Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN

KARDIOVASKULAR Laporan Kasus


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

STEMI Inferior
Onset > 24 Hours KILLIP II

DISUSUN OLEH :
Andi Idil Saputra C111 12 059
Andi Saputri Majid C111 12 057
Nurhafidah Mahfudz C111 12 058
Hartati Hamzi C111 12 062

SUPERVISOR :
Dr. dr. Abdul Hakim, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPENITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOVASKULAR
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Andi Saputri Majid C111 12 057

Nurhafidah Mahfudz C111 12 058

Andi Idil Saputra C111 12 059

Hartati Hamzi C111 12 062

Universitas : Universitas Hasanuddin

Judul Laporan Kasus : ST-Elevation Myocardial Inferior > 24 Hours


KILLIP II

telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Kardiologi dan


Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, April 2016

Supervisor Pembimbing,

Dr. dr. Abdul Hakim, Sp.JP, FIHA

2
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
TanggalLahir / Usia : 31-12-1954/ 61tahun
No.RekamMedis : 754466
Pendidikan : SMP sederajat
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Mattoanging
Telp/HP : 085340432660
Masuk RS : 19-4-2016 (17.56 Wita)
B. ANAMNESIS
KeluhanUtama
Nyeri Dada Kiri

Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri dada sebelah kiri dialami sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah

sakit, terutama 1 hari sebelum masuk rumah sakit (18-4-2016). Nyeri dada

dirasakan seperti terbakar dan tertekan tembus ke belakang dan menjalar ke

lengan kiri dan leher. Durasi nyeri sekitar lebih dari 20 menit.Pasien juga

mengeluhkan keringat dingin saat serangan datang. Ada sesak napas, DOE(+),

PND(+), ortopnea (+). Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat

konsumsi OAT tuntas sekitar setahun yang lalu. Riwayat merokok ada, riwayat

konsumsi alkohol

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Riwayat penyakit TB Paru

Riwayat Penyakit yang Sama dalam Keluarga


Riwayat PJK pada keluarga tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
KeadaanUmum
Sakit sedang/gizi kurang/GCS 15 (compos mentis)

Status Antropometri
-
Tinggi Badan : 161 cm
-
Berat Badan : 45 kg
-
Indeks Massa Tubuh : 17,3 kg/m2

3
Tanda-tanda Vital
-
Tekanan darah : 120/70 mmHg
-
Frekuensi nadi : 100 kali/menit, reguler
-
Frekuensi napas: 28 kali/menit
-
Suhu (aksilla) : 36,5oC

Kepala

Deformitas : Tidak ada Mata

Simetris muka : Simetris Eksoftalmus : Tidak ada

Rambut : Sukar dicabut Konjungtiva : Anemis (-)

Ukuran : Normocephal Kornea : Refleks kornea (+)

Bentuk : Mesocephal Enoptalmus : Tidak ada

Sklera : Ikterus (-)

Pupil : Isokor 2,5 mm/2,5 mm

Telinga Hidung

Pendengaran: Dalam batas normal Epistaksis : Tidak ada

Otorrhea : Tidak ada Rhinorrhea:Tidakada

4
Mulut

Bibir : Kering (-) Lidah : Kotor (-)

Tonsil : T1-T1 Tidak Hiperemis Faring : Tidak Hiperemis

Leher

KGB : Tidak ada pembesaran DVS : R+2 cmH2O

Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran Kaku kuduk : Tidak Ada

Dada

Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan

Buah dada : Simetris kira sama dengan kanan, tidak ada kelainan

Sela iga : Simetris kiri sama dengan kanan

Pulmo

Palpasi : Fremitus simetris kiri sama dengan kanan

Nyeri tekan tidak ada

Perkusis : Batas paru hepar ICS VI dekstra

Batas paru belakang kanan ICS IX

Batas paru belakang kiri ICS X

Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler

Bunyi Tambahan : Ronkhibasah(+), Wheezing (+)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

5
Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : Batas atas ICS II sinistra

Batas kanan linea parasternalis dekstra

Batas kiri linea axilla anterior sinistra

Aukultasi : BJ I/II murni reguler

Bising jantung (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, ikut gerak napas

Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba

Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani (+)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Ekstremitas

