Anda di halaman 1dari 79

BAB 55

PENANGANAN JALAN NAPAS PADA ORANG DEWASA

Carin A. Hagberg, Carlos A. Artime

POIN KUNCI

 Salah satu tanggung jawab dasar dari seorang anestesiolog adalah untuk
menangani efek samping anestesi terhadap sistem pernapasan dengan
memelihara patensi jalan napas dan memastikan ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat. Istilah penanganan jalan napas dapat dirujuk ke dalam
praktek ini dan merupakan titik tumpu dari ilmu anestesiologi.
 Penanganan jalan napas yang baik memerlukan serangkaian pengetahuan
dan keterampilan—terutama, kemampuan untuk memprediksi kesulitan
penanganan jalan napas dan memformulasikan rencana penanganan jalan
napas serta keterampilan untuk mengeksekusi rencana menggunakan alat-
alat yang tersedia.
 Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway yang
dikeluarkan oleh American Society of Anesthesiologists dan “Algoritme
Kesulitan Jalan Napas” yang menyertai panduan tersebut memberikan
gambaran penuntun untuk mengevaluasi jalan napas dan mempersiapkan
penanganan jalan napas serta memandu pelayan kesehatan untuk membuat
keputusan ketika anestesiolog dihadapkan pada kondisi kesulitan jalan
napas.
 Memahami anatomi jalan napas sangat penting untuk memberikan
anestesi.
 Evaluasi jalan napas lengkap dan pengetahuan mengenai prediktor
kesulitan jalan napas dapat membuat anestesiolog waspada akan potensi
kesulitan penanganan jalan napas dan memungkinkan perencanaan yang
tepat.
 Untuk memfasilitasi penanganan jalan napas, beberapa bentuk anestesi
biasanya diperlukan untuk memberikan kenyamanan pada pasien,
menunpulkan refleks jalan napas, dan menumpulkan respons
hemodinamik terhadap instrumentasi jalan napas, yang dapat dicapai
dengan induksi anestesi umum atau pemberian anestesi lokal pada jalan
napas.
 Selama lebih dari 25 tahun, sungkup laring (laryngeal mask airway/LMA)
adalah salah satu pengembangan alat jalan napas yang terpenting.
 Intubasi endotrakeal akan membuka jalan napas secara definitif,
memberikan proteksi maksimal terhadap aspirasi kandungan lambung, dan
memungkinkan ventilasi tekanan positif dengan tekanan jalan napas yang
lebih tinggi dibandingkan sungkup wajah atau jalan napas supraglotis.
 Intubasi skop fleksibel pada trakea [ada pasien sadar dan bernapas spontan
adalah baku emas untuk penanganan kesulitan jalan napas.
 Jalan napas perkutan (invasif) diindikasikan sebagai teknik penyelamatan
ketika praktisi gagal memberikan jalan napas non-invasif. Praktisi anestesi
harus mengenali teknik pemasangan ventilasi jet transtrakeal dan
krikotirotomi.
 Ekstubasi adalah komponen penanganan jalan napas kritis dengan potensi
komplikator signifikan. Rencana ekstubasi trakea harus dirancang dan
meliputi strategi reintubasi trakea apabila pasien tidak mampu
mempertahankan jalan napas adekuat setelah ekstubasi.

PENDAHULUAN

Anestesi umum berkaitan dengan berbagai efek terhadap sistem pernapasan,


seperti hilangnya patensi jalan napas, hilangnya refleks jalan napas protektif, dan
hipoventilasi atau apnea. Oleh karena itu, salah satu tanggung jawab dasar dari
anestesiolog adalah untuk memastikan patensi jalan napas dan ventilasi serta
oksigenasi yang adekuat. Istilah penanganan jalan napas merujuk pada praktek
penegakan dan pengamanan jalan napas yang paten dan merupakan titik tumpu
praktek anestetik. Secara tradisional, ventilasi melalui sungkup dan intubasi
endotrakeal adalah dasar penanganan jalan napas. Namun, dalam 25 tahun
terakhir, sungkup laring (LMA) dianggap sebagai salah satu alat terpenting untuk
mengamankan jalan napas.

Karena kegagalan mengamankan jalan napas dapat berakhir pada cedera otak
hipoksik atau kematian hanya dalam beberapa menit, kesulitan dalam penanganan
jalan napas berpotensi untuk memberikan resiko yang sama. Analisis dari basis
data “Closed Claims Project” dari American Society of Anesthesiologists (ASA)
menunjukkan bahwa perkembangan kegawatdaruratan jalan napas meningkatkan
resiko kematian dan kerusakan otak sebanyak 15 kali lipat.1 Walaupun proporsi
klaim yang berkontribusi terhadap komplikasi terkait jalan napas menurun selama
3 dekade terakhir, komplikasi jalan napas masih menjadi penyebab klaim
terbanyak kedua.2 Pada tahun 1993, ASA mempublikasikan Practice Guidelines
for Management of the Diffciult Airway yang pertama, yang ditulis dengan tujuan
untuk “memfasilitasi penanganan kesulitan jalan napas dan mengurangi
kecenderungan efek samping.”3 Pembaruan terbaru dari laporan ini—
dipublikasikan tahun 2013—mengartikan “kesulitan jalan napas” sebagai “situasi
klinis di mana anestesiolog yang terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi
jalan napas atas melalui sungkup, intubasi trakea, atau keduanya” dan
memberikan panduan untuk evaluasi jalan napas dan persiapan penanganannya,
yang meliputi Algoritma Kesulitan Jalan Napas bertujuan untuk memandu
pembuatan keputusan klinis ketika anestesiolog dihadapkan pada potensi kesulitan
jalan napas (Gambar 55-1).4

Penanganan jalan napas yang baik memerlukan serangkaian pengetahuan dan


keterampilan—terutama, kemampuan untuk memprediksi kesulitan penanganan
jalan napas dan memformulasikan rencana penanganan jalan napas serta
keterampilan untuk mengeksekusi rencana menggunakan alat-alat yang tersedia.5
Pengembangan keterampilan ini adalah keharusan untuk semua anestesiolog.
Seperti halnya keterampilan manual, praktek kontinyu memperbaiki performa dan
menurunkan kecenderungan komplikasi. Alat jalan napas baru terus-menerus
diperkenalkan ke dalam arena klinis, setiap alat dengan sifat yang unik yang
bermanfaat dalam situasi tertentu. Menjadi familiar dengan alat-alat baru di bawah
kondisi terkontrol penting untuk praktisi anestesi—kesulitan jalan napas bukanlah
kondisi yang tepat untuk bereksperimen dengan teknik baru.

Gambar 55-1. Algoritme Kesulitan Jalan Napas oleh American Society of


Anesthesiologists.

ANATOMI JALAN NAPAS FUNGSIONAL

Pemahaman mengenai anatomi jalan napas penting untuk anestesiolog. Berbagai


aspek penanganan bergantung pada pengetahuan tentang anatomi terkait, seperti
penilaian jalan napas, persiapan intubasi untuk pasien sadar, dan penggunaan alat
bantu yang tepat. Pengetahuan tentang anatomi normal dan variasi anatomis yang
dapat memengaruhi penanganan jalan napas akan membantu formulasi rencana
yang baik. Karena beberapa struktur anatomi penting dapat mengalami kerusakan
pada penanganan jalan napas, anestesiolog harus familiar dengan hubungan
antarstruktur yang ada.

Jalan napas dapat dibedakan menjadi jalan napas atas—meliputi rongga hidung,
rongga mulut, faring, laring; dan jalan napas bawah—meliputi cabang-cabang
trakeobronkial.

Rongga Hidung

Secara fungsional, jalan napas terbagi atas naris (jamak, nares) dan pintu luar
hidung (apertura nasi anterior). Rongga hidung/cavum nasi terbagi menjadi
saluran kiri dan kanan yang dipisahkan oleh septum nasi, yang membentuk
dinding medial dari setiap saluran. Septum ini dibentuk oleh cartilago septalis di
anterior dan dua tulang di posterior—os ethmoidale (superior) dan os vomer
(inferior). Deviasi septum nasi sering ditemukan pada populasi dewasa6; oleh
karena itu, sisi yang lebih paten harus ditentukan sebelum memasukkan alat ke
dalam saluran hidung. Dinding lateral saluran terdiri dari tiga turbinat (concha)
yang membagi hidung menjadi tiga meatus berbentuk gulungan (Gambar 55-2).
Meatus nasi inferior, antara turbinat inferior dan lantai cavum nasi, adalah jalur
yang sering dipakai untuk alat jalan napas hidung7; penempatan yang salah dalam
hidung dapat menyebabkan avulsi turbinat.8,9 Atap cavum nasi dibentuk oleh os
ethmoidale pars cribriformis. Jika fraktur, struktur rapuh ini akan menyebabkan
kebocoran cairan serebrospinal. Karena garis mukosa cavum nasi dipenuhi
pembuluh darah, vasokonstriktor harus diberikan (biasanya topikal) sebelum
pemasangan alat untuk menghindari epistaksis. Apertura nasi posterior adalah
choanae, yang menyambung rongga hidung dengan nasofaring.

Gambar 55-2. Dinding lateral cavum nasi.

Rongga Mulut

Karena ukuran rongga hidung relatif kecil dan resiko traumanya cukup signifikan,
rongga mulut seringkali dipilih sebagai alternatif untuk memasukkan alat bantu
jalan napas. Banyak prosedur yang memerlukan pembukaan mulut yang adekuat,
yang dapat dicapai dengan melakukan rotasi pada sendiri temporomandibular
(TMJ) dan pembukaan mulut dengan menggeser condylus mandibula dalam TMJ
(gerakan ini juga dikenal sebagai protrusi atau subluksasi).10

Rongga mulut/cavum oris berlanjut menjadi orofaring dan di inferior dibatasi oleh
lidah dan di superior oleh palatum durum dan molle. Palatum durum—dibentuk
oleh bagian dari os maxilla dan palatina—mendirikan dua per tiga langit-langit
mulut; sedangkan palatum molle (velum palatinum)—sebuah lipatan jaringan
fibromuskular yang melekat pada palatum durum—mendirikan sepertiga posterior
dari langit-langit mulut. Lidah tertambat pada berbagai struktur oleh otot-otot
ekstrinsiknya, yang paling relevan untuk seorang anestesiolog adalah
genioglossus, yang menghubungkan lidah ke mandibula. Manuver jaw-thrust
menggunakan komponen penggeseran TMJ untuk menggerakkan mandibula dan
lidah ke anterior, yang akan meringankan obstruksi jalan napas karena jatuhnya
lidah ke orofaring.10 Di bawah lidah, otot-otot mylohyoideus memisahkan dinding
mulut ke ruang sublingual di superior dan submental di inferior. Selulitis (Ludwig
angina) atau pembentukan hematoma dalam ruang ini dapat menyebabkan
pengangkatan dan kesalahan penempatan posterior lidah dan menyebabkan
obstruksi jalan napas.
Faring

Faring adalah tabung muskular yang meluas dari dasar tengkorak ke tingkat
cartilago cricoidea dan menghubungkan rongga hidung dan mulut dengan laring
dan esofagus. Dinding posterior faring terdiri dari fascia buccopharyngeal yang
memisahkan faring dari ruang retrofaring. Penempatan tabung gastrik/trakea yang
salah akan menyebabkan laserasi fascia ini dan menyebabkan diseksi
retrofaring.12,13 Otot-otot faring pada pasien sadar akan membantu patensi jalan
napas; kehilangan tonus otot faring adalah salah satu penyebab primer obstruksi
jalan napas selama anestesi.14,15 Mengangkat dagu dengan mulut tertutup akan
meningkatkan tegangan longitudinal otot faring, sehingga melawan
kecenderungan kolapsnya jalan napas.16

Faring terbagi menjadi nasofaring, orofaring, dan hipofaring (Gambar 55-3).


Bersama dengan dinding superior dan psoterior nasofaring adalah struktur seperti
tonsil, yang dapat menyebabkan obstruksi hidung kronis dan ketika membesar
dapat menyebabkan sulitnya memasukkan alat bantu napas. Nasofaring berakhir
pada palatum molle; daerah ini disebut velofaring dan merupakan tempat tersering
obstruksi jalan napas baik pada pasien sadar maupun tidak sadar.14 Orofaring
dimulai pada palatum molle dan meluas ke inferior ke tingkat epiglotis. Dinding
lateral mengandung lipatan palatoglossus dan palatopharyngeus, yang juga
disebut sebagai pilar faucial (tonsillar) anterior dan posterior; lipatan ini
mengandung tonsilla palatina, yang dapat mengalami hipertrofi dan menyumbat
jalan napas (Gambar 55-4). Di dasar lidah terdapat aspek anterior dari orofaring,
yang menghubungkan epiglotis dengan plica glossoepiglottica, yang biasa disebut
sebagai valleculae (vallekula). Hipofaring dimulai pada setingkat epiglotis dan
terus berlanjut ke esofagus. Laring berprotrusi ke hipofaring, membentuk dua
recessus piriformis di sisi lain (Gambar 55-5).

Gambar 55-3. Potongan sagital kepala dan leher menunjukkan subdivisi faring.

Gambar 55-4. Cavum oris dan orofaring.

Gambar 55-5. Laring yang divisualisasikan dari hipofaring.


Kotak 55-4 Krikotirotomi Bedah
Alat
 Skalpel nomor 20
 Tabung trakeostomi bermanset atau tabung endotrakeal (ETT) dengan
diameter internal 6 atau 7 mm
Teknik
 Langkah 1: Mengekstensikan kepala dan leher, identifikasi dan
imobilisasi membran krikotiroid (buat insisi awal vertikal jika
identifikasi tidak dapat dilakukan
 Langkah 2: Buat insisi horizontal di kulit dan membran krikotiroid.
Tinggalkan bilan di tempat sampai kait trakea berada dalam posisi
(Langkah 3)
 Langkah 3: Lakukan traksi kaudal dan keluar pada kartilago krikoid
dengan kait trakea; angkat skalpel
 Langkah 4: Masukkan tabung, kembangkan manset
 Langkah 5: Ventilasi dengan sumber bertekanan rendah
 Langkah 6: Konfirmasi ventilasi paru

Kotak 55-5 Komplikasi yang Berkaitan dengan Ekstubasi


 Laringospasme dan bronkospasme
 Obstruksi saluran napas atas
 Hipoventilasi
 Perubahan hemodinamik (hipertensi, takikardi)
 Batuk dan mengedan, menyebabkan pembukaan luka operasi
 Edema laring atau jalan napas
 Edema paru bertekanan negatif
 Gerakan pita suara paradoks
 Dislokasi arytenoid
 Aspirasi

Laring
Laring adalah struktur kompleks dari kartilago, otot, dan ligamen yang berperan
sebagai inlet ke trakea dan melakukan berbagai fungsi, seperti fonasi dan proteksi
jalan napas. Kerangka kerja kartilago laring terdiri dari sembilan kartilago
terpisah: cartilago cricoidea dan thyreoidea; dua cartilago arytenoidea,
corniculata, dan cuneiforme; dan cartilago epiglottica. Tulang-tulang rawan ini
dilekatkan oleh ligamen, membran, dan sendi sinovial, dan disokong oleh os
hyoideum melalui ligamentum dan membrana thyrohyoidea (Gambar 55-6).

Cartilago thyreoidea adalah kartilago terbesar dan mendukung sebagian besar


jaringan lunak laring. Tonjolan di superior kartilago ini membentuk prominentia
laryngealis (Adam’s apple) yang menonjol sampai ke leher dan dianggap sebagai
tanda penting teknik jalan napas perkutan dan blok saraf laringeal. Cartilago
cricoidea, pada tingkat vertebra cervicalis keenam, adalah batas inferior laring dan
di anterior berhubungan dengan cartilago thyreoidea melalui membrana
cricothyreoidea (CTM). Struktur ini adalah satu-satunya cincin kartilago yang
sempurna dalam jalan napas. Cartilago arytenoidea berartikulasi dengan bagian
posterior cartilagi cricoidea dan merupakan perlekatan posterior dari pita suara.

Jika dilihat dari faring selama laringoskopi langsung, laring dimulai dari
epiglottis, yaitu sebuah lipatan kartilago yang berfungsi sebagai tepi depan inlet
laringeal. Epiglottis berfungsi untuk mengalihkan makanan dari laring selama
proses menelan, walaupun perannya tidak esensial untuk mencegah aspirasi
trakea.17 Permukaan anterior epiglottis melekat ke tepi atas os hyoideum dengan
bantuan ligamentum hyoepiglotticum. Inlet laring berikatan ke lateral dengan
plica aryepiglottica dan di posterior dengan cartilago corniculata dan celah
interarytenoidea (Gambar 55-5).

Ruangan di bawah inlet laring ke bawah tepi inferior cartilago cricoidea disebut
cavum laring. Plica ventricularis (disebut juga plica vestibularis atau pita suara
palsu) adalah struktur paling atas dari cavum laring. Di bawahnya terdapat pita
suara sejati, yang melekat ke arytenoid di posterior dan cartilago thyreoidea di
anterior, di mana mereka bergabung membentuk commissura anterior. Ruangan
antara pita suara disebut glotis; porsio cavun laring di atas glotis disebut
vestibulum, dan porsio di bawahnya disebut subglotis.

Gambar 55-6. Komponen kartilago dan membran dari laring.

Trakea dan Bronkus

Trakea dimulai dari tingkat cartilago cricoidea dan meluas ke karina pada tingkat
vertebra thoracalis kelima; panjangnya 10-15 cm pada orang dewasa. Trakea
terdiri dari 16-20 cincin kartilago berbentuk C yang membuka di posterior dan
direkatkan satu sama lain melalui jaringan fibroelastis; otot-otot trakealis
membentuk dinding posterior trakea. Di karina, trakea bercabang dua ke kiri dan
ke kanan menjadi bronkus. Pada orang dewasa, bronkus utama kanan memiliki
sudut yang lebih vertikal, sehingga kecenderungannya lebih besar untuk benda
asing dan tabung endotrakeal (ETT) untuk masuk ke dalam lumen bronkus
kanan.18

PENILAIAN JALAN NAPAS

Walaupun anestesiolog harus selalu mempersiapkan diri untuk potensi kesulitan


jalan napas, kemampuan memprediksi kesulitan ini sangat diperlukan. Beberapa
gambaran atau rincian dari riwayat pasien dapat menjadi prognosis kesulitan
ventilasi sungkup, penempatan jalan napas supraglotis, laringoskopi, intubasi
endotrakeal, atau melakukan pembedahan. Tidak ada satu pun pemeriksaan yang
dianggap mampu memprediksi kesulitan jalan napas dengan tingkat akurasi
100%; namun, evaluasi lengkap dan pengetahuan tentang prediktor dapat
meningkatkan kewaspadaan anestesiolog untuk potensi kesulitan jalan napas
sehingga memungkinkan perencanaan yang lebih matang.

Penilaian jalan napas harus dimulai dengan pengambilan riwayat pasien sesegera
mungkin dan secara langsung.4 Salah satu faktor prediktif untuk intubasi yang
sulit adalah riwayat kesulitan itntubasi.19 Di sisi lain, riwayat pemasangan jalan
napas bantu yang mudah tidak menyingkirkan kemungkinan kesulitan ventilasi
atau intubasi. Pada kasus seperti ini, wawancara dengan pasien harus lebih
spesifik untuk mengetahui berat badan, simptomatologi, dan kondisi patologis
sejak induksi anestetik terakhir dilakukan dan dokter harus berusaha untuk
memperoleh rekam anestesi sebelumnya; yang akan memberikan informasi yang
sangat berguna tentang penanganan jalan napas pasien. Adanya status patologis
yang meningkatkan resiko kesulitan bernapas harus ditemukan dengan melakukan
pencarian riwayat penyakit. Tinjauan sistem yang terfokus dapat meningkatkan
kewaspadaan dokter akan faktor potensial lain yang mungkin menentukan
kesulitan penanganan jalan napas, riwayat mengorok adalah salah satu yang
prediktif untuk mempersulit ventilasi sungkup.20,21

Pemeriksaan fisik untuk jalan napas harus dilakukan sebelum pembedahan jika
memungkinkan untuk mendeteksi karakteristik fisik apapun yang dapat
menyulitkan jalan napas.4 Karakteristik spesifik yang harus dievaluasi dalam
pemeriksaan ini adalah:

 Inspeksi visual wajah dan leher


 Penilaian mulut terbuka
 Evaluasi anatomi orofaring dan gigi
 Penilaian rentang gerakan leher (kemampuan pasien untuk melakukan
posisi sniffing)
 Penilaian ruang submandibular
 Penilaian kemampuan pasien untuk menggeser mandibula ke anterior
(prognatisme mandibula)

Inspeksi visual wajah dan leher harus fokus ke karakteristik fisik apapun yang
dapat menandakan kesulitan penanganan jalan napas. Hal ini meliputi deformitas
wajah, neoplasma di wajah atau leher, luka bakar, goiter, leher pendek atau tebal,
dan bentuk mandibula. Adanya janggut dapat mempersulit pemakaian
sungkup.20,21 Pemasangan kerah kaku atau traksi leher dapat memengaruhi
ventilasu sungkup dan DL. Lingkar leher lebih dari 43 cm (17 inci) juga akan
mempersulit intubasi trakea.22 Brodsky menunjukkan bahwa lingkar leher yang
besar lebih prediktif untuk kesulitan intubasi endotrakeal daripada indeks massa
tubuh (IMT) yang tinggi.

