Anda di halaman 1dari 10

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan

Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

Judul : Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata:


Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan
Jenis Artikel : Case Report
Penulis
: 1. Asih Sulistiyani
Affiliasi : Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Korespondensi Penulis :
1. Nama
: Asih Sulistiyani
Alamat Lengkap : Jl. Perwira I LK II Tanjung Baru, Sukabumi, Bandar
Lampung
Telepon
: 082182888611
E-mail
: asihsulistiyani@gmail.com

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan


Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis


Dekompensata: Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana
Kegawatdaruratan
Asih Sulistiyani
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Abstrak
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati
akut dan kronik berat. Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan
pasti karena sulitnya penegakan diagnosis,
namun diperkirakan
terjadi pada 30-84%
pasien sirosis hepatis. Patogenesis ensefalopati hepatikum belum sepenuhnya dimengerti,
tetapi amonia memainkan peranan penting di dalamnya. Laki-laki berusia usia 57 tahun
datang dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 5 hari
sebelumnya pasien terlihat gelisah dan linglung serta lebih mudah marah. Pasien sudah
mengalami gejala penyakit hati sejak 1 tahun lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status
generalis kesadaran stupor Glasgow Coma Scale (GCS) 5, didapatkan
adanya asites, spider
nervi, venektasi vena, liver nail, palmar eritema superior, edema pitting, dan reflek fisilogis
menurun. Pemeriksaan
penunjang laboratorium Hb 9,1 g/dl, LED 66 mm/jam, leukosit
11.900/ul, SGOT 87u/l, SGPT 50u/l, albumin 2,6g/dl, globulin 3,4g/dl, HbsAg positif. Pasien
didiagnosis ensefalopati hepatik. Penatalaksaan
farmakologi dengan pemberian injeksi
antibiotik ceftriakson 1 g/12jam dan laktulosa sirup 45mL/sampai terjadi defekasi.
Kata kunci : ensefalopati hepatik,hepatitis,sirosis hepatis

Hepatic Encephalopathy etcausa Decompensata Liver


Cirrhocis: Diagnostic and Emergency Treatment

Abstract
Hepatic encephalopathy (EH) is a neuropsikiatri syndrom which in acute liver disease and
chronik liver disease. In Indonesia, the minimal prevalence of EH (grade 0) are
unknown with certainly because of the difficulty of diagnosis, but its assumed occur
to 30-84%
of patients
with liver cirrhosis.
The pathogenesis
of hepatic
encephalopathy is not fully understood, but ammonia is considered having an important
role in it. A 57-year-old man came with loss of consciousness since a day before being
hospitalized. He was looked restless and irritablesince 5 previous days. The patient had
symptoms of liver disease since one year ago. On physical examination found stupor
awareness of the Glasgow Coma Scale (GCS) 5, the blood pressure 110/70 mmHg, pulse
rate 80x/minute regular, respiratory rate 28x/minute, temperature 36.7C. On physical
examination found the presence of ascites, veins venectation, liver nail, superior
palmar
erythema,
pittingedema,and reflex
physiology
hipotonus.
Laboratory
examination showed Hb 9,1 g/dl, ESR 66 mm/hour, leucocyte 11.900/ul, SGOT
87u/l,
SGPT
50u/l,
albumin
2,6g/dl,
globulin
3,4g/dl,
HbsAg:positive.
Patients
diagnosed
with hepatic encephalopathy. The pharmacological therapy was injection
ofceftriaxon1 g/12 hours and lactulose syrup 45mL/until defecation occured.
Keywords : hepatic encephalopathy, liver cirrhocis, hepatitis

Korespondensi : Asih Sulistiyani, S.Ked., alamat Jl.Perwira I LK II Tanjung Baru, Sukabumi, Bandar
Lampung, HP 082182888611, e-mail asihsulistiyani@gmail.com

