Anda di halaman 1dari 8

Instabilitas Hemodinamik

Oleh : Charu Mahajan, Hemanshu Prabhakar

Departemen Neuroanestesiologi dan Perawatan Kritis, All India Institute Ilmu Kedokteran,
New Delhi, India

Tujuan utama dari manajemen anestesi pasien neurosurgical adalah menjaga


kecukupan dari tekanan perfusi serebral (CPP) untuk mencegah adanya kerusakan sekunder
ke otak dan medulla spinalis. Instabilitas hemodinamik seringkali terjadi intraoperative
maupun postoperative, dan dapat muncul dalam bentuk hipotensi maupun hipertensi yang
disertai dengan perubahan denyut jantung. Secara spesifik yang berhubungan dengan otak,
hipotensi dapat menurunkan aliran darah serebral (CBF) yang dapat menyebabkan iskemia,
sedangkan hipertensi dapat meningkatkan CBF yang berhubungan dengan kenaikan tekanan
intrakrainal (ICP) dan edema, dan mungkin dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.
Adanya pengaruh antara faktor sistemik, neurogenic, dan kardiogenik adalah yang
menyebabkan ketidakstabilan tekanan darah (BP)

Pencegahan

Positioning intraoperative secara hati – hati, monitoring tanda – tanda vital, menjaga
kecukupan tekanan vena sentralm dan hematokrit adalah hal yang diperlukan untuk
mencegah variabilitas hemodinamik intraoperative. Monitoring tekanan darah arteri dengan
tranducer yang diletakkan pada meatus auditori eksternus dapat memberikan pengukuran
akurat per denyutnya. Monitoring cardiac output non invasive dapat digunakan pada pasien
dengan komorbitas penyakit jantung sebelumnya.

Tabel 1. Alasan instabilitas hemodinamik pada pasien neurosurgical

Hipertensi Hipotensi
Sistemik Sistemik
 Hipertensi esensial  Riwayat cardiomiopati
 Laringoskopi dan intubasi  Aritmia
 Insisi  Gagal jantung
 Pin fixation  MI
 Kadar anestesi yang rendah  Hypovolemia akibat penurunan
intake, diuretic, diabetes insipidus,
 Nyeri cerebral salt wasting syndrome¸
 Hipercarbia perdarahan dari perlukaan sistemik,

 Distensi vesika urinaria kehilangan darah durante operasi

 Neuropati autonomy (co. Guillain-  Penggunaan obat anestesi

Barre Syndrome)  Anafilaksis


 Sepsis
Neurosurgical  Tension pneumothorax
 Peningkatan TIK : tumor, ICH,  Tamponade cardiac
SAH, AIS, TBI  Insufisiensi adrenal
 Brain stem handling  Neuropathy autonomy
 Emergensi
 Induksi hipertensi untuk vasospasme Neurosurgical
 Postcarotid endarterectomy  Neurogenic stunned myocardium
 Disrefleksia autonomy (SCI diatas  Shock spinal
T6)  Stimulasi karotis
 TCR
 Brain stem handling
 Lesi hipotalamus
 Kegagalan kelenjar hipofisis
Bradikardia Takikardia
 Sebagai bagian dari refleks cushing  hypovolemia
(bradikardi, hipotensi, dan gangguan  Kehilangan darah mendadak
respirasi)  Nyeri
 Brain stem handling durante operasi  Demam
 Bagian dari TCR  Hypercarbia
 Stimulasi vagal  Penggunaan anestesi yang ringan
 Acute spinal shock  Brain stem handling
 Disrefleksia autonomy  Penyebab kardiak
 Gangguan konduksi jantung  Penggunaan obat – obatan
 Obat – obatan (CCB, beta bloker, (antikolinergik, adrenalin, dopamine,
digitalis, dsb) dsb)
 Hipotiroidisme  hipertiroidisme
 Hipotermia
 hipoksia