Penilaian pembukaan mulut dan inspeksi anatomi orofaring dapat dilakukan


dengan menginstruksikan pasien membuka mulutnya selebar mungkin. Jarak
interinsisor kurang dari 3 cm (atau 2 ruas jari) yang diukur dari gigi seri atas ke
gigi seri bawah dengan pembukaan mulut maksimal akan mempersulit intubasi24;
beberapa penelitian menggunakan 4 atau 4.5 cm sebagai titik potongnya. 25
Inspeksi menyeluruh dari orofaring dapat membantu mengidentifikasi
karakteristik patologis yang dapat menyulitkan intubasi, seperti neoplasma,
palatum yang melengkung tinggi, atau makroglosi. Di tahun 1993, Mallampati
dkk menjelaskan tanda-tanda klinis untuk memprediksi kesulitan intubasi trakea
berdasarkan ukuran dasar lidah.26 Klasifikasi Mallampati I sampai III dibuat
berdasarkan visibilitas pilar fausial, uvula, dan palatum molle ketika pasien duduk
tegak dengan kepala netral, mulut terbuka, lidah protrusi, dan tanpa fonasi.27 Skor
klasifikasi yang lebih tinggi menandakan visibilitas struktur orofaring yang buruk
karena ukuran lidah yang relatif besar terhadap ruang orofaring, dan akibatnya,
akan mempersulit laringoskopi. Klasifikasi Mallampati termodifikasi yang
diperkenalkan oleh Samsoon dan Young,28 yang menambahkan satu kelas lagi,
adalah uji penilaian patensi jalan napas yang umum digunakan dalam praktek
anestesi saat ini dan dijelaskan sebagai berikut (Gambar 55-7):

 Kelas I: Pilar fausial, uvula, dan palatum molle terlihat


 Kelas II: Dasar uvula dan palatum molle terlihat
 Kelas III: Hanya palatum molle yang terlihat
 Kelas IV: Hanya palatum durum yang terlihat

Sebagai uji tersendiri, klasifikasi Mallampati termodifikasi cukup untuk


memprediksikan kesulitan intubasi; namun, klasifikasi ini mungkin memiliki
kegunaan klinis jika dikombinasikan dengan prediktor kesulitan jalan napas
lainnya.29 Beberapa penelitian mendukung pengambilan skor Mallampati dengan
kepala dalam posisi ekstensi penuh untuk memperbaiki nilai prediktif tes ini.27,30
Klasifikasi nol Mallampati telah diajukan ketika epiglotis dapat terlihat selama
pemeriksaan orofaring; temuan ini biasanya dikaitkan dengan kemudahan
melakukan laringoskopi,31,32 walaupun kesulitan penanganan jalan napas
berkaitan dengan epiglotis yang besar dan floppy dapat terjadi pada pasien dengan
klasifikasi nol Mallampati.33,34

Pemeriksaan gigi harus dilakukan ketika pemeriksaan anatomi orofaring telah


dilakukan.24 Gigi seri yang relatif panjang dapat mempersulit DL. Gigi yang rusak
dan longgar meningkatkan trauma dental dan memberikan resiko aspirasi; fifi
yang sangat longgar harus dicabut sebelum laringoskopi. Aksesoris gigi seperti
kawat gigi, cap dan mahkota rentan terhadap kerusakan selama penanganan jalan
napas. Keompongan akan mempermudah intubasi trakea namun mempersulit
ventilasi sungkup.45

Posisi yang ideal untuk melakukan DL adalah memosisikan leher dalam keadaan
fleksi dan ekstensi atlantooksipital, posisi ini disebut juga posisi sniffing36 (lihat
Persiapan dan Pemosisian). Penilaian kemampuan pasien untuk melakukan posisi
ini harus dilakukan; ketidakmampuan mengekstensikan leher pada sendi
atlantooksipital akan mempersulit laringoskopi.37 Mobilitas kepala dan leher juga
dapat dinilai secara kuantitatif dengan mengukur jarak sternomental antara
incisura juularis dan ujung dagu ketika kepala ekstensi penuh dan mulut tertutup.
Jarak kurang dari 12.5 cm akan menyulitkan intubasi.38 Penilaian rentang gerakan
leher keseluruhan dapat dinilai dengan mengukur sudut yang terbentuk dari dahi
ketika leher fleksi penuh kemudian ekstensi penuh; ukuran kurang dari 80 derajat
akan mempersulit intubasi.39

Selama DL, lidah jatuh ke ruang submandibula; visualisasi glotis tidak akan
adekuat jika ruang ini menghilang karena mandibula yang kecil. skenario ini
seringkali disebut sebagai laring anterior. Jarak tiromental < 6.5 cm (3 ruas jari)
yang diukur dari insicura thyreoidea ke tepi bawah mentum, indikatif untuk ruang
mandibula yang kecil dan mempersulit intubasi.25,38 Komplians ruang ini harus
dinilai; kurangnya komplians atau adanya massa bukan temuan yang
meyakinkan.24

Uji kemampuan protrusi mandibula (prognatisme) memiliki nilai rpediktif dan


harus dimasukkan dalam penilaian jalan napas. Ketidakmampuan untuk
mengekstensikan gigi seri bawah melewati gigi seri atas indikatif untuk kesulitan
laringoskopi.46 Evaluasi serupa, tes mengiggit bibir atas yang dijelaskan oleh
Khan dkk, telah terbukti dapat memprediksikan kesulitan laringoskopi dengan
spesifisitas dan variabilitas antarpengamat daripada klasifikasi Mallampati;
ketidakmampuan gigi seri bawah menggigit bibir atas akan menyulitkan
laringoskopi.41,42

Walaupun uji jalan napas individu dibatasi oleh sensitivitas dan nilai prediktif
positif yang rendah, penilaian multivariat terbukti memiliki kekuatan prediktif
yang lebih tinggi. Skor Mallampati terbukti memiliki nilai prediktif yang lebih
baik ketika dikombinasikan dengan jarak tiromental, sternomental, dan/atau
antargigi seri.38,43 Model yang menggunakan beberapa faktor resiko, seperti skor
total resiko Wilson (berat badan, pergerakan kepala dan leher, pergerakan rahang,
mandibula, dan gigi) dan indeks resiko El-Ganzouri (pembukaan mulut, jarak
tiromental, kelas Mallampati, pergerakan leher, prognatisme, berat badan, dan
riwayat kesulitan intubasi) telah dikembangkan untuk memperbaiki nilai prediktif
penilaian jalan napas.39,44 Langeon dkk mengembangkan model komputer yang
menggunakan interaksi kompleks antara beberapa faktor resiko (IMT, pembukaan
mulut, jarak tiromental, kelas Mallampati, dan mandibula) untuk memperkirakan
kesulitan intubasi lebih akurat lagi daripada model lain berdasarkan analisis
statistik yang lebih sederhana.45

Gambar 55-7. Modifikasi klasifikasi Mallampati yang dijelaskan oleh Samsoon


dan Young. Klasifikasi ini dibedakan berdasarkan struktur yang terlihat. Kelas I—
palatum molle, palatum durum, uvula, pilar tonsil; kelas II—palatum molle,
palatum durum, uvula; kelas III—palatum molle, dasar uvula; kelas IV—palatum
molle tidak terlihat.
Kotak 55-1 Komponen Pemeriksaan Fisik Jalan Napas
 Inspeksi visual wajah dan leher
 Penilaian pembukaan mulut
 Evaluasi anatomi orofaring dan gigi
 Penilaian rentang gerakan leher (kemampuan pasien untuk melakukan
posisi sniffing
 Penilaian ruang submandibular
 Penilaian kemampuan pasien untuk mendorong mandibula ke anterior
(prognatisme)

KONSEP FISIOLOGIS PENANGANAN JALAN NAPAS

Praoksigenasi

Dengan induksi anestesi, hipoksemia dapat dengan cepat berkembang sebagai


akibat dari hipoventilasi atau apnea dalam kombinasi dengan penurunan kapasitas
residual fungsional (FRC) yang disebabkan oleh posisi terlentang, kelumpuhan
otot, dan efek langsung dari obat anestesi itu sendiri. Preoksigenasi, proses
penggantian nitrogen di paru-paru dengan oksigen, memberikan peningkatan
waktu sebelum desaturasi hemoglobin terjadi pada pasien dengan apnea. Waktu
apnea yang diperpanjang ini memberikan peningkatan keamanan sementara
anestesiolog untuk mengamankan jalan napas dan melanjutkan ventilasi.
Preoksigenasi yang adekuat yang penting ketika sungkup ventilasi setelah induksi
anestesi dikontraindikasikan atau diantisipasi menjadi sulit, ketika intubasi
diantisipasi menjadi sulit, dan pada pasien dengan FRC yang lebih kecil (yaitu,
pasien yang mengalami obesitas atau hamil) 46 (lihat juga Bab 71 dan 77).

Karena kesulitan penanganan jalan napas dapat terjadi secara tidak terduga,
dianjurkan untuk melakukan preoksigenasi rutin sebelum induksi anestesi umum.
47
Preoksigenasi biasanya dilakukan melalui sungkup wajah yang melekat pada
mesin anestesi atau sirkuit Mapleson. Untuk memastikan preoksigenasi yang
memadai, 100% oksigen harus disediakan pada laju aliran yang cukup tinggi
untuk mencegah rebreathing (10 hingga 12 L/menit), dan tidak ada kebocoran di
sekitar sungkup muka. Konsentrasi oksigen tidal akhir lebih besar dari 90%
dianggap memaksimalkan waktu apnea. Dua metode utama digunakan untuk
mencapai preoksigenasi. Metode pertama yaitu menggunakan ventilasi volume
tidal melalui sungkup muka selama 3 menit, yang memungkinkan pertukaran 95%
gas di paru-paru.46 Metode kedua menggunakan napas kapasitas vital untuk
mencapai preoksigenasi yang memadai lebih cepat. Empat napas lebih dari 30
detik tidak efektif sebagai metode volume tidal tetapi dapat diterima dalam situasi
klinis tertentu; delapan kali napas dalam 60 terbukti lebih efektif.46Pemosisian
kepala dapat meningkatkan kualitas preoksigenasi pada pasien obese48 dan
nonobese.49 Penggunaan ventilasi tekanan positif (VTP)non-invasif untuk
preoksigenasi juga memperpanjang waktu apnea.50,51

Aspirasi Isi Lambung ke Dalam Paru

Pada tahun 1946, Mendelson adalah yang pertama menjelaskan pneumonitis


aspirasi, yaitu aspirasi isi sekresi lambung yang asam ke dalam paru pada wanita
hamil di bawah pengaruh anestesi.52 Komplikasi yang berpotensi fatal ini—
kadang disebut sindrom Mendelson—adalah fokus yang intens dari usaha
preventif dalam komunitas anestesi. Pencegahan aspirasi isi lanbung terutama
dilakukan dengan mematuhi panduan puasa praoperasi, prapengobatan dengan
obat-obat yang menurunakn resiko pneumonitis aspirasi, dan induksi teknik
khusus yang akan dibahas kemudian di bab ini dan Bab 77.

Secara tradisional, pasien yang dijadwalkan untuk prosedur elektif yang


memerlukan sedasi, anestesi regional, atau anestesi umum akan diinstruksikan
untuk tetap NPO (bahasa Latin untuk nulla per os atau tidak ada makanan lewat
mulut) setelah tengah malam untuk memastikan perut kosong agar menurunkan
resiko regurgitasi. Berdasarkan bukti, memperbolehkan ingesti cairan jernih 2-4
jam sebelum operasi akan menghasilkan volume lambung yang lebih rendah dan
pH yang lebih tinggi. Dari bukti ini, ASA mempublikasikan Panduan Praktek
untuk Puasa Praoperasi dan Penggunaan Agen Farmakologis untuk Mengurangi
Resiko Aspirasi Paru tahun 1999 yang membebaskan kebijakan NPO tradisional
dan memperbolehkan konsumsi cairan jernih maksimal 2 jam sebelum operasi.
Panduan ini—diperbarui tahun 2011—merekomendasikan puasa 4 jam dari ASI
dan 6 jam dari makanan padat, formula bayi, dan susu non-manusia. Makanan
gorengan atau berlemak akan memerlukan waktu puasa lebih panjang (8 jam ke
atas).53 Walaupun panduan ASA tidak secara spesifik mengalamatkan makanan
seperti permen karet, permen keras, atau merokok, panduan yang dipublikasikan
oleh European Society of Anaesthesiology tidak merekomendasikan untuk
memulai anestesi jika pasien mengonsumsi salah satu dari yang disebutkan di atas
sebelum anestesi.54

Penggunaan rutin obat-obatan sebagai profilaksis terhadap pneumonitis aspirasi


tidak direkomendasikan oleh panduan ASA53 namun akan menguntungkan pasien
dengan faktor resiko tertentu seperti perut penuhl, penyakit refluks
gastroesofageal simptomatik, hernia hiatus, tabung nasogastrik, obesitas morbid,
gastroparesis diabetik, atau kehamilan. Tujuan profilaksis ini adalah: untuk
menurunkan volume lambung dan meningkatkan pH cairan lambung. Agen yang
sering digunakan adalah antasida (mis., Bicitra), obat promotilitas (mis.,
metoclopramide), dan antagonis reseptor H2. Obat-obatan ini dapat digunakan
sendiri atau dikombinasikan.

Refleks Jalan Napas dan Respons Fisiologis terhadap Intubasi Trakea

Salah satu fungsi teleologis dari laring adalah proteksi jalan napas, yang terutama
dilakukan oleh refleks penutupan glotis. Refleks ini dipicu oleh reseptor sensoris
di mukosa glotis dan subglotis dan menghasilkan adduksi kuat pita suara.56
Manifestasi maladaptif dari refleks ini (laringospasme) adalah komplikasi
potensial dari penanganan jalan napas. Laringospasme biasanya dipicu oleh
stimulasi nervus glossopharyngeus atau vagus akibat instrumentasi jalan napas
atau iritasi pita suara (dari darah atau muntahan) dalam keadaan anestesi ringan
(kelas II dalam klasifikasi Guedel), namun juga dapat dipengaruhi oleh stimulus
berbahaya lainnya yang dapat bertahan sampai stimulus tersebut menghilang.
Penanganan laringospasme meliputi pengangkatan iritan, pendalaman anestesi,
dan pemberian obat penghambat neuromuskular kerja cepat seperti
succinylcholine.57 Tekanan jalan napas positif kontinyu dengan oksigen 100%
biasanya disitasi sebagai manuver terapeutik walaupun tekanannya dapat
mendorong plica aryepiglottica menjadi lebih dekat dan bahkan sebenarnya
menyebabkan laringospasme karena bekerja sebagai stimulus mekanis.58,59
Tekaanan bilateral pada celah laringospasme antara condylus mandibula dan
processus mastoideus adalah penanganan efektif yang menyebabkan stimulus
intens dan nyeri, sehingga memberhentikan laringospasme dengan meningkatkan
kesadaran atau mengaktivasi jalur otonom.57

Cabang trakeobronkial juga memiliki refleks untuk melindungi paru dari zat-zat
berbahaya. Iritasi saluran napas bawah oleh benda asing akan mengaktivasi
refleks vagal—memediasi konstriksi otot polos bronkial sehingga menyebabkan
bronkospasme. Apabila tidak ditangani, maka akan menyebabkan
ketidakmampuan ventilasi karena peningkatan resistensi jalan napas yang
ekstrem. Penanganannya meliputi pendalaman anestesi dengan propofol atau agen
volatil lain dan pemberian inhalasi agonis β2 atau antikolinergik. Pemberian
lidokain intravena (IV) sudah diteliti, namun buktinya tidak mendukung
penggunaannya untuk bronkospasme.60

Intubasi endotrakeal, laringoskopi, dan instrumentasi jalan napas lainnya akan


memberikan stimulus yang intens melalui serabut aferen glossopharyngeus dan
vagus yang menyebabkan aktivasi refleks otonom, yang biasanya bermanifestasi
sebagai hipertensi dan takikardi pada orang dewasa dan remaja; pada bayi dan
anak-anak aktivasi otonom akan menyebabkan bradikardi. Hipertensi dan
takikardi biasanya berdurasi pendek; namun, dapat memberikan konsekuensi
serius pada pasien dengan penyakit jantung yang signifikan. Aktivasi sistem saraf
pusat sebagai hasil dari penanganan jalan napas menyebabkan peningkatan
aktivitas elektroensefalografik (EEG), laju metabolisme serebral, dan aliran darah
serebral, yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial pada pasien dengan
penurunan komplians intrakranial.60

ANESTESI UNTUK PENANGANAN JALAN NAPAS


Untuk memfasilitasi penanganan jalan napas, beberapa anestesi biasanya
diperlukan untuk memberikan kenyamanan pasien, menumpulkan refleks dan
repsons hemodinamik terhadap instrumentasi. Lebih umum lagi, penanganan ini
dilakukan setelah induksi anestesi umu,. Secara alternatif, teknik sadar, yang
berarti menegakkan jalan napas (seperti intubasi endotrakeal) menggunakan
anestesi lokal dan/atau sedasi, dapat digunakan untuk memenuhi tujuan ini jika
ada indikasi. Dalam skenario gawat darurat, ketika pasien koma, seperti kejadian
respirasi akut atau henti jantung, kami tidak menyarankan penggunaan obat
anestetik.

Penanganan Jalan Napas setelah Induksi Anestesi Umum

Penanganan jalan napas biasanya dilakukan setelah idnuksi anestesi umum jika
anestesiolog menentukan keamanannya. Beberapa teknik farmakologis dapat
digunakan untuk induksi anestesi, masing-masing dengan efek sampingnya
sendiri. Keputusan dari teknik yang mana yang akan digunakan harus dibuat hati-
hati dalam kondisi klinis spesifik.

Induksi intravena standar dengan blokade neuromuskular. Teknik tersering


induksi anestesi umum adalah induksi IV standar, yang melibatkan pemberian
anestetik IV kerja cepat yang diikuti oleh pemberian obat penghambat
neuromuskular. Relaksasi otot yang diperoleh setelah pemberian obat penghambat
ini akan memperbaiki kondisi intubasi dengan memfasilitasi laringoskopi,
mencegah refleks penutupan laring dan batuk setelah intubasi.10,61

Propofol adalah obat anestetik IV yang paling sering digunakan; pilihan lain
meliputi etomidate, ketamine, thiopental, dan midazolam. Pilihan obat ini
bergantung pada berbagai faktor seperti status hemodinamik pasien, komorbiditas,
dan alergi, serta farmakokinetika obat, efek samping, preferensi dokter, dan
ketersediaannya.62 Apakah pilihan obat anestetik memiliki efek terhadap kualitas
intubasi ketika obat penghambat neuromuskular juga diberikan masih belum jelas.
Penelitian yang membandingkan propofol, etomidate, dan thiopental yang
dikombinasikan dengan obat penghambat neuromuskular tidak menunjukkan
perbedaan dalam kondisi intubasi antara anestetik yang berbeda.63,64 Di sisi lain,
satu penelitian, selama pasien menerima cisatracurium, menunjukkan bahwa dosis
propofol yang lebih ebesar berkaitan dengan perbaikan kondisi intubasi jika
dibandingkan dosis yang lebih kecil.65

Selama bertahun-tahun, succinylcholine adalah obat penghambat neuromuskular


yang paling sering digunakan untuk induksi IV rutin52; namun baru-baru ini, obat
non-depolarisasi lebih populer karena resiko efek sampingnya yang lebih sedikit
daripada succinylcholine seperti bradikardi, mialgia, hiperkalemia, peningkatan
tekanan intrakranial, dan peningkatan tekanan intragastrik.66 succinylcholine,
satu-satunya obat penghambat neuromuskular depolarisasi dalam penggunaan
klinis, bekerja dengan cepat dan saat ini lebih sering digunakan di seluruh dunia.
Obat ini masih sering digunakan dalam kondisi kesulitan jalan napas; durasi
kerjanya yang pendek memungkinkan resumsi ventilasi spontan sebelum hipoksia
berat terjadi pada pasien praoksigenasi, walaupun bukti yang ada menyatakan
bahwa hal ini mungkin tidak terjadi in vivo.67

OBAT PENGHAMBAT NEUROMUSKULAR non-depolarisasi adalah relaksan


yang lebih sering digunakan untuk induksi anestesi rutin IV.66 NMD non-
depolarisasi yang paling umum digunakan dalam praktek saat ini—rocuronium,
vecuronium, dan cisatracurium—dikenal karena memiliki profil keamanan yang
menguntungkan dengan efek samping yang relatif sedikit. Kekurangan utama dari
obat-obatan ini adalah durasi tindakan yang secara signifikan lebih lama; setelah
diberikan, jalan napas fungsional harus ditetapkan dalam beberapa menit untuk
menghindari hipoksia yang mengancam jiwa. Sugammadex adalah agen pengikat
relaksasi selektif untuk rocuronium yang memiliki kemampuan untuk
membalikkan blokade neuromuskular yang mendalam dengan cepat dalam waktu
yang sebanding dengan pemulihan spontan dari succinylcholine.68 Pengenalan
sugammadex, yang saat ini belum tersedia di Amerika Serikat, dapat mengurangi
penggunaan succinylcholine untuk induksi rutin anestesi umum (lihat juga Bab
35).
Pengajaran tradisional telah menganjurkan untuk menahan pemberian OBAT
PENGHAMBAT NEUROMUSKULAR sampai kemampuan untuk menggunakan
ventilasi sungkup telah ditetapkan. Jika ventilasi sungkup tidak dapat dilakukan,
pasien yang telah menghirup oksigen kemudian dapat melanjutkan ventilasi
spontan atau terbangun sebelum awitan hipoksia.69 Praktek ini telah semakin
dipertanyakan dalam literatur karena, sebagian, ke sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa ventilasi sungkup tidak menjadi lebih sulit dengan relaksasi
otot70,71; sebaliknya, ventilasi sungkup sebenarnya difasilitasi oleh relaksasi otot.
Satu masalah dengan paradigma tradisional adalah bahwa keuntungan teoretis dari
praktek tersebut—kemampuan untuk membangunkan pasien jika ventilasi
sungkup gagal—jarang digunakan.73, Pada kenyataannya, keinginan untuk
mempertahankan kemampuan itu mungkin menyebabkan pemberian dosis
anestesi yang tidak memadai selama induksi, sehingga menyulitkan situasi
ventilasi sungkup yang sulit.73 Menunda pemberian OBAT PENGHAMBAT
NEUROMUSKULAR dapat menyebabkan timbulnya hipoksia sebelum
pemulihan spontan (dengan succinylcholine) atau pembalikan (dengan
rocuronium dan sugammadex).

Pendukung pengajaran tradisional menunjukkan fakta bahwa efek relaksasi otot


pada kemampuan untuk berventilasi melalui sungkup hanya dipelajari pada pasien
dengan jalan napas yang normal. Pada pasien dengan kesulitan jalan napas,
memeriksa kemampuan untuk melakukan ventilasi sungkup akan memungkinkan
penyusunan rencana penanganan saluran napas yang terbaik. Menurut pendapat
penulis, pada pasien dengan saluran udara normal yang kesulitan dengan ventilasi
sungkup seringkali disebabkan oleh penutupan glotis yang disebabkan oleh
kekakuan iritasi saluran napas atau pengaruh opioid, penggunaan OBAT
PENGHAMBAT NEUROMUSKULAR tidak boleh ditunda. Pada pasien dengan
jalan napas yang berpotensi sulit, kemampuan untuk berventilasi melalui sungkup
harus dikonfirmasi sebelum memberikan OBAT PENGHAMBAT
NEUROMUSKULAR kerja panjang.
Induksi anestesi kerja cepat dan intubasi trakea. Induksi anestesi kerja cepat
dan intubasi trakea(rapid-sequence induction and intubation/RSII) adalah metode
khusus induksi IV yang umum digunakan ketika regurgitasi lambung dan aspirasi
isi lambung ke paru berpotensi untuk terjadi. Setelah preoksigenasi diterapkan,
dosis induksi anestetik IV cepat diikuti oleh 1 sampai 1,5 mg/kg succinylcholine
IV, dan intubasi trakea tanpa upaya pada VTP, semua dilakukan sementara
tekanan krikoid diterapkan. Tujuannya adalah untuk mencapai kondisi intubasi
optimal dengan cepat untuk meminimalkan lamanya waktu antara kehilangan
kesadaran dan mengamankan jalan napas dengan ETT yang difiksasi. Tekanan
krikoid, secara eponim disebut sebagai manuver Sellick setelah dokter yang
pertama kali menggambarkannya, menekan cincin krikoid untuk menutup
esofagus bagian atas, sehingga mencegah regurgitasi isi lambung ke faring.74
Gaya yang disarankan untuk digunakan adalah 10 Newton (N) saat pasien terjaga,
meningkat menjadi 30 N setelah kehilangan kesadaran. Nilai-nilai ini didasarkan
pada manometri esofagus pada pasien yang menjalani induksi anestesi dan studi
kadaver tentang jumlah tekanan yang aman.75 RSII secara luas dipraktekkan dan
merupakan pendekatan standar perawatan pada pasien dengan perut penuh (yaitu,
ketika pedoman NPO belum diamati) dan dalam kondisi obstruksi usus.76,77
Secara historis, RSII direkomendasikan pada pasien hamil, yang dimulai pada
trimester kedua,78 namun dogma ini telah dipertanyakan.79,80 Situasi klinis lainnya
di mana RSII dapat dipertimbangkan adalah resiko aspirasi isi lambung lebih
tinggi dari normal, penyakit GERD yang tidak terkontrol, adanya tabung
anasogastrik, obesitas morbid, dan gastroparesis diabetik. RSII juga adalah teknik
induksi yang bermanfaat ketika ventilasi sungkup sulit dilakukan, namun intubasi
tidak sulit dilakukan, seperti pada pasien berjanggut.

