Anda di halaman 1dari 34

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian


besar disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus atau bakteri dan sebagian
kecil disebabkan oleh karena adanya aspirasi. Pneumonia dapat diklasifikasikan
berdasarkan anatomi, yaitu: pneumonia lobaris, pneumonia interstisial, dan
pneumonia lobularis (bronkopneumonia). Bronkopneumonia merupakan
peradangan parenkim paru dimana penyebaran daerah infeksi berupa infiltrat yang
mengelilingi dan melibatkan bronkus.1
Bronkhopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit
Pneumonia. Bronchopneumonia (penumonia lobaris) adalah suatu infeksi
saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan
bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution) yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur, dan benda asing.2
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa
atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Pneumonia hingga saat
ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak-anak di negara
berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian
anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia tenggara. Insiden
pneumonia di negara berkembang yaitu 30-45% per 1000 anak dibawah usia 5
tahun, 16-22% per 1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada
anak yang lebih tua.3
Pola bakteri penyebab bronkopneumonia biasanya berubah sesuai dengan
distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan dalam
bronkopneumonia adalah Streptococcus Pneumoniae, Hemophilus Influenza,
Staphylococcus Aureus, Streptococcus Grup B.1
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas bronkopneumonia pada anak balita di Negara berkembang.Faktor risiko

1
tersebut adalah bronkopneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir
rendah, tidak mendapatkan imunisasi, tidak mendapatkan ASI yang adekuat,
malnutrisi, serta tingginya pajanan terhadap polusi udara.1
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.1
Efusi pleura merupakan kondisi di mana terdapat akumulasi cairan
berlebih pada cavitas pleuralis yang disebabkan oleh meningkatnya produksi atau
berkurangnya absorpsi cairan pleura. Cairan biasanya bersumber dari pembuluh
darah atau pembuluh limfe, kadang juga disebabkan karena adanya abses atau lesi
yang didrainase ke cavitas pleuralis.1
Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernapasan dapat berupa batuk,
kesukaran bernapas, sakit tenggorok, pilek, sakit telinga dan demam.Sehingga
petugas kesehatan perlu mengenal anak-anak yang sakit serius dengan gejala
batuk atau sukar bernapas agar dapat diberikan pengobatan yang sesuai. Oleh
karena itu agar pemberian terapi sesuai, maka pada refleksi kasus kali ini akan
dibahas tentang diagnosis bronkopneumonia pada anak.
Berikut akan dibahas sebuah refleksi kasus mengenai bronkopneumonia
dengan efusi pleura, dan stunting pada pasien bayi umur 3 bulan yang dirawat di
ruang nuri atas RSU Anutapura Palu.

2
KASUS

IDENTITAS PASIEN
 Nama : By. M.F
 Jenis kelamin : laki-laki
 Lahir pada tanggal/umur : 08-08-2018 (3 bulan 17 hari)
 Berat waktu lahir : 1.700 gram
 Partus secara normal dibantu oleh Dokter
 Agama : Islam
 Kebangsaan : Indonesia
 Nama ibu : Ny. W
 Umur : 20 tahun
 Pekerjaan ibu : IRT
 Pendidikan ibu : SMA
 Nama ayah : Tn. M.T
 Umur : 21 tahun
 Pekerjaan ayah : Wiraswasta
 Pendidikan ayah : SMA
 Alamat : Jl. Undata
 No. Telp : 081395625337
 Masuk dengan diagnosis : Pneumonia
 Tanggal masuk rumah sakit : 25 november 2018
 Tanggal keluar rumah sakit : 30 november 2018
 Masuk ke ruangan : Nuri Atas

Anamnesis (diberikan oleh ibu pasien)


Anak ke 1 dari 1 bersaudara

3
FAMILY TREE

ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak
Riwayat penyakit sekarang
Pasien masuk rumah sakit umum Anutapura dengan keluhan sesak yang
dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak disertai dengan kebiruan
pada ektremitas dan bibir. Pasien juga mengalami batuk berdahak dengan lendir
yang tidak dapat dikeluarkan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Ibu
pasien juga mengeluh pasien demam yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, demam terus menerus. Saat demam pasien tidak ada kejang. dan
tidak mau minum susu, tidak ada pilek, tidak ada muntah. Riwayat tersedat (-)
BAK: lancar dan BAB Biasa.

