilakukan untuk
menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui
pemanfaatan sumber daya yang lainnya. Manajemen program TB Paru
merupakan suatu proses yang meliputi perencanaan, monitoring, evaluasi,
pengelolaan longistitik, pengembangan ketenagaan dan promosi program
pengendalian tuberkulosis.

B. Penyebab dan Penularan TB Paru


1. Penyebab TB Paru
Menurut Ryan & Ray dalam Naga (2014), Mycobacterium
tuberculosis adalah bakteri penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis. Bakteri
ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882.
Bakterinya disebut Basilus koch.
Tuberculosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman dari kelompokmycobacterium yaitu mycobacterium tuberculosis.
Terdapat beberapa spesies mycobacterium, antara lain : M. tuberculosis, M.
africanum, M.bovis,, M.leprae dsb. Yang dikenal sebagai bakteri tahan asam
(BTA). Kelompok bakteri mycobacterium selain Micobacterium Tuberkulosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu
penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologi
yang mampu melakukan identifikasi terhadap mycobacterium Tuberculosis
menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB.
Secara umum sifat Kuman TB antara lain adalah sebagai berikut :
a. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0.2-0.6 mikron
b. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan denga metode Ziehl Neelsen.
c. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
d. Kuman Nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop
e. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4o C sampai minus 70o C.
f. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet
g. Paparan langsung terhadap sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit.
h. Dalam dahak pada suhu antara 30o C sampai 37o C akan mati dalam
waktu lebih kurang 1 minggu.
i. Kuman dapat bersifat dormant (“tidur” / tidak berkembang)
2. Penularan TB Paru
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkan. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan
hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam
dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
terkandung dalam contoh uji ≤ 5000 kuman/cc dahak sehingga sulit
dideteksi melalui pemeriksaan mikroskop langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif
adalah 17%
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang infeksius tersebut
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Sumber : Pedoman TB
Nasional 2014).

Penularan terjadi melalui ludah dan udara pernapasan, terutama di


daerah kumuh yang padat penduduk (Chandra, 2012)
Masa penularan secara teoritis seorang penderita tetap menular
sepanjang hasil TB di dalam sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau
yang diobati tidak sempurna dahaknya akan tetap mengandung hasil TB selama
bertahun tahun. Tingkat penularan sangat tergantung pada hal hal sebagai
berikut :
a. Jumlah hasil Tb yang dikeluarkan
b. Virulensi dari basil TB
c. Terpajannya hasil TB dengan sinar Ultra Violet
d. Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara, atau pada saat
bernyanyi.
e. Tindakan medis dengan resiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi
atau pada waktu melakukan bronkoskopis.
Menurut Muttaqin (2012), ketika seorang klien TB paru batuk, bersin,atau
berbicara , maka secara tidak sengaja kelarlah droplet nuclei dan jatuh ke tanah,
lantai, atau tempat lainnya. Akibatnya terkena sinar matahari atau suhu udara
yang panas, droplet nuclei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakkan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang
terkandung dalam droplet terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh
orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkulosis.
Penularan bakteri lewat udara disebut dengan istilah air –borne infection. Bakteri
terhisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk
hingga alveoli. Pada titik lokasi dimana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan
menggandakan diri (multyplying). Bakteri akan di tangkap dan dihancurkan oleh
magrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini, bakteri ditangkap oleh
makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dalam waktu 3-6
minggu,inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap protein
yang dibuat bakteri tuberkulosis dan bereaksi positif terhadap tes tuberculin atau
tes mantoux.
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang
lebih jauh dan bakteri tuberkulosis tidak dapat berkembang biak lebih lanjut dan
menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu konsis inang melemah akibat sakit lama/
keras atau memakai obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu lam, maka
bakteri tuberculosis yang dormant dapat aktif kembali. Inilah yang disebut
reaktifitas infeksi primer atau infeksi pasca primer infeksi ini dapat terjadi
bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi.

C. Pemeriksaan TB Paru
1. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahal Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
1) S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang terduga pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari
kedua.
2) P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas fasyankes.
3) S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium
tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB
pada pasien tertentu, misal:
1) Pasien TB ekstra paru
2) Pasien TB anak
3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
BTA negatif.

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang


terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan
tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis
dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.
2. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
M.tb terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji
kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah
tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance(QA). Hal ini
dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi
OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resisten
obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan
resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yait GeneXpert ke
fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) di seluruh provinsi.
Dalam menentukan diagnosis TB Paru kemenkes menetapkan hal-hal berikut
ini:
a. Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru
pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat.
b. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.
c. Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan non kuinolon)
yang tidak memberikan perbaikan klinis
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
e. Tidak dibernarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto thorax tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik
pada TB Paru, sehingga dapat menyebabkan terjadinnya overdiagnosis
ataupun underdiagnosis.
f. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji
tuberkulin.
g. Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS.
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan
contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif. (Kemenkes RI, 2014)
3. Pemeriksaan penunjang dengan Rontgen
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks)
yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.

