Anda di halaman 1dari 104

BAB I

PENDAHULUAN

Spinal cord injury (SCI) atau cedera medulla spinalis (CMS) adalah kerusakan
sistem saraf pusat yang sering terjadi yang menghasilkan kerusakan pada mikrostruktur
dari medulla spinalis dan diikuti dengan terbatasnya regenerasi saraf dan perbaikan
secara fungsional. Defisit fungsi autonom dan sensori-motor yang berat dan tidak dapat
diubah yang diawali oleh CMS. Hal ini dikarenakan kerusakan mekanis menghasilkan
kematian neuron lokal dan glia pada sisi lesi dalam beberapa menit sampai jam. Hal ini
diikuti oleh fase kerusakan sekunder yang ditandai dengan apoptosis neuronal dan
glial. Berbagai perubahan pada lingkungan mikro lokal yang dirangsang oleh proses
inflamasi selular terjadi pada keadaan CMS berat dimana pada keadaan ini terjadi
perubahan astrosit dan pembentukan glial scar. Proses ini yang berperan dalam
menentukan manifestasi dan prognosa dari SCI. (Yuan & He, 2013; Rust & Kaiser,
2017; Profyris, Cheema, Zang, & etal, 2013)

Peningkatan permeabilitas dari Blood-spinal Cord Barier (BSCB) dan respons


neuroinflamasi kurang dipahami beberapa tahun terakhir padahal merupakan target
penting dalam terapi. Insiden cedera medula spinalis di Indonesia menunjukkan
terdapat 40-80 kasus baru per 1 juta populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap
tahun sekitar 250.000-500.000 orang mengalami trauma medula spinalis. Penelitian
terakhir menunjukkan 90% kejadian trauma medula spinalis disebabkan oleh trauma
seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau kecelakaan
kerja, sisanya olehkarena sebab yang lain. Angka mortalitas yang disebabkan oleh SCI
didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat
kejadian oleh karena vertebra servikalis memiliki risiko trauma paling besar, dengan
level tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan T10. Pasien dengan cedera
medula spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. (Pertiwi,

1
Dwi, & Berawi, 2017) Data prevalensi CMS di negara lain paling banyak terjadi di
Amerika Utara dengan kejadian paling tinnggi di daerah Alaska sebanyak 83 kasus per
1 juta populasi setiap tahunnya dan Misissipi sebanyak 77 kasus per 1 juta populasi
setiap tahunnya. Kejadian paling sedikit terjadi pada Spanyol sebanyak 8 kasus per 1
juta populasi setiap tahunnya. Hal ini dimungkinkan karena selama ini terapi
difokuskan pada pengurangan nyeri dan menjaga agar keadaan klinis tidak semakin
memburuk. (Rust & Kaiser, 2017)

Peran fungsional dari respons inflamasi setelah CMS mulai dipahami pada
beberapa tahun terakhir ini dan telah berkembang secara signifikan, dimana dinyatakan
bahwa efek baik dan buruk dipicu oleh perbaikan dan degenerasi jaringan. Berbagai
sitokin proinflamasi IL-1, TNF-α, protease, dan faktor sitotoksik lainnya dihasilkan
oleh mikroglia yang aktif pada SCI. (Rust & Kaiser, 2017)
Anatomi medulla spinalis beserta lingkungan mikro pada medulla spinalis yang
terlibat akan dipaparkan penulis secara singkat dalam refrat ini. Refrat ini akan
dipaparkan secara mendalam perihal proses pembentukan dan peran glial scar secara
molekuler dan selular yang merupakan inti dari regenerasi pada CMS dan juga proses
terjadinya kematian sel yang berujung pada buruknya prognosa CMS. Pemahaman
patofisiologi secara mendalam menjadi target dari refrat ini. .

2
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM SARAF

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI MEDULA SPINALIS


Medula spinalis berada didalam kolumna spinal yang terbentang ke bawah dari otak
sampai level vertebra L1-L2, yang berakhir sebagai conus medullaris. Kelanjutan
akhir medulla spinalis dalam kanalis spinalis adalah cauda equina (horse tail). Level
segmen neurologis yang dimiliki oleh medula spinalis berhubungan dengan serabut
saraf yang keluar dari kolumna spinalis antara tiap vertebra. Ada 31 pasang cabang
saraf spinal, dimana terdiri atas 8 cervical, 12 thorasik, 5 lumbal, 5 sacral, dan 1
koksigeal (NN, 2013).
Secara keseluruhan ada 31 pasang nervus spinalis. Penomeran nervus spinalis
sesuai dengan corpus vertebra. Servikal terdapat tujuh vertebra servikalis dan
delapan pasang nervus spinalis. Nervus spinalis 1 keluar ke kanalis spinalis tepat di
atas vertebra servikalis 1 tepat diantara os oksipitalis dan vertebra servikalis 1
(atlas). Servikal 7 keluar di atas vertebra servikalis yang sesuai (vertebra servikalis
7) dan cervical 8 keluar di antara vertebra servikalis 7 (terbawah) dan vertebra
thorakalis 1 (Baehr & Frotscher, 2005).

3
Gambar. Medula spinalis secara longitudinal, vertebra spinal, dan saraf spinal dan
penjabaran kasar dari fungsi mayor dari medulla spinalis. (NN, 2013).

4
Gambar. Penomeran radiks saraf dan segmen keluarnya nervus spinalis dari kanalis
spinalis (Baehr & Frotscher, 2005).

Gambar. Inervasi persegmen dari kulit (Baehr & Frotscher, 2005).

5
Gambar. Inervasi sesuai segmen pada kulit (Baehr & Frotscher, 2005).

Reflek dan Tegangan Otot

Serabut otot ekstrafusal memiliki panjang tertentu saat istirahat dan organisme
selalu mencoba mempertahankan untuk tetap konstan. Bila otot diregangkan
melebihi panjang ini, spindle otot ikut teregang bersama otot tersebut. Potensial
aksi yang tercetus di ujung anulospiral berjalan sangat cepat di dalam serabut eferen
α1 berdiameter besar dengan kecepatan yang sama di dalam serabut ke serabut otot
ekstrafusal yang bekerja sehungga otot berkontraksi kembali panjang sebelumnya
(Baehr & Frotscher, 2005).

Reflek monosinaptik. Serabut aferen yang berdiameter besar yang berasal dari
spindle otot masuk dalam medulla spinalis, masuk ke substansia grisea kornu
posterior dan membuat kontak sinaptik langsung dengan neuron di substansia
grisea kornu anterior. Neuron tersebut lalu menjadi awal serabut aferen motorik.

6
Serabut eferen keluar dari medulla spinalis melalui radiks anterior dan berjalan di
saraf perifer, ke otot rangka (Baehr & Frotscher, 2005)

Gambar. Regulasi Sirkuit untuk Pemanjangan Otot (Baehr & Frotscher, 2005)

7
Gambar. Regulasi Sirkuit untuk Tekanan Otot (Baehr & Frotscher, 2005)

Gambar. Reflek Monosinaptik dengan Penghambatan Polisinaptik dari Otot


Antagonis (Baehr & Frotscher, 2005)

Reflek polisinaptik. Reflek polisinaptik merupakan suatu reflek protektif dan


hindar yang dimediasi oleh banyak interneuron dan oleh sebab itu disebut
polisinaptik. Jenis reflek ini diperlukan koordinasi kontraksi beberapa otot, yang
harus berkontraksi pada urutan dan intensitas yang tepat, sedangkan otot antagonis
harus berelaksasi pada saat yang tepat. Proses ini berawal dari potensial aksi yang
muncul di reseptor kulit (nosiseptor) yang berjalan melalui serabut aferen ke
substansia gelatinosa medulla spinalis, lalu dihantarkan melalui sinaps ke dalam
berbagai jenis sel pada apparatus neuronal intriksi medulla spinalis (interneuron,

8
neuron asosiasi, dan neuron komisural). Beberapa sel itu (terutama neuron asosiasi)
memproyeksi processusnya ke berbagai level spinal (ke atas dan ke bawah), yang
disebut fasikulus propius. Impuls eksitatorik akhirnya mencapai neuron motorik
dan berjalan di sepanjang akson eferen ke radiks nervus spinalis, saraf perifer, dan
otot (Baehr & Frotscher, 2005).

Gambar. Reflek Flexor dengan Koneksi Polisinaptik (Baehr & Frotscher, 2005).

9
Traktus Asenden dan Desenden

a. Traktus Asenden

Gambar. Susunan somatotropik medulla spinalis dalam potongan melintang.


