Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

SINDROM NEFRITIK AKUT / GLOMERULONEFRITIS AKUT

Muhamad Zul Iman Sufian, S.Ked


K1A1 20 068

PEMBIMBING :
dr. Hasniah Bombang, M.Kes., Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
SINDROM NEFRITIK AKUT / GLOMERULONEFRITIS AKUT
Muhamad Zul Iman Sufian, HasniaBombang

A. PENDAHULUAN

Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan salah satu manifestasi klinis

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus ( GNAPS), di mana ter jadi suatu

proses inflamasi pada tubulus dan glomerulus ginjal yang terjadi setelah adanya

suatu infeksi streptokokus pada seseorang. GNAPS berkembang setelah strain

streptokokus tertentu yaitu streptokokus ß hemolitikus group A tersering tipe 12

menginfeksi kulit atau saluran nafas (Rena, 2010).

Dalam kepustakaan istilah Glomerulonefritis Akut (GNA) dan Sindrom

Nefritik Akut (SNA) sering digunakan secara bergantian. GNA merupakan

istilah yang lebih bersifat histologik, sedangkan SNA lebih bersifat klinik. Dalam

kepustakaan disebutkan bahwa selain GNAPS banyak penyakit yang juga

memberikan gejala nefritik seperti hematuria, edema, proteinuria, sampai

azotemia sehingga digolongkan kedalam SNA (IDAI, 2012).

Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimptomatik

lebih banyak dijumpai dairipada bentuk simptomatis. Di negara maju insiden

GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, sedangkan dinegara

berkembang insiden GNAPS lebih banyak. Di Indonesia GNAPS lebih banyak

ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah (IDAI, 2012).


B. DEFINISI

Glomerulonefritis Akut (AGN) adalah kumpulan gejala yang ditandai

dengan penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba dengan manifestasi

klinis seperti edema, hematuria, hipertensi, oliguria, dan insufisiensi ginjal. Oleh

karena itu, AGN sering disebut sebagai acute nephritic syndrome (ANS). Acute

glomerulonephritis after Streptococci (APSGN) merupakan bentuk AGN/ANS

akibat infeksi -hemolytic group A Streptococcus (BHAS), paling sering

ditemukan pada anak usia 3-8 tahun dengan rasio laki-laki-perempuan 2,3:1

(Nur, 2016).

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS) adalah suatu

sindrom nefritik akut dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi dan

penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman

streptokokus beta hemolitikus grup A di saluran nafas bagian atas atau dikulit

(IDAI, 2009).

Sindrom nefritik adalah sindrom klinis yang muncul sebagai hematuria,

peningkatan tekanan darah, penurunan output urin, dan edema. Patologi utama

yang mendasari adalah peradangan glomerulus yang menyebabkan sindrom

nefritik. Ini menyebabkan munculnya sel darah merah (RBC) dan proteinuria.

Patologi primer bisa di ginjal, atau bisa menjadi konsekuensi dari gangguan

sistemik (Hashmi, 2021).


C. EPIDEMIOLOGI

WHO mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya

secara global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan

di Sri Manakula Vinayagar Medical College and Hospital India pada periode

waktu Januari 2012–Desember 2014 ditemukan 52 anak dengan diagnosis

GNAPS. Dari 52 pasien ditemukan 46 anak (88,4%) dengan GNAPS, usia pasien

berkisar antara 2,6– 13 tahun, 27 anak (52%) pada kelompok usia 5-10 tahun

(Agung, 2016).

Di Indonesia pengamatan mengenai GNA pada anakdi sebelas universitas

di Indonesia pada tahun 1997-2002, lebih dari 80% dari 509 anak dengan GNA

mengalami efusi pleura, kardiomegali serta efusi perikardial, dan 9,2%

mengalami ensefalopati hipertensif. Selama 5 tahum sejak 1998-2002,

didapatkan 45 pasien GNA (0,4%) yaitu diantara 10.709 pasien yang berobat di

Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Empat puluh lima pasien ini terdiri

dari 26 laki–laki dan 19 perempuan yang berumur antara 4-14 tahun, dan yang

paling sering adalah 6–11 tahun (Agung, 2016).

Angka kejadian ini relatif rendah, tetapi menyebabkan morbiditas yang

bermakna. Dari seluruh kasus, 95% diperkirakan akan sembuh sempurna, 2%

meninggal selama fase akut dari penyakit, dan 2% menjadi glomerulonefritis

kronis (Agung, 2016).


D. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Ginjal adalah organekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang.

Sebagai bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama

urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Di

bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar

suprarenal). Ginjal bersifat retroperitoneal, yang berarti terletak di belakang

peritoneum yang melapisi rongga abdomen. Kedua ginjal terletak di sekitar

vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal

kiri untuk memberi tempat untuk hati (Wibawa, 2016).

Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian lebih dalam lagi

disebut medulla. Bagian paling dalam disebut pelvis. Pada bagian medulla ginjal

manusia dapat pula dilihat adanya piramida yang merupakan bukaan saluran

pengumpul. Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan ikat longgar yang disebut

kapsula. Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah

lebih dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa (Wibawa,

2016).

Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit)

dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan

molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan

dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme

pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan

disebut urine. Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang
disebut korpuskula (atau badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran

(tubulus). Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut

glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat

aliran darah dari arteri aferen (Wibawa, 2016).

Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau

penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori

dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang

mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus

ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen.

Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula

Bowman terdapat tiga lapisan yaitu kapiler selapis sel endotelium pada

glomerulus, lapisan kaya protein sebagai membran dasar dan selapis sel epitel

melapisi dinding kapsula Bowman (Wibawa, 2016).

Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari

glomerulus, melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam

kapsula Bowman dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak

mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk

molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal

sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125

cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan

untuk tes diagnosa fungsi ginjal (Wibawa, 2016).


Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang

mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi

proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada

tubulus konvulasi distal. Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu

Friedrich Gustav Jakob Henle di awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga

gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel

yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP

dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa,

asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat

masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis.

Ginjal memiliki fungsi sebagai berikut (Kemenkes, 2017):

a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan

dieksresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam jumlah besar,

kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang dieksresi

berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume

cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.

b. Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion

yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi pemasukan

atau pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat pemasukan garam yang

berlebihan atau penyakit perdarahan (diare, muntah) ginjal akan

meningkatkan eksresi ion-ion yang penting (misal Na , K , Cl , Ca dan fosfat).


c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang

dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak asam ,

pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme protein. Apabila

banyak makan sayur-sayuran, urine akan bersifat basa. pH urine bervariasi

antara 4,8-8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai dengan perubahan pH darah.

d. Eksresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik,

obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).

e. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon renin yang

mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (sistem renin

angiotensin aldosteron) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting

untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis).

E. PATOFISIOLOGI

F. GEJALA KLINIS

GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 - 15 tahun dan jarang pada

usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periodelaten

1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di

Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus

sedangkan melalui kulit sebesar 31,6% Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi

dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimto matik lebih

banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk


asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria

mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik

(IDAI, 2012).

1. Periode Laten

Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara

infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3

minggu, periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului

oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/

piodermi.Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini

berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan

penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus

eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein dan benign recurrent

haematuria (IDAI, 2012).

2. Edema

Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul,

dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di

daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi

retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia

eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik (IDAI, 2012).

Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gayagravitasi dan

tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol

waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan
menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan

kegitan fisik Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi

edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahuí

setelah terjadí diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting

sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial

yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula(IDAI, 2012).

3. Hematuria

Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,

sedangkan hematuria mikroskopikdijumpai hampir pada semua kasus. Suatu

penelitian multisenterdi lndonesia mendapatkan hematuria makroskopik

berkisar 46- 100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100% Urin

tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau

berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu

pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai

beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,

umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai

hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah

sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun,

sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan

indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya

glomerulonefritis kronik (IDAI, 2012).

4 Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.

Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu

pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang

lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-

90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang

cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya

hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang

disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran

menurun dan kejang kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan

ensefalopati hipertensi berkisar 4-50%.

5. Oligouria

Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS

dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m² LPB/hari. Oliguria terjadi bila

fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala

sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan

menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu

pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya

kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek (IDAI, 2012).

6. Gejala Lain

Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise,

letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan


subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung

lama (IDAI, 2102).

