ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk melaporkan kasus klinis yang berkaitan dengan
pasien dengan diagnosis periodontitis kronis tahap lanjut tanpa riwayat medis
sebelumnya di mana terdapat trauma oklusi sebagai faktor predisposisi. Di
samping itu, kami juga memberikan perbaruan mengenai tema ini.
PENDAHULUAN
Berbagai kondisi oklusal telah dianggap sebagai efek interaktif dinamis terhadap
periodontium, di antaranya adalah bruksisme, maloklusi, abfraksi, dan lain-lain.
Namun, fokus utama kami adalah trauma oklusi. International Working Group for
the Classification of Periodontal Diseases and Conditions pada tahun 1999
mendefinisikan trauma oklusi sebagai cedera pada apparatus atau gigi sebagai
akibat dari gaya oklusi berlebih. Trauma oklusi dapat digolongkan menjadi dua
kategori umum [1-14]:
1) Trauma oklusi primer adalah cedera yang terjadi akibat gaya oklusi
berlebih pada gigi dengan penyokong normal [14]
2) Trauma oklusi sekunder adalah cedera yang terjadi akibat gaya oklusi
normal atau berlebih pada gigi dengan sokongan periodontal yang tidak
adekuat [14]
Trauma oklusi diketahui berkaitan dengan penyakit periodontal sejak 100 tahun
yang lalu [2]. Contohnya, Karolyi pada tahun 1901 melaporkan hubungan antara
gaya oklusi berlebih dan kerusakan periodontal [3]. Pada tahun 1917 dan 1926,
Stillman menyatakan bahwa gaya oklusi berlebih adalah penyebab utama penyakit
periodontal [4,5]. Stillman menyatakan bahwa gaya oklusi harus dikontrol untuk
mencegah dan menangani penyakit periodontal. Laporan-laporan awal ini
menciptakan latar belakang kontroversi yang belum memiliki konsensus
internasional mengenai apakah ada hubungan sebab-akibat antara masalah oklusi
dan penyakit periodontal, terlepas dari ada tidaknya faktor iritasi, atau apakah
trauma oklusi hanya bekerja sebagai faktor yang memicu perkembangan penyakit
periodontal akibat plak.
Mengingat dilema ini, pada tahun 2004, sebuah tinjauan sistematis dipublikasikan
dalam jurnal Periodontologi 2000 mengenai subjek ini dan penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa penelitian baik pada hewan maupun manusia menyatakan
hubungan antara trauma oklusi dan perubahan struktur penyokong periodontal.
Penelitian hewan yang luas telah menunjukkan bahwa trauma oklusi memiliki
efek terhadap struktur penyokong periodontal, namun tidak memicu kerusakan
apparatus. Di samping itu, penelitian yang ada tidak menegakkan hubungan
sebab-akibat antara oklusi dan penyakit periodontal, karena tidak ada data yang
kuat yang menyatakan bahwa oklusi adalah faktor resiko potensial untuk
memediasi kerusakan periodontal. Namun, penelitian lain telah menunjukkan
bahwa kontrol faktor resiko ini dapat memperlambat perkembangan destruksi
periodontal dan memperbaiki hasil respons terhadap pengobatan periodontal [2].
Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan kasus klinis seorang pasien pria
dengan diagnosis oral periodontitis generalisata tahap lanjut yang dieksaserbasi
oleh masalah oklusi dan mengembangkan tinjauan kronologis dari topik ini.
LAPORAN KASUS
Saat pasien menunggu untuk memutuskan apa penanganan akhir yang dilakukan,
pasien diberi pilihan untuk melakukan rehabilitasi implan total yang cocok dengan
harapan pasien mengenai penanganannya.
Untuk memperbarui dan menganalisis topik ini, basis data akademik PubMed dan
Google diakses dengan kata kunci “trauma oklusi” dan “periodontitis”, maloklusi,
dan periodontitis. Kami hanya memiliki tinjauan sistematis dan penelitian
praklinik pada model hewan pengerat.
