PENDAHULUAN
Beberapa prinsip MNS dijelaskan lebih rinci di Bab 7. Singkatnya, perubahan medan
magnet yang cepat memicu arus listrik pada jaringan di bawahnya yang proporsional
terhadap konduktivitas jaringan. Konduktivitas jaringan rendah pada jaringan ikat,
lemak, dan tulang, serta tinggi pada jaringan saraf dan cairan tubuh tertentu, misalnya
cairan serebrospinal. Oleh karena itu, denyut magnetik yang besar mungkin cukup
untuk memicu stimulasi struktur saraf profunda namun masih tidak cukup untuk
memicu eksitasi reseptor nyeri pada kulit di bawah coil stimulan. Walaupun medan
magnet tidak dilemahkan oleh struktur perantara berimpedansi tinggi, efektivitasnya
menurun seiring dengan jauhnya jarak yang ditempuh dari coil stimulan atau dengan
kedalaman jaringan, walaupun lebih kurang dibandingkan stimulasi elektrik bipolar
perkutan. Jarak antara posisi coil dengan saraf yang distimulasi yang lebih dekat akan
selalu menghasilkan eksitasi yang lebih efisien. Arus listrik paling efektif dalam
mendepolarisasi akson untuk mencapai ambang jika arusnya berjalan sepanjang aksis
longitudinal akson tersebut (Reilly, 1989; Maccabee dkk, 1991a). Pada studi saraf
perifer, hal ini berarti coil sirkular paling optimal diletakkan pada tepi tangensial atau
berorientasi ortogonal-longitudinal terhadap aksis saraf (Maccabee dkk, 1988). Desain
figure-of-eight memungkinkan coil harus meliputi kedua sisi dari perjalanan saraf.
Namun, terdapat pengecualian terhadap aturan tersebut dimana arah dari arus induksi
maksimal juga ditentukan oleh orientasi coil. Arus induksi dapat tersiar pada jaringan-
jaringan inhomogen seperti antar tulang dan jaringan lunak (Epstein dkk, 1991;
Maccabee dkk, 1991b) atau antara otot dan lemak (Kobayashi dkk, 1997). Karena
distribusi medan magnet lebih difus dengan coil sirkular besar dibandingkan coil figure-
of-eight, inhomogenitas jaringan tersebut memberikan efek yang lebih besar pada coil
sirkular. Oleh karena itu, desain figure-of-eight lebih baik dibandingkan desain sirkular
untuk stimulasi saraf perifer (Olney dkk, 1990); walaupun hal ini masih dipertanyakan
oleh peneliti lainnya (Bischoff dkk, 1993b). Ambang eksitasi dapat berubah sepanjang
perjalanan saraf jika aksonnya tertekuk (Maccabee dkk, 1993). Signifikansi fakta ini
terhadap stimulasi radiks saraf dan saraf kranial dibahas di bawah. Pada saraf motorik
superfisial, arus induksi paling efektif jika berjalan dari lokasi distal ke proksimal.
Karena arah arus induksi berlawanan dengan arah arus coil pada stimulator monofasik,
hal ini menandakan bahwa arus coil harus berjalan dari proksimal ke distal untuk
stimulasi yang lebih efisien.
Ada berbagai macam penelitian yang mempelajari aplikasi praktis dan kekurangan
teoritis dari MNS. Karena komponen perangkat keras yang bervariasi, perbandingan
langsung antar studi sulit untuk dilakukan. Bischoff dkk (1993b) menjelaskan bahwa
saraf motorik dan sensorik superfisial yang diperiksa menggunakan studi konduksi
konvensional dapat distimulasi pada intensitas supramaksimal dengan menggunakan
MNS. Hal ini dipaparkan dalam studinya mengenai perbandingan berbagai jenis desain
coil. Oleh karena itu, MNS memenuhi salah satu prasyarat studi konduksi saraf yang
relevan secara diagnostik. Walaupun beberapa studi menyarankan bahwa ambang
depolarisasi relatif stimulasi saraf sensorik dan motorik dengan MNS dapat berbeda dari
ENS (Lotz dkk, 1989; Olney dkk, 1990), hal ini tidak begitu berpotensi mempengaruhi
manfaat umum MNS karena intensitas supramaksimal digunakan dalam studi saraf
perifer konvensional. Namun, sejumlah masalah lain mengenai MNS dapat membatasi
penggunaannya dalam neurofisiologi klinis dalam berbagai tingkatan. Pembahasannya
(di bawah) juga berperan sebagai pedoman untuk mengevaluasi perkembangan teknis
MNS di masa depan. Penggunaan MNS untuk evaluasi bagian spesifik sistem saraf
perifer dipaparkan dalam bagian-bagian selanjutnya.