Riwayat penyakit dahulu:


Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sesak dan batuk 1 bulan yang
lalu dan di rawat di RSUD Undata
Riwayat penyakit keluarga:
 Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.
 Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat asma
Riwayat sosial-ekonomi :
Keadaan ekonomi pasien termasuk kategori menengah keatas. Kebiasaan
memberikan makanan yang sehat untuk anak.
Riwayat kebiasaan dan lingkungan :
Pasien tinggal di rumah yang dihuni oleh banyak anggota keluarga, ada
sekitar 15 orang dalam 1 rumah. Ayah perokok aktif yang sering merokok
didalam rumah.

4
Riwayat Kehamilan dan persalinan :
Ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan antenatal care (ANC) ketika
hamil. Ibu tidak ada riwayat sakit/demam ketika hamil. Pasien merupakan anak
pertama, lahir secara spontan di rumah RS Tinatapura Palu dibantu oleh dokter,
bayi lahir langsung menangis dengan usia kehamilan kurang bulan (masa gestasi
28 minngu), dan Berat Badan Lahir : 1.700 gram, Panjang Badan Lahir tidak
diketahui.

Kemampuan dan Kepandaian Bayi :


Usia 0-3 bulan :
- Menggerakan kepala dari kiri/kanan menuju tengah
- Melihat dan menatap wajah
- Bereaksi terkejut saat suara keras
- Membalik

Anamnesis Makanan :
 0-3 bulan : ASI dan susu furmula diberikan sampai saat ini

Riwayat Imunisasi:
DASAR ULANGAN
I II III I II III
BCG -
POLIO -
DTP -
CAMPAK
HEPATITIS -
Pasien tidak memiliki riwayat imunisasi

Perjalanan Penyakit:
Seorang bayi laki-laki masuk rumah sakit Anutapura Palu dengan dengan
keluhan sesak yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
disertai dengan kebiruan pada ektremitas dan bibir. Ibu pasien juga mengeluh
pasien demam yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, demam
terus menerus. Saat demam pasien tidak ada kejang. Pasien juga mengalami batuk

5
berdahak dengan lendir yang tidak dapat dikeluarkan dan tidak mau minum susu,
tidak ada pilek, tidak ada muntah. BAK: lancar dan BAB Biasa.

A. PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Berat badan : 4,6 kg
Tinggi badan : 46 cm
Lingkar Kepala : 37 cm
Usia : Usia Kronologis + Usia Gestasi
= 14 + 28
= 42 minggu
Status Gizi : Baik

6
BB/U = 50% – 90% (Berat Badan Sesuai dengan Usia)

7
TB/U = < 3% (Tinggi Badan Sangat Kurang Menurut Usia)

8
LK/U : 50%- 90% (Lingkar Kepala Sesuai Dengan Usia)

9
 Sianosis : Tidak ada
 Anemia : -/-
 Keadaan mental : Compos mentis
 Ikterus : Tidak ada
 Tanda Vital
- Denyut nadi : 140 kali/menit, kuat angkat
- Suhu : 36.6 0C
- Respirasi : 70 kali/menit
- Tekanan darah :
 Kejang
- Tipe : Tidak ada
- Lamanya : -
 Kulit
- Warna : Sawo matang Turgor : kembali < 2 detik
- Efloresensi :- Tonus : ada
- Pigmentasi :- Oedema: tidak ada edema
- Jaringan parut: -
- Lapisan lemak: -
- Lain- lain: -
 Kepala
- Bentuk : Normocephal
- Rambut : Rambut sedikit, berwarna hitam, sulit dicabut
 Mata
- Exophtalmus/Enophtalmus : Tidak ada
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Isokor, RCL +/+, RCTL+/+
- Lensa jernih : Jernih +/+
- Fundus : Tidak dilakukan pemeriksaan

10
- Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Gerakan : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Telinga : Otorrhea (-/-)


 Hidung : Rinorrhea (-/-), pernafasan cuping hidung (-/-)
 Mulut
- Bibir : Tidak kering, tidak sianosis
- Lidah : Normal
- Gigi : Dalam masa pertumbuhan
- Selaput mulut : Tidak ada stomatitis angularis
- Gusi : Tidak ada perdarahan
- Bau pernapasan: Normal
 Tenggorokan
- Tenggorokan : Tidak ada kelainan
- Tonsil : Dalam batas normal (T1/T1), tidak hiperemis
- Pharynx : Dalam batas normal
 Leher
- Trachea : Letak ditengah
- Kelenjar : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
- Kaku kuduk : (-)
- Lain-lain : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
 Thorax
- Bentuk : Normal Xiphosternum : Tidak ada
- Rachitic Rosary : Tidak ada Harrison’s groove : Tidak ada
- Ruang Intercostal : Tidak ada Pernapasan paradoxal : Tidak ada
- Precordial Bulging : Tidak ada Retraksi : Tidak Ada
- Lain-lain: : Tidak ada
 Paru-paru
- Inspeksi : Simetris bilateral, retraksi intercostalis (+), massa (-),
sikatriks (-)

