Anda di halaman 1dari 10

HIPOTENSI, HIPOKSIA, DAN CEDERA KEPALA

Frekuensi, Durasi, dan Konsekuensi

Geoffrey Manley, MD, PhD; M. Margaret Knudson, MD; Diane Morabito, RN,
MPH; Susan Damron, MS, RN; Vanessa Erickson, BA; Lawrence Pitts, MD

Latar Belakang: Penelitian retrospektif menunjukkan adanya hubungan antara


hipotensi dan hipoksia sistemik dengan prognosis yang buruk akibat cedera otak
akibat trauma. Namun, masih sedikit yang diketahui tentang frekuensi dan durasi
penyebab-penyebab potensial dari cedera otak skeunder.

Hipotesis: Episode dini hipoksia dan hipotensi yang terjadi pada resusitasi awal
akan menyebabkan dampak yang bermakna terhadap prognosis pasien setelah
mengalami cedera otak akibat trauma.

Desain: Penelitian kohor prospektif.

Lokasi: Pusat trauma level 1 kota.

Pasien: Pasien dengan cedera otak akibat trauma yang memiliki Glasgow Coma
Score (GCS) ≤ 12 dalam 24 jam pertama masuk rumah sakit dan hasil CT scan
menunjukkan gambaran patologis intrakranial. Pasien yang meninggal di UGD
dieksklusi dari penelitian ini.

Luaran Utama: Tekanan darah dan hasil oksimetri yang diperiksa secara
otomatis akan dicatat secara prospektif dari waktu kedatangan pasien dan selama
resusitasi awal. Jumlah dan durasi kejadian hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90
mmHg) dan hipoksia (saturasi oksigen ≤ 92%) akan dianalisis untuk menilai
hubungannya dengan angka kematian dan efek samping neurologis yang terjadi.

Hasil: 107 pasien memenuhi kriteria inklusi penelitian (GCS median, 7). Angka
kematian keseluruhan adalah 43%. 23 pasien (24%) mengalami hipotensi di UGD,
dengan rata-rata 1.5 episode per pasien (durasi rata-rata 9.1 menit). Dari 26 pasien
dengan hipotensi, 17 (65%) di antaranya meninggal (P = 0.1). Ketika angka
episode hipotensi meningkat dari 1 menjadi 2 atau lebih, odds ratio untuk
kematian meningkat dari 2.1 menjadi 8.1. 41 pasien (38%) mengalami hipoksia,
dengan rata-rata 2.1 episode per pasien (durasi rata-rata 8.7 menit). Dari 41 pasien
dengan hipoksia ini, 18 (44%) di antaranya meninggal dunia (P = 0.68).

Kesimpulan: Hipotensi, terjadi pada fase awal resusitasi secara bermakna (P =


0.009) berkaitan dengan peningkatan angka kematian setelah cedera otak, bahkan
jika epsisode terjadinya relatif singkat. Hipoksia tidak menimbulkan efek yang
bermakna. Data prospektif ini akan memperkuat perlunya memantau secara
kontinyu dan meningkatkan penanganan pada kasus hipotensi pada pasien cedera
otak.

PENDAHULUAN

Cedera otak adalah penyebab utama kematian akibat trauma. Otak yang
mengalami cedera sangat rentan terhadap cedera otak sekunder, yang dapat
disebabkan oleh kejang, peningkatan suhu tubuh, hipoksia, dan hipotensi.
Hipoksia dan hipotensi ini dapat terjadi segera setelah cedera, ketika otak sangat
rentan terhadap iskemia. Penelitian retrospektif1,2 dari basis data penelitian besar
(Traumatic Coma Data Bank dan National Pediatric Trauma Registry) telah
menunjukkan bahwa hipotensi dini setelah cedera otak meningkatkan angka
kematian hingga dua kali lipat. Pengaruh hipoksia terhadap kematian tidak terlalu
dramatis, namun belum diteliti secara intensif dalam penelitian prospektif. Di
samping itu, masih sedikit yang diketahui tentang luaran atau prognosis pasien
yang mengalami cedera otak sekunder dini namun masih bertahan hidup. Kami
melakukan investigasi ini untuk mempelajari secara prospektif frekuensi dan
durasi cedera otak sekunder yang terjadi selama fase resusitasi awal untuk cedera
kepala berat ke sedang. Kami menduga bahwa episode dini hipoksia dan hipotensi
akan memberikan dampak bermakna terhadap prognosis pasien setelah cedera
otak akibat trauma,