Pengetahuan mengenai saraf mana yang distimulasi adalah titik acuan pentingnya
interpretasi studi konduksi saraf. Aturannya, dengan ENS bipolar, lokasi eksitasi adalah
di bawah katoda dan karena luas spasial kutub stimulan yang terbatas, lokasi eksitasi
dapat ditentukan dengan mudah untuk mengukur kecepatan konduksi saraf. Coil
magnetik dan lapangan induksi yang diproduksi secara komersial memiliki dimensi
spasial yang lebih luas dibandingkan dua kutub yang digunakan pada ENS
konvensional. Oleh karena itu, pertanyaan dimana dalam kaitannya dengan coil adalah
katoda virtual menggambarkan masalah utama dari penggunaan MNS sebagai modalitas
klinis. Nilson dkk (1992) menunjukkan bahwa tidak ada jawaban unik untuk pertanyaan
ini karena lokasi katoda virtual bergantung pada desain coil-nya. Bahkan pada coil
tertentu, lokasi katoda terhadap coil tersebut bisa jadi tidak konstan, dapat bervariasi
dengan kedalaman dan kekuatan stimulasi (Maccabee dkk, 1988). Faktor-faktor penting
lainnya yang berperan dalam ketidakpastian lokasi katoda virtual adalah bentuk
gelombang medan magnet dan posisi serta orientasi coil relatif terhadap saraf (Polson
dkk, 1982; Dressler dkk, 1988; Olney dkk, 1990; Bischoff dkk, 1995). Walaupun sudah
ada studi stimulasi yang berhasil (Maccabee dkk, 1988; Reilly, 1989, Ruohonen dkk,
1995; Ruohonen dkk, 1996), penelitian-penelitian tersebut tidak memungkinkan tingkat
kepercayaan dan prediksi yang praktis secara setara mengenai lokasi katoda virtual
dalam praktik klinis.
Pertanyaan terkait di mana katoda virtual terletak sehubungan dengan coil-nya adalah
apakah lokasi katoda virtual khas untuk semua serabut saraf yang distimulasi, atau
apakah ada perpecahan sepanjang aksis longitudinal saraf. Cros dkk (1990) menilai
dispersi longitudinal stimulus magnetik melalui eksperimen tumbukan. Kurva
pemulihan tumbukan lebih tersebar dengan stimulasi magnetik dibandingkan stimulasi
elektrik. Serabut yang besar terstimulasi lebih jauh dari coil dibandingkan yang kecil.
Pertanyaan ini belum dialamatkan secara sistematis dalam studi-studi terbaru dengan
desain coil yang berbeda.
Dimensi fisik coil magnetik berkisar dari diameter 4 cm hingga 15 cm untuk coil
sirkular dan figure-of-eight sehingga tidak memungkinkan penempatan yang akurat
pada area tubuh yang kurang mudah dijangkau seperti fossa supraclavicularis dan
malleolus lateralis, dimana ruangnya cukup terbatas. Karena itu, coil tidak bisa
diletakkan langsung pada kulit bagian-bagian tubuh ini, meski tetap tergantung pada
anatomi individunya, dan coil hanya dapat dipasang pada jarak yang lebih jauh dari
saraf target, sehingga mengurangi kekuatan medan dan fokalitasnya. Seperti yang
dijelaskan di atas, coil secara optimal berorientasi sesuai dengan saraf targetnya jika
arus listrik induksi paralel terhadap aksis longitudinal aksonnya (Reilly, 1989;
Maccabee dkk, 1991b). Seringkali, kita tidak mungkin meletakkan coil sesuai aturan ini
karena sebagian besar handle coil berada di bidang yang sama dengan lilitannya, atau
sayapnya terlalu membentang ke bagian sisi.
