Anda di halaman 1dari 48

Laporan Tutorial

Blok Genitourinaria

Skenario II

Penulis:

Kelompok 14
Arif Satria Putra P 1318011022 Nurulia Astri 1318011123

Audya Pratiwi 1318011026 Prizka Putri P 1318011128

Aulian Mediansyah 1318011027 Refillia Irfa 1318011137

Devi Restina 1318011053 Ridho Pambudi 1318011140

Made Agung Y 1318011096 Rika Oktaria 1318011142

Marissa Herani P 1318011102 Serafina Subagio 1318011152

Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

2015
Daftar Isi

Daftar isi …………………………………………………………… ii

BAB I …………………………………………………………… 1

BAB II Diskusi

Step 1 …………………………………………………………………………… 2

Step 2 …………………………………………………………………………… 3

Step 3 …………………………………………………………………………… 4

Step 4 …………………………………………………………………………… 6

Step 5 ……………………………………………………………………………12

Step 6 ……………………………………………………………………………12

Step 7 ……………………………………………………………………………

Daftar Pustaka……………………………………………………………………
BAB I

SKENARIO

Blok : Genitourinaria
Modul : Gangguan Fungsional Sistem Genitourinaria

SKENARIO II
Sesak dan Lelah

Seorang pria, Tn. T, 55 tahun datang untuk control ke poli penyakit dalam RS dengan
keluhan sesak nafas, mual, mudah lelah selama lebih dari 3 bulan. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium sebelumnya, didapatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, peningkatan kadar
ureum kreatinin, proteinuria, hematuria, penurunan kadar hb. Tn T memiliki riwayat
hipertensi dan DM sejak 5 tahun yang lalu. Paman Tn T memiliki riwayat penyakit yang
sama, sehingga harus menjalani cuci darah di unit hemodialisa.

1
BAB II

DISKUSI

Step 1
1. Laju Filtrasi Glomerulus : laju rata- rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus.
Nilai normal 90-120 mL/menit.

2
Step 2
1. Diagnosis penyakit pada skenario tersebut?
2. Etiologi dari penyakit tersebut ?
3. Patofisiologi dari keluhan pada scenario?
4. Pemeriksaan penunjang untuk kasus diatas dan hubungan antara riwayat penyakit
terdahulu dengan keluhan yang sekarang?
5. Hubungan hasil lab pada scenario dengan penyakit pada scenario?
6. Tatalaksana penyakit pada scenario?

3
Step 3
1. Diagnosis penyakit pada skenario tersebut?
Diagnosis bandingnya adalah Gagal ginjal akut fase renal, glomerulonephritis,
sindroma nefrotik.
Sedangkan diagnosis kerjanya adalah Gagal ginjal kronik.

2. Etiologi dari penyakit tersebut ?


 Penyakit ginjal diabetes : diabetes tipe 1 dan 2
 Penyakit ginjal non diabetes : penyakit glomerular (penyakit autoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia), penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi, mikroangiopati), penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat), penyakit kistik (ginjal
polikistik)
 Penyakit pada transplantasi : rejeksi kronik, keracunan obat
(siklosporin/takrolimus), penyakit recurrent (glomerular), transparent
glomerulopathy

3. Patofisiologi dari keluhan pada scenario?


Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1)
mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti
kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat
toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium;
(2) mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan
hipertrofi nefron yang tersisa.

4. Pemeriksaan penunjang untuk kasus diatas dan hubungan antara riwayat penyakit
terdahulu dengan keluhan yang sekarang?
 Urine:Volume urine, Warna Urine, Berat jenis urin, pH, Kliren kreatinin,
Natrium, Bikarbonat, Protein, Warna tambahan.
 D a r a h :Hemoglobin, Sel darah merah, pH, Kreatinin, Osmolalitas, Kalium,
Natrium, pH, Kalium & bikarbonat, Klorida fosfat & Magnesium, Protein,
Ultrasono ginjal, Biopsi ginjal, Endoskopi ginjal / nefroskopi, EKG

Hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan keluhan sekarang adalah bisa jadi
karena hipertensi dan Diabetes Melitus adalah penyakit yang mendasari atau etiologi
dari gagal ginjal kronis.

5. Hubungan hasil lab pada scenario dengan penyakit pada scenario?

4
Pada kondisi peningkatan aldosteron, akan meningkatkan reabsorpsi natrium,
natrium akan meningkat di cairan ekstraseluler sehingga menyebabkan retensi air
dan peningkatan volume cairan ekstraseluler. Pada vasokonstriksi arteriol terjadi
peningkatan tekanan glomerulus, hal ini akan menyebabkan kerusakan pada nefron,
sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Sebagai kompensasi dari penurunan laju
filtrasi menurun, maka kerja nefron yang masih normal akan meningkat sampai
akhirnya mengalami hipertrofi. Pada kondisi hipertrofi akan meningkatkan filtrasi
cairan tetapi reabsorbsi cairan tubulus menurun, protein di tubulus di ekskresikan ke
urine (proteinuria) yang menyebabkan penurunan protein plasma (hipoproteinemia),
hipoalbuminemia, dan penurunan tekanan onkotik kapiler.

6. Tatalaksana penyakit pada scenario?


1.Tentukan dan tata laksana penyebabnya
2.Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.
3.Diet tinggi kalori dan rendah protein
4. Kontrol hipertensi
5. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
6. Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal.
7. Deteksi dini dan terapi infeksi.
8. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal.
9. Deteksi dan terapi komplikasi.
10. Persiapkan dialisis dan program transplantasi.

5
Step 4
1. Diagnosis penyakit pada skenario tersebut?
Diagnosis penyakit pada scenario adalah gagal ginjal kronik, yaitu manifestasi dari
gagal ginjal kronik adalah :
1. Umum : malaise, debil, letargi, tremor, mengantuk, koma.
2. Kulit : pucat, mudah lecet, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut
tipis dan kasar, leukonikia, warna kulit abu-abu mengkilat, kulit
kering bersisik.
3. Mulut : lidah kering dan berselaput, fetor uremia, ulserasi dan perdarahan
pada mulut
4. Mata : mata merah.
5. Kardiovaskuler : hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung, pericarditis,
pitting edema, edema periorbital, pembesaran vena
jugularis, friction rub perikardial.
6. Respiratori : heperventilasi, asidosis, edema paru, efusi pleura, krekels,
napas dangkal, kussmaul, sputum kental dan liat.
7. Gastrointestinal : anorexia, nausea, gastritis, konstipasi/diare, vomitus,
perdarahan saluran GI.
8. Muskuloskeletal : kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang, foot
drop, hiperparatiroidisme, defisiensi vit. D, gout.
9. Genitourinari : amenore, atropi testis, penurunan libido, impotensi,
infertilitas, nokturia, poliuri, oliguri, haus, proteinuria,
10. Neurologi : kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,
perubahan perilaku.
11. Hematologi : anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan.