1. Anatomis

1.1 Hidrosefalus tipe obstruksi/non komunikans

1.2 Hidrosefalus tipe komunikans

2. Etiologi

2.1 Tipe obstruktif (non-komunikans)


Terjadi bila CSS otak terganggu (gangguan di dalam atau pada sistem ventrikel yang
mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem ventrikel otak)

2.1.1 Kongenital
a. Stenosis akuaduktus serebri

Mempunyai berbagai penyebab. Kebanyakan disebabkan oleh infeksi atau


perdarahan selama kehidupan fetal, stenosis kongenital sejati sangat jarang.

Russel mengklasifikasikan stenosis akuaduktal ke dalam 4 kelompok


berdasarkan temuan histologis: gliosis, forking stenosis simple, dan pembentukan
septum. Stenosis atau penyempitan akuaduktal terjadi pada 2/3 kasus hidrosefalus
kongenital.

b. Sindroma Dandy-Walker (atresia foramen Megendie dan Luschka)

Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan hidrosefalus. Etiologinya
tidak diketahui. Malformasi ini berupa ekspansi kistik ventrikel IV dan hipoplasia
veris serebelum. Hidrosefalus yang terjadi diakibatkan oleh hubungan antara dilatasi
ventrikel IV dan rongga subarakhnoid yang tidak adekuat; dan hal ini dapat tampil
pada saat lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam tiga bulan pertama.

Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan dengan anomali lainnya seperti:
agenesis korpus kalosum, labiopalatoskhisis, anomali okuler, anomali jantung, dan
sebagainya.

c. Malformasi Arnold-Chiari

Malformasi ini melibatkan kelainan susunan saraf pusat yang rumit (khas pada
fossa posterior). Batang otak tampak memanjang dan mengalami malformasi, dan
tonsil serebellum memanjang dan ekstensi ke dalam kanalis spinalis. Kelainan ini
menyebabkan obliterasi sisterna-sisterna fossa posterior dan mengganggu saluran
ventrikel IV. Malformasi Arnold Chiari dijumpai pada hampir semua kasus
mielomeningokel, walaupun tidak semuanya berkembang menjadi hidrosefalus aktif
yang membutuhkan tindakan operasi pintas (shunting) (80% kasus).

d. Aneurisma vena Galeni

Kerusakan vaskuler yang terjadi pada saat kelahiran, tetapi secara normal tidak

dapat dideteksi sampai anak berusia beberapa bulan. Hal ini terjadi karena vena Galen

mengalir di atas akuaduktus Sylvii, menggembung dan membentuk kantong

aneurisma. Seringkali menyebabkan hidrosefalus.

e. Hidroansefali

Suatu kondisi dimana hemisfer otak tidak adadan diganti dengan kantong CSS.
sangat jarang. (Toxoplasma/T.gondii, Rubella/German measles, X-linked
hidrosefalus).
2.1.2 Acquired / Didapat

a. Stenois akuaduktus serebri (setelah infeksi atau perdarahan)

Infeksi oleh bakteri meningitis yang menyebabkan radang pada selaput

(meningen) di sekitar otak dan spinal cord. Hidrosefalus berkembang ketika jaringan

parut dari infeksi meningen menghambat aliran CSS dalam ruang subarachnoid, yang

melalui akuaduktus pada sistem ventrikel atau mempengaruhi penyerapan CSS dalam

villi arachnoid.

Jika saat itu tidak mendapat pengobatan, bakteri meningitis dapat menyebabkan

kematian dalam beberapa hari. Tanda-tanda dan gejala meningitis meliputi demam,

sakit kepala, panas tinggi, kehilangan nafsu makan, kaku kuduk. Pada kasus yang

ekstrim, gejala meningitis ditunjukkan dengan muntah dan kejang. Dapat diobati

dengan antibiotik dosis tinggi.

b. Herniasi tentorial akibat tumor supratentorial

c. Hematoma intraventrikular

Jika cukup berat dapat mempengaruhi ventrikel, mengakibatkan darah mengalir


dalam jaringan otak sekitar dan mengakibatkan perubahan neurologis. Kemungkinan
hidrosefalus berkembang sisebabkan oleh penyumbatan atau penurunan kemampuan
otak untuk menyerap CSS.

d. Tumor : Ventrikel, Regio vinialis, Fossa posterior

Sebagian besar tumor otak dialami oleh anak-anak pada usia 5-10 tahun. 70%
tumor ini terjadi dibagian belakang otak yang disebut fosa posterior. Jenis lain dari
tumor otakyang dapat menyebabkan hidrosefalus adalah tumor intraventrikuler dan
kasus yang sering terjadi adalah tumor plexus choroideus(termasuk papiloma dan
carsinoma).