Tidak ada udem

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Elektrokardiogram

6
Interpretasi
1. Irama : Sinus Rhytme
2. Laju QRS : 91 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : normoaksis
5. Interval P-R : 0,16 detik
6. QRS rate : durasi 0,06 detik
7. Segmen ST : ST elevasi pada lead II,III, aVF
8. Gelombang T : T inverted pada II,III,aVL,aVF

Kesimpulan: SR, HR 91x/mnt, STEMI inferior

2. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
Hematologi Rutin

RBC 4,67 4,50-6,50 106/mm3


HGB 13,91 14,0-18,0 g/dl
HCT 43,2 40,0-54,0 %
MCV 93 80-100 m3
MCH 29,9 27,0-32,0
MCHC 32,3 32,0-36,0 pg
RDW 13,3 11-16 g/dl
PLT 236 150-400 %
WBC 19,4 4,0-10,0 103/mm3
103/mm3
Koagulasi
7
PT 10.9 10-14
INR 1.05 -- detik
APTT 33.6 22-30
detik
Kimia Darah
Glukosa
GDS 115 140
mg/dl
Fungsi Ginjal
Ureum 41 10-50
Kreatinin 1,25 L(<1,3)P(<1,1) mg/dl
mg/dl
Fungsi Hati
SGOT 13 <38
SGPT 9 <41 U/L
U/L
Penanda Jantung
CK 31,00 L(<190)P(<167)
CK-MB 13,0 <25 U/L
U/L
Imunoserologi
Troponin I 0.05 <0,01
ng/ml
Kimia Darah
Elektrolit
Natrium 135 136-145
Kalium 4.2 3,5-5,1 mmol/l
Klorida 103 97-111 mmol/l
mmol/l

3. Radiologi

8
Kesan: Cardiothoracic dalam batas normal, aorta normal

TB paru lama aktif lesi luas

Lymphadenopathy hilar dextra

4. Echocardiography

9
Kesan:

Fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan baik

Hipertrofi ventrikel kiri konsentrik

Disfungsi diastolik grade I

10
E. Assessment

1. ST elevasi miokard inferior onset >12 jam KILLIP II

2. CAP dd/ sindrom obstruksi pasca TB paru

F. Terapi

1. Oksigen 2-4 liter/menit via nasal kanul

2. NaCl 0,9% 500cc/24 jam

3. Clopidogrel 4 tab oral, clopidogrel 75 mg 1x1 oral

4. Fasorbid 10mg 3x1 oral

5. Fasorbid 5mg sublingual bila nyeri dada

6. Simvastatin 20mg 1x1

7. Alprazolam 0,5mg 1x1

8. Arixtra 2,5mg/24 jam/subcutan

9. Candesartan 8mg 1x1

10. Ceftazidime iv 1g/12 jam, Levofloxacin 750mg/24jam/iv

11. Aspilet 80mg/24 jam

12. Codein 10mg/8jam/oral

G. Follow Up

Perawatan Tanggal/ S (Subjektif) O (Objektif)


Instruksi
Hari ke- Pukul A (Assesment) P (Planning)
1 19/04/2016 S: Nyeri dada sejak 3 hari yang Diet jantung
(Kardiologi) 06.00 O2 2 lpm via nasal kanul
lalu, tidak menjalar, keringat IVFD NaCl 0,9% 500

dingin tidak ada, sesak nafas cc/24 jam/IV


Aspilet 80mg/24j/oral
ada, DOE (+), PND (+), Clopidogrel 4 tab loading,

11
ortopnea (+). Riwayat hipertensi lanjut 75 mg/24 jam/oral
Farsorbid 10mg/8j/oral
tidak ada. Riwayat DM tidak Candesartan 8mg/24j/oral
Arixtra 2,5mg/24j/SC
ada. Pasien post OAT tahun lalu. Ceftazidine 1gr/12j/iv
Simvastatin 40 mg/24

O: TD= 120/70; N= 78x/menit; jam/oral


Alprazolam 0,5mg/24
RR: 24x/menit; suhu= 36,6 C
jam/oral
Farsorbid 5 mg/SL/ bila

Anemis (-) nyeri dada

JVP: R+3 cmH20

Bunyi Jantung I/II regular, bising

(-)

Bunyi napas vesikuler, Ronki pada

basal kedua paru , Wheezing (-).