2. Etiologi dari penyakit tersebut ?


 Gangguan Imunologi : Glomerulonefritis, Poliarteritis Nodusa, Lupus
Eritematosus.
 Gangguan Metabolik : Diabetes mellitus, Amiloidosis.
 Gangguan Pembuluh Darah Ginjal : Arterosklerosis, Nefrosklerosis.
 Infeksi : Pielonefritis, Tuberkulosis.
 Obstruksi traktur Urinarius : Batu Ginjal, Hipertropi Prostat, Konstriksi
Uretra.
 Kelainan Kongenital : Penyakit polikistik, Tidak adanya jaringan ginjal yang
bersifat kongenital ( hipoksia renalis ).

3. Patofisiologi dari keluhan pada scenario?

6
Patofisiologi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh hipertensi adalah sebagai
berikut : Hipertensi menyebabkan penurunan perfusi renal yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan parenkim ginjal. Hal ini menyebabkan peningkatan renin dan
meningkatkan angiotensin II, selanjutnya angiotensin II dapat menyebabkan dua hal
yaitu : peningkatan aldosteron dan vasokonstriksi arteriol. Pada kondisi peningkatan
aldosteron, akan meningkatkan reabsorpsi natrium, natrium akan meningkat di
cairan ekstraseluler sehingga menyebabkan retensi air dan peningkatan volume
cairan ekstraseluler. Pada vasokonstriksi arteriol terjadi peningkatan tekanan
glomerulus, hal ini akan menyebabkan kerusakan pada nefron, sehingga laju filtrasi
glomerulus menurun. Sebagai kompensasi dari penurunan laju filtrasi menurun,
maka kerja nefron yang masih normal akan meningkat sampai akhirnya mengalami
hipertrofi. Pada kondisi hipertrofi akan meningkatkan filtrasi cairan tetapi reabsorbsi
cairan tubulus menurun, protein di tubulus di ekskresikan ke urine (proteinuria) yang
menyebabkan penurunan protein plasma (hipoproteinemia), hipoalbuminemia, dan
penurunan tekanan onkotik kapiler. Penurunan tekanan onkotik kapiler
menyebabkan edema anasarka. Pada edema anasarka akan menekan kapiler-kapiler
kecil dan syaraf yang akhirnya terjadi hipoksia jaringan. Penurunan GFR lebih lanjut
akan menyebabkan tubuh tidak mampu membuang air, garam dan sisa
metabolisme, sehingga terjadi sindrom uremia. Sindrome uremia akan meningkatkan
zat-zat sisa nitrogen, akhirnya terjadi : rasa lelah, anoreksia, mual dan muntah.

4. Pemeriksaan penunjang untuk kasus diatas dan hubungan antara riwayat penyakit
terdahulu dengan keluhan yang sekarang?
 Urine
– Volume urine : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam
(24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
– Warna Urine : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
– Berat jenis urine : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh :
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan :
menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
– pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urine/
serum saring (1 : 1).
– Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
– Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak
mampu mengabsorpsi natrium.
– Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
– Protein : Proteinuria derajat tinggi (+3 – +4 ) sangat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila Sel darah merah dan warna Sel darah merah tambahan juga ada.
Protein derajat rendah (+1 – +2 ) dan dapat menunjukan infeksi atau nefritis
intertisial.

7
– Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna
merah diduga nefritis glomerulus.

 Darah :
– Hemoglobin : Menurun pada anemia.
– Sel darah merah : Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan / penurunan
hidup.
– pH : Asidosis metabolik (<>
– Kreatinin : Biasanya meningkat pada proporsi rasio (l0:1).
– Osmolalitas : Lebih besar dari 28,5 m Osm/ kg, sering sama dengan urine .
– Kalium : Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
– Natrium : Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
– pH, Kalium & bikarbonat : Menurun.
– Klorida fosfat & Magnesium : Meningkat.
– Protein : Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein
melalui urine, perpindahan cairan penurunan pemasukan dan penurunan sintesis
karena kekurangan asam amino esensial.
– Ultrasono ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya masa / kista (obstruksi
pada saluran kemih bagian atas).
– Biopsi ginjal : Dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
– Endoskopi ginjal / nefroskopi : Untuk menentukan pelvis ginjal (adanya batu,
hematuria).
– E K G : Mungkin abnormal menunjukkan ketidak seimbangan asam / basa.

5. Hubungan hasil lab pada scenario dengan penyakit pada scenario?


Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah,
maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh
ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan
klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan
gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea
maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja,
mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood
Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir
urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan

8
resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium
dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan
volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin
menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang
mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan
adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran
terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan
kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan
gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi

6. Tatalaksana penyakit pada scenario?

1.Tentukan dan tata laksana penyebabnya

2.Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Pada beberapa


pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretik loop (bumetanid,
asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan.

3.Diet tinggi kalori dan rendah protein. Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi
kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia.

4.Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan


garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung tekanan darah. Diperlukan
diuretik loop, selain obat antihipertensi.

5.Kontrol ketidakseimbangan elektrolit. Hindari masukan kalium yang besar (batasi


hingga 60 mmol/hari) atau diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan
dengan ekskresi kalium (misalnya, penghambat ACE dan obat antiinflamasi
nonsteroid).

6.Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal. Hiperfosfatemia dikontrol


dengan obat yang mengikat fosfat seperti aluminium hidroksida (300-1800 mg)
atau kalsium karbonat (500–3000 mg) pada setiap makan.

7.Deteksi dini dan terapi infeksi.Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien
imunosupresif dan diterapi lebih ketat.

8.Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal.Banyak obat yang harus diturunkan
dosisnya karena metaboliknya toksis dan dikeluarkan oleh ginjal.Misal : digoksin,
aminoglikosid, analgesik opiat, amfoterisin.

9
9.Deteksi dan terapi komplikasi.Awasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati
uremia, perikarditis, neuropati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan
cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, sehingga diperlukan dialisis.

10.Persiapkan dialisis dan program transplantasi.Segera dipersiapkan setelah gagal


ginjal kronik dideteksi.

Step 5
Berikut merupakan beberapa pertanyaan Learning Objectives dari diskusikelompok tutorial
kami.

1. Prinsip hemodialisa?
2. Glomerulonefritis?
3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis?
4. Sindroma nefrotik?
5. Obat dan hubungan dengan patofisiologinya? Tatalaksana DM dengan gagal ginjal
kronis?