Pendahuluan
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan
sindrom neuropsikiatri yang dapat
terjadi pada penyakit hati akut dan
kronik berat dengan manifestasi,
bervariasi dari ringan hingga berat,
mencakup
perubahan
perilaku,
gangguan
intelektual,
serta
penurunan kesadaran tanpa kelainan
pada otak.1
Di Indonesia, prevalensi EH minimal
(grade 0) tidak diketahui dengan
pasti karena sulitnya penegakan
diagnosis, namun diperkirakan terjadi

pada
30%-84%
pasien
sirosis
1
hepatis. Data dari Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo
mendapatkan
prevalensi EH minimal sebesar 63,2%
pada tahun 2009. Data pada tahun
1999
mencatat
prevalensi
EH
stadium 2-4 sebesar 14,9%. Angka
kesintasan 1 tahun dan 3 tahun
berkisar 42% dan 23% pada pasien
yang tidak menjalani transplantasi
hati.2-3
Lebih dari sepertiga pasien sirosis
menjalani

rawat

inap

karena
2

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan


Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

ensefalopati
hepatik.
Prevalensi
terjadinya
ensefalopati
hepatik
adalah sebesar 30-40% dari pasien
sirosis
hati
sedangkan
untuk
ensefalopati
hepatik
minimal
sebanyak 20-80%. Sebanyak 30%
pasien
ensefalopati
hepatik
mengalami kematian.4-5
Kasus
Anamnesis
dilakukan
dengan
alloanamnesis. Laki-laki berusia 57
tahun datang dengan penurunan
kesadaran sejak 1 hari sebelum
masuk
rumah
sakit. Sejak 5 hari
sebelumnya pasien terlihat gelisah
dan bingung serta mudah marah.
Satu bulan sebelumnya, perut pasien
semakin membesar, nafsu makan
manurun, kadang disertai sesak
sejak satu bulan ini,
mual
dan
muntah 1 kali perhari berisi cairan
dan makanan, nyeri kepala, dan
sulit BAB, kedua tungkai bengkak,
BAK pasien berwarna pekat seperti
teh. Sejak 1 tahun ini mata dan
badan pasien kuning, terkadang
BABnya berubah warna menjadi
kehitaman dan muntah berwarna
kecoklatan. Keluarga
menyangkal
adanya riwayat hipertensi, kencing
manis,
trauma,
kejang-kejang,
ataupun
stroke
pada
pasien.
Pasien tidak pernah mengonsumsi
alkohol. Keluarga pasien mengatakan
ayah
pasien
meninggal
karena
penyakit liver yang memiliki gejala
mirip dengan pasien saat ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
satus generalis kesadaran stupor
Glasgow Coma Scale (GCS) 5,
tekanan
darah 110/70 mmHg,
frekuensi nadi
80x/menit reguler,
frekuensi pernapasan 28x/menit,
suhu 36,7C.
Pada pemeriksaan kepala, sklera
terlihat ikterik, konjungtiva anemis.
Pada pemeriksaan abdomen tampak
simetris cembung, venektasi vena,
bising usus normal, timpani pada
puncak abdomen serta shifting
dullnes (+), palpasi dinding perut
tegang, hepar dan lien tidak teraba.
Pada bagian dada ditemukan spider