Edema ekstremitas (-)

A: STEMI Inferior Undetected

Onset Killip II

CAP

P: darah rutin, enzim jantung

EKG serial

Foto thorax

Rawat CVCU
12
1 19/04/2016 S: sesak napas ada, nyeri dada O2 2 -4 liter/ menit
(Kardiologi) 09.30 IVFD NaCl 0,9% 500
tidak ada, panas didaerah
cc/24 jam/IV
punggung, batuk berdahak Aspilet 80mg/24j/oral
O: TD: 110/70 mmHg Clopidogrel 75 mg/24
Ronkhi kasar terutama di
jam/oral
hemithorax kiri, wheezing (+), Farsorbid 10mg/8j/oral
Candasartan 8mg/24j/oral
S1/S2 regular, murmur (-) Arixtra 2,5mg/24j/SC
Ceftazidine 1gr/12j/iv
Hasil lab: Simvastatin 40 mg/24
Troponin I 0,05; PT/APTT
jam/oral
10,9/33,6; GDS 115; CK 13; Alprazolam 0,5mg/24

Na/K/Cl 135/4,2/103; Hb 13,9; jam/oral


Farsorbid 5 mg/SL/ bila
WBC 19400; PLT 236000
nyeri dada
A: STEMI Inferior
CAP, dd/ SOPT

P: konsul pulmonologi (bila sudah

ada hasil rontgen thorax)


1 19/04/2016 S: sesak napas masih ada O2 2 lpm
23.30 O: TD: 110/70 mmHg; HR 85 IVFD NaCl 0,9% 500 cc/
DVS R+1 cmH2O (30o)
S1/S2 regular, bising (-) 24 jam/IV
Ronkhi (-), wheezing (-), peristaltik Aspilet 80mg/24j/oral
Clopidogrel 75 mg/24
kesan normal, edema extremitas (-)
jam/oral
A: STEMI Inferior Farsorbid 10mg/8j/oral
CAP, dd/ SOPT Candasartan 8mg/24j/oral
Arixtra 2,5mg/24j/SC
Ceftazidine 1gr/12j/iv
Simvastatin 40 mg/24

jam/oral
Alprazolam 0,5mg/24

jam/oral
Farsorbid 5 mg/SL/ bila

13
nyeri dada

2 20/04/2016 S: sesak napas ada sudah O2 2 -4 liter/ menit


08.00 IVFD NaCl 0,9% 500
berkurang, nyeri dada tidak ada
cc/24 jam/IV
O: TD: 100/60 mmHg; HR 85 Aspilet 80mg/24j/oral
Clopidogrel 75 mg/24
o
x/mnt; RR 20 x/mnt; Suhu 36,5 C
Kepala: anemia dan ikhterus tidak jam/oral
Farsorbid 10mg/8j/oral
ada Candasartan 8mg/24j/oral
Leher: DVS R+2 cmH2O Arixtra (II) 2,5mg/24j/SC
Thorax: bunyi pernapasan Ceftazidine (II) 1gr /

vesikuler, Ronkhi di basal paru, 12j/iv


Simvastatin 40 mg/24
wheezing (+), BJ 1/II regular,
jam/oral
bising (-) Alprazolam 0,5mg/24
Abdomen: peristaltik kesan normal
Extremitas: edema (-) jam/oral
Farsorbid 5 mg/SL/ bila
A: STEMI Inferior onset >12 jam
nyeri dada
KILLIP II + Codein 10 mg/8j/oral
CAP, dd/ SOPT N-ace 200 mg/8 jam/nebu
Furosemide 40 mg / 12
P: Echocardiography
jam / iv
3 21/04/2016 S: sesak napas berkurang, nyeri O2 2 -4 liter/ menit
07.00 IVFD NaCl 0,9% 500
dada tidak ada
cc/24 jam/IV
O: TD: 90/60 mmHg; HR 89 Aspilet 80mg/24j/oral
Clopidogrel 75 mg/24
x/mnt; Suhu 36,2oC
Kepala: anemis dan ikhterik tidak jam/oral
Farsorbid 10mg/8j/oral
ada Candesartan 8mg/24j/oral
Leher: DVS R+ cmH2O Arixtra (III) 2,5mg/
Thorax: bunyi pernapasan
24j/SC
vesikuler, Ronkhi di basal paru, Atorvastatin 40 mg/24

wheezing (+), BJ I/II regular, jam/oral


Alprazolam 0,5mg/24
murmur (-)
14
Abdomen: peristaltik kesan normal jam/oral
Extremitas: edema (-) ISDN 5 mg/SL/ bila nyeri

A: STEMI Inferior onset >12 jam dada


Codein 10 mg/8j/oral
KILLIP II N-ace 200 mg/8 jam/nebu
CAP, dd/ SOPT Furosemide 40 mg / 12

jam / iv
Ceftazidine 1gr 12j /iv

diganti dengan

Levofloxacin 750 mg/ 24

jam/iv (I) Skin test

H. RESUME
Seorang laki-laki usia 61 tahun dibawa ke UGD RSWS dengan keluhan

utama nyeri dada sebelah kiri dialami sejak 2 hari yang lalu dan memberat

sejak 1 hari (18-4-2016). Nyeri dada dirasakan seperti terbakar dan tertekan

tembus ke belakang dan menjalar ke lengan kiri dan leher. Durasi nyeri sekitar

lebih 20 menit. Pasien juga mengeluhkan keringat dingin saat serangan datang.

Ada sesak nafas, DOE (+), PND (+), Ortopnea (+). Riwayat hipertensi (-),

riwayat DM (-), riwayat konsumsi OAT tuntas sekitar setahun yang lalu.
riwayat merokok ada.

Pemeriksaan Fisis:
Keadaan umum : sakit sedang/gizi kurang/compos mentis
Tanda-tanda vital
: dalam batas normal,
JVP : R+2 cmH20
Thorax : ronkhi basah (+), wheezing (+),
BJ I/II regular, bising (-)
Abdomen : peristaltik (+), kesan normal, asites (-)
Ekstremitas : edema (-)
EKG : SR, HR 91x/mnt, STEMI inferior
Pemeriksaan Lab : Troponin I 0,05 ng/ml
Foto thorax : cardiothoracic dalam batas normal, aorta normal

15
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infark miokard akut adalah kerusakan jaringan akibat gangguan aliran darah

koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Apabila a.koronaria yang

utama tersumbat, maka akan terjadi infark miokard transmural yang mana

kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard. Pada EKG tampak ST-

segmen elevasi dan gelombang Q-patologis yang disebut STEMI (ST-segmen

elevasi miokard infark). STEMI merupakan bagian dari sindrom koroner akut

(SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut tanpa

elevasi ST (NSTEMI) dan infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI)

(Kabo, 2012; Liwang & Wijaya, 2014).


B. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada

sebelumnya. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada

lokasi injuri vascular, di mana injury injuri ini dicetuskan oleh factor-faktor

seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2009).

16
Adanya penumpukan lemak yang berlebihan serta infiltasi sel busa

berhubungan dengan fissure dan ruptur plak. Trombosis lokal akan terbentuk

karena ruptur plak yang sudah ada sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan

perubahan komposisi plak dan penipisan fibrous cap (protein matriks

ekstraselular) yang menutupi plak tersebut. Penelitian histologis menunjukkan

plak coroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis

dan inti kaya lipid (lipid rich core). Inti lipid yang terdapat pada plak matur

merupakan substrat utama pembentukan thrombus yang kaya platelet. Pada lokasi

ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi

trombosit, yang selanjutnya akan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor

lokal dan poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi

reseptor glikoprotein IIb/IIIa sehingga memiliki afinitas tinggi terhadap factor von

Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Faktor ini akan menunjang adhesi platelet pada

permukaan trombosit dan jaringan kolagen sehingga menghasilkan aggregasi

platelet (Alwi, 2009; Kabo, 2012)


Apabila terjadi kontak dengan darah, tissue factor pada endotel yang rusak

berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade enzimatik yang

mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi

fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh

trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin (Kabo, 2012; Alwi, 2009).

C. Faktor risiko
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,

yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner

meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum

usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
17
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah abnormalitas

kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial,

konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol dan aktivitas.


Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard pertama

kali tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama

ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang yang mulai muncul pada

wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya realtif kebal terhadap

penyakit ini sampai menopouse, dan kemudian menjadi sama rentanya seperti

pria. Hal ini diduga karena adanya efek perlindungan estrogen.


Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah

hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau

trigliserida serum diatas batas normal. The National Cholesterol Education

Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit

jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan

bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark

miokard.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg

atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik

meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri.

Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk

meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka

penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen

karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang

tersedia.
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 50%.

seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard.

18
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-

49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan

peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >

25-49 kg/m2 dan obesitas dengan IMT >30 kg/m 3. Obesitas sentral adalah obesitas

dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga

berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida,

peurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin

dan diabetes melitus tipe II.


Faktor psikososial seperti peningkatan seperti peningkatan steres kerja,

rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi

secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis.


Resiko terkena penyakit infark miokard meningkat pada pasien yang

mengkonsumsi diet ang rendah serat , kurang vitamin C dan E dan bahan-bahan

polisistemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata

sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun, bila mengonsumsi

berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil perhari, pasien memiliki peningkatan

resiko terkena penyakit.


Faktor Resiko

Tidak dapat diubah Dapat diubah

- Usia (laki-laki >45 tahun - Hiperlipidemia (LDL-C) :


- Perempuan >55 tahun atau
batas atas 130-159 mg/dl,
menopause prematur tanpa
tinggi >160 mg/dl
terapi penggantian estrogen - HDL-C rendah : < 30 mg/dl
- Riwayat CAD - Hipertensi
- Merokok sigaret
- Diabetes Melitus
- Obesitas

19
D. Manifestasi Klinik
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah

sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau kanan, ke rahang, ke bahu kiri dan kanan

dan pada lengan. Penderita melukiskan seperti tertekan, terhimpit, diremas-remas

atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Walau sifatnya dapat ringan,

tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari setengah jam. Jarang ada

hubungannya dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat atau pemberian

nitrat.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin

dan lemas. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa

dingin. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat

nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai.

Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu

beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.


Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.

Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi

sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan

suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan

paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel

jantung.
Gejala klinis menurut buku Ilmu Penyakit Dalam :
1. STEMI

Gejalanya yang ditimbulkan yaitu :

Plak arteriosklerosis mengalami fisur

Rupture atau ulserasi

20
Jika kondisi local atau sistemik akan memicu trombogenesis,

sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang

mengakibatkan oklusi arteri koroner.

2. NSTEMI
Gejala yang ditimbulkan yaitu :
Nyeri dada dengan lokasi khas atau kadang kala diepigastrium dengan ciri

seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul,

rasa penuh, berat atau tertekan.

E. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Nyeri dada khas infark miokard berupa nyeri dada substernal dan menjalar

ke lengan kiri, bahu, atau leher. Kualitas nyeri berupa nyeri tumpul seperti rasa

tertindih, atau rasa berat yang berlangsung lebih dari 20 menit dengan

intensitas nyeri makin lama makin bertambah. Tidak hilang dengan istirahat

atau pemberian nitrat. Disertai gejala otonom seperti keringat dingin, mual,

muntah, sesak, berdebar-debar, atau lemas. Kadang-kadang rasa nyeri tidak

ada dan penderita hanya mengeluh lemah,banyak keringat, pusing, palpitasi,

dan perasaan akan mati.

2. Pemeriksaan fisik

Penderita nampak sakit, muka pucat, kulit basah, dan dingin.Tekanan

darah bisa tinggi, normal, atau rendah. Dapat ditemui bunyi jantung kedua

yang pecah paradoksal, irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi

diskinetik yang tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.

3. EKG

21
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard

infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner

menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi

segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil

berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi

dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.

4. Pemeriksaan laboratorium

Nekrosis miokardium menyebabkan pelepasan protein intraseluler, protein

intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi

sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik. Oleh sebab itu,

nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang

disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate

aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme

MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light

chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). TnT adalah

yang paling sensitif dan dapat terdeteksi di dalam darah dalam waktu 2-4 jam

setelah IMA muncul. Nilai positif troponin adalah diatas 0,1 ug/dl.

Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark

miokard.