(Baehr & Frotscher, 2005)

Jaras traktus asenden berjalan naik yang berasal dari kornu posterior medulla
spinalis (neuron afferent kedua), berjalan naik melalui funikulus anterolateralis
menuju ke berbagai struktur target di batang otak dan nukleus subkortikal profunda.
Traktus ini terdiri atas traktus spinoserebelaris, traktus spinothalamikus, traktus
spinoretikularis, traktus spinotektalis, traktus spino-olivarius, dan traktus
spinovestibularis. (Baehr & Frotscher, 2005)

10
Gambar. Posisi serabut berbagai modalitas somatosensorik di radiks posterior dan
root entry zone (Baehr & Frotscher, 2005)

Traktus spinotalamikus anterior. Impuls dihantarkan di sepanjang serabut


perifer yang bermielin sedang ke sel pseudounipolar ganglion radiks dorsalis,
masuk medula spinalismelalui radiks posterior. Kemudian impuls naik satu atau
dua segmen di substansia grisea kornu posterior. Se tersebut (neuron kedua)
membentuk traktus spinotalamikus anterior, yang serabutnya menyilang di
komisura traktus spinalis anterior, berjalan naik dalam funikulus anterolateralis
kontralateral, dan berakhir di nukleus ventralis posterolateralis thalami, bersama
dengan serabut traktus spinothalamikus lateralis dan lemniskus medialis. Neuron
ketiga di nukleus thalamus lalu memproyeksi akson ke girus presentralisdalam
traktus talamokortikalis. (Baehr & Frotscher, 2005)

11
Traktus spinotalamikus lateralis. Ujung saraf dari serabut grup A dan C
melalui bagian lateral radiks posterior ke medulla spinalis dan berakhir di dalam
satu atau dua segmen substansia gelatinosa , membuat kontak sinaptik dengan
neuron funikularis (neuron kedua) yang prosesusnya membentuk traktus
spinotalamikus lateralis. Prosesus ini menyilang garis tengah di komisura spinalis
anterior, lalu naik di funikulus lateralis kontralateral menuju thalamus. Neuron
ketiga di nukleus thalamus lalu memproyeksi akson ke girus presentralisdalam
traktus talamokortikalis. (Baehr & Frotscher, 2005)

Traktus spinoserebelaris anterior. Serabut aferen Ia yang masuk medulla


spinalis membentuk sinaps dengan neuron funikularis di kornu posterior dan di
bagian sentral substansia grisea medulla spinalis. Neuron kedua ini yang
ditemukan setingkat segmen vertebra lumbalis bawah, naik di dalam medulla
spinalis baik di sisi ipsilateral dan kontralateral, dan berakhir di serebelum.
Traktus ini menyilang di dasar ventrikel ke empat ke otak tengahdan lalu berbelok
kearah posterior untuk mencapai vermis serebelli melalui pedunkulus serebelaris
superior dan velum medulla superius. Serebelum menerima input propiosepsi
aferen dari semua region tubuh dan output eferen mempengaruhi tonus otot dan
koordinasi kerja otot agonis dan antagonis (otot sinergetik) pada saat berdiri.
(Baehr & Frotscher, 2005)

Traktus spinoserebelaris posterior. Serabut aferen Ia dari spindle otot dan


organ tendon yang masuk medulla spinalis membentuk sinaps dengan neuron
motorik α yang besar di kornu anterior medulla spinalis. Serabut dari berbagai
tingkat vertebra berakhir pada dasar kornus posterior setinggi vertebra C8-L2,
dengan nama kolumna sel intermediolateralis, nukleustorasikus, kolumna Clarke,
dan nukleus stilling. Lalu berjalan ke atas ipsilateral di bagian posterior funikulus
lateralis dan kemudian melalui pedunkulus serebelaris inferior ke vermis serebri.
(Baehr & Frotscher, 2005)

12
Gambar. Medula spinalis dengan jaras asenden dan kelanjutan perjalanan target di
serebrum dan serebelum. (Baehr & Frotscher, 2005)

13
b. Traktus Desenden

Gambar. Perjalanan Traktus Piramidalis (Baehr & Frotscher, 2005)

14
Gambar. Traktus desenden dari otak ke medulla spinalis (Baehr & Frotscher,
2005).

15
Traktus desenden yang melalui medulla spinalis antara lain: traktus
parietotemporopontinus, traktus oksipitomesensefalikus, traktus frontopontinus,
traktus kortikospinalis, traktus rubrospinalis, traktus olivospinalis, traktus
vestibulospinalis, traktus retikulospinalis, traktus tektospinalis, traktus
tegmentalis sentralis. Traktus ini merupakan traktus yang memiliki fungsi
motorik. Traktus motorik berdasarkan anatomi dan fungsional dibagi dua
kelompok
a. Kelompok lateral, yang terdiri dari traktus kortikospinalis, traktus
olivospinalis, dan traktus rubrospinalis,
b. Kelompok medial, yang terdiri dari traktus retikulospinal, traktus
vestibulospinalis, dan traktus tektospinalis (Baehr & Frotscher, 2005).

Gambar. Sinaps traktus motorik desenden ke neuron kornu anterior medulla spinalis
(Baehr & Frotscher, 2005).

16
Gambar. A. Perbandingan anatomi medulla spinalis tikus dengan medulla spinalis
manusia. B. Perkiraan lokasi dari traktus asenden dan desenden dari tiap
spesies. S= traktus sensorik, M= traktus motorik (Silva, N A; Saus, Nuno;
reia, Rui L; et al, 2013).

Kerusakan medula spinalis yang akan dibahas pada bab IV mungkin bisa
disebabkan karena trauma atau non trauma. Traumatic SCI dapat terjadi karena
berbagai penyebab termasuk jatuh, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja dan
olah raga dan kekerasan. Non-traumatic SCI disebabkan oleh penyakit infeksi,
tumor, penyakit muskuloskeletal seperti osteoarthritis dan masalah kongenital
seperti spina bifida, dimana terjadi kerusakan saluran saraf yang berkembang
selama perkembangan embrio. Gejala lesi medulla spinalis tergantung pada luasnya
lesi, level lesi sesuai anatomi medulla spinalis yang dipaparkan di atas atau
penyebabnya, yang meliputi hilangnya sensorik, motorik dan otonom dari tubuh
baik komplit maupun inkomplit (NN, 2013).

17
2. ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI SEL SARAF MEDULA
SPINALIS

2.1 Sistem Saraf


Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan. Dalam
mekanisme sistem saraf, lingkungan internaldan stimulus eksternal dipantau dan
diatur. Kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau sensitivitas terhadap stimulus,
dan konduktivitas, atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respons terhadap
stimulasi, diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama :
a. Input sensorik. Sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor,
yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik) maupun internal
(reseptor viseral).
b. Antivitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang
menjalar di sepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis, yang
kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi stimulus, sehingga respon
terhadap informasi bisa terjadi.
c. Output motorik. Input dari otak dan medulla spinalis memperoleh respon yang
sesuai dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai efektor (Khan
Academy, 2017)..

Organisasi struktural sistem saraf, terdiri atas :

a. Sistem saraf pusat (SSP). Terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindungi
tulang kranium dan kanal vertebral.
Sistem saraf pusat terdiri atas :
i. Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari reseptor
pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke SSP.
ii. Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor
iii. Interneuron, ditemukan hanya pada system saraf pusat yang
menghubungkan satu neuron dengan yang lainnya. Informasi yang

18
diterima akan ditransmisikan ke neuron lainnya (baik neuron motorik
atau interneuron lannya) (Khan Academy, 2017).

Gambar. Organisasi dasar dari proses pemrosesan informasi pada system saraf
yang merupakan dasar teori untuk lengkung reflek (Baehr &
Frotscher, 2005).
b. Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini
terdiri dari saraf kranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan
medulla spinalis dengan reseptor dan efektor (Khan Academy, 2017).

Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi menjadi :


a. Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP
b. Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar.
Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi :
i. Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan_ lingkungan
eksternal dan pembentukan respons motorik volunteer pada otot rangka.
ii. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon involunter
pada otot polos, otot jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi
impuls saraf melalui dua jalur:
1. Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla
spinalis
2. Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral pada medulla
spinalis.

19
3. Sebagian besar organ internal di bawah kendali otonom memiliki
inervasi simpatis dan parasimpatis (Khan Academy, 2017).

Gambar. Pembagian Sistem Saraf pada Tubuh Manusia (Khan Academy, 2017)

20
Pada refrat ini akan dibahas lebih dalam perihal mekanisme yang terjadi
secara molekuler pada medulla spinalis baik secara normal yang terpapar pada
BAB III dan saat terjadi kerusakan yang terpapar pada BAB IV.

2.2. Sel pada Sistem Saraf Medula Spinalis


Secara umum, sistem saraf terdiri atas:

2.2.1. Neuron
adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan sel dan
perpanjangan sitoplasma. Fungsi neuron berupa menerima dan memproses
masuknya informasi. Sinyal yang masuk dapat berupa :
a. Eksitator, dimana sinyal tersebut membuat neuron tercetus (memacu
sebuah impuls elektrik)
b. Inhibitor dimana sinyal tersebut menjaga neuron dari cetusan rangsang
(Khan Academy, 2017).
Input sinyal diterima oleh kebanyakan neuron melalui pohon dendrite.
Sebuah neuron tunggal mungkin memiliki lebih dari satu set dendrite dan
ribuan sinyal yang masuk diterima oleh satu neuron. Jika neuron
menghentikan cetusan, impuls saraf atau aksi potensial dikonduksikan oleh
akson.
Neuron terdiri atas :
a. Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme
keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari komponen berikut :
i. Satu nukleus tunggal, nukleolus yang menanjol dan organel lain
seperti kompleks golgi dan mitokondria, tetapi nucleus ini tidak
memiliki sentriol dan tidak dapat bereplikasi.
ii. Badan nissl, terdiri dari reticulum endoplasma kasar dan ribosom-
ribosom bebas serta berperan dalam sintesis protein.
iii. Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat
melalui mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan perak.