Tumor yang berada di bagian belakang otak sebagian besar akan menyumbat
aliran CSS yang keluar dari ventrikel IV. Pada banyak kasus, cara terbaik untuk
mengobati hidrosefalus yang berhubungan dengan tumor adalah menghilangkan
tumor penyebab sumbatan.

e. Abses/granuloma

f. Kista arakhnoid

Kista adalah kantung lunak atau lubang tertutup yang berisi cairan. Jika terdapat
kista arachnoid maka kantung berisi CSS dan dilapisi dengan jaringan pada membran
arachnoid. Kista biasanya ditemukan pada anak-anak dan berada pada ventrikel otak
atau pada ruang subarachnoid. Kista subarachnoid dapat menyebabkan hidrosefalus
non komunikans dengan cara menyumbat aliran CSS dalam ventrikel khususnya
ventrikel III.

Berdasarkan lokasi kista, dokter bedah saraf dapat menghilangkan dinding kista
dan mengeringkan cairan kista. Jika kista terdapat pada tempat yang tidak dapat
dioperasi (dekat batang otak), dokter dapat memasang shunt untuk mengalirkan
cairan agar bisa diserap. Hal ini akan menghentikan pertumbuhan kista dan
melindungi batang otak.

2.2 Tipe komunikans

Jarang ditemukan. Terjadi karena proses berlebihan atau gangguan penyerapan


2.2.1 Penebalan leptomeningens dan/atau granulasi arakhnoid akibat:

a. Infeksi : Mikobakterium TBC, Kuman piogenik, Jamur; cryptococcus neoformans,


coccidioides immitis.
b. Perdarahan subarachnoid : Spontan seperti pada aneurisma dan malformasi
arteriol, Trauma

c. Meningitis karsinomatosa
2.2.2 Peningkatan viskositas CSS

Kadar protein yang tinggi seperti pada perdarahan subarakhnoid, tumor kauda ekuina,
tumor intrakranial neurofibroma akustik, hemangioblastoma serebelum dan medulla
spinalis, neurosifilis, sindrom Guillain-Barre.

2.2.3 Produksi CSS yang berlebihan


Papilomapleksuskhoroideus

NPH (Normal Pressure Hydrocephalus)

Hidrosefalus yang terjadi tanpa disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial yang
berarti, merupakan suatu tipe hidrosefalus kronik dimana tekanan intrakranial
berangsur-angsur berubah stabil dan terjadi pembesaran dari ventrikel otak. Penderita
dengan NPH tidak menunjukkan gejala-gejala klasik dari peninggian tekanan
intrakranial seperti sakit kepala, mual, muntah, atau penurunan kesadaran sehingga
sering kali salah terdiagnosis sebagai penyakit Parkinson, Alzheimer, atau degeneratif
berhubung sifat kronisnya dan gejala-gejala yang menyertainya.

NPH akan menunjukkan gejala-gejala trias klasik yakni gaya berjalan ataxia,
demensia, dan inkontinensia urin.
1. Gaya berjalan ataxia, biasanya bersifat kronik progresif, disebabkan karena
ekspansi dari sistem ventrikuler, terutama pada ventrikel lateral yang
mempengaruhi traksi dari serat motorik sakral yang berjalan di area ini, sering
kali gejalanya berupa insta bilitas postur dangangguan keseimbangan yang makin
terlihat bila penderita berjalan atau menaiki tangga. Kelemahan dan kelelahan otot
juga dapat merupakan bagian dari keluhan meskipun lebih samar. Hal-hal tersebut
inilah yang membuatnya sering kaliter diagnosa sebagai penyakit Parkinson,
hanya saja disini tidak dijumpai tremor atau rigiditas seperti penderita penyakit
Parkinson pada umumnya.
2. Demensia, pada dasarnya merupakan predominasi dari lobus frontalis disertai
apatis, keterlambatan dalam proses berpikir, dan kecenderungan untuk hilangan
tensi. Gangguan memori biasanya merupakan masalah utama, yang sering salah
terdiagnosis sebagai penyakit Alzheimer. Demensia ini diduga akibat traksi dari
serat limbik yang berjalan di area preventrikuler.
3. Inkontinensia urin, biasanya terjadi pada stadium akhir dari NPH, dimulai dari
meningkatnya frekuensi berkemih hingga akhirnya menunjukkan gejala
“inkontinensia lobus frontalis” dimana penderita menjadi tidak peduli terhadap
gejala inkontinensia yang dialaminya.
Etiologi berdasarkan umur