F. Penatalaksanaan

1. Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan


derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien

22
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan
infark miokard dan menurunkan angka kematian.
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada
pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik),
semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin
kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi
reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya
fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan.

a. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)


Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama
infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka
arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika
terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah
sakit.

23
b. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus
fibrin.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan
elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik
tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG
datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :
A. Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

B. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi

24
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi
besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.

C. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies
to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan
tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan
yang sama dibandingkan dengan tPA.

25
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti
perdarahan.

2. Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin
(UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta,
ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.
a. Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
yang terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.
Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler
sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari
dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stentin.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai
tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif,
membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri
yang terkait infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum
1000 U/jam).Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan
harus mencapai 1,5-2 kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal
jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2
dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru

26
sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh
(UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3
bulan.
b. Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI
yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI
yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan
penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian
terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang
memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).
c. Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).
d. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat
terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.
Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada
pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang
juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.

27
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.

G. Komplikasi

1. Disfungsi Ventrikular

Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan

ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini

disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal

jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.

Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan

ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks

ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih

sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.

2. Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di

rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi

dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)

dan sesudahnya

28
3. Syok kardiogenik

Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%

terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok

kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

4. Infark ventrikel kanan

Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang

berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau

tanpa hipotensi.

5. Aritmia paska STEMI

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem

saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona

iskemi miokard.

6. Ekstrasistol ventrikel

Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien

STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam

mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.

7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel

Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia

sebelumnya dalam 24 jam pertama.

8. Fibrilasi atrium

29
9. Aritmia supraventrikular

10. Asistol ventrikel

11. Bradiaritmia dan Blok

12. Komplikasi Mekanik

Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding

ventrikel.

H. Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :


1. Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana ; S3

gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik


2. Klasifikasi Forrester, berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung

dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)


3. TIMI risk score, adalah sistem prognostik paling akhir yang

menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai

pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

TABEL .Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

Klas Defenisi Mortalitas %

I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6

II + S3 dan atau ronki basah 17

III Edema paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

TABEL Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut

30
Klas Indeks kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas %
(L/min/m2)

I >2,2 <18 3

II >2,2 >18 9

III <2,2 <18 23

IV <2,2 >18 51

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Liwang, Frans & Ika Wijaya. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. 2012.
Jakarta: Media Aesculapius

2. Alwi, Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Interna Publishing

3. Kabo, Peter. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara


rasional. 2012, Balai Penerbit FKUI

4. Aaronson PI, Ward JPT. 2010. At A Glance: Sistem Kardiovaskular, Edisi


Ketiga. Jakarta: Erlangga

5. Kabo peter. 2014. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular


Secara Rasional. Jakarta: FKUI

6. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007

7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.

8. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrisons Principles of Internal


Medicine. New South Wales: McGraw Hill. 2010.

9. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the


ACC/AHA 2004 guidelines for the management of the patients with ST-
elevation myocardial infarction : a report of the American College of
Cardiology American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. 2008;51:210247.

10. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for
reperfusion therapy in emergency department patients with suspected
acute myocardial infarction. American College of Emergency Physicians
Clinical Policies Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion
Therapy in Emergency Department Patients with Suspected Acute
Myocardial Infarction. Ann Emerg Med. 2006;48:358383.

32
11. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of
acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-
segment elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment
Elevation Acute Myocardial Infarction of the European Society of
Cardiology. Eur Heart J 2008;29:29092945.

12. ISIS 2 Collaborative Group: Randomized trial of intravenous


streptokinase, oral aspirin, both or neither among 17.187 cases of
suspected AMI. Lancet.1986; 1:397.

13. Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL


(Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial
Infarction Regarding Acute and Long-Term Follow Up) Investigators.
Platelet Glycoprotein IIb/IIIa inhibition with coronary stenting for acute
myocardial infarction. N Engl J Med. 2001;344:1895-903.

14. Zeymer U, Gitt AK, Jnger C, et al. Acute Coronary Syndromes (ACOS)
registry investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital
survivors of acute ST-segment elevation myocardial infarction in clinical
practice. Eur Heart J 2006;27:266166.

33

Anda mungkin juga menyukai