Anda di halaman 1dari 9

Ensefalopati Sepsis Dan Diagnosis Bandingnya

Sepsis sering dipersulit oleh deteriorasi status mental yang akut dan reversibel,
yang dikaitkan dengan peningkatan angka mortalitas dan konsisten dengan delirium
tetapi dapat ditegakkan dengan tanda neurologis fokal. Sepsis terkait ensefalopati
disertai oleh kelainan elektroensefalogram dan potensi bangkitan somatosensori,
peningkatan biomarker cedera otak (yaitu, enolase-protein spesifik neuron, S-100
-protein) dan, seringkali, kelainan neuroradiologis, terutama
leukoencephalopathy. Mekanismenya sangat kompleks, yaitu adanya proses
inflamasi dan noninflamasi yang mempengaruhi seluruh sel otak dan menginduksi
kerusakan sawar darah otak, disfungsi metabolisme intraselular, kematian sel otak,
dan cedera otak. Diagnosisnya bergantung pada pemeriksaan neurologis yang
diikuti oleh tes neurologis spesifik. Elektroensefalografi perlu dilakukan jika
terdapat kejang; pemeriksaan radiologi jika terdapat kejang, tanda neurologis fokal
atau kecurigaan infeksi serebral; dan dilakukan kedua tes jika ensefalopati tetap
tidak dapat diketahui sumbernya. Dalam prakteknya, analisis cairan cerebrospinal
harus dilakukan jika ada keraguan meningitis. Ensefalopati hepatikum, uremikum,
atau ensefalopati respirasi, gangguan metabolik, overdosis obat, efek putus obat
(withdrawal) penenang atau opioid, delirium akibat efek penghentian alkohol, dan
ensefalopati Wernicke adalah diagnosis banding utama ensefalopati sepsis.
Manajemen pasien terutama didasarkan pada pengendalian infeksi, kegagalan
sistem organ, dan homeostasis metabolik, sekaligus menghindari obat neurotoksik.
(Crit Care Med 2009; 37 [Suppl.]: S331-S336)
KATA KUNCI: sepsis; ensefalopati; delirium; sawar darah otak; pemeriksaan
radiologi

Sepsis sering dikaitkan dengan kemunduran status mental yang akut dan
reversibel, yang mempengaruhi tingkat kesadaran, kualitas kesadaran, kognitif, dan
perilaku, dan oleh karena itu cocok dengan kriteria delirium saat ini (1). Terdapat
beberapa penamaan untuk gangguan ini, di antaranya yang paling sering digunakan
adalah ensefalopati sepsis (sepsis-associated encephalopathy/SAE), delirium
sepsis (sepsis-associated delirium) atau disfungsi otak (brain dysfunction). Istilah
ensefalopati sepsis sebenarnya tidak tepat karena mengacu pada infeksi serebral
langsung, sedangkan SAE dianggap sebagai disfungsi serebral difus sebagai
konsekuensi respons inflamasi sistemik terhadap infeksi tanpa infestasi sistem saraf
pusat langsung (1). SAE disertai oleh kelainan elektroensefalografi (EEG) dan
potensial bangkitan somatosensory, peningkatan biomarker cedera otak (yaitu,
enolase-protein spesifik neuron, S-100 -protein) dan, seringkali, oleh kelainan
neuroradiologis. Terjadinya ensefalopati pada pasien sepsis menyiratkan
pendekatan diagnostik sistematis dari semua faktor potensial, selain sepsis, yang
berkontribusi terhadap disfungsi otak termasuk toksisitas obat atau gangguan
metabolik. Pertama, meningitis atau abses otak harus dikesampingkan jika ada
keraguan. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk menjelaskan patofisiologi,
diagnosis banding, dan hasil SAE.