0-2 tahun
1. Infeksi intrauterine
2. Meningoensefalitis bakteri/virus pada neonatus
3. Kista araknoid
4. Tumor intrakranial
5. AV malformasi
6. Post infeksi
7. Gangguan perkembangan : Stenosis Aquaduktus, myelomeningokel, Kista
Dandy Walker, Ensefalokel

2-12 tahun
1. Massa yang menekan sistem ventrikular : kraniofaringioma, tumor pineal
2. Tumor fossa posterior : meduloblastoma, astrositoma,ependimoma
3. Gangguan perkembangan : Stenosis aquaduktus, malformasi Arnold Chiari
4. Post infeksi : meningitis
5. Post hemorraghic
E. GAMBARANKLINIS
Gejala yang menonjol pada hidrosefalus adalah bertambah besarnya ukuran
lingkar kepala anak dibanding ukuran normal. Di mana ukuran lingkar kepala terus
bertambah besar, sutura-sutura melebar demikian juga fontanela mayor dan minor
melebar dan menonjol atau tegang. Beberapa penderita hidrosefalus kongenital
dengan ukuran kepala yang besar saat dilahirkan sehingga sering mempersulit proses
persalinan, bahkan beberapa kasus memerlukan operasi seksio sesaria. Tetapi
sebagian besar anak-anak dengan hidrosefalus tipe ini dilahirkan dengan ukuran
kepala yang normal. Baru pada saat perkembangan secara cepat terjadi perubahan
proporsi ukuran kepalanya.

Akibat penonjolan lobus frontalis, bentuk kepala cenderung menjadi


brakhisefalik, kecuali pada sindrom Dandy-Walker di mana kepala cenderung
berbentuk dolikhosefalik, karena desakan dari lobus oksipitalis akibat pembesaran
fossa posterior.

Sering dijumpai adanya Setting Sun Appearance / Sign, yaitu adanya retraksi dari
kelopak mata dan sklera menonjol keluar karena adanya penekanan ke depan bawah
dari isi ruang orbita, serta gangguan gerak bola mata ke atas, sehingga bola mata
nampak seperti matahari terbenam.

Kulit kepala tampak tipis dan dijumpai adanya pelebaran vena-vena subkutan.
Pada perkusi kepala anak akan terdengar suara cracked pot, berupa seperti suara kaca
retak. Selain itu juga dijumpai gejala-gejala lain seperti gangguan tingkat kesadaran,
muntah-muntah, retardasi mental, kegagalan untuk tumbuh secara optimal.

Pada pasien-pasien tipe ini biasanya tidak dijumpai adanya papil edema, tapi
pada tahap akhir diskus optikus tampak pucat dan penglihatan kabur. Secara pelan
sikap tubuh anak menjadi fleksi pada lengan dan fleksi atau ekstensi pada tungkai.
Gerakan anak menjadi lemah, dan kadang-kadang lengan jadi gemetar.

1. Hidrosefalus pada bayi (Tipe congenital/infantil):

- Kepala membesar
- Sutura melebar
- Fontanella kepala prominen
- Mata kearah bawah (sunset phenomena)
- Nistagmus horizontal
- Perkusi kepala : cracked pot sign atau seperti semangka masak.