PASIEN DAN METODE

Semua pasien dewasa (berusia ≥ 15 tahun dalam penelitian ini) yang


datang ke Rumah Sakit Umum San Francisco, San Francisco, California, dengan
cedera kepala sedang sampai berat (GCS ≤ 12 dalam 24 jam pertama) dan hasil
CT scan menunjukkan gambaran patologis intrakranial dianggap sebagai kandidat
untuk penelitian ini. Segera setelah sampai di UGD, tekanan darah dan oksimetri
pasien diukur secara otomatis dengan monitor (Hewlett Packard, Palo Alto,
California) yang diatur untuk mengukur dengan siklus interval 2 menit. Data akan
disimpan secara otomatis. Dalam penelitian ini, hipotensi didefinisikan sebagai
tekanan darah sistolik (TDS) ≤ 90 mmHg dan hipoksia adalah saturasi oksigen ≤
92%. Data ini diperoleh selama resusitasi di UGD. Data lain yang diambil adalah
karakteristik demografis, mekanisme cedera, cedera lain yang berkaitan, dan
prosedur operatif. Pasien yang meninggal di UGD dieksklusi dari penelitian ini.
Pasien diterapi sesuai dengan panduan bantuan hidup trauma tingkat lanjut untuk
jalan napas dan manajemen cairan. Pemeriksaan CT scan awal ditinjau dalam 24
jam setelah kedatangan pasien, dan pasien dengan bukti cedera kepala dalam hasil
CT scan-nya (fraktur tengkorak, cedera aksonal luas, atau perdarahan
intradural/ekstradural) dimasukkan lebih lanjut ke dalam penelitian ini. Hasil
dpemeriksaan neurologis (GCS) dicatat setiap hari selama 7 hari. Skor Keparahan
Cedera (Injury Severity Score, ISS) dihitung menggunakan Abbreviated Injury
Scale (AIS). Pada 1 dan 3 bulan pasca cedera, Glasgow Outcome Scale (GOS)
diperoleh melalui wawancara pasien dan keluarga (Tabel 1).

Data dianalisis menggunakan korelasi Spearman untuk luaran pasien.


Analisis univariat untuk kelangsungan hidup dilakukan menggunakan uji exact
Fisher untuk data kategorik dan uji Mann-Whitney untuk variabel teratur. Regresi
logistik individual dilakukan untuk setiap prediktor dan variabel perancu.

Tabel 1 Glasgow Outcome Scale (GOS)


Skala Deskripsi
Kembalinya hidup normal; mungkin ada defisit
5 (luaran baik)
neurologis dan/atau psikologis yang ringan
Mampu bekerja dalam lingkungan tertutup dan
4 (cacat sedang)
bepergian menggunakan transportasi publik
Ketergantungan akan aktivitas harian akibat
3 (cacat berat)
disabilitas mental atau fisik atau keduanya
Tidak responsif atau membisu selama berminggu-
2 (kondisi vegetatif persisten) minggu atau berbulan-bulan atau sampai
meninggal
1 (meninggal)