PATOFISIOLOGI
Sinyal Otak pada Sepsis
Respon terhadap stres secara fisiologis dipicu oleh sinyal aktivasi yang
dimediasi oleh dua jalur (2, 3). Jalur pertama adalah nervus vagus, yang dapat
mendeteksi peradangan viseral melalui reseptor sitokin aksonalnya. Nukleus saraf
vagus terhubung ke berbagai inti otonom batang otak, terutama nucleus tractus
solitarius yang menyatukan baroreflex, dan juga inti paraventrikular yang
mengendalikan sumbu adrenal dan sekresi vasopresin. Jalur kedua melibatkan
organ sirkumventrikular, yang berlokasi strategis di dekat nukleus neuroendokrin
dan neurovegetatif, kurang terlindungi oleh sawar darah-otak, dan
mengekspresikan komponen sistem kekebalan bawaan dan adaptif. Begitu
peradangan viseral atau sistemik terdeteksi oleh jalur pertama atau kedua, sinyal
aktivasi akan menyebar ke pusat perilaku, neuroendokrin, dan neurovegetatif.
Berbagai mediator dilibatkan termasuk sitokin proinflamasi dan antiinflamasi, nitrit
oksida, prostaglandin serta kemokin dan karbon monoksida. Ini akan
mempengaruhi sel mikroglia secara langsung atau tidak langsung, astrosit, dan
neuron, yang berakhir dengan modulasi neurosekresi dan neurotransmisi.
Sehingga ada kemungkinan sinyal aktivasi ini dapat menjadi patogen dan
menginduksi semacam perubahan neurotransmisi yang merupakan substratum
patofisiologis ensefalopati. Dalam sudut pandang klinis, harus ditekankan bahwa
respons terhadap perubahan perilaku terkait stres dapat serupa dengan yang diamati
selama ensefalopati. Selanjutnya, respons perilaku terutama dikendalikan oleh
amigdala dan hippocampus, yang bertanggung jawab terhadap gangguan
hemodinamik dan metabolik (yaitu hipoksemia dan hipoglikemia). Sehingga,
modifikasi perilaku bisa bersifat adaptif dan fisiologis, yaitu perilaku sebagai
respon stres atau respon maladaptif dan patofisiologis seperti akibat dari SAE.
Selain kedua jalur ini, sel endotel memainkan peran utama dalam sepsis terkait
inflamasi otak. Sepsis menginduksi aktivasi sel endotel, yang berakibat pelepasan
berbagai mediator ke otak dan juga menyebabkan disfungsi sawar darah otak
(Gambar 1).
Perubahan Neurotransmisi
Pelepasan atau ekspresi reseptor kolinergik (5), -adrenergik otak, -asam
aminobutirat, dan serotoninergik (6,7) terganggu selama sepsis. Proses tersebut
terjadi dominan di korteks dan di hippocampus (8) dan kemungkinan dimediasi
oleh nitrit oksida, sitokinin, dan prostaglandin (7, 9). Sintesis neurotransmiter juga
diubah oleh amonium dan tirosin, triptofan dan fenilalanin, yang kadar plasmanya
meningkat sekunder akibat disfungsi hati dan proteolisis otot (10). Efek neurotoksik
yang terjadi mungkin diperkuat oleh penurunan asam amino rantai cabang (10).

Disfungsi Mitokondria, Stres Oksidatif, dan Apoptosis


Berbagai daerah pada otak tikus septis, terutama di hippocampus dan korteks,
cepat terkena stress oksidasi tapi bersifat sementara (11, 12), yang dapat diinduksi
oleh nitrit oksida melalui pembentukan nitrit peroksida (13) dan penurunan faktor
antioksidan (faktor heat stroke, askorbat) (14), ketidakseimbangan antara aktivitas
superoksida dismutase dan katalase (11) serta disfungsi mitokondria (12). Dapat
pula disebabkan karena hiperglikemia dan hipoksemia. Telah ditunjukkan melalui
uji eksperimen bahwa ekspresi sintase nitrit oksida yang dapat diinduksi (induced
nitric oxide synthase/iNOS), disfungsi rantai pernafasan, dan pembentukan anion
superoksida di dalam pusat otonom meduler secara berurutan mendahului hipotensi
(13). Namun, menarik untuk dicatat bahwa penelitian sebelumnya tidak
menunjukkan adanya penurunan energi otak selama sepsis (15).
