Anda di halaman 1dari 14

STIMULASI MAGNETIK SARAF PERIFER DAN KRANIAL

PENDAHULUAN

Stimulasi saraf elektris (electrical nerve stimulation,ENS) adalah modalitas yang


digunakan untuk menilai fungsi sistem saraf perifer dan merupakan salah satu alat
diagnostik terpenting dalam neurologi. Walaupun relatif mudah untuk dilakukan,
hasilnya terpercaya, dan tidak memiliki efek samping persisten, teknik ini berkaitan
dengan dua masalah utama: penggunaannya menimbulkan nyeri substansial pada pasien
dan beberapa komponen sistem saraf perifer—seperti radiks, pleksus, segmen proksimal
saraf perifer dan kranial, secara relatif tidak dapat diakses oleh ENS. Oleh karena itu,
komplementasi dan penggantian ENS dengan teknik yang kurang menimbulkan nyeri
seperti magnetic nerve stimulation (MNS) yang juga mampu menstimulasi jaringan
saraf yang terletak lebih profunda menggambarkan kemajuan neurofisiologi klinis yang
bermakna. Era modern stimulasi magnetik dimulai ketika Bickford dan Fremming
(1965) memicu kedutan pada otot rangka manusia dengan menggunakan denyut medan
magnet di atas nervus ulnaris. Stimulator magnetik yang dikembangkan Barker dkk di
Inggris (Barker dkk, 1986) awalnya diperuntukkan pada stimulasi saraf perifer, yang
kemudian memicu perkembangan teknik stimulasi magnetik transkranial (transcranial
magnetic stimulation, TMS). Namun, terlepas dari permulaannya, perkembangan teknik
untuk menstimulasi sistem saraf perifer secara magnetik masih cukup tertinggal.

Beberapa prinsip MNS dijelaskan lebih rinci di Bab 7. Singkatnya, perubahan medan
magnet yang cepat memicu arus listrik pada jaringan di bawahnya yang proporsional
terhadap konduktivitas jaringan. Konduktivitas jaringan rendah pada jaringan ikat,
lemak, dan tulang, serta tinggi pada jaringan saraf dan cairan tubuh tertentu, misalnya
cairan serebrospinal. Oleh karena itu, denyut magnetik yang besar mungkin cukup
untuk memicu stimulasi struktur saraf profunda namun masih tidak cukup untuk
memicu eksitasi reseptor nyeri pada kulit di bawah coil stimulan. Walaupun medan
magnet tidak dilemahkan oleh struktur perantara berimpedansi tinggi, efektivitasnya
menurun seiring dengan jauhnya jarak yang ditempuh dari coil stimulan atau dengan
kedalaman jaringan, walaupun lebih kurang dibandingkan stimulasi elektrik bipolar
perkutan. Jarak antara posisi coil dengan saraf yang distimulasi yang lebih dekat akan
selalu menghasilkan eksitasi yang lebih efisien. Arus listrik paling efektif dalam
mendepolarisasi akson untuk mencapai ambang jika arusnya berjalan sepanjang aksis
longitudinal akson tersebut (Reilly, 1989; Maccabee dkk, 1991a). Pada studi saraf
perifer, hal ini berarti coil sirkular paling optimal diletakkan pada tepi tangensial atau
berorientasi ortogonal-longitudinal terhadap aksis saraf (Maccabee dkk, 1988). Desain
figure-of-eight memungkinkan coil harus meliputi kedua sisi dari perjalanan saraf.
Namun, terdapat pengecualian terhadap aturan tersebut dimana arah dari arus induksi
maksimal juga ditentukan oleh orientasi coil. Arus induksi dapat tersiar pada jaringan-
jaringan inhomogen seperti antar tulang dan jaringan lunak (Epstein dkk, 1991;
Maccabee dkk, 1991b) atau antara otot dan lemak (Kobayashi dkk, 1997). Karena
distribusi medan magnet lebih difus dengan coil sirkular besar dibandingkan coil figure-
of-eight, inhomogenitas jaringan tersebut memberikan efek yang lebih besar pada coil
sirkular. Oleh karena itu, desain figure-of-eight lebih baik dibandingkan desain sirkular
untuk stimulasi saraf perifer (Olney dkk, 1990); walaupun hal ini masih dipertanyakan
oleh peneliti lainnya (Bischoff dkk, 1993b). Ambang eksitasi dapat berubah sepanjang
perjalanan saraf jika aksonnya tertekuk (Maccabee dkk, 1993). Signifikansi fakta ini
terhadap stimulasi radiks saraf dan saraf kranial dibahas di bawah. Pada saraf motorik
superfisial, arus induksi paling efektif jika berjalan dari lokasi distal ke proksimal.
Karena arah arus induksi berlawanan dengan arah arus coil pada stimulator monofasik,
hal ini menandakan bahwa arus coil harus berjalan dari proksimal ke distal untuk
stimulasi yang lebih efisien.