Beberapa variasi umum untuk RSII telah dikembangkan dari teknik yang pertama
kali dijelaskan pada tahun 1970.81 Ketika succinylcholine dikontraindikasikan
atau efek sampingnya tidak diinginkan, RSII dapat dicapai dengan menggunakan
penghambat neuromuskular non-depolarisasi (rocuronium 1,0 hingga 1,2 mg/kg
atau vecuronium 0,3 mg/kg); dosis ini memberikan kondisi intubasi yang adekuat
dalam waktu kurang dari 90 detik.82,83 Kerugian utama dengan obat-obat ini
adalah durasi blokade neuromuskular yang berkepanjangan; namun, pengenalan
sugammadex dapat meningkatkan penggunaannya (lihat juga Bab 34 dan 35).
Meskipun RSII tradisional untuk induksi memerlukan dosis tetap thiopental,
penggunaan anestesi lainnya seperti propofol, etomidate, atau ketamine juga
umum digunakan.

Penerapan tekanan krikoid adalah aspek yang paling kontroversial dari RSII.77
Para penentang menunjuk pada penelitian yang menunjukkan bahwa tekanan
krikoid menghasilkan penurunan tonus sfingter esofagus bagian bawah, sehingga
berpotensi meningkatkan resiko untuk regurgitasi,84 dan pencitraan resonansi
magnetik (MRI) menunjukkan bahwa pada kenyataannya, tekanan krikoid
tidakmengakibatkan kompresi esofagus, melainkan perpindahan lateral.85 Tekanan
krikoid juga memperburuk visualisasi laring selama DL, berpotensi
memperpanjang waktu intubasi dan meningkatkan resiko aspirasi paru, dan dapat
menyebabkan oklusi jalan napas subglotis, mengakibatkan kesulitan dengan
intubasi trakea atau ventilasi sungkup.86 Di sisi lain, pendukung berpendapat
bahwa tekanan krikoid yang diterapkan dengan baik efektif dalam mengurangi
resiko aspirasi dan bahwa laporan masalah adalah karena kesalahan saat
menerapkan teknik ini. Para penulis studi MRI terbaru tentang tekanan krikoid
berpendapat bahwa posisi esofagus tidak relevan karena efektivitas tekanan
krikoid adalah karena oklusi hipofaring.87 Secara umum, karena resiko penerapan
tekanan krikoid yang relatif jarang, penggunaannya dianjurkan untuk RSII kecuali
visualisasi glotis terbukti sulit, dalam hal ini dapat dengan mudah dilepaskan.

Istilah RSII yang dimodifikasi sering digunakan, tetapi tidak ada definisi standar
untuk istilah ini. Sebuah survei terhadap komunitas anestesi dan anestesiolog di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa istilah ini paling sering digunakan untuk
merujuk pada penggunaan ventilasi sungkup bersamaan dengan tekanan krikoid.88
Indikasi untuk teknik ini termasuk pasien yang beresiko untuk mengalami
hipoksemia yang cepat (misalnya, pasien yang obesitas, hamil, atau sakit kritis;
pasien anak-anak) dalam situasi di mana preoksigenasi tidak dapat diselesaikan
secara memuaskan atau ketika diperlukan waktu yang lebih lama untuk kondisi
intubasi karena penggunaan dosis standar penghambat neuromuskular non-
depolarisasi. Meskipun efek VTP dengan tekanan krikoid diterapkan dalam hal
insuflasi lambung di mana udara tidak diketahui secara pasti, VTP lembut
(tekanan inspirasi <20 cm air [H2O]) dalam hubungannya dengan tekanan krikoid
dapat dilakukan dalam skenario klinis ini.89

Induksi anestesi inhalasi.Pilihan lain untuk induksi anestesi umum adalah


induksi inhalasi dengan anestetik volatil. Teknik ini biasanya digunakan pada
anestesi anak untuk memberikan pengalaman tanpa rasa sakit, tanpa jarum untuk
anak (lihat juga Bab 93). Pada orang dewasa, induksi anestesi inhalasi digunakan
ketika akses IV tidak tersedia atau ketika kita menginginkan keuntungan khusus
dari teknik ini. Keuntungan dari induksi anestesi inhalasi adalah pemeliharaan
ventilasi spontan dan potensi perubahan bertahap dalam kedalaman anestesi dan
efek pernapasan dan kardiovaskular terkait.10 Induksi anestesi inhalasi juga telah
digunakan untuk RSII, dengan penghambat neuromuskular kerja cepat yang
diberikan saat kehilangan kesadaran.90 (lihat juga Bab 34).

Sevoflurane saat ini merupakan anestesi volatil yang paling sering digunakan
untuk induksi inhalasi karena kurangnya ketajaman dan kelarutan gas darah yang
rendah (lihat Bab 21), sehingga memungkinkan untuk induksi anestesi yang halus
yang dapat memberikan kondisi yang sesuai untuk penanganan saluran napas
dengan atau tanpa obat adjuvan. seperti penghambat neuromuskular atau opioid.91
Dua teknik utama untuk induksi sevofluran pada anestesi adalah induksi volume
tidal, di mana pasien diinstruksikan untuk bernapas secara normal melalui
sungkup wajah, dan induksi kapasitas vital, di mana pasien diinstruksikan untuk
menghembuskan napas ke volume residu. dan kemudian mengambil nafas vital
dari sungkup wajah. Konsentrasi tinggi sevoflurane (8%) digunakan untuk induksi
kapasitas vital, sedangkan induksi volume tidal dapat dimulai dengan konsentrasi
sevoflurane yang lebih rendah sebelum konsentrasi ditingkatkan. Nitrogen oksida
(N2O) dapat digunakan dengan salah satu metode untuk mempercepat induksi
(lihat juga Bab 21).92 Kedua metode ini efektif dan dapat digunakan untuk
penempatan sungkup laring atau intubasi endotrakeal.91 Tingkat anestesi yang
dalam diperlukan untuk mencapai kondisi intubasi yang memuaskan ketika
menggunakan sevoflurane sebagai agen induksi tunggal, meningkatkan resiko
efek samping, seperti hipotensi. Pemberian propofol,93 opioid kerja
cepat,94,95penghambat neuromuskuar,96 dan ketamin97 semuanya telah terbukti
memperbaiki kondisi intubasi dan memungkinkan konsentrasi tidal akhir dari
sevoflurane yang lebih rendah.

Halothane, yang masih umum digunakan di negara berkembang, juga dapat


digunakan untuk induksi anestesi inhalasi.98 Salah satu kelemahan utama dari
halothane adalah tingginya koefisien gas darah, yang menyebabkan waktu induksi
yang relatif lama. Agen ini juga dapat menghasilkan disritmia jantung, depresi
miokard, dan hepatitis. Karena ketidakmampuan untuk mencapai tingkat anestesi
yang dalam dengan halothane sebagai akibat dari efek sampingnya, penggunaan
obat penghambat neuromuskular, opioid, atau keduanya, sering diperlukan.91
Penggunaan desflurane untuk induksi anestesi inhalasi dibatasi oleh
kecenderungannya untuk menyebabkan iritasi saluran napas, meskipun laporan
penggunaannya untuk induksi dalam kombinasi dengan opioid telah
dilaporkan.99,100

Induksi intravena atanpa obat penghambat neuromuskular.Induksi IV


anestesi umum tanpa menggunakan OBAT PENGHAMBAT
NEUROMUSKULAR biasanya digunakan untuk penempatan sungkup laring
tetapi dapat digunakan untuk mencapai kondisi intubasi yang memuaskan. Teknik
ini berguna ketika penggunaan succinylcholine dikontraindikasikan dan waktu
pemulihan berkepanjangan dari obat non-depolarisasi tidak diinginkan. Anestesi
IV yang umum tersedia, propofol adalah yang paling cocok untuk induksi tanpa
relaksasi otot karena kemampuan uniknya untuk menekan refleks jalan nafas dan
untuk menghasilkan apnea.101.102 Dosis yang lebih besar diperlukan, namun, ketika
propofol digunakan sebagai anestetik tunggal, meningkatkan resiko hipotensi
yang signifikan. Peningkatan kondisi intubasi dan dosis yang lebih kecil dari
propofol mungkin terjadi ketika opioid kerja cepat (misalnya, alfentanil,
remifentanil) atau magnesium IV diberikan.103.104 Remifentanil lebih efektif
daripada dosis yang sebanding dari alfentanil103; dalam kombinasi dengan
propofol 2 mg/kg, remifentanil 4 hingga 5 μg/kg dapat menyediakan kondisi
intubasi yang baik hingga sangat baik.105 Ketika dikombinasikan dengan tekanan
krikoid dan menghindari ventilasi masker, teknik induksi ini dapat digunakan
untuk RSII.106

Kekurangan dari teknik ini termasuk kemungkinan insiden intubasi yang lebih
sering lebih sering107 dan peningkatan resiko untuk morbiditas laring.1,10,108
Teknik ini juga meningkatkanresiko kekakuan otot yang diinduksi opioid yang
mengakibatkan kesulitan dengan ventilasi sungkup. Meskipun resiko ini
umumnya dikaitkan dengan kekakuan dinding dada, studi pada pasien yang
diintubasi dan pasien dengan trakeostomi telah menunjukkan bahwa penurunan
komplians paru karena kekakuan dinding dada tidak cukup untuk menjelaskan
ketidakmampuan untuk ventilasi sungkup setelah opioid dosis besar.109.110
Pemeriksaan pita suara selama induksi dengan opioid telah menunjukkan bahwa
penutupan pita suara adalah penyebab utama sulitnya ventilasi setelah anestesi
dengan opioid.111.112 Perawatan dengan OBAT PENGHAMBAT
NEUROMUSKULARdosis kecil atau lidokain topikal (anestesi laringotrakeal)
dapat efektif dalam merilekskan pita suara untuk memungkinkan ventilasi
sungkup dan/atau intubasi.111,113

Penanganan Jalan Napas pada Pasien Sadar (Non-Anestesi)

Dalam "Algoritme Kesulitan Jalan Napas" ASA, pertimbangan apakah jalan napas
harus diamankan sebelum atau setelah induksi anestesi umum adalah salah satu
pilihan manajemen dasar yang harus dipertimbangkan ketika rencana manajemen
jalan napas sedang dirancang.24 Manfaat menjaga manajemen jalan nafas meliputi
pelestarian tonus otot faring dan patensi saluran udara bagian atas, pemeliharaan
ventilasi spontan, kemampuan untuk mendapatkan pemeriksaan neurologis yang
cepat, dan perlindungan terhadap aspirasi yang terkait dengan pelestarian refleks
protektif jalan nafas.114 Secara umum, ketika terjadi kesulitan dalam ventilasi
sungkup dan intubasi trakea, pendekatan paling aman untuk manajemen saluran
napas adalah untuk mengamankan jalan napas saat pasien tetap terjaga.24 Indikasi
lain untuk manajemen saluran napas ketika sadar meliputi resiko aspirasi berat isi
lambung, trauma wajah atau saluran napas, ketidakstabilan hemodinamik berat,
dan ketidakstabilan patologis vertebra cervicalis.115

Karena sifat dari indikasi ini, intubasi endotrakeal paling sering dipilih sebagai
tujuan dari manajemen saluran napas; namun, penempatan sungkup laring untuk
diagnosis bronkoskopi telah dijelaskan. Teknik yang paling berguna untuk
intubasi sadar adalah intubasi skopfleksibel (FSI),114 meskipun teknik lain telah
berhasil digunakan, termasuk video laringoskop (VL),116stylet optik,117stylet non-
optik,118 intubasi sungkup laring,119 dan intubasi retrograde (IR).120

Dalam banyak kasus, topikalisasi jalan napas dengan anestesi lokal menjadi
anestesi primer untuk manajemen saluran napas sadar.114 Lidocaine adalah
anestesi lokal yang paling sering digunakan untuk manajemen saluran napas
karena awitannya yang cepat, indeks terapeutik yang tinggi, dan ketersediaan
dalam berbagai berbagai preparat dan konsentrasi.121,122 Benzocaine dan Cetacaine
(semprotan aplikasi topikal yang mengandung benzocaine, tetracaine, dan
butamben; Cetylite Industries, Pennsauken, NJ) memberikan anestesi topikal yang
sangat baik dari saluran napas, tetapi penggunaannya dibatasi oleh resiko
methemoglobinemia, yang dapat terjadi dengan sesedikit 1 sampai 2 detik
penyemprotan.123 Kokain topikal terutama digunakan untuk anestesi dan
vasokonstriksi mukosa hidung selama intubasi nasotrakeal sadar.124 Campuran
lidocaine 3% dan phenylephrine 0,25%, yang dapat dibuat dengan
menggabungkan lidocaine 4% dan phenylephrine 1% dalam rasio 3:1, memiliki
sifat anestetik dan vasokonstriksi yang sama seperti kokain topikal dan dapat
digunakan sebagai alternatif.125

Topikalisasi terutama harus difokuskan pada pangkal lidah (reseptor tekanan di


sini bertindak sebagai komponen aferen dari refleks muntah), orofaring,
hipofaring, dan struktur laring; anestesi rongga mulut tidak diperlukan. Jika
intubasi nasotrakeal direncanakan, maka rongga hidung juga harus menjadi
tempat anestesi. Sebelum topikalisasi saluran napas, antikolinergik harus
diberikan untuk membantu pengeringan sekresi, yang membantu meningkatkan
efektivitas anastesi lokal topikal dan visualisasi selama laringoskopi.
Glycopyrrolate biasanya disukai karena memiliki efek vagolitik yang lebih sedikit
daripada atropin pada dosis yang menghambat sekresi dan tidak melewati sawar
darah otak. Ini harus dilakukan sedini mungkin untuk memaksimalkan
efektivitasnya.

Aplikasi langsung kokain topikal, lidokain 4% dengan larutan epinefrin, atau


lidokain 3%/fenilefrin 0,25% melalui penyeka kapas efektif untuk anestesi
mukosa hidung. Anestesi orofaring dapat dicapai dengan aplikasi langsung dari
anestetik lokal atau dengan menggunakan alat penyemprot atau nebulizer.
Topikalisasi laring dapat dicapai dengan aspirasi anestesi lokal atau dengan
metode spray-as-you-go (SAYGO), yang melibatkan penyuntikan anestetik
intermiten melalui port hisap atau saluran dari skop intubasi fleksibel (FIS) atau
styletoptik, karena maju menuju trakea.

Topikalisasi mukosa saluran napas menggunakan satu atau lebih dari metode ini
seringkali sudah cukup. Jika diperlukan anestesi tambahan, maka berbagai blok
saraf dapat digunakan. Tiga dari yang paling berguna adalah blok saraf
glossopharyngeal, blok saraf laring superior, dan blok translaringeal

Nervus glossopharyngeus memasok persarafan sensorik ke sepertiga posterior


lidah, vallecula, permukaan anterior epiglotis, dan dinding posterior dan lateral
faring dan merupakan jalur aferen dari refleks muntah. Untuk memblokir saraf ini,
lidah dipindahkan secara medial, membentuk selokan (alur glossogingival). Jarum
spinal berukuran 25-G dimasukkan ke dasar pilar anterior tonsil, tepat di samping
pangkal lidah, hingga kedalaman 0.5 cm (Gambar 55-8). Setelah aspirasi negatif
untuk darah atau udara, 2 mL lidokain 2% disuntikkan. Proses ini kemudian
diulang pada sisi kontralateral.114
Nervus laryngeus superior, cabang nervus vagus, memberikan masukan sensoris
dari faring bawah dan bagian atas laring, termasuk permukaan glotis epiglotis dan
plica aryepiglottica. Blok saraf ini dapat dicapai menggunakan salah satu dari tiga
penanda (Gambar 55-9). Dengan menggunakan cornu superior dari os hyoideum
atau cornu superior dari cartilago thyreoida, jarum spinal berukuran 25 diukur dari
cornu anterior menuju ligamentum tirohyoideum. Perlawanan dirasakan saat
jarum diteruskan melalui ligamen, biasanya pada kedalaman 1 hingga 2 cm.
Setelah aspirasi negatif untuk darah dan udara, 1,5 sampai 2 mL lidokain 2%
disuntikkan dan kemudian diulang pada sisi yang berlawanan.121 Penanda ketiga
untuk blok saraf laring superior sangat berguna pada pasien yang mengalami
obesitas, di antaranya palpasi dari hyoid atau cornu superior cartilago thyreoidea
mungkin sulit atau tidak nyaman bagi pasien. Dalam pendekatan ini, jarum
dimasukkan 2 cm lateral ke incisura thyreoidea dan diarahkan ke arah posterior
dan cephalad sampai kedalaman 1 sampai 1.5 cm, di mana 2 mL lidokain 2%
diinfiltrasi dan, sekali lagi, diulang pada sisi kontralateral.126.

Blok translaringeal (atau transtrakeal) memberikan anestesi trakea dan pita suara.
Blok ini mungkin sangat berguna dalam situasi di mana pemeriksaan neurologis
diperlukan setelah intubasi; yang membuat kehadiran ETT di trakea lebih
nyaman. CTM diidentifikasi, dan jarum berukuran 20 sampai 22 yang dilekatkan
pada jarum suntik 5 mL langsung maju ke posterior dan sedikit ke kaudal sampai
udara diaspirasi, pada titik mana 4 mL lidokain 2% atau 4% dengan cepat
disuntikkan. Prosedur ini menyebabkan pasien batuk, membius pita suara dan
trakea. Untuk meminimalkan resiko trauma, kateter pertama mungkin
ditempatkan di atas jarum dan anestesi lokal kemudian disuntikkan melalui kateter
(Gambar 55-10).121 Teknik ini dapat digunakan dalam berbagai kombinasi yang
berbeda selama dosis maksimum lokal anestesi tidak terlampaui. Dosis
maksimum lidocaine untuk aplikasi ke saluran napas tidak mapan; sumber yang
berbeda menyarankan dosis total dalam kisaran 4 hingga 9 mg/kg.121.127.128
Pemantauan tanda dan gejala toksisitas lidokain, termasuk tinnitus, kesemutan
perioral, rasa logam, pusing, dan sedasi adalah hal yang penting. Overdosis
lidocaine yang parah dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, kejang, dan
kolaps kardiovaskular.129 Tergantung pada keadaan klinis, sedasi IV dapat
memfasilitasi penanganan saluran napas pada pasien yang terjaga dengan
memberikan anxiolisis, amnesia, dan analgesia. Benzodiazepin, opioid, hipnotik
IV, agonis α2, dan neuroleptik dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi.
Ringkasan obat umum yang digunakan untuk sedasi dapat ditemukan pada Tabel
55-1. Obat-obatan ini harus dititrasi dengan hati-hati untuk efek
sampingnya;oversedasi dapat membuat pasien tidak kooperatif dan membuat
intubasi sadar lebih sulit. Ventilasi spontan harus selalu dijaga. Perawatan harus
dilakukan dalam situasi dengan obstruksi jalan napas kritis, karena tonus otot
sadar kadang-kadang diperlukan pada pasien-pasien ini untuk mempertahankan
patensi jalan napas. Menghindari oversedasi juga penting pada pasien yang
beresiko tinggi untuk aspirasi isi lambung, karena pasien yang terjaga dapat
melindungi jalan napasnya sendiri jika regurgitasi harus terjadi.

Gambar 55-8. Blok nervus glossopharyngeus kiri

Gambar 55-9. Blok nervus laryngeus superior, pendekatan eksternal


menggunakan cornu major os hyoideum (A), cornu superior cartilago thyreoidea
(B), atau incisura thyreoidea (C).