D. Pengobatan TB Paru
1. Tujuan pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan pasien dengan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat
2. Tahap-tahap Pengobatan TB
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif ini diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan
pasien mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang
lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Jenis dan sifat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu:
1. Isoniazid (H) bersifat bakterisid,
2. Rifampisin (R) bersifat bakterisid
3. Pirazinamid (Z) bersifat bakterisid
4. Streptomisin (S) bersifat bakterisid
5. Etambutol (E) bersifat bakteriostatik.
Pemberian OAT disesuaikan dengan kondisi pasien dengan aturan
pakai tersendiri. Ada dua kategori paduan OAT di Indonesia, yaitu:
a. kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori I diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB
paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru.
b. kategori II: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Kategori II diberikan untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati
sebelumnya.
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dibidang farmakologi,
saat ini telah dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan OAT “fixed-
dose combination” atau disingkat dengan OAT-FDC (sering disebut FDC
saja). Dengan adanya FDC ini diharapkan kepatuhan pasien TB dalam minum
OAT dapat ditingkatkan sehingga akan meningkatkan kesembuhan pasien.
Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1. FDC untuk dewasa
Tablet FDC untuk dewasa terdiri dari:
a. Tablet 4FDC (tahap Intensif)
Tablet 4FDC mengandung 4 macam obat yaitu: 75 mg Isoniasid
(INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, dan 275 mg
Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam
tahap intensif dan untuk sisipan.
b. Tablet 2FDC (tahap lanjutan)
Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 150 mg Isoniasid
(INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan.
Baik tablet 4FDC maupun tablet 2FDC pemberiannya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Untuk melengkapi paduan obat kategori II tersedia
obat lain yaitu: tablet etambutol @400 mg dan streptomisin injeksi (vial
@750 mg).
Dosis dan aturan pakai FDC disesuaikan dengan berat badan pasien.
Untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori I dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 2.1
Dosis dan Aturan Pakai FDC Kategori 1 (Tahap Intensif)

Tahap Intensif tiap


Tahap Lanjutan 3 kali
Berat Badan hari
seminggu selama 16 minggu
selama 56 hari

30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC


38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC

Sedangkan untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori II,


dosis dan aturan pakai FDC yang harus diberikan yaitu:

Tabel 2.2
Dosis dan Aturan Pakai FDC Kategori 1I (Tahap Lanjutan)

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan


Berat
3 kali seminggu
badan Selama 56 hari Selama 28 hari
selama 20 minggu

30 – 37 kg 2 tab 4FDC 2 tab 4FDC 2 tab 2FDC + 2 tab


+ 500 mg Streptomisin
Etambutol
Inj.

3 tab 4FDC + 750 mg 3 tab 2FDC + 3 tab


38 – 54 kg 3 tab 4FDC
Streptomisin Inj. Etambutol

4 tab 4FDC + 1000 mg 4 tab 2FDC + 4 tab


55 – 70 kg 4 tab 4FDC
Streptomisin Inj. Etambutol

5 tab 4FDC + 5 tab 2FDC + 5 tab


≥ 71 kg 5 tab 4FDC
Streptomisin Inj. Etambutol

Catatan:

Setiap vial Streptomisin mengandung 750 mg dilarutkan dalam 3 ml


aquabidest. Dosis ini dapat dianggap sebagai 3 dosis @ 250 mg yang
digunakan untuk kelompok pasien dengan BB 38 – 54 kg. Untuk kelompok
pasien dengan BB lain, dosisnya disesuaikan dengan jumlah tablet yang
diminum, misalnya untuk pasien yang memerlukan hanya 2 tablet, juga hanya
memerlukan 2 ml suntikan sterptomisisn (1 ml = 250 mg. Untuk pasien
berumur lebih dari 60 tahun diberikan suntikan streptomisin maksimum 500
mg/hari. Injeksi streptomisin diberikan setelah pasien selesai menelan obat

2. FDC untuk anak-anak. Tablet FDC untuk anak-anak terdiri dari tablet 3FDC
dan 2FDC. Kedua jenis tablet diberikan kepada pasien TB anak yang berusia
0 – 14 tahun. Tablet 3FDC mengandung 3 macam obat antara lain: 30 mg
INH, 60 mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid. Tablet ini digunakan untuk
pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC mengandung 2
macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan
untuk pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan. Sama halnya dengan
pemberian pada pasien dewasa, pemberian jumlah FDC pada pasien anak juga
disesuaikan dengan berat badan anak.
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada pasien TB BTA positif tidak
terjadi konversi maka diberikan OAT sisipan berupa tablet 4FDC setiap hari
selama 28 hari.
Table 2.3