nervi, pada ekstremitas superior dan


inferior ditemukan liver nail, palmar
eritema pada ekstremitas superior,
dan
edema
pitting
pada
ekstremitas
inferior.
Pada
pemeriksaan neurologis nervus I-XII
tidak ada kelainan, refleks fisiologis
menurun, refleks patologis tidak
ditemukan, rangsang selaput otak
tidak
ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan laboratorium diperoleh
Hb 9,1 g/dl, LED 66 mm/jam,
leukosit 11.900/l, GDS 96 mg/dl,
SGOT 87 u/l, SGPT 50 u/l, albumin
2,6 g/dl, globulin 3,4 g/dl, HbsAg
positif.
Paisen
didiagnosis
dengan
ensefalopati
hepatik.
Penatalaksaanan
pada kasus ini
adalah: (1) perawatan
intensif
dengan cara membebaskan jalan
nafas dengan oropharngeal airway
(OPA); (2) pemberian oksigen (O2)
dengan
nasal
kanul
dengan
kecepatan 4L/menit; (3) memasang
nasogastric tube (NGT)
dan
dower
kateter; (4) pemantauan
kesadaran dan pemberian kalori
2.000 kal/hari yang mencakupi
pemberiaan
nutrisi
secara
enteral
dengan jumlah protein
yang rendah (1,0 g/kgBB/hari); (5)
IVFD D10% 20 tetes/menit serta
pemberian nutrisi parenteral; (6)
pemberian antibiotik ceftriakson
intravena 1 g per 12 jam; (7)
pemberian laktulosa
sirup
45mL/jam
sampai
terjadi
defekasi.
Pembahasan
Berdasarkan

Konsensus
The
Hepatic Encephalopathy Working
Group, diagnosis EH ditegakkan
setelah penyebab gangguan otak
yang lain disingkirkan. Diagnosis
EH harus
dipikirkan
pada
pasien
yang
menunjukkan
gangguan fungsi motorik dengan
tidak ada gangguan metabolik
atau pengaruh obat, dan sistem
neurologis normal. Kecurigaan
yang kuat harus dipikirkan pada
pasien dengan penyakit sirosis
3

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan


Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

hepatis yang mendasarinya dan


dengan
adanya kejadian
6,7
presipitan (pencetus) akut.
Pada pasien penegakkan diagnosis
EH
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pasien memiliki gejala
penyakit hepar yang mengarah ke
sirosis yang merupakan penyebab
utama EH, yaitu gejala seperti mata
dan badan kuning dan BAK seperti
teh yang disebabkan karena adanya
gangguan
metabolisme
bilirubin
intrahepatik
yang
menunjukan
adanya
gangguan
pada
hepar
sehingga kadar biliribiin dalam darah
meningkat, perut pasien membesar
yang disebabkan karena terjadinya
hipertensi porta sehingga terjadi
penumpukan cairan didalam rongga
perut yang mendesak lambung
sehingga
pasien
mengalami
penurunan nafsu makan karena
merasa lekas kenyang. Adanya
peningkatan tekanan pada rongga
abdomen akan mendesak organorgan yang berada di rongga dada
sehingga pasien terkadang merasa
sesak. Pasien juga menggalami BAB
kehitaman dan terkadang muntah
kecoklatan
yang
menandakan
adanya perdarahan saluran cerna
bagian atas yang disebabkan karena
hipertensi porta yang paling sering
terjadi pada pasien sirosis hepatik
adalah pecahnya varises esofagus.
selain
itu
pasien mengalami
konstipasi yang akan meningkatkan
produksi dan absorbsi
amonia
(NH3) akibat kontak yang lama
antara bakteri usus dan substrat
protein,
yang
menyebabkan
terjadinya infeksi yang merupakan
salah satu pencetus terjadinya EH
pada pasien sirosis hepatik.8 selain
itu keluarga mengatakan pasien
tidak memiliki riwayat
hipertensi,
kencing
manis,
trauma, kejangkejang, stroke dan pasien tidak
pernah mengkonsumsi
alkohol
ataupun obat-obatan
sehingga
kecurigaan
akan
gangguan
metabolik serta gangguan neurologis
dan obat-obatan dapat disingkirkan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan


hasil yang mendukung ensefalopati
hepatik akibat sirosis hepatis, yaitu
sklera
terlihat
ikterik
akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam
darah, konjungtiva anemis yang
disebabkan
karena
adanya
perdarahan
gastrointestinal,
abdomen
tampak
cembung,
venektasi vena merupakan hasil dari
hipertensi porta,yang disebabkan
peningkatan
resistansi
intrahepatis. Darah yang
tidak
dapat melewati sistem porta akan
berjalan di vena-vena di sekitar
vena porta, menyebabkan shunting
9
porta-sistemik.
Dinding
perut
tegang, serta shifting dullnes (+).
Pada ekstremitas
superior
dan
inferior ditemukan liver nail, palmar
eritema pada ekstremitas superior,
dan pitting edema pada ekstremitas
inferior. Pada pasien dengan sirosis
hepatis,
edema yang
pertama
akan muncul adalah pada bagian
abdomen.
Hal
ini
karena pada
sirosis
hepatis
terjadi
jaringan
fibrosis
yang
mengakibatkan
terjadinya tahanan pada vena porta
akibatnya
terjadi
peningkatan
tekanan
dari
vena tersebut.
Akibatnya, terjadi pengalihan aliran
darah
ke
pembuluh
darah
mesenterika
sehingga
terjadi
filtrasi
bersih cairan keluar dari
pembuluh
darah
ke
rongga
peritoneum.
Cairan
tersebut
mengandung albumin yang tinggi
sehingga
pada
darah
terjadi
penurunan
kadar
albumin. Pada
keadaan lanjut karena ada kerusakan
pada hepatosit yang menyebabkan
terjadinya kegagalan fungsi hati,
salah satunya adalah gagalnya
sintesis dari albumin. Akibat ketidak
seimbangan yang terjadi, asites
yang terjadi akan semakin jelas.
Asites yang terjadi pada kasus ini
diakibatkan oleh adanya kelainan
pada
organ hati yang terjadi
penimbunan cairan dalam rongga
peritoneum akibat hipertensi porta
10
dan
hipoalbuminemia.
Pada
pemeriksaan neurologis nervus I4

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan


Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

XII tidak ada kelainan, refleks


fisiologis
hipotonus,
refleks
patologis
tidak
ditemukan,
rangsang
selaput
otak
tidak
ditemukan kelainan, serta pasien
tidak mengkonsumsi obat-obatan
yang dapat mencetuskan terjadinya
gangguan neurologis.
Pada

pemeriksaan laboratorium Hb
9,1 g/dl, LED 66 mm/jam, leukosit
11.900/ul, GDS 96 mg/dl, SGOT
87u/l, SGPT 50u/l, albumin 2,6
g/dl,
globulin
3,4 g/dl, HbsAg
positif.
Pada
sirosis
hepatis,
SGOT/SGPT dapat meningkat tapi
tidak terlalu tinggi atau dapat
normal. Albumin menurun sesuai
dengan derajat perburukan sirosis
karena sintesis albumin terjadi di
hati.
Globulin
meningkat pada
sirosis akibat sekunder dari pintasan
antigen bakteri dari sistem porta
ke jaringan limfoid
yang
akan
menginduksi
produksi
immunoglobulin, sehingga terjadi
peristiwa invers antara albumin dan
10
globulin.
Anemia
pada
kasus
dipikirkan
karena
perdarahan
gastrointestinal.
Peningkatan
leukosit dan LED pada kasus
dipikirkan karena adanya infeksi
sekunder.
Berdasarkan
Teori,
penegakan
diagnosis sirosis hepatis adalah
anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.11 Temuan
klinis
sirosis
meliputi
spider
telangiektasis
yaitu
suatu
lesi
vaskular yang dikelilingi beberapa
vena-vena kecil, eritema palmaris
yaitu warna merah saga pada thenar
dan hipothenar, ginekomatia, ascites,
splenomegali, ikterus, adanya tandatanda perdarahan saluran cerna
bagian atas akibat hipertensi pota
seperti hematemesis dan melena.
Pemeriksaan penunjang pada sirosis
hepatis
adalah
pemeriksaan
laboratorium darah rutin menunjukan
adanya anemia atau leukosiosis
akibat
infeksi
sekunder
yang
mungkin terjadi. Pemeriksaan fungsi
hati yaitu aspartat aminotransferasi

