Anda di halaman 1dari 7

PERIODONTITIS KRONIS EKSASERBASI OLEH TRAUMA OKLUSI:

LAPORAN KASUS DAN REVISI LITERATUR

Ma. Lourdee Rodriguez, Iturralde M, Vega J, dan Pinos X

ABSTRAK

Trauma oklusi ditemukan berhubungan dengan penyakit periodontal sejak 100


tahun yang lalu, namun hanya secara observasional. Sejak tahun 1930-an, efek
gaya oklusi yang berlebihan pada periodontium tleah dievaluasi pada tingkat
praklinik. Pada awalnya, penelitian pada hewan dan bahan otopsi manusia tidak
menunjukkan hubungan antara oklusi dan kerusakan periodontal. Namun, dalam
10 tahun terakhir, telah ada bukti baru yang memungkinkan kita untuk
menegakkan hubungan antara kedua entitas klinis ini. Tinjauan terbaru pada
subjek dipublikasikan pada tahun 2015, menyatakan bahwa pada saat itu, sudah
ada bukti kuat untuk mengasumsikan hubungan sebab-akibat antara periodontitis
dan gaya oklusi berlebih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melaporkan kasus klinis yang berkaitan dengan
pasien dengan diagnosis periodontitis kronis tahap lanjut tanpa riwayat medis
sebelumnya di mana terdapat trauma oklusi sebagai faktor predisposisi. Di
samping itu, kami juga memberikan perbaruan mengenai tema ini.

PENDAHULUAN

Berbagai kondisi oklusal telah dianggap sebagai efek interaktif dinamis terhadap
periodontium, di antaranya adalah bruksisme, maloklusi, abfraksi, dan lain-lain.
Namun, fokus utama kami adalah trauma oklusi. International Working Group for
the Classification of Periodontal Diseases and Conditions pada tahun 1999
mendefinisikan trauma oklusi sebagai cedera pada apparatus atau gigi sebagai
akibat dari gaya oklusi berlebih. Trauma oklusi dapat digolongkan menjadi dua
kategori umum [1-14]:

1) Trauma oklusi primer adalah cedera yang terjadi akibat gaya oklusi
berlebih pada gigi dengan penyokong normal [14]
2) Trauma oklusi sekunder adalah cedera yang terjadi akibat gaya oklusi
normal atau berlebih pada gigi dengan sokongan periodontal yang tidak
adekuat [14]

Trauma oklusi diketahui berkaitan dengan penyakit periodontal sejak 100 tahun
yang lalu [2]. Contohnya, Karolyi pada tahun 1901 melaporkan hubungan antara
gaya oklusi berlebih dan kerusakan periodontal [3]. Pada tahun 1917 dan 1926,
Stillman menyatakan bahwa gaya oklusi berlebih adalah penyebab utama penyakit
periodontal [4,5]. Stillman menyatakan bahwa gaya oklusi harus dikontrol untuk
mencegah dan menangani penyakit periodontal. Laporan-laporan awal ini
menciptakan latar belakang kontroversi yang belum memiliki konsensus
internasional mengenai apakah ada hubungan sebab-akibat antara masalah oklusi
dan penyakit periodontal, terlepas dari ada tidaknya faktor iritasi, atau apakah
trauma oklusi hanya bekerja sebagai faktor yang memicu perkembangan penyakit
periodontal akibat plak.

Mengingat dilema ini, pada tahun 2004, sebuah tinjauan sistematis dipublikasikan
dalam jurnal Periodontologi 2000 mengenai subjek ini dan penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa penelitian baik pada hewan maupun manusia menyatakan
hubungan antara trauma oklusi dan perubahan struktur penyokong periodontal.
Penelitian hewan yang luas telah menunjukkan bahwa trauma oklusi memiliki
efek terhadap struktur penyokong periodontal, namun tidak memicu kerusakan
apparatus. Di samping itu, penelitian yang ada tidak menegakkan hubungan
sebab-akibat antara oklusi dan penyakit periodontal, karena tidak ada data yang
kuat yang menyatakan bahwa oklusi adalah faktor resiko potensial untuk
memediasi kerusakan periodontal. Namun, penelitian lain telah menunjukkan
bahwa kontrol faktor resiko ini dapat memperlambat perkembangan destruksi
periodontal dan memperbaiki hasil respons terhadap pengobatan periodontal [2].

Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan kasus klinis seorang pasien pria
dengan diagnosis oral periodontitis generalisata tahap lanjut yang dieksaserbasi
oleh masalah oklusi dan mengembangkan tinjauan kronologis dari topik ini.

LAPORAN KASUS

Seorang pasien pria berusia 41 tahun datang ke Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Cuenca untuk mendapatkan diagnosis umum lalu dirujuk ke Bagian
Pascasarjana Periodontik akibat peningkatan mobilitas pada giginya, akumulasi
kalkulus, perdarahan setelah sikat gigi, dan probing, hilangnya insersi dan
halitosis (Gambar 1). Berdasarkan status umum kesehatannya, pasien merupakan
pasien sehat, dengan riwayat asma di masa kanak-kanak.

Setelah pemeriksaan periodontal, pasien didiagnosis dengan periodontitis


generalisata kronis berat yang dieksaserbasi oleh trauma oklusi. Pasien
menunjukkan mobilitas kelas III (Miller) dari potongan gigi 18; 17; 16; 15; 14;
24; 25; 27; 35; 34; 32; 31; 41; 42; 43; 44; 45, kelas II pada potongan gigi ke-38;
13; 12; 11; 21; 22; 23, kecua;i gigi 3.3; dan 3.2 yang menunjukkan mobilitas kelas
I; kecuali untuk akar gigi ke -27.
Konsultasi dilakukan dengan Bagian Prostetik untuk mengevaluasi bagian gigi di
atas dan membuat rencana penanganan berdasarkan kasus. Trauma oklusi dapat
diverifikasi (di sini kami harus melengkapi bagian mana yang dideteksi) dan
kasus ini dievaluasi dengan jalan integral dan ekstraksi total gigi dilakukan
sebagai tindakan terapeutik karena menunjukkan kehilangan tulang berat yang
tidak kompatibel dengan penanganan prostetik manapun (Gambar 2). Pasien
dimasukkan ke Bagian Periodontal untuk evaluasi dan ekstraksi semua gigi.
Skema terapeutik yang dirancang adalah sebagai berikut:

1. Hitung darah lengkap, uji hemostasis, dan glukosa (semuanya berada


dalam rentang nilai normal).
2. Sesi pertama: Kami melakukan ekstraksi gigi bawah (Gambar 3 dan 4).
Kami melakukan antisepsis ekstraoral dengan iodin 8% dan klorheksidin
0.12% untuk antisepsis intraoral. Pada setiap alveolus, penggaraman dan
irigasi dilakukan dengan larutan salin (Gambar 3) dan diselesaikan dengan
jahitan kontinyu (Gambar 5a dan 5b).
3. Penanganan pasca operasi: Etoricoxib 120 mg satu kali sehari untuk 5 hari
dan amoxicillin 500 mg satu tablet setiap 8 jam untuk 7 hari; kompres
dingin direkomendasikan untuk 24 jam pertama, dan tidak ada latihan fisik
selama satu minggu.
4. Sesi kedua: Kami melakukan ekstraksi gigi atas (Gambar 5a). Untuk
tujuan ini, protokol yang dilakukan sama seperti di atas.
5. Dalam satu minggu, dilakukan pembuatan dan penempatan prostesis atas
dan bawah bersama dengan pengondisian jaringan.
6. Delapan hari kemudian, kami melakukan pelepasan jahitan (Gambar 7).