Dosis dan aturan pakai FDC untuk Anak-Anak

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan tiap hari

selama 2 bulan selama 4 bulan


≤ 7 kg 1 tablet 3FDC 1 tablet 2FDC
8 – 9 kg 1,5 tablet 3FDC 1,5 tablet 2FDC
10 – 14 kg 2 tablet 3FDC 2 tablet 2FDC
15 – 19 kg 3 tablet 3FDC 3 tablet 2FDC
20 – 24 kg 4 tablet 3FDC 4 tablet 2FDC
25 – 29 kg 5 tablet 3FDC 5 tablet 2FDC

OAT-FDC tersedia dalam kemasan blister. Tiap blister terdapat 28


tablet. Tablet 4FDC dan 2FDC dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @28
tablet. Untuk tablet etambutol 400 mg dikemas dalam dos yang berisi 24
blister @ 28 tablet. Streptomisisn injeksi dikemas dalam dos berisi 50 vial @
750 mg. Untuk penggunaan streptomisin injeksi diperlukan aquabidest dan
disposable syringe 5 m l dan jarum steril. Aquabidest tersedia dalam kemasan
vial @ 5 ml dalam dos yang berisi 100 vial.

Efek samping dari OAT-FDC umumnya sama dengan efek samping


dari penggunaan OAT yang dalam tablet terpisah. Beberapa efek samping
yang muncul berupa hilangnya nafsu makan, mual kadang disertai muntah,
sakit perut, nyeri sendi, gatal dan kemerahan pada kulit, kesemutan hingga
rasa terbakar di kaki, gangguan keseimbangan. Selain itu efek samping
hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Efek samping dari OAT tersebut diperkirakan terjadi pada
sekitar 3 – 6 % pasien yang mendapat pengobatan dengan FDC. Bila diketahui
dengan pasti bahwa FDC penyebab efek samping seperti yang disebutkan
sebelumnya dan obat tersebut tidak dapat diberikan kembali, maka pasien
diberikan OAT yang dalam bentuk tablet terpisah (OAT kombipak).

Pengobatan TB perlu diperhatikan untuk pasien yang berada dalam


kondisi khusus misalnya pasien wanita hamil, pasien dengan penyakit tertentu
seperti DM, gagal ginjal, memiliki kelainan hati kronik. Untuk pengobatan
TB pada wanita hamil perlu diperhatikan pada penggunaan streptomisin.
Streptomisin tidak dapat digunakan pada kehamilan. Hal ini karena
streptomisin bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan.

Pasien DM harus selalu dikontrol dalam pengobatannya. Jika pasien


juga menderita TBC perlu diperhatikan dalam penggunaan rifampisin, karena
rifampisin dapat mengurangi efektivitas antidiabetika oral gol sulfonil urea
sehingga perlu peningkatan dosis antidiabetika tersebut. Pasien DM yang
memperoleh pengobatan insulin seringkali terjadi komplikasi retinopathy
diabetika, oleh karena itu perlu diperhatikan untuk pemberia etambutol karena
dapat memperparah kejadian tersebut.

Pasien TB dengan gagal ginjal sebaiknya tidak menggunakan


streptomisin dan etambutol dalam pengobatannya. Hal ini karena kedua obat
tersebut diekskresi melalui ginjal. Jika tetap diberikan memungkinkan obat
tersebut tidak dapat dieksresikan dari dalam tubuh karena ketidakmampuan
ginjal. Akibatnya akan menimbulkan efek toksik dalam tubuh. Oleh karena itu
dapat diberikan pengobatan dengan INH, rifampisin, dan pirazinamid untuk
pasien TB dengan gagal ginjal. Ketiga obat tersebut diekskresi melalui
empedu dan dapat diubah menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
Paduan OAT yang paling aman untuk pasien TB dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.

Pengobatan TB pada pasien dengan kelainan hati kronik dapat


dilakukan jika pasien sudah melakukan pemeriksaan hati. Jika nilai SGOT dan
SGPT meningkat lebih dari 3 kali maka OAT tidak diberikan dan bila sudah
dalam pengobatan maka harus dihentikan. Jika peningkatannya kurang dari 3
kali maka pengobatan tetap dapat dilakukan dengan pengawasan ketat. Pasien
dengan kelainan hati tidak boleh diberikan pirazinamid. Paduan OAT yang
dianjurkan untuk pasien TB dengan kelainan hati yaitu 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.

