Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN HIPOALBUMIN DAN HEMODIALISA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medical di Ruang
Hemodialisa RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
CHRISTINA HANNI KARTIKA DEWI
150070300011076
Kelompok 13

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN HIPOALBUMIN DAN HEMODIALISA

Oleh :
CHRISTINA HANNI KARTIKA DEWI
150070300011076

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Ns.Tina Handayani N., S.Kep, M.Kep Mohammad Muchlas., S.ST


NIP : 198102282006042013 NIP. 197106031993121003
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN HIPOALBUMIN DAN HEMODIALISA

1. KONSEP CKD

1.1. DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir. CKD
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang
menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan
Bare, 2001).
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut
secara bertahap (Doenges, 1999; 626). Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir
(ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner &
Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812).

1.2 ETIOLOGI
Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price dan Wilson (2006) diantaranya
adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan jaringan
ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif.
Beberapa contoh dari golongan penyakit tersebut adalah :
1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks nefropati.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan
stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan
seklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis tubulus
ginjal.
6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta amiloidosis.
7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari hipertropi prostat,
setriktur uretra, anomali congenital leher vesika urinaria dan uretra.
Sedangkan penyebab PGK menurut National Kidney Foundation / NKF (2010) adalah
1. Diabetes militus dan Hipertensi
Dua penyebab utama penyakit ginjal kronis diabetes dan tekanan darah tinggi. Diabetes
militus terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan kerusakan pada banyak organ
dan otot dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf, dan mata.
Tekanan darah tinggi atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah meningkat pada dinding
pembuluh darah. Jika tidak dikontrol dengan baik, tekanan darah tinggi bisa menjadi
penyebab serangan jantung, stroke dan PGK.
2. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis menyebabkan peradangan dan kerusakan unit penyaringan ginjal,
merupakan penyebab ketiga yang paling sering terjadi pada penyakit ginjal kronis.
3. Polikistik Ginjal
Polikistik ginjal merupakan penyakit ginjal bawaan sejak lahir. Keadaan ini mengakibatkan
kista pada ginjal yang akan merusak jaringan disekitarnya.
4. Lupus.
Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu
ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia.
5. Adanya sumbatan karena tumor, batu ginjal atau sumbatan karena ada pembesaran
kelenjar prostat pada pria

1.3. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan
penderita asimptomatik.
2. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea
Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat ditunjukan
dari laju filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :
1. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90 ml/menit/1,73
m2.
2. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60- 89
ml/menit/1,73 m2.
3. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59
ml/menit/1,73 m2.
4. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15- 29
ml/menit/1,73 m2.
5. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat
digunakan dengan rumus:

1.4. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinik menurut Long (1996) antara lain:
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas
baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada
tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin - angiotensin aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada
lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effuse perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam
usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau
ammonia
d. Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom
( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan
hipertropi otot otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat penimbunan urokrom,
gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore.
Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan
eritopoesis pada sum sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.
Patofisiologi
Gangguan pada ginjal
Kerusakan parenkim, kerusakan nefron

Penurunan perfusi jaringan penurunan


darah, O2, dan nutrisi

Peningkatan rennin angiotensin I


kemudian diubah mjd angiotensin II di paru

Peningkatan aldosteron Vasokonstriksi arteriol

mekan reabs. Na+ petan tek. glomerulus

Retensi cairan di Reabs. Cairan menurun


ekstravaskuler banyak yang dibuang
termasuk protein, terutama
Kelebihan volume cairan albuminhipoalbumin

Mempengaruhi tekanan di Mempengaruhi kerja


alveoli peningkatan tek.onkotik dan hidrostatik
tekanan cairan di alveoli vaskuler tek di vaskuler
menurun
Kelebihan cairan di
alveoli pertukaran O2
Cairan yang ter retensi
tidak maksimal masuk secara bebas ke
interstisiil edema perifer
Gangguan pertukaran gas
Penurunan suplai darah ke
jar. perifer

Gangguan perfusi jaringan perifer

Sisa metabolisme ikut Penurunan pembuangan Perparahan penurunan


peredaran darah masuk air, garam dan sisa GFRakibat kerusakan
ke lambungmual muntah metabolisme sindrom bertambah parah
uremia
Penurunan intake
penan nafsu makan

Ketidakseimbangan antara
kebutuhan tubuh dengan
intake

Gangguan nutrisi kurang


daru kebutuhan tubuh
1.6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Laboratorium :
a) Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah, bakteri,
lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya
darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine
/ ureum sering 1:1.
b) Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
c) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
d) Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus
bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada
e) Darah
Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap
akhir (mungkin rendah yaitu 5).
Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang
dari 7-8 g/dL.
SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti
pada azotemia.
GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolic (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular
(asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan
EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Magnesium terjadi
peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum
menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.