Ukuran rata-rata lingkar kepala berdasarkan umur

Umur Lingkar Kepala


0 bulan 35 cm
3 bulan 41 cm
6 bulan 44 cm
9 bulan 46 cm
12 bulan 47 cm
18 bulan 48,5 cm
2. Tipe juvenile/adult (2-10 tahun) :

- Sakit kepala
- Kesadaran menurun
- Gelisah
- Mual, muntah
- Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
- Gangguan perkembangan fisik dan mental
- Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih lanjut dapat
mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila N.II.
- Tekanan intrakranial meninggi oleh karena ubun-ubun dan sutura sudah menutup,
nyeri kepala terutama di daerah bifrontal dan bioksipital. Aktivitas fisik dan mental
secara bertahap akan menurun dengan gangguan mental yang sering dijumpai
seperti : respon terhadap lingkungan lambat, kurang perhatian tidak mampu
merencanakan aktivitasnya.
DIAGNOSIS

Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan
fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik hidrosefalus dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang, yaitu :

1. Rontgen foto kepala

Dengan prosedur ini dapat diketahui:

a. Hidrosefalus tipe kongenital/infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya pelebaran


sutura, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial kronik berupa imopressio
digitate dan erosi prosessus klionidalis posterior.

b. Hidrosefalus tipe juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup maka dari
foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan intrakranial.

2. Transiluminasi

Syarat untuk transiluminasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan ini


dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi selama 3 menit.
Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan rubber adaptor. Pada
hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat lebih lebar 1-2 cm.

3. Lingkaran kepala

Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan lingkar


kepala melampaui satu atau lebih garis-garis kisi pada chart (jarak antara dua garis
kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak yang besar lingkaran kepala
dapat normal hal ini disebabkan oleh karena hidrosefalus terjadi setelah penutupan
suturan secara fungsional.
Tetapi jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan suturan kranialis maka
penutupan sutura tidak akan terjadi secara menyeluruh.

4. Ventrikulografi
Yaitu dengan memasukkan konras berupa O2 murni atau kontras lainnya dengan
alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung masuk ke dalam
ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat kontras mengisi
ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup
untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal
atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi.
Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.

5. Ultrasonografi

Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG


diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat lain
mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata tidak mempunyai
nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini disebabkan oleh karena
USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti
halnya pada pemeriksaan CT Scan.
5. CT Scan kepala
Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya pelebaran
dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas ventrikel lebih
besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel IV sering
ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena terjadi
reabsorpsi transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikans gambaran CT Scan menunjukkan dilatasi
ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di proksimal
dari daerah sumbatan.
Gambar 2 . CT Scan hidrosefalus

7. MRI Kepala

MRI kepala dapat menunjukkan gambaran anatomi kepala secara mendetail dan
bermanfaat untuk mengidentifikasi tempat obstruksi

Gambar 3. MRI kepala dengan hidrosefalus

F. PENATALAKSANAAN
Terapimedikamentosa

Ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi


sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorpsinya.Dapat
dicoba pada pasien yang tidak gawat, terutama pada pusat-pusat kesehatan dimana
sarana bedah saraf tidak ada.
Obat yang seringdigunakan adalah:
a. Asetasolamid
25-100 mg/kg/bb/hari Acetazolamide bekerja dengan cara merintangi enzym
karboanhidrase di tubuli proksimal, sehingga disamping karbonat, juga Na
dan K dieksresikan lebih banyak, bersamaan dengan air. Fungsi diuretiknya
lemah.

Efek samping dari obat ini biasanya kebas pada jari tangan dan kaki karena
hipokalemia. Beberapa dapat mengalami pandangan yang kabur, tapi biasanya hilang
dengan penghentian obat. Acetazolamide juga meningkatkan resiko batu ginjal
kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Untuk mengurangi dehidrasi dan sakit kepala
dianjurkan untuk minum banyak cairan.

Kontraindikasi bagi mereka yang mempunyai sickle cell anemia, alergi terhadap
sulfa dan CA inhibitor, sakit ginjal atau hati, gagal kelenjar adrenal, diabetes, ibu
hamil dan menyusui.

b. Furosemid

Cara pemberiandandosis; Per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hariatauinjeksi iv 0,6


mg/kgBB/hari.Furosemide bekerja sebagai loop diuretic kuat pada transport Na K Cl
loop henle thick ascending untuk menghambat Na dan Cl reabsorbsi. Karena absorbsi
Mg dan Ca pada thick ascending tergantung konsentrasi Na dan Cl, loop diuretik juga
menghambat absorbsi ion tersebut. Dengan terganggunya reabsorbsi ion ini loop
diuretik mengganggu terbentuknya medula renal yang hipertonik. Dengan tanpa
adanya medula yang terkonsentrasi, air menjadi kurang osmotik kemudian melalui
collecting duct, sehingga berakibat kenaikan produksi urin.
Diuretik ini mengurangi air yang direabsorbsi kembali ke darah berakibat pada
penurunan volume darah. Loop diuretik juga menyebabkan vasodilatasi vena
pembuluh darah ginjal sehingga menurunkan tekanan darah.