(AST) atau serum glutamil oksalo


asetat
(SGOT)
dan
alanin
aminotransferase (ALT) atau serum
glutamil piruvat transaminase (SGPT)
meningkat tapi tidak terlalu tinggi.
Albumin kadarnya menurun siring
dengan perburukan hepar karena
sintesis albumin terjadi di jaringan
hepar. Globulin kadarnya meningkat
pada sirosis hepatis, akibat sekunder
dari pintasan, anntigen bakteri dari
sistem porta ke jaringan limfoid yang
menginduksi
produksi
immunoglobulin.
Pemeriksaan
penunjang
lainya
adalah
Ultrasonografi (USG) yang secara
rutin
digunakan
karena
pemeriksaanya bersifat non-invasif
dan mudah digunakan. Pemeriksaan
hepar yang bisa dinilai dengan USG
meliputi sudut hati, permukaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya
massa. Pada sirosis hepatis, hepar
mengecul dan nodularpermukaan
irreguler, dan ada peningkatan
ekogenitas parenkim hati. Selain itu
USG juga dapat melihat adanya
asites, splenomegali, trombosis vena
porta dan pelebaran vena porta,
serta skrining adanya karsinoma
hepar pada pasien sirosis. Namun,
USG dianggap kurang sensitive untuk
penegakan
diagnosis
sirosis
hepatis.11 Diagnosis pasti sirosis
hepatis adalah dengan biopsi hepar
dan ditemukanya sel hepatosit yang
mengalami nekrosis.12
Pada
pasien
tidak
dilakukan
pemeriksaan USG dan biopsis hati
kan tetapi diagnosis sirosis hepatis
pada pasien ini dapat ditegakkan
karena didapatkan temuan klinis
yang khas terjadi pada sirosis
hepatis, selain itu riwayat penyakit
pasien yang menggarah ke pnyakit
hati kronis serta HbsAg yang positif
yang
merupakan
faktor
resiko
terjadinya sirosis hepatis.1
Ensefalopati Hepatikum ditegakkan
setelah penyebab gangguan otak
yang lain disingkirkan. Diagnosis
EH harus dipikirkan pada pasien
yang menunjukkan gangguan fungsi
motorik dengan tidak ada gangguan
5

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan


Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

metabolik atau pengaruh obat, dan


sistem neurologis normal. Pada
tahap yang paling ringan EH
menunjukan gangguan pada tes
psikometrik terkait dengan atensi,
memori
jangka
pendek
dan
kemampuan visuospasial. Seiring
berjalanya
penyakit
EH
memperlihatkan perubahan tingkah
laku dan kepribadian. Penegakan
diagnosis EH dilakukan dengan
pemeriksaan
MMSE,
Number
connecting test (NCT), NCT-A dan
NCT-B,
maupun
critical
Flicker
Frequency
(CFF)
namun
pemeriksaan
ini
masih
sulit
dilakukan di Indonesia. Pemeriksaan
penunjang EH yang lain adalah
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
serta
Elektroensefalografi
(EEG)
untuk
menyingkirkan
adanya
kelainan pada otak. Pemeriksaan
EEG
pada
pasien
EH
akan
menunjukan adanya perlambatan
(penurunan frekuensi gelombang
alfa) aktivitas otak. Pemeriksaan lain
yaitu pemeriksaan kadar amonia
dalam darah yang meningkat (>100
mg/100
ml)
dapat
menjadi
parameter keparahan pasien dengan
EH, namun pemeriksaan ini juga
belum menjadi pemeriksaan standar
di Indonesia.1
Pada kasus, pasien mengalami
penurunan
kesadaran
serta
penurunan refleks fisiologis akan
tetapi
refleks
patologis
tidak
ditemukan, sehingga ensefalopati
akibat kelainan di otak dapat
disingkirkan. Pasien
juga tidak
mengkonsusmsi obat-obatan yang
dapat mencetuskan EH, sehingga
ensefalopati pada pasien disebabkan
karena adanya gangguan pada
hepar. Faktor-faktor
presipitasi
yang
sering
terjadi
pada
ensefalopati hepatik dibagi menjadi
tiga jenis yaitu; (1) episodic seperti
infeksi, perdarahan saluan cerna
atas,
penggunaan
berlebihan
diuretik,
kelainan
elektrolit,
konstipasi dan tidak diketahui; (2)
recurrent yaitu jika kejadian EH
berulang kurang dari 6 bulan,
seperti
keainan
elektrolit,infeksi,

