Sepsis sering dipersulit oleh deteriorasi status mental yang akut dan reversibel,
yang dikaitkan dengan peningkatan angka mortalitas dan konsisten dengan delirium
tetapi dapat ditegakkan dengan tanda neurologis fokal. Sepsis terkait ensefalopati
disertai oleh kelainan elektroensefalogram dan potensi bangkitan somatosensori,
peningkatan biomarker cedera otak (yaitu, enolase-protein spesifik neuron, S-100
-protein) dan, seringkali, kelainan neuroradiologis, terutama
leukoencephalopathy. Mekanismenya sangat kompleks, yaitu adanya proses
inflamasi dan noninflamasi yang mempengaruhi seluruh sel otak dan menginduksi
kerusakan sawar darah otak, disfungsi metabolisme intraselular, kematian sel otak,
dan cedera otak. Diagnosisnya bergantung pada pemeriksaan neurologis yang
diikuti oleh tes neurologis spesifik. Elektroensefalografi perlu dilakukan jika
terdapat kejang; pemeriksaan radiologi jika terdapat kejang, tanda neurologis fokal
atau kecurigaan infeksi serebral; dan dilakukan kedua tes jika ensefalopati tetap
tidak dapat diketahui sumbernya. Dalam prakteknya, analisis cairan cerebrospinal
harus dilakukan jika ada keraguan meningitis. Ensefalopati hepatikum, uremikum,
atau ensefalopati respirasi, gangguan metabolik, overdosis obat, efek putus obat
(withdrawal) penenang atau opioid, delirium akibat efek penghentian alkohol, dan
ensefalopati Wernicke adalah diagnosis banding utama ensefalopati sepsis.
Manajemen pasien terutama didasarkan pada pengendalian infeksi, kegagalan
sistem organ, dan homeostasis metabolik, sekaligus menghindari obat neurotoksik.
(Crit Care Med 2009; 37 [Suppl.]: S331-S336)
KATA KUNCI: sepsis; ensefalopati; delirium; sawar darah otak; pemeriksaan
radiologi
Sepsis sering dikaitkan dengan kemunduran status mental yang akut dan
reversibel, yang mempengaruhi tingkat kesadaran, kualitas kesadaran, kognitif, dan
perilaku, dan oleh karena itu cocok dengan kriteria delirium saat ini (1). Terdapat
beberapa penamaan untuk gangguan ini, di antaranya yang paling sering digunakan
adalah ensefalopati sepsis (sepsis-associated encephalopathy/SAE), delirium
sepsis (sepsis-associated delirium) atau disfungsi otak (brain dysfunction). Istilah
ensefalopati sepsis sebenarnya tidak tepat karena mengacu pada infeksi serebral
langsung, sedangkan SAE dianggap sebagai disfungsi serebral difus sebagai
konsekuensi respons inflamasi sistemik terhadap infeksi tanpa infestasi sistem saraf
pusat langsung (1). SAE disertai oleh kelainan elektroensefalografi (EEG) dan
potensial bangkitan somatosensory, peningkatan biomarker cedera otak (yaitu,
enolase-protein spesifik neuron, S-100 -protein) dan, seringkali, oleh kelainan
neuroradiologis. Terjadinya ensefalopati pada pasien sepsis menyiratkan
pendekatan diagnostik sistematis dari semua faktor potensial, selain sepsis, yang
berkontribusi terhadap disfungsi otak termasuk toksisitas obat atau gangguan
metabolik. Pertama, meningitis atau abses otak harus dikesampingkan jika ada
keraguan. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk menjelaskan patofisiologi,
diagnosis banding, dan hasil SAE.
PATOFISIOLOGI
Sinyal Otak pada Sepsis
Respon terhadap stres secara fisiologis dipicu oleh sinyal aktivasi yang
dimediasi oleh dua jalur (2, 3). Jalur pertama adalah nervus vagus, yang dapat
mendeteksi peradangan viseral melalui reseptor sitokin aksonalnya. Nukleus saraf
vagus terhubung ke berbagai inti otonom batang otak, terutama nucleus tractus
solitarius yang menyatukan baroreflex, dan juga inti paraventrikular yang
mengendalikan sumbu adrenal dan sekresi vasopresin. Jalur kedua melibatkan
organ sirkumventrikular, yang berlokasi strategis di dekat nukleus neuroendokrin
dan neurovegetatif, kurang terlindungi oleh sawar darah-otak, dan
mengekspresikan komponen sistem kekebalan bawaan dan adaptif. Begitu
peradangan viseral atau sistemik terdeteksi oleh jalur pertama atau kedua, sinyal
aktivasi akan menyebar ke pusat perilaku, neuroendokrin, dan neurovegetatif.