21
b. Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya bercabang dan
pendek serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
c. Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang
dari dendrit. Bagian ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke
neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke badan sel neuron
yang menjadi asal akson (Khan Academy, 2017).

Gambar. Gambaran Neuron dan Sel Glial (Khan Academy, 2017)


Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi
impulsnya, terdiri atas: .
a. Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari reseptor
pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke SSP.
b. Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor

22
c. Interneuron, ditemukan hanya pada system saraf pusat yang
menghubungkan satu neuron dengan yang lainnya. Informasi yang
diterima akan ditransmisikan ke neuron lainnya (baik neuron motorik
atau interneuron lannya) (Khan Academy, 2017).
Neuron diklasifikasi secara struktural berdasarkan jumlah prosesusnya,
terdiri atas:
a. Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih.
Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam otak dan
medulla spinalis, masuk dalam golongan ini.
b. Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrit. Neuron ini
ditemukan pada organ indera, seperti amta, telinga dan hidung.
c. Neuron multipolar (Khan Academy, 2017).

2.2.2. Sel Neuroglial.


Biasanya disebut glia, sel neuroglial adalah sel penunjang tambahan pada
SSP yang berfungsi sebagai jaringan ikat (The University of Queensland,
2017).

23
Gambar. Tipe dari Neuroglia (The University of Queensland, 2017)
(1) Sel neuroglial sentral terdiri atas:
a) Astrosit
Karakter yang dimiliki sel ini adalah sel ini berbentuk bintang yang
memiliki sejumlah prosesus panjang, sebagian besar melekat pada
dinding kapiler darah melalui pedikel atau “kaki vascular”. Sel ini
bertugas untuk mengkontrol neurotransmitter, konsentrasi ion
seperti kalium dan ion yang berperan dalam metabolik. Astrosit
sebagai pengatur neurotransmitter, dapat berespons dalam
melepaskan molekul yang secara langsung mempengaruhi aktivitas
neuronal dan penting dalam memodifikasi sinap (The University of
Queensland, 2017; NN, 2017).
b) Oligodendrosit
Sel yang menyerupai astrosit ini dikarakteristikkan dengan
gambaran badan sel yang kecil dan jumlah prosesusnya lebih sedikit
dan lebih pendek. Sel ini berfungsi untuk membantu akson dari
neuron pada sistem saraf pusat, memproduksi substansi lemak yang

24
disebut myelin yang membungkus axon sebagai lapisan isolasi
dimana membuat pesan listrik berjalan lebih cepat pada white matter
(The University of Queensland, 2017; NN, 2017).
c) Mikroglia ditemukan dekat neuron dan pembuluh darah, dan
dipercaya memiliki peran fagositik. Microglia adalah sel imun otak,
yang menjaga otak saat terjadi trauma dan penyakit. Mikroglia
mengidentifikasi ketika ada hal yang salah dan mengawali respons
dengan mengeluarkan agen toksik dan membersihkan sel mati.
Namun pada saat terjadi kelainan neurodegeneratif, mikroglia
menjadi hiperaktif, memacu neuroinflamasi yang mengawali
penumpukan protein toksik yang terlihat pada Alzheimer (plak
amiloid dan neurofibrillary tangles) (The University of Queensland,
2017; NN, 2017).
d) Sel ependimal
Sel ini berfungsi untuk membentuk membrane epitelial yang
melapisi rongga serebral dan rongga medulla spinalis. Sel ini terlibat
dalam pembuatan cairan serebrospinal (The University of
Queensland, 2017; NN, 2017).
e) Sel glia radial
Sel ini adalah sel progenitor yang dapat menghasilkan neuron,
astrosit dan oligodendrosit (The University of Queensland, 2017).
Sel inilah yang terdapat pada medulla spinalis.

25
Gambar. Sel glial yang utama pada otak yang terdiri atas oligodendrosit
(biru), astrosit (hijau), dan mikroglia (merah marun). Neuron yang
ditunjukkan berwarna kuning dengan sel berwarna biru, yang
merupakan oligodendrosit, membentuk selubung myelin sekitar
axon (The University of Queensland, 2017).
(2) Sel neuroglia perifer :
a) Sel Schwann
Sel ini serupa dengan oligodendrosit pada sistem saraf pusat.
Neuron dilapisi oleh sel schwann sebagai pembentuk myelin pada
system saraf perifer.
b) Sel satelit

26
Neuron dikelilingi oleh sel satelit pada ganglia sensorik, simpatis
dan parasimpatis dan membantu meregulasi lingkungan kimia. Sel
ini berkontribusi pada nyeri kronik.
c) Sel neuroglia enterik
Sel glial enteric ditemukan pada saraf pada system digestif.
d) Sel muller.
Pada sistem saraf tepi hanya dua sel glia yang utama, yaitu sel satelit
dan Schwann (The University of Queensland, 2017).

Gambar. Tampak enam tipe sel glial dimana 4 ditemukan pada system saraf
pusat dan 2 sel utama yang terdapat pada system saraf tepi. (NN,
2017)

27
BAB III

KOMUNIKASI NEURON-GLIA

1. KONTROL NEURON DALAM SISTEM SARAF


Mekanisme di dalam neuron:
1. Transport aksonal
Neurotransmitter atau enzim yang mengkatalisis biosintesis akson dibuat di
perikarion dan kemudian dibawa mikrotubulus aksonal ke ujung akson pada
proses yang disebut transport aksoplasmik. Molekul neurotransmitter disimpan
dalam vesikel sinaptik di terminal bouton dimana masing-masing bouton
mengandung banyak vesikel sinaptik. Transport aksoplasmik yang secara
umum dapat terjadi pada salah satu arah yaitu dari badan sel sampai ujung
akson (transport anterogard) atau dari ujung akson menuju badan sel (transport
retrogard). Transport aksoplasmik cepat berlangsung dengan kecepatan 200-
400 mm/hari. Hal ini berbeda dengan alur aksoplasmik yang memiliki
kecepatan 1-5 mm/hari. Alur aksoplasma ini yang sering dipakai peneliti untuk
melihat transport anterogard dan retrogard. (Baehr & Frotscher, 2005)

28
Gambar. Struktur neuron (Baehr & Frotscher, 2005)

29
Gambar. Pelacakan proyeksi neuronal dengan zat pelacak anterogard dan
retrogard. Zat pelacak ini seperti pewarna flouresen yang disuntikkan
pada lokasi asal atau pada tujuan jaras neuronal yang ingin diketahui.
Zat pelacak tersebut lalu dihantarkan ke sepanjang neuron baik dari
badan sel ke terminal akson (transport anterogard) maupun kearah
sebaliknya (transport retrogard), sehingga pelacakan seluruh
proyeksi dari satu ujung ke ujung lainnya dapat diketahui. a.
Transport retrogard; b. transport retrogard dari area proyeksi multipel
pada sebuah neuron; c. transport anterogard dari sebuah badan sel ke
berbagai area proyeksi. (Baehr & Frotscher, 2005)
2. Mielinisasi akson

30
Akson dikelilingi oleh selubung mielin. Selubung mielin yang dibentuk oleh
oligodendrosit (kelompok sel glia yang khusus) di sistem saraf pusat adalah
kelanjutan dari membran oligodendrosit yang menyerupai selubung dan
membelitkan dirinya sendiri beberapa kali di sekeliling akson dan membentuk
insulasi elektrik. Segmen selubung mielin dibentuk oleh dua sel yang
berdekatan dan dipisahkan oleh area yang tidak diselubungi oleh membrane
akson yang disebut nodus Ranvier. Akibat insulasi mielin, potensial aksi hanya
menimbulkan depolarisasi di nodus Ranvier, sehingga eksitasi neuronal
melompat dari satu nodus Ranvier ke nodus Ranvier berikutnya. Proses ini
dikenal sebagai konduksi saltatoris. Dengan demikian, konduksi saraf lebih
cepat terjadi pada neuron yang memiliki mielin insulasi yang tebal dengan
nodus Ranvier yang jauh terpisah. Sebaliknya, akson yang tidak memiliki
selubung mielin, eksitasi harus berjalan relatif lebih lambat di sepanjang
membran akson. Dari paparan di atas dapat disimpulkan akson terbagi menjadi
akson bermielin tebal, akson bermielin tipis, dan akson tidak bermielin.
Kelompok ini ditandai dengan :
a. Serabut A yang bermielin tebal memiliki diameter 3-20µm dan kecepatan
konduksi hingga 120 m/s.
b. Serabut B yang bermielin tipis memiliki ketebalan hingga 3µm dan
kecepatan konduksi hingga 15 m/s
c. Serabut C yang merupakan akson tidak bermielin dengan kecepatan
konduksi 2 m/s. (Baehr & Frotscher, 2005)

31
Gambar. Serabut saraf pada sistem saraf pusat dengan oligodendrosit dan selubung
mielin. Keterangan gambar: 1. Oligodendrosit; 2. Akson; 3. Selubung
melin; 4. Nodus Ranvier; 5. Inner mesaxon; 6. Outer mesaxon; 7.
Kantung sitoplasma. (Baehr & Frotscher, 2005)

32
Sinaps
Struktur umum. Kontinuitas spasial langsung antar neuron tidak didapatkan pada
gambaran visualisasi sinaps di bawah mikroskop electron. Akson berakhir pada
salah satu sisi sinaps, dan impuls saraf dihantarkan menyeberangi sinaps oleh zat
transmitter khusus. Terminal akson (bouton) adalah bagian prasinaps dari sinaps,
dan membran sel yang menerima informasi yang dihantarkan adalah bagian
paskasinaps. Membran prasinaps dan paskasinaps dipecahkan oleh celah sinaptik.
Bouton mengandung vesikel yang mengandung zat neurotransmitter.

