STEMI Inferior
Onset > 24 Hours KILLIP II
DISUSUN OLEH :
Andi Idil Saputra C111 12 059
Andi Saputri Majid C111 12 057
Nurhafidah Mahfudz C111 12 058
Hartati Hamzi C111 12 062
SUPERVISOR :
Dr. dr. Abdul Hakim, Sp.JP, FIHA
1
LEMBAR PENGESAHAN
Supervisor Pembimbing,
2
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
TanggalLahir / Usia : 31-12-1954/ 61tahun
No.RekamMedis : 754466
Pendidikan : SMP sederajat
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Mattoanging
Telp/HP : 085340432660
Masuk RS : 19-4-2016 (17.56 Wita)
B. ANAMNESIS
KeluhanUtama
Nyeri Dada Kiri
Nyeri dada sebelah kiri dialami sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit, terutama 1 hari sebelum masuk rumah sakit (18-4-2016). Nyeri dada
lengan kiri dan leher. Durasi nyeri sekitar lebih dari 20 menit.Pasien juga
mengeluhkan keringat dingin saat serangan datang. Ada sesak napas, DOE(+),
konsumsi OAT tuntas sekitar setahun yang lalu. Riwayat merokok ada, riwayat
konsumsi alkohol
C. PEMERIKSAAN FISIK
KeadaanUmum
Sakit sedang/gizi kurang/GCS 15 (compos mentis)
Status Antropometri
-
Tinggi Badan : 161 cm
-
Berat Badan : 45 kg
-
Indeks Massa Tubuh : 17,3 kg/m2
3
Tanda-tanda Vital
-
Tekanan darah : 120/70 mmHg
-
Frekuensi nadi : 100 kali/menit, reguler
-
Frekuensi napas: 28 kali/menit
-
Suhu (aksilla) : 36,5oC
Kepala
Telinga Hidung
4
Mulut
Leher
Dada
Buah dada : Simetris kira sama dengan kanan, tidak ada kelainan
Pulmo
Jantung
5
Palpasi : Ictus cordis teraba
Abdomen
Ekstremitas
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
6
Interpretasi
1. Irama : Sinus Rhytme
2. Laju QRS : 91 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : normoaksis
5. Interval P-R : 0,16 detik
6. QRS rate : durasi 0,06 detik
7. Segmen ST : ST elevasi pada lead II,III, aVF
8. Gelombang T : T inverted pada II,III,aVL,aVF
2. Laboratorium
3. Radiologi
8
Kesan: Cardiothoracic dalam batas normal, aorta normal
4. Echocardiography
9
Kesan:
10
E. Assessment
F. Terapi
G. Follow Up
11
ortopnea (+). Riwayat hipertensi lanjut 75 mg/24 jam/oral
Farsorbid 10mg/8j/oral
tidak ada. Riwayat DM tidak Candesartan 8mg/24j/oral
Arixtra 2,5mg/24j/SC
ada. Pasien post OAT tahun lalu. Ceftazidine 1gr/12j/iv
Simvastatin 40 mg/24
(-)
Onset Killip II
CAP
EKG serial
Foto thorax
Rawat CVCU
12
1 19/04/2016 S: sesak napas ada, nyeri dada O2 2 -4 liter/ menit
(Kardiologi) 09.30 IVFD NaCl 0,9% 500
tidak ada, panas didaerah
cc/24 jam/IV
punggung, batuk berdahak Aspilet 80mg/24j/oral
O: TD: 110/70 mmHg Clopidogrel 75 mg/24
Ronkhi kasar terutama di
jam/oral
hemithorax kiri, wheezing (+), Farsorbid 10mg/8j/oral
Candasartan 8mg/24j/oral
S1/S2 regular, murmur (-) Arixtra 2,5mg/24j/SC
Ceftazidine 1gr/12j/iv
Hasil lab: Simvastatin 40 mg/24
Troponin I 0,05; PT/APTT
jam/oral
10,9/33,6; GDS 115; CK 13; Alprazolam 0,5mg/24
jam/oral
Alprazolam 0,5mg/24
jam/oral
Farsorbid 5 mg/SL/ bila
13
nyeri dada
jam / iv
Ceftazidine 1gr 12j /iv
diganti dengan
H. RESUME
Seorang laki-laki usia 61 tahun dibawa ke UGD RSWS dengan keluhan
utama nyeri dada sebelah kiri dialami sejak 2 hari yang lalu dan memberat
sejak 1 hari (18-4-2016). Nyeri dada dirasakan seperti terbakar dan tertekan
tembus ke belakang dan menjalar ke lengan kiri dan leher. Durasi nyeri sekitar
lebih 20 menit. Pasien juga mengeluhkan keringat dingin saat serangan datang.
Ada sesak nafas, DOE (+), PND (+), Ortopnea (+). Riwayat hipertensi (-),
riwayat DM (-), riwayat konsumsi OAT tuntas sekitar setahun yang lalu.
riwayat merokok ada.