Berbagai mediator dilibatkan termasuk sitokin proinflamasi dan antiinflamasi, nitrit
oksida, prostaglandin serta kemokin dan karbon monoksida. Ini akan
mempengaruhi sel mikroglia secara langsung atau tidak langsung, astrosit, dan
neuron, yang berakhir dengan modulasi neurosekresi dan neurotransmisi.
Sehingga ada kemungkinan sinyal aktivasi ini dapat menjadi patogen dan
menginduksi semacam perubahan neurotransmisi yang merupakan substratum
patofisiologis ensefalopati. Dalam sudut pandang klinis, harus ditekankan bahwa
respons terhadap perubahan perilaku terkait stres dapat serupa dengan yang diamati
selama ensefalopati. Selanjutnya, respons perilaku terutama dikendalikan oleh
amigdala dan hippocampus, yang bertanggung jawab terhadap gangguan
hemodinamik dan metabolik (yaitu hipoksemia dan hipoglikemia). Sehingga,
modifikasi perilaku bisa bersifat adaptif dan fisiologis, yaitu perilaku sebagai
respon stres atau respon maladaptif dan patofisiologis seperti akibat dari SAE.
Selain kedua jalur ini, sel endotel memainkan peran utama dalam sepsis terkait
inflamasi otak. Sepsis menginduksi aktivasi sel endotel, yang berakibat pelepasan
berbagai mediator ke otak dan juga menyebabkan disfungsi sawar darah otak
(Gambar 1).
Perubahan Neurotransmisi
Pelepasan atau ekspresi reseptor kolinergik (5), -adrenergik otak, -asam
aminobutirat, dan serotoninergik (6,7) terganggu selama sepsis. Proses tersebut
terjadi dominan di korteks dan di hippocampus (8) dan kemungkinan dimediasi
oleh nitrit oksida, sitokinin, dan prostaglandin (7, 9). Sintesis neurotransmiter juga
diubah oleh amonium dan tirosin, triptofan dan fenilalanin, yang kadar plasmanya
meningkat sekunder akibat disfungsi hati dan proteolisis otot (10). Efek neurotoksik
yang terjadi mungkin diperkuat oleh penurunan asam amino rantai cabang (10).
KESIMPULAN
Diagnosis ensefalopati pada pasien septik sangat penting karena merupakan
komplikasi yang sering dan berat. Mekanismenya sangat kompleks, akibat proses
inflamasi dan noninflamasi yang mempengaruhi semua sel otak dan menginduksi
kerusakan sawar darah otak, disfungsi metabolisme intraselular, kematian sel otak,
dan cedera otak. Diagnosisnya bergantung pada pemeriksaan neurologis yang
kemudian dapat diikuti tes neurologis spesifik. EEG dan pemeriksaan radiologi
diperlukan jika terdapat kejang, tanda neurologis fokal, atau kecurigaan infeksi
serebral dan bila ensefalopati tetap tidak dapat dijelaskan sumbernya. Analisis
cairan cerebrospinal harus dilakukan bila dicurigai terdapat meningitis. SAE
berasal berbagai faktor atau gabungan faktor-faktor yang harus disaring secara
sistematis. Dalam prakteknya, infeksi otak pasti selalu terjadi; adapun ensefalopati
hepatikum, uremikum, atau ensefalopati respirasi, gangguan metabolik, overdosis
obat, efek putus obat (withdrawal symptom) obat penenang atau opioid, delirium
akibat efek penghentian alkohol, dan ensefalopati Wernicke adalah diagnosis
banding utama SAE. Saat ini, perawatannya terutama terdiri dari pengendalian
sepsis. Efek terapi insulin, protein C aktif, dan steroid pada SAE perlu dinilai.
Disfungsi sawar darah otak yang diinduksi sepsis, stres oksidatif otak, dan
inflamasi, serta sinyal otak merupakan fokus terapeutik yang sangat menarik namun
masih merupakan target eksperimental.