2. Pemeriksaan Radiologi
a) Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista,
obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
b) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologis.
c) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
e) KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obtruksi (batu).
f) Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi ekstravaskuler,
massa.
g) Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
h) Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk
kedalam ureter, dan retensi.
i) Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi kalori
dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula pada asupan
cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
j) Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi, obat
diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai
selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

1.7. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah uremik
dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin angiotensin
aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

1.8. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi
dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena
dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006 dalam Alamang 2012).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin >
10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang
14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat
ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal.
b. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
KONSEP HIPOALBUMIN

2.1. DEFINISI
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal atau
keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik
Soemyarso, 2006 dan Diagnose-Me.com, 2007). Hipoalbuminemia mencerminkan
pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis
albumin serta protein lain oleh hati (Murray, dkk, 2003).

2.2. ETIOLOGI
Menurut Iwan S. Handoko (2005), Adhe Hariani (2005) dan Baron (1995)
hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien. Hipoalbuminemia
dapat disebabkan olehmasukan protein yang rendah, pencernaan atau absorbsi protein
yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien
dengan kondisi medis kronis dan akut:
1. Kurang Energi Protein,
2. Kanker,
3. Peritonitis,
4. Luka bakar,
5. Sepsis,
6. Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi
setelah trauma),
7. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin menurun),
8. Penyakit ginjal (hemodialisa),
9. Penyakit saluran cerna kronik,
10. Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis),
11. Diabetes mellitus dengan gangren, dan
12. TBC paru.

2.3. MANIFESTASI KLINIK


1. Ascites - akumulasi cairan di rongga perut;
2. dapat menyebabkan sesak napas.Hal ini menunjukkan akumulasi efusi pleura dan
pengembangan edema paru;
3. Nafsu makan menurun
4. kelemahan.

2.4. KLASIFIKASI HIPOALBUMIN


Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau jarak
dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,55 g/dl atau total kandungan albumin
dalam tubuh adalah 300-500 gram (Albumin.htm, 2007 dan Peralta, 2006). Klasifikasi
hipoalbuminemia menurut Agung M dan Hendro W (2005) adalah sebagai berikut:
1. Hipoalbuminemia ringan : 3,53,9 g/dl
2. Hipoalbuminemia sedang : 2,53,5 g/dl
3. Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl

2.5. PENATALAKSANAAN
1. Therapi diet
Tujuan utama terapi diet hipoalbuminemia adalah meningkatkan dan mempertahankan
status gizi dalam hal ini kadar serum albumin serta mencegah seminimal mungkin penurunan
kadar albumin untuk mencegah komplikasi. Kebutuhan energi pada hipoalbuminemia
diupayakan terpenuhi karena apabila asupan energi kurang dari kebutuhan maka bisa terjadi
pembongkaran protein tubuh untuk diubah menjadi sumber energi sehingga beresiko
memperburuk kondisi hopoalbuminemia. Oleh karena itu pada pasien-pasien hypoalbumin
khususnya dan pasien bedah pada umumnya di RSUP Dr Kariadi diberikan diet TKTP, kalau
perlu diberikan ekstra putih telur, ekstra ikan gabus, dan atau MPT.
Modisco merupakan singkatan dari Modified Dried Skimmed Milk and Coconut. Modisco
pertama kali dtemukan oleh May dan Whitehead pada tahun 1973. Modisco merupakan
makanan atau minuman bergizi tinggi yang pertama kali dicobakan pada anak-anak yang
mengalami gangguan gizi berat di Uganda (Afrika) dengan hasil yang memuaskan. Manfaat
modisco yang paling utama adalah untuk mengatasi gizi buruk pada manusia dengan cepat dan
mudah. Karena modisco mempunyai kandungan kalori yang tinggi serta mudah dicerna oleh
usus manusia. Modisco juga dapat membantu mempercepat penyembuhan penyakit sehingga
biaya pengobatan menjadi lebih ringan (Sudiana & Acep, 2005).