Salah satu akibat utama dari stres oksidatif adalah apoptosis. Apoptosis yang
dimediasi mitokondria telah dibuktikan pada otak tikus septik (16) yang mungkin
terkait dengan penurunan faktor proaptotik intraseluler (bcl-2) dan peningkatan
faktor antiapoptosis (Bax) (16, 17). Pada pasien yang telah meninggal akibat syok
septik, apoptosis neuronal dan mikroglial telah terdeteksi di inti neurovegetatif dan
neuroendokrin serta amigdala (18). Intensitas apoptosis berkorelasi dengan ekspresi
iNOS endotel. Selain nitrit oksida, faktor proapoptosis lainnya telah terlibat, seperti
glutamat, tumor necrosis factor (TNF)- dan glukosa. Eksitoneurotoksisitas
glutamat telah banyak diteliti dalam berbagai gangguan neurologis termasuk stroke
akut dan neurodegenerasi kronis (19). Menariknya, daur ulang askorbat dan eksport
askorbat glutamat oleh astrosit dihambat pada sepsis (20, 21) dan tingkat askorbat
plasma dan serebrospinal menurun pada pasien dengan SAE (22). Sejumlah besar
glutamat juga dilepaskan oleh mikroglia aktif, sel aktif yang diamati secara
konsisten selama sepsis (23).
Peran proapoptotik TNF-, bersama dengan sitokin proinflamasi lainnya,
didukung oleh laporan leukoensefalopati nekrosis multifokal pada pasien yang
telah meninggal karena syok septik (24). Penyakit ini ditandai dengan apoptosis
dan lesi inflamasi pada pons dan respon inflamasi sistemik yang berlebihan. Di sisi
lain, tidak ada korelasi yang ditemukan antara ekspresi TNF- dan apoptosis
neuronal atau mikroglia (18). Akhirnya, hiperglikemia meningkatkan kerentanan
mikroglia terhadap toksisitas yang dimediasi oleh lipopolisakarida (25).
Perlu diingat bahwa terdapat interaksi yang sangat kompleks antara neuron dan
sel glia yang menentukan kelangsungan hidup sel otak. Dengan demikian, sel
mikroglia yang diaktifkan bisa menjadi neuroprotektif atau neurotoksik.
Selanjutnya, tidak seharusnya apoptosis selalu dianggap sebagai fenomena yang
merusak. Misalnya, apoptosis telah dibuktikan dapat memfasilitasi plastisitas.
Aktivasi Endotel dan Kerusakan Sawar darah otak
LPS dan sitokin proinflamasi memicu endotel mengekspresikan CD40, E-
selectin, molekul adhesi vaskular-1 dan molekul adhesi interselular-1, serta
mengaktifkan sintesis siklooksigenase 2 endothelial dan faktor IB- / faktor
nuclear-Kb (NF-B). LPS juga menginduksi ekspresi reseptor interleukin-1 dan
TNF- , produksi interleukin-1, TNF- , dan interleukin-6 endotel serta aktivasi
endotel dan iNOS (2, 3). Kemudian, aktivasi endotel ini menyebabkan respon
inflamasi otak dengan melepaskan sitokin proinflamasi dan nitrit oksida yang
mampu berinteraksi dengan sel-sel otak di sekitarnya. Aktivasi endotel mengubah
tonus vaskular dan menginduksi disfungsi mikrosirkulasi dan koagulopati, yang
akan mendukung lesi iskemik ataupun hemoragik. Namun, perubahan aliran
serebral dan autoregulasi selama sepsis masih kontroversial. Dengan demikian,
studi sepsis manusia dan eksperimental menemukan aliran serebral yang
meningkat, tidak berubah, atau berkurang (2) serta autoregulasi yang berubah atau
tetap (2). Namun, iskemia secara konsisten diamati di daerah otak yang rentan
terhadap aliran serebral rendah (24).