11
- Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama, massa (-),
nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Bronchovesikular (+/+), Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)
 Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC V linea
parasternal dextra, batas kiri jantung SIC V linea axilla anterior
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Bentuk kesan datar, massa (-), distensi (-),sikatriks (-)
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : Timpani (+), asites (-)
- Palpasi : Nyeri tekan regio abdomen (-),
hepar: pembesaran (-), lien: pembesaran (-)
 Genitalia : Dalam batas normal
 Kelenjar : Tidak ada pembesaran
 Anggota gerak : Ekstremitas atas dan bawah akral hangat.
 Tulang-tulang : Tidak ada deformitas
 Otot-otot : Eutrofi (+)
 Refleks : Refleks fisiologis (+) Refleks patologis (-)

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Laboratorium :

Hematologi Hasil Rujukan Satuan


WBC 8,1 4,0-12,0 103 / uL
RBC 4,57 4,0-6,2 106 / uL
HGB 10,7 11-17 g / dL
HCT 37,6 35-55 %

12
PLT 642 150-450 103 / uL

Radiologi:
Foto Thorax AP
- Perselubungan inhomogen pada parahiler dan suprahiler kedua paru
- Cor: ukuran normal
- Sinus kanan berselubung, sinus kiri dan kedua diafragma baik
- Tulang-tulang rongga thorax intak
- Kesan : bronkopneumonia spesifik disertai efusi pleura dextra

RESUME
Seorang bayi laki-laki usia 3 bulan masuk rumah sakit Anutapura Palu
dengan dengan keluhan sesak yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Sesak disertai dengan kebiruan pada ektremitas dan bibir. Ibu pasien juga
mengeluh pasien demam yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit,
demam terus menerus. Pasien juga mengalami batuk berdahak dengan lendir yang
tidak dapat dikeluarkan dan tidak mau minum susu, riwayat tersedat (-). BAK:
lanar dan BAB Biasa.
Keadaan umum anak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, BB 4,6 kg
dan PB 46 cm dengan status gizi: baik, TB/U = < 3% ( Tinggi badan sangat kurang
menurut usia). Tanda vital suhu axila 37,6 0 C, respirasi 70 kali/menit nadi 140
kali/menit. Ruam kulit (-), bentuk kepala normocephal, konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterus (-/-). Paru-paru, retraksi intercostali (+) . Auskultasi:
bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+), Jantung BJ I/II Reguler. Abdomen tampak
datar,dan organomegaly (-).
Pem. Radiologi : Foto thorax kesan : bronkopneumonia spesifik disertai
efusi pleura dextra

DIAGNOSIS :
- Bronkopneumonia
- Efusi Pleura dextra

13
- Obesitas
- Stunting

TERAPI :
- IVFD Dex 5% + 10 cc meylon 24 Tpm mikro
- O2 2 lpm
- Inj. Ampicilin 200 mg/8j/IV
- Inj. Gentamicin 20 mg/24j/IV
- Inj. Dexametason 1 mg/24j/IV
- Inj. Santagesic 50mg/8j/IV kalau perlu
- Nebulizer ventolin+ 1 pulmicort + NaCL 0,9% sd 5CC/8jam
- Puasa

14
FOLLOW UP

1) Follow up 27 November 2018 (Perawatan hari 2)


S : Sesak (+), batuk berlendir (+), Demam
(-), beringus (-), muntah (-), BAK biasa, BAB lancar

O :Nadi : 130 kali/menit


Suhu : 36,6˚C
RR : 50 kali/menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat
adanya massa, retraksi subcostal (-), retraksi
intercostal (+)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
 Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
 Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : - Bronkopneumonia
- Efusi pleura dextra
- Stunting
P :
- IVFD Dex 5% + 10 cc meylon 24 TPM mikro

15
- O2 2 lpm nasal kanul
- Inj. Ampicilin 200 mg/8j/IV
- Inj. Gentamicin 20 mg/24j/IV
- Inj. Dexametason 1 mg/24j/IV
- Inj. Santagesic 50mg/8j/IV kalau perlu
- Nebulizer Phentolin+ 1 Vemvicor + NaCL 0,9% sd 5CC/8jam
- Puasa

2) Follow up 28 November 2018 (Perawatan hari 3)


