Abstrak
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati
akut dan kronik berat. Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan
pasti karena sulitnya penegakan diagnosis,
namun diperkirakan
terjadi pada 30-84%
pasien sirosis hepatis. Patogenesis ensefalopati hepatikum belum sepenuhnya dimengerti,
tetapi amonia memainkan peranan penting di dalamnya. Laki-laki berusia usia 57 tahun
datang dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 5 hari
sebelumnya pasien terlihat gelisah dan linglung serta lebih mudah marah. Pasien sudah
mengalami gejala penyakit hati sejak 1 tahun lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status
generalis kesadaran stupor Glasgow Coma Scale (GCS) 5, didapatkan
adanya asites, spider
nervi, venektasi vena, liver nail, palmar eritema superior, edema pitting, dan reflek fisilogis
menurun. Pemeriksaan
penunjang laboratorium Hb 9,1 g/dl, LED 66 mm/jam, leukosit
11.900/ul, SGOT 87u/l, SGPT 50u/l, albumin 2,6g/dl, globulin 3,4g/dl, HbsAg positif. Pasien
didiagnosis ensefalopati hepatik. Penatalaksaan
farmakologi dengan pemberian injeksi
antibiotik ceftriakson 1 g/12jam dan laktulosa sirup 45mL/sampai terjadi defekasi.
Kata kunci : ensefalopati hepatik,hepatitis,sirosis hepatis
Abstract
Hepatic encephalopathy (EH) is a neuropsikiatri syndrom which in acute liver disease and
chronik liver disease. In Indonesia, the minimal prevalence of EH (grade 0) are
unknown with certainly because of the difficulty of diagnosis, but its assumed occur
to 30-84%
of patients
with liver cirrhosis.
The pathogenesis
of hepatic
encephalopathy is not fully understood, but ammonia is considered having an important
role in it. A 57-year-old man came with loss of consciousness since a day before being
hospitalized. He was looked restless and irritablesince 5 previous days. The patient had
symptoms of liver disease since one year ago. On physical examination found stupor
awareness of the Glasgow Coma Scale (GCS) 5, the blood pressure 110/70 mmHg, pulse
rate 80x/minute regular, respiratory rate 28x/minute, temperature 36.7C. On physical
examination found the presence of ascites, veins venectation, liver nail, superior
palmar
erythema,
pittingedema,and reflex
physiology
hipotonus.
Laboratory
examination showed Hb 9,1 g/dl, ESR 66 mm/hour, leucocyte 11.900/ul, SGOT
87u/l,
SGPT
50u/l,
albumin
2,6g/dl,
globulin
3,4g/dl,
HbsAg:positive.
Patients
diagnosed
with hepatic encephalopathy. The pharmacological therapy was injection
ofceftriaxon1 g/12 hours and lactulose syrup 45mL/until defecation occured.
Keywords : hepatic encephalopathy, liver cirrhocis, hepatitis
Korespondensi : Asih Sulistiyani, S.Ked., alamat Jl.Perwira I LK II Tanjung Baru, Sukabumi, Bandar
Lampung, HP 082182888611, e-mail asihsulistiyani@gmail.com
Pendahuluan
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan
sindrom neuropsikiatri yang dapat
terjadi pada penyakit hati akut dan
kronik berat dengan manifestasi,
bervariasi dari ringan hingga berat,
mencakup
perubahan
perilaku,
gangguan
intelektual,
serta
penurunan kesadaran tanpa kelainan
pada otak.1
Di Indonesia, prevalensi EH minimal
(grade 0) tidak diketahui dengan
pasti karena sulitnya penegakan
diagnosis, namun diperkirakan terjadi
pada
30%-84%
pasien
sirosis
1
hepatis. Data dari Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo
mendapatkan
prevalensi EH minimal sebesar 63,2%
pada tahun 2009. Data pada tahun
1999
mencatat
prevalensi
EH
stadium 2-4 sebesar 14,9%. Angka
kesintasan 1 tahun dan 3 tahun
berkisar 42% dan 23% pada pasien
yang tidak menjalani transplantasi
hati.2-3
Lebih dari sepertiga pasien sirosis
menjalani
rawat
inap
karena
2
ensefalopati
hepatik.
Prevalensi
terjadinya
ensefalopati
hepatik
adalah sebesar 30-40% dari pasien
sirosis
hati
sedangkan
untuk
ensefalopati
hepatik
minimal
sebanyak 20-80%. Sebanyak 30%
pasien
ensefalopati
hepatik
mengalami kematian.4-5
Kasus
Anamnesis
dilakukan
dengan
alloanamnesis. Laki-laki berusia 57
tahun datang dengan penurunan
kesadaran sejak 1 hari sebelum
masuk
rumah
sakit. Sejak 5 hari
sebelumnya pasien terlihat gelisah
dan bingung serta mudah marah.
Satu bulan sebelumnya, perut pasien
semakin membesar, nafsu makan
manurun, kadang disertai sesak
sejak satu bulan ini,
mual
dan
muntah 1 kali perhari berisi cairan
dan makanan, nyeri kepala, dan
sulit BAB, kedua tungkai bengkak,
BAK pasien berwarna pekat seperti
teh. Sejak 1 tahun ini mata dan
badan pasien kuning, terkadang
BABnya berubah warna menjadi
kehitaman dan muntah berwarna
kecoklatan. Keluarga
menyangkal
adanya riwayat hipertensi, kencing
manis,
trauma,
kejang-kejang,
ataupun
stroke
pada
pasien.