Gambar 55-10. Anestesi translaringeal, teknik angiokateter (potongan midsagital


kepala dan leher. A, angiokateter dimasukkan pada membran krikotiroid,
mengarah ke kaudal. Aspirasi dilakukan untuk memastikan posisi ujung jarum ada
dalam lumen trakea. B, jarum dilepas dari angiokateter. C, spoit berisi anestetik
lokal disambungkan dan aspirasi diulang. D, anestetik lokal disuntikkan,
menghasilkan batuk dan nebulisasi anestetik lokal (daerah berwarna biru).
Tabel 55-1 Obat Sedatif untuk Penanganan Jalan Napas
Obat Kelas Dosis Sedatif Catatan
Midazolam Benzodiazepine 1-2 mg IV, diulangi Sering
prn (0.025-0.1 dikombinasikan
mg/kg) dengan fentanil
Fentanil Opioid 25-200 µg IV (0.5-2 Biasanya
µg/kg) dikombinasikan
dengan agen lain
(midazolam,
propofol)
Alfentanil Opioid 500-1500 µg IV (10- Memiliki awitan
30 µg/kg) yang lebih cepat
tapi durasi yang
lebih pendek
daripada fentanil
Remifentanil Opioid Bolus 0.5 µg/kg IV, Infus dapat
dilanjutkan dengan dititrasi 0.025-
infus 0.1 µg/kg/menit 0.05 µg/kg.menit
dalam interval 5
menit untuk
mencapai sedasi
yang adekuat
Propofol Hipnotik 0.25 mg/kg IV dalam Dapat
bolus intermiten atau dikombinasikan
infus IV kontinyu 25- dengan
75 µg/kg/menit, remifentanil
dititrasi sampai (turunkan dosis
berefek kedua obat)
Ketamin Hipnotik 0.2-0.8 mg/kg IV Pra-pengobatan
dengan
antisialagogue
Pertimbangkan
pemberian
midazolam untuk
mengurangi efek
psikologis
Dexmedetomidine Agonis α2 Bolus 1 µg/kg IV Turunkan dosis
selama 10 menit, pada dewasa tua
dilanjutkan dengan dan pasien dengan
infus 0.2-0.7 penurunan fungsi
µg/kg/jam jantung
IV, intravena; prn, pro re nata, jika perlu (Latin)

Ventilasi Sungkup

Ventilasi sugnkup adalah teknik non-invasif yang sederhana untuk manajemen


saluran napas yang dapat digunakan sebagai mode utama ventilasi untuk anestesi
jangka pendek atau sebagai jembatan untuk membangun saluran napas yang lebih
definitif. Pemberian oksigen melalui sungkup wajah adalah umum untuk
"preoksigenasi", dan induksi anestesi inhalasi serta sebagai sarana untuk
menyediakan oksigen dan gas anestesi untuk pasien ventilasi spontan dan pasien
yang dianestesi dengan apnea melalui VTP. Ventilasi sungkup tidak hanya
digunakan untuk ventilasi dan oksigenasi sebelum intubasi trakea, tetapi juga
merupakan teknik penyelamatan yang berharga ketika intubasi trakea terbukti
sulit. Untuk alasan ini, ventilasi sungkup adalah bagian penting dari algoritme
ASA dan keterampilan penting untuk dokter anestesi.24

Ventilasi sungkup relatif kontraindikasi ketika resiko untuk regurgitasi meningkat;


tidak ada perlindungan dari aspirasi paru dari isi lambung. Ventilasi sungkup juga
harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien dengan trauma wajah yang parah
dan pada pasien dengan manipulasi kepala dan leher harus dihindari (misalnya,
mereka dengan fraktur tulang belakang leher yang tidak stabil). Masker wajah
anestesi dirancang untuk membentuk segel di sekitar hidung dan mulut pasien,
memungkinkan untuk VTP dan pemberian gas anestesi; mereka tidak harus
bingung dengan masker oksigen, yang dirancang hanya untuk memberikan
oksigen tambahan. Masker anestesi awal dapat digunakan kembali dan terbuat
dari karet hitam. Penggunaan alat ini hampir seluruhnya digantikan dalam
penggunaan klinis oleh sungkup plastik bening dan dapat diaur ulang, yang
kurang menakutkan untuk pasien dan menambahkan keuntungan akan visualisasi
sianosis yang lebih baik dan kebutuhan suction oral. Sungkup wajah tersedia
dalam berbagai gaya dan ukuran tetapi memiliki desain dasar yang sama: badan
utama, segel, dan konektor. Segel adalah bagian dari sungkup yang bersentuhan
dengan wajah, dan dalam sungkup plastik bening terdiri dari plastik, berisi udara,
volume tinggi, bantal bertekanan rendah yang sesuai dengan anatomi wajah
sambil meminimalkan kesempatan untuk iskemia tekanan; beberapa model
memiliki katup di bantal untuk memungkinkan mengubah volume udara di
dalamnya. Konektornya adalah adaptor wanita 22 mm standar yang
memungkinkan koneksi ke sirkuit anestesi standar atau perangkat kantong-katup;
sungkupanak biasanya memiliki adaptor pria 15 mm yang memungkinkan koneksi
yang sama.

Teknik untuk ventilasi sungkup bergantung pada dua elemen kunci: (1)
pemeliharaan segel antara masker wajah dan wajah pasien dan (2) jalan napas
bagian atas yang tidak terhalang.10 Masker biasanya dipegang dengan tangan kiri,
dengan ibu jari dan jari telunjuk membentuk C di sekitar kerah konektor, jari
ketiga dan keempat pada ramus mandibula, dan digit kelima pada angulus
mandibula (Gambar 55-11). Jari jempol dan jari telunjuk digunakan untuk
menghasilkan tekanan ke bawah untuk memastikan segel masker yang ketat,
sementara jari sisanya memberikan pemindahan rahang ke atas (jaw thrust) untuk
membantu patensi jalan napas. Tangan kanan bebas untuk menyediakan ventilasi
manual. Memastikan bahwa tekanan ditempatkan pada tonjolan tulang mandibula
dan bukan jaringan lunak yang penting—kompresi ruang submandibular dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas dan kesulitan dengan ventilasi mask. Banyak
masker memiliki kaitan di sekitar kerah untuk digunakan dengan tali masker yang
dapat memfasilitasi pembentukan segel.

Teknik satu tangan kadang-kadang tidak efektif, terutama pada pasien yang
mengalami obesitas atau edentulosa, yang disebabkan oleh kegagalan untuk
mempertahankan segel dan/atau jalan napas atas paten. Dalam situasi ini, teknik
dua tangan bisa lebih berhasil. Teknik dua tangan bergantung pada asisten atau
penggunaan ventilasi kontrol tekanan (VKT) dengan mesin anestesi untuk
menyediakan VTP. Penggunaan VKT untuk ventilasi sungkup menghasilkan
tekanan aliran udara puncak yang lebih rendah dan mengurangi laju aliran
inspirasi jika dibandingkan dengan ventilasi manual, memberikan ukuran
tambahan keamanan terhadap insuflasi lambung.131Dalam satu pendekatan pada
teknik dua tangan, tangan kiri diposisikan seperti dalam teknik satu tangan dan
tangan kanan ditempatkan di sisi lain dari sungkup dalam konformasi yang
identik. Pendekatan yang lebih efektif melibatkan penggunaan jari kedua dan
ketiga untuk melakukan jaw thrust sementara sungkup difiksasi dengan ibu jari.
Sebuah penelitian pada pasien yang dianestesi menunjukkan bahwa teknik ini
meningkatkan patensi saluran napas bagian atas, dibandingkan dengan teknik satu
tangan tradisional, yang diukur dengan volume tidal yang lebih besar selama
VKT.132 Teknik tambahan untuk memperbaiki segel sungkup dalam skenario yang
sulit termasuk meninggalkan gigi palsudan menempatkan perekat plastik di atas
rambut wajah.

Setelah segel dibentuk antara sungkup wajah dan wajah pasien, ventilasi dicapai
dengan ventilasi spontan atau VTP. Efektivitas masker ventilasi harus dipastikan
dengan mengamati kenaikan dada, volume tidal yang dihembuskan, oksimeter
denyut, dan kapnografi. Selama ventilasi terkontrol pada pasien dengan paru-paru
normal dan jalan napas paten, volume tidal yang memadai harus dicapai dengan
tekanan inspirasi puncak kurang dari 20 cm H2O; tekanan yang lebih tinggi harus
dihindari untuk mencegah insuflasi lambung.133 Jika VTP tidak memadai pada
tekanan inspirasi yang dapat diterima, maka patensi jalan napas dan komplians
paru harus dinilai. Karena pengurangan tonus otot sebagai akibat dari anestesi
umum, lidah jatuh ke belakang di bawah pengaruh gravitasi pada pasien
terlentang dan dapat menghalangi saluran udara bagian atas. Obstruksi jalan nafas
atas paling sering terjadi pada tingkat palatum molle (velofaring), epiglotis, dan
lidah.10,14 Untuk memaksimalkan patensi jalan napas, ventilasi sungkup harus
dilakukan dengan ekstensi atlantooksipital maksimal dalam kombinasi dengan jaw
thrust yang terlibat dalam teknik memegang sungkup.134 Penambahan fleksi leher
ke ekstensi kepala (yaitu, menempatkan pasien dalam posisi sniffing)
meningkatkan patensi faring.135 Jika posisi sniffing dan jaw thrust gagal untuk
mengatasi obstruksi saluran napas, maka alat bantu napas orofaring dan
nasofaring dapat digunakan untuk memfasilitasi patensi jalan napas.

Jalan napas orofaringeal adalah yang paling sering digunakan. Mereka mengikuti
kelengkungan lidah, menariknya menjauh dari faring posterior (Gambar 55-12).
Karena mereka menempatkan tekanan pada pangkal lidah dan dapat bersentuhan
dengan epiglotis, saluran napas orofaring dapat memicu batuk, muntah, atau
spasme laring jika refleks laring dan faring tidak cukup tumpul; oleh karena itu
mereka tidak sesuai untuk digunakan pada pasien yang sadar. Saluran napas
orofaring diukur dengan mengukur dari sudut mulut pasien ke sudut rahang atau
daun telinga. Saluran pernafasan orofaring yang tidak sesuai benar-benar dapat
memperburuk obstruksi saluran napas; oleh karena itu pemilihan ukuran yang
tepat adalah penting. Penempatan yang tepat dicapai dengan memasukkan jalan
napas orofaring dengan lengkungan menghadap ke posterior dan kemudian
berputar 180 derajat; sebagai alternatif, penekan lidah dapat digunakan untuk
memindahkan lidah ke anterior sebagaimana jalan napas orofaring dimasukkan
dengan lengkungan menghadap ke depan. Komplikasi dari pemasangan alat ini
meliputi palsi saraf lingual dan kerusakan pada gigi.136.137 Setelah dipasang, alat
bantu napas nasofaring kurang merangsang daripada orofaring dan dengan
demikian lebih sesuai untuk pasien yang sadar (Gambar 55-13). Saluran udara
nasofaring harus dilumasi dengan baik sebelum insersi dan dimasukkan dengan
bevel menghadap septum hidung. Untuk menghindari epistaksis, kekuatan tidak
boleh digunakan selama penyisipan alat ini.

Ventilasi sungkup yang sulit terjadi ketika ventilasi melalui sungkup wajah tidak
mungkin karena segel sungkup yang tidak memadai, kebocoran gas yang
berlebihan, dan/atau resistensi yang berlebihan terhadap masuknya atau keluarnya
gas.24 Prediktor untuk ventilasi sungkup yang sulit yang dapat diidentifikasi
selama jalan napas preoperatif tercantum dalam Kotak 55-2.

Gambar 55-11. Teknik ventilasi sungkup wajah dengan satu tangan. Posisi jari
kelima adalah pada angulus mandibula.

Gambar 55-12. Saluran napas orofaring yang dipasang. Saluran udara mengikuti
lengkung lidah. Alat ini menarik lidah dan epiglotis jauh dari dinding daring
posterior dan memberikan saluran udara.

Gambar 55-13. Saluran napas nasofaring yang dipasang. Saluran napas melewati
hidung dan berakhir pada titik tepat di atas epiglotis.

Kotak 55-2 Prediktor Kesulitan Ventilasi Sungkup


 Apnea tidur obstruktif atau riwayat mengorok
 Usia > 55 tahun
 Jenis kelamin laki-laki
 Indeks massa tubuh 30 kg/m2 ke atas
 Klasifikasi Mallampati III atau IV
 Adanya janggut
 Edentulosa

JALAN NAPAS SUPRAGLOTIS

Istilah supraglottic airway (SGA) atau extraglottic airway mengacu pada beragam
peralatan medis yang secara dimasukkan ke dalam faring untuk menyediakan
saluran paten untuk ventilasi, oksigenasi, dan pengiriman gas anestesi tanpa perlu
intubasi trakea.
SGA memiliki keuntungan yaitu kurang invasif daripada intubasi endotrakeal
sambil memberikan jalan napas yang lebih definitif daripada sungkup wajah, dan
dapat digunakan baik untuk ventilasi spontan maupun VTP. Salah satu SGA
pertama, sungkup laring, telah diperkenalkan pada tahun 1983 oleh Dr. Archie
Brain dan diperkenalkan dalam praktek klinis pada 1988.138 Sejak saat itu,
sungkup laring telah terbukti menjadi salah satu perkembangan paling penting
baik dalam manajemen saluran napas rutin maupun sulit dan merupakan
komponen penting dari algoritme ASA. Berbagai desain yang berbeda dari SGA
sekarang tersedia dan secara luas digunakan dalam praktek anestesi saat ini
sebagai perangkat manajemen jalan nafas utama, alat penyelamat saluran napas,
dan saluran untuk intubasi endotrakeal.

Keuntungan spesifik SGA termasuk kemudahan dan kecepatan penempatan,


peningkatan stabilitas hemodinamik, mengurangi kebutuhan anestesi, kurangnya
kebutuhan untuk relaksasi otot, dan penghindaran resiko intubasi trakea (misalnya
trauma pada gigi dan struktur saluran napas, nyeri tenggorokan, batuk pada
munculnya bronkospasme).139.140 Kerugian utama adalah bahwa SGA memiliki
tekanan segel yang relatif lebih kecil daripada ETT, yang dapat menyebabkan
ventilasi tidak efektif ketika tekanan udara lebih tinggi diperlukan, dan mereka
tidak memberikan perlindungan dari spasme laring. SGA generasi pertama juga
memberikan sedikit perlindungan dari regurgitasi dan aspirasi lambung, meskipun
perangkat yang lebih baru telah memasukkan elemen desain untuk meminimalkan
resiko ini.

SGA memiliki banyak aplikasi. Mereka dianggap sebagai pilihan pertama untuk
manajemen saluran napas untuk prosedur bedah diagnostik dan minor.141 Tidak
ada sistem klasifikasi standar untuk berbagai desain SGA, meskipun beberapa
telah diusulkan. Bab ini menggunakan terminologi yang dijelaskan oleh Donald
Miller: segel perilaringeal; segelyang tidak berbentuk secara anatomis; dan segel
faring yang difiksasi.142 Generasi kedua SGA dibedakan dari SGA generasi
pertama karena mereka menggabungkan fitur yang dirancang untuk mengurangi
insidensi aspirasi.
Sungkup Laring

Sungkup laring klasik. Sungkup laring (LMA Amerika Utara, San Diego, CA)
adalah yang paling banyak digunakan, SGA dipelajari dengan baik dan
merupakan arketipe dari segel perilaringeal. Versi asli, sungkup laring klasik
(SLK), terdiri dari sungkup silikon berbentuk oval dengan manset tiup yang
duduk di hipofaring dan membentuk segel di sekitar jaringan periglotis (Gambar
55-14). Tabung saluran udara yang menempel pada sungkup keluar dari mulut dan
memiliki konektor 15-mm standar untuk dipasang ke sirkuit anestesi atau ke
perangkat kantung katup. Segel di sekitar inlet laring memungkinkan untuk
pengiriman oksigen dan anestesi inhalasi selama ventilasi spontan dan
memungkinkan VTP pada tekanan hingga 20 cmH2O. SLK dapat digunakan
kembali hingga 40 kali dan tersedia dalam berbagai ukuran mulai dari ukuran 1
(neonatus) hingga ukuran 6 (dewasa besar,> 100 kg).

The LMA Classic Excel adalah versi terbaru yang menggabungkan fitur desain
untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal melalui alat ini, termasuk bar epiglotis,
tabung saluran udara yang lebih lebar, dan konektor yang dapat dilepas. Versi
sekali pakai dari SLK, LMA Unique, terbuat dari polivinil klorida (PVC) dan
telah mendapatkan popularitas karena biaya dan perawatannya yang lebih rendah,
serta kekhawatiran atas resiko kontaminasi silang dan infeksi (misalnya, human
immunodeficiency virus [HIV], hepatitis C, penyakit berbasis prion) dengan
perangkat medis yang dapat digunakan kembali. LMA Flexible, tersedia dalam
model yang dapat digunakan kembali dan sekali pakai, memiliki tabung saluran
udara yang fleksibel, tahan-kerutan yang dapat diposisikan jauh dari bidang bedah
untuk prosedur kepala dan leher.

Untuk mencapai kecocokan yang tepat, pabrikan sungkup laring menyarankan


untuk menempatkan sungkup laring ukuran terbesar; segel kedap udara dicapai
lebih sering dengan ukuran 5 pada pria dewasa rata-rata dan ukuran 4 pada wanita
dewasa rata-rata.144 Penggunaan sungkup laring yang terlalu kecil dapat
menyebabkan overinflasi manset untuk mencapai segel, yang dapat
mempengaruhi pasien dengan morbiditas orofaringngolaringeal dan kerusakan
saraf.145 Namun, ukuran yang lebih besar mungkin berhubungan dengan insiden
sakit tenggorokan yang lebih sering; oleh karena itu ukuran yang lebih kecil
mungkin tepat ketika ventilasi spontan melalui sungkup laring direncanakan.146

Instruksi pabrikan untuk penempatan SLK dirangkum dalam Gambar 55-15.


Kedalaman anestesi yang memadai untuk insersi sungkup laring dapat dicapai
dengan propofol atau sevoflurane147; opioid kerja pendek seperti fentanyl,
alfentanil, dan remifentanil dapat digunakan bersamaan untuk memfasilitasi
penempatan dan untuk mengurangi kejadian batuk, tersedak, dan spasme
laring.148.149Sebelum insersi, manset sungkup laring harus dikempiskan dan aspek
posterior dari sungkup harus dilumasi dengan pelumas berbasis air. Setelah
diposisikan (lihat Gambar 55-15), manset harus dipompa dengan volume udara
efektif minimum, dengan tekanan manset target 40 hingga 60 cm H2O.144 Untuk
memungkinkan sungkup laring memposisikan dirinya dengan benar, perangkat
tidak boleh diamankan atau melekat pada sirkuit anestesi sampai manset telah
mengembang. Konfirmasi penempatan yang tepat dilakukan dengan mencoba
VTP lembut saat memeriksa kapnografi dan auskultasi dan dengan mengukur
tekanan inspirasi di mana kebocoran terdengar, yang seharusnya 18 hingga 20
cmH2O. Setelah posisi yang tepat dikonfirmasi, gulungan kain kasa dimasukkan
sebagai blok dan sungkup laring difiksasi dengan pita. Beberapa modifikasi pada
teknik penyisipan yang disarankan telah dijelaskan, termasuk metode penyisipan
jempol oleh pabrikan, meskipun modifikasi ini tidak dirinci dalam bab ini.150.151
Tekanan manset harus dipantau secara berkala jika N2O digunakan; tekanan
manset dapat meningkat di atas ambang batas 60 cmH2O yang direkomendasikan
sebagai akibat difusi N2O ke dalam manset.

Kesulitan awal dengan ventilasi setelah penempatan sungkup laring mungkin


disebabkan oleh epiglotis yang terlipat ke bawah. Manuver naik-turun yang
dijelaskan oleh Dr. Brain dapat membantu memperbaiki masalah ini; sungkup
laring ditarik 2 hingga 4 cm dan disisipkan kembali tanpa mengempiskan manset.
Ekstensi kepala dan reposisi sungkup laring juga dapat meningkatkan ventilasi
yang tidak efektif. Jika tindakan ini tidak memperbaiki masalah, maka ukuran
yang berbeda mungkin diperlukan. Kurangnya kedalaman anestesi,
mengakibatkan spasme laring atau bronkospasme, dapat membuat ventilasi
melalui sungkup laring tidak mungkin; pemberian anestesi topikal, inhalasi atau
IV dapat membantu memperbaiki hal ini. Meskipun tidak diperlukan, DL juga
dapat memfasilitasi penempatan sungkup laring yang tepat.

Komplikasi serius dari penggunaan sungkup laring relatif jarang. Lebih umum,
luka ringan mulut, faring, atau laring terjadi, dinyatakan sebagai keluhan
tenggorokan kering atau sakit.152 Insiden sakit tenggorokan adalah sekitar 10%
hingga 20%,140.153 dan telah dikaitkan dengan tekanan manset yang lebih tinggi
dan ukuran sungkup laring yang lebih besar.146,154 Kasus cedera
orofaringngolaring yang lebih serius telah dijelaskan, seperti trauma pada uvula
dan nekrosis faring.155.156

Cedera nervus lingualis, hypoglossus, dan laryngeus berulang juga telah


dilaporkan; ini biasanya sembuh spontan selama beberapa minggu sampai bulan.
Faktor predisposisi termasuk tekanan manset tinggi (sering disebabkan
penggunaan N2O), menggunakan sungkup laring yang terlalu kecil, dan posisi
non-supine.

Gambar 55-14. Sungkup laring klasik.

Gambar 55-15. Pemasangan sungkup laring. A, ujung manset ditekan ke atas


melawan palatum durum dengan jari telunjuk ketika jari tengah membuka mulut.
B, sungkup laring ditekan ke belakang dengan gerakan halus. Tangan non-
dominan digunakan untuk mengekstensikan kepala. C, sungkup laring
dimasukkan sampai resistensi definitif dirasakan. D, sebelum jari telunjuk
dikeluarkan, tangan non-dominan menekan sungkup laring untuk mencegah
pencopotan selama pengeluaran jari telunjuk. Setelah itu, manset dikembangkan.

Gambar 55-16. LMA Supreme memiliki desain manset yang sudah dimodifikasi,
tabung drainase untuk akses lambung, dan blok gigitan terintegrasi.
Sungkup laring ProSeal.Sungkup laring ProSeal (pLMA, LMA Amerika Utara,
San Diego, CA) adalah SGA generasi kedua yang dapat digunakan kembali yang
menggabungkan manset posterior, meningkatkan segel perilaringeal dan
memungkinkan untuk VTP pada tekanan hingga 30 cmH2O. Alat ini juga
menggabungkan tabung drainase lambung yang memungkinkan untuk akses
lambung dengan tabung orogastrik dan menghindari regurgitasi saluran isi
lambung dari jalan napas, secara efektif mengisolasi saluran pernafasan dan
gastrointestinal.157 Fitur tambahan termasuk blok yang tergabung dan manset yang
lebih lembut.

Teknik penyisipan mirip dengan SLK tetapi membutuhkan tingkat anestesi yang
lebih dalam.157,158 Pengantar opsional dapat digunakan untuk memfasilitasi
penyisipan. Seperti halnya SLK, tekanan manset tidak boleh melebihi 60 cmH2O.
Setelah dimasukkan, penilaian penempatan yang tepat dilakukan dengan
memberikan VTP; volume tidal yang memadai harus dicapai dengan tekanan
inspirasi puncak yang wajar, tekanan kebocoran harus di atas 20 cmH2O, dan
bentuk gelombang kapnografi akan tampak normal.10 Tes tambahan untuk
mengkonfirmasi penempatan yang tepat dan pemisahan saluran napas dan saluran
gastrointestinal dilakukan dengan menempatkan lapisan kecil (<5 mm) pelumas
berbasis air di atas lubang tabung drainase; VTP dan palpasi incisura jugularis
harus menghasilkan gerakan naik kecil dari gel meniskus. Jalur yang mudah dari
tabung orogastrik melalui tabung drainase lambung menegaskan posisi yang tepat.