Selanjutnya, baru-baru ini diperlihatkan bahwa delirium terkait sepsis lebih
mungkin terkait dengan autoregulasi yang terganggu dibanding perubahan aliran
serebral atau oksigenasi jaringan (26). Pemeriksaan neuropatologi mengungkapkan
perdarahan pada sekitar 9% pasien yang meninggal akibat syok septik, yang selalu
dikaitkan dengan gangguan pembekuan darah (24). Namun, tes pembekuan, jumlah
trombosit, dan kejadian koagulopati intravaskular diseminata (DIC) dilaporkan
tidak berbeda secara statistik antara pasien syok septik dengan dan tanpa perdarahan
(24).
Konsekuensi lain dari aktivasi endotel meliputi penurunan aliran oksigen, nutrisi,
dan metabolit, namun yang terpenting adalah kerusakan sawar darah otak yang akan
memperlancar pelepasan faktor neurotoksik. Menariknya, glutamat memainkan
peran penting dalam permeabilitas sawar darah otak (27). Kerusakan sawar darah
otak telah dibuktikan pada model percobaan sepsis (28, 29) dan pasien septik
dengan bantuan pencitraan resonansi magnetik (MRI) otak (30, 31). Kerusakan
sawar darah otak dapat dilokalisasi di sekitar ruang Virchow-Robin atau berdifusi
ke jaringan putih otak (white matter). Hal ini juga dapat ditemukan dominan pada
lobus posterior, sehingga konsisten dengan sindrom ensefalopati reversibel
posterior.

KARAKTERISTIK, PREVALENSI, AND HASIL


Ciri klinisnya adalah perubahan status mental, terutama kualitas kesadaran /
tingkat kesadaran dan kognitif. Perubahan dari keadaan sebelumnya ke perubahan
siklus tidur/bangun sampai koma dalam dimana, yang keadaan selanjutnya
mencakup gejala delirium, yaitu disorientasi, halusinasi, gangguan perhatian, atau
pemikiran yang tidak terorganisir. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan
aktivitas motorik, mulai dari agitasi sampai hipoaktifitas (2). Agitasi dan somnolen
juga dapat terjadi. Gejala motorik lainnya, tapi yang kurang sering terjadi, adalah
rigiditas paratonik, asteriksis, tremor, dan mioklonus multifokal. Terdapat
perubahan aktivitas EEG hampir setiap waktu, dimana menurut tingkat
keparahannya termasuk theta yang berlebihan, delta dominan, gelombang triphasic
dan supresi atau ledakan supresi (32). Hal ini juga terkait dengan perubahan latensi
atau amplitudo potensi bangkitan somatosensori (33, 34). Peningkatan kadar
enolase-protein spesifik neuron dan protein S-100 plasma telah dilaporkan pada
pasien dengan SAE (35) namun tampaknya tidak berkorelasi dengan tingkat
keparahan klinis atau EEG (36). Seperti disebutkan, pencitraan resonansi magnetik
otak dapat mengungkapkan infark serebral, sindroma ensefalopati reversibel
posterior, atau leukoensephalopati yang terlokalisasi/difus (30, 31). Namun,
pencitraan resonansi magnetik otak mungkin gagal mendeteksi beberapa lesi otak
yang diamati pada studi neuropatologi, seperti perdarahan terkait koagulopati
intravaskular diseminata, mikroabses atau leukoencephalopati nekrosis multifokal
(24).
Sepsis tidak diragukan lagi merupakan penyebab agitasi (37) dan delirium (3).