2. Therapi Medis
Pasien-pasien yang rentan terhadap malnutrisi, terutama yang terkait dengan
hipoalbumin seperti kasus-kasus di atas dari team medis diberikan transfusi FFP dan atau
human albumin. Untuk pemberian kedua transfusi tersebut pada kasus yang kadar albumin
dalam darah 2,5 gr/dl (Hill, 2000). Namun kedua therapi medis tersebut perlu beberapa
pertimbangan antara lain : pertimbangan harga yang cukup mahal, tidak mudah untuk
mendapatkannya khususnya untuk pasien dengan status kelas III / jamkesmas.
3. Peran Perawat Dalam Therapi Hypoalbumin
Pemberian therapi pada pasien hypoalbumin baik therapi medis maupun therapi diet,
perawat terlibat dalam mengoptimalkan pemberian therapi tersebut sesuai dengan peran dan
fungsinya sebagai perawat diantaranya: sebagai conselor, educator, kolaborator, dan advocator.
Karena perawat merupakan petugas kesehatan yang selalu berada di samping pasien 24 jam,
sehingga baik buruknya kondisi / status keshatan pasien perawatlah yang pertama kali
mengetahui baru kemudian dilanjutkan kolaborasi dengan pihak terkait (medis, gizi, fisiotherapi,
dll).
Dalam pemberian therapi hypoalbumin peran perawat sangat penting diantaranya:
memberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang therapi hypoalbumin, memonitor distribusi
instrumen / suplemen sampai ke pasien dan benar-benar dikonsumsi pasien dengan benar .
Setelah yakin suplemen dikonsumsi pasien dengan benar, kemudian dilanjutkan peran perawat
untuk mengevaluasi baik secara klinis maupun biokimia. Salah satu indikator keberhasilan
pemberian therapi diet hypoalbumin adalah meningkatnya kadar serum albumin dalam darah
yang akan mempercepat proses penyembuhan penyakit dan kepulangan pasien sehingga akan
memperpendek LOS.
3. KONSEP HEMODIALISA

3.1. DEFINISI
Dialisis menghilangkan nitrogen sebagai produk limbah, mengoreksi elektrolit, air, dan
kelainan asam-basa yang berhubungan dengan gagal ginjal. Dialisis tidak memperbaiki kelainan
endokrin karena gagal ginjal, atau mencegah komplikasi kardiovaskular. Proses dialysis
membutuhkan membran semipermeabel yang akan membersihkan bagian air dengan berat
molekul kecil (zat terlarut), tetap tidak untuk molekul besar (misalnya protein).
Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati
membran semipermiabel (dialyzer) ke dalam dialysate. Dialyzer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi
dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan
perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada
vaskuler, antikoagulansi dan produksi dialyzer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa
telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika
Serikat dan dunia
Dialyzer atau ginjal buatan memiliki dua bagian, satu bagian untuk darah dan bagian lain
untuk cairan dialysate. Di dalam dialyzer antara darah dan dialisat tidak bercampur jadi satu
tetapi dipisahkan oleh membran atau selaput tipis. Sel-sel darah, protein dan hal penting lainnya
tetap dalam darah karena mempunyai ukuran molekul yang besar sehingga tidak bisa melewati
membran. Produk limbah yang lebih kecil seperti urea, kreatinin dan cairan bisa melalui
membran dan dibuang. Sehingga darah yang banyak mengandung sisa produk limbah bisa
bersih kembali (National Kidney Foundation / NKF, 2006).
Proses hemodialisis yang terjadi didalam membran semipermiabel terbagi menjadi tiga
proses yaitu osmosis, difusi dan ultrafiltrasi (Curtis, Roshto & Roshto, 2008). Osmosis adalah
proses perpindahan zat terlarut dari bagian yang berkonsentrasi rendah kearah konsentrasi
yang lebih tinggi. Difusi adalah proses perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi kearah
konsentrasi yang rendah. Sedangkan ultrafiltrasi adalah perpindahan cairan karena ada tekanan
dalam membran dialyzer yaitu dari tekanan tinggi kearah yang lebih rendah (Curtis, Roshto., &
Roshto, 2008)
3.2. TUJUAN HEMODIALISA
Hemodialisis tidak mengatasi gangguan kardiovaskuler dan endokrin pada penderita
PGK. Tindakan hemodialisis bertujuan untuk membersihkan nitrogen sebagai sampah hasil
metabolisme, membuang kelebihan cairan, mengoreksi elektrolit dan memperbaiki gangguan
keseimbangan basa pada penderita PGK (Levy, dkk., 2004). Tujuan utama tindakan
hemodialisis adalah mengembalikan keseimbangan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang
terganggu akibat dari fungsi ginjal yang rusak (Himmelfarb & Ikizler, 2010)
3.3. PRINSIP DALAM PROSES HEMODIALISA
Secara sederhana proses dialisis hanya memompa darah dan dializat melalui membran
dializer (Levy,dkk., 2004)
1. Dialysate adalah larutan air murni yang mengandung, klorida, natrium kalium, magnesium,
kalsium, dextrose, bicarbonat atau asetat.
2. Di dalam dialyzer darah dan dialysate dipisahkan oleh membrane semipermiabel. Darah
mengandung sisa produk metabolism berupa ureum, creatin, dan lainnya. Sedangkan
dialysate tidak mengandung produk sisa metabolisme. Karena perbedaan konsentrasi ini
akan terjadi proses difusi dalam dialyzer.
3. Proses difusi akan maksimal bila arah aliran darah dan dialisa berlawanan (counter current
flow). Kecepatan aliran darah dan dialisat dalam dialiser juga berpengaruh pada peningkatan
proses difusi.
4. Proses konveksi dalam dialyzer dapat ditingkatkan dengan meningkatkan tekanan dalam
membran dialyzer (trans membrane pressure). Pada proses Hemodialisa konvensional,
molekul dengan ukuran kecil tidak semua terlepas denagan proses konveksi saja. Tetapi
hampir semua molekul dengan ukuran kecil terlepas dengan proses difusi. Sebaliknya
molekul dengan ukuran besar (B2- mikroglobulin dan vit B12) dikeluarkan efektif dengan
proses konveksi. Hal ini telah menyebabkan peningkatan penggunaan metode UF di
Hemodialisa untuk meningkatkan penghapusan molekul MW lebih besar.