Berdasarkan ketebalan membran presinaps dan membran paskasinaps, dibagi dua:

a. Sinaps asimetris atau sinaps Gray tipe I, dimana membran presinaps lebih
menonjol dari membran paskasinaps. Sinaps ini diketahui sebagai sinaps eksitatorik.
b. Sinaps simetris atau sinaps Gray tipe II, dimana membran presinaps memiliki
ketebalan yang sama dengan membran paskasinaps. Sinaps ini diketahui sebagai
sinaps inhibitorik. (Baehr & Frotscher, 2005)

33
Gambar. Struktur sinap. 1. Membran presinaps dengan penebalan menyerupai jeruji,
membentuk ruang heksagonal di antaranya; 2. Celah sinaps; 3. Membran
postsinap; 4. Vesikel sinaptik; 5. Penggabungan vesikel sinaptik dengan
membran presinaps (disebut juga omega) dengan pelepasan
neurotransmitter (hijau) ke celah sinaps; 6. Vesikel dengan molekul
neurotransmitter yang diambil kembali ke terminal bouton; 7. Filament
akson. (Baehr & Frotscher, 2005)

Transmisi sinaptik dianggap sebagai rangkaian proses yang penting yang mendasari
terjadinya hubungan antar sinaps:

a. Impuls eksitatorik (potensial aksi). Depolarisasi pada membran prasinaps, yang


ditimbulkan oleh impuls eksitatorik yang mencapai akson terminal, membuka
kanal kalsium voltage dependent. Lalu ion kalsium mengalir ke terminal bouton
dan lalu berinteraksi dengan berbagai protein untuk menimbulkan fusi vesikel
sinaptik dengan membrane prasinaps. Molekul neurotransmitter di dalam
vesikel lalu dilepaskan ke celah sinaps.
b. Molekul neurotansmiter berdifusi menyeberangi celah sinaps dan berikatan
dengan reseptor spesifik pada membran paskasinaps.
c. Ikatan molekul neurotransmitter dengan reseptor menyebabkan kanal ion
terbuka, menginduksi aliran tegangan berion yang menyebabkan depolarisasi
atau hiperpolarisasi membran paskasinaps, baik Excitatory Postsinaps Potential
(EPSP) atau Inhibitory Postsynaptic Potential (IPSP). Dengan demikian eksitasi
dan inhibisi neuron paskasinaps ditimbulkan oleh transmisi sinaptik. (Baehr &
Frotscher, 2005)

34
Gambar. Transmisi sinaptik pada sinaps glutamatergik eksitatorik). Potensial aksi
yang diterima menginduksi infulks ion kalsium (Ca2+) (1) yang akibatnya
menyebabkan vesikel sinaptik (2) menyatu dengan membrane prasinaps,
mengakibatkan pelepasan neurotransmitter (glutamate) ke dalam celah
sinaps (3). Molekul neurotransmitter lalu berdifusi menyeberangi celah
ke reseptor spesifik pada membran paskasinaps (4) dan berikatan
dengannya, menyebabkan terbukanya kanal ion (5), pada gambar ini
kanal natrium. Influks ion natrium (Na2+) yang terjadi, disertai dengan
influks ion kalsium, menyebabkan depolarisasi eksitatorik pada neuron
paskasinaps (excitatory postsynaptic potential, EPSP). Depolarisasi ini
juga menghilangkan blokade reseptor NMDA oleh ion magnesium (Baehr
& Frotscher, 2005).

Long Term Depolaritation mengikuti stimulasi frekuensi rendah dari sel


postsinap. Glutamate dilepas pada sel post sinaptik yang menghasilkan

35
depolarisasi. Stimulasi menghasilkan masukkan calcium melalui NMDA
reseptor. Kalsium mengaktifkan protein phosphatase. Protein ini
mendefosforilasi subsrat yang dibutukan untuk menjaga reseptor AMPA pada
membrane dan beberapa reseptor AMPA didalam sel. Kelemahan stimulasi
elektrik dari neuron presinap menyebabkan pelepasan glutamate dari terminal
axon. Glutamate ini terikat pada kedua reseptor. Walaupun keduanya dapat
dilalui ion natrium dan kalium, stimulasi yang lemah pada keadaan normal
hanya mengaktifkan reseptor AMPA, yang menghasilkan depolarisasi neuron
postsinap. Ketika glutamate terikat pada reseptor NMDA pada keadaan sedikit
terdepolarisasi atau pada membrane istirahat., ion yang sangat rendah melewati
saluran. Konduktan rendah terjadi karena inti saluran terblok oleh ion
magnesium yang mencegah ion lain lewati secara bebas melalui saluran.dengan
stimulasi yang kuat, reseptor AMPA dapat mengeluarkan magnesium dari
saluran NMDA sehingga saluran NMDA berespon aktif terhadap glutamate
yang masuknya natrium dan sejumlah besar calcium. Calcium yang masuk ini
beperan penting dsebagai pembawa pesan yang mengaktifkan beberapa
kaskade sinyal intraseluler (Atluri, Kurapati, & Thangawel, 2015).

Beberapa kalsium terikat pada calmodulin, dan komplek ini mengaktifkan


beberapa proteinkinase yang termasuk kalsium atau kalmodulin yang
bergantung pada protein kinase atau CAM kinase. CAM kinase mempengaruhi
reseptor AMPA dalam dua jalan. Pertama, CAM memfosforilase reseptor
AMPA yang berada pada “dendritic spine membrane” yang meningkatkan
konduksi ion natrium. CaMKII memacu pergerakan reseptor AMPA dari
simpanan intraselluler ke membrane yang membuat reseptor lebih
memungkinkan untuk menstimulasi sumsum tulang (Atluri, Kurapati, &
Thangawel, 2015).

Sebagai tambahan efek postsinaptik, ion calcium mungkin juga


memfasilitasi pelepasan beberapa neurotransmitter seperti NO (Nitric Oxide).

36
Peningkatan jumlah reseptor AMPA, respons dari stimulus akan lebih kuat
daripada sebelum reseptor NMDA diaktifkan. Perubahan fisiologis ini
dimungkinkan menjadi dasar ekspresi Long Term Potential (LTP) (Atluri,
Kurapati, & Thangawel, 2015).

(A)

37
(B)

(C)

Gambar . (A) Long term Potentiation: NMDA dan AMDA adalah reseptor
glutamate pada neuron postsinaptik. NMDA diblok oleh ion

38
magnesium. (B) Pembentukan LTP: NMDA melepas magnesium
setelah depolarisasi dari membrane postsinaps untuk merespons
aktivitas ion natrium dan kalsium masuk ke dalam dan menginduksi
reseptor AMPA internal pada membran. (C) Sinap penghambat LTP:
reseptor NMDA yang tidak diblok saat depolarisasi dipacu oleh
reseptor AMPA. Dua reseptor ini yang berperan dalam potensial aksi
(Atluri, Kurapati, & Thangawel, 2015).

Gambar. Long Term Depolaritation (Atluri, Kurapati, & Thangawel, 2015)

39
2. INTERAKSI NEURON – GLIA
MIelinisasi adalah proses dengan banyak tahapan yang membutuhkan koordinasi
dari sinyal yang berbeda, dimana proses tersebut berupa:

a. Pengenalan dan adhesi dari oligodendrosit ke akson yang sesuai,


b. Sintesa dan transport dari komponen myelin pada akson,
c. Pelapisan membrane myelin di sekitar akson,
d. Pemadatan pelapis mielin. (Simon & Trajkovic, 2006)

Neuron (sel yang dapat dirangsang) dan glia (sel yang tidak dapat dirangsang,
astrosit, ependimal, oligodendrosit, dan mikroglia) merupakan elemen sel yang
utama dalam sistem saraf pusat. Rasio glia pada neuron hampir sama (kurang lebih
50% dari volume pada sistem saraf pusat dan sel glial secara kolektif memainkan
peran dalam homeostatik untuk membantu dan memproteksi neuron.