STUDI KONDUKSI SARAF KONVENSIONAL

Ada berbagai macam penelitian yang mempelajari aplikasi praktis dan kekurangan
teoritis dari MNS. Karena komponen perangkat keras yang bervariasi, perbandingan
langsung antar studi sulit untuk dilakukan. Bischoff dkk (1993b) menjelaskan bahwa
saraf motorik dan sensorik superfisial yang diperiksa menggunakan studi konduksi
konvensional dapat distimulasi pada intensitas supramaksimal dengan menggunakan
MNS. Hal ini dipaparkan dalam studinya mengenai perbandingan berbagai jenis desain
coil. Oleh karena itu, MNS memenuhi salah satu prasyarat studi konduksi saraf yang
relevan secara diagnostik. Walaupun beberapa studi menyarankan bahwa ambang
depolarisasi relatif stimulasi saraf sensorik dan motorik dengan MNS dapat berbeda dari
ENS (Lotz dkk, 1989; Olney dkk, 1990), hal ini tidak begitu berpotensi mempengaruhi
manfaat umum MNS karena intensitas supramaksimal digunakan dalam studi saraf
perifer konvensional. Namun, sejumlah masalah lain mengenai MNS dapat membatasi
penggunaannya dalam neurofisiologi klinis dalam berbagai tingkatan. Pembahasannya
(di bawah) juga berperan sebagai pedoman untuk mengevaluasi perkembangan teknis
MNS di masa depan. Penggunaan MNS untuk evaluasi bagian spesifik sistem saraf
perifer dipaparkan dalam bagian-bagian selanjutnya.

Pengetahuan mengenai saraf mana yang distimulasi adalah titik acuan pentingnya
interpretasi studi konduksi saraf. Aturannya, dengan ENS bipolar, lokasi eksitasi adalah
di bawah katoda dan karena luas spasial kutub stimulan yang terbatas, lokasi eksitasi
dapat ditentukan dengan mudah untuk mengukur kecepatan konduksi saraf. Coil
magnetik dan lapangan induksi yang diproduksi secara komersial memiliki dimensi
spasial yang lebih luas dibandingkan dua kutub yang digunakan pada ENS
konvensional. Oleh karena itu, pertanyaan dimana dalam kaitannya dengan coil adalah
katoda virtual menggambarkan masalah utama dari penggunaan MNS sebagai modalitas
klinis. Nilson dkk (1992) menunjukkan bahwa tidak ada jawaban unik untuk pertanyaan
ini karena lokasi katoda virtual bergantung pada desain coil-nya. Bahkan pada coil
tertentu, lokasi katoda terhadap coil tersebut bisa jadi tidak konstan, dapat bervariasi
dengan kedalaman dan kekuatan stimulasi (Maccabee dkk, 1988). Faktor-faktor penting
lainnya yang berperan dalam ketidakpastian lokasi katoda virtual adalah bentuk
gelombang medan magnet dan posisi serta orientasi coil relatif terhadap saraf (Polson
dkk, 1982; Dressler dkk, 1988; Olney dkk, 1990; Bischoff dkk, 1995). Walaupun sudah
ada studi stimulasi yang berhasil (Maccabee dkk, 1988; Reilly, 1989, Ruohonen dkk,
1995; Ruohonen dkk, 1996), penelitian-penelitian tersebut tidak memungkinkan tingkat
kepercayaan dan prediksi yang praktis secara setara mengenai lokasi katoda virtual
dalam praktik klinis.

Pertanyaan terkait di mana katoda virtual terletak sehubungan dengan coil-nya adalah
apakah lokasi katoda virtual khas untuk semua serabut saraf yang distimulasi, atau
apakah ada perpecahan sepanjang aksis longitudinal saraf. Cros dkk (1990) menilai
dispersi longitudinal stimulus magnetik melalui eksperimen tumbukan. Kurva
pemulihan tumbukan lebih tersebar dengan stimulasi magnetik dibandingkan stimulasi
elektrik. Serabut yang besar terstimulasi lebih jauh dari coil dibandingkan yang kecil.
Pertanyaan ini belum dialamatkan secara sistematis dalam studi-studi terbaru dengan
desain coil yang berbeda.

Dimensi fisik coil magnetik berkisar dari diameter 4 cm hingga 15 cm untuk coil
sirkular dan figure-of-eight sehingga tidak memungkinkan penempatan yang akurat
pada area tubuh yang kurang mudah dijangkau seperti fossa supraclavicularis dan
malleolus lateralis, dimana ruangnya cukup terbatas. Karena itu, coil tidak bisa
diletakkan langsung pada kulit bagian-bagian tubuh ini, meski tetap tergantung pada
anatomi individunya, dan coil hanya dapat dipasang pada jarak yang lebih jauh dari
saraf target, sehingga mengurangi kekuatan medan dan fokalitasnya. Seperti yang
dijelaskan di atas, coil secara optimal berorientasi sesuai dengan saraf targetnya jika
arus listrik induksi paralel terhadap aksis longitudinal aksonnya (Reilly, 1989;
Maccabee dkk, 1991b). Seringkali, kita tidak mungkin meletakkan coil sesuai aturan ini
karena sebagian besar handle coil berada di bidang yang sama dengan lilitannya, atau
sayapnya terlalu membentang ke bagian sisi.

Medan magnet yang signifikan juga dapat terbentuk di bawah coil pada jarak yang
menghasilkan eksitasi ke saraf. Hal ini menimbulkan kontaminasi terhadap potensial
yang direkam akibat adanya potensial yang diinduksi oleh koaktivasi trunkus saraf lain
(seperti nervus medianus pada stimulasi distal nervus ulnaris) dan otot (Chokroverty,
1989). Lokalisasi lokasi stimulasi yang keliru akibat kesalahan sumber ini dapat
diminimalisasi oleh diameter coil yang kecil dan perekaman potensial multi-kanal.