Saat pasien menunggu untuk memutuskan apa penanganan akhir yang dilakukan,
pasien diberi pilihan untuk melakukan rehabilitasi implan total yang cocok dengan
harapan pasien mengenai penanganannya.

BAHAN DAN METODE

Untuk memperbarui dan menganalisis topik ini, basis data akademik PubMed dan
Google diakses dengan kata kunci “trauma oklusi” dan “periodontitis”, maloklusi,
dan periodontitis. Kami hanya memiliki tinjauan sistematis dan penelitian
praklinik pada model hewan pengerat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran gaya oklusi berlebih dalam patofisiologi penyakit periodontal telah


ditemukan oleh beberapa peneliti, dengan penelitian yang dilakukan sejak tahun
1930 pada model hewan dan bahan otopsi manusia [2]. Penelitian yang pertama
kali dipublikasikan mengenai subjek ini tidak menunjukkan hubungan yang jelas
antara gaya oklusi dan penyakit periodontal. Contohnya, penelitian oleh Orban
dan Weinmann pada tahun 1933 [6], dan Weinmann tahun 1941 [7] yang
menggunakan bahan otopsi manusia, mengevaluasi efek gaya oklusi berlebih pada
periodontium. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara gaya
oklusi berlebih dan kerusakan periodontal, dan menyatakan bahwa gaya oklusi
tidak memiliki efek terhadap kerusakan periodontal. Kemudian, mereka
menyatakan bahwa inflamasi gusi yang meluas sampai ke tulang adalah penyebab
kerusakan periodontal. Secara paralel, Glickman dkk [8] yang melakukan
penelitian pada model hewan dan bahan otopsi manusia menunjukkan adanya
kerusakan periodontal (akibat adanya plak gigi) bersama dengan adanya gaya
oklusi berlebih. Jalur ini dijelaskan sebagai perubahan orientasi serat periodontal
dan serat gusi di bawah pengaruh gaya oklusi berlebih, sehingga menyebabkan
peradanagn gusi yang meluas melalui ligamen periodontal dan juga menghasilkan
defek tulang vertikal dan kehilangan tulang. Mereka menyimpulkan bahwa gaya
oklusi berlebih dengan adanya inflamasi terkait plak menyebabkan perubahan
keselarasan ligamen periodontal sehingga menyebabkan perubahan jalus
inflamasi, yang mereka sebut dengan “agen kodestruktif”. Berdasarkan
pengamatan ini, penggunaan penanganan oklusi diartikan sebagai bagian dari
penanganan dengan adanya PE. Karena tidak ada bukti bahwa gaya oklusi
berlebih mencetuskan penyakit periodontal, penanganan oklusi untuk mencegah
penyakit periodontal tidak direkomendasikan [8].

Melakukan prospektif dan eksperimental pada manusia mengenai efek gaya oklusi
terhadap perkembangan periodontitis adalah hal yang tidak diterima dari sudut
pandang etika. Akibatnya, penelitian manusia sangat terbatas untuk penelitian
retrospektif dan observasional. Dalam konteks ini, beberapa hasil telah ditemukan
karena tidak menemukan hubungan bermakna antara gaya oklusi berlebih dan
kerusakan periodontal. Namun, penelitian yang meliputi penanganan oklusi
sebagai bagian dari penanganan periodontal memiliki perolehan insersi yang lebih
besar daripada pasien yang tidak menjalaninya [1,2].

Dalam laporan retrospektif mengenai pasien praktek privat yang didiagnosis


dengan penyakit periodontal, mereka dievaluasi dan didistribusikan ke dalam tiga
kelompok, yaitu kelompok penanganan, tanpa penanganan, dan penanganan
parsial (penanganan dasar + penanganan oklusi) dan kelompok penanganan penuh
(operasi periodontal). Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya dalam
fakta bahwa mereka menganggap setiap gigi adalah unit eksperimentasi daripada
setiap pasien. Penelitian tersebut mengevaluasi progresi kerusakan periodontal
dan evolusi periodontal untuk setiap gigi seiring waktu, pada gigi dengan atau
tanpa masalah oklusi. Gigi dengan masalah oklusi memiliki kedalaman probing
yang lebih besar dan penurunan prognosis daripada gigi tanpa masalah oklusi.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masalah oklusi nampaknya merupakan
faktor resiko yang berkontribusi terhadap kerusakan periodontal yang lebih cepat
dan ahwa penanganan masalah oklusi nampaknya dapat memperlambat kerusakan
periodontal [2].