Mikroglia. Astroglia dan mikroglia merancang respons imun alami dari


medulla spinalis dan otak. Pada trauma medulla spinalis, mikroglia pada isyarat
kerusakan sel dan jaringan (DAMP yang meliputi myelin dan debris selular, IFN-
γ, lainin,atau ATP) melalui toll-like receptor (TLR) yang menjadi aktif, hipertrofi
dan secara fungsional berubah. Sel mikroglia berada dalam dua keadaan dasar,
yang tergantung sinyal eksternal, M1 (secara klasik teraktivasi) sebagai fenotip pro-
inflamasi dan M2 (terkadang teraktivasi) sebagai fenotip anti inflamasi, untuk
mempertahankan homeostasis medulla spinalis. Dua fenotip yang teraktivasi ini
(M1 dan M2) tampak bertransformasi menjadi bentuk amoeboid. Mikroglia M1
yang teraktivasi, menginisiasi kaskade respons neurotoksik pada fase sekunder dari
trauma medulla spinalis dan secara signifikan berkontribusi pada kerusakan
(apoptosis dan nekrosis) pada endhotel, neuron, akson, dan oligodendrosit, dan
akhirnya fagositosis. Kaskade inflamasi difasilitasi oleh berbagai patofisiologi
yang memberi sinyal, termasuk sitokin (TNF-α, IL-1ß, Il-6), kemokin, iNOS, ROS
(Reactive Oxygen Species), glutamate, dan protease. Ekspresi sitkin inflamasi

40
terjadi dalam dua jam dari awal trauma mekanik, lalu M1 yang aktif
dikarakteristikkan pada permukaan sel (seperti CD45 dan CD11b ( complemen
receptor 3, integrin αmß2) dan pada intrasel (yang menginduksi nitric oxide synthase
2, NOS-2). Sebaliknya, fenotip antiinflamasi M2 ditandai dengan pelepasan sitokin
antiinflamasi (IL-4, IL-10, IL-13),biomarker ekstensik (CD206- mannose receptor,
CD163-scavenger receptor) dan biomarker intrinsik (arginase) (Anwar, Shehabi,
& Eid, 2016).

Gambar. Sinopsis dari fenotip mikroglia M1 dan M2. Sitokin inflamasi (IL-1ß, IL-
6, IL-12, IFN-γ, dan TNF-α), sitokin anti-inflamasi (IL-4, IL-10, IL-13,
TGF-ß), kemokin (CCL2, CXCL1, CX3CL1), faktor pertumbuhan (GF,
IGF, BDNF, NGF, CNF, EGF), Substansi P, Nitrit Oxide, Reactive
Oxygen Superoxide, CGRP, LPS (Lipopolysaccharide), ATP (Adenosine

41
Triphosphate), Resolvin D1. Astrosit juga tampak seperti polarisasi
fenotip (Anwar, Shehabi, & Eid, 2016).

Gambar. Variasi subtipe mikroglia yang berefek pada remielinisasi (Wang, Liu, Li,
& etal, 2017).

Lipocalin (LCN2) sebagai sebuah protein fase akut, diketahui memacu konfersi
mikroglia pada keadaan istirahat pada fenotip M1. M1 mensekresi LCN2, yang
membentuk lingkungan mikro inflamasi yang melekat. Sebagai tambahan, LCN2
tidak hanya menurunkan polarisasi ke fenotip M2 dengan mengantagonis
fosforilasi dari STAT 6 pada IL-4 yang menstimulasi mikroglia, namun juga
membuat peka mikroglia untuk kematian yang otomatis. IL-10 mempolarisasi
mikroglia untuk memproteksi fenotip M2. Hal ini menunjukkan bahwa microglia,
M1 dan M2, meregulasi perkembangan dan mempertahankan respons inflamasi
pada medulla spinalis (Anwar, Shehabi, & Eid, 2016).

Astrosit. Astrosit terdiri atas populasi heterogen dari sel dengan kapasitas
fungsi yang bervariasi. Astroglia, sebagai sebuah komponen dari sistem imunitas
yang alami, terlibat dalam perkembangan yang merugikan pada kerusakan

42
sekunder. Adanya astroglia digambarkan dengan polarisasi fungsional yang
mengaktifkan M1 ( mensintesa sitokin proinflamasi, NO, glutamate, ROS dan
nitrogen) dan M2 (memproduksi pelepasan anti inflamasi) yang tergantung pada
lingkungan ectraselular untuk aktivasi. Neutrofik yang terektravasasi mensekresi
enzim proteolitik yang menyebabkan kerusakan pada neuron, glia, dan sel
endothelial. Mikroglia dan makrofag berkumpul, dimana tidak hanya memfagosit
debris molekular dan selular, namun juga berkontribusi pada demielinisasi akson,
apoptosis neuron dan oligodendrosit setelah kerusakan awal. Pada stadium ini,
region kavitas muncul, dan degradasi wallerian berhubungan dengan adanya glial
scar (yang dibentuk oleh penonjolan astrosit) (Anwar, Shehabi, & Eid, 2016).

43
Gambar. Astrosit berefek pada remielinisasi yang dapat diklasifikasikan dalam
4 grup utama, yaitu :

o Astrosit menyediakan sumber energy (laktat) dan kolesterol untuk neuron.


Glukosa diambil dari sel endothelial yang melapisi blood brain barrier atau
blood spinal cord barrier, yang lalu dibawa ke astrosit dengan membawa
glikogen tersebut. Kemudian glikogen digunakan untuk memproduksi laktat.

44
o Astrosit memainkan peran dalam transmisi sinyal sinaptik dengan
meregulasi cairan pH atau ion (contohnya ion kalium), homeostasis
neurotransmitter atau glia dan berkontribusi dalam modulasi sinap melalui
sekresi molekul, seperti trombospondin (THBSs).
o Astrosit berefek dalam proses bertahannya, proliferasi dan maturasi
oligodendrosit dengan mensekresi growth factor, dimana diregulasi oleh
homeostasis besi yang dipacu oleh astrosit. Kemokin mungkin juga
mempengaruhi membrane oligodendrosit dalam melapisi akson.
o Proses reaktivitas astrosit melalui pelepasan kemokin atau sitokin, dimana
berefek pada komunikasi antara seluruh sel neural termasuk mikroglia
(Kiray, Lindsay, & Hosseindeh, 2016).

Gambar. Skema efek dari sitokin yang diaktifkan oleh astrosit pada proses
remielinisasi. Astrosit dapat dipengaruhi oleh berbagai sitokin untuk

45
merubah status reaktivitasnya dalam rangkaian fenotip menjadi lebih aktif
dan reaktif, dimana sitokin tersebut dapat memodulasi mielinisasi pada alur
negatif maupun positif. Astrosit dengan reaktivitas yang berat menunjukkan
peningkatan ekspresi dari GFAP, proliferasi dan hipertrofi selular dengan
morfologi yang lebih seperti bintang. Astrosit yang teraktivasi lebih ringan
dapat mensekresi beberapa faktor, termasuk faktor neutrophik. Growth
Factor, dan sitokin yang menstimulasi re/mielinisasi dengan memacu
ketahanan neuronal, pertumbuhan neurit, neurogenesis dan atau ketahanan,
proliferasi dan, maturasi Oligodendrosit Perkursor Cell (OPC). Sebaliknya
astrosit cenderung menjadi sebuah fenotip yang lebih sangat reaktif, yang
kemungkinan diinduksi oleh sitokin inflamasi atau kerusakan jaringan
sistem saraf pusat, yang pada keadaan itu memacu sekresi sitokin dan
kemokin yang mengawali kerusakan mielin dan oligodendrosit secara in
vitro, menurunkan remielinisasi, menghambat perbaikan penyakit dan
menurunkan mielinisasi. Bagaimanapun, scar reaktif yang dibuat astrosit
dapat juga memproteksi jaringan system saraf pusat dengan mencegah sel
imun dari invasi dan pengeluaran respons pro inflamasi (Atluri, Kurapati, &
Thangawel, 2015).

Oligodendrosit tidak melapisi membran plasma secara acak di sekitar proses


neuronal namun memilih akson yang memiliki diameter > 0.2 µm. Pada
kenyataannya, level dari NRG-I dibutuhkan untuk proses mielinisasi dan mengatur
ketebalan mielin. Oligodendrosit mampu membaca NRG-1 dan sinyal dari akson
sistem saraf pusat. Setelah oligodendrosit berkontak dengan membran akson,
mereka mulai memanjangkan membrannya dengan membungkus akson secara
spiral mengelilingi akson (Simon, Mikael, Katarina Trajkovic, 2006). Mikroglia,
astrosit dan oligodendrosit memacu faktor penghambat (condroitin sulfate
proteoglycan, myelin associated glycoprotein, Nogo-A, oligodendrocyte-myelin
glycoprotein dan tenascin) untruk menghambat regenerasi aksonal. Hal ini dapat

46
menjadi target yang potensial untuk manipulasi terapi (Anwar, Shehabi, & Eid,
2016).

Kontrol Neuronal Perkembangan Oligodendrosit

Myelinisasi dari traktus aksonal dari sistem saraf pusat oleh oligodendrosit
terjadi pada awal kehidupan post natal ketika oligodendrosit berdiferensiasi dari
oligodendrocyte precursor cells (OPC). OPC berkembang dari neuroepitelium dari
zona ventrikular atau subventrikular dari otak dan bermigrasi dari regio ini sampai
mencapai akson yang sesuai selama perkembangan white matter. Setelah OPC
mencapai target akhir, mereka keluar siklus sel dan menjadi tidak bermigrasi lagi,
lalu berdiferensiasi di luar mielin membentuk oligodendrosit (Simon & Trajkovic,
2006).

Astrosit berada dalam sistem saraf pusat. Mereka berada pada white matter dan
gray matter, dan memiliki peran penting dalam neurofisiologi. Fungsi primer pada
astrosit adalah membatu dan mensuplai neuron. Astrosit meregulasi
neurotransmitter, yang berpartisipasi dalam sinaptogenesis, memediasi respons
imun, mengekpresikan molekul matriks ekstraselular, memacu migrasi sel, dan
memacu diferensiasi dan maturasi system saraf pusat. Astrosit secara langsung
berperan dalam proliferasi dan ketahanan oligodendrosit terutama dalam proses
remielinisasi (Wang, Hai-feng Xing-kai Liu, Rui Li, et al, 2017).