tidak
teridentifikasi,
konstipasi,
penggunaan
diuretik
dan
perdarahan
saluran
cerna; (3)
persistent jika perubahan perilaku
selalu
didapatkan; (5) Faktor
presipitasi lain seperti dehidrasi,
diet tinggi protein dan pengaruh
obat yang mempengaruhi sistem
saraf pusat serta penyakit lain
seperti hepatocelular carcinoma. 7
Presipitasi
lainnya
termasuk
konstipasi,
alkalosis,
dan
kekurangan kalium yang disebabkan
oleh diuretik, opioid, hipnotik dan
sedatif: obat yang mengandung
ammonium atau senyawa amino,
paracentasis dengan hipovolemia
yang menyertai, dan shunt porto
systemic
(termasuk transjugular
intrahepatic portosystemic shunt).13
Ensefalopati
hepatikum
dengan
penurunan
kesadaran
mencapai
GCS
<8
termasuk
dalam
kegawatdaruratan. Secara umum
penatalaksanaan kegawat daruratan
Ensefalopati hepatikum secara teori
adalah
memperbaiki
oksigenasi
jaringan.
Memperbaiki
keseimbangan elektrolit dan cairan,
serta menjaga agar jangan terjadi
dehidrasi. Pemberian makanan yang
berasal dari protein dikurangi atau
dihentikan sementara dan dapat
kembali diberikan setelah terdapat
perbaikan dan ditingkatkan secara
bertahap.
Selanjutnya
dapat
diberikan laksansia, antibiotika atau
keduanya. Laktulosa
merupakan
suatu disakarida sintetis yang tidak
di absorpsi oleh usus halus, tetapi
dihidrolisis oleh bakteri usus besar
sehingga terjadi lingkungan dengan
PH asam yang akan menghambat
penyerapan amoniak. Selain itu,
waktu defekasi bertambah sehingga
memperpendek
waktu
transit
protein di usus. Pemberian laktulosa
bersama antibiotika yang tidak
diabsorpsi usu akan memberikan
hasil yang lebih baik. 12
Pemberian
antibiotika
dapat
menurunkan
produksi
amonia
dengan
menekan
pertumbuhan
bakteri yang bertanggung jawab
6