Sinyal artefak seringkali dihasilkan oleh MNS. Hal ini sangat mempengaruhi tidak
hanya hasil pemeriksaan saraf sensorik (Evans dkk, 1988) atau perekaman potensial
somatosensorik (Kunesch dkk, 1993), namun juga dapat berkaitan dengan studi
konduksi motorik jika posisi coil-nya dekat dengan lokasi perekaman (Bischoff dkk,
1993b). Kadang-kadang, menempatkan penghalang seperti jejaring kawat atau
penghalang lainnya antara coil dan lokasi perekaman dapat meminimalisasi artefak ini.
Overheating coil magnetik adalah masalah yang lebih penting dalam protokol stimulasi
repetitif seperti yang digunakan pada studi konduksi saraf sensorik atau studi transmisi
neuromuskular (Bischoff dkk, 1994).

Masalah yang dipaparkan di atas mendorong perkembangan produksi prototipe coil


terbaru. Coil tipe terbaru ini berbeda dari coil magnetik konvensional karena ukurannya
yang lebih kecil (diameter 25 mm) dan puncak medan magnet yang lebih tinggi (4.6
Tesla) jika disambungkan ke Magstim 200 (The Magstim Company, Whitland, Dyfeld,
Inggris; pulsa monofasik). Berdasarkan informasi pabrik, kecepatan maksimal coil ini
adalah 100 kTesla/detik, puncak medan listriknya 660 V/m dan waktu peningkatan
medan adalah 75 udetik. Di samping kepraktisannya, apakah modalitas ini relatif tidak
menimbulkan nyeri terlepas dari puncak medan magnet yang lebih tinggi masih dinilai
secara semikuantitatif (Binkofski dkk, 1999). Studi konduksi saraf dilakukan pada
subjek normal dan beberapa dengan kondisi patologis, kemudian dibandingkan dengan
stimulasi listrik standar. Coil dipasang datar pada permukaan kulit dan diposisikan
dengan lilitannya berorientasi ke kanan dan kiri perjalanan saraf dengan titik temu
anterior menghadap arah distal. Oleh karenanya, arah arus induksi berjalan dari distal ke
proksimal sepanjang perjalanan saraf. Katoda virtual coil dinilai dalam sebuah
eksperimen pendahuluan. Katoda listrik stimulator listrik konvensional (D180
Digitimer, Inggris) dipasang sedekat mungkin dengan nervus medianus di pergelangan
tangan menggunakan intensitas stimulus terendah yang cukup untuk memproduksi
potensial aksi otot gabungan (compound muscle action potential, CMAP) di otot
abductor pollicis brevis. Pada posisi tersebut, stimulasi dihantarkan dengan intensitas
10% di atas intensitas yang memicu CMAP maksimal. Posisi coil magnetik
dioptimalisasikan hingga CMAP menunjukkan altensi awitan, bentuk, dan amplitudo
yang sama dibandingkan dengan stimulasi listrik yang diberikan. Dalam kondisi ini,
katoda virtual coil berada pada titik temu anterior dari lilitan. Selanjutnya, beberapa
saraf perifer diperiksa dengan ENS dan MNS pada empat subjek sehat dan pasien
penderita gangguan saraf perifer yang berbeda-beda. Ketika titik temu anterior coil
diletakkan di atas lokasi yang sama dengan katoda listrik dengan ENS, latensi,
amplitudo, dan bentuk CMAP tidak menunjukkan perbedaan antara kedua teknik
stimulasi tersebut. Hal ini juga ditemukan untuk pemeriksaan saraf motorik secara
konvensional (saraf ulnaris, medianus, tibialis, dan peroneus) serta saraf motorik
lainnya yang lebih jarang diperiksa (radialis, femoralis). Seperti yang diharapkan,
tingkat ambang motorik dan ambang respons CMAP maksimal bergantung pada
kedalaman saraf yang distimulasi. CMAP maksimal yang ditentukan oleh stimulasi
listrik dapat diperoleh dengan stimulasi magnetik pada semua saraf yang diperiksa dan
di semua lokasi stimulasi. Dengan kedua modalitas, kekuatan stimulasi yang lebih
tinggi akan menggeser latensi ke bentuk yang lebih pendek. Dengan intensitas stimulus
supramaksimal, latensi tetap stabil bahkan jika intensitasnya terus ditingkatkan. Oleh
karena itu, ketika katoda virtual telah ditentukan, ia akan tetap konstan selama
pemeriksaan beberapa saraf. Karena bentuk respons MNS dan ENS serupa, lokasi
katoda virtual kemungkinan juga sama untuk beberapa akson. Stimulasi magnetik
sensorik antidromik memperoleh potensial aksi saraf sensorik (sensory nerve action
potential, SNAP) yang dapat dihasilkan berulang, namun stimulasi magnetik
ortodromik tidak menimbulkan respon yang diharapkan karena adanya artefak stimulus
yang nyata. Bentuk SNAP dan latensi ENS dan MNS dapat dibandingkan. Sebagai efek
langsung dari dimensi coil yang lebih kecil, kami menemukan bahwa coil ini mudah
untuk dipasang. Namun, terlepas dari ukurannya yang kecil orientasi yang benar masih
tidak mungkin dilakukan pada maleolus lateral dan titik Erb. Puncak medan magnet
yang lebih tinggi tidak menghilangkan tolerabilitas yang dinilai dengan skala nyeri
VAS. Walaupun ada rasa tidak nyaman dengan stimulasi magnetik, MNS jauh lebih
tidak nyeri dibandingkan ENS. Nilai skor nyeri maksimal selama MNS hanya setengah
dari ENS. Dengan stimulasi berulang, interupsi pemeriksaan lebih sering karena
overheating coil magnetik.