Sekitar sepertiga pasien septik memiliki skor GCS <12, perubahan kewaspadaan
dan kesadaran merupakan faktor prognosis independen, dan tingkat kematian
meningkat hingga 63% ketika skor GCS turun ke <8 (38). Mortalitas juga
meningkat sebanding dengan tingkat keparahan abnormalitas elektrofisiologis,
mulai dari 0 saat EEG ditafsirkan normal sampai 67% untuk ledakan supresi.
Anehnya, tingkat mortalitas juga meningkat sebanding dengan tingkat
biomarker plasma, walaupun tidak berkorelasi dengan tingkat keparahan klinis dan
neurofisiologis (3). Terdapat sekuele kognitif dan psikologis jangka panjang SAE
yang tidak diketahui. Meskipun SAE dianggap sebagai fenomena reversibel,
temuan neuroradiologis dan neuropatologis dapat menyebabkan kecacatan.
PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Prevalensi dan tingkat keparahan ensefalopati pada pasien septik harus
mendesak dokter mendeteksi adanya disfungsi otak, mendiagnosis penyebabnya,
dan akhirnya, bila mungkin, mengusulkan pengobatan.
Deteksi
Pertama-tama, deteksi harus didasarkan pada penilaian neurologis keadaan
mental setiap hari (2,3). Dokter memiliki nilai yang dapat divalidasi untuk
mendeteksi delirium dan memantau kualitas kesadaran. Untuk delirium, dapat
digunakan Confusion Assessment Method for the Intensive Care Unit (39) atau
Intensive Care Unit Delirium Screening Checklist (40). Untuk kesadaran, GCS
(Glasgow Coma Scale) atau skor yang digunakan untuk memantau sedasi, seperti
Richmond Agitation and Sedation atau Assessment to Intensive Care Environment
(41), dapat digunakan. Sekali delirium teridentifikasi, pemeriksaan neurologis
lengkap seperti menilai kekakuan leher, respon motorik, kekuatan otot, refleks
plantar dan refleks tendon dalam serta saraf kranialis adalah wajib. Jika terdapat
tanda neurologis fokal, diindikasikan melakukan pencitraan otak/radiologi. Jika
terjadi kejang (termasuk mioklonus palpebral) atau kekakuan leher, EEG dan
punksi lumbal perlu dilakukan, sebelum atau sesudah pemeriksaan radiologi
(Gambar 2). Keterbatasan utama deteksi klinis adalah sedasi, karena obat penenang
mengubah kesadaran dan kognitif bahkan setelah dihentikan. Meskipun demikian,
kami berpikir bahwa pemeriksaan neurologis harus dilakukan setiap hari pada
pasien yang diberi obat penenang (Tabel 1). Terjadinya perubahan tiba-tiba dalam
status mental yang tidak dapat dijelaskan sebagai akibat modifikasi administer
sedatif per infus, tanda neurologis fokal, kejang, atau kekakuan leher harus
mengarahkan dokter untuk mempertimbangkan pemeriksaan radiologi, EEG, dan
punksi lumbal. Selain pemeriksaan klinis, pengujian neurofisiologis dan
pengukuran biomarker dianjurkan untuk mendeteksi disfungsi otak pada pasien
septik yang diberi obat penenang. Berbeda dengan EEG, potensi bangkitan-
somatosensori mungkin berguna karena tidak dipengaruhi oleh obat penenang (33).
Meskipun dapat mendeteksi tanda fokal subklinis dan latensi puncak subkortikal
dan korteks yang berkorelasi dengan tingkat keparahan sindrom respon inflamasi
sistemik, pemeriksaan potensi bangkitan somatosensory terlalu rumit untuk
dilakukan secara rutin di sisi tempat tidur pasien. Kegunaan indeks bispectral
kontroversial pada pasien kritis (42). Tingkat biomarker kerusakan sel otak dalam
plasma, seperti enolase-protein spesifik neuron dan protein S-100, dapat lebih
mudah dilakukan. Namun, spesifisitas dan sensitivitasnya untuk mendeteksi
disfungsi otak sepsis atau lesi otak masih belum cukup didemosntrasikan untuk
direkomendasikan sebagai pengukuran rutin. Analisis cairan cerebrospinal maupun
pemeriksaan radiologi tidak dapat dianggap sebagai alat pemantau.