S : Sesak (+), batuk berlendir (+), beringus (+), demam (-) muntah (-), BAK
biasa, BAB lancar
O :Nadi : 150 kali/menit
Suhu : 36,5˚C
RR : 56 kali/menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat
adanya massa, retraksi subcostal (-), retraksi
intercostal (+)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
 Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
 Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : - Bronkopneumonia

16
- Efusi pleura dextra
- Stunting
P :
- IVFD Dex 5% + 10 cc meylon 24 Tpm mikro
- O2 2 lpm
- Inj. Ampicilin 200 mg/8j/IV
- Inj. Gentamicin 20 mg/24j/IV
- Inj. Dexametason 1 mg/24j/IV
- Inj. Santagesic 50mg/8j/IV kalau perlu
- Nebulizer Phentolin+ 1 Vemvicor + NaCL 0,9% sd 5CC/8jam
- Puyer batuk:
 Ambroxol 3,25 mg
 Salbutamol 0,2 mg 3x1 pulv
 Interhistin 5 mg

3) Follow up 28 November 2017 (Perawatan hari 3)


S : Demam (-), batuk lendir (+), beringus (+), sesak (-), muntah (-), BAK
biasa, BAB lancar
O :Nadi : 150 kali/menit
Suhu :36,3˚C
RR : 56 kali/menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat
adanya massa, retraksi subcostal (-), retraksi
intercostal (+)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+),
wheezing (-/-)

17
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
 Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
 Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : - Bronkopneumonia
- Efusi pleura dextra
- Stunting
P :
- Diet susu dengan sedok sedikit-sedikit
- IVFD Dex 5% + 10 cc meylon 24 Tpm mikro
- O2 2 lpm
- Inj. Ampicilin 200 mg/8j/IV
- Inj. Gentamicin 20 mg/24j/IV
- Inj. Dexametason 1 mg/24j/IV
- Inj. Santagesic 50mg/8j/IV kalau perlu
- Nebulizer Phentolin+ 1 Vemvicor + NaCL 0,9% sd 5CC/8jam
- Puyer batuk:
 Ambroxol 3,25 mg
 Salbutamol 0,2 mg 3x1 pulv
 Interhistin 5 mg

4) Follow up 29 November 2018 (Perawatan hari 4)


S : Sesak (+) ↓, batuk berlendir (+), beringus
(-), demam (-), muntah (-), BAK biasa, BAB lancar

O :Nadi : 140 kali/menit


Suhu :36,7˚C
RR : 55 kali/menit

18
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat
adanya massa, retraksi subcostal (-), retraksi
intercostal (+)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
 Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
 Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : - Bronkopneumonia
- Efusi pleura dextra
- Stunting
P :
- Diet susu dengan sedok sedikit-sedikit
- IVFD Dex 5% 15 tpm mikro
- O2 2 lpm
- Inj. Ampicilin 200 mg/8j/IV
- Inj. Gentamicin 20 mg/24j/IV
- Inj. Dexametason 1 mg/24j/IV
- Inj. Santagesic 50mg/8j/IV kalau perlu
- Nebulizer Phentolin+ 1 Vemvicor + NaCL 0,9% sd %5CC/8jam
- Puyer batuk:

 Ambroxol 3,25 mg

19
 Salbutamol 0,2 mg 3x1 pulv
 Interhistin 5 mg

5) Follow up 30 November 2018 (Perawatan hari 5)


S : Sesak (-), batuk berlendir (+), beringus
(-), demam (-), muntah (-), BAK biasa, BAB lancar

O :Nadi : 130 kali/menit


Suhu :36,8˚C
RR : 52 kali/menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat
adanya massa, retraksi subcostal (-), retraksi
intercostal (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
 Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
 Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : - Bronkopneumonia
- Efusi pluera dextra
- Stunting

P :

20
- Diet susu dengan sedok sedikit-sedikit
- IVFD Dex 5% 15 tpm mikro
- O2 2 lpm nasal kanul kalau perlu
- Inj. Ampicilin 200 mg/8j/IV
- Inj. Gentamicin 20 mg/24j/IV
- Inj. Dexametason 1 mg/24j/IV
- Inj. Santagesic 50mg/8j/IV kalau perlu
- Nebulizer Phentolin+ 1 Vemvicor + NaCL 0,9% sd 5CC/8jam
- Puyer batuk:
 Ambroxol 3,25 mg
 Salbutamol 0,2 mg 3x1 pulv
 Interhistin 5 mg

Pasien pulang atas permintaan sendiri pada perawatan hari ke-5 karena
sudah ada perbaikan gejala. Pasien sudah tidak demam, tidak sesak , batuk
sudah berkurang. Pada pemeriksaan fisik pasien sudah tidak takipneu , sudah
tidak tampak adanya retraksi subcostal dan intercostal.