Berbeda dengan temuan Evans dkk (1990), latensi dan amplitudo CMAP serupa untuk
kedua modalitas stimulasi pada pasien entrapment nervus ulnaris di sulcus ulnaris
(Gambar 17.1). Namun, pada dua pasien dengan polineuropati demielinasi inflamasi
kronis (CIDP), kapasitas stimulator tidak cukup besar untuk menimbulkan respons yang
maksimal. Pada individu intak, intensitas stimulator magnetik mendekati maksimal juga
kadang diperlukan untuk memicu amplitudo maksimal beberapa saraf sehingga hasilnya
dapat diprediksi. Sayangnya, studi mengenai kegunaan MNS pada sejumlah besar
pasien masih sangat sedikit.

Gambar 17.1 Perbandingan stimulasi saraf elektrik konvensional (ENS) dan magnetik (MNS) yang
dilakukan dengan coil magnetik terbaru (untuk rincian teknis, baca teks). Contoh perekaman seorang
pasien dengan sindrom entrapment nervus ulnaris di sulcus ulnaris. Perhatikan kemiripan latensi,
amplitude, dan bentuk kedua lokasi stimulasi. Distal: 5 cm distal, proksimal: 5 cm proksimal dari sulcus
ulnaris.
APLIKASI SPESIFIK MNS KONVENSIONAL PERIFER

Somatosensory Evoked Potential (SEP)

Dengan menggunakan MNS, SEP dapat dicetuskan di kulit kepala (Zarola dan Rossini,
1991; Kunesch dkk, 1993). Latensinya dapat dibandingkan dengan SEP yang dipicu
oleh stimulasi listrik konvensional, namun amplitudonya bisa lebih kecil (zaola dan
Rossin, 1991). SEP yang dihasilkan oleh stimulasi magnetik pada otot tampaknya
mencerminkan aktivasi langsung aferen terminal pada otot dibandingkan aktivitas
aferen akibat kedutan otot (Kunesch dkk, 1993; Zhu dkk, 1996).

Stimulasi Saraf Berulang

Stimulasi saraf elektrik berulang digunakan pada pasien yang dicurigai mengalami
gangguan transmisi neuromuskular untuk menguji penurunan atau peningkatan respons
otot yang dipicu. Prosedur ini menimbulkan rasa tidak nyaman yang cukup bermakna,
khususnya dengan stimulasi berfrekuensi tinggi. Dengan menggunakan stimulator
repetitif Cadwell berkecepatan tinggi, Bischoff dkk (1994) menunjukkan bahwa nyeri
dapat diturunkan secara substansial namun tidak secara sempurna, jika stimulasi
magnetik berulang yang digunakan adalah yang berfrekuensi rendah (3 Hz). Pada
sekitar 10% pemeriksaan, saraf target tidak dapat distimulasi secara supramaksimal dan
overheating coil stimulator memerlukan jeda antarpemeriksaan yang sering. Stimulasi
berfrekuensi tinggi (30 Hz atau 50 Hz) tidak dilakukan.

Nervus Phrenicus

Pulsa magnetik servikal tunggal dapat digunakan untuk menstimulasi nervus phrenicus
dan menentukan waktu konduksi saraf tersebut. Waktu konduksi tidak serupa antara
stimulasi elektrik dan magnetik servikal (Similowski dkk, 1997). Dengan stimulasi
elektrik, waktu konduksi tidak bergantung pada intensitas stimulasi, namun berbeda
dengan studi lain oleh kelompok sebelumnya (Chokoverty dkk, 1995), waktu konduksi
sangat dipengaruhi oleh intensitas stimulasi magnetik, sehingga menandakan lokasi
eksitasi yang lebih distal seiring dengan tingginya kekuatan medan magnet. Rekaman
tekanan trans diafragmatik menunjukkan kelelahan diafragma berfrekuensi rendah
dengan penggunaan stimulasi magnetik servikal berpasangan pada interval yang pendek
(Folkey dkk, 1997).

Nervus Intercostalis

Dalam sebuah penelitian yang membandingkan stimulasi elektrik konvensional dan


magnetik pada nervus intercostalis, latensi motorik distal dan kecepatan konduksi saraf
motorik yang serupa ditemukan pada kedua modalitas yang berbeda tersebut (Carls dkk,
1997). Stimulasi magnetik memiliki angka kesuksesan yang lebih tinggi dalam
menghasilkan CMAP pada otot interkostal dibandingkan stimulasi elektrik pada subjek
sehat.