Medan magnet yang signifikan juga dapat terbentuk di bawah coil pada jarak yang
menghasilkan eksitasi ke saraf. Hal ini menimbulkan kontaminasi terhadap potensial
yang direkam akibat adanya potensial yang diinduksi oleh koaktivasi trunkus saraf lain
(seperti nervus medianus pada stimulasi distal nervus ulnaris) dan otot (Chokroverty,
1989). Lokalisasi lokasi stimulasi yang keliru akibat kesalahan sumber ini dapat
diminimalisasi oleh diameter coil yang kecil dan perekaman potensial multi-kanal.
Sinyal artefak seringkali dihasilkan oleh MNS. Hal ini sangat mempengaruhi tidak
hanya hasil pemeriksaan saraf sensorik (Evans dkk, 1988) atau perekaman potensial
somatosensorik (Kunesch dkk, 1993), namun juga dapat berkaitan dengan studi
konduksi motorik jika posisi coil-nya dekat dengan lokasi perekaman (Bischoff dkk,
1993b). Kadang-kadang, menempatkan penghalang seperti jejaring kawat atau
penghalang lainnya antara coil dan lokasi perekaman dapat meminimalisasi artefak ini.
Overheating coil magnetik adalah masalah yang lebih penting dalam protokol stimulasi
repetitif seperti yang digunakan pada studi konduksi saraf sensorik atau studi transmisi
neuromuskular (Bischoff dkk, 1994).
Berbeda dengan temuan Evans dkk (1990), latensi dan amplitudo CMAP serupa untuk
kedua modalitas stimulasi pada pasien entrapment nervus ulnaris di sulcus ulnaris
(Gambar 17.1). Namun, pada dua pasien dengan polineuropati demielinasi inflamasi
kronis (CIDP), kapasitas stimulator tidak cukup besar untuk menimbulkan respons yang
maksimal. Pada individu intak, intensitas stimulator magnetik mendekati maksimal juga
kadang diperlukan untuk memicu amplitudo maksimal beberapa saraf sehingga hasilnya
dapat diprediksi. Sayangnya, studi mengenai kegunaan MNS pada sejumlah besar
pasien masih sangat sedikit.
Gambar 17.1 Perbandingan stimulasi saraf elektrik konvensional (ENS) dan magnetik (MNS) yang
dilakukan dengan coil magnetik terbaru (untuk rincian teknis, baca teks). Contoh perekaman seorang
pasien dengan sindrom entrapment nervus ulnaris di sulcus ulnaris. Perhatikan kemiripan latensi,
amplitude, dan bentuk kedua lokasi stimulasi. Distal: 5 cm distal, proksimal: 5 cm proksimal dari sulcus
ulnaris.
APLIKASI SPESIFIK MNS KONVENSIONAL PERIFER
Dengan menggunakan MNS, SEP dapat dicetuskan di kulit kepala (Zarola dan Rossini,
1991; Kunesch dkk, 1993). Latensinya dapat dibandingkan dengan SEP yang dipicu
oleh stimulasi listrik konvensional, namun amplitudonya bisa lebih kecil (zaola dan
Rossin, 1991). SEP yang dihasilkan oleh stimulasi magnetik pada otot tampaknya
mencerminkan aktivasi langsung aferen terminal pada otot dibandingkan aktivitas
aferen akibat kedutan otot (Kunesch dkk, 1993; Zhu dkk, 1996).
Stimulasi saraf elektrik berulang digunakan pada pasien yang dicurigai mengalami
gangguan transmisi neuromuskular untuk menguji penurunan atau peningkatan respons
otot yang dipicu. Prosedur ini menimbulkan rasa tidak nyaman yang cukup bermakna,
khususnya dengan stimulasi berfrekuensi tinggi. Dengan menggunakan stimulator
repetitif Cadwell berkecepatan tinggi, Bischoff dkk (1994) menunjukkan bahwa nyeri
dapat diturunkan secara substansial namun tidak secara sempurna, jika stimulasi
magnetik berulang yang digunakan adalah yang berfrekuensi rendah (3 Hz). Pada
sekitar 10% pemeriksaan, saraf target tidak dapat distimulasi secara supramaksimal dan
overheating coil stimulator memerlukan jeda antarpemeriksaan yang sering. Stimulasi
berfrekuensi tinggi (30 Hz atau 50 Hz) tidak dilakukan.