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan


Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

menghasilkan amonia sebagai salah


satu faktor presipitasi EH. Selain itu
antibiotik juga memiliki efek anti
inflamasi
dan
downregulation
aktivitas glutaminase. 1
Penatalaksanaan non farmakologi
pada kasus ini, yaitu pemasangan
oropharngeal
airway
serta
pemberian oksigen nasal kanul
dengan kecepatan (O2) 4 L/menit
bertujuan untuk mempertahankan
jalan napas agar tetap terbuka dan
menahan pangkal lidah agar tidak
jatuh
kebelakang
yang
dapat
menutup jalan napas pada pasien
serta pemberian oksigenasi yang
adekuat.
Indikasi
pemasangan
oropharngeal
airway
hanya
diperbolehkan pada pasien dengan
penurunan
kesadaranatauGCS8.
Pada kasus ini pasien mengalami
penurunan kesadaran yaitu dengsn
skore GCS 5 yang merupakan
indikasi
untuk
pemasangan
14
orophageal airway.
Pemasangan NGT bertujuan untuk
memudahkan
pemberian
nutrisi
secara enteral karena pada kasus
terjadi penurunan kesadaran yang
merupakan
salah
satu
indikasi
pemasangan
NGT
sehingga
kebutuhan energi dapat tercukupi
sekaligus memudahkan
dalam
pemberian
obat. Nutrisi
enteral
per selang makan sangat penting
untuk saluran cerna karena dapat
mencegah
atrofi vili usus serta
tetap menjaga kelangsungan fungsi
usus. Pembatasan jumlah asupan
protein bertujuan untuk mencegah
peningkatan kadar amonia dalam
darah yang masuk ke otak. Pada
EH derajat II-III, pemberian jumlah
protein yang dapat diberikan 1,01,5 g/kg/BB/hari, sedangkan pada
EH
derajat
III-IV asupan protein
yang
dapat
diberikan
0,5-1,2
g/kg/BB/hari.
Pada
ensefalopati
hepatik
pemberian dekstrosa 10%
atau maltosa 10% diberikan sebagai
sumber
kalori,
dan
koreksi
gangguan
keseimbangan
14,15
elektrolit.

Pemasangan dower kateter pada


kasus bertujuan untuk memantau
pengeluaran
urin dan
sekaligus
melihat keseimbangan
antara air
yang masuk ke dalam dan air yang
keluar dari
tubuh.
Pada
kasus
terjadi edema pada tungkai
dan
asites
karena
terjadinya
peningkatan
volume
cairan
intersisium. Pada penyakit hati
kronik seperti sirosis hati terjadi
retensi
natrium
sekunder
(kompensasi)
hal
ini
dilakukan
oleh
tubuh
untuk
memenuhi
volume sirkulasi efektif menjadi
normal kembali guna optimalisasi
perfusi jaringan, sehingga perlu
dilakukan pemantauan pengeluaran
urin agar tidak terjadi
retensi
16
cairan tubuh.
Pemberian laktulosa pada kasus
adalah sebagai laksatif yang dapat
menyebabkan penurunan sintesis
dan
uptake
amonia
dengan
menurunkan pH kolon dan juga
mengurangi uptake glutamin. Selain
itu,
laktulosa
diubah
menjadi
monosakarida oleh flora normal
yang digunakan sebagai sumber
makanan sehingga pertumbuhan
flora normal usus akan menekan
bakteri lain yang menghasilkan
12,17
urease.
Pada kasus diberikan antibiotik
ceftriaxone,
selain
untuk
menurunkan produksi amonia, hasil
laboratorium pasien menunjukan
adanya peningkatan leukosit dan
LED yang menunjukan adanya
infeksi sekunder. Antibiotik
yang
menjadi
pilihan saat ini adalah
rifaximin berspektrum
luas dan
diserap secara minimal. Dosis yang
diberikan adalah 2 x 550 mg
dengan
lama pengobatan
3-6
bulan.
Rifaximin
dipilih
menggantikan antibiotik
yang
telah digunakan pada pengobatan
HE sebelumnya, yaitu neomycin,
metronidazole, paromomycin, dan
vancomycinoral
karena
rifaximinmemiliki
efek samping
7