Pemeriksaan Penunjang
Setelah dilakukan pemeriksaan neurologis, tes spesifik perlu dilakukan. Dalam
praktik rutin, analisis cairan cerebrospinal harus selalu dilakukan bilamana
meningitis dicurigai. EEG harus dilakukan jika terjadi kejang (termasuk mioklonus
palpebral) atau jika status neurologis yang berubah tetap tidak dapat dijelaskan
karena kemungkinan sekunder akibat epilepsi nonkonvulsif yang dapat diobati.
Pada pasien septik, bukti tanda neurologis fokal atau kejang adalah kriteria yang
tidak terbantahkan untuk melakukan pencitraan otak/radiologi. Hal ini juga harus
dipertimbangkan bila tidak ditemukan penyebab ensefalopati. Pencitraan resonansi
magnetik (MRI) lebih bermanfaat daripada pemindaian tomografi terkomputerisasi
(CT-Scan) untuk mendeteksi stroke iskemik baru-baru ini, lesi white matter, atau
ruptur sawar darah otak, dan untuk mengeksplorasi arteri serebral. Sebelum
mentransfer pasien, risiko dan manfaat pencitraan otak harus seimbang. Selain
diagnosis etiologi bagi dokter dan keluarga pasien, penilaian perjalanan dan tingkat
kerusakan otak juga dapat mempengaruhi perawatan pasien. Misalnya, bukti
perdarahan otak harus mengarah pada penghentian setiap obat dengan aktivitas
antikoagulan.
Selain tes spesifik ini, tes laboratorium standar harus dilakukan untuk
mendeteksi gangguan metabolik, disfungsi hati, dan insufisiensi ginjal serta
skrining bagan obat untuk mengidentifikasi pengobatan neurotoksik yang dapat
dihentikan atau ditambah sesuai dengan kadar plasma atau fungsi hati dan/atau
ginjal. Selain obat penenang dan analgesik, banyak jenis obat yang saat ini
diberikan pada pasien kritis yang termasuk neurotoksik, terutama sejumlah
antibiotik dan obat jantung. Harus ditekankan bahwa ensefalopati seringkali
multifaktorial; Oleh karena itu, dokter tidak boleh berhenti memikirkan faktor lain
setelah satu faktor diidentifikasi. Pada akhirnya, persistensi atau ensefalopati
berulang mungkin menunjukkan bahwa sepsis tidak terkontrol dan merupakan ciri
klasik abses dalam.
Diagnosis Banding
Seperti yang disebutkan di atas, infeksi otak harus selalu dicurigai dan relevansi
pencitraan otak dan punksi lumbal harus selalu dilakukan pada pasien septik dengan
gejala neurologis sentral. Ensefalopati pada pasien kritis dapat diakibatkan oleh
berbagai penyebab, yang dapat bersama-sama, tertutupi, atau diperparah dengan
proses septik. Sepsis bisa menjadi faktor yang memicu dan memperparah
ensefalopati hepatikum atau uremikum. Anamnesis masing-masing tingkat
keparahan sepsis dan gagal ginjal atau hepar dapat membantu membedakan proses
ini.
Pasien septik juga rentan terhadap overdosis obat ataupun efek putus obat,
terutama benzodiazepin dan opioid yang sering diresepkan untuk pasien ini. Tautan
kronologis dan perbaikan neurologis setelah pemberian ulang obat tersebut
merupakan penjelasan terjadinya sindrom putus obat. Ketergantungan tembakau
merupakan faktor risiko delirium pada pasien kritis yang ketergantungannya dapat
dibuat sebaliknya dengan patch nikotin.