Pasien tidak pernah mengonsumsi
alkohol. Keluarga pasien mengatakan
ayah
pasien
meninggal
karena
penyakit liver yang memiliki gejala
mirip dengan pasien saat ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
satus generalis kesadaran stupor
Glasgow Coma Scale (GCS) 5,
tekanan
darah 110/70 mmHg,
frekuensi nadi
80x/menit reguler,
frekuensi pernapasan 28x/menit,
suhu 36,7C.
Pada pemeriksaan kepala, sklera
terlihat ikterik, konjungtiva anemis.
Pada pemeriksaan abdomen tampak
simetris cembung, venektasi vena,
bising usus normal, timpani pada
puncak abdomen serta shifting
dullnes (+), palpasi dinding perut
tegang, hepar dan lien tidak teraba.
Pada bagian dada ditemukan spider
Konsensus
The
Hepatic Encephalopathy Working
Group, diagnosis EH ditegakkan
setelah penyebab gangguan otak
yang lain disingkirkan. Diagnosis
EH harus
dipikirkan
pada
pasien
yang
menunjukkan
gangguan fungsi motorik dengan
tidak ada gangguan metabolik
atau pengaruh obat, dan sistem
neurologis normal. Kecurigaan
yang kuat harus dipikirkan pada
pasien dengan penyakit sirosis
3
pemeriksaan laboratorium Hb
9,1 g/dl, LED 66 mm/jam, leukosit
11.900/ul, GDS 96 mg/dl, SGOT
87u/l, SGPT 50u/l, albumin 2,6
g/dl,
globulin
3,4 g/dl, HbsAg
positif.
Pada
sirosis
hepatis,
SGOT/SGPT dapat meningkat tapi
tidak terlalu tinggi atau dapat
normal. Albumin menurun sesuai
dengan derajat perburukan sirosis
karena sintesis albumin terjadi di
hati.
Globulin
meningkat pada
sirosis akibat sekunder dari pintasan
antigen bakteri dari sistem porta
ke jaringan limfoid
yang
akan
menginduksi
produksi
immunoglobulin, sehingga terjadi
peristiwa invers antara albumin dan
10
globulin.
Anemia
pada
kasus
dipikirkan
karena
perdarahan
gastrointestinal.
Peningkatan
leukosit dan LED pada kasus
dipikirkan karena adanya infeksi
sekunder.
Berdasarkan
Teori,
penegakan
diagnosis sirosis hepatis adalah
anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.11 Temuan
klinis
sirosis
meliputi
spider
telangiektasis
yaitu
suatu
lesi
vaskular yang dikelilingi beberapa
vena-vena kecil, eritema palmaris
yaitu warna merah saga pada thenar
dan hipothenar, ginekomatia, ascites,
splenomegali, ikterus, adanya tandatanda perdarahan saluran cerna
bagian atas akibat hipertensi pota
seperti hematemesis dan melena.
Pemeriksaan penunjang pada sirosis
hepatis
adalah
pemeriksaan
laboratorium darah rutin menunjukan
adanya anemia atau leukosiosis
akibat
infeksi
sekunder
yang
mungkin terjadi. Pemeriksaan fungsi
hati yaitu aspartat aminotransferasi
tidak
teridentifikasi,
konstipasi,
penggunaan
diuretik
dan
perdarahan
saluran
cerna; (3)
persistent jika perubahan perilaku
selalu
didapatkan; (5) Faktor
presipitasi lain seperti dehidrasi,
diet tinggi protein dan pengaruh
obat yang mempengaruhi sistem
saraf pusat serta penyakit lain
seperti hepatocelular carcinoma. 7
Presipitasi
lainnya
termasuk
konstipasi,
alkalosis,
dan
kekurangan kalium yang disebabkan
oleh diuretik, opioid, hipnotik dan
sedatif: obat yang mengandung
ammonium atau senyawa amino,
paracentasis dengan hipovolemia
yang menyertai, dan shunt porto
systemic
(termasuk transjugular
intrahepatic portosystemic shunt).13
Ensefalopati
hepatikum
dengan
penurunan
kesadaran
mencapai
GCS
<8
termasuk
dalam
kegawatdaruratan. Secara umum
penatalaksanaan kegawat daruratan
Ensefalopati hepatikum secara teori
adalah
memperbaiki
oksigenasi
jaringan.
Memperbaiki
keseimbangan elektrolit dan cairan,
serta menjaga agar jangan terjadi
dehidrasi. Pemberian makanan yang
berasal dari protein dikurangi atau
dihentikan sementara dan dapat
kembali diberikan setelah terdapat
perbaikan dan ditingkatkan secara
bertahap.
Selanjutnya
dapat
diberikan laksansia, antibiotika atau
keduanya. Laktulosa
merupakan
suatu disakarida sintetis yang tidak
di absorpsi oleh usus halus, tetapi
dihidrolisis oleh bakteri usus besar
sehingga terjadi lingkungan dengan
PH asam yang akan menghambat
penyerapan amoniak. Selain itu,
waktu defekasi bertambah sehingga
memperpendek
waktu
transit
protein di usus. Pemberian laktulosa
bersama antibiotika yang tidak
diabsorpsi usu akan memberikan
hasil yang lebih baik. 12
Pemberian
antibiotika
dapat
menurunkan
produksi
amonia
dengan
menekan
pertumbuhan
bakteri yang bertanggung jawab
6
16.Parlindungan S. Gangguan
Keseimbangan Cairan dan
Elektrolit. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S,
editor. Buku
Ajar
Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Ke V.
Jakarta:
Pusat
Penerbit
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia;
2009.
hlm.
175-89.
17.Zhan T, Stremmel W. The
diagnosis and treatment of
minimal
hepatic
encephalopathy. Dtsch Arztebl
Int. 2012;109(10):180-7.