Efek samping lainnya dapat menyebabkan jaundice, tinitus, fotosensitif, rash,


pankreatitis, mual, sakit perut, pusing, anemia.

Terapi Pembedahan

1. Pada pusat-pusat kesehatan yang memiliki sarana bedah saraf

Terapi operasi langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus. Pada penderita


yang gawat dan sambil menunggu operasi penderita biasanya diberikan:

- Mannitol (cairan hipertonik), dengan cara pemberian dan dosis: per infus, 0,5-2
g/kg BB/hari yang diberikan dalam jangka waktu 10-30 menit.

2. Tidak terdapat fasilitas bedah saraf

a. Pasien tidak gawat


Diberi terapi medikamentosa, bila tidak berhasil, pasien dirujuk ke rumah
sakit terdekat yang mempunyai fasilitas bedah saraf.

b. Pasien dalam keadaan gawat


Pasien segera dirujuk ke rumah sakit terdekat yang mempunyai fasilitas
bedah saraf setelah diberikan mannitol.

Jenis Terapi Operatif pada Pasien Hidrosefalus

1. Third Ventrikulostomi/Ventrikel III


Lewat kraniotom, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma optikum, dengan
bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang sehingga CSS dari ventrikel III dapat
mengalir keluar.

2. Operasi pintas/Shunting

Ada 2 macam :

-  Eksternal

CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya sementara.
Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus tekanan
normal.

- Internal

a. CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain.


-Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor- Kjeldsen)
-Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium kanan.
-Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
-Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronkhus
-Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum
-Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum
b. Lumbo Peritoneal Shunt

CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum dengan


operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan.
Teknik Shunting
1. Sebuah kateter ventrikular dimasukkan melalui kornu oksipitalis atau kornu
frontalis, ujungnya ditempatkan setinggi foramen Monro.

2. Suatu reservoir yang memungkinkan aspirasi dari CSS untuk dilakukan analisis.

3. Sebuah katup yang terdapat dalam sistem Shunting ini, baik yang terletak
proksimal dengan tipe bola atau diagfragma (Hakim, Pudenz, Pitz, Holter) maupun
yang terletak di distal dengan katup berbentuk celah (Pudenz). Katup akan membuka
pada tekanan tertentu.

4. Ventriculo-Atrial Shunt. Ujung distal kateter dimasukkan ke dalam atrium kanan


jantung melalui v. jugularis interna .

5. Ventriculo-Peritoneal Shunt.

a. Slang silastik ditanam dalam lapisan subkutan.


b. Ujung distal kateter ditempatkan dalam ruang peritoneum.

Pada anak-anak, dengan kumparan silang yang banyak, memungkinkan tidak


diperlukan adanya revisi walaupun badan anak tumbuh memanjang.

Komplikasi Shunting

a. Infeksi

Berupa peritonitis, meningitis atau peradangan sepanjang saluran subkutan. Pada


pasien-pasien dengan VA Shunt. Bakteri aleni dapat mengawali terjadinya Shunt
Nephritis yang biasanya disebabkan Staphylococcus epidermis ataupun aureus,
dengan risiko terutama pada bayi. Profilaksis antibiotik dapat mengurangi risiko
infeksi.

b. Hematoma Subdural

Ventrikel yang kolaps akan menarik permukaan korteks serebri dari duramater.
Pasien post operatif diletakkan dalam posisi terlentang mengurangi risiko sedini
mungkin.

c. Obstruksi

Dapat ditimbulkan oleh:

- Ujung proksimal tertutup pleksus khoroideus.


- Adanya serpihan-serpihan (debris).
- Gumpalan darah.
- Ujung distal tertutup omentum.
- Pada anak-anak yang sedang tumbuh dengan VA Shunt, ujung distal kateter dapat
tertarik keluar dari ruang atrium kanan, dan mengakibatkan terbentuknya trombus dan
timbul oklusi.

d. CSS yang rendah

Beberapa pasien Post shunting mengeluh sakit kepala dan vomiting pada posisi


duduk dan berdiri, hal ini ternyata disebabkan karena tekanan CSS yang rendah,
keadaan ini dapat diperbaiki dengan jalan:

- Intake cairan yang banyak.