E. Pencegahan TB Paru dan Pencegahan Kontak Serumah


Menurut Tjandra dalam Naga (2014; 315), banyak hal yang bisa dilakukan
mencegah terjangkitnya TB paru. Pencegahan-pencegahan berikut dapat
dikerjakan oleh penderita, masyarakat, maupun petugas kesehatan:
1. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup mulut
saat batuk, dan membuang dahak tidak di sembarang tempat.
2. Bagi masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan
meningkatkan ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan vaksinasi
BCG.
3. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TBC, yang meliputi gejala, bahaya, dan akibat
yang ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya.
4. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan
pemeriksaan terhadap orang-orang yang terinfeksi, atau dengan mem-berikan
pengobatan khusus kepada penderita TB ini. Pengobatan dengan cara
menginap di rumah sakit hanya dilakukan bagi penderita dengan kategori
berat dan memerlukan pengembangan program pengobatannya, sehingga
tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melaksanakan disinfeksi,
seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus terhadap
muntahan atau ludah anggota keluarga yang terjangkit penyakit ini (piring,
tempat tidur, pakaian), dan menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari
yang cukup.
6. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan
penderita, seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan, dan orang lain
yang terindikasi, dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif
tertular.
7. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang kontak. Perlu dilakukan Tes
Tuberculin bagi seluruh anggota keluarga. Apabila cara ini menunjukkan hasil
negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan dan perlu
penyelidikan intensif.
8. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan
yang tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter untuk
diminum dengan tekun dan teratur, selama 6-12 bulan. Perlu diwaspadai
adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh
dokter.
BAB III

PEMBAHASAN

HASIL CAKUPAN PROGRAM TB DI PUSKESMAS SIPATANA

A. Indikator Program TB Paru


Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan
beberapa indikator. Pada tabel dibawah ini terdapat 10 indikator Program TB
secara nasional. Untuk sarana pelayanan kesehatan terdapat 8 indikator Program
TB yaitu 4 indikator yang berhubungan dengan penemuan kasus TB dan 3
indikator yang berhubungan dengan pengobatan pasien TB serta 1 indikator yang
berhubungan dengan kualitas pemeriksaan dahak.

Indikator yang berhubungan dengan penemuan kasus TB adalah :

1. Angka Penjaringan Suspek


2. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek diperiksa dahaknya
3. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
Indikator yang berhubungan dengan pengobatan pasien TB :

1. Angka Konversi
2. Angka Kesembuhan
3. Angka Keberhasilan Pengobatan

Ke-tiga indikator yang berhubungan dengan pengobatan pasien tersebut


diatas, terutama dihitung untuk kelompok pasien baru TB paru BTA
positif.Indikator program TB untuk mempermudah analisis data diperlukan
B. Gambaran Umum TB paru di Puskesmas Sipatana tahun 2017
Puskesmas Sipatana dengan Jumlah penduduk 20.355 jiwa, dengan Pasien
Baru TB Paru dari bulan Januari – September 2017 berjumlah 35 Jiwa dengan
presentase Laki-laki 17 Jiwa dan perempuan 18 Jiwa dari Jumlah suspek yang
diperiksa sebanyak 279 Jiwa. Proporsi Pasien Tb Paru Dengan BTA (+)
Berjumlah 30 Jiwa dan BTA (-) Rontgen Mendukung berjumlah 5 Jiwa, Gagal
Pengobatan yaitu 1 orang.
Alur masuk klien dengan TB paru di Puskesmas Sipatana yaitu pasien
datang ke Puskesmas Sipatana mendaftar di loket, datang dengan keluhan yang
sesuai dengan gejala klinis TB paru, setelah diperiksa oleh Dokter, dokter
menginstruksikan untuk melakukan pemeriksaan sputum pada klien. Kemudian
nama klien akan ditulis pada buku daftar suspek TB yang diperiksa dahak (TB
06). Klien akan diberikan pot dahak untuk pemeriksan dahak Sewaktu, sebelum
pasien pulang diberikan Pot dahak untuk dibawah keesokan harinya yang telah
diisi dengan dahak saat bangun tidur sebelum makan apapun. Setelah
pemeriksaan SPS, dilakukan pemeriksaan sputum Jika hasil pemeriksaan BTA
positif , maka klien akan dicatat di kartu register pengobatan Pasien TB (TB 01)
sebagai pasien baru dan diberikan pengobatan TB kategori 1, jika hasil
pemeriksaan lab negatif maka pasien akan diberikan antibiotik dan dokter akan
menganjurkan pasien untuk datang kontrol lagi ke puskesmas.
C. Alur Diagnosis Pasien TB

Pasien

Pasien Lama/baru
Lama PJ Program TB
(diobati)

Baru

Poli umum

Dokter

BTA
Lab
(+)

Pemberian
BTA Antibiotik
Dokter selama 3 hari
(-)

Lab BTA (+)

BTA (-)

Rujuk RS

RO (+)
Tabel 3.1
Proporsi Penderita TB Paru, Gagal Pengobatan dan Meninggal
Di Puskesmas Sipatana Tahun 2017

BTA (-), RO Gagal


Triwulan Suspek BTA (+) Meninggal
mendukung Pengobatan
I 125 13 4 - -
II 100 11 1 - -
III 54 6 - - -
IV 59 5 1 - -
Jumlah 338 35 6 - -
Sumber : Register TB 01 dan TB 06. PKM Sipatana Tahun 2017