Delirium akibat penghentian alkohol sering terjadi pada pasien alkoholik yang
mengalami ensefalopati. Delirium tremens adalah komplikasi fatal yang mungkin
terjadi pada hanya 5% pasien yang bergantung pada perawatan di rumah sakit dan
biasanya terjadi dalam 48 jam sampai 72 jam setelah minum alkohol terakhir.
Dominasi psikomotorik agitasi, zoopsias, dan tanda otonom (hiperpireksia,
takikardia, hipertensi, dan diaforesis) dinilai sugestif. Pada pasien dengan
kekurangan gizi atau alkoholik, ensefalopati Wernicke pasti selalu dipikirkan dan
ditangani, terutama jika ada ophthalmoplegia atau ataksia. Defisiensi tiamin dapat
diperparah dengan infus glukosa. Ensefalopati adalah tanda kegagalan pernapasan,
disebabkan oleh hipoksemia dan / atau hiperkapnia, dan mengindikasikan perlunya
bantuan pernafasan. Pada akhirnya, emboli udara adalah penyebab iatrogenik
koma, agitasi, kejang, atau tanda neurologis fokal yang tiba-tiba, sehingga
disarankan pemberian oksigen hiperbarik. Riwayat medis pasien juga harus
diperhitungkan karena berbagai penyakit dapat mempengaruhi sistem saraf pusat.

PENGOBATAN DAN PERSPEKTIF TERAPI


Tidak ada pengobatan spesifik untuk delirium terkait sepsis. Dengan demikian,
pengobatan harus fokus pada penyakit sistemik yang mendasarinya dan tindakan
suportif, seperti pengendalian sepsis, penanganan kegagalan organ dan gangguan
metabolik, dan penghindaran obat neurotoxik.
Di antara perawatan yang saat ini digunakan pada pasien septik, terapi insulin
intensif, protein C aktif, dan steroid mungkin memiliki beberapa efek pada
mekanisme patofisiologis utama SAE, yang merupakan aktivasi endotel, kerusakan
sawar darah otak, neuroinflamasi, stres oksidatif, dan apoptosis. Namun, tidak ada
bukti dari uji klinis bahwa terapi insulin, protein aktif C, atau steroid mengurangi
kejadian atau tingkat keparahan SAE.
Terapi insulin bisa bersifat neuroprotektif karena hiperglikemia secara
eksperimental menginduksi stres oksidatif dan apoptosis. Namun, potensi manfaat
terapi insulin pada pasien dengan cedera otak (43) belum dikonfirmasi pada pasien
dengan stroke akut (44). Pada pasien septik, tidak mungkin untuk mengantisipasi
pengaruh glukosa terhadap fungsi otak karena metabolisme serebral glukosa sangat
kompleks dan gangguannya pada sepsis kurang dipahami. Di satu sisi, LPS
meningkatkan permeabilitas sawar darah otak terhadap insulin, kemudian
memaksimalkan efek utamanya (45); Di sisi lain, sepsis dapat mengubah ekspresi
transporter glukosa pada sel otak, terutama transporter glukosa 4, yang dimodulasi
oleh insulin (46). Oleh karena itu, kepekaan neuron terhadap hipoglikemia dan
hiperglikemia dapat dimodifikasi secara mendalam selama sepsis. Perlu diingat
bahwa hipoglikemia berbahaya bagi otak, terutama hippocampus.
Model eksperimen menunjukkan bahwa steroid menurunkan peradangan
sistemik, mengurangi edema otak (47), memperbaiki fungsi sawar darah otak (48)
dan memodulasi fungsi mikroglia (49). Ekspresi reseptor steroid di hippocampus,
pengurangan ekspresi reseptor N-methyl-D-aspartate pada hippocampus (50), dan
pencegahan sindrom post trauma oleh hidrokortison (51) menunjukkan bahwa
semuanya terlibat dalam respons perilaku terhadap stres. Efek protein C aktif
terhadap anti-inflamasi dan endotel dalam sepsis dan eksperiment iskemia otak juga
menarik.