Instabilitas hemodinamik pada situasi spesifik

Kraniotomi untuk eksisi tumor

Brain stem handling selama eksisi tumor seringkali dilakukan, dan hal tersebut malah
bermanifestasi menjadi hipertensi atau hipotensi, bradikardi atau takikardi (tabel 2). Dokter
bedah harus secara cepat diberitahu sehingga rangsangan prosedur bedah dapat dikurangi.
Tidak dianjurkan untuk pemberian tatalaksana farmakologis karena hal tersebut dapat
mengaburkan prosedur brain stem handling selanjutnya. Kehilangan darah masif dapat
menyebabkan hipotensi hipovolemik dan membutuhkan cairan, darah, dan resusitasi. Refleks
trigeminocardiac (TCR) dapat menyebabkan terjadinya bradikardi dan hipotensi akibat
adanya stimulasi dari cabang sensorik apapun dari nervus trigeminus selama perjalanannya di
intracranial atau ekstracranial.1 Biasanya refleks ini akan hilang dengan sendirinya jika
stimulasi dihentikan, namun pada beberapa kasus yang parah, diperlukan pemberian obat
vagolitik. Namun, harus diingat bahwa TCR dapat juga bermanifestasi sebagai pressor
response.2 Pada tahap akhir penutupan kraniotomi, tekanan negative diberikan via alat vakum
yang dihubungkan dengan drain yang diletakkan di ruang ekstradural dilaporkan dapat
memberikan penurunan mendadak pada TIK, yang menyebabkan terjadinya bradikardi.3

Tabel 2. Respon hemodinamik selama stimulasi struktur4

Struktur Respon
Stimulasi nervus trigeminus Hipotensi dan bradikardi, atau hipertensi
dan takikardi
Stimulasi nervus vagus Hipotensi dan atau bradikardi
Brain stem handling Hipotensi / hipertensi, bradikardi / takikardi

Carotid endarterectomy

Insidensi hipertensi dan hipotensi setelah prosedur carotid endarterectomy adalah 9%


dan 12%.5 Hipertensi preoperative merupakan faktor resiko signifikan untuk terjadinya
hipertensi post operatif, yang menyebakan terjadinya kenaikan insidensi deficit neurologis
dan kematian operasi.5,6 Walaupun begitu, diketahui 21% dari pasien normotensi mengalami
kenaikan tekanan darah selama periode post operasi.6 Hipertensi post operasi dapat
menyebabkan pembentukan hematoma di leher area operasi, cerebral perfusion syndrome,
atau infark miokard (MI). Sindrom hiperperfusi dicirikan dengan munculnya nyeri kepala,
kejang, tanda neurologis fokal, edema otak, dan perdarahan intraserebral. Denervasi badan
karotis saat periode operasi adalah alasan dari variabilitas tekanan darah selama dan setelah
operasi. Saat dilakukan diseksi dari arteri karotis komunis, pencegahan harus dilakukan untuk
mencegah kerusakan nervus vagus dan sinus karotikus.7 Cross-clamping dari arteri karotis
intraoperative dapat menurunkan CBF, yang menyebabkan aktivasi baroreseptor dan
mekanisme kompensasi yang meningkatkan tekanan arteri. Dengan penggunaan shunt atau
menghilangkan clamp, tekanan normal dapat diperoleh kembali. Bradikardi dan hipotensi
dapat terjadi intraoperative selama peregangan dari sinus karotis. Infiltrasi carotid sheath
dengan anestesi local dapat megurangi gangguan hemodinamik akibat adanya manipulasi dari
arteri karotis. Saat post operasi, hipotensi lebih jarang terjadi, namun dapat terjadi akibat
adanya hipersensitifitas badan karotis atau efek overtreatment dari penggunaan obat
antihipertensi. Biasanya hal ini akan berespon terhadap cairan atau vasopressor dosis rendah.
Namun, jika gagal merespon, diagnosis MI harus disingkirkan.

Perdarahan sub arachnoid

Perdarahan spontan dari aneurisma dapat meningkatkan TIK, yang menyebabkan


iskemia dari hipotalamus. Hal ini menyebabkan stimulasi simpatis terus – menerus, yang
meningkatkan tekanan arteri untuk menjaga CPP. Namun, lonjakan katekolamin ini juga
menyebabkan injury pada miokard, yang bermanifestasi sebagai spektrum dari nyeri dada,
dispneu, hipoksemia, disfungsi sistolik ventrikel kiri, syok kardiogenik dengan edema pulmo,
serta peningkatan marker jantung. Pasien – pasien tersebut mungkin membutuhkan
monitoring cardiac output untuk manajemen hipotensi. Pada periode post operatif, hipertensi
terapeutik mungkin dilakukan untuk mengobati vasospasme jika tidak ada masalah pada
jantung. Hal ini membutuhkan cairan dan obat – obatan seperti dopamine, dobutamine,
fenilefrin, atau noradrenaline.