Melakukan prospektif dan eksperimental pada manusia mengenai efek gaya oklusi
terhadap perkembangan periodontitis adalah hal yang tidak diterima dari sudut
pandang etika. Akibatnya, penelitian manusia sangat terbatas untuk penelitian
retrospektif dan observasional. Dalam konteks ini, beberapa hasil telah ditemukan
karena tidak menemukan hubungan bermakna antara gaya oklusi berlebih dan
kerusakan periodontal. Namun, penelitian yang meliputi penanganan oklusi
sebagai bagian dari penanganan periodontal memiliki perolehan insersi yang lebih
besar daripada pasien yang tidak menjalaninya [1,2].
Sebauh penelitian praklinik yang dipublikasikan tahun 2014 menguji efek trauma
oklusi terhadap kerusakan periodontal pada model hewan pengerat. 60 mencit
digunakan dalam penelitian ini. 48 mencit diimunisasi dengan lipopolisakarida
(LPS) intraperitoneal dan dibagi menjadi empat kelompok. Dalam kelompok
trauma (T), trauma oklusi diinduksi dengan menempatkan kawat logam tinggi di
permukaan oklusi gigi geraham pertama kanan bawah. Pada kelompok inflamasi
(I), inflamasi diinduksi dengan pemberian LPS topikal di sulcus gingiva palatal
dari gigi geraham atas pertama. Pada kelompok trauma + inflamasi (T+I), baik
trauma dan inflamasi periodontal diberikan secara bersamaan. Kelompok PBS
(kontrol) hanya menerima salin penyangga fosfat. 12 tikus non-imun lainnya (n-
(T+I)) diberikan perlakuan seperti kelompok T+I. Semua tikus dikorbankan
setelah 5-10 hari; dan gigi molar atas pertama dengan jaringan sekitarnya diamati
secara histopatologis. Hilangnya insersi dan osteoklas pada alur tulang alveolar
diperiksa secara histopatologis. Untuk mendeteksi kompleks imun, pewarnaan
histologis imun untuk C1qB dilakukan. Serat kolagen juga diamati menggunakan
metode polarisasi merah pikrosirius. Ada peningkatan bermakna pada kehilangan
insersi dan jumlah osteoklas pada kelompok T+I dan serat kolagen dari
permukaan akar ke alur tulang alveolar secara parsial menghilang pada kelompok
T, T+I, dan n-(T+I) sehingga dapat disimpulkan bahwa kerusakan serat kolagen
oleh trauma oklusi dapat meningkatkan permeabilitas antigen melalui jaringan
dan menyebabkan perluasan daerah pembentukan kompleks imun dan percepatan
reaksi inflamasi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan periodontal lebih besar pada
kelompok T+I daripada kelompok I [9].
Singkatnya, penelitian hewan dan manusia telah memberikan beberapa bukti
hubungan antara trauma oklusi dan perubahan struktur penyokong periodontal
[11,12].
KESIMPULAN
1. Bukti yang ada tidak cukup untuk mengasumsikan bahwa ada hubungan
sebab-akibat antara penyakit periodontal dan trauma oklusi.
2. Trauma oklusi cenderung bekerja sebagai faktor predisposisi atau
modifikasi dari perkembangan penyakit periodontal dengan menyebabkan
lesi pada periodontal dan serat gusi, meningkatkan permeabilitas jaringan,
sebuah fakta yang akan membantu penetrasi toksin dan antigen bakteri
sehingga meningkatkan daerah pembentukan kompleks imun dan oleh
karena itu reaksi inflamasi pada tingkat struktur penyokong periodontal.
3. Bukti yang ada tidak cukup untuk mendukung penanganan oklusi untuk
mencegah penyakit periodontal. Namun telah terbukti secara ilmiah bahwa
penanganan oklusi dalam pengobatan periodontal dapat meningkatkan
perolehan insersi dan memperlambat perkembangan penyakit.
4. Perlu untuk melakukan penelitian pada manusia, kohor dengan format
prospektif, dan percobaan klinis untuk mengklarifikasi peran trauma
oklusi terhadap patogenesis penyakit periodontal
REFERENSI