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan


Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

yang lebih sedikit dibandingkan


antibiotik lainnya. Antibiotik yang
diberikan pada
kasus
yaitu
ceftriakson
karena ketersediaan
rifaximin
sangat
terbatas
di
Indonesia dan memiliki harga
1,12
yang cukup tinggi.
Simpulan
Penegakan diagnosis pasti
sirosis hepatis adalah dengan
biopsi hati, akan tetapi biopsi hati
tiddak diperlukan jika secara
klinis, pemeriksaan laboratoris
dan
radiologi
menunjukan
kecenderungan Sirosis hepatis.
Penegakan diagnosis pasti
ensefalopati hepatikum belum
ditemukan, akan tetapi perlu
dipikirkan diagnosis EH pada
penderita sirosis hepatis yang
mengalami
gangguan
fungsi
motoriik.
Prinsip Tatalaksana kegawat
daruratan ensefalopati hepatik
adalah memperbaiki oksigenasi
jaringan
dan
menurunkan
produksi
amonia
dengan
pemberian
laktulosa
dan
antibiotika.
Daftar Pustaka
1. Hasan I, Abirianty P. Araminta.
2014.
Divisi
Hepatologi,
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam.Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia/RSUPN
Cipto Mangunkusumo
2. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I.
Prevalensi Ensefalopati
Hepatik Minimal di
Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo
pada Bulan Mei-Agustus 2009.
KOPAPDI; 2009.
3. Jubir N. Koma hepatik. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi
B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Ke V. Jakarta: Pusat
Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009 hlm.667-80.
4. Mullen KD. The Treatment of
Patients
With
Hepatic

Encephalopathy: Review of the


Latest Data from EASL 2010.
Gastroenterol
Hepatol.
2010;6(7):1-16.
5. Munoz
SJ.
Hepatic
Encephalopathy. Medical Clinics
of North America. 2008; 92(4):
795-812.
6. Garg H, Kumar A, Garg V,
Sharma P, Sharma BC, Sarin SK.
Clinical profile and predictors
of mortality
in patients of
acute on chronic liver failure.
Digestive and Liver Disease.
2012; 44(2):166-71.
7. Robert S. Rahimi, Don C. Rockey.
Complications of Cirrhosis. Curr
Opin
Gastroenterol.
2012;
28(3):223-9.
8. Riggio O, Ridola L, Pasquale C.
Hepatic encephalopathy therapy:
An overview. World J Gastrointest
Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63.
9. Bajaj
JS,
Pinkerton
SD,
Sanyal
AJ,
Heuman
DM.
Diagnosis and treatment of
minimal
hepatic
encephalopathy
to prevent
motor vehicle accidents: a
cost
effectiveness
analysis.
Hepatology.
2012;55(4):1164-71.
10.Kasper
DL, Braunwald
E,
Fauci AS, Hauser SL, Longo
Dl, Jamerson JL. Harrisons
principles
of
internal
th
medicine.
16 edition.
New
York:
McGraw-Hills;
2005. hlm. 1483-95.
11.Nurjanah S. Sirosis Hepatis.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S,editor.
Buku
Ajar
Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Ke V.
Jakarta:
PusatPenerbit
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009 hlm. 445-8.
12.
13.Lawrence
S
and
Friedman.
Liver
,
Biliary
Tract,
andPancreas
Disorders.
In:
Papadakis MA, McPhee SJ, and
Rabow
MW (Eds).
Current
8

Asih Sulistiyani | Ensefalopati Hepatik etcausa Sirosis Hepatis Dekompensata: Pendekatan


Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan

Medical Diagnosis &T reatment


49th
edition.
New
Y ork:
McGraw HillLange; 2010: pp.
622-623.
14.Roppolo LP, Davis D, Kelly
SP,
Rosen
P.
Airway
management.
In:Emergency
Medicine
Handbook Critical
Concept for Clinical Practice.
Philadelphia: Elseiver; 2007.
hlm. 25-43.
15.Poh Z and Chang PEJ. A
current
review
of
the
diagnostic
and
treatment
strategies
of
hepatic
encephalopathy.
International
Journal
of
Hepatology. 2012; 44(2): 1507.

16.Parlindungan S. Gangguan
Keseimbangan Cairan dan
Elektrolit. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S,
editor. Buku
Ajar
Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Ke V.
Jakarta:
Pusat
Penerbit
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia;
2009.
hlm.
175-89.
17.Zhan T, Stremmel W. The
diagnosis and treatment of
minimal
hepatic
encephalopathy. Dtsch Arztebl
Int. 2012;109(10):180-7.

Anda mungkin juga menyukai