Tabel 3.2

Proporsi Penderita TB Paru yang Kambuh dan Pengobatan Lengkap

Di Puskesmas Sipatana tahun 2017

BTA (-), RO Pengobatan


Triwulan BTA (+) Kambuh
Mendukung Lengkap
I 13 4 - 1
II 11 1 - -
III 6 - - -
IV 5 1 1 -
Jumlah 35 6 1 1
Sumber : Register TB 01 dan TB 06. PKM Sipatana Tahun 2017

Tabel 3.2
Proporsi Penderita TB Paru BTA (+) yang Sembuh dan BTA (-) RO (+)
yang Sembuh
Di Puskesmas Sipatana tahun 2017

BTA (-), RO Sembuh Sembuh BTA (-),


Triwulan BTA (+)
Mendukung BTA (+) Ro (+)
I 13 4 13 4
II 11 1 11 1
III 6 - - -
IV 5 1 - -
Jumlah 35 6 24 5

Sumber : Register TB 01 dan TB 06. PKM Sipatana Tahun 2017

1. Angka penemuan kasus/case detection Rate (CDR)


Angka penemuan kasus adalah presentase jumlah pasien baru TB Paru
BTA(+) yang ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA(+) yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate cakupan
penemuan pasien baru TB Paru BTA(+) secara Nasioanal. Indikator ini masih
digunakan untuk evaluasi pencapaian MDGs 2016 untuk program
pengendalian TB. Setelah tahun 2016, indikator ini tidak akan diguanakan lagi
dan akan diganti dengan Case Notification Rate (CNR) sebagai indikator yang
menggambarkan cakupan penemuan pasien TB.

Rumus = Jumlah pasienTB BTA ¿¿


1. Hasil Angka Penemuan Kasus (CDR) untuk wilayah Puskesmas Sipatana
tahun 2016 yakni:
48
x 100 %=120 %
40
2. Hasil Angka Penemuan Kasus (CDR) untuk wilayah Puskesmas Sipatana
tahun 2017 yakni:
35
x 100 %=81 %
43

Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate/CDR)


140%

120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%
2016 2017

Keterangan :
Berdasarkan Grafik diatas dapat disimpulkan hasil angka penemuan kasus
(case detection rate/CDR) Pada tahun 2016 di puskesmas Sipatana sudah
melebihi target, seharusnya target angka penemuan kasus hanya 40 orang,
pada tahun 2017 target yang harus dicapai 43 orang tetapi sampai dengan
bulan november ini baru mencapai 35 orang,

2. Proporsi pasien TB BTA positif diantara suspek


Merupakan presentase pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologi
(BTA Positif dan MTB positif) yang ditemukan diantara seluruh Suspek yang
diperiksa dahaknya, angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan
sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

Jumlah pasienTB paru BTA positif yang ditemukan


Rumus ¿ x 100 %
Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa

Triwulan I:
Data:
a) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang ditemukan= 13 Jiwa
b) Jumlah Seluruh suspek pada bulan Januari s/d Maret 2017= 125 Jiwa
13
¿ x 100 %
Proporsi Pasien TB 125
BTA positif diantara
¿ 10 %
suspek

Triwulan II

Data:

a) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang ditemukan= 11 jiwa


c) Jumlah Seluruh suspek pada bulan Januari s/d Maret 2017= 100 jiwa
11
¿ x 100 %
Proporsi Pasien TB 100
BTA positif diantara
¿ 11 % suspek

Triwulan III
Data:

a) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang ditemukan= 6 jiwa


b) Jumlah Seluruh suspek pada bulan Januari s/d Maret 2017= 54 jiwa
6
¿ x 100 %
Proporsi Pasien TB 54
BTA positif diantara
¿ 11 % suspek

Triwulan IV

Data:

c) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang ditemukan= 5 jiwa


d) Jumlah Seluruh suspek pada bulan Januari s/d Maret 2017= 59 jiwa
5
¿ x 100 %
Proporsi Pasien TB 59
BTA positif diantara
¿8% suspek

Hasil proporsi pasien TB BTA positif diantara suspek di Puskesmas


Sipatana per Triwulan tahun 2017 yakni:
Proporsi pasien TB BTA positif diantara suspek
12%

10%

8%
Proporsi pasien TB BTA positif
diantara suspek
6%

4%

2%

0%
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

1. Hasil proporsi pasien TB BTA positif diantara suspek di Puskesmas


Sipatana pada bulan Januari-Desember tahun 2016 yakni:

48
x 100 %=10 %
462
2. Hasil proporsi pasien TB BTA positif diantara suspek di Puskesmas
Sipatana pada bulan Januari-Desember tahun 2016 yakni:

35
x 100 %=10 %
338
Proporsi pasien TB BTA (+) diantara suspek

10%
9%
8%
7%
6%
5%
4%
3%
2%
1%
0%
2016 2017

Keterangan:
Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan Angka proposi pasien TB BTA
(+) diantara suspek di puskesmas sipatana tahun 2016 dan 2017 berkisar
10% . Dimana angka ini sudah mencapai target nasional yaitu 5 – 15%.
Angka ini sekitar 5 – 15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
disebabkan:
a) Penjaringan suspek terlalu longgar, banyak suspek yang dijaring tidak
memenuhi kriteria suspek, atau
b) Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu)

Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan:

a) Penjaringan terlalu ketat atau


b) Ada masalah dalam pemeriksaan laoratorium (positif palsu).

3. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara semua pasien TB paru


tercatat/terobati
Merupakan presentase pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis).
Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien tuberculosis yang
menular diantara seluruh pasien tuberculosis yang diobati.

Jumlah pasienTB paru BTA Positif (baru+ kambuh)


Rumus ¿ × 100 %
Jumlah Seluruh Pasien TB Paru

Triwulan I:
Data:
a) Jumlah pasien baru TB Paru BTA Positif = 13 jiwa
b) Jumlah pasien kambuh/gagal pengobatan/kategori 2 = 0 jiwa
c) Jumlah pasien baru TB paru BTA negatif = 4 jiwa

13
Proporsi pasien TB paru ¿ x 100 %
17
BTA positif diantara semua
¿ 76 %
pasien TB paru
tercatat/terobati

Triwulan II
Data:
a) Jumlah pasien baru TB Paru BTA Positif = 11 jiwa
b) Jumlah pasien kambuh/gagal pengobatan/kategori 2 = 0 jiwa
c) Jumlah pasien baru TB paru BTA negatif = 1 jiwa

Proporsi pasien TB paru


11
= x 100 %
BTA positif diantara semua 12
pasien TB paru = 96%
tercatat/terobati
Triwulan III
Data:
a) Jumlah pasien baru TB Paru BTA Positif = 6 jiwa
b) Jumlah pasien kambuh = 1 jiwa
c) Jumlah pasien baru TB paru BTA negatif = 0 jiwa

Proporsi pasien TB paru ( 6+1 )


¿ x 100 %
BTA positif diantara semua 7

pasien TB paru
¿ 100%
tercatat/terobati

Triwulan IV
Data:
a) Jumlah pasien baru TB Paru BTA Positif = 5 jiwa
b) Jumlah pasien kambuh= 0 jiwa
c) Jumlah pasien baru TB paru BTA negatif = 1 jiwa

5
Proporsi pasien TB paru BTA ¿ x 100 %
6
positif diantara semua pasien
TB paru tercatat/terobati ¿ 83%
Proporsi pasien TB paru BTA positif
diantara semua pasien TB paru
tercatat/terobati
120%
Proporsi pasien TB paru
100% BTA positif diantara semua
pasien TB paru
80% tercatat/terobati
60%
40%
20%
0%
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

1. Hasil proporsi pasien TB paru BTA positif diantara semua pasien TB paru
tercatat/terobati di Puskesmas Sipatana pada bulan Januari-Desember Tahun
2016 yakni:

48
x 100 %=83 %
58

2. Hasil proporsi pasien TB paru BTA positif diantara semua pasien TB paru
tercatat/terobati di Puskesmas Sipatana pada bulan Januari-November Tahun
2017 yakni:

35
x 100 %=73 %
41
Hasil proporsi pasien TB paru BTA positif
diantara semua pasien TB paru
tercatat/terobati
84%

82%

80%

78%

76%

74%

72%

70%

68%
2016 2017

Keterengan:

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih
rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas
untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA positif).

Berdasarakan grafik diatas dapat disimpulkan hasil Angka proporsi pasien TB


Paru BTA (+) diantara semua pasien TB Paru yang tercatat/terobati tahun
2016 berkisar 83 % dan tahun 2017 berkisar 73%. Dimana angka ini sudah
mencapai target tidak kurang 65%.

4. Angka Konversi (Convertion Rate)


Angka konversi adalah presentasi pasien baru TB paru BTA positif
yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa
pengobatan tahap awal. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat
hasil pengobatan dan mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat
dilakukan dengan benar.

Jumlah pasienbaru TB paru BTA positif yang konversi


Rumus ¿ ×100 %
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang diobati

Data:
a) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang dikonversi = 35 Jiwa
b) Jumlah pasien TB Paru BTA positif yang diobati = 35 Jiwa
35
CR ¿ x 100 %
35
CR ¿ 100 %
Berdasarkan hasil tersebut maka cakupan untuk angka konversi yaitu
100% dengan capaian target nasional minimal 80%

1. Hasil Angka Konversi (CR) untuk wilayah Puskesmas Sipatana tahun


2016 yakni:
58
x 100 %=100 %
58

2. Hasil Angka Konversi (CR) untuk wilayah Puskesmas Sipatana tahun


2016 yakni:
35
x 100 %=100 %
35
Angka Convertion Rate (CR)
100%
100%
99%
99%
98%
98%
97%
97%
96%
96%
2016
2017