HASIL

187 pasien dengan cedera kepala potensial menjalani skrining selama


penelitian prospektif 14 bulan ini, yang diadakan sejak 8 Januari 1998 dan 12
Maret 1999. 107 pasien memenuhi kriteria inklusi penelitian. 75% pasien berjenis
kelamin laki-laki dan usia rata-rata pasien adalah 46.3 tahun (rentang usia 17-89
tahun). Cedera tumpul, seperti jatuh atau tertabrak kendaraan adalah mekanisme
cedera tersering yang ditemui. Delapan pasien mengalami cedera tajam. 72 pasien
(67%) mengalami cedera kepala saja, sedangkan 35 sisanya (33%) mengalami
cedera multipel (AIS ≥ 3 pada bagian tubuh lainnya) di samping cedera kepala.
Rata-rata ± SD GCS di UGD adalah 7.3±3.7, dan rata-rata ± SD ISS adalah
30.6±12.6. AIS untuk kepala berkisar antara 3 dan 5, dengan sebagian besar
pasien (71%) memiliki AIS 5 (cedera berat). Rata-rata ± SD untuk lama rawat di
UGD adalah 93±85 menit. 64 pasien (60%) dirujuk ke ICU setelah resusitasi di
UGD. 43 pasien yang tersisa (40%) dibawa masuk ke ruang operasi untuk
tatalaksana operatif. Tidak ada perbedaan bermakna (P = 0.16) antara lama rawat
di UGD antara dua kelompok.

Dari 107 pasien, 51 (48%) di antaranya mengalami 1 atau lebih episode,


baik itu episode hipoksia atau hipotensi, selama resusitasi. 15 pasien (14%)
mengalami hipotensi dan hipoksia bersamaan. 26 pasien (25%) mengalami
setidaknya 1 episode hipotensi selama dirawat di UGD. Frekuensi episode
hipotensi ditunjukkan dalam Gambar 1A. Angka episode hipotensi berkisar dari
1 sampai 3, dengan rata-rata ± SD 1.5±0.7 episode per pasien. Durasi episode ini
berkisar dari 2 sampai 35 menit, dengan rata-rata ± SD-nya adalah 9.1±8.4 menit
(Gambar1B). 41 pasien (38%) mengalami setidaknya 1 episode hipoksia. Jumlah
episode hipoksia berkisar dari 1 sampai 10, dengan rata-rata ± SD adalah 2.1 ± 1.7
episode per pasien (Gambar 2A). Durasi episode hipoksia berkisar dari 1 sampai
45 menit, dengan rata-rata ± SD durasinya 8.7 ± 10.5 menit (Gambar 2B).

Jumlah
episode

Pasien Pasien

Gambar 1. Frekuensi (A) dan durasi (B) episode hipotensi selama resusitasi awal.
Setiap pasien dengan hipotensi (N = 26) digambarkan sebagai satu batang

Jumlah Durasi episode


hipoksia (menit)
episode

Pasien Pasien

Gambar 2. Frekuensi (A) dan durasi (B) episode hipoksia selama resusitas awal.
Setiap pasien dengan hipoksia (N = 41) digambarkan sebagai satu batang.

Dari 26 pasien dengan hipotensi, 17 di antaranya (65%) meninggal dunia


(P = 0.009). efek dari episode hipotensi berulang ditunjukkan dalam Gambar 3A.
Pasien dengan hanya 1 episode hipotensi memiliki angka kematian 53%
sedangkan semua pasien dengan 3 episode hipotensi meninggal. Berkebalikan
dengan hipotensi, hanya 18 (44%) dari 41 pasien hipoksia yang meninggal (P =
0.68). Dalam penelitian ini, pasien dengan 2 episode hipoksia memiliki angka
kematian yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan ≥ 3 episode hipoksi
(Gambar 3B). Durasi hipoksia tidak memiliki pengaruh yang bermakna terhadap
prognosis pasien. Rata-rata ± D durasi hipoksia untuk pasien hidup adalah 3.8 ±
9.3 menit vs 3.0 ± 5.2 menit pada pasien meninggal (P = 0.56). Dari 72 pasien
dengan cedera kepala saja, 30 (42%) di antaranya meninggal. Dari 35 pasien yang
mengalami cedera multipel di bagian tubuh lain, 16 (46%) di antaranya
meninggal. Tidak ada perbedaan bermakna dalam angka kematian antara 2
kelompok tersebut (P = 0.84). Dari 12 pasien dengan hipotensi dan cedera kepala
saja, 8 (67%) di antaranya meninggal, dan dari 14 pasien hipotensi dengan cedera
pada berbagai sistem organ, 9 (64%) di antaranya meninggal. Lagi-lagi, tidak ada
perbedaan bermakna dalam angka kematian antara kedua kelompok ini (P > 0.99).
Temuan ini juga didapatkan pada pasien dengan hipoksia. Dari 31 pasien dengan
hipoksia dan cedera kepala saja, 13 (42%) di antaranya meninggal, dan dari 10
pasien hipoksia dengan cedera multipel pada berbagai sistem organ, 5 (50%) di
antaranya meninggal (P = 0.73).