21
DISKUSI

Pada pasien didapatkan usia 42 minngu dan panjang badan 46 cm


TB/U : (< 3%) TB sangat kurang/ perawakan pendek (Stunting). Stunting
menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada masa pertumbuhan
dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini dipresentasikan dengan
nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi
(SD) berdasarkan standar pertumbuhan menurut WHO.13
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima
tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk
usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2
tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita
dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference
Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar
deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted).13
Diagnosa bronkopneumonia pada pasien ini ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
terhadap ibu pasien, didapatkan keterangan yang mengarahkan pada
kecurigaan bronkopneumonia, yaitu sesak nafas, batuk berdahak, dan
demam. Manifestasi klinis pneumonia adalah gejala infeksi umum (demam, sakit
kepala, penurunan nafsu makan) dan gejala gangguan respiratori (batuk, sesak
nafas). Keluhan yang paling menonjol pada pasien penumonia adalah batuk dan
demam.3

22
Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil
yang semakin menguatkan pneumonia, yakni takipnu, takikardi, suhu aksila
37,60C, retraksi itercostalis, dan ronkhi basah halus kedua paru. Pada
pemeriksaan foto thorax AP didapatkan perselubungan inhomogen pada
parahilir dan suprahilir kedua paru. Adanya retraksi dinding dada dan atau
respiratory rate (RR) >50x/menit pada bayi adalah nilai prediktif positif pneumonia
dari 45% bayi yang kemudian terbukti terdapat konsolidasi pada rontgen
thoraksnya. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan
lebih dari satu gejala respiratori, yaitu takipnu, batuk, nafas cuping hidung, retraksi,
ronkhi, dan suara nafas melemah.3
Bronkopneumonia merupakan peradangan parenkim paru dimana
penyebaran daerah infeksi berupa infiltrat yang mengelilingi dan melibatkan
bronkus. Bronkopneumonia merupakan bagian dari pneumonia. Pneumonia adalah
inflamasi yang mengenai parenkim paru. Pneumonia dapat diklasifikasikan
berdasarkan anatomi, yaitu: pneumonia lobaris, pneumonia interstisial, dan
pneumonia lobularis (bronkopneumonia). 1
Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan
distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan dalam
pneumonia adalah streptococcus pneumoniae, haemophiluz influenza,
staphylococcus aureus, streptokokus grup B.1
Secara klinis, umumnya pneumoni bakteri sulit dibedakan dengan
pneumoni virus. Demikian juga pemeriksaan radiologis dan laboratorium,
biasanya tidak dapat menentukan etiologi, namun etiologi dapat ditentukan
berdasarkan 2 faktor, yaitu faktor infeksi dan non-infeksi.5
Faktor infeksi pada neonatus disebabkan oleh Streptokokus grup B,
Respiratory Sincytial Virus (RSV). pada bayi: Virus : Virus parainfluensa,
virusinfluenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus. Organisme atipikal:
Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Bakteri: Streptokokus pneumoni,
Haemofilus influenza, Mycobacteriumtuberculosa, B. Pertusis.5

23
Pada anak-anak: Virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus,
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, Bakteri: Pneumokokus,
Mycobakterium tuberculosa.5
Pada anak besar dewasa muda: Organisme atipikal: Mycoplasma
pneumonia, C. Trachomatis. Bakteri: Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
Sedangkan untuk faktor non-infeksi dapat terjadi akibat disfungsi menelan atau
refluks esophagus yang meliputi, bronkopneumonia hidrokarbon: Terjadi oleh
karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung zat hidrokarbon
seperti pelitur, minyak tanah dan bensin), bronkopneumonia lipoid: Terjadi akibat
pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli
petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti
palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan
pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.5
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita berpenyakit
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan
anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.5
Pada kasus didapatkan gambaran foto thorax AP pada pasien ini di
dapatkan bronkopneumonia spesifik disertai efusi pleura dextra. Komplikasi
berupa efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H. Influenza, emphyema
terjadi akibat infeksi Klebsiella Streptococcus grup A, S. Pneumonia sehingga di
perlukan analasis cairan pleura. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan
eksudat berkisar 300 100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih
rendah daripada glukosa darah.5
Normalnya, saluran pernapasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan
respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Infeksi paru terjadi bila