Pemeriksaan Fisis:
Keadaan umum : sakit sedang/gizi kurang/compos mentis
Tanda-tanda vital
: dalam batas normal,
JVP : R+2 cmH20
Thorax : ronkhi basah (+), wheezing (+),
BJ I/II regular, bising (-)
Abdomen : peristaltik (+), kesan normal, asites (-)
Ekstremitas : edema (-)
EKG : SR, HR 91x/mnt, STEMI inferior
Pemeriksaan Lab : Troponin I 0,05 ng/ml
Foto thorax : cardiothoracic dalam batas normal, aorta normal
15
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infark miokard akut adalah kerusakan jaringan akibat gangguan aliran darah
koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Apabila a.koronaria yang
utama tersumbat, maka akan terjadi infark miokard transmural yang mana
kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard. Pada EKG tampak ST-
elevasi miokard infark). STEMI merupakan bagian dari sindrom koroner akut
(SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut tanpa
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vascular, di mana injury injuri ini dicetuskan oleh factor-faktor
16
Adanya penumpukan lemak yang berlebihan serta infiltasi sel busa
berhubungan dengan fissure dan ruptur plak. Trombosis lokal akan terbentuk
karena ruptur plak yang sudah ada sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan
plak coroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Inti lipid yang terdapat pada plak matur
merupakan substrat utama pembentukan thrombus yang kaya platelet. Pada lokasi
ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
lokal dan poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa sehingga memiliki afinitas tinggi terhadap factor von
Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Faktor ini akan menunjang adhesi platelet pada
fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh
trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin (Kabo, 2012; Alwi, 2009).
C. Faktor risiko
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner
meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum
usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
17
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah abnormalitas
kali tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama
ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang yang mulai muncul pada
wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya realtif kebal terhadap
penyakit ini sampai menopouse, dan kemudian menjadi sama rentanya seperti
miokard.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg
karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang
tersedia.
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 50%.
18
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-
peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >
25-49 kg/m2 dan obesitas dengan IMT >30 kg/m 3. Obesitas sentral adalah obesitas
rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi
mengkonsumsi diet ang rendah serat , kurang vitamin C dan E dan bahan-bahan
polisistemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil perhari, pasien memiliki peningkatan
19
D. Manifestasi Klinik
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah
sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau kanan, ke rahang, ke bahu kiri dan kanan
atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Walau sifatnya dapat ringan,
tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari setengah jam. Jarang ada
hubungannya dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat atau pemberian
nitrat.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin
dan lemas. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa
dingin. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat
nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai.
Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi
suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan
jantung.
Gejala klinis menurut buku Ilmu Penyakit Dalam :
1. STEMI
20
Jika kondisi local atau sistemik akan memicu trombogenesis,
2. NSTEMI
Gejala yang ditimbulkan yaitu :
Nyeri dada dengan lokasi khas atau kadang kala diepigastrium dengan ciri
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Nyeri dada khas infark miokard berupa nyeri dada substernal dan menjalar
ke lengan kiri, bahu, atau leher. Kualitas nyeri berupa nyeri tumpul seperti rasa
tertindih, atau rasa berat yang berlangsung lebih dari 20 menit dengan
intensitas nyeri makin lama makin bertambah. Tidak hilang dengan istirahat
atau pemberian nitrat. Disertai gejala otonom seperti keringat dingin, mual,
2. Pemeriksaan fisik
darah bisa tinggi, normal, atau rendah. Dapat ditemui bunyi jantung kedua
diskinetik yang tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.
3. EKG
21
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard
infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner
4. Pemeriksaan laboratorium
sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik. Oleh sebab itu,
nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang
chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). TnT adalah
yang paling sensitif dan dapat terdeteksi di dalam darah dalam waktu 2-4 jam
setelah IMA muncul. Nilai positif troponin adalah diatas 0,1 ug/dl.
miokard.
F. Penatalaksanaan
1. Terapi Reperfusi
22
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan
infark miokard dan menurunkan angka kematian.
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada
pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik),
semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin
kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi
reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya
fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan.
23
b. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus
fibrin.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan
elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik
tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG
datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :
A. Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
B. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
24
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi
besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.
C. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies
to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan
tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan
yang sama dibandingkan dengan tPA.
25
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti
perdarahan.
2. Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin
(UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta,
ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.
a. Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
yang terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.
Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler
sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari
dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stentin.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai
tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif,
membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri
yang terkait infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum
1000 U/jam).Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan
harus mencapai 1,5-2 kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal
jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2
dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
26
sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh
(UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3
bulan.
b. Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI
yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI
yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan
penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian
terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang
memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).
c. Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).
d. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat
terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.
Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada
pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang
juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
27
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.
G. Komplikasi
1. Disfungsi Ventrikular
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
2. Gangguan Hemodinamik
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya
28
3. Syok kardiogenik
tanpa hipotensi.
iskemi miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
8. Fibrilasi atrium
29
9. Aritmia supraventrikular
ventrikel.
H. Prognosis
30
Klas Indeks kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas %
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
IV <2,2 >18 51
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Liwang, Frans & Ika Wijaya. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. 2012.
Jakarta: Media Aesculapius
2. Alwi, Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Interna Publishing
6. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
10. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for
reperfusion therapy in emergency department patients with suspected
acute myocardial infarction. American College of Emergency Physicians
Clinical Policies Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion
Therapy in Emergency Department Patients with Suspected Acute
Myocardial Infarction. Ann Emerg Med. 2006;48:358383.
32
11. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of
acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-
segment elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment
Elevation Acute Myocardial Infarction of the European Society of
Cardiology. Eur Heart J 2008;29:29092945.
14. Zeymer U, Gitt AK, Jnger C, et al. Acute Coronary Syndromes (ACOS)
registry investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital
survivors of acute ST-segment elevation myocardial infarction in clinical
practice. Eur Heart J 2006;27:266166.
33