Nervus Phrenicus
Pulsa magnetik servikal tunggal dapat digunakan untuk menstimulasi nervus phrenicus
dan menentukan waktu konduksi saraf tersebut. Waktu konduksi tidak serupa antara
stimulasi elektrik dan magnetik servikal (Similowski dkk, 1997). Dengan stimulasi
elektrik, waktu konduksi tidak bergantung pada intensitas stimulasi, namun berbeda
dengan studi lain oleh kelompok sebelumnya (Chokoverty dkk, 1995), waktu konduksi
sangat dipengaruhi oleh intensitas stimulasi magnetik, sehingga menandakan lokasi
eksitasi yang lebih distal seiring dengan tingginya kekuatan medan magnet. Rekaman
tekanan trans diafragmatik menunjukkan kelelahan diafragma berfrekuensi rendah
dengan penggunaan stimulasi magnetik servikal berpasangan pada interval yang pendek
(Folkey dkk, 1997).
Nervus Intercostalis
Waktu konduksi motorik sentral dapat dinilai dengan mengurangi waktu konduksi
bagian perifer jalur motor dari latensi maximum evoked potential (MEP) total yang
diukur setelah TMS. Perkiraan paling akurat dari konduksi motorik perifer diperoleh
dari studi gelombang F; namun, gelombang F seringkali memiliki latensi yang
bervariasi dan tidak dapat diperoleh dari saraf yang mengalami penyakit. Stimulasi
listrik langsung pada radiks saraf menggunakan jarum monopolar sebagai katoda adalah
alternatif untuk pemeriksaan gelombang F, namun metode ini nyeri, invasif, dan
memerlukan pengalaman teknis, sehingga tidak rutin dilakukan.
Ketika stimulasi magnetik dilakukan di atas kolumna spinalis servikal dan lumbal
dengan coil sirkular konvensional, ambang dan amplitudo responnya bergantung pada
posisi coil dan arah arus di dalamnya. Namun, berbeda dengan penelitian mengenai
sistem saraf perifer dan MNS, latensi potensial yang dipicu tidak bergantung secara
kritis baik pada posisi coil atau arah arus listrik (Ugawa dkk, 1989; Britton dkk, 1990),
sehingga membuat teknik ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan rutin (Gambar
17.2).
Gambar 17.2 Prinsip stimulasi radiks saraf. Ilustrasi di atas menggambarkan pemosisian optimal dengan
menggunakan coil sirkular berdiameter 12 cm. Respons terbesar otot biceps diperoleh ketika coil
diletakkan di atas processus spinosus posterior C6/C7; otot interosseus dorsalis pertama (fdi) ketika coil
di atas C4/C5; otot quadriceps (quads) ketika coil di atas L2; dan otot extensor digitorum brevis (edb)
ketika coil di atas S2/S3. Pada posisi-posisi di atas, lilitan coil berada di atas radiks saraf yang tepat
(biceps C5/C6; fdi T1; quadriceps L2/L3; edb (L5/S1).
Dibandingkan dengan stimulasi listrik radiks saraf spinal, latensi yang diperoleh dari
stimulasi magnetik memberikan hasil yang serupa (Ugawa dkk, 1989). Latensi stimulasi
elektrik radiks saraf pada vertebra servikal atau lumbal adalah sekitar 1.3 milidetik
(stimulasi servikal) dan 3 milidetik (stimulasi lumbal) lebih singkat dibandingkan waktu
konduksi motorik perifer yang diperkirakan dengan teknik gelombang F (Ugawa dkk,
1989, Britton dkk, 1990). Temuan ini menandakan bahwa lokasi aktivasi oleh stimulasi
magnetik sangat mirip dengan yang diaktivasi oleh stimulasi elektrik monopolar, dan
kedua lokasi tersebut berada di distal zona keluarnya radiks anterior medulla spinalis,
kemungkinan pada atau di dalam foramen intervertebralis. Hal ini juga sesuai dengan
studi teoretis yang menyarankan untuk berfokus pada arus listrik induksi pada foramina
(Maccabee dkk, 1991b) dan menurunkan ambang eksitasi pada lekukan akson
(Maccabee dkk, 1993). Untuk menghitung waktu konduksi motorik sentral sebagai
ukuran diagnostik klinis, banyak laboratorium yang menggunakan perbedaan antara
latensi MEP total dan latensi MEP pada stimulasi magnetik radiks saraf, sehingga
mengabaikan bahwa waktu konduksi untuk segmen intraspinal radiks saraf dimasukkan
ke dalam waktu konduksi motorik sentral. Ketepatan pengukuran ini diperlukan untuk
berbagai tujuan, namun beberapa gangguan bisa mempengaruhi radiks saraf eara
selektif, seperti herniasi diskus, atau neuropati demielinasi akut jenis Guillain-Barre,
sehingga kegagalan untuk mempertimbangkan segmen perifer intraspinal bisa
mengarahkan ke diagnosis yang keliru.