0 kejadian 0 kejadian
1 kejadian 1 kejadian
2 kejadian 2 kejadian
≥ 3 kejadian ≥ 3 kejadian

% pasien

Hidup Meninggal Hidup Meninggal

Gambar 3. Luaran pasien berdasarkan jumlah episode hipotensi (A) dan jumlah
episode hipoksia (B). persentase pasien yang meninggal meningkat seiring dengan
meningkatnya episode hipotensi, namun hal ini tidak ditemukan pada pasien
dengan hipoksia.

Angka kematian keseluruhan untuk penelitian ini adalah 43%. Dari semua
pasien meninggal, 59% meninggal dalam 24 jam setelah kedatangan. Analisis
yang teliti dari kematian ini menunjukkan bahwa semua kematian berkaitan
dengan cedera kepala berat; tidak ada pasien yang meninggal karena perdarahan
yang tidak terkontrol. Analisis univariat dari faktor prediktif dari kematian secara
keseluruhan dicantumkan dalam Tabel 2. Pasien dengan hipotensi selama
resusitasi 3 kali lebih cenderung untuk mengalami kematian dibandingkan pasien
tanpa hipotensi. Episode hipotensi berulang memiliki efek aditif, yaitu, ketika
angka episode meningkat dari 1 menjadi 2 atau lebih, maka odds ratio untuk
kematian meningkat dari 2 menjadi 8. Efek yang sama tidak terlihat pada
hipoksia. ISS yang tinggi, GCS awal yang rendah, dan usia tua semuanya
bermakna untuk kaitannya dengan kematian setelah cedera kepala. Analisis
multivariat dari faktor-faktor ini mengonfirmasi risiko independen yang bermakna
(P < 0.05) dari hipotensi, usia, ISS, dsan GCS pada pasien cedera otak berat (GCS
≤ 8). Apabila pasien dengan cedera kepala sedang (GCS 9-12) dimasukkan, maka
hipotensi bukan lagi faktor risiko independen.

Tabel 2 Analisis univariat faktor-faktor yang berkaitan dengan kematian


Odds Ratio Interval Kepercayaan
Faktor Risiko P
Kematian 95%
Hipotensi 3.39 1.34-8.56 0.009
- 1 episode 2.05 0.67-6.23 0.21
- ≥ 2 episode 8.07 1.63-39.9 0.01
Hipoksia 1.26 0.56-2.83 0.57
Usia 1.03 1.01-1.05 0.003
GCS (UGD) 0.77 0.68-0.88 <0.001
ISS 1.06 1.02-1.10 0.003
*GCS, Glasgow Coma Score; UD, unit gawat darurat; ISS, Injury Severity Score

Data prospektif untuk dampak hipotensi dan hipoksia terhadap luaran


neurologis dalam jangka waktu 3 bulan ditunjukkan dalam Tabel 3. Data-data ini
disajikan sebagai kategori eksklusif yang setara menggunakan format oleh
Chesnut dkk1 untuk Traumatic Coma Data Bank. Pemisahan data menjadi
kategori eksklusif setara menandakan efek substansial dari hipotensi terhadap
luaran neurologis, dengan 80% pasien meninggal pada bulan ketiga. Luaran
neurologis pasien dengan hipoksia saja tidak berbeda secara bermakna (P = 0.31)
dari pasien baik tanpa hipotensi maupun hipoksia. Dalam penelitian ini,
kombinasi hipotensi dan hipoksia tidak tampak aditif.