Step 6
Belajar mandiri

10
Step 7

1.1 Latar Belakang


Hemodialisis atau hemodialisa(haemodialysis) adalah suatu metode yang
diperuntukkan bagi para penderita gagal ginjal yang berfungsi untuk membuang produk sisa
metabolisme seperti potasium dan ureadari darah. Sisa metabolisme yang tidak dibuang
dan menumpuk dalam darah akan menjadi racun bagi tubuh. Pada penderita gagal ginjal,
ginjal mereka sudah tidak dapat membersihkan darah dari sisa metabolisme.Sehingga
dibutuhkan terapi pengganti ginjal untuk menggantikan fungsi ginjal.Saat ini hemodialisis
merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan.
Tahapan gagal ginjal kronikdibagi beberapa cara, salah satunya
denganmemperhatikan faal ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa
sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan
minum, obat-obatan, dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi,
keadaan tersebut diberi nama gagal ginjal terminal (GGT).
Padastadiuminiterdapatakumulasitoksinuremiadalamdarahyangdapatmembahayakankelang
sunganhidup pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang diukur dengan
klirens kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5 mL/menit/1,73 m 2. Pasien GGT, apa pun etiologi
penyakit ginjalnya, memerlukan pengobatan khusus yang disebut pengobatan atau terapi
pengganti (TP).
Peralatan untuk terapi hemodialisis terdiri dari dializer, water treatment, larutan
dialisat (konsentrat) serta mesin hemodialisis dengan sistem monitor. Berikut bagan pada
proses hemodialisa :

11
Gambar 1. Alur hemodialisis
Prinsip-prinsip dasar yang digunakan saat proses hemodialisis ada 2, yaitu dialisis dan
ultrafiltrasi (konveksi). Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi zat terlarut dari satu
larutan diubah menjadi larutan lain melalui membran semipermiabel. Molekul-molekul air
dan zat-zat terlarut dengan berat molekul rendah dalam kedua larutan dapat melewati
poripori membran dan bercampur sementara molekul zat terlarut yang lebih besar tidak
dapat melewati barier membran semipermiabel. Proses penggeseran (eliminasi) zat-zat
terlarut (toksin uremia) dan air melalui membran semipermiabel atau dializer berhubungan
dengan prose difusi dan ultrafiltrasi (konveksi).
 Proses difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut. Molekul zat
terlarut dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen dialisat setiap saat
bila molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya.
Kecepatan proses difusi zat terlarut tergantung kepada koefisien difusi, luas permukaan
membran dializer dan perbedaan konsentrasi.

 Proses ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara simultan
dari kompartemen darah kedalam kompartemen dialisat melalui membran semipermiabel.
Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
1. Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan kompartemen
dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya berpindah dari darah ke

12
dialisat melalui membran semipermiabel adalah akibat perbedaan tekanan
hidrostatik antara kompertemen darah dan kompartemen dialisat. Kecepatan
ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan tekanan yang melewati membran.
2. Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi tergantung
besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang
berpindah melewati membran per mmHg perbedaan tekanan
(pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran semipermiabel, bila
larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel dibanding “A” maka
konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding konsentrasi larutan “A”. Dengan
demikian air akan berpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan sekaligus akan
membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap
membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.

1.2 Peralatan Pada Mesin Hemodialisis


1.2.1 Dializer
Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi
pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Material membran
dializerdapatterbuatdariSellulose,Selluloseyangdisubstitusi,Cellulosynthetic dan
Synthetic.Spesifikasidializerdinyatakan dengan Koefisient ultrafiltrasi (Kuf) disebut
juga permeabilitas air.Kuf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati
membran permmHg perbedaan tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP
yang melewati membran.Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air
bervariasi, tergantung besarnya pori dan ukuran membran.
KoA dializer merupakan koefisien luas permukaan.Transfer adalah
kemampuan penjernihan dalam ml/menit dari urea pada kecepatan aliran darah dan
kecepatan aliran dialisat tertentu. KoA ekuivalen dengan luas permukaan membran,
makin luas permukaan membran semakin tinggi klearensi urea.
Dializer ada yang memiliki high efficiency atau high flux.Dializer high
efificiency adalah dializer yang mempunyai luas permukaan membran yang
besar.Dializer high flux adalah dializer yang mempunyai pori-pori besar yang dapat
melewatkan molekul yang lebih besar, dan mempunyai permeabilitas tinggi terhadap
air.
Ada 3 tipe dializer yang steril dan bersifat disposibel yaitu bentuk hollow-fiber
(capillary) dialyzer, parallel flat dialyzer dan coil dialyzer. Setiap dializer mempunyai
karakteristik masing-masing untuk menjamin efektifitas proses eliminasi dan
menjaga keselamatan penderita. Yang banyak beredar dipasaran adalah bentuk
hollow-fiber dengan membran selulosa.

13
Gambar 2. Skema ProsesHemodialisis
1.2.2 Water treatment
Air yang dipergunakan untuk persiapan larutan dialisat haruslah air yang
telah mengalami pengolahan.Air keran tidak boleh digunakan langsung untuk
persiapan larutan dialisat, karena masih banyak mengandung zat organik dan
mineral. Air kran ini akan diolah oleh water treatment sistem bertahap. Berikut
gambar sistematika water treatment:
 Feed Water System
 Intake Pump
 Sand Filter
 Carbon Filter
 Ion-exchange system
 Micron-Filters
 Purifier
 Ultra Violet Sterilizer
 Ultra Micron filtration
 Water Pumps
 Circulation System

Gambar 3. Water Treatment

1.2.3 Larutan dialisat


a. Dialisat asetat

14
Dialisat asetat telah dipakai secara luas sebagai dialisat standar untuk
mengoreksi asidosis uremikum dan untuk mengimbangi kehilangan bikarbonat
secara difusi selama proses hemodialisis. Dialisat asetat tersedia dalam bentuk
konsentrat yang cair dan relatif stabil.Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat,
maka dialisat asetat harganya lebih murah tetapi efek sampingnya lebih
banyak.Efeksampingyangsering muncul sepertimual,muntah, kepala sakit,otot
kejang,hipotensi,gangguanhemodinamik,hipoksemia,
koreksiasidosismenjaditerganggu,intoleransiglukosa,meningkatkan pelepasan
sitokin. Adapun komposisi dialisat asetat dan bikarbonat adalah sebagai berikut
(tabel : 1 )
Dialisat asetat Dialisat bikarbonat (mEq/l)
Komponen
(mEq/l) Lar. asam Lar. bikarbonat Lar. final