24
satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme
bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran napas bagian bawah melalui inhalasi
atau aspirasi flora komensal dari saluran napas bagian atas, dan jarang melalui
hematogen.1
Kuman penyebab pneumonia umumnya mencapai alveolus lewat percikan
mucus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena karena efek
gravitasi. Setelah mencapai alveolus, maka kuman akan menimbulkan respon khas
yang terdiri dari empat tahap berurutan1
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan awal yang
berlangsung pada daerah yang baru terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus.1
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merah. Pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam. 1
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin

25
terakumulasi di seluruh daerah yang terinfeksi dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai direabsorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.1
4.  Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.1
Selain itu WHO mengklasifikasikan pneumonia, pneumonia berat dan
pneumonia sangat berat berdasarkan manifestasi pada sistem pernapasan.6

Tabel 1. Pneumonia pada bayi kurang dari 2 bulan

Manifestasi klinis

Pneumonia berat Retraksi dinding dada atau


tachypnea

Pneumonia sangat berat  Retraksi dinding dada atau


tachypnea
 Tidak dapat menyusu/makan
 Kejang, letargi, tidak sadar
 Demam/suhu tubuh yang rendah
 Pernapasan tidak teratur

Tabel 2. Pneumonia pada bayi usia 2 bulan sampai 5 tahun

Pneumonia ringan  Tachypnea

Pneumonia berat  Retraksi dinding dada


 Tachypnea

Pneumonia sangat berat  Retraksi dinding dada


 Tachypnea

26
 Tidak dapat menyusu/makan
 Kejang, letargi, tidak sadar
 Malnutrisi

Tabel 3. Kriteria napas cepat sesuai golongan umur 6

Jika umur anak Anak dikatakan bernapas cepat jika

<2 bulan Frekuensi napas: 60 kali per menit


atau lebih

2 sampai 12 bulam Frekuensi napas: 50 kali per menit


atau lebih

12 bulan sampai 5 tahun Frekuensi napas: 40 kali per menit


atau lebih

Pada pasien ini termasuk dalam kriteria pneumonia berat


berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang di dapatkan yaitu
umur pasien 3 bulan, takipnea (Frekuensi napas: 50 kali per menit atau
lebih), dan tampak retraksi padan dinding dada.
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.Selain itu keluhan
meliputi menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang keluhan
gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala
respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), napas cuping
hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan
konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Ronki hanya ditemukan bila
ada infiltrat alveolar. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia
yang bermakna. Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia
lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat
menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai apendisitis. Abdomen

27
mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerofagi atau
ileus paralitik.1
Gambaran Foto Thorax AP pada pasien ini di dapatkan :
- Perselubungan inhomogen pada parahiler dan suprahiler kedua paru
- Cor: ukuran normal
- Sinus kanan berselubung, sinus kiri dan kedua diafragma baik
- Tulang-tulang rongga thorax intak
- Kesan : bronkopneumonia spesifik disertai efusi pleura dextra
Gambaran foto rontgen thoraks pneumonia pada anak dapat meliputi
gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat ringan
pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa lesi
pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila
ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan
prediktor pejalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis.
Gambaran foto thoraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi
pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat intersisial merata, dan hiperinflasi
cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi
segmen atau lobar, bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin
disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses-
abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran.1
Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinik. Gejala-gejala
klinis tersebut antara lain:
1. Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal
2. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung
3. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama
beberapa hari
4. Demam, dispneu, kadang disertai muntah dan diare
5. Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk,
beberapa hari yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif
6. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring

28
7. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan
predominan PMN
8. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial
dan infiltrat alveolar serta gambaran bronkopneumonia .2
Penatalaksanaan pada pasien ini, yaitu terapi suportif berupa pemberian
O2 2 L/menit sudah tepat. Oksigen diberikan untuk mengatasi hipoksemia,
menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen
penting diberikan kepada anak yang menunjukkan gejala adanya tarikan dinding
dada (retraksi) bagian bawah yang dalam; SpO2 <90%; frekuensi napas 60
x/menit atau lebih; merintih setiap kali bernapas untuk bayi muda; dan adanya
head nodding(anggukan kepala). Pemberian Oksigen melalui nasal pronge yaitu
1-2 L/menit atau 0,5 L/menit untuk bayi muda.2
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan pernapasan cepat dan dalam
(Pernapasan Kussmaul) yang di curigai terjadi asidois respiratorik pada
pasien, sehinnga di berikan infus meylon (natrium bikarbonat) 10 cc dalam
Dex 5% 24 Tpm. Asidosis Respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan
karena penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-
paru yang buruk atau pernafasan yang lambat. Kecepatan dan kedalaman
pernafasan mengendalikan jumlah karbondioksida dalam darah. Dalam keadaan
normal, jika terkumpul karbondioksida, pH darah akan turun dan darah menjadi
asam. Tingginya kadar karbondioksida dalam darah merangsang otak yang
mengatur pernafasan, sehingga pernafasan menjadi lebih cepat dan lebih dalam.7
Besarnya dosis injeksi biknat ditentukan berdasarkan keparahan asidosis, hasil
uji laboratorium, umur pasien, berat badan, dan kondisi klinik. Uji laboratorium
dan evaluasi klinik pasien sangat penting dilakukan terutama dalam penggunaan
jangka panjang, untuk memantau perubahan cairan, elektrolit, dan keseimbangan
asam basa. Untuk bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun, dapat diberikan 4,2%
infus Biknat dengan dosis tidak lebih dari 8 mEq/Kg hari. Dosis: 1-2 mEq/kg BB
atau 2 ml/KgBB (4.2%) atau 1 ml /kgbb (7.4%). Setiap 84 mg atau 1 g natrium
bikarbonat masing-masing mengandung 1 atau sekitar 12 mEq, masing-masing
ion natrium dan bikarbonat. Pemberian infus biknat pada bayi dan anak dibawah 2