Dalam sebuah tinjauan sistematis tahun 2008, dilaporkan bahwa penelitian


tentang interaksi antara maloklusi dan periodontitis menemukan masalah
periodontal bermakna pada subjek dengan maloklusi dibandingkan tanpa
maloklusi (p < 0.00001). namun, tidak ada satupun dari penelitian tersebut yang
diatur untuk variabel perancu. Di sisi lain, dua penelitian mengenai interaksi
antara maloklusi dan gingivitis menemukan tingkat gingivitis yang lebih tinggi
pada subjek dengan maloklusi dibandingkan tanpa maloklusi. Satu dari penelitian
tersebut mengatur penelitiannya untuk higienitas oral. Tinjauan ini menyimpulkan
bahwa ada hubungan antaara maloklusi dan PE. Subjek dengan maloklusi yang
bermakna memiliki PE yang lebih berat. Hubungan ini tergantung pada status
kesehatan oral [1].

Sebauh penelitian praklinik yang dipublikasikan tahun 2014 menguji efek trauma
oklusi terhadap kerusakan periodontal pada model hewan pengerat. 60 mencit
digunakan dalam penelitian ini. 48 mencit diimunisasi dengan lipopolisakarida
(LPS) intraperitoneal dan dibagi menjadi empat kelompok. Dalam kelompok
trauma (T), trauma oklusi diinduksi dengan menempatkan kawat logam tinggi di
permukaan oklusi gigi geraham pertama kanan bawah. Pada kelompok inflamasi
(I), inflamasi diinduksi dengan pemberian LPS topikal di sulcus gingiva palatal
dari gigi geraham atas pertama. Pada kelompok trauma + inflamasi (T+I), baik
trauma dan inflamasi periodontal diberikan secara bersamaan. Kelompok PBS
(kontrol) hanya menerima salin penyangga fosfat. 12 tikus non-imun lainnya (n-
(T+I)) diberikan perlakuan seperti kelompok T+I. Semua tikus dikorbankan
setelah 5-10 hari; dan gigi molar atas pertama dengan jaringan sekitarnya diamati
secara histopatologis. Hilangnya insersi dan osteoklas pada alur tulang alveolar
diperiksa secara histopatologis. Untuk mendeteksi kompleks imun, pewarnaan
histologis imun untuk C1qB dilakukan. Serat kolagen juga diamati menggunakan
metode polarisasi merah pikrosirius. Ada peningkatan bermakna pada kehilangan
insersi dan jumlah osteoklas pada kelompok T+I dan serat kolagen dari
permukaan akar ke alur tulang alveolar secara parsial menghilang pada kelompok
T, T+I, dan n-(T+I) sehingga dapat disimpulkan bahwa kerusakan serat kolagen
oleh trauma oklusi dapat meningkatkan permeabilitas antigen melalui jaringan
dan menyebabkan perluasan daerah pembentukan kompleks imun dan percepatan
reaksi inflamasi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan periodontal lebih besar pada
kelompok T+I daripada kelompok I [9].
Singkatnya, penelitian hewan dan manusia telah memberikan beberapa bukti
hubungan antara trauma oklusi dan perubahan struktur penyokong periodontal
[11,12].