Natrium 143 80 60 140,0

Kalium 2,0 2,0 - 2,0

Kalsium 1,75 1,75 - 1,75

Magnesium 0,75 0,75 - 0,75

Klorida 112 87 25 117,0

Bikarbonat - - 35 31,0

Asetat 38 - - 4,0

Asam
- 4 - -
asetat

Glukosa - 8,33 - 8,33

b. Dialisat Bikarbonat
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan asam
dan larutan bikarbonat.Kalsium dan magnesium tidak termasuk dalam konsentrat
bikarbonat karena konsentrasi yang tinggi dari kalsium, magnesium
danbikarbonatdapatmembentukkalsiumdanmagnesiumkarbonat.Larutanbikarbon
atsangatmudahterkontaminasimikroba karena konsentratnya merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri.Kontaminasi ini dapat diminimalisir dengan
waktu penyimpanan yang singkat.Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik yang akut.Namun
dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun relatif tidak stabil.Biaya untuk
sekali hemodialisis bila menggunakan dialisat bikarbonat relatif lebih mahal
dibandingkan dengan dialisat asetat.
1.2.4 Mesin hemodialisis

15
Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat dan sistem monitor.Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari
tempat tusukan vaskuler kepada dializer.Kecepatannya antara 200-300 ml per
menit.Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi pompa
darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat.
Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 0 C sebelum dialirkan kepada dializer,
karena suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat
menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin hemodilisis sangat penting
untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan penderita.

Gambar 4. Mesin Hemodialisis

1.2.5 Tusukan Vaskuler


Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program HD akut maupun kronik.Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ketubuh
penderita.Ada 2 tipe tusukan vaskuler yaitu tusukan vaskuler sementara dan
permanen.

Keberhasilan hemodialisis berhubungan dengan adekuatnya suatu tindakan


hemodialisis disebut adekuasi hemodialisis.Banyak parameter yang berpengaruh dalam hal
ini. Menurut The Renal Physicians Associations (RPA) di tahun 1993 membuat acuan
parameter sebagai berikut :
 Umur lebih dari 18tahun.
 Hemodialisis dilakukan 3 kali per minggu selama 3 hingga 4 jam
 Residual fungsi tidak diperhitungkan
 Kt/v diukur tiap bulan minimal 1,2; Urea Reduction Ratio (URR) lebih dari 65%
 Perlu persamaan pengambilan sampel darah
 Pemberian dosis saat hemodialisis

16
 Dializer re-use
 Kenyamanan / kepatuhan pasien
Sedangkan menurut National Kidney Foundation-Dialisys Outcomes Quality Initiative
(NKF – DOQI) pada tahun 1995, membuat tujuan hemodialisis untuk :
 Kepentingan klinik
 Perbaikan pelayanan
 Hasil yang lebih baik
Secara klinis hemodialisis reguler dikatakan adekuat jika keadaan umum dan nutrisi
penderita dalam keadaan baik, tidak ada menifestasi uremi serta diupayakan rehabilitasi
penderita kembali pada aktivitas seperti sebelum menjalani hemodialisis.Adapun kriteria
klinis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut:
1. Keadaan umum dan nutrisi yang baik
2. Tekanan darah normal.
3. Tidak ada gejala akibat anemia.
4. Tercapai keseimbangan air, elektrolit dan asam basa.
5. Metabolisme Ca, dan P terkendali serta tidak terjadi osteodistrofi renal.
6. Tidak didapatkan komplikasi akibat uremia.
7. Tercapai rehabilitasi pribadi, keluarga dan profesi.
8. Kualitas hidup yang memadai.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi adekuasi hemodialisis adalah :
 Aliran larutan dengan molekul besar dengan High Flux
 Membran biocompatibility
 Inisiasi HD
 Dosis HD / Nutrisi
 Pemeriksaan Kt/v; URR rutin (minimal setiap bulan)
 Kualitas hidup
Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitun
gUreaReductionRatio(URR)dan(Kt/V).Kt/Vurea digunakan untuk merencanakan peresepan
hemodialisis serta menilai adekuasi hemodialisis, sedangkanUrea reduction ratio(URR) atau
Rasio Reduksi Urea (RRU) merupakan pedoman yang sederhana dan praktis untuk menilai
adekuasi hemodialisis. 

NationalCooperativeDialysisStudy(NCDS),merupakanpenelitianprospektifskalaluaspertama
yang menilai adekuasi hemodialisis. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa urea
merupakan pertanda yang memadai untuk
penilaianadekuasihemodialisis,dantingkatkebersihanureadapatdipakai
untukprediksikeluaran(outcome)daripenderita.Lowriedalampenelitiannyamenyimpulkanbah
wabloodurea-nitrogen(BUN)yang tinggi menyebabkan meningkatnya morbiditas.

2.1 Menghitung Adekuasi Hemodialisis


2.1.2 Rumus Logaritma Natural Kt/V

17
RRU dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar urea predialisis
dibagi kadar urea pasca dialisis. RRU adalah prosentase dari urea yang dapat dibersihkan
dalam sekali tindakan hemodialisis. RRU merupakan cara paling sederhana dan praktis
untuk menilai adekuasi hemodialisis, tetapi tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis
hemodialisis.
Kt pada Kt/V urea adalah jumlah bersihan urea dari plasma per satuan waktu dan V
merupakan volume distribusi dari urea dalam satuan liter.K adalah klearensi dalam satuan
L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran
dialisat, t adalah waktu tindakan hemodialisis dalam satuan menit. Kt/V akan bernilai lebih
dari 1,2 saat evaluasi menandakan bahwa sudah mencukup syarat normal. Kt/V menjadi
metode pilihan untuk mengukur dosis dialisis yang diberikan karena lebih akurat
menunjukkan penghilangan urea, bisa dipakai untuk mengkaji status nutrisi pasien dengan
memungkinkan perhitungan angka katabolisme protein yang dinormalisir, dan bisa dipakai
untuk peresepan dialisis untuk penderita yang memiliki fungsi renal residual.5,20. Dalam
menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang dipakai adalah model single-pool
urea kinetik. Cara ini merupakan penyederhanaan dari perhitungan Model Kinetic Ureum
(MKU), dimana Kt merupakan jumlah bersihan ureadari plasma dan V merupakan volume
distribusi dari urea. K dalam satuan L/menit,diperhitungkan dari KoA dializer serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan alirandialisat, t adalah waktu tindakan HD dalam
satuan me nit, sedangkan V dalam satuanliter. Rumus yang dianjurkan oleh NKF-DOQI
adalah generasi kedua yang dikemukakanoleh Daugirdas.