RADIKS SARAF DAN CAUDA EQUINA

Penilaian Waktu Konduksi Motorik Sentral

Waktu konduksi motorik sentral dapat dinilai dengan mengurangi waktu konduksi
bagian perifer jalur motor dari latensi maximum evoked potential (MEP) total yang
diukur setelah TMS. Perkiraan paling akurat dari konduksi motorik perifer diperoleh
dari studi gelombang F; namun, gelombang F seringkali memiliki latensi yang
bervariasi dan tidak dapat diperoleh dari saraf yang mengalami penyakit. Stimulasi
listrik langsung pada radiks saraf menggunakan jarum monopolar sebagai katoda adalah
alternatif untuk pemeriksaan gelombang F, namun metode ini nyeri, invasif, dan
memerlukan pengalaman teknis, sehingga tidak rutin dilakukan.

Ketika stimulasi magnetik dilakukan di atas kolumna spinalis servikal dan lumbal
dengan coil sirkular konvensional, ambang dan amplitudo responnya bergantung pada
posisi coil dan arah arus di dalamnya. Namun, berbeda dengan penelitian mengenai
sistem saraf perifer dan MNS, latensi potensial yang dipicu tidak bergantung secara
kritis baik pada posisi coil atau arah arus listrik (Ugawa dkk, 1989; Britton dkk, 1990),
sehingga membuat teknik ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan rutin (Gambar
17.2).
Gambar 17.2 Prinsip stimulasi radiks saraf. Ilustrasi di atas menggambarkan pemosisian optimal dengan
menggunakan coil sirkular berdiameter 12 cm. Respons terbesar otot biceps diperoleh ketika coil
diletakkan di atas processus spinosus posterior C6/C7; otot interosseus dorsalis pertama (fdi) ketika coil
di atas C4/C5; otot quadriceps (quads) ketika coil di atas L2; dan otot extensor digitorum brevis (edb)
ketika coil di atas S2/S3. Pada posisi-posisi di atas, lilitan coil berada di atas radiks saraf yang tepat
(biceps C5/C6; fdi T1; quadriceps L2/L3; edb (L5/S1).

Dibandingkan dengan stimulasi listrik radiks saraf spinal, latensi yang diperoleh dari
stimulasi magnetik memberikan hasil yang serupa (Ugawa dkk, 1989). Latensi stimulasi
elektrik radiks saraf pada vertebra servikal atau lumbal adalah sekitar 1.3 milidetik
(stimulasi servikal) dan 3 milidetik (stimulasi lumbal) lebih singkat dibandingkan waktu
konduksi motorik perifer yang diperkirakan dengan teknik gelombang F (Ugawa dkk,
1989, Britton dkk, 1990). Temuan ini menandakan bahwa lokasi aktivasi oleh stimulasi
magnetik sangat mirip dengan yang diaktivasi oleh stimulasi elektrik monopolar, dan
kedua lokasi tersebut berada di distal zona keluarnya radiks anterior medulla spinalis,
kemungkinan pada atau di dalam foramen intervertebralis. Hal ini juga sesuai dengan
studi teoretis yang menyarankan untuk berfokus pada arus listrik induksi pada foramina
(Maccabee dkk, 1991b) dan menurunkan ambang eksitasi pada lekukan akson
(Maccabee dkk, 1993). Untuk menghitung waktu konduksi motorik sentral sebagai
ukuran diagnostik klinis, banyak laboratorium yang menggunakan perbedaan antara
latensi MEP total dan latensi MEP pada stimulasi magnetik radiks saraf, sehingga
mengabaikan bahwa waktu konduksi untuk segmen intraspinal radiks saraf dimasukkan
ke dalam waktu konduksi motorik sentral. Ketepatan pengukuran ini diperlukan untuk
berbagai tujuan, namun beberapa gangguan bisa mempengaruhi radiks saraf eara
selektif, seperti herniasi diskus, atau neuropati demielinasi akut jenis Guillain-Barre,
sehingga kegagalan untuk mempertimbangkan segmen perifer intraspinal bisa
mengarahkan ke diagnosis yang keliru.

Dibandingkan dengan stimulasi listrik langsung pada radiks saraf spinal, amplitudo
potensial yang dipicu oleh MNS ternyata lebih kecil (Evans dkk, 1988; Britton dkk,
1990; Macdonnell dkk, 1992). Konfigurasi respons setelah stimulasi magnetik
paravertebra serupa dengan gelombang M standar yang dipicu secara elektris pada otot-
otot kecil tangan, namun tidak serupa dengan otot ekstremitas bawah. Hal ini
kemungkinan menunjukkan bahwa beberapa komponen respons otot ekstremitas bawah
setelah stimulasi magnetik dapat mencerminkan gelombang F atau refleks H (Britton
dkk, 1990; Chokroverty dkk, 1993).