- Katup diganti dengan yang terbuka pada tekanan yang tinggi.
e. Asites oleh karena CSS

Asites CSS ataupun pseudokista pertama kali dilaporkan oleh Ames, kejadian ini
diperkirakan 1% dari penderita dengan VP shunt. Adapun patogenesisnya masih
bersifat kontroversial. Diduga sebagai penyebab kelainan ini adalah pembedahan
abdominal sebelumnya, peritonitis, protein yang tinggi dalam CSS.

Asites CSS biasanya terjadi pada anak dengan tekanan intrakranial di mana
gejala yang timbul dapat berupa distensi perut, nyeri perut, mual dan muntah-muntah.

f. Kraniosinostosis

Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari pembuatan shunt pada hidrosefalus yang


berat, sehingga terjadi penututupan dini dari sutura kranialis.

9. DIAGNOSIS BANDING

1. Higroma subdural ; penimbunan cairan dalam ruang subdural akibat pencairan


hematom subdural

2. Hematom subdural ; penimbunan darah di dalam rongga subdural

3. Emfiema subdural ; adanya udara atau gas dalam jaringan subdural.

4. Hidranensefali ; sama sekali atau hampir tidak memiliki hemisfer serebri, ruang
yang normalnya di isi hemisfer dipenuhi CSS
5. Tumor otak

6. Kepala besar

- Megaloensefali : jaringan otak bertambah


- Makrosefali : gangguan tulang

10. KOMPLIKASI
- Atrofi otak
- Herniasi otak yang dapat berakibat kematian

11. PROGNOSIS

Pada hidrosefalus infantil dengan operasi shunt menunjukkan perbaikan yang


bermakna. Jika tidak diobati 50-60% bayi akan tetap dengan hidrosefalus atau
mengalami penyakit yang berulang-ulang. Kira-kira 40% dari bayi yang hidup
dengan intelektual mendekati normal. Dengan pengobatan dan pembedahan yang
baik setidak-tidaknya 70% penderita dapat hidup hingga melampaui masa anak-anak,
di mana 40% diantaranya dengan intelegensi normal dan 60% sisanya mengalami
gangguan intelegensi dan motorik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Delia R, Nickolaus dan RN Leanne Lintula. Hydrocephalus Therapy, Living with


Hydrocephalus.Medtronic, 2004.
2. Sri M, Sunaka N, Kari K. Hidrosefalus. Dexamedia 2006; 19, 40-48.

3. Alberto J Espay, MD. Hydrocephalus. Emedicine 2010 : 4 available


at www.emedicine.com di akses pada 26 November 2010

4. Price SA, Wilson LM. Vetrikel dan Cairan Cerebrospinalis, dalam Patofiologi


Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta, 1994, 915-6

5. Dan Stranding S. Ventricular System and Cerebrospinal Fluid, in Grays Anatomy


The Anatomical Basis of Clinical Practice, thirty nine edition, Churchill Livingstone,
New York : 2005, 287-94

6. Kahle, Leonhardt, Platzer. Sistem Saraf Dan Alat-Alat Sensoris, dalam Atlas


Berwarna & Teks Anatomi Manusia jilid 3, edisi 6,. Hipokrates, 2005, 262-271

7. R.Sjamsuhidat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC, Jakarta : 2004,
809-810

8. http://www.ninds.nih.gov/disorders/hydrocephalus/hydrocephalus.htm

9. DeVito EE, Salmond CH, Owler BK, Sahakian BJ, Pickard JD. 2007. Caudate
structural abnormalities in idiopathic normal pressure hydrocephalus. Acta Neurol
Scand 2007: 116: pages 328–332.

10. Peter Paul Rickham. 2003. Obituaries. BMJ 2003: 327: 1408-doi: 10.1136/
bmj.327.7428.1408.

11. Ropper, Allan H. And Robert H. Brown. 2005. Adams And Victor’s Principles Of
Neurology: Eight Edition. USA.

12. Darsono dan Himpunan dokter spesialis saraf indonesia dengan UGM. 2005.
Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: UGM Press.

13. Rudolph AM, dkk. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 20. Volume 3. Jakarta:
EGC, 2006. Hal 2053-57

Anda mungkin juga menyukai