Di samping itu, investigasi yang ada tidak menegakkan hubungan sebab-akibat


antara oklusi dan PE. Tidak ada data yang kuat untuk menandakan bahwa
maloklusi merupakan faktor resiko potensial untuk kerusakan periodontal, dan
bahwa kontrol faktor resiko ini dapat menghambat perkembangan kerusakan
periodontal dan memperbaiki hasil respons terhadap pengobatan periodontal [11].

KESIMPULAN

Setelah memaparkan kasus klinis berdasarkan periodontitis kronis yang


dieksaserbasi oleh masalah oklusi yang ada dan melaporkan literatur, kami
menyimpulkan bahwa:

1. Bukti yang ada tidak cukup untuk mengasumsikan bahwa ada hubungan
sebab-akibat antara penyakit periodontal dan trauma oklusi.
2. Trauma oklusi cenderung bekerja sebagai faktor predisposisi atau
modifikasi dari perkembangan penyakit periodontal dengan menyebabkan
lesi pada periodontal dan serat gusi, meningkatkan permeabilitas jaringan,
sebuah fakta yang akan membantu penetrasi toksin dan antigen bakteri
sehingga meningkatkan daerah pembentukan kompleks imun dan oleh
karena itu reaksi inflamasi pada tingkat struktur penyokong periodontal.
3. Bukti yang ada tidak cukup untuk mendukung penanganan oklusi untuk
mencegah penyakit periodontal. Namun telah terbukti secara ilmiah bahwa
penanganan oklusi dalam pengobatan periodontal dapat meningkatkan
perolehan insersi dan memperlambat perkembangan penyakit.
4. Perlu untuk melakukan penelitian pada manusia, kohor dengan format
prospektif, dan percobaan klinis untuk mengklarifikasi peran trauma
oklusi terhadap patogenesis penyakit periodontal
REFERENSI

1. Bollen A (2008) Effects of Malocclusions and Orthodontics on


Periodontal Health: Evidence from a Systematic Review. Dent Edu 72:
912-918.
2. Hallmon W, Harrel S (2004) Occlusal analysis, diagnosis and management
in the practice of periodontics. Periodontology 34: 151-164.
3. Karolyi M (1901) Beabachtungen über Pyorrhea alveolaris. Ost Ung
Vierteljschr Zahnkeilk 17: 279-283.
4. Stillman P (1917) The management of Pyorrhea. Dent Cosmos 59: 405-
414.
5. Stillman P (1926) What is traumatic occlusion and how can it diagnosed
and corrected. J Am Dent Assoc 12: 1330-1338.
6. Orban B, Weinmann J (1993) Signs of traumatic occlusion in average
human jaws. J Dent Res 13: 216.
7. Weinmann J (1941) Progress of gingival inflammation into the supporting
structures of the teeth. J Periodontol 12: 71-82.
8. Glickman I, Smulow JB (1962) Alterations in the pathway of gingival
inflammation into the underlying tisssues induced by excessive occlusal
forces. J Periodontol 33: 7-13.
9. Nakatsu S, Yoshinaga Y, Kuramoto A (2014) Occlusal trauma accelerates
attachment loss at the onset of experimental periodontitis in rats. J
Periodontal Res 49: 314-322
10. Foz A, Artese H, Horliana A (2012) Occlusal adjustment associated with
periodontal therapy--a systematic review. J Dent 40:1025-1035.
11. Reinhardt R, Killeen A (2015) Do Mobility and Occlusal Trauma Impact
Periodontal Longevity? Dent Clin North Am 59: 873-883.
12. Vandana K, Nadkarni R, Guddada K (2015) Comparison of various risk
indicators among patients with chronic and aggresive periodontitis in
davangere population. Journal of Indian Society of Periodontology 19:
429-434.
13. Hallmon W (1999) Occlusal trauma: effect and impact on the
periodontium. Ann Periodontol 4: 102-107.
14. American Academy of Periodontology (1999) 1999 International
Workshop for a Classification of Periodontal Disease and Conditions. Ann
Periodontology 4: 102-107.

Anda mungkin juga menyukai