29
tahun dapat menyebabkan hipernatremia (kelebihan natrium dalam darah),
penurunan tekanan cairan serebro spinal, dan intracranial hemorrhage
(pendarahan otak).7
Selanjutnya diberikan ampicilin 200 mg/8j/iv jam dan gentamicin 20
mg/24j/iv. Menurut teori antibiotik intravena harus diberikan pada pneumonia
anak ketika anak tidak mentoleransi antibiotik oral (misal karena muntah) atau
menunjukkan gejala dan tanda klinis yang berat. Antibiotik parenteral pilihan
pertama adalah ampicillin 150-200 mg/kgBB/hari tiap 6 jam. Pemberian
ampicillin intravena dapat dikombinasikan dengan gentamisin intravena 6
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Pemberian antibiotik ini selama 10 hari atau melihat
respons klinisnya. Anak dengan terapi yang adekuat akan menunjukkan perbaikan
tanda klinis dan laboratorium dalam 48-72 jam.3
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus.
1.    Penatalaksaan Umum
a.    Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang
b.    Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c.    Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2.    Penatalaksanaan Khusus
a.    Mukolitik dan ekspektoran
b.  Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
c.  Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis
(di wilayah dengan angka resistensi  penisillin tinggi dosis dapat
dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).1
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena
tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu dalam penanganan
pneumonia, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris, yaitu bila tidak
ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut
kelompok usia. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada

30
kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan
klinis pasien serta faktor epidemiologis.1,8
Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bulan -5 tahun):
a. Beta laktam amoksisillin
b. Amoksisillin - asam klavulanat
c. Golongan sefalosporin
d. Kotrimoksazol
e. Makrolid (eritromisin)
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan
adalah antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih
berat diberikan beta-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru
intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau
keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan.
Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia
tanpa komplikasi.1
Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan
antibiotik beta-laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan
kloramfenikol. Feyzullah dkk. melaporkan hasil perbandingan pemberian
antibiotik pada anak dengan pneumonia berat berusia 2-24 bulan. Antibiotik yang
dibandingkan adalah gabungan penisilin G intravena (25.000 U/kgBB setiap 4
jam) dan kloramfenikol (15 mg/kgBB setiap 6 jam), dan seftriakson intravena (50
mg/kgBB setiap 12 jam). Keduanya diberikan selama 10 hari, dan ternyata
memiliki efektivitas yang sama.1
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.1
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dalam rongga pleura. Selain cairan dapat juga terjadi penumpukkan pus atau
darah. Efusi pleura bukanlah suatu penyakit melainkan manifestasi dari berbagai
macam penyakit. Dalam keadaan normal cairan masuk ke dalam rongga pleura