3.4. KOMPONEN HEMODIALISA


1. Mesin Hemodialisa
Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai membran
semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi karena
terdapat cairan dialysate didalam dialyzer. Proses dalam mesin hemodialisa merupakan
proses yang komplek yang mencakup kerja dari deteksi udara, kontrol alarm mesin dan
monitor data proses hemodialisa (Misra, 2005)
2. Ginjal Buatan (dialyzer)
Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membrane semipermiabel dan
mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan dialysate dan bagian yang lain untuk
darah (Levy,dkk., 2004). Beberapa syarat dialyzer yang baik (Heonich & Ronco, 2008)
adalah volume priming atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa
menghasilkan clearance urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang protein dalam
darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan membrane yang negatif yang
memungkinkan terjadi back ultrafiltration, tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi
saat proses hemodialisa (hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan
tidak mengandung racun. Syarat dialyzer yang baik adalah bisa membersihkan sisa
metabolisme dengan ukuran molekul rendah dan sedang, asam amino dan protein tidak ikut
terbuang saat proses hemodialisis, volume dialyzer kecil, tidak mengakibatkan alergi atau
biocompatibility tinggi, bisa dipakai ulang dan murah harganya (Levy, dkk., 2004)
3. Dialysate
Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti cairan plasma
yang digunakan pada proses hemodialisis (Hoenich & Ronco, 2006). Cairan dialysate terdiri
dari dua jenis yaitu cairan acetat yang bersifat asam dan bicarbonat yang bersifat basa.
Kandungan dialysate dalam proses hemodialisis menurut Reddy & Cheung ( 2009 )
4. Blood Line (BL) atau Saluran Darah
Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian arteri
berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus mempunyai bagian
pompa, sensor vena, air leak detector (penangkap udara), karet tempat injeksi, klem vena
dan arteri dan bagian untuk heparin (Misra, 2005). Fungsi dari BL adalah menghubungkan
dan mengalirkan darah pasien ke dialyzer selama proses hemodialisis
5. Fistula Needles
Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai Arteri Vena Fistula (AV Fistula)
merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang akan menjalani hemodialisa.
Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk
bagian vena