Segel Perilaringeal Lainnya

Selama 10 tahun terakhir, banyak produsen telah menghasilkan SGA yang


menggabungkan desain penyegelan dasar SLK. Karena istilah sungkup laring
adalah merek dagang yang dilindungi, perangkat ini disebut sebagai laryngeal
masks (LM). Masing-masing memiliki karakteristik uniknya sendiri yang dapat
memberikan keuntungan khusus dibandingkan desain lainnya. Meskipun deskripsi
lengkap dari setiap LM yang tersedia berada di luar lingkup bab ini, beberapa fitur
unik pantas disebutkan.
Beberapa fitur desain mengatasi masalah tekanan manset tinggi, yang dapat
menyebabkan morbiditas oropharyngolaryngeal, palsi saraf, dan pemosisian
perangkat yang tidak tepat. Garis LM yang diproduksi oleh AES, Inc. (Black
Diamond, WA) menggabungkan katup percontohan manset (CPV) yang
memungkinkan pemantauan tekanan manset konstan. Pita indikator berkode
warna pada CPV memperingatkan dokter untuk mengubah tekanan manset yang
disebabkan oleh suhu, N2O, dan gerakan di dalam saluran napas, memungkinkan
dokter untuk mempertahankan tekanan manset yang direkomendasikan sebesar 60
cmH2O. Air-Q SP (Cookgas LLC, St. Louis, MO; didistribusikan oleh Mercury
Medical, Clearwater, FL) memiliki manset self-pressurizing yang menggunakan
tekanan positif yang memberi ventilasi pada pasien untuk juga menekan manset,
meniadakan kebutuhan akan garis inflasi dan menghilangkan kemungkinan
manset inflasi berlebih. Saat bernafas, manset masker mengempis ke tingkat
tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP), menurunkan tekanan mukosa total selama
anestesi, sehingga berpotensi mengurangi insiden komplikasi terkait tekanan
manset. LM lain menggabungkan fitur desain yang memfasilitasi intubasi
endotrakeal, seperti konektor yang dapat dilepas atau lumina yang lebih lebar
pada saluran udara untuk memungkinkan intubasi dengan ETT berukuran standar.

Segel Anatomis Tanpa Manset

Segel anatomis tanpa manset tidak memiliki manset; namun memberikan


penyegelan jalan napas melalui desainnya yang berbentuk anatomis.
Keuntungannya meliputi kesederhanaan pemasangan dan pemosisian dan
kurangnya kebutuhan untuk mengembangkan manset. Yang pertama dari alat ini,
SLIPA (Curveair, London, UK), mengandung ruang yang dapat memerangkap
cairan regurgitasi dan mencegah aspirasi. Alat tanpa manset terbaru lainnya
adalah i-gel (Intersurgical Inc., Wokingham, Berkshire, UK) dan Sungkup Baska
(Strathfield, NSW, Australia) juga dimasukkan ke dalam klasifikasi ini.

Segel Faring Bermanset


Segel faring bermanset memiliki jalan napas yang menyegel pada tingkat dasar
lidah dan dapat disubklasifikasikan apakah mereka juga memiliki manset
esofagus.144 SGA dengan hanya manset faring termasuk Cobra Perilaryngeal
Airway (Cobra - PLA, Direkayasa Sistem Medis, Indianapolis, IN) dan Tulip
Airway (Marshall Medical, Bath, UK); mereka tidak dirinci dalam bab ini.
Perangkat berikut semua memiliki manset penyegel esofagus.

Esophageal-tracheal combitube (ETC) (Covidien, Mansfield, MA) adalah SGA


yang dirancang secara unik dengan kedua manset penyumbat faring dan esofagus
dan dua lumina. ETC terutama dirancang untuk intubasi darurat dan sebagian
besar digunakan dalam kondisi pra-rumah sakit, meskipun kadang-kadang telah
digunakan selama anestesi umum baik sebagai saluran napas primer dan sebagai
alat saluran pernafasan.164,165Alat ini dimasukkan secara melalui mulut, lalu ke
bawah sampai cincin yang dicetak terletak di antara gigi, lalu manset
dikembangkan. Ketika memasang alat esofagus, ventilasi harus dilakukan melalui
lumen yang lebih panjang, biru, #1 lumen (esofagus).166 Lumen ini memiliki
ujung distal tertutup dengan delapan perforasi kecil yang terletak di antara dua
manset, yang memungkinkan oksigenasi dan ventilasi. Ketika alat ini dimasukkan
ke dalam trakea, ventilasi harus terjadi melalui lumen yang lebih pendek, jernih,
#2 lumen (trakea), yang terbuka pada ujung distalnya. Ketika ETC ditempatkan di
esofagus, tabung orogastrik dapat dilewatkan melalui lumen trakea untuk
mengosongkan perut. Penggunaan ETC sebagai saluran napas primer dibatasi oleh
resiko komplikasi yang lebih tinggi, dibandingkan dengan sungkup laring atau
intubasi trakeal, termasuk suara serak, disfagia, dan pendarahan.167 Karena manset
orofaring dari ETC mengandung lateks, perangkat ini tidak boleh digunakan. pada
individu yang sensitif terhadap lateks.

Rüsch EasyTube (Teleflex Medical, Research Triangle Park, NC) adalah SGA
berlumen ganda yang mirip dengan ETC. Perbedaan utama adalah konstruksi non-
late dan lumen proksimal yang berakhir tepat di bawah balon orofaringeal,
memungkinkan untuk pengalihan pergantian tabung atau FIS. Teknik penyisipan
dan resiko mirip dengan ETC; sebuah studi perbandingan menunjukkan waktu
penyisipan yang lebih pendek dengan EasyTube.168 Seri SGA LT (King Systems
Corporation, Noblesville, IN) serupa dalam desain untuk ETC dan EasyTube,
dengan port ventilasi antara faring dan esofagus. The King LT dan King LT-D
(dapat digunakan kembali dan pakai, masing-masing) adalah perangkat lumen
tunggal dengan ujung distal meruncing yang memungkinkan lintasan mudah ke
esofagus. Bagian distal (esofagus) dari tabung tersumbat. The King LTS dan King
LTS-D sekali pakai, di sisi lain, memiliki ujung distal terbuka dengan saluran
sekunder untuk memungkinkan penyedotan isi lambung. Meskipun penempatan
trakea perangkat King LT belum dilaporkan, jika itu terjadi, maka perangkat harus
diangkat dan dimasukkan kembali.

INTUBASI ENDOTRAKEAL

Intubasi endotrakeal adalah baku emas untuk manajemen saluran napas. Alat ini
menetapkan saluran napas definitif, memberikan perlindungan maksimal terhadap
aspirasi isi lambung, dan memungkinkan untuk VTP dengan tekanan udara lebih
tinggi dibandingkan dengan sungkup wajah atau SGA. Intubasi endotrakeal
biasanya difasilitasi oleh DL; Namun, berbagai macam perangkat dan teknik
intubasi alternatif telah dikembangkan untuk menghindari masalah yang dihadapi
ketika DL konvensional sulit. Pada pasien berpuasa menjalani operasi elektif
dengan anestesi umum, SGA sering kali cocok. Kondisi tertentu atau situasi
klinis, bagaimanapun, mendukung intubasi endotrakeal, meskipun munculnya
SGA generasi kedua agak mempersempit daftar ini.

Indikasi absolut untuk intubasi endotrakeal termasuk pasien dengan perut penuh
atau yang beresiko tinggi untuk aspirasi sekresi lambung atau darah, pasien yang
sakit kritis, pasien dengan kelainan paru yang signifikan (misalnya, komplians
paru rendah, resistensi saluran napas tinggi, gangguan oksigenasi), pasien yang
memerlukan isolasi paru-paru, pasien yang menjalani pembedahan
otorinolaringologik di mana SGA akan mengganggu akses bedah, pasien yang
kemungkinan akan membutuhkan dukungan ventilasi pasca operasi, dan pasien
yang mengalami kegagalan penempatan SGA. Indikasi lain untuk intubasi
termasuk persyaratan bedah untuk OBAT PENGHAMBAT
NEUROMUSKULAR, posisi pasien yang akan menghalangi intubasi trakea. jalan
napas sulit yang diprediksi, dan prosedur yang diperpanjang.

Tabung Endotrakea (ETT)

Standar ETT modern adalah tabung plastik sekali pakai yang digunakan dengan
sekali pakai yang dirancang untuk disisipkan melalui hidung atau mulut dan
duduk dengan ujung distalnya di midtrakea, menyediakan jalan napas paten untuk
memungkinkan ventilasi paru-paru. Berbagai jenis ETT yang berbeda tersedia
untuk digunakan dalam situasi khusus. Beberapa fitur yang umum adalah desain
yang berbeda, termasuk adaptor 15 mm universal yang memungkinkan perlekatan
ujung proksimal ke sirkuit dan perangkat ventilasi yang berbeda; sebuah manset
bertekanan rendah, volume-tinggi; ujung miring untuk memfasilitasi bagian
melalui pita suara; dan pembukaan distal tambahan di dinding samping ETT yang
dikenal sebagai mata Murphy, yang berfungsi untuk menyediakan portal
tambahan untuk ventilasi jika ujung distal lumen menjadi terhalang oleh jaringan
lunak atau sekresi.

ETT bermanset secara rutin digunakan untuk intubasi endotrakeal pada sebagian
besar pasien; ETT tanpa manset digunakan pada neonatus dan bayi. Manset
bertekanan rendah dan bertekanan tinggi dipompa dengan udara untuk
memberikan segel terhadap dinding trakea untuk melindungi paru-paru dari
aspirasi paru dan untuk memastikan bahwa volume tidal yang dikirimkan ventilasi
paru-paru mengalir ke saluran napas bagian atas balon dengan katup satu arah
memungkinkan untuk inflasi manset dan penilaian tekanan manset. Manset harus
dipompa ke volume minimum di mana tidak ada kebocoran udara dengan
inspirasi tekanan positif; tekanan manset harus kurang dari 25 cm H2O.169
Tekanan manset berlebihan dapat menyebabkan cedera mukosa trakea, disfungsi
pita suara dari kelumpuhan nervus laryngeus berulang, dan sakit tenggorokan.
Pemantauan tekanan manset dengan pengukur tekanan direkomendasikan. Ketika
N2O digunakan sebagai bagian dari anestesi, tekanan manset harus diukur secara
berkala sepanjang operasi; difusi N2O ke dalam manset dapat menyebabkan
peningkatan tekanan manset ke tingkat yang berpotensi berbahaya.

Ukuran ETT biasanya dijelaskan dalam satuan diameter internal (ID); hubungan
ID ke diameter eksternal bervariasi antara desain dan pabrikan yang berbeda.
Pemilihan ukuran ETT tergantung pada alasan penempatan dan faktor spesifik
pasien seperti jenis kelamin dan kondisi patologis saluran napas. ETT yang lebih
kecil menghasilkan peningkatan resistensi saluran napas dan kerja pernapasan,
dan ETT dengan ID yang lebih kecil dari 8 mm menghalangi bronkoskopi
fiberoptik terapeutik. ETT yang lebih besar lebih mungkin dikaitkan dengan
trauma mukosa laring atau trakea dan memiliki insiden sakit tenggorokan yang
lebih tinggi setelah anestesi umum. Umumnya, pada pasien yang diintubasi hanya
untuk tujuan anestesi umum, ETT yang lebih kecil dapat digunakan daripada pada
pasien yang akan tetap diintubasi dalam jangka menengah sampai panjang sebagai
akibat kegagalan pernafasan; biasanya ETT 7-mm digunakan untuk wanita dan 8-
mm digunakan untuk pria.

Berbagai tabung trakea khusus tersedia untuk digunakan dalam situasi klinis
tertentu. Pipa preformed, seperti tabung Ring-Adair-Elwin (RAE) hidung dan
mulut, memiliki kontur khusus untuk mempertahankan profil rendah dan untuk
menghindari gangguan bedah. Lapisan tabung memiliki kumparan tertanam yang
meminimalkan kinking tabung ketika mengalami angulasi. Tabung
mikrolaringeal, yang memiliki ID kecil dengan tabung panjang yang lebih
panjang, berguna dalam operasi laring atau untuk aplikasi tertentu, seperti intubasi
melalui SLK. Tabung khusus lainnya termasuk tabung tahan-laser dan tabung-
tabung lumen tunggal dan ganda yang memungkinkan untuk ventilasi satu-paru.

Intubasi Orotrakeal vs Nasotrakeal

Intubasi endotrakeal dapat dilanjutkan melalui rute orotrakeal atau nasotrakeal—


keputusan ini harus dibuat sebelum memutuskan teknik manajemen saluran napas
yang akan digunakan. Intubasi nasotrakeal umumnya diindikasikan ketika rute
orotrakeal tidak mungkin (misalnya, ketika pembukaan mulut sangat terbatas)
atau ketika kebutuhan untuk akses bedah menghalangi rute orotrakeal. Selain itu,
teknik intubasi tertentu, seperti intubasi buta, intubasi sadar, dan FSI, secara
signifikan lebih mudah ketika dilakukan melalui hidung.

Ketika rute nasotrakeal tidak diindikasikan secara khusus, rute orotrakeal biasanya
lebih disukai untuk beberapa keuntungan. Rute orotrakeal berpotensi kurang
traumatis dan menyajikan resiko perdarahan yang lebih rendah, biasanya
memungkinkan untuk penempatan ETT yang lebih besar, dan menyediakan lebih
banyak pilihan dalam hal teknik manajemen saluran napas. Kerugian utama
termasuk potensi kerusakan pada gigi dan stimulasi refleks muntah selama
intubasi sadar, membutuhkan anestesi saluran napas yang lebih padat dan
berpotensi kurang nyaman bagi pasien. Intubasi nasotrakeal, di sisi lain, melewati
refleks muntah dan biasanya lebih mudah ditoleransi oleh pasien sadar. Namun,
resiko epistaksis, trauma pada turbinat nasal, dan terowongan submukosa di
nasofaring harus diperhitungkan.114 Intubasi nasotrakeal relatif kontraindikasi
pada fraktur dasar rahang atau tengkorak.

Laringoskopi Langsung (DL)

Teknik yang paling umum digunakan untuk intubasi trakeal adalah DL, yang
melibatkan visualisasi langsung glotis dengan bantuan laringoskop. ETT
dimasukkan melalui pembukaan glotis ke dalam trakea di bawah observasi
kontinyu.

Persiapan dan pemosisian. Persiapan untuk DL meliputi posisi pasien yang


tepat, preoksigenasi yang memadai, dan memastikan ketersediaan dan
berfungsinya semua peralatan yang diperlukan—laringoskop, tabung trakea, stylet
tabung, jarum suntik kosong untuk menggembungkan manset tabung trakea, alat
hisap, dan peralatan penting untuk ventilasi sungkup, termasuk sumber oksigen.
Seorang asisten yang terampil harus hadir untuk membantu manipulasi laring
eksternal dan pelepasan stylet. Persiapan yang memadai adalah yang paling
penting; seperti halnya prosedur jalan nafas, upaya pertama harus menjadi upaya
terbaik. Agar DL berhasil, garis pandang dari mulut ke laring harus dicapai.
Model klasik yang digunakan untuk menggambarkan hubungan anatomis yang
diperlukan untuk mencapai hal ini diusulkan pada tahun 1944 oleh Bannister dan
Macbeth dan melibatkan penyelarasan tiga sumbu anatomi-oral, faring, dan
laring.170 Posisi pasien dalam posisi sniffing mendekati keselarasan ini. Fleksi
leher menyelaraskan faring dan laring, dan ekstensi kepala maksimal pada sendi
atlantooksipital membawa sumbu oral lebih dekat ke penyelarasan (Gambar 55-
17). Keakuratan model ini telah dipertanyakan,171 dan berbagai model alternatif
untuk menjelaskan keunggulan anatomis dari posisi mengendus telah
diusulkan.172.173Terlepas dari model penjelasan, bukti dalam literatur mendukung
pernyataan bahwa posisi sniffing adalah posisi optimal untuk DL.36,174

Posisi yang tepat dalam posisi sniffing melibatkan sekitar 35 derajat dari fleksi
leher, yang dicapai oleh 7-9 cm ketinggian kepala di atas bantal yang kuat; pasien
dengan leher yang lebih pendek mungkin memerlukan lebih sedikit elevasi
kepala.36,175 Pasien yang mengalami obesitas sering membutuhkan elevasi bahu
dan punggung atas untuk mencapai fleksi serviks yang adekuat, yang dapat
dicapai dengan menempatkan pasien dalam posisi ramped dengan menggunakan
perangkat khusus, seperti Troop Elevation Pillow (Mercury Medical, Clearwater,
FL) atau selimut yang dilipat. Mengonfirmasi penyelarasan horizontal dari meatus
acusticusexternus dengan incisura jugularis berguna untuk memastikan ketinggian
kepala yang optimal pada pasien obese dan non-obese.176 Fleksibilitas leher yang
adekuat juga memfasilitasi ekstensi atlantooksipital maksimal, yang memberikan
keselarasan optimal dari kapak oral dan faring (penentu utama) untuk kualitas
tampilan laring) dan pembukaan mulut yang ditingkatkan.177

Gambar 55-17. Diagram aksis visual. A, kepala dalam posisi netral. Tidak ada
satupun aksis visual yang selaras. B, pengangkatan kepala memberikan fleksi
leher, yang meluruskan aksis laring (LA) dan aksis faring (PA). C, ekstensi sendi
atlantooksipital memberikan aksis visual mulut yang selaras dengan laring dan
faring.
Teknik.Laringoskop adalah instrumen genggam yang terdiri dari bilah yang
melekat pada pegangan yang mengandung sumber cahaya. Sebagian besar dapat
digunakan kembali dan terbuat dari baja, meskipun bisa dibuang, versi plastik
tersedia. Bilah melengkung dan bilah lurus adalah dua jenis dasar bilah
laringoskop yang tersedia untuk DL. Macintosh adalah bilah melengkung yang
paling umum digunakan, sedangkan Miller adalah bilah lurus yang paling sering
digunakan. Keduanya dirancang untuk dipegang di tangan kiri, dan keduanya
memiliki flens di sisi kiri yang digunakan untuk menarik kembali lidah secara
lateral. Setiap jenis bilah memiliki kelebihan dan kekurangannya dan terkait
dengan tekniknya sendiri untuk digunakan.

Teknik untuk laringoskopi terdiri dari pembukaan mulut, memasukkan bilah


laringoskop, memosisikan ujung bilah laringoskop, menerapkan gaya
pengangkatan yang mengekspos glotis, dan memasukkan tabung trakea melalui
pita suara ke trakea. Pembukaan mulut paling baik dicapai dengan menggunakan
teknik gunting; jempol kanan mendorong caudal molar bawah kanan sementara
telunjuk atau jari ketiga dari tangan kanan mendorong pada molar atas kanan ke
arah yang berlawanan (Gambar 55-18).

Keputusan apakah akan menggunakan bilahMacintosh atau Miller bersifat


multifaktorial; namun, preferensi dan pengalaman pribadi laringoskopis adalah
pertimbangan yang signifikan. Secara umum, Macintosh paling sering digunakan
untuk orang dewasa, sedangkan bilah lurus biasanya digunakan pada pasien
anak.178Bilah melengkung memberikan ruang yang lebih besar untuk melewati
ETT melalui orofaring, disebabkan oleh flensa yang lebih besar, dan umumnya
dianggap kurang mungkin menyebabkan kerusakan gigi.179Bilah lurus lebih
disukai pada pasien dengan jarak tiromental yang pendek dan biasanya
memberikan pandangan yang lebih baik dari glotis pada pasien dengan epiglotis
panjang dan floppy. Seringkali, ketika satu jenis laringoskop tidak memberikan
pandangan yang memadai dari glotis, yang lain mungkin lebih efektif. Bagi
kebanyakan orang dewasa, ukuran bilah Macintosh 3 atau ukuran Miller 2
biasanya ukuran yang tepat; pada pasien yang lebih besar atau pasien dengan jarak
tiromental yang sangat panjang, bilah yang lebih besar mungkin lebih tepat.

Bilah Macintosh dimasukkan di sisi kanan mulut, dan flens digunakan untuk
menyapu lidah ke kiri. Setelah laringoskop dimasukkan ke dalam mulut, tangan
kanan dapat digunakan untuk memastikan bahwa bibir atas tidak tertusuk di
antara laringoskop dan gigi seri atas. Bilah ini maju sepanjang dasar lidah sampai
epiglotis divisualisasikan; ujung bilah kemudian maju lebih jauh dan diposisikan
dalam vallecula. Gaya yang berorientasi pada sudut 45 derajat dan jauh dari
laringoskopi secara tidak langsung mengangkat epiglotis dengan menempatkan
ketegangan pada ligamentum hyoepiglotticum, mengekspos struktur glotis
(Gambar 55-19). Ujung bilah tidak boleh diangkat dengan menggunakan
laringoskop sebagai tuas, bergoyang kembali pada gigi seri atas, yang dapat
merusak gigi dan memberikan pandangan inferior glotis. Vektor gaya yang benar
dicapai dengan menggunakan deltoid dan triceps anterior, bukan oleh fleksi radial
pergelangan tangan. Setelah pandangan lengkap glotis tercapai, ETT digenggam
mirip dengan pensil dengan tangan kanan dan dipandu melalui pita suara ke dalam
trakea. Bagian ETT difasilitasi oleh angulasi anterior ujung, yang dapat dicapai
dengan membentuk ETT dengan stylet lunak menjadi bentuk tongkat hoki,
dengan sekitar sudut 60 derajat terbentuk 4 sampai 5 cm dari ujung distal, atau
dengan menonjolkan kelengkungan anterior alami ETT dengan memasukkan
ujung ke dalam konektor 15-mm, membentuk lingkaran, selama beberapa menit
sebelum melakukan DL.

Bilah laringoskop Miller disisipkan menggunakan teknik paraglossal yang


dijelaskan oleh Henderson.10 Metode ini memberikan kontrol lidah maksimal dan
menghindari kontak laringoskop dengan gigi seri rahang atas. Laringoskop
dimasukkan lateral ke lidah dan dengan hati-hati maju sepanjang alur paraglossal
antara lidah dan tonsilla. Penerapan gaya angkat moderat lanjutan ke pegangan
laringoskop membantu mempertahankan perpindahan lateral lidah dan
mengurangi kontak dengan gigi rahang atas. Saat laringoskop maju, epiglotis akan
terlihat dan ujung laringoskop dilewatkan ke posterior epiglotis. Posisi optimal
ujung laringoskop lurus adalah di garis tengah permukaan posterior epiglotis,
dekat commissura anterior pita suara (Gambar 55-20).10 Posisi ini mencapai
kontrol epiglotis yang baik dan memfasilitasi bagian dari tabung trakea. Arah
gaya yang diterapkan pada pegangan sama seperti saat menggunakan bilah
Macintosh.

Penggunaan manipulasi laring eksternal dapat meningkatkan pandangan laring.


Mundur, ke atas, tekanan ke kanan (manuver BURP) pada kartilago tiroid paling
sering digunakan. Manipulasi laring eksternal optimal (OELM) diperoleh ketika
laringoskopi menggunakan tangan kanan untuk memandu posisi dan tekanan
diberikan oleh tangan asisten pada laring (Gambar 55-21).