Penilaian Radikulopati

Keputusan klinis dalam radikulopati akibat herniasi diskus servikal atau lumbal
bergantung pada bukti elektromiografi (EMG) yang menunjukkan adanya denervasi
yang menandakan diskontinuitas akson. Poin lainnya adalah jika lesi kompresi radiks
fokal dapat didiagnosis tanpa mempengaruhi kontinuitas akson. Stimulasi magnetik
selektif pada satu radiks saraf jarang bersifat layak untuk dilakukan dan sinyal EMG
dari otot terdekat karena konduksi volume menggambarkan masalah yang bermakna,
terutama jika kita hanya membuat rekaman permukaan. Dengan menggabungkan
stimulasi magnetik korteks dan radiks, Bischoff dkk (1993a) menunjukkan bahwa pola
pemanjangan latensi respon terhadap lokasi stimulasi yang berbeda berhubungan
dengan lokasi kompresi radiks saraf. Kompresi lateral radiks saraf cenderung
menghambat latensi respon setelah stimulasi di atas kolumna vertebra. Sebaliknya,
herniasi di medial menimbulkan ‘latensi motorik sentral’ yang memanjang, menandakan
bahwa pada kasus-kasus ini terjadi perlambatan konduksi pada segmen radiks saraf
intraspinal sebelum lokasi eksitasi radiks magnetik. Pendekatan yang sama dilakukan
oleh Banerjee dkk (1993) dengan menggunakan stimulasi magnetik pada radiks saraf
lumbal yang dikombinasikan dengan pengukuran gelombang F untuk menghitung
‘waktu konduksi radiks saraf’. Perbedaan rata-rata waktu konduksi radiks motorik pada
subjek kontrol sehat adalah 0.06 (+/- 0.45) milidetik. Kompresi radiks saraf dengan
defisit motorik berkaitan dengan pemanjangan patologis waktu konduksi radiks motorik
di sisi yang sakit. Dalam sebuah perbandingan langsung antara EMG dengan stimulasi
elektrik dan stimulasi magnetik radiks saraf, perolehan diagnostik stimulasi magnetik
adalah yang terendah (Ertekin dkk, 1994). Hal ini membuat penulis menyimpulkan
bahwa stimulasi magnetik tidak berperan dalam prosedur diagnostik radikulopati
(Ertekin dkk, 1994).

Pada radikulopati inflamasi, beberapa penelitian telah melaporkan frekuensi waktu


konduksi motorik sentral abnormal yang tinggi atau pemanjangan patologis waktu
konduksi motorik sentral setelah stimulasi magnetik servikal atau lumbal (Wohrle dkk,
1995).

Kauda Equina

Dalam sebuah studi terbaru, Maccabee dkk (1996) mengembangkan metode untuk
menilai waktu konduksi di kauda equina secara langsung dibandingkan dengan
menggunakan kombinasi stimulasi magnetik lumbal dan perekaman gelombang F
(Banerjee dkk, 1993). Ketika coil figure-of-eight dilepas di proksimal kauda equina,
CMAP yang tercetus kemungkinan muncul dari dekat atau pada zona keluarnya radiks
conus medullaris jika tautnya berorientasi secara vertikal dan arus induksi diarahkan ke
kranial. Di distal cauda equina, radiks lumbal secara optimal dieksitasi oleh taut coil
magnetik yang berorientasi horizontal, dan radiks sakral oleh taut coil vertikal,
ketiganya menimbulkan CMAP dengan gambaran yang serupa namun latensinya lebih
pendek sesuai dengan panjang intratekal radiks lumbal bawah dan sakral.

PLEKSUS DAN SEGMEN SARAF PROKSIMAL

Manfaat dari stimulasi saraf proksimal adalah diagnosis gangguan-gangguan yang


terutama mempengaruhi segmen saraf perifer proksimal di distal radiks saraf.
Perlambatan konduksi sepanjang segmen pleksus brakhialis menandakan kompresi
fokal atau demielinasi dan dapat dideteksi dengan mengurangkan latensi yang diperoleh
setelah stimulasi titik Erb dari latensi motorik perifer yang dinilai dengan stimulasi
magnetik servikal (lihat di atas). Perbedaan latensi ini ditemukan sensitif khususnya
pada pasien dengan neuropati demielinasi inflamasi akut atau kronis (von Giesen dkk,
1992). Adanya blok saraf proksimal dapat diperkirakan jika CMAP dapat dicetuskan
dengan stimulasi saraf perifer atau pleksus, namun tidak muncul dengan stimulasi
korteks atau servikal. Nilai normatif stimulasi pleksus brakhialis dipaparkan oleh
Rosenberg dan Turchetta (1993). Dalam sebuah studi oleh Cros dkk (1992), stimulasi
magnetik pleksus brakhialis tidak begitu nyeri, namun kurang efektif dibandingkan
stimulasi elektrik.

Jaras somatosensorik sentral oleh SEP tidak mungkin diuji menggunakan stimulasi saraf
perifer konvensional jika pasien menderita neuropati perifer. Dalam keadaan seperti ini,
stimulasi magnetik saraf perifer di tingkat proksimal atau mid-lumbal dapat dilakukan
(Kunesch dkk, 1993).