Keterangan:
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%. Bila angka konversi masih
rendah perlu diperhatikan antara lain masalah keteraturan minum obat, tidak
optimalnya fungsi petugas/PMO dan masalah dilaboratorium.
Angka conversi rate tahun 2016 dan tahun 2017 berkisar 97%. Dimana angka
ini sudah mencapai target 80%. semua penderita BTA (+) yang diobati
semuanya dikonversi

5. Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan presentasi pasien
baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis yang sembuh setelah masa
pengobatan. Diantara pasien baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis yang
tercatat. Untuk kepentingan khusus, angka kesembuhan dihitung juga untuk
pasien paru terkonfirmasi bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan
dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:
a. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat
terjadi dikomunitas, hal ini harus dipastikan dengan survailans kekebalan
obat,
b. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan
obat baris kedua (second line drugs),
c. Menunjukkan prevalensi HIV karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV,
d. Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti
sebutan numerator dan denomintor jumlah pasien TB Paru dengan
pengobatan ulang.

Di Fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01,


yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
Biologis yang mulai berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian
dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari
laporanTB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka
kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.Walaupun angka
kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetapperlu
diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan
lengkap,meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak
dievaluasi.

Jumlah pasienbaru TB BTA positif yang sembuh


Rumus ¿ ×100 %
Jumlah pasien baru TB BTA positif yang diobati

Data :

a) Jumlah pasien baru BTA positif yang sembuh = 22 Jiwa


b) Jumlah pasien baru BTA positif yang diobati = 35 Jiwa

24
Cure Rate ¿ x 100 %
35

Cure Rate = 67%

Berdasarkan hasil tersebut maka cakupan untuk cure rate yaitu 67%
dengan capaian target nasional minimal 85%
KAngka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Walaupun angka
kesembuhan telah mencapai 85%, tetap perlu diperhatikan hasil pengobatan
lainnya, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal,
gagal, default, dan pindah.

1. Hasil Angka Kesembuhan (Cure Rate) untuk wilayah Puskesmas Sipatana


tahun 2016 yakni:

58
¿ x 100 %=100 %
58

2. Hasil Angka Kesembuhan (Cure Rate) untuk wilayah Puskesmas Sipatana


tahun 2017 yakni :
24
¿ x 100 %=67 %
35
Angka Kesembuhan (Cure Rate)
120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%
2016 2017

Keterangan :
Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Walaupun angka kesembuhan
telah mencapai 85%, tetap perlu diperhatikan hasil pengobatan lainnya, yaitu
berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default,
dan pindah.
Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan pada tahun 2017 angka
kesembuhan di puskesmas Sipatana sudah mencapai angka 85% sedangkan
pada tahun 2017 angka kesembuhan belum mencapai angka 85% karena data
yang di olah baru sampai bulan november.
6. Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate)
Angka keberhasilan pengobatan adalah angka yang menunjukkan
persentasi baru TB Paru BTA Positif yang menyelesaikan pengobatan (baik
yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB Paru
BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan
penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Hasil pengobatan dari pasien baru TB BTA positif yang dapat di
toleransi.
a) Angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap
Angka keberhasilan pengobatan >85%, dengan angka kesembuhan
mendekati 85%
b) Angka pengobatan gagal : harus <2%
c) Angka default: harus <5%
d) Angka kematian: umumnya <2%
e) Angka pindah: umumnya <5%.

Rumus

Jumlah pasienbaru TB BTA positif (sembuh+ pengobatan lengkap)


¿ × 100 %
Jumlah pasienbaru TB paru BTA positif yang tercatat dan diobati
Hasil angka keberhasilan pengobatan (success Rate) untuk wilayah
puskesmas sipatana tahun 2017 yakni :
Data :
a) Jumlah pasien baru TB paru positif yang sembuh=24 jiwa
b) Jumlah pasien baru TB Paru BTA positif dengan pengobatan lengkap=1
jiwa
c) Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang diobati=35 jiwa

( 24+1 )
TSR¿ x 100 %
35

TSR¿ 71%

Berdasarkan hasil tersebut maka cakupan untuk angka keberhasilan


pengobatan (success rate) yaitu 71% dengan capaian target nasional minimal
85%.