Kesulitan dengan intubasi endotrakeal oleh DL terutama terletak pada fungsi dari
pandangan yang tidak memadai dari glotis. Prediktor untuk kesulitan laringoskopi
yang dapat diidentifikasi selama penilaian jalan nafas pra operasi tercantum dalam
Kotak 55-3. Cormack dan Lehane mengembangkan skala penilaian pada tahun
1984 untuk mendeskripsikan pandangan laringoskopi.180 Nilai berkisar dari I
hingga IV, dimulai dengan kelas I (pandangan terbaik), di mana epiglotis dan pita
suara dalam tampilan lengkap, dan memuncak dengan tingkat IV (pandangan
paling sulit), di mana epiglotis atau laring tidak terlihat (Gambar 55-22). Skema
klasifikasi yang dimodifikasi dengan lima kelas yang berbeda berdasarkan sistem
skor Cormack-Lehane dijelaskan oleh Yentis, yang mengusulkan bahwa kelas II
dibedakan menjadi IIA (pandangan parsial glotis) dan IIB (hanya arytenoid atau
pita suara posterior yang terlihat). Kesulitan intubasi jarang terjadi ketika
pandangan kelas I atau IIA tercapai; nilai IIB dan III berhubungan dengan
insidensi gagal intubasi yang lebih tinggi secara signifikan. Laringoskopi kelas IV
membutuhkan metode intubasi alternatif. Metode alternatif penilaian tampilan
laringoskopi adalah persentase skala pembukaan glotis (POGO), yang ditentukan
oleh persentase pita suara dari komisura anterior ke insicura arytenoidea yang
dapat divisualisasikan selama laringoskopi. Skala ini telah terbukti memiliki
keandalan interobserver yang lebih tinggi daripada sistem skor Cormack-Lehane
dan berpotensi lebih berguna untuk studi penelitian dalam laringoskopi langsung
dan tidak langsung.

Ketika pandangan laring tidak memadai, laringoskopi harus memverifikasi bahwa


pasien berada dalam posisi optimal, OELM sedang disediakan, dan laringoskop
belum dimasukkan terlalu dalam. Apakah laringoskop yang lebih besar atau gaya
bilah alternatif akan bermanfaat harus dipertimbangkan. Ketika ETT tidak dapat
dilewatkan ke trakea di bawah visualisasi langsung, pilihannya meliputi hal-hal
berikut: (1) upaya pada bagian buta ETT, yang beresiko trauma laring,
perdarahan, dan obstruksi saluran napas; (2) penggunaan stylet intubasi; dan (3)
pendekatan alternatif untuk intubasi sesuai algoritme ASA.

Ketika pandangan glotis memadai, ETT harus dimasukkan ke sudut kanan mulut
dan maju sedemikian rupa sehingga memotong sumbu panjang pisau laringoskop
di glotis, daripada dimasukkan garis tengah dan sejajar dengan sumbu panjang
bilah laringoskop, yang memastikan bahwa pandangan glotis tidak dikaburkan.
Ujung ETT dilewatkan melalui inlet glotis dan lanjut sampai bagian proksimal
manset sekitar 2 cm melewati pita suara. Jika stylet sedang digunakan, maka stylet
harus dikeluarkan ketika ujung ETT tepat di tingkat pita suara sementara ETT
dipegang dengan stabil; teknik ini membantu membatasi trauma pada mukosa
trakea akibatstylet semirigid.

Gambar 55-18. Teknik gunting untuk pembukaan mulut. Ibu jari tangan kanan
menekan gigi geraham kanan bawah dalam arah caudad ketika jari telunjuk atau
tengah menekan gigi geraham atas kanan dalam arah cephalad.

Gambar 55-19. Laringoskopi konvensional dengan bilah Macintosh


(melengkung). A, bilah laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut, menyapu
lidah ke kiri. B, bilah dipertahankan di garis tengah di dasar lidah dengan
memutar pergelangan tangan sehingga pegangan laringoskop menjadi vertikal
(tanda panah). C, laringoskop diangkat dalam sudut 45 derajat (tanda panah)
ketika ujugn bilah ditempatkan di vallecula. D, terus mengangkat pegangan
laringoskop pada sudut 45 derajat akan menyebabkan paparan pada pembukaan
laring. Dalam gambar ini, kita dapat mengidentifikasi epiglotis (1), pita suara (2),
cartilago cuneiforme (3), dan cartilago corniculata (4).

Gambar 55-20. Laringoskopi konvensional dengan bilah Miller (lurus). Ujung


bilah harus ditempatkan di bawah epiglotis dan gaya angkat 45 derajat dilakukan
untuk mengekspos pembukaan glotis.

Gambar 55-21. Manipulasi laring eksternal optimal (OELM). Laringoskopis


memandu posisi, dan tekanan diberikan oleh tangan asisten pada laring untuk
memaksimalkan penampakan pita suara. Tangan kiri laringoskopis memegang
laringoskop.

Gambar 55-22. Sistem klasifikasi Cormack-Lehane untuk tampakan


laringoskopik. Kelas 1 adalah visualisasi pembukaan laring lengkap; kelas 2
adalah visualisasi porsio posterior pembukaan laring; kelas 3 adalah visualisasi
epiglotis; dan kelas 4 adalah tidak adanya visualisasi epiglotis atau laring.

Kotak 55-3 Prediktor Kesulitan Laringoskopi


 Gigi seri atas panjang
 Overbite prominen
 Ketidakmampuan pasien melakukan protrusi mandibula
 Pembukaan mulut yang kecil
 Klasifikasi Mallampati III atau IV
 Palatum tinggi melengkung
 Jarak tiromental pendek
 Leher pendek dan tebal
 Mobilitas leher terbatas

Teknik intubasi nasotrakeal. Sebelum intubasi nasotrakeal, lubang hidung paten


yang harus dipilih. Seleksi ini dapat dilakukan dengan memisahkan secara
terpisah setiap lubang hidung dan meminta pasien meghirup udara—pasien
biasanya akan dapat menghirup lebih efektif melalui salah satu lubang hidung.
Untuk mengurangi resiko epistaksis, vasokonstriktor mukosa hidung (misalnya
kokain, phenylephrine, oxymetazoline) harus diberikan. ETT nasal harus dilumasi
dan dimasukkan ke dalam nars dengan bevel menghadap jauh dari garis tengah,
yang menurunkan resiko avulsi dari concha. Cephalad traksi harus diterapkan saat
ETT diteruskan melalui nasal pass untuk memastikan lintasan sepanjang lantai
hidung, di bawah konka inferior. Setelah ETT memasuki orofaring (biasanya pada
kedalaman 14 hingga 16 cm), standar DL dilakukan. ETT dapat dipandu masuk ke
laryngeal inlet dengan memposisikan kembali kepala saat ETT dimajukan atau
dengan bantuan forsep Magill (Gambar 55-23). Dokter harus berhati-hati untuk
mengarahkan ETT proksimal ke manset untuk mencegah kerusakan manset.
Teknik lain untuk intubasi nasotrakeal termasuk intubasi hidung, laringoskopi
video, dan FSI.

Gambar 55-23. Memandu tabung endotrakeal (ETT) ke dalam laring dengan


forsep Magill.

Konfirmasi penempatan tabung endotrakeal. Ketika ETT dipasang,


laringoskop disingkirkan dari mulut, manset ETT dikembangkan, dan pasien
diventilasi secara manual sementara ETT diposisikan secara manual. Verifikasi
segera penempatan endotrakea dari ETT sangat penting; intubasi esofageal atau
endobronkial adalah sumber yang signifikan dari morbiditas dan mortalitas akibat
anestetik. Penempatan endotrakeal dapat ditentukan dengan mengonfirmasi
terangkatnya dada, kondensasi dalam ETT, suara napas bilateral di dinding dada,
kurangnya suara napas epigastrium, volume tidal ekshalasi yang tinggi, dan
komplians kantung reservoir selama ventilasi manual.179 Indikator terpenting dan
terobjektif dari intubasi endotrakeal adalah adanya kapnogram normal
(gelombang karbon dioksida [CO2]) untuk setidaknya tiga napas. Bronkospasme
berat, malfungsi alat, henti jantung, atau kolaps hemodinamik dapat mencegah
gambaran kapnogram terlepas dari terpasangnya ETT. Jika masih ragu,
bronskoskopi fiberoptik dapat digunakan untuk mengonfirmasi penempatan ETT.

Hipoksemia, peningkatan tekanan jalan napas, ekspansi dada asimetris, dan tidak
adanya suara napas di satu paru—umumnya sebelah kiri—indikatif untuk intubasi
endobronkial; pneumotoraks juga dapat menyebabkan gambaran ini. Bronkoskopi
fiberoptik atau radiografi dada dapat digunakan jika gambaran klinis masih belum
jelas.

Mengamankan tabung endotrakeal. Ketika keadalaman ETT sudah tepat,


tabung harus difiksasi untuk mencegah pergerakan dan intubasi/ekstubasi
endobronkial. Metode tersering adalah merekatkan ETT ke kulit wajah. Karena
kurang mobile, kulit maksilla adalah lokasi tersering yang digunakan. Jika tidak
bisa menggunakan pita perekat—misalnya karena alergi, luka bakar luas di wajah,
atau epidermolisis bullosa—sungkup bedah dapat diikat di sekitar bagian
belakang kepala untuk mempertahankan posisi ETT. Metode lain adalah fiksasi
kawat ke gigi atau menjahit ETT ke kulit pipi.

Laringoskopi Tidak Langsung

DL konvensional memerlukan pembukaan mulut lebar, fleksi leher, dan ekstensi


atlantooksipital untuk menciptakan garis penglihatan langsung dari mulut ke
laring. Dalam kondisi tertentu, pemosisian ini tidak mungkin atau kontraindikasi.
Karena variasi anatomi di saluran napas (misalnya, jaringan lunak yang
berlebihan, gigi seri yang menonjol, laring anterior), DL tidak dapat dilakukan,
meskipun penentuan posisi dan teknik yang optimal sudah dilakukan.
Laringoskopi tidak langsung adalah visualisasi tidak langsung dari glotis dengan
alat bantu optik, seperti bundel fiberoptik, kamera video, cermin, prisma, atau
lensa. Ada berbagai perangkat berbeda yang menggunakan laringoskopi tidak
langsung, termasuk FIS, VL, dan stylet optik intubasi. Mereka adalah alat yang
sangat diperlukan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas. Karena tidak ada garis
pandang langsung yang diperlukan, visualisasi laring dapat terjadi tanpa distorsi
jaringan, akibatnya, teknik ini dapat dengan mudah digunakan dengan anestesi
topikal pada pasien sadar.

Intubasi skop fleksibel pada trakea. Bronskoskop fiberoptik fleksibel (BFF)


adalah alat laringoskopi tidak langsung yang paling umum digunakan. Sejak
penggunaan pertama fiberoptik untuk penanganan jalan napas tahun 1967, FIS,
meliputi BFF, telah menjadi alat-alat yang penting untuk intubasi endotrakeal baik
pada pasien sadar maupun tidak sadar. Ada beberapa skenario klinis di mana FSI
memberikan teknik penanganan yang lebih baik dibandingkan DL atau alat jalan
napas alternatif lain. FSI untuk pasien sadar dan berventilasi spontan dianggap
sebagai baku emas untuk penanganan keuslitan jalan napas.183

BFF standar (Gambar 55-24) terdiri dari ribuan serat kaca fleksibel dengan
diameter sekitar 8 hingga 10 μm yang mampu mentransmisikan cahaya pantul
sepanjang panjangnya. Cahaya ditransmisikan dari sumber cahaya eksternal ke
ujung distal BFF; cahaya yang memantulkan objek yang akan ditransmisikan
kembali sepanjang BFF ke lensa okuler atau kamera video di ujung proksimal dari
skop. Dalam beberapa tahun terakhir, BFF telah digantikan oleh FIS modern yang
menggunakan chip video dan teknologi light-emitting diode (LED), bukan
fiberoptik. Contohnya adalah Storz Five Scope, yang merupakan video
bronkoskop yang sangat portabel untuk digunakan dengan sistem C-MAC VL.
Indikasi untuk FSI pada dasarnya termasuk indikasi untuk intubasi endotrakeal.
Namun, FSI mungkin merupakan teknik manajemen jalan nafas pilihan dalam
salah satu dari skenario klinis berikut183:

 Saluran udara sulit yang diketahui atau diantisipasi (yaitu, tidak dapat
melakukan intubasi atau tidak dapat melakukan ventilasi)
 Perluasan leher yang tidak diinginkan (misalnya fraktur vertebra cervicalis
yang tidak stabil, stenosis leher berat, insufisiensi arteri vertebral,
malformasi Chiari)
 Peningkatan resiko kerusakan gigi (misalnya, gigi yang buruk, gigi yang
rapuh)
 Pembukaan mulut terbatas (misalnya, penyakit TMJ, fiksasi mandibula-
maksila, luka bakar wajah yang parah)

Tidak ada kontraindikasi spesifik untuk FSI; namun, dalam situasi klinis tertentu,
FSI yang sukses tidak mungkin dilakukan. Perdarahan saluran napas yang parah
dapat mengaburkan tanda-tanda anatomis dan menyumbat ujung FIS dengan
darah, membuat visualisasi laring menjadi sangat sulit. Obstruksi atau stenosis
berat pada saluran napas, sehingga ketidakmampuan untuk melewati FIS juga
dapat membuat FSI menjadi tidak mungkin. FSI memberikan beberapa
keunggulan dibandingkan DL183:

 Memungkinkan pemeriksaan visual saluran napas yang lebih lengkap


sebelum intubasi.
 Memberikan konfirmasi penempatan tabung, menghindari intubasi
esofagus dan endobronkial.
 Menghilangkan kebutuhan untuk penyelarasan tiga sumbu; oleh karena itu
FSI adalah salah satu teknik yang paling tidak mungkin menghasilkan
gerakan tulang belakang leher.
 Ditoleransi dengan baik pada pasien yang terjaga; menghasilkan kurang
tachycardia dan hipertensi.
 Memiliki lebih sedikit potensi trauma saluran napas dan gigi.
 Dapat dilakukan dalam berbagai posisi.

FSI dapat dilakukan pada pasien yang sadar atau terbius. Indikasi untuk FSI sadar
umumnya adalah situasi-situasi di mana sulit dilakukan ventilasi melalui sungkup,
ketika pemeriksaan neurologis pascaintubasi diperlukan, atau ketika induksi
anestesi umum dapat menyebabkan konsekuensi hemodinamik atau pernapasan
yang merugikan. Kerugian teknis utama untuk melakukan FSI di bawah anestesi
umum adalah hilangnya tonus otot faring, yang dapat menyebabkan kolaps
saluran napas bagian atas dan laringoskopi serat optik yang sulit.183

Sebelum digunakan, dokter anestesi atau asisten ahli harus memastikan bahwa
FIS, sumber cahaya, dan monitor video dalam kondisi kerja yang tepat dan semua
komponen telah sepenuhnya siap untuk digunakan. Persiapan ini termasuk
memfokuskan gambar jika menggunakan BFF, memastikan orientasi tampilan
yang tepat jika menggunakan kamera video, melumasi sepertiga distal dari kabel
penyisipan fleksibel, menerapkan solusi antifogging ke ujung skop, dan
menghubungkan saluran hisap atau sumber oksigen ke lubang hisap. ETT harus
disiapkan dengan menempatkannya dalam bak air hangat, yang melunakkan
plastik, meringankan jalan masuk ke trakea dan meminimalkan trauma saluran
napas.

FSI biasanya dilakukan dalam posisi terlentang atau duduk bersandar, meskipun
FSI darurat dapat dilakukan dalam posisi lateral dekubitus atau posisi
tengkurap.184 Ketika melakukan FSI dalam posisi terlentang, penyedia anestesi
berdiri di kepala pasien. Keuntungan untuk posisi ini adalah bahwa pandangan
laring melalui FIS berada dalam orientasi yang sama seperti selama DL, dan
pasien dan dokter sudah dalam posisi optimal untuk melakukan ventilasi sungkup
atau manuver saluran napas lainnya, jika perlu. Ketika melakukan FSI dengan
pasien dalam posisi duduk atau bersandar, praktisi harus berdiri menghadap
pasien di sisi pasien. Posisi ini mungkin merupakan posisi pilihan dalam FSI yang
terjaga sebagai hasil dari peningkatan ventilasi dan kenyamanan pasien yang lebih
besar. Selain itu, posisi duduk mengoptimalkan anatomi saluran napas dan
mencegah jalan napas kolaps pada pasien yang mengalami obesitas, pada pasien
dengan apnea tidur obstruktif, dan pada pasien dengan obstruksi saluran napas
ekstrinsik anterior.

Sebelum FSI, kecuali kontraindikasi, antisialagogue, seperti glycopyrrolate 0,2


mg IV, harus diberikan untuk mengeringkan sekresi saluran napas. Rute
orotrakeal dan nasotrakeal dapat digunakan untuk FSI. Sambil menimbang
kelebihan dan kekurangan, dokter harus menentukan pendekatan mana yang
paling cocok untuk situasi klinis. Apapun rute yang dipilih, pada dasarnya dua
langkah untuk FSI harus diambil183: 1. Laringoskopi tidak langsung dan
endoskopi dilakukan, memperoleh pandangan glotis dengan FIS dan manuver FIS
melalui pita suara ke trakea; 2. ETT maju di atas FIS ke posisi yang tepat dalam
trakea, dan FIS dikeluarkan.

Ketika melakukan FSI orotrakeal. menavigasi FIS di sekitar pangkal lidah untuk
mencapai pandangan yang memuaskan dari laring adalah salah satu tantangan
utama. FIS memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari garis tengah, dan,
sering, sedikit atau tidak ada ruang udara ditemukan antara lidah dan langit-langit
yang dilalui untuk menavigasi FIS. Untuk mengurangi masalah ini, beberapa
perangkat atau teknik dapat digunakan. Saluran udara oral intubasi khusus dapat
digunakan untuk melindungi FIS dari kerusakan, mencegah lidah jatuh kembali ke
faring dan menghalangi ruang udara, dan untuk menjaga garis tengah FIS saat
dipandu ke laring. Beberapa jenis saluran udara oral intubasi, masing-masing
dengan perbedaan desain yang unik, meliputi saluran udara Ovassapian, Berman,
dan Williams. Kerugian dari alat ini adalah bahwa mereka menempatkan tekanan
pada pangkal lidah, berpotensi menyebabkan tersedak pada pasien sadar. Pada
pasien sadar dan mereka yang berada di bawah anestesi umum, traksi lembut pada
lidah anterior sangat membantu mencegah lidah jatuh kembali ke faring jika
saluran udara intubasi tidak digunakan. Traksi ini dapat dengan mudah dicapai
dengan tangan dengan bantuan gauze pad 4×4untuk traksi atau dengan forsep
Magill. Perawatan harus dilakukan untuk tidak melukai lidah pada gigi bawah.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sungkup laring dan sungkup laringintubasi
juga dapat digunakan sebagai saluran untuk FSI oral. Mendapatkan pandangan
laring selama hidung FSI sering lebih mudah, dibandingkan dengan pendekatan
oral, yang karena fakta bahwa FIS tetap garis tengah dan ujung FIS biasanya
diarahkan pada glotis saat memasuki oropharynx.

Setelah FIS telah berhasil diposisikan di orofaring, epiglotis dan pita suara
biasanya dapat divisualisasikan dengan defleksi anterior sedikit dari ujung FIS
FIS ditujukan terhadap commissura anterior pita suara dan posterior tertekuk
untuk masuk ke dalam trakea. Trakea mudah diidentifikasi dengan adanya cincin
trakea kartilaginosa. FIS dimajukan secara distal sampai titik tepat di atas carina,
dan ETT maju melewati FIS sambil terus memvisualisasikan trakea melalui FIS,
yang memberikan konfirmasi bahwa FIS dan ETT tidak secara tidak sengaja
copot ke orofaring atau esophagus. Seringkali, terutama dengan intubasi
orotrakeal, resistensi terpenuhi ketika ujung ETT mencapai inlet glotis. Seringkali,
resistensi ini telah terbukti disebabkan oleh bevel ETT yang menimpa pada
arytenoid.186 Penarikan sedikit ETT dan putaran 90 derajat berlawanan arah jarum
jam, yang mengorientasikan bevel secara posterior, biasanya menyelesaikan
masalah ini. Untuk intubasi nasotrakeal, putaran searah jarum jam 90 derajat,
memastikan bahwa bevel diorientasikan di anterior, dapat mencegah ujung ETT
menimpa epiglotis. Sebagai alternatif, Parker Flex-Tip ETT (Parker Medical,
Englewood, CO), yang memiliki ujung berhidung manu yang diarahkan ke pusat
lumen distal, dapat digunakan. ETT ini telah terbukti memiliki tingkat
keberhasilan first-pass yang tinggi ketika maju melalui FIS.187

Setelah ETT berhasil dimasukkan, kedalaman yang tepat (2 hingga 3 cm dari


carina) dikonfirmasi selama penarikan FIS. Pada kesempatan langka, FIS
mungkin sulit untuk dikeluarkan dari ETT, yang mungkin disebabkan oleh FIS
setelah melewati mata Murphy daripada lumen distal atau hasil pelumasan FIS
yang tidak memadai. Dalam situasi ini, pemindahan paksa dapat merusak
perangkat; oleh karena itu FIS dan ETT harus diangkat bersamaan dan prosedur
diulang.

Gambar 55-24. Bronkoskop fiberoptik fleksibel (BFF).

Laringskop rigid tidak langsung.Laringoskopi tidak langsung pertama untuk


intubasi didasarkan pada modifikasi laringoskop langsung standar dan
menggunakan cermin atau prisma untuk memproyeksikan gambar pada sudut dari
horizontal, memfasilitasi visualisasi laring. Laringoskopi tidak langsung modern
berdasarkan pada desain laringoskopi langsung yang menggunakan lensa optik
untuk memproyeksikan citra refraksi glotis termasuk Viewmax (Rüsch, Duluth,
GA) dan TruView EVO2 (Truphatek, Netanya, Israel).