31
dari kapiler–kapiler di pleura parietal dan diserap melalui pembuluh limfe yang
berada di pleura viseral. Cairan juga bisa masuk ke rongga pleura melalui rongga
intersisial paru melalui pleura viseral atau dari rongga peritonium melalui celah
sempit yang ada di diafragma.12
Efusi pleura pneumonia dapat terjadi pada fase eksudat, karena terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler pleura akibat respon inflamasi. Hal ini
menyebabkan transfer cairan intersisial melewati pleura visceral. Sitokin
proinflamasi termasuk interleukin (IL) 6, IL 8 dan tumor necrosis factor(TNF) ά
menyebabkan perubahan bentuk anatomi sel mesotelial pleura yang membuat
gaps interselular yang selanjutnya merubah permeabilitas dan
menambahakumulasi cairan pleura. Efusi pleura pada pneumonia mempunyai
karakteristik cairan pleura dengan glukosa >40 mg/dL dan pH >7,2, dan tanpa
ditemukan bakteri pada pemeriksaan mikrobiologi, fase ini juga disebut sebagai
simple parapneumonia efusi.12
Ada dua tipe penyebab utama dari efusi pleura, yaitu efusi pleura transudatif
dan eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh beberapa kombinasi dari
peningkatan tekanan hidrostatik atau berkurangnya tekanan onkotik kapiler;
misalnya gagal jantung, sirosis, dan sindrom nefrotik. Efusi pleura eksudatif
disebabkan oleh proses lokal yang mengakibatkan perubahan pada pembentukan
dan penyerapan cairan pleura; peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
eksudasi cairan, protein, sel, dan komponen serum lainnya Penyebab yang paling
sering terjadi, yaitu pnemonia, malignansi, dan pulmonary embolism, infeksi
virus, dan tuberculosis.9
Empiema adalah nanah (pus) yang terdapat dalam rongga pleura, meskipun
studi dan uji klinis paling sering menggunakan istilah infeksi pleura untuk
mencakup empiema dan efusi parapneumonik (PPE) terkomplikasi. Empiema
didefinisikan oleh penampilannya; cairan sangat buram (opaq), kuning keputihan,
cairan kental yang merupakan hasil dari serum koagulasi protein, debris seluler
dan pengendapan fibrin. Empiema berkembang terutama akibat tertundanya
pengobatan pada pasien dengan pneumonia dan infeksi pleura progresif dan,
jarang, dari manajemen klinis yang tidak sesuai.10

32
Dengan pengobatan, kebanyakan bronkopneumonia stabil dalam waktu 3-6
hari, kadang memerlukan beberapa minggu sebelum kebanyakan gejala diatasi.
Bayi atau anak dengan pneumonia memiliki resiko mortalitas tinggi 20-30% pada
usia 1-3 tahun. Bronkopneumonia pada memiliki prognosis baik bila didiagnosis
dini dan ditangani secara adekuat. Mortalitas lebih tinggi didapatkan pada anak-
anak dengan keadaan malnutrisi energi protein dan datang terlambat untuk
pengobatan. Pada kasus ini, pasien memiliki prognosis yang baik oleh karena
merespon terhadap terapi. Hal tersebut ditandai dengan pernapasan yang
membaik, retraksi dinding dada tidak tampak, serta batuk yang
berkurang.11

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe N., Supriyatno B., Setyanto D. 2015. Buku Ajar Respirologi Anak,
Edisi Pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Samuel A. 2014. Bronkopneumonia On Pediatric Patient. J Agromed Unila.
Volume 1 Nomor 2.
3. Anggriani A., Rahmanoe M. 2014. Three Month Baby With
Bronchopneumonia. Medula, Volume 2, Nomor 3.
4. Habibaturochmah., Fitranti DY. 2014. Hubungan Konsumsi Air, Asupan Zat
Gizi, Dan Aktivitas Fisik Dengan Persen Lemak Tubuh Pada Remaja Putri.
Journal of Nutrition College, Volume 3, Nomor 4, Tahun 2014

33
5. Fadhila A. 2013. Penegakan Diagnosis Dan Penatalaksanaan
Bronkopneumonia Pada Pasien Bayi Laki-Laki Berusia 6 Bulan. Medula,
Volume 1, Nomor 2.
6. Tanto C, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 4. Fakultas
Kedokteran Indonesia
7. Viswanatha, PA. 2017. Keseimbangan Asam Basa. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
8. Depkes, 2012. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia
9. Dwianggita P. 2014. Etiologi Efusi Pleura pada Pasien Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. E- ISSN: 2503-3638, Print ISSN: 2089-
9084. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
10. Abidin A, dkk. 2013. Empiema. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
11. Marcdante, K.J., Kliegman, R.M., Jenson.H.B., Behrman, R.nNelson 2014.
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi bahasa Indonesia , diterjemahkan, didapatkan
dan diedit oelh Ikatan Dokter Anak Indonesia.
12. Nofriandi, F. 2016. Kadar Interferon Gamma (ifn-γ) Cairan Pleura Pada
Efusi Pleura Tuberkulosis Dan Non Tuberkulosis, Universitas Andalas.
Padang

13. Nimah.K, Nadhiroh.S.R. 2015. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Stunting Pada Balita. Media Gizi Indonesia

34

Anda mungkin juga menyukai