STIMULASI SARAF KRANIAL

Setelah pemasangan coil sirkular magnetik (diameter 12 cm) di kepala, ada dua jenis
respons otot yang dipersarafi oleh saraf kranial yang dapat diamati. Pada posisi 4 cm di
lateral verteks, respons bilateral dapat timbul di otot masseter, orbicularis oculi,
mentalis, dan genioglossus pada latensi antara 7 mdetik dan 14 mdetik (‘respons latensi
panjang’). Respons ini dipercaya berasal dari korteks dan mencerminkan proyeksi
bilateral dari traktus kortikonuklearis ke nukleus batang otak dari saraf kranial divisi
motorik. Ketika coil sirkular diletakkan sekitar 6 cm di lateral verteks pada garis
intraaural (Gambar 17.3), respons ipsilateral dapat terekam pada latensi 3.8 detik sampai
4.9 detik (‘respons latensi pendek’). Kedua jenis respons ini juga dapat dicetuskan
dengan coil jenis lain jika diposisikan dengan tepat. Karena latensinya dan kurangnya
efek manuver fasilitatif, respons latensi pendek cenderung muncul dari eksitasi
langsung segmen intrakranial saraf kranial divisi motorik.
Gambar 17.3 Prinsip stimulasi nervus kranialis divisi motoric. Respons dari otot masseter setelah
stimulasi nervus facialis langsung (secara magnetik dan elektrik) yang dilanjutkan dengan stimulasi
korteks motorik (secara magnetik). Stimulasi elektrik supramaksimal di foramen stylomastoideum (A)
menghasilkan respons ipsilateral. Stimulasi magnetik memicu segmen proksimal nervus facialis (B)
menghasilkan respons latensi pendek ipsilateral dan respons latensi panjang kontralateral. Stimulasi
magnetik (B+) di (B), namun dengan intensitas stimulasi yang lebih tinggi dan pra-aktivasi otot target
menghasilkan respons latensi panjang bilateral serta respons latensi pendek ipsilateral. Perhatikan
perubahan waktu. Stimulasi magnetik pada hemisfer serebri kiri dengan pusat coil pada 4 cm di lateral
verteks (C) menghasilkan respons latensi panjang bilateral. Stimulasi magnetik hemisfer serebri kanan
dengan pusat coil sekitar 4 cm di lateral verteks (D) menghasilkan respons latensi panjang bilateral.
Stimulasi magnetik di atas verteks (E) tidak menunjukkan respons apapun pada otot mentalis.

Nervus Trigeminus

Stimulasi segmen pertama nervus trigeminus (nervus ophthalmicus) di supraorbita


umumnya dilakukan untuk mencetuskan refleks berkedip. Bischoff dkk (1993a)
menunjukkan bahwa coil kecil berdiameter 6 cm yang ditempatkan di tengah dahi
memicu kedua saraf supraorbital secara bersamaan sehingga menimbulkan refleks kedip
bilateral. Perbandingan antara refleks kedip yang dipicu secara magnetik dan elektrik
pada subjek normal dan pasien dengan kelumpuhan saraf facialis perifer parsial
menunjukkan hasil yang setara. Stimulasi cabang motorik nervus trigeminus (Schmid
dkk, 1995; Frisardi dkk, 1997) dicerminkan oleh respons latensi pendek pada 3.8 (+/-
0.3) mdetik di otot masseter. Respons ini normal pada pasien dengan neuralgia
trigeminal non-simptomatik, namun bisa abnormal pada pasien sklerosis multipel
(Kotterba dkk, 1994b).