3.5. KOMPLIKASI SELAMA HEMODIALISIS


Selama proses hemodialisis sering muncul komplikasi yang berbedabeda untuk setiap
pasien. Komplikasi hemodialisis menurut Katanko dan Levin (2008) adalah intradialytic
hipotension, kram otot, mual muntah, emboli udara dan sakit kepala. Menurut Armiyati (2010)
salah satu komplikasi selama hemodialisis adalah hipertensi.
1. Intradialytic Hypotension (IDH)
Intradialytic Hypotension adalah tekanan darah rendah yang terjadi ketika proses
hemodialisis sedang berlangsung. IDH terjadi karena penyakit diabetes millitus,
kardiomiopati, left ventricular hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin rendah,
kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau target ultrafiltrasi yang terlalu
tinggi, berat badan kering terlalu rendah dan usia diatas 65 tahun
2. Kram otot
Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi karena target ultrafiltrasi yang tinggi dan
kandungan Na dialysate yang rendah.
3. Mual dan muntah
Komplikasi mual dan muntah jarang berdiri sendiri, sering menyertai hipotensi dan
merupakan salah satu presensi klinik disequillibrium syndrom. Bila tidak disertai gambaran
klinik lainnya harus dicurigai penyakit hepar atau gastrointestinal.
4. Sakit kepala
Penyebab tidak jelas, tapi bisa berhubungan dengan dialisat acetat dan disequillibrium syok
syndrome (DDS).
5. Emboli udara
Emboli udara dalam proses hemodialisis adalah masuknya udara kedalam pembuluh darah
selama prose hemodialisis.
6. Hipertensi
Keadaan hipertensi selama proses hemodialisis bisa diakibatkan karena kelebihan cairan,
aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, kelebihan natrium dan kalsium, karena
erythropoietin stimulating agents dan pengurangan obat anti hipertensi.
Komplikasi yang muncul dalam proses hemodialisis tidak bisa diduga sebelumnya
dan harus segera diatasi. Menurut Sukandar (2006) ketika terjadi hipotensi intradialisis dan
kram otot, penanganan yang harus dilakukan adalah menurunkan QB, menurunkan
ultrafiltrasi dan memberikan cairan NaCl 0,9%. Bila terjadi komplikasi sakit dada atau terjadi
disequillibrium syok syndrome (DSS) penanganan yang dilakukan adalah menurunkan QB,
menurunkan quick of dialysate, menurunkan ultrfiltrasi, dan pemberian oksigen.

3.6. AKSES VASKULER


American Journal of Kidney Diseases (AJKD) merekomendasikan bahwa pasien PGK
stadium 4 dan 5 sudah harus dipasang akses vaskuler untuk persiapan tindakan hemodialisis
yang berupa kateter subklavia atau Arteriovenous shunt (AJKD, 2006). Pembuatan akses
vaskuler untuk proses hemodialisis bertujuan untuk mendapatkan aliran darah yang optimal
agar proses hemodialisis bisa berjalan dengan baik (Reddy & Cheung, 2009). Akses vaskuler
yang disarankan adalah AV Shunt atau cimino, double lumen dan arteriovenosa grafts (AVG)
(NKF DOQI, 2006). AV Shunt merupakan akses vaskuler yang paling aman saat ini tetapi bila
saat insersi tidak menggunakan tehnik yang benar akan mengakibatkan kerusakan.
1. Arteriovenous Fistula (AVF)
AVF dibuat dengan cara menyambung sisi arteri dengan ujung dari vena yang dipotong
atau dengan tehnik end to side.
2. Arteriovenous Graft (AVG)
AVG dibuat apabila operasi pembuatan AVF sudah tidak mungkin dilakukan lagi.
Pembuatan AVG dilakukan dengan cara menyambung antara arteri dan vena yang
dihubungkan dengan saluran sintetis yang terbuat dari bahan Litetrafluoroetilena (PTFE)
atau turunannya yaitu PTFE (ePTFE). Sedangkan untuk polyurethaneurea (PUU) jarang
digunakan.
Komplikasi dari akses arteriovenous yang sering muncul adalah stenosis, trombosis, iskemik
bagian distal, anurisma, kematian jaringan, gagal jantung dan infeksi (Reddy & Cheung, 2009).
3. Double lumen atau temporary catheters
Kateter sementara ini dipasang pada pasien di vena jugularis, vena femoralis atau vena
subklaivia. Komplikasi yang sangat sering terjadi pada pemasangan kateter ini adalah infeksi.

Gambar.2.3. Letak pemesangan double lumen catheter


4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1. Pengkajian
Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat terjadi
pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.

Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.

Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.

2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, hipertensi,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.

3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.

Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:

Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum, kental


dan banyak.

Tanda:

Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa sputum.

