Anda di halaman 1dari 7

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr.

Stevens dan
dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis
Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).

Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).Sekarang
sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun
yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan.Pada lebih dari setengah
kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.

B. Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:

a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

 Penisilline dan semisentetiknya


 Sthreptomicine
 Sulfonamida
 Tetrasiklin
 Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol)
 Kloepromazin
 Karbamazepin
 Kirin Antipirin
 Tegretol

b) Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

c) Neoplasma dan faktor endokrin

d) Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

e) Makanan
C. Manifestasi Klinis

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat
berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka
dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak
rata.Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit
lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada
banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh
sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok.

Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya.

Gejala awal termasuk :

o ruam

o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

o bengkak pada kelopak mata, atau mata merah

o konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola
mata)

o demam terus-menerus atau gejala seperti flu

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

a) Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga terjadi purpura.Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.

b) Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk
pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang
tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

c) Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis
dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,
misalnya: nefritis dan onikolisis.

Komplikasi :

Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara


seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi.

PATOFISIOLOGI

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh


kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan
sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang
dapat diidentifikasi.

Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat
dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen
hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian
serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801
– frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.

E. Pemeriksaan laboratorium

a. Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan


diagnosis.

b. CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau
leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi
bakteri.

c. Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20

Tes lainnya:

 Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
 Adanya nekrosis sel epidermis
 Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular

F. DIAGNOSA

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman
serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa
kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari pada SSJ.

G. Penatalaksanaan

 Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan


cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SSJ sama dengan pasien luka bakar.
 Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
 Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
 Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
 Penatalaksanaan SSJ bersifat simtomatik dan suportif.Mengobati lesi pada mulut
dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri.daerah
yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow
solution
 Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi.Obat
penyebab harus dihentikan.
 Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.

Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS.
Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan
lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan
analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini.

Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang
terkelupas/terbuka.Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine
lotion.Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat
menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat
lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang
berhasil.

Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam


mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain
diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan
tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris
harus dikonsultasikan secepatnya,

Oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang
kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan
mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan
pulang dari rumah sakit.

 Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40
mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan


Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x
500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek
katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak
tergantung berat badan).

 Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan


kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

 Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.

 Topikal

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

H. Pengobatan SSJ/TEN

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai
penyebab reaksi. Dengan tindakan ini,kita dapat mencegah keburukan.

Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit
rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien
SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan
dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.Obat nyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/TEN. Beberapa
dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi
manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan
sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan
sistem kekebalan yang sudah lemah.

PROGNOSIS

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%.Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala
SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.Outcome
lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian

Anda mungkin juga menyukai