Kt/V = -Ln (R - 0,008 x t) + (4 - 3,5 x R) x UF/W

Dimana :
1. Ln adalah logaritma natural.
2. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
3. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
4. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
5. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih sederhana
berupa:
Kt/V=2,2 – 3,3 (R-0,03) - UF/W)
Dimana :
1. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis.
2. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
3. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kilogram.
4. Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2
dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V ialah lebih
dari 1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisis 3 kali seminggu. Sedangkan

18
untuk kelompok penderita diabetes, Collins menganjurkan menaikkan Kt/V
menjadi 1,4.Hemodialisis 2 kali seminggu hanya dilakukan untuk sementara dan
hanya untuk penderita yang masih mempunyai klirensia > 5 ml/menit.
Rumus-rumus sebelumnya :
- Kt/V = Ln(BUN sebelum HD/BUN sesudah HD) (Gotch,1985)
- Kt/V = 0,04 PRU-1,2 (Jindal,1987)
BUN sebelum HD – BUN sesudahHD
- Kt/V = (Barth, 1988)
BUN mid
- Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas, 1989)
- Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan, 1989)
- Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas, 1990)
- Kt/V = 0,023PRU-0,284 (Basile,1990)
- Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993)
PRU=Percent Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah HD) x
100/BUNsebelum HD

2.1.2 Rasio Reduksi Urea (RRU).


Cara lain untuk mengukur adekuasi hemodialisis adalah dengan mengukur RRU.
Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :
RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)
Keterangan : Ct adalah BUN setelah hemodialisis dan Co adalah BUN sebelum hemodialisis.
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran AHD.
Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor terbaik untuk
mortalitas penderita HD reguler. Kelemahan cara ini karena tidak memperhitungkan faktor
ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan sisa klirens yang masih ada. Cara ini juga tidak
dapat dipakai untuk merencanakan dosis HD. NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus
dilakukan dengan RRU > 65%. Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan RRU untuk
mengukur dosis dialisis, telah ditunjukkanbahwa penderita yang menerima RRU ³60%
memiliki mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima RRU 50%.

2.1.3 Cara alternatif untuk menilai AHD.


1. Percent Reduction Urea (PRU).
Perhitungan Kt/V dengan menggunakan PRU tidak dianjurkan oleh NKF-DOQI karena
dapat menyebabkan penyimpangan sampai 20%. Jika batasan kesalahan terhadap MKU
yang dapat ditoleransi sampai 5%, maka rumus dari Jindal hanya akurat untuk Kt/V=0,9-
1,1. Sedangkan untuk rumus dari Basile hanya akurat untuk Kt/V= 0,6 sampai 1,3.
2. Total Dialysate Collection.
Pengumpulan dialisat total, sebenarnya cara ini dapat menjadi standar baku
pengukuran HD, akan tetapi pengumpulan dialisat yang mencapai 90-150 liter tidak
praktis.
3. Waktu tindakan HD.

19
Waktu tindakan HD dapat dipakai sebagai pengukur AHD, independen dari Kt/V
ataupun RRU. Makin lama tindakan HD, klirens dari molekul yang lebih besar dari urea
diperkirakan akan lebih baik. Juga akan terjadi intravaskuler euvolemia yang lebih baik
dimana hal ini akan mengurangi komplikasi kardiovaskuler. Meskipun data penunjang
secara klinis belum lengkap, lama HD yang dianjurkan minimal adalah 2,5jam.
4. Urea removal indek (URI).
Adalah indek pembersihan dari urea merupakan cara baru untuk mengukurAHD, dan
masih sangat sedikit pengalaman klinis dalam penggunaannya.
Waktu tindakan hemodialisis dapat dipakai sebagai pengukur analisis hemodialisis,
independen dari Kt/V ataupun RRU. Semakin lama tindakan hemodialisis, klirens dari
molekul yang lebih besar dari ureum diperkirakan akan lebih baik. Selain itu juga akan
mengakibatkan terjadinya intravaskuler euvolemia yang lebih baik dan dapat mengurangi
komplikasi kardiovaskuler.Hemodialisis dianggap adekuat, jika :
 Morbiditas / mortalitas menurun jangka pendek / panjang
 Pelaksanaan secara rutin
 Kualitas hidup baik
 Parameter :
Kt/v: 0,7 – 1,2
URR: 55 – 75% (rata-rata 65%)

Dosis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut :


1. Setiap pasien diberi catatan program perkembangan dari awal hemodialisis
2. Penentukan Kt/v, dosis HD (Delivery Dose)
3. Target Kt/v 1,2; URR 65% dengan HD 3 kali per minggu selama 4 jam atau HD 2 kali per
mingguselama 4 hingga 5 jam
4. Kt/v URR setiap bulan

Untuk peritoneal dialisis :


1. Nilai Clearance
2. Target Kt/v minimal 1,7 per minggu
3. Target Creatinin Clearance 60L per minggu padahigh average. Sedangkan pada low
average50L per minggu

Ketika hemodialisis berlangsung, dilakukan pemantauan sebagai berikut:


1) Pengukuran Kt/v total mingguan Creatinin Clearance tiap 4minggu setelah dialisis
2) Pengukuran Creatinin Clearance dan Kt/v, residual function harus diulang tiap 2 bulan
pada APD dan tiap 4 – 6 bulan pada CAPD, bila :
 Volume urine menurun tajam
 Overload cairan
 Perburukan uremia secara klinis / biokemis.