47
Gambar. Astrosit berefek pada remielinisasi dengan mempengaruhi diferensiasi
OPC dan maturasi OPC atau bertindak langsung pada oligodendrosit
(Wang, Liu, Li, & etal, 2017).

Regulasi perkembangan oligodendrosit dikontrol oleh berbagai faktor sinyal


penghambat dan penginduksi. Bagian dorsal medulla spinalis terdiri atas sinyal
yang menghambat perkembangan oligodendrosit. Sinyal BMP (Bone Morphogenic
Protein), yang merupakan anggota TGFß, dan Wnt diidentifikasi sebagai sinyal
medulla spinalis bagian dorsal dengan aktivitas temporal yang tumpang tindih dan
keduanya memiliki efek penghambatan yang sama pada diferensiasi OPC menjadi
oligodendrosit pada saat oligodendrosit matang, namun memacu astrogliogenesis.
BMP dan Wnt pada dasarnya memiliki banyak peran dalam perkembangan sistem
saraf, meliputi pembentukan embrionik, proliferasi sel, spesifikasi, diferensiasi dan
apoptosis. OPC yang berasal dari zona ventrikular bermigrasi secara dorsal dan
radial dan mengekpresikan A2B5, NG2, dan PDGFr-α (Platelet- derived growth
factor receptor-α). OPC dan astrosit homolog selama perkembangan, dan OPC
dapat secara langsung berdiferensiasi di dalam astrosit secara in vitro. Saat
diferensiasi dimulai, OPC berkembang menjadi oligodendrosit yang imatur,

48
memacu proses dan mengekspresikan GalC (Galactocerebroside) atau
Galactosylceramide. GalC adalah prekursor untuk glycosphingolipid, dan
ganglioside. GalC kaya pada sistem saraf, terutama neuron. Oleh karena itu pada
penelitian yang dilakukan, neuron dapat ditandai dengan antibodi anti-GalC.
Antibodi ini didapat pada hewan atau pun manusia dengan kelainan demielinisasi.
GalC paling banyak jumlahnya di oligodendrosit, yang berfungsi dalam
diferensiasi menjadi oligodendrosit yang matang. Hal ini sering digunakan peneliti
untuk penanda diferensiasi oligodendrosit (Feigenson, Reid, See, & etal, 2011).

Setelah berkontak dengan neuron, OPC mulai memacu proses mielinisasi,


mengekspresikan protein myelin, termasuk PLP (proteolipid protein), MBP
(myelin basic protein), dan CNP (2’, 3’ cyclic nucleotide 3’-phosphodiesterase),
lalu melapisi akson pada mielin dengan mengandung protein dan lipid (Feigenson,
Reid, See, & etal, 2011). Pada keadaan lesi, astrosit menjadi immatur sehingga
merangsang NG2 membatasi OPC berdiferensiasi menjadi oligodendrosit dan
keluar sel untuk memodulasi sinyal melalui reseptor NMDA dan AMPA dan sinap
neural dalam korteks, termasuk long term potential (LTP). Hal ini akan dibahas
pada bab selanjutnya. Pada keaadaan inflamasi atau ruptur susunan saraf pusat,
mikroglia (M1) berperan dalam merangsang proses inflamasi yang nantinya akan
mengganggu proses remielinisasi. Namun pada keadaan normal, mikroglia (M2)
membantu proses remielinisasi melalui diferensiasi OPC (Wang, Liu, Li, & etal,
2017).

Sinyal dari medulla spinalis bagian ventral, terutama Shh (Sonic hedgehog),
menginduksi faktor transkripsi yang penting untuk spesifikasi dan perkembangan
oligodendrosit, termasuk Olig1 dan Olig2. Sebaliknya, sinyal dari dorsal medulla
spinalis dapat menghambat perkembangan oligodendrosit, yang memungkinkan
untuk mengontrol waktu yang tepat ketika sel ini mencapai region dorsal dan
memielinisasi region dorsal. Walau demikian populasi OPC dorsal tidak

49
bergantung pad Shh, walaupun kontribusi secara keseluruhan terbatas. (Feigenson,
Reid, See, & etal, 2011).

Untuk memastikan mielinisasi dari seluruh traktus, waktu dari diferensiasi dari
OPC harus dikontrol lebih ketat oleh sel targetnya. Pada awalnya hal ini tidak
terbukti karena diferensiasi dari oligodendrosit pada kultur sel yang terjadi secara
normal pada ketiadaan neuron. Diferensiasi dari oligodendrosit terlihat mengikuti
alur yang gagal pada sinyal intrinsik yang didapatkan sejumlah divisi sel sebelum
sel mengeluarkan siklus sel dan menjalani urutan alur perkembangan (Simon &
Trajkovic, 2006). Sinyal intrinsik yang membatasi dan merangsang pertumbuhan
setelah terjadi kerusakan, berupa:

a. Kruppel-Like Factor (KLF) dan Sox 11, dimana pada neuron dewasa sinyal ini
meningkatkan kemampuannya untuk tumbuh kembali atau “sprouting”.
b. Tumor Suppressor Phosphatase and Tensin Homolog (PTEN), yang meningkat
pada neuron yang matang. PTEN menghambat aktivasi dari sintesa protein
yang meregulasi mammalian target of rapamycin (mTOR).
c. Aktivasi mTOR meningkat pada pertumbuhan akson tambahan setelah
kerusakan. Pada beberapa penelitian yang dilakukan dengan pemberikan graft,
mTOR teraktivasi sehingga merangsang respons pertumbuhan, faktor
transkripsi dan protein yang berhubungan, terutama VGLUT2 (Vesicular
Glutamate Transporter-2) pada presinap, terutama terdapat pada thalamus, otak
tengah dan batang otak. VGLUT2 berperan pada transmisi eksitatorik yang
tidak didapatkan pada neuron glutamatergik dan ketiadaannya akan
menyebabkan kematian dan penurunan 95% dalam mencetuskan respon
glutamate. VGLUT2 berhubungan dengan fungsi motorik, proses belajar dan
memori, nyeri nosiseptik dan neuropatik. (Mironets, Wu, & Tom, 2016;
Moechars, Weston, Leo, & etal, 2006).

50
Adanya sinyal ekstrinsik, yang dipaparkan pada beberapa penelitian, membantu
untuk mengontrol waktu yang tepat dari diferensiasi OPC untuk memastikan
mielinisasi terjadi pada waktu dan tempat yang tepat dan mencocokan sejumlah
oligodendrosit pada permukaan aksonal yang membutuhkan myelinisasi. Beberapa
faktor pertumbuhan dan faktor tropik, seperti NGF (Nerve Growth Factor), BDNF
(Brain-derived Neurotrophic Factor), PDGF-A (Platelet-derived growth factor
subunit A) , FGF-2 ((Fibroblast Growth Factor-1), IGF-1 (Insulin-like Growth
Factor-1), NT-3 (Neurotrophin-3), dan CNTF (Ciliary Neurotrophic Factor), telah
ditunjukkan berfungsi untuk meregulasi oligodendrosit. (Simon & Trajkovic, 2006)

Sinyal Ekstrinsik dalam Perkembangan Neuronal

Pada kultur neuron ganglion simpatis atau neuron dari DRG (dorsal root
ganglion), NGF dan NT3 menginduksi pertumbuhan akson dengan mengaktivasi
reseptor yang sesuai, TrkA dan TrkC. Sinyal NGF, terutama yang ditangkap TrkA,
dibutuhkan hanya untuk arborisasi akson terminal, dan bukan untuk ekstensi akson.
Arborisasi adalah struktur yang bercabang pada akhir serabut saraf. Sinyal NGF
bekerja pada pertumbuhan bagian kerucut dari neuron atau ujung neuron. BDNF
mampu menginduksi pertumbuhan akson dari neuron hipokampal melalui
reseptornya TrkB secara in vitro dan meregulasi pertumbuhan akson dari neuron
sistem saraf pusat secara in vivo, walaupun belum jelas pada beberapa penelitian
terakhir. IGF-1 berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan akson dari motor
kortikospinal baik secara in vivo maupun in vitro. Baik reseptor TrK dan reseptor
IGF-1 masuk dalam reseptor tirosin kinase (RTK), yang mentranduksi sinyal
melalui dua mediator, yaitu MAPK dan PI3K. Baik MAPK dan PI3K dibutuhkan
secara lokal pada pertumbuhan untuk meregulasi akson (Liu, Hur, & Zhou, 2012).

PDGF-A (Platelet-derived growth factor subunit A), yang diproduksi oleh


astrosit dan neuron, bertugas meregulasi proliferasi dan ketahanan OPC.

51
Overekspresi dari PDGF-A pada mencit menghasilkan peningkatan jumlah OPC
pada medulla spinalis mencit dan peningkatan produksi ektopik dari oligodendrosit
yang bertanggung jawab pada remielinisasi akson dan mengembalikan konduksi
saraf mendekati normal. Peningkatan proliferasi dapat diseimbangkan dengan
peningkatan apoptosis. Oligodendrosit merupakan satu-satunya sel yang mengatur
pelapisan akson yang bertahan, ketika akson tersebut gagal berdegenerasi
(Domingues, Portugal, Socodat, & etal, 2016).