Salah satu laringoskopi tidak langsung yang paling dipelajari dengan baik adalah
Bullard Elite (Gyrus ACMI, Southborough, MA). Alat ini memiliki bentuk-L
anatomis, stylet logam, dan saluran kerja 3,7 mm yang dapat digunakan untuk
insuflasi oksigen, suction, atau instilasi anestesi lokal. Laringoskop Bullard telah
terbukti sangat berguna pada pasien dengan mobilitas spinal spinal yang terbatas
atau cedera tulang belakang leher.188,189 Ketebalan bilah 6.4 mm memungkinkan
penggunaannya pada pasien dengan pembukaan mulut minimal. Perangkat diputar
di atas pangkal lidah dari orofaring ke laringofaring. Begitu ujung Bullard berada
pada posisi yang tepat dalam kaitannya dengan epiglotis, gaya angkat diterapkan
untuk mengangkat epiglotis. Visualisasi laring dioptimalkan dengan
menyesuaikan gaya angkat dan posisi ujung perangkat.10

The Airtraq SP (Prodol Meditec S.A., Guecho, Spanyol) adalah laringoskop optik
yang dapat dibentuk, portabel, berbentuk anatomi, yang memberikan pandangan
glotis yang diperbesar tanpa penyejajaran oral, faring, dan laring. Ini termasuk
saluran pemandu untuk menahan ETT dan mengarahkannya ke arah pita suara. Ini
dapat digunakan untuk berbagai aplikasi, termasuk saluran udara sulit yang
diketahui atau diprediksi, serta untuk intubasi terjaga. Laringoskop Airtraq telah
terbukti menghasilkan intubasi endotrakeal lebih cepat dengan penurunan
kejadian intubasi esofagus bila dibandingkan dengan DL, terutama ketika
digunakan oleh pemula.190Alat ini tersedia dalam dua ukuran dewasa dan dua
ukuran anak, serta dalam desain khusus untuk intubasi nasotrakeal dan
penempatan tabung lumen ganda. The Airtraq Avant adalah model baru yang
menampilkan potongan optik dapat digunakan kembali yang digunakan dalam
kombinasi dengan pisau sekali pakai.

Stylet optik menyala.Stylet optik yang menyala adalah perangkat fiberoptik kaku
atau semirigid yang menggabungkan komponen transmisi optik dan cahaya ke
dalam selubung tubular, baja anti karat di mana ETT dimuat. Sejumlah besar bukti
mendukung penggunaan stylet optik ini pada pasien dengan mobilitas leher
terbatas,191 pembukaan mulut kecil,192 anatomi jalan napas abnormal,193 atau
laringoskopi sulit yang diantisipasi.

Fiberskop intubasi retromolar Bonfils (Karl Storz Endoskopi, Tuttlingen, Jerman)


adalah styket optik kaku sepanjang 40 cm dengan kelengkungan ujung anterior
tetap 40 derajat.194 Lensa mata proksimal dapat digunakan dengan mata telanjang
atau terhubung ke video pemantau. Alat tersedia dengan saluran kerja yang dapat
digunakan untuk suction, anestesi lokal SAYGO,195 atau insuflasi oksigen (laju
aliran oksigen harus dibatasi hingga 3 L/menit untuk menghindari
barotrauma).196Stylet optik Shikani (Clarus Medical, Minneapolis, MN) adalah
perangkat yang mirip dengan fiberskop Bonfils tetapi dengan poros lunak. Stylet
Levitan FPS (Clarus Medical, Minneapolis, MN) adalah versi lebih pendek dari
stylet Shikani yang dimaksudkan untuk digunakan dalam kombinasi dengan DL,
meskipun dapat digunakan sendiri.197Clarus Video System (Clarus Medical,
Minneapolis, MN) adalah versi serat optik Shikani yang menggabungkan layar
LCD.

Stylet optik ini dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan DL atau
video laringoskopi.198 ETT dipasang pada stylet optik dan maju di bawah
penglihatan langsung melalui rute tengah atau kanan sampai melewati bawah
lidah. Setelah visualisasi tidak langsung dari ujung stylet yang melewati pita suara
(melalui eyepiece atau monitor video), ETT maju melewati stilet ke dalam trakea.
Ketika alat ini tidak digunakan bersama dengan DL atau video laringoskopi,
tangan kiri operator harus mengangkat rahang pasien dengan menggenggam
rahang dan menggesernya ke anterior. Manuver ini membantu menciptakan lebih
banyak ruang udara di orofaring dan mengangkat epiglotis. Gaya optik dapat
digunakan untuk intubasi terjaga dan juga telah digunakan untuk teknik
transluminasi.194,199

SensaScope (Acutronic, Hirzel, Swiss) adalah stylet optik kaku baru yang
menggunakan teknologi chip video. Alat ini memiliki kelengkungan berbentuk S
dan ujung sepanjang 3-cm. Visualisasi dicapai dengan koneksi ke monitor video.
SensaScope dirancang untuk digunakan dalam kombinasi dengan DL dan telah
berhasil digunakan untuk intubasi sadar pada pasien dengan jalan napas sulit.201
Video RIFL (AI Medical Devices, Williamston, MI) adalah perangkat serupa
dengan poros kaku dan ujung yang fleksibel dan mudah dikendalikan. Perangkat
ini dilengkapi monitor LCD yang terpasang pada pegangan yang menampilkan
gambar video.

Laringoskopi Video

Seperti pada bronkoskopi fleksibel, teknologi chip video telah mulai


menggantikan teknologi fiberoptik secara laringoskop tidak langsung karena
keuntungan dari kualitas gambar yang lebih tinggi, peningkatan daya tahan, dan
mengurangi biaya perawatan. Selama 10 tahun terakhir, VL telah merevolusi
praktek manajemen saluran napas, dan penggunaannya dapat menjadi standar
tidak hanya untuk saluran udara yang sulit, tetapi juga untuk saluran udara rutin
juga. Faktanya, laringoskopi video sekarang termasuk dalam algoritme ASA
sebagai pendekatan alternatif untuk intubasi dan harus dipertimbangkan untuk
pasien dengan jalan napas sulit.4 VL juga terdaftar sebagai bagian peralatan yang
disarankan pada alat portabel pada kesulitan saluran napas.4

VLs telah terbukti menghasilkan visualisasi glotis yang lebih baik, dibandingkan
dengan DL.4,202 Meskipun peningkatan visualisasi ini tidak selalu berarti
peningkatan keberhasilan dengan intubasi (terutama pada jalan napas normal),
penelitian telah menunjukkan peningkatan intubasi yang berhasil dengan
laringoskopi video.203,204 VL juga berguna dalam jalan napas sulit yang tidak
terduga; tingkat keberhasilan intubasi 94% dan 99% telah dilaporkan untuk
laringoskopi video sebagai modalitas penyelamatan setelah gagal DL.205,206
Perangkat ini juga telah berhasil digunakan untuk intubasi sadar.207,208

Berbagai VL yang berbeda telah diperkenalkan, masing-masing dengan desain


dan fitur khusus sendiri. Umumnya, VL dapat dibagi menjadi tiga kelompok: (1)
desain yang didasarkan pada bilah Macintosh, (2) yang menggabungkan bilah
yang sangat melengkung atau berangulasi distal, dan (3) yang menggabungkan
kanal pemandu ETT.209 Meskipun tidak ada satu desain yang terbukti lebih unggul
dari yang lain, ada keadaan klinis tertentu di mana satu desain mungkin lebih baik
dari yang lain. Fitur lain yang bervariasi di antara VL yang berbeda termasuk
tingkat portabilitas dan ukuran monitor video. Banyak VL tersedia dalam model
yang dapat digunakan kembali dan sekali pakai. VL berdasarkan desain biilah
Macintosh termasuk laringoskop C-MAC (Karl Storz, Tuttlingen, Jerman),
laringoskop McGrath MAC (Aircraft Medical, Edinburgh, UK), dan pemandu
intubasi GlideScope Direct (Verathon, Bothell, WA). Perangkat ini dapat
digunakan untuk laringoskopi DL dan video, membuat mereka sangat berguna
untuk mengajarkan teknik DL. Laringoskop C-MAC adalah yang paling ekstensif
dan dikaitkan dengan waktu intubasi yang lebih pendek dan kemudahan
penggunaan yang lebih besar, dibandingkan dengan VL lainnya,210,211 yang
mungkin karena keakraban laringoskopi dengan penggunaan bilah bergaya-
Macintosh (Gambar 1). 55-25). Teknik untuk menggunakan laringoskop C-MAC
identik dengan DL dengan bilah Macintosh; ujung VL dapat digunakan untuk
mengangkat epiglotis secara langsung.212 Berbeda dengan VL lainnya,
kebanyakan intubasi dengan laringoskop C-MAC dapat dilakukan tanpa
menggunakan stylet213,214; penggunaan RAE ETT oral dapat memfasilitasi
intubasi endotrakeal.215

VL dengan bilah yang bersudut miring atau sangat melengkung memungkinkan


“melihat ke sudut,” memberikan tampilan laringoskopi yang lebih baik tanpa
memerlukan manipulasi tulang belakang leher. Karena itu, perangkat ini
digunakan pada pasien dengan imobilisasi serviks, micrognathia, atau pembukaan
mulut terbatas.20 GlideScope (Verathon, Bothell, WA) adalah prototipe untuk
subset perangkat ini. Ini memiliki angulasi blade 60 derajat, mekanisme
antifogging, monitor LCD 7-inci, dan tersedia dalam model yang dapat digunakan
kembali dan sekali pakai. Laringoskop McGrath Series 5 adalah perangkat yang
serupa karena memiliki bilah bersudut distal; perbedaan utamanya adalah
portabilitasnya yang lebih besar dan gagang pengartikulasi yang dapat berguna
pada pasien dengan pembukaan mulut terbatas dan pergerakan kepala dan leher
yang terbatas. D-Blade (Karl Storz, Tuttlingen, Jerman) adalah bilah VL yang
sangat melengkung untuk digunakan dengan sistem C-MAC. Alat-alat ini
biasanya dimasukkan ke dalam garis tengah mulut, tanpa menyapu lidah dari
kanan ke kiri seperti pada DL. Karena tingkat angulasi yang tinggi, sebuah ETT
stylet hampir selalu diperlukan; stylet dengan lengkungan 60- hingga 90 derajat,
stylet artikulasi, dan stylet GlideRite (stylet kaku dengan kurva 90 derajat yang
dirancang khusus untuk digunakan dengan GlideScope) semuanya telah berhasil
digunakan dengan VL ini.216,217 VL dan ETT gips harus dimasukkan ke dalam
rongga mulut dengan visi langsung untuk menghindari trauma orofaring.218
Beberapa VL dengan bilah yang sangat melengkung memiliki saluran pemandu
pipa terpadu untuk memfasilitasi intubasi tanpa menggunakan stylet, mirip dengan
Airtraq.King Vision (King Systems, Noblesville, IN) dan Pentax Airway Scope
(AWS; Pentax Medical, didistribusikan oleh Ambu Inc., Glen Burnie, MD)
termasuk dalam kategori ini. Jenis VL ini telah terbukti bermanfaat pada pasien
219.220
dengan imobilisasi leher dan telah berhasil digunakan untuk intubasi sadar.
VividTrac (Vivid Medical, Palo Alto, CA) adalah VL baru yang digunakan sekali
pakai, disalurkan dengan antarmuka Universal Serial Bus (USB) yang berfungsi
dengan monitor apa pun.

Gambar 55-25. Laringoskop video C-MAC.

Introduser dan Stylet Intubasi

Stylet intubasi umumnya alat-alat pipih dan panjang yang digunakan untuk
membantu memandu ETT melalui glotis. Stylet ETT sering digunakan untuk
membuat lengkungan stik hoki anterior terhadap ETT untuk memfasilitasi
intubasi trakeal. Introduser ETT dapat digunakan untuk melakukan intubasi
membuta ketika pembukaan glotis tidak terlihat selama laringoskopi (tampakan
laring kelas III dalam klasifikasi Cormack-Lehane). Stylet bercahaya digunakan
untuk intubasi trakea menggunakan teknik transluminasi.

Introduser tabung endotrakea.Pemandu ETT asli adalah introduser Eschmann,


yang dikembangkan oleh Venn tahun 1973.221Alat ini, yang juga disebut gum
elastic bougie, cukup panjang untuk memungkinkan penempatan ETT lebih dari
ujung distalnya setelah dilewatkan di pita suara. Alat ini juga memiliki angulasi
anterior di akhir distalnya untuk memfasilitasi manuver di bawah epiglotis melalui
pembukaan glotis, bahkan ketika struktur glotis tidak terlihat. Ada berbagai
introduser yang serupa dengan ukuran berbeda; beberapa dapat memberikan
ventilasi jika kebutuhan meningkat.

Introduser dengan angulasi anterior umumnya digunakan ketika porsio struktur


laring, seperti ujung epiglotis, dapat terlihat. Penempatan stylet yang tepat
diindikasikan dengan persepsi klik trakea ketika ujung melewati cincin trakea dan
distal hold-up ketika mencapai bronkus kecil. ETT kemudian dilewatkan melalui
introduser ke posisi yang benar.222

Styletmenyala.Stylet yang menyala menggunakan teknik transluminasi untuk


secara buta mengintubasi trakea dan telah dijelaskan dalam literatur sebagai
alternatif atau bantuan untuk DL, terutama di jalan napas sulit yang diprediksi.
Stylet yang menyala dapat sangat membantu ketika keberadaan darah atau sekresi
berat membatasi visualisasi jalan napas. Namun, karena penyisipan alat ini
menggunakan teknik buta, alat ini merupakan kontraindikasi pada situasi klinis
tertentu, seperti neoplasma pada trauma jalan napas atau saluran napas. Karena
peningkatan jaringan lunak menyebabkan kesulitan dengan transiluminasi, teknik
ini kurang bermanfaat pada pasien yang mengalami obesitas berat.222

Untuk melakukan teknik transluminasi, ETT dimuat ke stylet. Tangan kiri


operator mengangkat rahang pasien telentang dengan menggenggam mandibula
secara perlahan dan menggesernya ke anterior untuk memfasilitasi pemasukan
stylet di bawah lidah. Stylet harus dimasukkan menggunakan pendekatan
retromolar. Setelah dimasukkan, stylet harus dijaga di garis tengah dan maju di
bawah lidah. Cahaya berbatas tegas (kira-kira seukuran setengah dolar) akan
muncul di garis tengah leher pasien pada tingkat kartilago krikoid (Gambar 55-
26), yang menunjukkan posisi stylet yang benar dalam trakea. Selanjutnya, ETT
dapat dimajukan melalui stylet ke posisi yang tepat.222

Gambar 55-26. Ketika ujung stylet menyala ditempatkan di pembukaan glotis,


sinar berbatas tegas akan terlihat di leher anterior tepat di bawah prominentia
laryngealis.

Intubasi Trakeal melalui Alat Saluran Udara Supraglotis

Sungkup laring intubasi (SLI), yang dikenal sebagai sungkup laring Fastrach
(LMA Amerika Utara, San Diego, CA), pertama kali dijelaskan oleh Dr Archie
Brain pada tahun 1997; alat ini tersedia untuk penggunaan komersial di Amerika
Serikat tak lama sesudahnya. SLI dirancang sebagai saluran untuk intubasi trakea
untuk memfasilitasi ventilasi antara upaya intubasi trakea. Pegangan yang kaku
dan tabung saluran udara memungkinkan kontrol posisi masker yang cepat dan
tepat. Sebuah bar pengangkat epiglotis dirancang untuk mengangkat epiglotis
sebagai tabung maju. Ada versi sekali pakai, selain model asli yang dapat
digunakan kembali. Tabung trakea khusus yang dapat digunakan kembali atau
sekali pakai dirancang untuk memfasilitasi intubasi buta atraumatik melalui SLI.
Tabung lurus, diperkuat dengan kawat, dan memiliki ujung dibentuk lunak yang
dirancang untuk mencegah tumbukan pada struktur laring.

Teknik memasukkan SLI berbeda dalam banyak hal dari penyisipan SLK. Posisi
kepala netral (tidak ada kepala yang tertuju pada pendukung) direkomendasikan.
Pegangan SLI digunakan untuk memutar sungkup ke faring. Oksigenasi, ventilasi,
dan anestesi distabilkan setelah pemasangan. Jika resistensi terhadap ventilasi
ditemukan, maka posisi SLI disesuaikan. Manuver Chandy terdiri dari dua
manuver terpisah: (1) SLI diputar dalam bidang sagital sampai ketahanan ventilasi
kantong minimal; dan kemudian (2) SLI dengan lembut diangkat dari dinding
faring posterior tepat sebelum melewati tabung trakea (Gambar 55-27). SLI asli
dapat digunakan kembali danharus diangkat segera setelah intubasi trakea telah
diverifikasi karena kekakuannya menghasilkan tekanan tinggi pada jaringan yang
berdekatan. Meskipun teknik buta memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi,
intubasi dengan FIS melalui SLI mencapai tingkat keberhasilan first-pass yang
tinggi.

SGA lain dapat digunakan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal. SLK,


meskipun tidak dirancang untuk intubasi, dapat menjadi saluran yang efektif jika
digunakan bersama dengan FIS. Karena saluran udara yang panjang dan sempit,
tabung microlaryngeal harus digunakan. Sebagai alternatif, SLK dapat ditukarkan
dengan ETT dengan menggunakan FIS dalam hubungannya dengan kateter
intubasi Aintree (Cook Critical Care, Bloomington, IN), yang merupakan kateter
pertukaran saluran napas berongga yang dirancang untuk dipasang di atas FIS
intubasi standar (Gambar 55-28). Saluran napas intubasi AirQ (Cookgas, Mercury
Medical, Clearwater, FL) adalah SGA unik yang dweirancang untuk digunakan
pada intubasi membuta dan dipandu FIS.
Gambar 55-27. Manuver Chandy terdiri dari dua langkah. A, langkah pertama
penting utnuk menetapkan ventilasi yang optimal. Saluran napas sungkup laring
intubasi (SLI/ILMA) diputar ringan dalam bidang sagital menggunakan pegangan
sampai resistensi terkecil terhadap ventilasi kantung tercapai. B, langkah kedua
dilakukan tepat sebelum intubasi. Pegangan digunakan untuk mengangkat SLI
sedikit menjauhi dinding faring posterior, yang membantu pergerakan halus
tabung endotrakeal (ETT) ke dalam trakea.

Gambar 55-28. Kateter intubasi Aintree dengan skop intubasi fleksibel,


dimasukkan melalui sungkup laring.

Intubasi Retrograde

IR adalah teknik yang untuk intubasi orotrakeal atau nasotrakeal yang melibatkan
pemanduan ETT ke dalam trakea panduan fleksibel yang telah ditempatkan secara
perkutan melalui CTM ke dalam trakea dan lewat secara retrograde melalui laring
dan faring,keluar mulut atau hidung. Panduan ini biasanya terdiri dari kawat baja,
meskipun kateter epidural juga dapat digunakan. Teknik ini memiliki beberapa
modifikasi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian tersendiri, dan dapat
digunakan pada pasien sadar, dibius, atau apnea yang memiliki kesulitan bernafas
apneustik terduga atau tidak terduga.223 Indikasi termasuk kegagalan DL;
obstruksi pandangan pita suara oleh darah, sekresi, atau kelainan anatomis; dan
kesulitan intubasi akibat vertebra cervicalis yang tidak stabil, ankylosing
spondilitis, trauma maksilofasial, atau trismus. IR juga merupakan alternatif untuk
FSI di negara-negara berkembang dimana ketersediaan FIS terbatas.223

Algoritma ASA menggambarkan IR sebagai pendekatan alternatif untuk kesulitan


intubasi dalam ekadaan non-darurat, ketika intubasi tidak berhasil tapi ventilasi
sungkup memadai. ASA menyarankan bahwa perlengkapan untuk IR dimasukkan
dalam unit penyimpanan portabel untuk manajemen gangguan jalan napas. IR
dapat diselesaikan dalam beberapa menit; oleh karena itu, teknik ini merupakan
kontraindikasi dalam skenario darurat CICV.223 Kontraindikasi lainnya umumnya
relatif dan termasuk abnormalitas anatomi (misalnya, keganasan, gondok) yang
menghalangi akses ke CTM, stenosis trakea pada tingkat CTM, koagulopati, dan
infeksi lokal.

Posisi ideal untuk IR adalah terlentang dengan leher ekstensi, sehingga mudah
untuk melakukan palpasi kartilago krikoid dan struktur sekitarnya. Jika posisi ini
tidak memungkinkan, maka IR juga dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi
duduk atau dengan leher dalam posisi netral. Jika penanda sulit untuk
diidentifikasi, maka bimbingan USG dapat digunakan. Leher anterior harus
dibersihkan sebelum tusukan, dan teknik aseptik harus digunakan. Lokasi tusukan
translaringeal dapat dilakukan superior atau inferior dari kartilago krikoid. CTM
(dibagian lebih atas kartilago krikoid) memiliki keuntungan yang relatif
avaskular; Namun, tusukan di tempat ini memungkinkan hanya 1 cm ruang di
bawah tingkat pita suara untuk ujung ETT. Sebuah tempat tusukan lebih rendah
pada kartilago krikoid, di ligamentum cricotrachealis, memungkinkan ETT untuk
melakukan perjalanan di jalan yang lurus dengan panjang ETT di bawah pita
suara; walaupun begitu, lokasi ini dikaitkan dengan potensi yang lebih besar untuk
perdarahan.223

Teknik klasik untuk IR melibatkan menggunakan jarum Tuohy untuk menusuk


CTM dan kateter epidural sebagai panduan. Umunya, kateter IV dan kawat
pemandu baja digunakan. Diameter kawat pemandu harus cukup kecil untuk
masuk melalui kateter IV dan harus setidaknya dua kali ETT yang akan
digunakan; sebuah kawat pemandu dengan diameter 0.038” (yang melewati
kateter 18-G IV) dan panjang 110 cm umumnya digunakan. Ada kit komersial
yang mencakup semua peralatan yang diperlukan. Melakukan IR dengan J-tip,
kawat pemandu baja daripada kateter epidural memberikan keuntungan sebagai
berikut: J-tip dari kawat pemandu lebih kurang traumatis ke jalan napas; kawat
pemandu memiliki kecenderungan lebih rendah untuk melengkung pada rongga
mulut atau hidung lebih mudah; dan tekniknya lebih cepat.223

Setelah pasien telah diposisikan, tangan yang tidak dominan menstabilkan trakea
dengan menempatkan ibu jari dan jari ketiga di kedua sisi dari kartilago krikoid.
Jari telunjuk digunakan untuk mengidentifikasi garis tengah CTM dan batas atas
dari kartilago krikoid. Sebuah jarum suntik setengah penuh dengan cairan salin
terpasang ke angiokateter 18-Gdan maju pada sudut 90 derajat ke CTM dengan
bevel menghadap cephalad, aspirasi untuk gelembung udara untuk
mengkonfirmasi posisi dalam trakea. Sudut penyisipan sedikit diturunkan, dan
jarum akan dilepas. Pada tahap ini, konfirmasi ulang dari posisi dalam trakea dan
berangsur-angsur dari anestesi lokal dapat dilakukan dengan jarum suntik kedua
diisi dengan 2 sampai 4 ml 2% atau 4% lidocaine.