20
2.1.4 Mengukur KT/V yang Diberikan
Secara individual semestinya kita harus selalu merencanakan dosis HD yangakan
dilakukan dalam setiap tindakan HD, adapun target minimal yang ditentukan untuk Kt/V
=1,2 atau setara dengan RRU ³65% (NKF- DOQI).
Dalam merencanakan dosis HD sebaiknya diperhitungkan Kt/V 1,3 atau setara dengan
RRU 70%, karena terdapatnya hal-hal yang berpengaruh :
a. Yang dilakukan lebih rendah dari yang direncanakan .
1. Aliran darah sebenarnya lebih lambat dari yang tertera dipanel.
2. Aliran darah dilambatkan karena alasan tertentu.
3. Resirkulasi.
4. Waktu tindakan HD yang sesungguhnya lebih pendek dari yang direncanakan.
5. KoA dializer lebih rendah dari yang tertera dalam spesifikasi pabrik.
6. V penderita lebih besar dari pada yang tertera dalam normogram.
b. Yang dilakukan lebih tinggi dibanding yang direncanakan.
1. Blood urea-nitrogen (BUN) paska-HD lebih rendah karena tidak
tepatnyapengambilan sample seperti resirkulasi kardiopulmonari.
2. V dari penderita lebih kecil dari pada yang tertera dalam normogram.
3. Dializer lebih efisien, waktu tindakan HD lebih panjang.
Pada umumnya kita akan memberikan jumlah dialisis maksimum yang bisa diterima
penderita dalam waktu tertentu. Idealnya memakai dializer dengan nilai KoAtinggi untuk
seluruh penderita, bahkan untuk penderita kecil dan untuk wanita.Pemakaian dializer KoA
tinggi dan penggunaan larutan dialisis bikarbonat tidak akanmengakibatkan peningkatan
efek samping.
Dializer KoA tinggi biasanya relatif lebih mahal.Di beberapa tempat dimana pemakaian
ulang tidak tersedia, dan biaya yang tinggi melemahkan pemakaian dialyzer ini.Juga
dibeberapa tempat yang masih menggunakan larutan dialisis asetat, pemakaian dializer KoA
tinggi bisa meningkatkan efek samping.Terlepas dari biaya, dializer KoA tinggi (KoA >700)
perlu dipakai pada pasien besar, terutama penderita pria yang besar yang padanya V yang
ditafsirkan >45 liter. Pada penderita besar dialysis selama 4 jam, memakai dializer KoA
rendah, walaupun kecepatan aliran darah tinggi tidaklah mungkin memadai.11 Dializer KoA
tinggi juga perlu dipakai dalam dialysis singkat (<3,5 jam). Kecepatan aliran darah yang tinggi
dan menggunakan dialiser KoA rendah tidak akan memberikan dialisis yang memadai.
Pemakaian kecepatan aliran darah yang tinggi, dialiser KoA tinggi, dan durasi dialisis
pendek bisa memberikan penghilangan ureum yang memadai tetapi tidak selalumenjamin
klearensi yang memuaskan dari bahan berat molekul yang lebih besar, karena penghilangan
bahan ini tidak meningkat dengan kecepatan aliran darah yang tinggi. Pada saat ini banyak
pusat dialisis yang memakai dializer besar dengan membran fluks tinggi, yang memiliki
klearensi molekul tengah yang lebih tinggi dari pada dialiser yang lama. Beberapa pusat
dialisis masih mendukung pendekatan dialysis yang lama dan lambat dengan memakai
dializer KoA rendah serta kecepatan arus darah relatif rendah, dan lama dialisis 4 jam atau
lebih dan memberikan Kt/V ³1,0.

21
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa perlunya pemberian dosis HD yang
maksimum agar tercapai target AHD, seperti penelitian Port FK dkk melaporkan bahwa
penderita dengan RRU >75% dibanding RRU 70-75% mempunyai resiko relatif lebih rendah
daripada RRU 70-75% pada penderia berat badan rendah dan sedang. Wood HF dkk
membandingkan membran high-flux dan membran low-flux polysulfone, mendapatkan
bahwa membran high-flux menurunkan resiko mortalitas pada penderita non diabetetes.

2.2 Penggunaan 2 Dializer Paralel Atau Seri Meningkatkan AHD.


Terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas penderita HD reguler padasaat ini
masih menjadi masalah.Dari penelitian dilaporkan bahwa salah satu penyebabmortalitas
yang tinggi dan tidak produktifnya penderita tersebut karena tindakan HDyang tidak
adekuat. Seperti pada penelitian Ifudu dkk mendapatkan bahwa dosishemodialisis standard
pada penderita dengan berat badan lebih dari 68,2 kg tidakmendapatkan hasil yang
adekuat. Penelitian Wolfe dkk mengenai luas permukaantubuh, dosis HD dan mortalitas
mendapatkan luas permukaan tubuh berhubungandengan mortalitas serta berkorelasi
langsung dengan dosis HD. Menyatakan bahwadosis HD yang diberikan merupakan keadaan
individual. Penelitian Kuhlmannmelaporkan bahwa penderita dengan volume distribusi urea
>42,0 liter atau luaspermukaan tubuh >2,0 m2 merupakan pasien yang mempunyai risiko
dosis hemodialysis yang tidak adekuat. Penelitian Salahudeen dkk pada penderita HD berat
badan lebihmendapatkan hasil Kt/V lebih rendah dan berpengaruh negatif terhadap
survival.Penelitian Elangovan dkk melaporkan bahwa walaupun menggunakan dializer
yangluas, kec epatan aliran darah dan aliran dialisat yang tinggi penderita berat badan ³80kg
atau volume distribusi urea >46 liter tidak satupun yang mencapai Kt/V 1,45 setaradengan
RRU >70%, penelitian tersebut menganjurkan perlu terobosan HD pada penderita berat
badan besar.
Oleh karena hal tersebut berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan AHD.Telah
diketahui bahwa untuk meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan memperlama waktu
dialisis, meningkatkan kecepatan aliran darah dan atau aliran dialisat,meningkatkan luas
permukaan membran dializer dengan memakai dializer KoA tinggi.
Akhir-akhir ini meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan meningkatkan luas
permukaan membran dializer dengan memakai memakai 2 dializer yang dihubungkan secara
paralel atau secara seri.
Ari dalam penelitiannya melaporkan bahwa penggunaan 2 coil dializer secara seri
dapat mempersingkat lama waktu HD.
Nolph dkk penelitiannya menggunakan 2 dializer paralel mendapatkan total klearens
berat molekul rendah (ureum) yang menurun, menyimpulkan terdapatnya efikasi dialisis.
Sridhar dkk penelitian pada penderita berat badan ³95 kg membandingkan
penggunaan 2 dializer paralel dan dializer tunggal melaporkan 2 dializer paralel dapat
meningkatkan Kt/V.
Powers dkk menggunakan 2 dializer dihubungkan secara paralel pada penderita
dengan berat badan besar mendapatkan RRU meningkat bermakna.

22
Denninson menggunakan 2 dializer yang dihubungkan secara seri untuk meningkatkan
AHD mendapatkan perbaikan RRU dari 52% menjadi 64%, dan menyimpulkan bahwa 2
dializer seri tersebut dapat meningkatkan RRU 23 %.
Fritz dkk membandingkan 2 dializer yang dihubungkan secara paralel dan 2 dializer
yang dihubungkan secara seri mendapatkan bahwa Kt/V dan RRU dari penderita tersebut
tidak mempunyak perbedaan yang bermakna dan juga melaporkan 83% penderta
mendapatkan target adekuasi hemodialisis dari 2 dializer yangdihubungkan secara paralel
ataupun 2 dializer yang dihubungkan secara seri.
Pada penelitian lainnya dikatakan tidak ada perbedaan 2 dializer seri dan 2 dializer
paralel, tetapi 2 dializer seri mempunyai keuntungan lebih praktis dan mudah dalam
pelaksanaanya. Gerhartd dkk. Penelitiannya membandingkan 2 dializer paralel dan 2 dializer
seri, pada 167 penderita masing-masing 112 penderita menggunakan 2 dializer paralel dan
55 penderita menggunakan 2 dializer seri menyimpulkan bahwa efektifitas kedua alat
tersebut hampir sama, tetapi hubungan seri lebih mempunyai keuntungan praktis.