Secara historis, penghambatan iNOS diuji pertama kali karena peran
patogennya. Namun, penghambatan iNOS tidak memperbaiki kesadaran namun
mengurangi apoptosis neuron yang dipicu oleh LPS pada tikus septik (52), memicu
iskemia otak (53), dan meningkatkan kematian kardiovaskular (54). Serum amyloid
P atau magnesium (55, 56), yang telah terbukti mengurangi permeabilitas sawar
darah otak pada hewan septik, dan molekul antioksidan juga telah diuji. Misalnya,
riluzole, penghambat pelepasan glutamat, mengurangi edema otak serta
permeabilitas sawar darah otak, kerusakan oksidatif, dan cedera otak pada tikus
septik (dua yang terakhir juga dikurangi dengan silymarin) (27, 57). Jika infus asam
amino rantai cabang dapat mengurangi asam amino aromatik di otak dengan
bersaing dengan transpornya, pengaruhnya terhadap SAE belum ditunjukkan (58).
Penghambat kanal kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB) dan penghentian
sirkulasi sitokin, terutama dengan adsorpsi filtrasi plasma gabungan, juga telah
diusulkan untuk mengurangi permeabilitas sawar darah otak (59). Modulasi sinyal
otak adalah pilihan lain. Telah ditunjukkan bahwa penghambatan farmakologis
jalur kolinergik memperbaiki perjalanan penyakit (60).

KESIMPULAN
Diagnosis ensefalopati pada pasien septik sangat penting karena merupakan
komplikasi yang sering dan berat. Mekanismenya sangat kompleks, akibat proses
inflamasi dan noninflamasi yang mempengaruhi semua sel otak dan menginduksi
kerusakan sawar darah otak, disfungsi metabolisme intraselular, kematian sel otak,
dan cedera otak. Diagnosisnya bergantung pada pemeriksaan neurologis yang
kemudian dapat diikuti tes neurologis spesifik. EEG dan pemeriksaan radiologi
diperlukan jika terdapat kejang, tanda neurologis fokal, atau kecurigaan infeksi
serebral dan bila ensefalopati tetap tidak dapat dijelaskan sumbernya. Analisis
cairan cerebrospinal harus dilakukan bila dicurigai terdapat meningitis. SAE
berasal berbagai faktor atau gabungan faktor-faktor yang harus disaring secara
sistematis. Dalam prakteknya, infeksi otak pasti selalu terjadi; adapun ensefalopati
hepatikum, uremikum, atau ensefalopati respirasi, gangguan metabolik, overdosis
obat, efek putus obat (withdrawal symptom) obat penenang atau opioid, delirium
akibat efek penghentian alkohol, dan ensefalopati Wernicke adalah diagnosis
banding utama SAE. Saat ini, perawatannya terutama terdiri dari pengendalian
sepsis. Efek terapi insulin, protein C aktif, dan steroid pada SAE perlu dinilai.
Disfungsi sawar darah otak yang diinduksi sepsis, stres oksidatif otak, dan
inflamasi, serta sinyal otak merupakan fokus terapeutik yang sangat menarik namun
masih merupakan target eksperimental.

Gambar 1. Mekanisme ensefalopati terkait sepsis. BBB, blood-brain barrier/sawar


darah otak.
Gambar 2. Alur penilaian disfungsi otak pada pasien sepsis. EEG,
elektroensefalogram
Tabel 1. Pendekatan neurologi pada pasien yang tersedasi.
MRI, magnetic resonance imaging; EEG, elektroensefalogram.
a
Pemeriksaan penunjang biologi, neuroradiologi, dan electrofisiologi harus
dipertimbangkan; bpenggunaan antagonis benzodiazepine atau opioid dapat
dipertimbangkan

Anda mungkin juga menyukai