Dibandingkan dengan stimulasi listrik langsung pada radiks saraf spinal, amplitudo
potensial yang dipicu oleh MNS ternyata lebih kecil (Evans dkk, 1988; Britton dkk,
1990; Macdonnell dkk, 1992). Konfigurasi respons setelah stimulasi magnetik
paravertebra serupa dengan gelombang M standar yang dipicu secara elektris pada otot-
otot kecil tangan, namun tidak serupa dengan otot ekstremitas bawah. Hal ini
kemungkinan menunjukkan bahwa beberapa komponen respons otot ekstremitas bawah
setelah stimulasi magnetik dapat mencerminkan gelombang F atau refleks H (Britton
dkk, 1990; Chokroverty dkk, 1993).
Penilaian Radikulopati
Keputusan klinis dalam radikulopati akibat herniasi diskus servikal atau lumbal
bergantung pada bukti elektromiografi (EMG) yang menunjukkan adanya denervasi
yang menandakan diskontinuitas akson. Poin lainnya adalah jika lesi kompresi radiks
fokal dapat didiagnosis tanpa mempengaruhi kontinuitas akson. Stimulasi magnetik
selektif pada satu radiks saraf jarang bersifat layak untuk dilakukan dan sinyal EMG
dari otot terdekat karena konduksi volume menggambarkan masalah yang bermakna,
terutama jika kita hanya membuat rekaman permukaan. Dengan menggabungkan
stimulasi magnetik korteks dan radiks, Bischoff dkk (1993a) menunjukkan bahwa pola
pemanjangan latensi respon terhadap lokasi stimulasi yang berbeda berhubungan
dengan lokasi kompresi radiks saraf. Kompresi lateral radiks saraf cenderung
menghambat latensi respon setelah stimulasi di atas kolumna vertebra. Sebaliknya,
herniasi di medial menimbulkan ‘latensi motorik sentral’ yang memanjang, menandakan
bahwa pada kasus-kasus ini terjadi perlambatan konduksi pada segmen radiks saraf
intraspinal sebelum lokasi eksitasi radiks magnetik. Pendekatan yang sama dilakukan
oleh Banerjee dkk (1993) dengan menggunakan stimulasi magnetik pada radiks saraf
lumbal yang dikombinasikan dengan pengukuran gelombang F untuk menghitung
‘waktu konduksi radiks saraf’. Perbedaan rata-rata waktu konduksi radiks motorik pada
subjek kontrol sehat adalah 0.06 (+/- 0.45) milidetik. Kompresi radiks saraf dengan
defisit motorik berkaitan dengan pemanjangan patologis waktu konduksi radiks motorik
di sisi yang sakit. Dalam sebuah perbandingan langsung antara EMG dengan stimulasi
elektrik dan stimulasi magnetik radiks saraf, perolehan diagnostik stimulasi magnetik
adalah yang terendah (Ertekin dkk, 1994). Hal ini membuat penulis menyimpulkan
bahwa stimulasi magnetik tidak berperan dalam prosedur diagnostik radikulopati
(Ertekin dkk, 1994).
Kauda Equina
Dalam sebuah studi terbaru, Maccabee dkk (1996) mengembangkan metode untuk
menilai waktu konduksi di kauda equina secara langsung dibandingkan dengan
menggunakan kombinasi stimulasi magnetik lumbal dan perekaman gelombang F
(Banerjee dkk, 1993). Ketika coil figure-of-eight dilepas di proksimal kauda equina,
CMAP yang tercetus kemungkinan muncul dari dekat atau pada zona keluarnya radiks
conus medullaris jika tautnya berorientasi secara vertikal dan arus induksi diarahkan ke
kranial. Di distal cauda equina, radiks lumbal secara optimal dieksitasi oleh taut coil
magnetik yang berorientasi horizontal, dan radiks sakral oleh taut coil vertikal,
ketiganya menimbulkan CMAP dengan gambaran yang serupa namun latensinya lebih
pendek sesuai dengan panjang intratekal radiks lumbal bawah dan sakral.