Sindrom Nefrotik

2.1.1 Definisi

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak.4 Penyakit
tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria
masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau
dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia.5
2.1.2 Etiologi

Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer atau
idiopatik, dan sekunder.5
1) Kongenital

Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah :


- Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
- Denys-Drash syndrome (WT1)
- Frasier syndrome (WT1)
- Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
- Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
- Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
- Nail-patella syndrome (LMX1B)
- Pierson syndrome (LAMB2)
- Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)

23
8

24
- Galloway-Mowat syndrome
- Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome

2) Primer

Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah
sebagai berikut :
- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)

- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)

- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)

- Nefropati Membranosa (GNM)

3) Sekunder

Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :
- lupus erimatosus sistemik (LES)

- keganasan, seperti limfoma dan leukemia

- vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis), sindrom


Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis
mikroskopik, purpura Henoch Schonlein

- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)

glomerulonephritis 9

25
2.1.3 Batasan

Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik5:
1) Remisi

Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3


hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2) Relaps

Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut relaps.
3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu mengalami remisi.
4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5) Sindrom nefrotik relaps jarang

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau < 4
kali dalam 1 tahun.
6) Sindrom nefrotik relaps sering

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau ≥ 4
kali dalam 1 tahun. 10

26
7) Sindrom nefrotik dependen steroid

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis prednison diturunkan
menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-turut.
2.1.4 Klasifikasi

Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai
penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan
prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi.5 Berdasarkan hal tersebut, saat ini
klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :
1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)

2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)


2.1.5 Manifestasi klinis dan patofisiologi

Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi,
penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik)
menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan
gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal
segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit
yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain
itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan
dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). 11

27
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen
WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk
nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.4
1) Proteinuria

Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein ≥ 40
mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan
untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.13
2) Hipoalbuminemia

Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah


hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan
jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara
dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal
ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan
dan peningkatan katabolisme albumin.14
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya
penyebab pada pasien sindrom 12

28
nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan
begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya
albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap
keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena
itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju
sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin.14
Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%,
sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia
menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal
meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis
terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat.
Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor sintesis protein.
Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik menunjukkan adanya defisiensi dalam
sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju transkripsi gen albumin hepar
dibandingkan dengan tikus normal.14 Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di
hepar pada tikus tersebut tidak adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia,
yang mengindikasikan adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien
sindrom nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk 13

29
meningkatkan laju sintesis albumin di hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma
albumin. Ada juga bukti pada subjek yang normal bahwa albumin interstisial hepar
mengatur sintesis albumin. Oleh karena pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial
hepar tidak habis, respon sintesis albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi
tidak mencapai level yang adekuat.
Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis mRNA albumin hepar dan
albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya,
meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein. Meskipun begitu, level albumin
serum tidak mengalami perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan
konsumsi protein menyebabkan peningkatan albuminuria.
Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik masih
merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu dikemukakan bahwa
kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami saturasi pada level albumin
terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein yang terfiltrasi yang hanya
diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus
proksimal yang diisolasi pada kelinci membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk
uptake albumin. Sebuah sistem kapasitas rendah yang telah mengalami saturasi pada
muatan protein yang berlebih, tetapi masih dalam level fisiologis, 14

30
terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi dengan afinitas yang rendah, memungkinkan
tingkat penyerapan tubular untuk albumin meningkat karena beban yang disaring naik.
Dengan demikian, peningkatan tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom
nefrotik.14
Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme fraksi albumin dan
albuminuria pada tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN yang diinduksi hingga
nefrosis.14 Namun, karena simpanan total albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak
pada sindrom nefrotik, laju katabolik absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini
berpengaruh pada status nutrisi, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme
albumin absolut berkurang pada tikus nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada
asupan diet protein normal.
Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan akibat dari
perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan baik
oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin tubulus ginjal.14
3) Edema

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom
nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini
berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler
dan 15

31
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah
sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan
onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.15
Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma ↓

Volume plasma ↑

Retensi Na renal sekunder ↑

Edema
Gambar 1. Teori underfilled15
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer tetapi pada 16 Albuminuria Hipoalbuminemia

32
mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume
plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan
terbentuknya edema.15
Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer

Volume plasma ↑

Edema
Gambar 2. Teori overfilled15
4) Hiperkolesterolemia

Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada
sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya
kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati,
termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan
kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.15
17

33
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom


nefrotik, antara lain16 :
1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin

Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi saluran
kemih (ISK).
2) Protein urin kuantitatif

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin pertama pagi hari.
3) Pemeriksaan darah

- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit,
LED)

- Albumin dan kolesterol serum

- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin

Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz. Rumus
Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).17
eLFG = k x L/Scr
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)
L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;
remaja putra:0,7) 18

34
- Kadar komplemen C3

Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan


komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
2.1.7 Komplikasi

Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik yang
relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi bakterial karena
hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi
imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial
peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan
infeksi traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan
organisme tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli,
mungkin juga ditemukan sebagai penyebab.4
2.1.8 Penatalaksanaan umum
1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan

2) Pengukuran tekanan darah

3) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein. 19

35
4) Pencarian fokus infeksi

Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap infeksi,
seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena kecacingan.
5) Pemeriksaan uji Mantoux

Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid (INH) selama 6
bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis
(OAT).
2.1.9 Pengobatan kortikosteroid
1) Terapi inisial

Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial untuk
anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis
60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi
inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam empat minggu
pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau
1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan
pagi. Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka
pasien dinyatakan resisten steroid. 20 Prednison FD : 60 mg/m2LPB/hari Prednison AD : 40
mg/m2LPB/hari 4 minggu 4 minggu Dosis alternating (AD) Remisi (+) Proteinuria (-) Edema
(-) Remisi (-) : resisten steroid ↓ Imunosupresan lain

36
Gambar 3. Terapi inisial kortikosteroid16
2) Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis penuh hingga
terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan pemberian dosis alternating
selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama
dengan positif 2 dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria,
yang biasanya disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan
prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
protenuria menghilang maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila
terjadi proteinuria sejak awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan diberikan prednison pada pasien. 21 AD 4 minggu Remisi FD Prednison FD :
60 mg/m2LPB/hari Prednison AD : 40 mg/m2LPB/hari

37
Gambar 4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps16
3) Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid :


a. Pemberian steroid jangka panjang

b. Pemberian levamisol

c. Pengobatan dengan sitostatika

d. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi

terakhir)
Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga
tengah atau kecacingan.
Penjelasan mengenai empat opsi di atas adalah sebagai berikut :
a. Steroid jangka panjang

Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid pada anak, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian steroid
dosis 1,5 mg/kgBB secara alternating. Dosis lalu diturunkan perlahan atau secara bertahap
0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu hingga dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu
antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis tersebut merupakan dosis threshold dan dapat
dipertahankan 22

38
selama 6-12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu dicoba untuk dihentikan. Pada anak
usia sekolah umumnya dapat menoleransi prednison dengan dosis 0,5 mg/kgBB dan pada
anak usia pra sekolah dapat menoleransi hingga dosis 1 mg/kgBB secara alternating.
Apabila pada prednison dosis 0,1-0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps, terapi diberikan
dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi diberikan setiap hari hingga remisi. Apabila
telah remisi dosis prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB secara alternating. Setiap 2
minggu diturunkan 0,2 mg/kgBB hingga satu tahap (0,2 mg/kgBB) di atas dosis prednison
pada saat terjadi relaps yang sebelumnya.
Apabila pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps tetapi pada
dosis < 1,0 mg/kgBB alternating tidak menimbulkan efek samping yang berat maka dapat
diikombinasikan dengan levamisol dengan selang satu hari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan
atau dapat langsung diberikan siklofosfamid.
Pemberian siklofosamid (2-3 mg/kgBB/hari) selama 8-12 minggu, apabila pada keadaan
berikut :
- Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB alternating, atau
- dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai :
 efek samping steroid yang berat
 pernah relaps dengan gejala yang berat, yaitu hipovolemia,

trombosis, dan sepsis. 23 Prednison FD : 60 mg/m2 LPB/hari Prednison AD : 40 mg/m2


LPB/hari CPA oral : 2-3 mg/kgBB/hari Pemantauan Hb, leukosit, trombosit setiap minggu
Leukosit < 3000/μL → stop dulu Leukosit > 5000/μL → terapi dimulai lagi 8 minggu AD 8
minggu Remisi FD CPA oral selama 12 minggu tap. off AD 12 minggu FD Remisi CPA puls 1 2
3 4 5 6 7 tap. off FD Remisi AD 12 minggu

39
Gambar 5. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral16
Gambar 6. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid16
b. Levamisol

Peran levamisol sebagai steroid sparing agent terbukti efektif.18 Dosis yang diberikan yaitu
2,5 mg/kgBB dosis tunggal, dengan selang satu hari dalam waktu 4-12 bulan. Levamisol
mempunyai efek samping antara lain mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversibel.
c. Sitostatika

d. Siklosporin (CyA)

e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


24

40
4) Pengobatan sindrom nefrotik dengan kontraindikasi steroid

Apabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasi steroid, seperti tekanan
darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau kreatinin, infeksi berat, dapat diberikan sitostatik
CPA oral maupun CPA puls. Pemberian siklofosfamid per oral diberikan dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk pemberian CPA puls dosisnya adalah 500-750
mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan dalam 7 dosis dengan interval 1 bulan.
5) Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid

Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid yang memuaskan.
Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi akan
mempengaruhi prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah:
a. Siklofosfamid (CPA)

b. Siklosporin (CyA)

c. Metilprednisolon puls
2.1.10 Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik
1) Infeksi

Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang menyebutkan bahwa
terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan sindrom nefrotik sehingga
menyebabkan pasien SN mempunyai 25

41
kerentanan terhadap infeksi. Apabila telah terbukti adanya komplikasi berupa infeksi perlu
diberikan antibiotik.
Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah selulitis dan peritonitis primer. Penyebab
tersering peritonitis primer adalah kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae.
Untuk pengobatannya diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan
sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim atau seftriakson) selama 10-14 hari.
Pneumonia dan infeksi saluran napas atas karena virus juga merupakan manifestasi yang
sering terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik.
2) Trombosis

Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN relaps terdapat defek
ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh
vaskular paru yang asimtomatik. Pemeriksaan fisik dan radiologis perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis. Apabila telah ada diagnosis trombosis, perlu diberikan
heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Saat ini
tidak dianjurkan pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah.19
3) Hiperlipidemia

42
Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada sindrom nefrotik relaps atau
resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun 26 atau normal. Kadar kolesterol yang
meningkat tersebut mempunya sifat aterogenik dan trombogenik. Hal ini dapat
meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.20 Untuk itu
perlu dilakukan diet rendah lemak jenuh dan mempertahankan berat badan normal.
Pemberian obat penurun lipid seperti HmgCoA reductase inhibitor (contohnya statin) dapat
dipertimbangkan.21
Peningkatan kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sensitif
steroid bersifat sementara sehingga penatalaksanaannya cukup dengan mengurangi diet
lemak.
4) Hipokalsemia

Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena :


- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis

dan osteopenia
- Kebocoran metabolit vitamin D

Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsium maka pada pasien SN dengan terapi steroid
jangka lama (lebih dari 3 bulan) sebaiknya diberikan suplementasi kalsium 250-500 mg/hari
dan vitamin D (125-250 IU).22 Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium glukonas
10% sebanyak 0,5 ml/kgBB intravena.
5) Hipovolemia

Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan atau pasien dengan
keadaan SN relaps. Gejala-gejalanya antara lain hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin,
dan sering juga 27

43
disertai sakit perut. Penanganannya pasien diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat
sebanyak 15-20 mL/kgBB dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau
plasma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes per menit). Pada kasus hipovolemia yang telah
teratasi tetapi pasien tetap oliguria, perlu diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.
6) Hipertensi

Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat
dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya diawali dengan ACE (angiotensin converting
enzyme) inhibitor, ARB (angiotensin receptor blocker), calcium chanel blockers, atau
antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah di bawah persentil 90.23
7) Efek samping steroid

Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid jangka lama, antara lain
peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan resiko
infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pemantauan terhadap
gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi
badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali pada pasien
SN. 28

44
Indikasi biopsi ginjal

Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk melakukan biposi ginjal:

1) Pada presentasi awal

a. Sindrom nefrotik terjadi pertama kali pada usia < 1 tahun atau lebih dari 16 tahun
b. Pada pemeriksaan terdapat tanda hematuria nyata

2) Setelah pengobatan inisial

a. Sindrom nefrotik resisten steroid


b. Sebelum memulai terapi siklosporin

45
DAFTAR PUSTAKA

oel, Trelia. 2004. Infeksi Saluran Kemih dan Kelamin.  http://repository.usu.ac.id/


bitstream/123456789/1142/1/fkg-trelia2.pdf.

Brunner & suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol. 3. Jakarta : EGC

Cohen EP, Lemann, Jr J. 1991. The role of the laboratory in evaluation of kidney function. Clin Chem.
Vol: 37/6, Pp: 785-796.

Purnomo, Basuki B. 2000.  Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. P: 126.

Rochani. 1995. Striktur Urethra, dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara.

46

Anda mungkin juga menyukai