Nervus Facialis

Perbandingan antara stimulasi elektrik di foramen stylomastoideum menunjukkan


bahwa respons latensi pendek MNS dapat terekam di otot mentalis dan hal ini
menggambarkan aktivasi nervus facialis pada bagian intrakanalikular pertama (Rosler
dkk, 1989; Schmid dkk, 1995; Wolf dkk, 1995) atau tepat sebelum saraf ini memasuki
labirin canalis facialis pada segmen intracisternal (Benecke dkk 1988; Tokimura dkk,
1993). Pada kelumpuhan wajah idiopatik, lokasi lesi neurapraktik berada pada bagian
pertama segmen labirin (Esslen, 1977). Oleh karena itu, respons latensi pendek yang
dihasilkan oleh stimulasi magnetik nervus facialis timbul pada atau tepat di distal lokasi
tersebut. Akibatnya, gambaran umum stimulasi magnetik pada Bell’s palsy adalah
hambatan respons latensi pendek, penurunan amplitudo CMAP, atau ineksitabilitas
komplit dari saraf tersebut yang menggambarkan lesi neurapraktik pada akson tercepat
atau seluruh serabut saraf. Yang paling penting, gambaran patologis dapat terlihat pada
stadium dini dimana nervus facialis masih dapat dieksitasi oleh stimulasi elektrik di
foramen stylomastoideum (Meyer dkk, 1989; Glocker dkk, 1994). Di sisi lain, nervus
facialis bisa tetap tereksitasi oleh stimulasi magnetik langsung pada segmen
intracisternalnya selama beberapa minggu atau bulan setelah pulih dari Bell’s palsy
(Schriefer dkk, 1988; Meyer dkk, 1989; Glocker dkk, 1994). Kadang-a=kadang, ketika
pulih dari Bell’s palsy, nervus facialis dapat mentransmisikan potensial aksi yang
dihasilkan oleh stimulasi korteks dalam keadaan ineksitabilitas lokal (Meyer dkk, 1989).
Oleh karena itu, MNS nervus facialis khususnya sensitif pada perubahan eksitabilitas
lokal dari segmen proksimal nervus facialis. Investigasi longitudinal yang dilakukan
pada pasien dengan kelumpuhan nervus facialis idiopatik menunjukkan prognosis yang
baik jika CMAP latensi pendek dapat diperoleh selama 5 hari pertama stimulasi
magnetik (Laranne dkk, 1995). Dalam studi ini, hasil ENS berkorelasi dengan luaran
klinis hanya beberapa saat dari awitan gejala. Oleh karena itu, MSN atau ENS dapat
memprediksi pemulihan klinis pada jendela waktu yang berbeda. Sebaliknya, nilai
prediktif respons latensi pendek tidak berhasil ditemukan oleh Kotterba dkk (1994a);
namun, luaran yang baik berhubungan dengan respons latensi panjang. Observasi yang
sama juga dilakukan pada kelumpuhan wajah akibat operasi neuroma akustik atau
tumor parotis (Kotterba dkk, 1997). Di samping nilai prognostik, stimulasi transkranial
nervus facialis juga dapat membantu menentukan penyebab lesi nervus facialis hingga
derajat tertentu. Dalam sebuah studi stimulasi magnetik pada pasien dengan sinkinesis
pasca-kelumpuhan wajah atau spasme hemifasial (Oge dkk, 1993), latensi respons
latensi pendeknya memanjang dan amplitudo CMAP-nya menurun pada kelompok
sinkinesis pasca kelumpuhan wajah sesuai dengan yang disebut di atas (Glocker dkk,
1994). Pada kelompok spasme hemifasial, amplitudo respons pada sisi yang sakit
mengalami penurunan dan ambang stimulasi magnetiknya meningkat; namun,
latensinya tidak berbeda secara signifikan dari subjek kontrol. Rosler dkk (1995)
mempelajari sensitivitas dan spesifisitas temuan MNS nervus facialis dan kaitannya
dengan etiologi kelumpuhan wajah dalam sebuah kohort besar yang terdiri dari 174
pasien. Mereka menemukan hipoeksitabilitas lokal unilateral nervus facialis terhadap
stimulasi magnetik proksimal pada kelumpuhan wajah idiopatik. Pada sindrom
Guillain-Barre, latensi CMAP seringkali memanjang secara bilateral. Sebaliknya, pada
infeksi varicella zoster, aksonotmesis terjadi unilateral, dan pada infeksi HIV biasanya
bilateral. Stimulasi magnetik nervus facialis proksimal menunjukkan elsi subklinis pada
meningoradikulitis dan diseminasi meningeal dari tumor ganas, baik sebelum awita
kelumpuhan wajah atau pada sisi kontralateral (sisi yang sehat). Pada kasus-kasus
meragukan, MNS nervus facialis juga dapat membedakan antara lesi jaras motorik
nervus facialis sentral dan perifer (Meyer dkk, 1989; Rosler dkk, 1995). Pada
kelumpuhan perifer, stimulasi hemisfer kontralateral akan selalu menghasilkan respons
normal pada otot wajah ipsilateral. Sebaliknya, kelumpuhan hemifasial dari lesi kortikal
akan menunjukkan perubahan patologis pada respons otot ipsilateral dan kontralateral
jika distimulasi di hemisfer yang sakit.

Nervus Vagus

Stimulasi magnetik nervus vagus ekstrakranial di leher pada angulus mandibula


mencetuskan respons di esofagus proksimal pada latensi 4.3 (+/- 0.4) mdetik. Respons
latensi yang lebih panjang dapat diperoleh dengan stimulasi kortikal (Aziz dkk, 1994).
Stimulasi magnetik perifer tampaknya tidak begitu berguna dalam menilai lesi nervus
laryngeus recurrens (Ludlow dkk, 1994).

Nervus Accessorius

Respons di otot sternocleidomastoideus dapat diperoleh dengan stimulasi magnetik


ipsilateral baik pada latensi panjang (mencerminkan aktivasi traktus kortikobulbaris)
dan pendek (4.3 (+/- 0.4) mdetik). Respons latensi pendek dapat membantu diagnosis
kerusakan sepanjang nervus accessorius (Pelliccioni dkk, 1995).

Nervus Hypoglossus

Respons dari stimulasi magnetik segmen intrakranial nervus hypoglossus tampaknya


ada pada otot lidah pada latensi 3.4 (+/- 0.9) mdetik (Meyer dkk, 1997). Umumnya,
respons ini sulit untuk diperoleh dan reprodusibilitasnya umumnya tidak memuaskan
(Benecke dan Meyer, 1991; Muellbacher dkk, 1994). Teknik ini dapat digunakan untuk
menggali organisasi fungsional proyeksi kortikohipoglossal di batang otak manusia
(Urban dkk, 1996).
KESIMPULAN

Terlepas dari rasa tidak nyaman yang ditimbulkan, manfaat utama MNS adalah
kemampuannya untuk menstimulasi akson saraf yang berjarak dari permukaan kulit.
Penggunaan teknik stimulasi magnetik di samping stimulasi elektrik konvensional,
hampir seluruh jaras motorik dapat dinilai elektofisiologinya. Oleh karena itu, MNS
memperluas kemungkinan neurofisiologi untuk menguji integritas fungsional sistem
saraf perifer. Masalah utama MNS adalah menentukan lokasi eksitasinya; namun,
perkembangan teknis terbaru menjanjikan solusi parsial. Di masa depan, protokol teknik
stimulasi terstandarisasi sangat diperlukan untuk membantu diagnosis dan studi dengan
jumlah pasien yang besar perlu dilakukan untuk menentukan apakah MNS akhirnya
dapat menggantikan ENS dalam neurofisiologi klinis.

Anda mungkin juga menyukai