Jaras somatosensorik sentral oleh SEP tidak mungkin diuji menggunakan stimulasi saraf
perifer konvensional jika pasien menderita neuropati perifer. Dalam keadaan seperti ini,
stimulasi magnetik saraf perifer di tingkat proksimal atau mid-lumbal dapat dilakukan
(Kunesch dkk, 1993).
Setelah pemasangan coil sirkular magnetik (diameter 12 cm) di kepala, ada dua jenis
respons otot yang dipersarafi oleh saraf kranial yang dapat diamati. Pada posisi 4 cm di
lateral verteks, respons bilateral dapat timbul di otot masseter, orbicularis oculi,
mentalis, dan genioglossus pada latensi antara 7 mdetik dan 14 mdetik (‘respons latensi
panjang’). Respons ini dipercaya berasal dari korteks dan mencerminkan proyeksi
bilateral dari traktus kortikonuklearis ke nukleus batang otak dari saraf kranial divisi
motorik. Ketika coil sirkular diletakkan sekitar 6 cm di lateral verteks pada garis
intraaural (Gambar 17.3), respons ipsilateral dapat terekam pada latensi 3.8 detik sampai
4.9 detik (‘respons latensi pendek’). Kedua jenis respons ini juga dapat dicetuskan
dengan coil jenis lain jika diposisikan dengan tepat. Karena latensinya dan kurangnya
efek manuver fasilitatif, respons latensi pendek cenderung muncul dari eksitasi
langsung segmen intrakranial saraf kranial divisi motorik.
Gambar 17.3 Prinsip stimulasi nervus kranialis divisi motoric. Respons dari otot masseter setelah
stimulasi nervus facialis langsung (secara magnetik dan elektrik) yang dilanjutkan dengan stimulasi
korteks motorik (secara magnetik). Stimulasi elektrik supramaksimal di foramen stylomastoideum (A)
menghasilkan respons ipsilateral. Stimulasi magnetik memicu segmen proksimal nervus facialis (B)
menghasilkan respons latensi pendek ipsilateral dan respons latensi panjang kontralateral. Stimulasi
magnetik (B+) di (B), namun dengan intensitas stimulasi yang lebih tinggi dan pra-aktivasi otot target
menghasilkan respons latensi panjang bilateral serta respons latensi pendek ipsilateral. Perhatikan
perubahan waktu. Stimulasi magnetik pada hemisfer serebri kiri dengan pusat coil pada 4 cm di lateral
verteks (C) menghasilkan respons latensi panjang bilateral. Stimulasi magnetik hemisfer serebri kanan
dengan pusat coil sekitar 4 cm di lateral verteks (D) menghasilkan respons latensi panjang bilateral.
Stimulasi magnetik di atas verteks (E) tidak menunjukkan respons apapun pada otot mentalis.
Nervus Trigeminus
Nervus Facialis
Nervus Vagus
Nervus Accessorius
Nervus Hypoglossus
Terlepas dari rasa tidak nyaman yang ditimbulkan, manfaat utama MNS adalah
kemampuannya untuk menstimulasi akson saraf yang berjarak dari permukaan kulit.
Penggunaan teknik stimulasi magnetik di samping stimulasi elektrik konvensional,
hampir seluruh jaras motorik dapat dinilai elektofisiologinya. Oleh karena itu, MNS
memperluas kemungkinan neurofisiologi untuk menguji integritas fungsional sistem
saraf perifer. Masalah utama MNS adalah menentukan lokasi eksitasinya; namun,
perkembangan teknis terbaru menjanjikan solusi parsial. Di masa depan, protokol teknik
stimulasi terstandarisasi sangat diperlukan untuk membantu diagnosis dan studi dengan
jumlah pasien yang besar perlu dilakukan untuk menentukan apakah MNS akhirnya
dapat menggantikan ENS dalam neurofisiologi klinis.