Tabel 3 Modifikasi GCS pada 3 bulan setelah keluar dari rumah sakit dengan
pengaruh sekunder (kategori eksklusif setara)
Luaran*
Cacat Berat
Pengaruh
Jumlah Baik atau atau dalam
Sekunder Meninggal
Pasien^ Cacat Sedang Kondisi
Vegetatif
Tanpa
hipoksia atau 51 10 (20) 18 (35) 23 (45)
hipotensi
Hipoksia 24 8 (33) 7 (29) 9 (38)
Hipotensi 10 1 (10) 1 (10) 8 (80)
Hipoksia dan
14 1 (7) 3 (21) 10 (71)
hipotensi
*Data disajikan dalam bentuk jumlah (persen) pasien
^Dari 107 pasien, 18 di antaranya lost to follow up
PEMBAHASAN

Observasi prospektif pasien dengan cedera otak sedang atau berat


menunjukkan hubungan yang signifikan antara frekuensi dan durasi episode
hipotensif dan luaran yang buruk. Walaupun hubungan antara hipotensi sistemik
dan luaran yang buruk dari cedera otak traumatis telah dilaporkan dalam
penelitian retrospektif,1,3 kami telah memperluas observasi ini untuk
mendefinisikan frekuensi dan durasi dari cedera otak sekunder yang berpotensi
untuk dicegah ini.

Cedera terhadap sistem saraf pusat bertanggungjawab untuk lebih banyak


kematian dan kecacatan yang lebih permanen, dan kondisi tersebut memiliki harga
perawatan yang lebih mahal dibandingkan jenis trauma lainnya. Cedera otak
traumatis dapat memburuk secara bermakna oleh kejadian sekunder di sekitar
cedera. Tampaknya, otak yang mengalami cedera sensitif terhadap gangguan
iskemik sekunder, yang dapat diperburuk oleh ketidakmampuan relatif untuk
meningkatkan aliran darah otak sebagai respons terhadap hipotensi, hipoksemia,
dan anemia akut.4 Aliran darah serebral secara bermakna berkurang setelah
cedera, dan kerusakan otak iskemik ditemukan pada 90% pasien cedera kepala
saat otopsi.5 Walaupun patogenesis kerusakan otak iskemik pasca cedera masih
belum diketahui secara utuh, hal tersebut lebih banyak ditemukan pada pasien
yang telah mengalami episode klinis hipoksia atau hipotensi yang telah diketahui
atau yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial. Oleh karena itu,
menghindari terjadinya iskemia adalah langkah paling tepat untuk memperbaiki
luaran pasien dengan cedera otak berat.

Gagasan bahwa gangguan dini terhadap otak yang cedera berkaitan dengan
luaran yang lebih buruk bukanlah suatu konsep baru. Lebih dari 20 tahun yang
lalu, Miller dkk3 secara retrospektif meneliti 100 pasien dengan cedera kepala
yang serius dan menemukan bahwa 44 di antaranya mengalami hipotensi arteri,
anemia, hiperkapnea, atau hipoksia saat masuk ke UGD. Walaupun anemia dan
hipotensi paling banyak ditemukan pada pasien dengan cedera multisistem,
adanya 1 atau kedua gangguan ini saat masuk rumah sakit secara signifikan akan
memperburuk luaran pasien. Hipoksia ditemukan pada pasien dengan cedera
kepala saja dan pada pasien dengan cedera multipel serta berkaitan dengan luaran
yang lebih buruk pada kedua kelompok dibandingkan dengan pasien tanpa
hipoksia. Peneliti menyatakan bahwa prevalensi gangguan sistemik yang tinggi
saat kedatangan ke rumah sakit akan menurunkan secara besar-besaran efektivitas
perawatan bedah saraf agresif yang diterima setelah masuk rumah sakit.

Chesnut dkk1 meninjau data dari Traumatic Coma Data Bank untuk
menginvestigasi lebih lanjut peran dari durasi hipotensi, demam, dan kejadian
hipoksik. Gangguan seperti hipotensi juga secara bermakna berkaitan dengan
luaran yang buruk pada waktu 12 bulan setelah cedera

Winchell dkk12 juga meninjau kejadian hipotensi sementara yang terjadi di


ICU pada pasien cedera kepala. Dari 157 pasien dengan cedera kepala berat (AIS
> 4), ditemukan 831 episode hipotensi sistolik (55% dari pasien). Sebagian besar
kejadian ini terjadi cukup singkat (< 1 jam). Angka kematian meningkat dari 9%
(pasien tanpa kejadian hipotensi dalam ICU) menjadi 25% pada pasien dengan 1-
10 kejadian, dan bahkan mencapai 37% pada pasien dengan > 10 kejadian
hipotensi. Pemulihan fungsional cukup untuk pulang ke rumah menurun dari 61%
pada pasien tanpa hipotensi menjadi 25% pada pasien dengan >10 kejadian
hipotensi.

Marmarou dkk13 meninjau data dari Traumatic Coma Data Bank untuk
menilai efek instabilitas tekanan intrakranial dalam ICU dan hipotensi terhadap
luaran pasien dengan trauma kepala berat. Dari basis data total 1030 pasien, 428
dengan monitor tekanan intrakranial dan data luarannya dipilih untuk dimasukkan
ke dalam penelitian ini. Dengan menggunakan model regresi logistik, usia, skor
motorik saat kedatangan, dan pupil abnormal sangat bermakna dalam menentukan
luaran pasien. Namun, di samping faktor-faktor ini, proporsi hasil tekanan
intrakranial per jam di atas 20 mmHg dan proporsi tekanan darah sistolik per jam
< 80 mmHg sangat bermakna untuk menentukan luaran pasien. Chesnut 14 juga
menyatakan bahwa episode hipotensi pada fase ICU cukup umum terjadi (>25%)
dan bahwa episode-episode tersebut tampaknya merupakan prediktor bermakna
dari luaran yang buruk terlepas dari penyebabnya dan gangguan sekunder
praresusitasi.

Di sisi lain dari spektrum ini, masih sedikit yang diketahui tentang episode
hipotensi dan hipoksia yang terjadi sebelum kedatangan ke rumah sakit pada
pasien dengan trauma otak. Dalam suatu penelitian, Carrel dkk 15 menjelaskan
kejadian gangguan sekunder yang terjadi selama transportasi helikopter dengan
dokter anestesi yang mendampingi. Dalam suatu kelompok pasien dengan jumlah
51 orang dengan cedera kepala berat (GCS ≤ 8) yang diselamatkan dengan
helikopter medis, dilakukan protokol bantuan hidup tingkat lanjut, seperti
intubasi, hiperventilasi dengan fraksi oksigen inspirasi 1, dan restorasi tekanan
darah sistolik ke > 95 mmHg. 19 pasien masuk rumah sakit tanpa gangguan
sistemik sekunder terhadap otak, dan 42% di antaranya mengalami GOS yang
buruk pada bulan ketiga. 32 pasien mengalami ≥ 1 gangguan sekunder yang
dikenali, dan 72% dari mereka mengalami GOS yang rendah pada bulan ketiga.
Dari penelitian ini, sudah jelas bahwa beberapa, namun tidak semua, gangguan
sistemik sekunder terhadap otak yang sudah cedera dapat dihindari bahkan dengan
bantuan hidup tingkat lanjut di TKP dan selama transportasi pasien. Namun,
ketika hal tersebut terjadi, gangguan sistemik sekunder pra-rumah sakit memiliki
dampak utama terhadap prognosis pasien dengan cedera kepala berat.