Prosedur minimal invasive

Prosedur endoskopi menjadi faktor resiko tinggi untuk munculnya bradikardi dan
hipertensi akibat adanya peningkatan TIK akibat inflow kontinu dari irigasi cairan melalui
neuroendoskop. Stimulasi dari dasar ventrikel 3 atau distorsi dari hipotalamus posterior
mungkin juga menyebabkan terjadinya bradikardi.8 Stimulasi dari nucleus subthalamikus
diketahui dapat menjadi penyebab meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah dah harus
diingat selama masa deep brain stimulation.9

Tatalaksana hipertensi

Penyebab hipertensi harus dicari dan ditatalaksana secara adekuat. Refleks Cushing
merupakan mekanisme protektif yang mana tekanan darah berusaha untuk dinaikkan diatas
TIK untuk mempertahankan CPP. Oleh karena itu, menurunkan TIK harus menjadi Langkah
pertama dalam kasus tersebut. Selama intraoperative, harus dipastikan bahwa kedalaman
anestesi dan analgesi adekuat. Selain itu, dokter bedah juga harus diinformasikan jika terjadi
perubahan mendadak dari tekanan arteri.

Hipertensi emergensi dapat dicegah dengan ekstubasi trakea pada level yang lebih
dalam atau dengan penggunaan obat – obatan. Karena fenomena ini terjadi sementara,
penggunaan beta bloker kerja pendek secara efektif dapat mengontrol BP tanpa mengganggu
ekstubasi pasien.

Pada kasus di mana seluruh alasan hipertensi sudah disingkirkan dan kontrol BP
diperlukan, maka obat – obatan dapat diberikan. Seperti diketahui, terdapat macam – macam
agen yang digunakan untuk mentatalaksana hipertensi dan efeknya terhadap hemodinamik
cerebral (tabel 3). Penghambat kanal kalsium, nitrogliserin, sodium nitroprusside, dan
hydralazine mungkin melewati sawar darah otak dan meningkatkan CBF, TIK, dan
mengganggu autoregulasi.

Tabel 3. Agen anti hipertensi

Simpatolitik
Penghambat beta adrenergic : metoprolol, Tidak ada efek pada ICP; hati – hati dalam
esmolol, campuran antagonis alfa dan beta pemberian selama refleks cushing : dapat
adrenergic labetalol menyebabkan bradikardi
Antagonist alfa adrenergic : phentolamine Menurunkan CBF jika CPP menurun
signifikan
Clonidine Menurunkan CBF dengan bekerja langsung
pada alfa 2 pada pembuluh darah serebral 10
ACE inhibitor : captopril, enalapril, Menyebabkan pergeseran ke kiri dari kurva
lisinopril, ramirpil autoregulasi dengan pemendekan fase
plateau 11
Angiotensin receptor blockade : losartan Menjaga CBF, memiliki peran dalam pasien
hipertensi dengan riwayat stroke
Penghambat kanal kalsium : diltiazem, Menyebabkan vasodilatasi serebral dan
nikardipin, nifedipine, verapamil, felodipine mungkin meningkatkan TIK 11
Vasodilator : hydralazine, NTG, SNP Vasodilatasi serebral  meningkatkan CBV
dan meningkatkan TIK dengan menurunkan
MAP dan CPP
Diuretic : thiazide, loop diuretic, potassium Mungkin bisa ditambahkan dengan obat
– sparing diuretics lain, jika pasien sudah menggunakan
diuretic osmotic, dapat dihindari
penggunaannya

Tatalaksana hipotensi

 Temukan dan tatalaksana penyebabnya


 Lapangan operasi harus secara kontinu dinilai untuk jumlah kehilangan darah.
Resusitasi harus dilakukan dengan cairan dan darah apabila diperlukan.
 Tatalaksana farmakologis : fenilefrin merupakan vasokonstriktor dan dapat
menyebabkan refleks bradikardi. Biasanya obat ini sering dugunakan untuk
maintenance tekanan darah pasien dengan traumatic brain injury (TBI), pasien post
operasi, dan untuk menginduksi hipertensi pada pasien perdarahan subarachnoid
dengan vasospasme. Dopamin, epinefrin, dan norepinefrin merupakan kelompok
vasokonstriktor – inotropic. Norepinefrin meningkatkan tekanan darah dengan
vasokonstriksi perifer, dan tidak seperti epinefrin dan dopamine, obat ini tidak
meningkatkan denyut jantung. Namun, jika terjadi defek pada sawar darah otak, kerja
aktifitas beta mimetic dapat meningkatkan metabolisme serebral dan aliran darah.
Dobutamine dan milrinone adalah inotropic yang bekerja sebagai vasodilator yang
bermanfaat pada pasien dengan cardiac output yang rendah. Saat ini, dari literatur
yang sudah ada tidak ada rekomendasi khusus untuk menggunakan vasopressor
tertentu. Walaupun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa norepinefrin lebih
efisien untuk menjaga tekanan perfusi serebral, walaupun buktinya belum kuat.12
Manajemen Bradikardi dan Takikardi