2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:

Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak nafas,
gangguan irama jantung, edema.
Tanda

Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial, pucat,
kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.

3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.

4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)


Gejala:

Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.

Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)


Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare

6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari), kulit
gatal, ada/berulangnya infeksi.

Tanda:

Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur tulang,
defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.

Pola aktivitas sehari-hari


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik sehingga
menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak
mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu
adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi)
anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic,
Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.

3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat
kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen
kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat,
berawan) oliguria atau anuria.

4) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan


Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan
tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka
sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan mendengar
dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami
gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada
keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido, amenorea,
infertilitas.
10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress, perasaan
tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak
ada harapan, tak ada kekuatan.Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal
kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi
pola ibadah klien

4.2. Diagnosa Keperawatan:


Diagnosa Pre Hemodialisa
- Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan
tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O
- Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penumpukan cairan (edema paru)
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan karena supply oksigen
menurun
- Gangguan pola seksual berhubungan dengan penurunan hormone seksual
- Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan filtrasi ginjal
- Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan tingginya kadar urochrome, toksik
uremik
- Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan peningkatan tekanan kapiler paru
dan edema paru
- Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan supply darah dan oksigen ke
jaringan menurun
- Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan
- Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh behubungan dengan
prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta kadar asam basa dalam tubuh
- Nyeri akut behubungan dengan aterosklerosis, perikarditis, efusi pericardial

Diagnosa Intra Hemodialisa


- Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan dilakukannya
dialisat darah
- Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan atau
penurunan kadar elektrolit tubuh
- Resiko syok berhubungan dengan penarikan cairan (UF goal)
- Resiko perdarahan berhubungan dengan penggunaan heparin
Diagnosa Post Hemodialisa
- Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
- Resiko Infeksi berhubungan dengan port de entry akibat penusukan daerah insersi
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan
1 Kelebihan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Fluid management
volume cairan jam, volume cairan seimbang
1-4. 1 kaji intake dan output cairan,
NOC
2,3. 1 timbang berat badan secara rutin
Fluid overload severity
2,3. 2 Jelaskan pada pasien dan
No Indikator 1 2 3 4 5 keluarga tentang pembatasan
cairan
1 Tekanan darah
1-4. 2 monitor hasil lab terkait retensi
2 Berat badan cairan
3 Edema 2-4. 1 Kaji lokasi dan berat edema
4 Pusing 1-4. 3 Kolaborasi tindakan dialisis
Keterangan Penilaian :
2.1 monitor BB pasien setelah dialisis
1 : Severe
2 : Substantial.
3 : Moderate
4 : Mild deviation
5 : None.
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan
2 Intoleransi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Activity therapy, pain management
aktivitas jam, terdapat perbaikan dalam klien beraktivitas
1-4. 1 kaji kemampuan pasien untuk
beraktivitas sehari hari
NOC 1-4. 2 dampingi pasien saat beraktivitas
Activity tolerance 1-4.2 dampingi pasien atau keluarga
untuk mengidentifikasi defisit aktivitas
N Indikator 1 2 3 4 5
o 1-4.3 berikan reinforcement saat klien
biasa beraktivitas mandiri
1 Jarak berjalan
1-4. 4 monitor status emosional, sosial
2 kelelahan dan spiritual sebagai respon aktivitas
3 kemampuan 4.1 kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
beraktivitas sehari
hari 4.2 ajarkan manajemen nyeri misal
4 teknik distraksi, relaksasi
nyeri otot

Keterangan Penilaian :
1 : Severe compromised
2 : Substantial compromised
3 : Moderate compromised
4 : Mild deviation compromised
5 : No compromised
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 1-4.1 monitor TTV
b.d prosedur jam, tidak terdapat tanda tanda infeksi
1-4.2 hindari mengukur TD di lengan
invasif
NOC yang terdapat fistula
hemodialisa
N Indikator 1 2 3 4 5 1-3. 1 pakai teknik aseptik saat prosedur
o dialisa
1 Warna kulit sekitar 1-4.3 ajarkan klien dan keluarga tanda
insersi gejala yang membutuhkan penanganan
medis
Suhu disekitar
2 1-4.4 kaji daerah sekitar insersi
insersi
3 Rembesan drainase
di sekitar insersi

4 Pergeseran kanula

Keterangan Penilaian :
1 : Severe compromised
2 : Substantial compromised
3 : Moderate compromised
4 : Mild deviation compromised
5 : No compromised
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.


Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.
Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai