Geoffrey Manley, MD, PhD; M. Margaret Knudson, MD; Diane Morabito, RN,
MPH; Susan Damron, MS, RN; Vanessa Erickson, BA; Lawrence Pitts, MD
Hipotesis: Episode dini hipoksia dan hipotensi yang terjadi pada resusitasi awal
akan menyebabkan dampak yang bermakna terhadap prognosis pasien setelah
mengalami cedera otak akibat trauma.
Pasien: Pasien dengan cedera otak akibat trauma yang memiliki Glasgow Coma
Score (GCS) ≤ 12 dalam 24 jam pertama masuk rumah sakit dan hasil CT scan
menunjukkan gambaran patologis intrakranial. Pasien yang meninggal di UGD
dieksklusi dari penelitian ini.
Luaran Utama: Tekanan darah dan hasil oksimetri yang diperiksa secara
otomatis akan dicatat secara prospektif dari waktu kedatangan pasien dan selama
resusitasi awal. Jumlah dan durasi kejadian hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90
mmHg) dan hipoksia (saturasi oksigen ≤ 92%) akan dianalisis untuk menilai
hubungannya dengan angka kematian dan efek samping neurologis yang terjadi.
Hasil: 107 pasien memenuhi kriteria inklusi penelitian (GCS median, 7). Angka
kematian keseluruhan adalah 43%. 23 pasien (24%) mengalami hipotensi di UGD,
dengan rata-rata 1.5 episode per pasien (durasi rata-rata 9.1 menit). Dari 26 pasien
dengan hipotensi, 17 (65%) di antaranya meninggal (P = 0.1). Ketika angka
episode hipotensi meningkat dari 1 menjadi 2 atau lebih, odds ratio untuk
kematian meningkat dari 2.1 menjadi 8.1. 41 pasien (38%) mengalami hipoksia,
dengan rata-rata 2.1 episode per pasien (durasi rata-rata 8.7 menit). Dari 41 pasien
dengan hipoksia ini, 18 (44%) di antaranya meninggal dunia (P = 0.68).
PENDAHULUAN
Cedera otak adalah penyebab utama kematian akibat trauma. Otak yang
mengalami cedera sangat rentan terhadap cedera otak sekunder, yang dapat
disebabkan oleh kejang, peningkatan suhu tubuh, hipoksia, dan hipotensi.
Hipoksia dan hipotensi ini dapat terjadi segera setelah cedera, ketika otak sangat
rentan terhadap iskemia. Penelitian retrospektif1,2 dari basis data penelitian besar
(Traumatic Coma Data Bank dan National Pediatric Trauma Registry) telah
menunjukkan bahwa hipotensi dini setelah cedera otak meningkatkan angka
kematian hingga dua kali lipat. Pengaruh hipoksia terhadap kematian tidak terlalu
dramatis, namun belum diteliti secara intensif dalam penelitian prospektif. Di
samping itu, masih sedikit yang diketahui tentang luaran atau prognosis pasien
yang mengalami cedera otak sekunder dini namun masih bertahan hidup. Kami
melakukan investigasi ini untuk mempelajari secara prospektif frekuensi dan
durasi cedera otak sekunder yang terjadi selama fase resusitasi awal untuk cedera
kepala berat ke sedang. Kami menduga bahwa episode dini hipoksia dan hipotensi
akan memberikan dampak bermakna terhadap prognosis pasien setelah cedera
otak akibat trauma,
HASIL
Jumlah
episode
Pasien Pasien
Gambar 1. Frekuensi (A) dan durasi (B) episode hipotensi selama resusitasi awal.
Setiap pasien dengan hipotensi (N = 26) digambarkan sebagai satu batang
Pasien Pasien
Gambar 2. Frekuensi (A) dan durasi (B) episode hipoksia selama resusitas awal.
Setiap pasien dengan hipoksia (N = 41) digambarkan sebagai satu batang.
0 kejadian 0 kejadian
1 kejadian 1 kejadian
2 kejadian 2 kejadian
≥ 3 kejadian ≥ 3 kejadian
% pasien
Gambar 3. Luaran pasien berdasarkan jumlah episode hipotensi (A) dan jumlah
episode hipoksia (B). persentase pasien yang meninggal meningkat seiring dengan
meningkatnya episode hipotensi, namun hal ini tidak ditemukan pada pasien
dengan hipoksia.
Angka kematian keseluruhan untuk penelitian ini adalah 43%. Dari semua
pasien meninggal, 59% meninggal dalam 24 jam setelah kedatangan. Analisis
yang teliti dari kematian ini menunjukkan bahwa semua kematian berkaitan
dengan cedera kepala berat; tidak ada pasien yang meninggal karena perdarahan
yang tidak terkontrol. Analisis univariat dari faktor prediktif dari kematian secara
keseluruhan dicantumkan dalam Tabel 2. Pasien dengan hipotensi selama
resusitasi 3 kali lebih cenderung untuk mengalami kematian dibandingkan pasien
tanpa hipotensi. Episode hipotensi berulang memiliki efek aditif, yaitu, ketika
angka episode meningkat dari 1 menjadi 2 atau lebih, maka odds ratio untuk
kematian meningkat dari 2 menjadi 8. Efek yang sama tidak terlihat pada
hipoksia. ISS yang tinggi, GCS awal yang rendah, dan usia tua semuanya
bermakna untuk kaitannya dengan kematian setelah cedera kepala. Analisis
multivariat dari faktor-faktor ini mengonfirmasi risiko independen yang bermakna
(P < 0.05) dari hipotensi, usia, ISS, dsan GCS pada pasien cedera otak berat (GCS
≤ 8). Apabila pasien dengan cedera kepala sedang (GCS 9-12) dimasukkan, maka
hipotensi bukan lagi faktor risiko independen.
Tabel 3 Modifikasi GCS pada 3 bulan setelah keluar dari rumah sakit dengan
pengaruh sekunder (kategori eksklusif setara)
Luaran*
Cacat Berat
Pengaruh
Jumlah Baik atau atau dalam
Sekunder Meninggal
Pasien^ Cacat Sedang Kondisi
Vegetatif
Tanpa
hipoksia atau 51 10 (20) 18 (35) 23 (45)
hipotensi
Hipoksia 24 8 (33) 7 (29) 9 (38)
Hipotensi 10 1 (10) 1 (10) 8 (80)
Hipoksia dan
14 1 (7) 3 (21) 10 (71)
hipotensi
*Data disajikan dalam bentuk jumlah (persen) pasien
^Dari 107 pasien, 18 di antaranya lost to follow up
PEMBAHASAN
Gagasan bahwa gangguan dini terhadap otak yang cedera berkaitan dengan
luaran yang lebih buruk bukanlah suatu konsep baru. Lebih dari 20 tahun yang
lalu, Miller dkk3 secara retrospektif meneliti 100 pasien dengan cedera kepala
yang serius dan menemukan bahwa 44 di antaranya mengalami hipotensi arteri,
anemia, hiperkapnea, atau hipoksia saat masuk ke UGD. Walaupun anemia dan
hipotensi paling banyak ditemukan pada pasien dengan cedera multisistem,
adanya 1 atau kedua gangguan ini saat masuk rumah sakit secara signifikan akan
memperburuk luaran pasien. Hipoksia ditemukan pada pasien dengan cedera
kepala saja dan pada pasien dengan cedera multipel serta berkaitan dengan luaran
yang lebih buruk pada kedua kelompok dibandingkan dengan pasien tanpa
hipoksia. Peneliti menyatakan bahwa prevalensi gangguan sistemik yang tinggi
saat kedatangan ke rumah sakit akan menurunkan secara besar-besaran efektivitas
perawatan bedah saraf agresif yang diterima setelah masuk rumah sakit.
Chesnut dkk1 meninjau data dari Traumatic Coma Data Bank untuk
menginvestigasi lebih lanjut peran dari durasi hipotensi, demam, dan kejadian
hipoksik. Gangguan seperti hipotensi juga secara bermakna berkaitan dengan
luaran yang buruk pada waktu 12 bulan setelah cedera
Marmarou dkk13 meninjau data dari Traumatic Coma Data Bank untuk
menilai efek instabilitas tekanan intrakranial dalam ICU dan hipotensi terhadap
luaran pasien dengan trauma kepala berat. Dari basis data total 1030 pasien, 428
dengan monitor tekanan intrakranial dan data luarannya dipilih untuk dimasukkan
ke dalam penelitian ini. Dengan menggunakan model regresi logistik, usia, skor
motorik saat kedatangan, dan pupil abnormal sangat bermakna dalam menentukan
luaran pasien. Namun, di samping faktor-faktor ini, proporsi hasil tekanan
intrakranial per jam di atas 20 mmHg dan proporsi tekanan darah sistolik per jam
< 80 mmHg sangat bermakna untuk menentukan luaran pasien. Chesnut 14 juga
menyatakan bahwa episode hipotensi pada fase ICU cukup umum terjadi (>25%)
dan bahwa episode-episode tersebut tampaknya merupakan prediktor bermakna
dari luaran yang buruk terlepas dari penyebabnya dan gangguan sekunder
praresusitasi.
Di sisi lain dari spektrum ini, masih sedikit yang diketahui tentang episode
hipotensi dan hipoksia yang terjadi sebelum kedatangan ke rumah sakit pada
pasien dengan trauma otak. Dalam suatu penelitian, Carrel dkk 15 menjelaskan
kejadian gangguan sekunder yang terjadi selama transportasi helikopter dengan
dokter anestesi yang mendampingi. Dalam suatu kelompok pasien dengan jumlah
51 orang dengan cedera kepala berat (GCS ≤ 8) yang diselamatkan dengan
helikopter medis, dilakukan protokol bantuan hidup tingkat lanjut, seperti
intubasi, hiperventilasi dengan fraksi oksigen inspirasi 1, dan restorasi tekanan
darah sistolik ke > 95 mmHg. 19 pasien masuk rumah sakit tanpa gangguan
sistemik sekunder terhadap otak, dan 42% di antaranya mengalami GOS yang
buruk pada bulan ketiga. 32 pasien mengalami ≥ 1 gangguan sekunder yang
dikenali, dan 72% dari mereka mengalami GOS yang rendah pada bulan ketiga.
Dari penelitian ini, sudah jelas bahwa beberapa, namun tidak semua, gangguan
sistemik sekunder terhadap otak yang sudah cedera dapat dihindari bahkan dengan
bantuan hidup tingkat lanjut di TKP dan selama transportasi pasien. Namun,
ketika hal tersebut terjadi, gangguan sistemik sekunder pra-rumah sakit memiliki
dampak utama terhadap prognosis pasien dengan cedera kepala berat.