1. Hasil angka keberhasilan pengobatan (success Rate) untuk wilayah


puskesmas sipatana tahun 2016 yakni:
48
x 100 %=100 %
48
2. Hasil angka keberhasilan pengobatan (success Rate) untuk wilayah
puskesmas sipatana tahun 2017 yakni:

26
x 100 %=71 %
35

Angka keberhasilan pengobatan Succes


Rate
120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%
2016 2017

Keterangan:

Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%, dengan angka kesembuhan
mendekati 85%. Untuk tahun 2017 angka kesembuhan di puskesmas Sipatana
belum mencapai angka 100% karena data yang di olah baru sampai bulan
november.
BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru tuberkulosis
atau 142 kasus/100.000 populasi, dengan 480.000 kasus multidrug-resistant.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di dunia
setelah India. Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis menurun 22% antara
tahun 2000 dan 2015, tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi
di dunia pada tahun 2015 (WHO, Global Tuberculosis Report, 2016).
Laporan WHO (2014), Indonesia berada pada urutan ke-2 Negara dengan
beban TB tertinggi di dunia bersama dengan Tiongkok setelah India. Pravalens
TB di Indonesia mencapai 1 Juta kasus pertahun. Pada tahun 2014 di Indonesia,
Provinsi dengan CNR BTA+ tertinggi yaitu Sulawesi Utara (219), Sulawesi
Tenggara (163) dan Gorontalo (133).
Menurut Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2014 Angka kasus baru TB
Paru BTA positif yang ditemukan di Provinsi Gorontalo Tahun 2014, terbanyak
dikabupaten Gorontalo yaitu sebanyak 620 kasus paling sedikit dikabupaten
Pohuwato sebanyak 124 kasus, rata-rata Provinsi Gorontalo Case Notofication
Rate (CNR) adalah 179 per 100.000 penduduk. Capaian ini meningkat
dibandingkan dengan tahun 2013 dengan CNR mencapai 163 per 100.000
penduduk tahun 2013. Presentase Success Rate (SR) di Provinsi Gorontalo
mencapai 85,3%.
Berdasarkan hasil cakupan program TB Paru di Puskesmas Sipatana
didapatkan angka penemuan kasus proporsi pasien TB BTA positif diantara
Suspek TB di Puskesmas Sipatana pada tahun 2017 pada Triwulan I yaitu 10%,
Triwulan II yaitu 11%, Triwulan III yaitu 11% dan pada Triwulan IV yaitu 8%
dengan capaian target nasional sekitar 5-15%. Proporsi pasien TB paru BTA
positif diantara semua pasien TB paru tercatat/diobati tahun 2017 Triwulan I yaitu
76%, Triwulan II yaitu 96%, Triwulan III yaitu 100% dan Triwulan IV yaitu 83%
dengan capaian target nasional 65%. Angka konversi pada tahun 2017 yaitu 100%
dengan capaian target nasional minimal 80%. Angka Kesembuhan pada tahun
2017 sebesar 67% dengan capaian target nasional minimal 85%. Serta Angka
Keberhasilan Pengobatan pada tahun 2017 yaitu 71% dengan capaian target
nasional minimal 85%.

B. Saran
1. Bagi Puskesmas Sipatana
Pengelolaan Manajemen TB Paru di Puskesmas Sipatana baik dalam
pelayanan dan pengobatan sudah sangat baik, untuk itu diharapkan puskesmas
dapat mengembangkan program TB paru guna untuk memberantas &
membantu pemerintah dalam target Indonesia bebas TB tahun 2050. Dan
perlu adanya penambahan tenaga kesehatan terutama analisis laboratorium di
puskesmas sipatana sehingga pemeriksaan mampu dilakukan secara
maksimal.
2. Bagi Mahasiswa DIV Keperawatan
Diharapkan dapat menguasai konsep Manajemen TB Paru untuk
meningkatkan pengetahuan khususnya dalam Manajemen TB Paru sehingga
dapat menjadi tenaga keperawatan yang profesional .
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo.“Profil kesehatan Gorontalo tahun 2014”.


Bersumber dari internet
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KE
S_PROVINSI_2014/29_Gorontalo_2014.pdf (diunduh pada
tanggal 2 desember 2017)

Hutam, Hafid. ”Terapi Fdc (Fixed-Dose Combination) Pada Pasien Tb” bersumber
dari internet https://dokumen.tips/documents/terapi-fdc-pada-
tbcdocx.html(Diakses pada tanggal 06 desember 2017)

Kementerian Kesehatan RI “Profil Kesehatan Indonesia 2016”.bersumber dari


internet
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil
(diakses pada tanggal 2 desember 2017)

Kementerian Kesehatan RI. “Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis 2014”.


Bersumber dari internet
http://www.spiritia.or.id/dokumen/pedoman-tbnasional2014.pdf
(diakses pada tanggal 2 desember 2017)

Kementrian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014.


Jakarta:Kementrian Kesehatan RI

Muttaqin. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

Naga S.S.2014. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam.Yogyakarta:Diva


Press
LAMPIRAN

Gambar 1.

Kegiatan Laboratorium (Pemeriksaan Sputum Tersangka TB Paru)


Gambar 2.

Pencatatan register, pemberian obat dan pemeriksaan HIV/AIDS


Gambar 3.

Kegiatan Penyuluhan
Gambar 4.

Kunjungan rumah penderita TB paru


Gambar 5.

Kegiatan Seminar Manajemen TB Paru

Anda mungkin juga menyukai