Penelitian kami unik dalam hal satu-satunya penelitian prospektif yang


kami ketahui, yang dirancang secara spesifik untuk menjelaskan frekuensi dan
durasi kejadian hipotensi dan hipoksia pada fase resusitasi awal setelah cedera
kepala sedang sampai berat. Seperti yang telah disimpulkan oleh penelitian-
penelitian sebelumnya,1-3 kami mengonfirmasi bahwa hipotensi dini memiliki
dampak langsung terhadap luaran neurologis dan angka kematian pasien. Di
samping itu, seperti halnya penelitian ICU oleh Winchell dkk 12 kami menemukan
bahwa episode hipotensi berulang pada fase resusitasi awal secara dramatis akan
memperburuk luaran pasien. Meskipun masih intuitif bahwa hipotensi dan
hipoksia akan lebih cenderung terjadi pada pasien dengan cedera yang berkaitan,
kami menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara frekuensi kejadian ini dengan
luaran pasien antara yang mengalami cedera kepala saja dengan yang mengalami
cedera multipel. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa episode hipotensi
dan hipoksia pada pasien dengan cedera kepala saja mungkin bersifat neurogenik,
seperti yang dinyatakan oleh Chesnut dkk.16

Hubungan antara hipoksia dengan angka kematian dalam penelitian kami


tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan temuan Pigula dkk 2, namun berbeda dari
analisis retrospektif Chesnut dkk.1 Ada beberapa alasan mengapa hal ini bisa
terjadi. Pertama, dalam penelitian kami, hipoksia diukur dengan oksimetri dan
tidak divalidasi dengan analisis gas darah. Karenanya, masih mungkin bahwa
episode hipoksia tidak terdeteksi atau artifaktual. Data kami menunjukkan
peningkatan frekuensi hipoksia pada pasien dengan luaran yang baik akan
mendukung hipotesis terakhir. Kedua, populasi penelitian kami berbeda. Pasien
kami, dengan usia median 42 tahun, lebih tua daripada pasien dari Traumatic
Coma Data Bank (usia median 25 tahun) dan rata-rata GCS saat kedatangan kami
lebih tinggi (7 vs 3). Efek dari inkluasi pasien dengan cedera kepala sedang
terlihat dalam hasil analisis multivariat, di mana hipotensi adalah prediktor
independen dari luaran pasien hanya pada pasien GCS ≤ 8. Investigasi lebih lanjut
mengenai efek hipotensi dan hipoksia pada pasien dengan cedera kepala sedang
masih diperlukan karena efek fisiologis gangguan sekunder ini mungkin berbeda
pada populasi tersebut. Meskipun kami mampu menunjukkan hubungan bermakna
antara hipotensi dan GOS, luaran 3 bulan sangat dipengaruhi oleh kematian yang
terjadi pada tahap-tahap awal tatalaksana trauma. Perbaikan luaran neurologis
cenderung diperlukan untuk menilai dampak gangguan sekunder ini sepenuhnya,
khususnya pada pasien cedera kepala ringan atau sedang.
Kami telah mencatat frekuensi dan durasi hipotensi dan hipoksia selama
fase awal tatalaksana trauma setelah cedera otak secara prospektif. Hubungan
antara hipotensi dan kematian sangat kuat, dan gangguan berulang bersifat aditif
terhadap dampak negatifnya pada kematian. Data kami menunjukkan bahwa,
bahkan pada pusat trauma level 1, pengaruhhipotensi terhadap luaran cedera
kepala masih belum diperhatikan sepenuhnya. Pencegahan cedera dapat
menurunkan jumlah cedera otak absolut, namun usaha untuk memperbaiki deteksi
dan pencegahan hipotensi berpotensi menurunkan jumlah kematian dari cedera
otak sekunder.

Anda mungkin juga menyukai