Ada alasan mengapa bradikardi dan takikardi harus dicari penyebabnya dan dilakukan
tatalaksana. Hal ini dikarenakan adanya traksi dan stimulasi dari struktur otak dapat
menyebabkan perubahan ini Apabila terjadi bradikardi atau takikardi, dokter bedah harus
diminta untuk menunda stimulus. Efek ini biasanya terjadi sementara dan dapat menghilang
dengan sendirinya.

Bradikardi pada pasien asimtomatik tidak membutuhkan tatalaksana khusus. Namun,


jika berhubungan dengan adanya hipotensi dan gejala lain dari gangguan perfusi, maka hal
tersebut harus segera ditatalaksana. Isoprenaline dan atropine seringkali digunakan untuk
tujuan ini. Pada kasus refrakter, penggunaan transcutaneous pacing dapat dipertimbangkan.
Takikardi dengan hipertensi dapat ditatalaksana dengan penggunaan beta bloker kerja
pendek. Selain itu, penyebab kardiak yang menyebabkan takikardi juga harus ditatalaksana
sesuai penyebabnya.

Referensi :

1. Arasho B, Sandu N, Spiriev T, Prabhakar H, Schaller B. Management of the


trigeminocardiac reflex: facts and own experience. Neurol India. 2009;57:375–380.
2. Meng Q, Zhang W, Yang Y, et al. Cardiovascular responses during percutaneous
radiofrequency thermocoagulation therapy in primary trigeminal neuralgia. J
Neurosurg Anesthesiol. 2008;20:131–135.
3. Wasnick JD, Lien CA, Rubin LA, Fraser RA. Unexplained bradycardia during
craniotomy closure. The role of intracranial hypotension. Anesth Analg.
1993;76:432–433.
4. Black S, Cucchiara RF. Tumor surgery. In: Cucchiara RF, Black S, Michenfelder JD,
eds. Clinical Neuroanesthesia. New York: Churcill Livingstone; 1998:343.
5. Wong JH, Findlay JM, Suarez Almazor ME. Hemodynamic instability after carotid
end-arterectomy: risk factors and associations with operative complications.
Neurosurgery. 1997;41:35–41.
6. Towne JB, Bernhard VM. The relationship of postoperative hypertension to
complications following carotid endarterectomy. Surgery. 1980;88:575–580.
7. Biller J, Feinberg WM, Castaldo JE, et al. Guidelines for carotid endarterectomy: a
statement for healthcare professionals from a special writing group of the stroke
council, American Heart Association. Circulation. 1998;97(5):501–509.
8. El-Dawlatty AA, Murshid WR, Elshimy A, Maqboul MA, Samarkandi A, Takrouri
MS. The incidence of bradycardia during endoscopic third ventriculostomy. Anesth
Analg. 2000;91:1142–1144.
9. Kaufmann H, Bhattacharya KF, Voustianiouk A, Gracies JM. Stimulation of the
subthalamic nucleus increases heart rate in patients with Parkinson disease.
Neurology. 2002;59:1657–1658.
10. 10. Coughlan MG, Lee JG, Bosnjak ZJ, Schmeling WT, Kampine JP, Warltier DC.
Direct coronary and cerebral vascular responses to dexmedetomidine. Significance of
endogenous nitric oxide synthesis. Anesthesiology. 1992;77:998–1006.
11. 11. Tietjen CS, Hurn PD, Ulatowski JA, Kirsch JR. Treatment modalities for
hypertensive patients with intracranial pathology: options and risks. Crit Care Med.
1996;24:311–322.
12. 12. Steiner LA, Johnston AJ, Czosnyka M, et al. Direct comparison of
cerebrovascular effects of norepinephrine and dopamine in head injured patients. Crit
Care Med. 2004;32:1049–1054.

Anda mungkin juga menyukai