FGF-2 merupakan sel yang memberi sinyal protein pada matriks ekstrasel
jaringan selama proses perombakan jaringan atau saat kerusakan dan terdiri atas
heparin sulfate proteoglycans. Fungsi dari FGF pada proses perkembangan
termasuk induksi mesoderm, perkembangan tungkai, induksi dan perkembangan
neural dengan merangsang neurogenesis, pertumbuhan dan diferensiasi akson,
pematangan jaringan atau angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah baru dari
vaskularisasi yang sudah ada), mengorganisasi keratinosit, dan proses perbaikan
luka dengan memacu priferasi, migrasi dan diferensiasi sel epitel. Ketiadaan FGF2
akan memacu regenerasi oligodendrosit, dengan meningkatkan proliferasi dan
diferensiasi OPC. FGF2 muncul untuk menghambat diferensiasi turunan dari
oligodendrosit dan OPC selama proses remielinisasi (Armstrong, Le, Frost, & etal,
2002). CNTF memacu regenerasi akson saat terjadi kerusakan pada nervus optikus.
Sinyal intrinsik ini tidak dibahas lebih lanjut pada refrat ini (Liu, Hur, & Zhou,
2012).

Jumlah akhir dari oligodendrosit ditentukan dari adanya kompetisi untuk


membatasi jumlah dari target molekul-molekul faktor pertumbuhan, seperti FGF-2
(Fibroblast Growth Factor-2), IGF-1 (Insulin-like Growth Factor 1), NT-3
(Neurotrophin-3), dan CNTF (Ciliary Neurotrophic Factor), kemokin, dan sitokin.
Faktor ini memperbaiki proliferasi dan mobilisasi OPC ke area yang demielinisasi
dan meningkatkan ekspresi gen yang berhubungan dengan diferensiasi
oligodendroglial. Karena kebanyakan faktor ini diproduksi oleh astrosit, peran

52
neuron tidak muncul pada awalnya. Pengeluaran akson menurunkan jumlah
oligodendrosit yang signifikan (Simon & Trajkovic, 2006; Domingues, Portugal,
Socodat, & etal, 2016).

Proses neuron piramidal secara in vitro pada sistem saraf pusat


dikarakteristikkan dalam 5 tahap besar dalam pembentukan dalam membuat
perbedaan antara akson dan somato-dendrit. Hal ini dibutuhkan dalam
pembentukan kembali aktin dan mikrotubulus sitoskleton yang mengikuti kejadian
kejadian dalam sel yang melibatkan instabilitas dari aktin-filamen.

Gambar. Regulasi molekular dari polarisasi neuronal. (a) Stadium yang


berkembang dari neuron yang dikultur, dimana menunjukkan

53
pecahnya sentrosom secara simetris pada stadium 2 dan pembesaran
membentuk pertumbuhan seperti kerucut dari akson yang diikuti
pertumbuhan axon (stadium 3). Lingkaran dan panah merah
menunjukkan pembesaran submembran pada pertumbuhan konus
dari akson yang ditunjukkan pada (c). Alur sitoplasmik secara
langsung dalam pemanjangan akson dari neuron stadium 3. Protein
sitosolik dan organela membrane (yang tergambar dengan warna
merah terdegradasi) terakumulasi dalam perubahan neurit menjadi
sebuah akson. (c) Koordinasi alur molekular yang mendasari
diferensiasi akson selama polarisasi neuron. Proses ini membutuhkan
kontribusi dari faktor remodeling dari sitoskeleton aktin (biru),
seperti cofilin, dan faktor yang meregulasi dinamika mikrotubulus
(merah), seperti stathin, beberapa faktor dan alur regulasi
mikrotubulus dan sitoskeleton aktin, seperti PI3K (kuning).

Faktor dari neuron yang mengatur ketahanan oligodendrosit adalah neurogulin


(NRG). NRG merupakan keluarga dari protein yang mengandung sebuah zat
menyerupai Epidermal Growth Factor (EGF) yang mengaktifkan membran yang
berhubungan dengan reseptor tyrosin kinase ErbB2, ErbB3, dan ErbB4. Pada
perkembangan sistem saraf pusat, NRG mengaktifkan ErbB pada oligodendrosit.
Pada ketiadaan ErbB2, oligodendrosit gagal untuk mencapai diferensiasi terminal
yang bertujuan untuk melapisi akson. NRG-1 membantu ketahanan dalam proses
pematangan oligodendrosit dan dengan penambahan NRG akan menurunkan
jumlah kematian sel yang terjadi selama perkembangan normal. Tanpa kontak
neuronal, NRG melalui sinyal MAPK (Mitogen-Activated Protein Kinase)
mengaktifkan PI(3)K-dependent survival yang mengaktifkan program hipertrofi
oleh angiotensin II. MAPK adalah protein kinase yang terlibat dalam respons
selular secara langsung terhadap beberapa stimulus, seperti mitogen, stress
osmotik, heat shock, dan sitokin proinflamasi. OPC mengekspresikan reseptor

54
Notch I dan berinteraksi dengan Jagged 1 yang berlokasi pada permukaan aksonal
dimana interaksi ini akan menghambat diferensiasi menjadi oligodendrosit.
Olehkarena ekspresi Jagged I diregulasi secara bertahap dalam neuron,
oligodendrosit menurun seiring berjalannya waktu yang sejajar dengan mielinisasi.
Hal ni seperti menunjukan bahwa neuron membantu membantu untuk meregulasi
waktu myelinisasi dengan menghambatkan oligodendrosit berdiferensiasi. (Simon
& Trajkovic, 2006)

Gambar. Sinyal neuronal dan glial dalam regulasi biogenesis myelin. (A)
Mikroskop elektron dari serabut saraf termielinisasi dalam saraf optik.
(B) (1) Astrosit dan atau neuron melepas beberapa faktor pertumbuhan
atau faktor tropik, seperti PDGF, FGF-2, IGF-1, NT-3 dan CNTF yang
meregulasi proliferasi oligodendrosit dan atau ketahanan oligodendrosit.
(2) Membran penghubung atau neuregulin mengikat reseptor ErbB pada
diferensiasi oligodendrosit. (3) Interaksi reseptor Notch I dengan Jagged
I menghambat diferensiasi oligodendrosit. (4) Peningkatan aktivitas
listrik menyebabkan pelepasan faktor promyelinating seperti LIF dari
astrosit (4a)dan merubah ekspresi level molekul adhesi sel aksonal. (4c)

55
NCAM (Neural Cell Adhesion Molecule) yang juga disebut CD56,
adalah homofilik yang mengikat glikoprotein pada permukaan neuron,
glia dan otot skeletal, dimana berperan dalam adhesi sel, pertumbuhan
neurit, plastisitas sinaptik, dan proses belajar dan memori (Simon &
Trajkovic, 2006)

56
Gambar. Komunikasi timbal balik dari oligodendrosit, astrosit, dan mikroglia
selama proses mielinisasi. Pada sistem saraf pusat yang tidak terkena
penyakit atau rusak, baik astrosit maupun mikroglia yang stabil mungkin
membantu (hijau) atau mencegah (merah) diferensiasi dari OPC menjadi
oligodendrosit yang termyelinisasi. Mikroglia yang stabil mungkin
berkontribusi untuk diferensiasi oligodendrosit dengan memacu bantuan
trophic atau nutrisi pada OPC. Selain itu, mikroglia dapat memodulasi
diferensiasi OPC secara langsung setelah proliferasi dengan ligan
eksogen. Secara langsung, ketika lipopolisakarida inflamagen
mempolarisasi mikroglia untuk mencegah proses (merah), sitokin anti
inflamasi IL4 mempolarisasi mikroglia untuk memacu diferensiasi OPC
(hijau) (Domingues, Portugal, Socodat, & etal, 2016).

57
BAB IV

CEDERA MEDULA SPINALIS

Medulla spinalis adalah suatu bagian vital dari sistem saraf sentral dan walau
terjadi Cedera Medula Spinalis (CMS) yang terjadi kecil namun hal ini mengawali
kerusakan yang berat. Medula spinalis berada dalam lapisan tebal dari tulang kolumna
spinalis dan dikelilingi otot. CMS disebabkan oleh penyakit seperti tumor, infeksi,
amyotrophic lateral sclerosis (ALS atau Lou Gehring’s disease) dan multiple sklerosis.
(Selzer & Dobkin, 2008) Hasil keluaran dari CMS dipacu oleh fase sekunder. CMS
menyebabkan respons inflamasi melalui aktivasi dari respon dari innate immune yang
berkontribusi dalam lesi sekunder dimana makrofag, yang berasal dari microglia dan
monosit, terakumulasi dalam episenter dan hematom dari medulla spinalis yang lesi
memainkan sebuah peran yang spenting dalam hubungannya dengan degenerasi
neuronal dan regenerasi neuronal. (Zhou, He, & Ren, 2014)

1. FASE DAN STADIUM DARI CEDERA MEDULA SPINALIS

CMS dapat dibagi dalam empat proses:

a. Mekanisme primer yang ditandai oleh vasospasm dan kematian sel dari
pengaruh langsung
b. Penyebaran lesi yang melibatkan pembuluh darah seperti pendarahan dan
reperfusi iskemi.