Kawat pemandu tersebut kemudian maju melalui angiokateter sampai keluar dari
mulut atau hidung. DL dapat digunakan untuk memfasilitasi kawat keluar mulut,
jika dibutuhkan. kawat pemandu yang dijepit dengan hemostat pada tingkat kulit
leher untuk mencegah perpindahan. Meskipun ETT yang kemudian dapat
langsung maju atas kawat pemandu, panduan meruncing kateter (misalnya, Arndt
udara arah pertukaran kateter) berguna untuk mengurangi perbedaan diameter
antara kawat pemandu dan ETT, yang dapat mempengaruhi ETT untuk
menangkap arytenoid atau pita suara daripada meluncur lancar ke trakea. Panduan
kateter ditempatkan di atas bagian dari kawat keluar dari mulut atau hidung dan
maju sampai kontak CTM. Kawat tersebut kemudian dilepas, dan ETT maju atas
panduan kateter (Gambar 55-29). Potensi komplikasi termasuk perdarahan
(biasanya minimal), emfisema subkutan, pneumomediastinum, pneumotoraks, dan
cedera pada trakea posterior atau esofagus.223

Gambar 55-29. Teknik dipandu kawat untuk intubasi retrograde. A, setelah


penempatan angiokateter 18-G melalui membran krikotiroid (CTM), ujugn kawat
dimasukkan dalam arah cephalad sampai keluar dari hidung atau mulut. B, kateter
pemandu dipasang melewati kawat sampai berkontak dengan lokasi akses laring.
Kawat pemandu kemudian dilepas dari atas. C, setelah memasukkan kateter
pemandu 2-3 cm, tabung endotreakeal pun dimasukkan ke dalam trakea.

Tabung Lumen Ganda dan Penghambat Bronkial


Ventilasi satu paru-paru diperlukan untuk keadaan klinis tertentu, termasuk isolasi
paru protektif dari infeksi atau perdarahan, mencapai paparan yang memadai
untuk prosedur bedah (misalnya, video-assisted thoracoscopy), dan untuk
mengendalikan distribusi ventilasi pada operasi bronkial, trauma, atau fistula.
tabung lumen ganda dan penghambat bronkial memberikan dua pilihan yang
memungkinkan untuk ventilasi hanya pada satu paru-paru (juga lihat Bab 66).

TLGs memiliki lumen bronkus dan lumen trakea. Desainnya ada dua jenis, yaitu
bersisi kanan atau bersisi kiri, bergantung pada apakah lumen bronkial mengarah
ke bronkus utama kiri atau kanan. Umumnya, sebuah TLG sisi kiri digunakan
untuk menghindari penyumbatan lobus bronkus kanan atas. TLG ditempatkan
dengan cara yang sama dengan ETT standar, meskipun penempatan biasanya
lebih sulit akibat ukuran dan kekakuan mereka. Video laringoskopi dapat
memfasilitasi penempatan TLG.224 Setelah menempatkan TLG ke dalam trakea,
verifikasi lokasi bronkial dengan FIS harus ditentukan. Manset bronkial biru harus
diposisikan tepat di bawah karina di bronkus yang sesuai. Inflasi balon bronkial
biru langsung membantu memverifikasi penempatan yang tepat. Kita harus
berhati-hati untuk memastikan bahwa manset bronkial tidak berherniasi melewati
karina. Setelah TLG ditempatkan secara sesuai, isolasi paru-paru dapat dilakukan
dengan menggembungkan manset bronkial dan menjepit baik trakea atau konektor
bronkial.

Penghambat bronkial pada dasarnya adalah balon berujung kateter berongga yang
ditempatkan secara endobronkial untuk mengisolasi dan mengempiskan satu paru-
paru. Dalam beberapa situasi klinis, isolasi paru-paru diperlukan, tetapi
penggunaan TLG tidaklah praktis, karena kesulitan jalan nafas, penurunan ukuran
lumen trakea, atau kebutuhan untuk pasca operasi ventilasi mekanis. Dalam hal
ini, penggunaan tabung lumen tunggal dimodifikasi dengan penghambat bronkial
terpadu (misalnya, Univent [Fuji Systems, Tokyo, Jepang]) atau penggunaan
penghambat bronkial dalam hubungannya dengan ETT standar yang sesuai.

SALURAN NAPAS PERKUTAN


Saluran udara perkutan (invasif) diindikasikan sebagai teknik penyelamatan ketika
upaya membangun saluran napas non-invasif gagal. Teknik ini juga dapat
digunakan sebagai saluran udara utama dalam beberapa situasi kesulitan jalan
nafas sulit ketika upaya mengamankan jalan napas non-invasif cenderung gagal,
seperti pasien dengan neoplasma laring dan obstruksi jalan napas kritis. Pilihan
untuk akses jalan napas invasif termasuk ventilasi jet transtracheal (VJTT),
krikotirotomi, dan trakeostomi. Sedangkan trakeostomi biasanya dilakukan oleh
dokter bedah, praktisi anestesi harus menjadi mahir dalam teknik VJTT dan
krikotirotomi; situasi pasti akan timbul di mana jalan napas invasif akan menjadi
perlu. Sebuah situasi yang mendadak bukan waktu untuk bereksperimen dengan
teknik baru.

Ventilasi Jet Transtrakeal (VJTT)

VJTT perkutan adalah metode yang relatif cepat dan efektif tetapi invasif
oksigenasi dan ventilasi dalam skenario CICV ketika langkah-langkah yang lebih
konservatif gagal. Algoritma ASA menyebutkan VJTT sebagai teknik invasif
untuk digunakan pada pasien yang tidak dapat secara konvensional diventilasi
atau diintubasi.4 VJTTsecara luas dianggap sebagai prosedur yang
menyelamatkan jiwa yang dapat memberikan oksigenasi memadai dan ventilasi
meskipun dengan pelatihan yang kurang dan komplikasi dari saluran napas, upaya
terakhir untuk memperoleh napas dalam algoritma.225 Meskipun demikian, VJTT
merupakan teknik invasif, dan penggunaan utamanya adalah sebagai saluran
napas darurat. Kadang-kadang, digunakan secara elektif untuk operasi laring.

Inspirasi selama VJTT dicapai oleh insuflasi oksigen bertekanan melalui kanula
ditempatkan oleh jarum krikotirotomi. Ekspirasi terjadi secara pasif sebagai akibat
dari rekoil elastis paru-paru dan dinding dada, sehingga memungkinkan waktu
yang cukup untuk berakhirnya ekspirasi pasif untuk menghindari barotrauma dari
tahanan nafas. Ekspirasi terjadi melalui glotis dan tergantung pada saluran napas
atas yang tidak obstruksi, yang mana sangat penting untuk menghindari
barotrauma dan yang menghasilkan pneumotoraks. Pengeluaran dari udara
melalui bukaan glotis juga dapat memberikan gelembung untuk memfasilitasi
penempatan ETT. Bahkan, beberapa laporan kasus telah menunjukkan bahwa
setelah inisiasi VJTT dalam jalan napas dengan sedikit atau tanpa visualisasi
glotis, intubasi sukses terjadi karena pembukaan glotis dan bimbingan dari
gelembung dengan ventilasi jet.225

VJTT tidak boleh dilakukan pada pasien yang telah mengalami kerusakan
langsung pada tulang rawan krikoid atau laring atau pada pasien dengan obstruksi
saluran napas bagian atas. Kontraindikasi relatif lainnya untuk VJTT termasuk
koagulopati, penyakit paru obstruktif, dan gangguan anatomi di mana penempatan
kateter mungkin sulit dilakukan.

Biasanya, kateter tahan puntir ukuran 12 hingga 16 digunakan untuk VJTT.


Sebuah kumparan 6 Fr yang diperkuat kateter (Perawatan Masak Criti-cal,
Bloomington, IN) dirancang khusus untuk VJTT untuk mencegah puntiran, dan
lapisan teflon yang memfasilitasi perjalanan melalui CTM ke dalam trakea.
Teknik untuk penempatan mirip dengan teknik untuk IR, dengan pengecualian
bahwa jarum dimasukkan dengan bevel menghadap caudal. Konfirmasi
penempatan intratraekal kateter adalah dengan menguji aspirasi udara sebelum
memulai ventilasi jet.

Tekanan minimum yang diperlukan untuk mengendarai jet ventilator adalah 15


psi. Tekanan pipa oksigen di rumah sakit di Amerika Serikat adalah sekitar 55 psi.
Secara komersial tersedia jet ventilator umumnya mengandung regulator tekanan
untuk menurunkan tekanan pipa untuk menyediakan jet ventilasi secara sukses
sambil menghindari tekanan yang lebih tinggi yang mungkin mengakibatkan
barotrauma. Dalam kebanyakan kasus di ruang operasi, tekanan yang memadai
untuk ventilasi jet dapat dicapai dengan menghubungkan langsung ke pipa suplai.
Kesulitan biasanya timbul di lokasi di luar unit bedah di mana VJTT mungkin
diperlukan tapi tekanan yang memadai tidak tersedia.225

Komplikasi utama dari VJTT adalah barotrauma dengan hasil pneumotoraks dari
penggunaan oksigen bertekanan tinggi. Untuk mencegah komplikasi ini, kita
harus memastikan adanya jalan keluar udara dan waktu yang cukup untuk
ekspirasi pasif. Tekanan serendah mungkin untuk memberikan oksigenasi dan
ventilasi yang memadai harus digunakan. Komplikasi lain yang terkait dengan
VJTT termasuk emfisema subkutan atau perdarahan mediastinum, aspirasi, dan
perforasi dinding posterior trakea atau esofagus.225

Krikotirotomi

Krikotirotomi adalah teknik invasif yang menyediakan akses ke saluran napas


dalam situasi ketika terjadi kegagalan manuver non-invasif ketika ada indikasi
klinis sebagai rencana utama untuk mengamankan jalan napas.226 Krikotirotomi
termasuk dalam algoritme ASA sebagai teknik invasif muncul setelah tindakan
penyelamatan lain telah gagal atau tidak layak dilakukan. Perlengkapan
krikotirotomi harus dimasukkan dalam semua unit penyimpanan gangguan jalan
nafas darurat. Krikotirotomi tidak dianggap sebagai jalan napas permanen, dan,
setelah dilakukan, kita harus merencanakan pelepasan kateter krikotirotomi atau
konversi ke trakeostomi formal.226

Pada anak-anak muda dari usia 6 tahun, kartilago krikoid adalah bagian tersempit
dari jalan nafas dan ismus kelenjar tiroid biasanya mencapai tingkat CTM; oleh
karena itu krikotirotomi merupakan kontraindikasi untuk mereka. Jarum
krikotirotomi dengan VJTT disarankan dalam populasi ini. Kontraindikasi lainnya
terhadap krikotirotomi termasuk patah tulang laring, neoplasma laring, stenosis
subglotis, koagulopati, dan terdistorsi atau dikenali leher anatomi.

Dua teknik yang paling umum untuk melakukan krikotirotomi adalah


krikotirotomi dilasi perkutan dan krikotirotomi bedah. Untuk anestesiolog, teknik
perkutan biasanya disukai karena teknik ini kurang rumit dibandingkan dengan
krikotirotomi bedah, dan karena kebiasaan menggunakan teknik Seldinger untuk
prosedur lain (misalnya, kateterisasi vena sentral). Karena lokasi dari arteri
krikotiroid dan kedekatan CTM dengan lipatan vokal, tusukan atau sayatan dari
CTM harus dilakukan di sepertiga bagian bawah membran dan diarahkan
posterior (Gambar 55-30).226
Beberapa perlengkapankrikotirotomi tersedia secara komersial menggunakan
teknik dilasi perkutan. Dasar untuk prosedur ini adalah penyisipan kateter saluran
napas di atas dilator yang telah dimasukkan melalui kawat pemandu leher pasien
diperpanjang, dan alur krikotiroid diidentifikasi. Jika penanda sulit untuk
diidentifikasi, maka bimbingan USG dapat digunakan. Sebuah sayatan vertical 1-
1.5 cm dibuat melalui kulit yang melapisi CTM. Jarum kateter ukuran 18
dilekatkan pada jarum suntik berisi cairan dilewatkan melalui sayatan pada sudut
45 derajat ke arah caudal dengan aspirasi terus menerus. Aspirasi udara bebas
menegaskan perjalanan melalui CTM. kateter maju selama jarum ke dalam trakea.
jarum dicabut, dan kateter yang tersisa di tempat. Kawat pemandu dimasukkan
secara kaudal ke kedalaman sekitar 2 sampai 3 cm. kateter dilepas, dan dilator
melengkung dengan kanula napas diarahkan ke kawat pemandu tersebut. Dilator
dan kanula unit maju melalui CTM sambil mempertahankan kontrol kawat
pemandu tersebut. Dilator dan kawat pemandu dikeluarkan bersama-sama
sementara kanula tetap di tempat. manset mengembang, dan ventilasi dicoba.
Penempatan yang tepat dikonfirmasi oleh kapnografi, dan kanula napas difiksasi
di tempat.226

Krikotirotomi bedah dilakukan dengan menggunakan teknik yang diuraikan


dalam Kotak 55-4. Sebuah pisau bedah nomor 20 lebih disukai karena lebarnya
cukup untuk memasukkan sebuah tabung sempittanpa perlu memperpanjang
insisi, dan panjangnya adalah sedemikian rupa sehingga kerusakan dinding
posterior trakea tidak mungkin. Teknik ini adalah yang paling cepat dan harus
digunakan bila peralatan untuk teknik kurang invasif tidak tersedia dan kecepatan
sangat penting.10

Komplikasi meliputi perdarahan, luka pada trakea dinding posterior atau


kerongkongan, cedera pita suara, laserasi kelenjar tiroid, dan penempatan tidak
tepat dari kanula. Penempatan kanula napas dalam jaringan subkutan dapat
mengakibatkan emfisema subkutan atau mediastinum. Komplikasi dari
krikotirotomi termasuk disfungsi menelan, infeksi, perubahan suara, dan stenosis
trakea. Stenosis trakea memiliki kejadian sekitar 2% sampai 8% pada orang
dewasa dan lebih mungkin jika trauma yang sudah ada sebelumnya atau riwayat
infeksi.

Gambar 55-30. Anatomi midsagital laring dan trakea. Titik akses krikotirotomi
perkutan adalah membran ketiga di bawah membran krikotiroid.

EKSTUBASI TRAKEA

Sebuah komponen penting dari manajemen jalan napas adalah proses ekstubasi.
Meskipun penekanan ditekankan pada masalah yang dapat timbul selama induksi
dan intubasi, resiko komplikasi dapat berpotensi lebih sering selama ekstubasi
trakea.227 Analisis database ASA telah menunjukkan bahwa meskipun jumlah
klaim kematian dan kerusakan otak selama intubasi telah menurun sejak adopsi
Panduan Praktek Penanganan Kesulitan Jalan Napas, jumlah klaim yang timbul
dari cedera di ekstubasi dan selama pemulihan belum menurun.1 Menanggapi tren
ini dan dalam tidak adanya strategi mapan untuk pengelolaan trakea ekstubasi,
yang ditetapkan DAS dalamseperangkat pedoman pada tahun 2012 untuk
“membahas masalah yang timbul selama ekstubasi dan setelah pemulihan” dan
untuk “mempromosikan strategis, pendekatan bertahap untuk ekstubasi.”228

Sejumlah komplikasi dapat timbul selama ekstubasi (Kotak 55-5); meskipun


beberapa komplikasi ini kecil tanpa gejala sisa jangka panjang, yang lain dapat
menyebabkan ekstubasi yang gagal. Kegagalan ekstubasi dapat terjadi akibat
kegagalan oksigenasi, kegagalan ventilasi, pembersihan sekresi paru yang tidak
mumpuni, atau kehilangan patensi jalan nafas.229 Jika jalan napas tidak cepat
dibangun kembali, maka komplikasi serius, termasuk kematian, dapat terjadi.
Dengan demikian, praktisi anestesi perlu melakukan stratifikasi resiko ekstubasi
terlebih dahulu dan membangun rencana ekstubasi sebelum mencoba ekstubasi.
Berdasarkan panduan DAS, stratifikasi resiko dapat dicapai dengan memikiran hal
berikut: (1) apakah jalan napas normal dan tidak sulit diinduksi; (2) apakah jalan
napas sulit untuk dikelola sebagai akibat dari perubahan bedah, trauma, atau
faktor-faktor non-bedah; dan (3) apakah pasien memiliki faktor resiko umum
untuk mengalami kegagalan ekstubasi.228
Pertimbangan Umum untuk Ekstubasi Trakea

Untuk skenario ekstubasi rutin dan sulit, rencana ekstubasi harus dirumuskan
terlebih dahulu, termasuk rencana untuk reintubasi yang dapat diimplementasikan
jika pasien tidak mampu mempertahankan jalan nafas yang memadai setelah
ekstubasi.4 Keputusan apakah ekstubasi trakea dilakukan ketika pasien
sepenuhnya sadar versus ekstubasi mendalam sebelum kembali kesadaran harus
dibuat berdasarkan resiko dan manfaat dari masing-masing teknik. Pasien sadar
dapat lebih mudah mempertahankan jalan napas paten, karena pemulihan otot
faring dan refleks saluran napas secara sadar. Ekstubasi mendalam menghindari
batuk dan efek samping hemodinamik tapi memiliki resiko obstruksi jalan napas
atas dan hipoventilasi. Teknik ekstubasi alternatif, dikenal sebagai manuver
Bailey, melibatkan bertukar ETT untuk SGA saat pasien berada di bawah anestesi
dalam.230 Ekstubasi selama proses ringan dari anesthesia (tahap II) dapat
meningkatkan resiko spasme laring dan saluran napas lainnya komplikasi dan
harus dihindari.

Persiapan umum untuk ekstubasi harus mencakup pemastian pemulihan yang


memadai dari blokade neuromuskular, stabilitas hemodinamik, normothermia, dan
analgesia yang memadai. Pasien harus dipraoksigenasi dengan fraksi 100%, dan
manuver perekrutan alveolar harus dipertimbangkan jika sesuai. Suction faring
(dan trakea, jika diindikasikan), pembersihan sumbatan tenggorokan, dan
penempatan blok harus dilakukan saat pasien berada di bawah anestesi dalam.10
Blok gigitan penting untuk intubasi sadar untuk mencegah pasien menggigit
tabung selama prosedur dilakukan, yang dapat mengakibatkan obstruksi jalan
napas dan pengembangan edema paru tekanan negatif. Saluran udara orofaringeal
tidak rekomendasikan untuk digunakan sebagai blok gigitan karena mereka dapat
menyebabkan kerusakan gigi; gunakan kasa yang digulung dan diplester aman
disisipkan di antara gigi geraham.231

Insuflasi lambung dengan udara dapat meningkatkan resiko aspirasi paru setelah
ekstubasi dan dapat menghambat ventilasi. Pasien yang melakukan ventilasi
sungkup dengan tekanan tinggi diperlukan harus memiliki tabung orogastrik yang
ditempatkan dan disedot sebelum ekstubasi.

Posisi sniffing adalah posisi standar untuk ekstubasi; keuntungan utamanya adalah
bahwa pasien secara optimal diposisikan untuk manajemen jalan napas. Pasien
yang gemuk, tidak sehat dan lainnya serta berada pada resiko hipoventilasi dan
obstruksi jalan napas bisa mendapatkan keuntungan dari ekstubasi dalam posisi
head-up. Posisi dekubitus lateral mungkin menjadi pilihan yang lebih disukai
ketika resiko aspirasi paru tinggi.10

Penerapan tekanan positif segera sebelum deflasi manset dapat membantu


mengeluarkan sekresi yang secara bersamaan di atas manset ETT. Pemeriksaan
balon percontohan untuk memastikan deflasi manset lengkap sebelum ekstubasi
sangat penting; ekstubasi dengan manset meningkat dapat menyebabkan cedera
pita suara atau dislokasi arytenoid.

Ekstubasi pada Kesulitan Jalan Napas

Banyak faktor bedah dan anestesi yang dapat meningkatkan resiko ekstubasi;
ringkasan faktor yang paling relevan tertulis di Kotak 55-6. Meskipun beberapa
teknik dapat digunakan untuk mengelola ekstubasi kesulitan jalan napas, termasuk
manuver Bailey dan infus remifentanil,228 penggunaan kateter pertukaran saluran
napas (AEC) adalah yang paling umum dan direkomendasikan oleh Satuan Tugas
ASA pada Pengelolaan Gangguan Jalan Napas. Panduan reintubasi berongga ini
dilewatkan melalui ETT sebelum ekstubasi dan terus in situ sampai kebutuhan
yang mungkin untuk reintubasi telah berlalu. AEC memiliki kemampuan
tambahan mempertahankan oksigenasi atau pemantauan respirasi dengan koneksi
ke kapnograf. AEC kecil (11 Fr) umumnya ditoleransi dengan baik oleh pasien
sadar, yang bisa bernapas, bicara, dan batuk. Alat ini harus difiksasi dengan pita
perekat di tempat untuk mencegah kecelakaan pencopotan dan diberi label untuk
membedakan mereka dari selang makanan tradisional, yang dapat memiliki
penampilan yang sama. Reintubasi melalui AEC, jika perlu, dapat difasilitasi oleh
lembut DL untuk menarik lidah dan jaringan lunak orofaringeal.

Kotak 55-6 Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Peningkatan Resiko


Ekstubasi
Faktor Resiko Jalan Napas
 Kesulitan jalan napas
 Penurunan kemampuan jalan napas (perdarahan, edema, trauma)
 Akses jalan napas yang sempit
 Obesitas dan apnea tidur obstruktif
 Resiko aspirasi
Faktor Resiko Umum
 Penyakit kardiovaskular
 Penyakit pernapasan
 Penyakit neuromuskular
 Gangguan metabolisme
 Keperluan bedah khusus

RINGKASAN

Penanganan jalan napas adalah inti dari praktek anestesi yang aman. Praktisi
anestesi harus memiliki pengetahuan dasar anatomi saluran napas, fisiologi, dan
farmakologi, dan keterampilan dalam penggunaan berbagai alat bantu saluran
napas. Meskipun sebagian besar saluran udara mudah ditangani, penanganan
kesulitan jalan napas tetap menjadi salah satu tugas yang paling relevan dan
menantang bagi penyedia perawatan anestesi. Prediksi dan antisipasi dari
kesulitan jalan napas dan perumusan rencana pengelolaan jalan napas sangat
penting. Banyak masalah saluran napas dapat diselesaikan dengan alat dan teknik
yang relatif sederhana; Namun, pengalaman dan penilaian klinis yang baik
diperlukan untuk aplikasi yang baik. Perangkat napas baru dengan potensi untuk
meningkatkan hasil pasien yang terus-menerus dikembangkan. penyedia anestesi
harus bersamaan mengembangkan keterampilan mereka dan mempelajari teknik-
teknik baru yang akan siap ketika kesulitan itu muncul. Pelatihan berbasis
kompetensi harus dilakukan secara rutin. Keahlian berasal dari praktek
berdedikasi dan komitmen dari praktisi untuk belajar sepanjang hayat.

Anda mungkin juga menyukai