58
c. Reaksi inflamasi atau imun yang ditandai dengan apoptosis, demyelinasi dari
axon yang bertahan dan immune yang memediasi kematian sel.
d. Stabilisasi yang ditandai oleh kavitas sentral dan formasi skar kronik. (Zhou,
He, & Ren, 2014).

CMS dikarakteristikkan dengan:


a. Kerusakan primer
Lesi ini dibatasi oleh area yang spesifik dari fraktur vertebra dan
ditandai oleh hemoragik dan iskemik akut dimana berfungsi sebagai fokus
dari mekanisme sekunder lesi yang terinduksi. Secara makroskopis,
kerusakan primer ini tidak menyebabkan kerusakan nyata dari medulla
spinalis disamping kematian sel yang terjadi pada sisi lesi. Kerusakan ini
ditandai dengan destruksi langsung dari jaringan spinal yang melibatkan
blood-spinal cord barrier (BSCB) (Zhou, He, & Ren, 2014; Profyris,
Cheema, Zang, & etal, 2013)
Secara mikroskopis, daya tahan aksonal pada CMS tergantung pada
adanya mielin. Sebuah lesi kontusi pada medulla spinalis akan
menghasilkan perubahan sel oleh karena kerusakan aksonal yang difus dari
serabut myelin yang besar menjadi rentan terjadi. Akson yang termielinisasi
menjadi lebih rentan dari pada akson yang tidak termielinisasi karena
perenggangan serabut saraf secara longitudinal yang dipaksakan
terkonsentrasi pada nodus ranvier. Hal ini menunjukkan perbedaan
kerentanan dari “white matter” pada tingkat lesi kompresi medulla spinalis
(Profyris, Cheema, Zang, & etal, 2013)
b. Kerusakan sekunder
Lesi ini ditandai dengan destruksi neuronal dan sel glial, yang
mengawali sebuah ekspansi sel dan molekul inflamasi ke sisi lesi dan
menyebabkan lisis yang meluas ke segmen medulla spinalis yang

59
berdekatan. Proses inflamasi ini menyebabkan gliosis reaktif, edema, dan
kavitas dari parenkim spinal. (Zhou, He, & Ren, 2014)

Gambar. Ilustrasi yang menunjukkan lesi primer dan sekunder, nekrosis


neuronal, destruksi aksonal, dan demielinisasi selama kerusakan
sekunder, dengan sel parenkim (astrosit reaktif, mikroglia dan
ekstravasasi dari leukosit perifer (neutrofil, monosit/ makrofag,
sel B, sel K dan sel NK). Degenerasi wallerian, mikrotubulus
berkaitan dengan degradasi protein oleh calcium dependen neutral
protease, fragmentasi dan fagositosis oleh mikroglia dan
makrofag. Sejumlah kecil dari sel Schwann pada sistem saraf

60
pusat yang bermigrasi dari sistem saraf perifer (Anwar, Shehabi,
& Eid, 2016)

Gambar. Proses inflamasi yang dihasilkan pada kerusakan sekunder. Suatu


peningkatan permeabilitas diawali dengan pendarahan. Hal ini
diikuti dengan ekstravasasi leukosit yang teraktivasi, yang
melepaskan ligan inflamasi (seperti Matrix Metalloprotein
(MMP) untuk mendegradasi matriks ekstraselular dan protein
intraselular). Reactive oxygen species (ROS) mengaktifkan
protein dengan residu yang kaya sistein dan menginduksi alur
sinyal yang multipel yang juga memodulasi ekspresi gen (Anwar,
Shehabi, & Eid, 2016).
Proses infark pada kerusakan sekunder bermula pada kerusakan primer pada
arteriol, kapiler dan vena yang terbatas pada aliran darah pada sekitar jaringan
medulla spinalis. Terdapat beberapa mekanisme lesi sekunder, salah satunya
vasospasm, thrombosis dan syok neurogenik yang menyebabkan bradikardi,

61
hipotensi, penurunan resistensi perifer dan penurunan cardiac output. Pada level
selular, manifestasinya berupa hilangnya alur fosforilasi oxidative dan gliotik
olehkarena deplesi dari ATP (Adenosine Triphosphate). Deplesi ATP akan
memacu sekumpulan mekanisme nekrosis dimana meliputi hilangnya
permeabilitas membrane sel, pelepasan isi lisosom dan aktivasi dari calcium-
dependent auto destructive enzymes. Enzim ini yang terdiri atas protease,
phospholipase, ATPase, dan endonuclease yang mendegradasi membrane plasma,
nukleus dan komponen sitoskeletal. (Profyris, Cheema, Zang, & etal, 2013)
Peningkatan asam amino ekstraselular yang berupa glutamat akan
mengaktivasi reseptor glutamat. Penurunan ATP ase dan peningkatan glutamat
yang diterima reseptor glutamat akan mengawali depolarisasi membran sel dan
peningkatan ion kalsium intraselular. Hal ini akan mengawali kematian sel
neuronal dimanaakan terbentuk reactive oxygen species (ROS) dan sitokin. ROS
dan sitokin juga dirangsang pelepasannya oleh leukosit yang terinfiltrasi dengan
cepat saat mikroglia teraktivasi. (Silva, N A; Saus, Nuno; reia, Rui L; et al, 2013)

62
Gambar. Proses sellular setelah SCI (Zhou, He, & Ren, 2014)

Level kronik dari ROS mengawali berbagai penyakit inflamasi, termasuk


hipertensi, aterosklerosis, neurodegenerasi dan kanker. Penikatan stress oxidatif
juga berkorelasi dengan peningkatan umur, namun juga konsentrasi dari
antioksidan. Perburukan pada SCI tergantung pada keseimbangan pro-oxidan atau
anti-oxidan. Parenkim yang aktif (mikroglia) dan leukosit (makrofag dan
neutrofil) adalah pembentuk utama ROS. Komponen ROS terdiri atas superoksida
(O2-), radikal hidroksil (OH), hydrogen peroksida (H2O2), nitit oxide (NO), dan
peroxynitrit (ONOO-). Hal ini disintesa oleh sistem enzim (Nicotinamide- Adenine

63
Dinucleotidase Phosphate (NADPH) Oxidase, myeloperoxidase, cyclooxygenase,
dan xanthine oxidase), baik pada mikroglia dan leukosit. Pada traumatic CMS,
komponen yang utama adalah superoksida (O2-), dan radikal hidroksil (OH). Asam
lemak yang tidak tersaturasi (asam arakidonat, asam docosahexaenoic) adalah
target untuk radikal bebas, yang memproduksi aldehid elektrofilik reaktif yang
tinggi, seperti malondialdehid (MDA), 4-hydroxy-2-nonenal (4-HNE) dan
akrolein, dimana hal tersebut sebagai biomarker kerusakan oksidatif. Aldehid
reaktif merusak BSCB yang menyebabkan penurunan dalam viabilitas sel dan
meningkatkan permeabilitas vaskular. Oksidasi enzimatik (cyclooxigenase) dan
non enzymatic dari asam arakidonat merupakan penanda dari peroksidase lipid.
Produk akhir dari peroksidase lipid diinaktifkan oleh aldehyde dehydrogenase,
aldehyde reductase, dan glutathione S-tranferase. Hal ini terjadi pada awal
kerusakan (kurang dari 3 jam post kerusakan). Pada stadium ini, terapi anti oksidan
sangat penting dan menghambat respons inflamasi (Anwar, Shehabi, & Eid,
2016).

Nitric oxide berpartisipasi dalam aktivitas pleiotrofik sebagai sebuah


mediator dari proses fisiologis dan patofisiologis yang mencakup imunoregulasi.
Hal ini disintesa dari arginin oleh NOS, yang muncul dalam tiga isoform yang
berbeda, yaitu:

a. Neuronal (nNOS, NOS-2)


b. Bentuk yang dapat diinduksi (eNOS, NOS-2),
c. Enzim endothelial (eNOS, NOS-3).

eNOS yang teraktivasi melepaskan NO yang mampu memvasodilatasi dan


mengatur sinyal homeostasis vascular dengan memodulasi tonus arterial dan
mengatur tekanan darah. Ketika produksi NO gagal, disfungsi sel endothel akan
muncul dan mengawali kelainan kardio dan serebrovaskular. Sitokin inflamasi
(TNF-α, IFN dan IL-1) dan glicosphingolipid dikenal untuk induksinya pada

64
iNOS pada spektrum luas dari tipe sel, termasuk astrosit, mikroglia, makrofag, dan
neuron. iNOS memproduksi sejumlah besar molekul NO yang bereaksi dengan
radikal superoxide untuk menghasilkan spesies nitrogen reaktif. Aktivasi oksidatif
ini memacu peroksidasi lipid, fragmentasi DNA, dan memblokade respirasi
mitokondria. Akumulasi dari alur ini mengawali degradasi parenkim sel,
demielinisasi dan apoptosis sel neuronal (Anwar, Shehabi, & Eid, 2016).

Fibrinogen merupakan protein fase akut dan bagian dari kaskade


pembekuan. Hal ini memainkan peran pro inflamasi pada kerusakan sekunder
mengikuti kerusakan primer CMS. Peran fibrinogen dalam proses inflamasi post
CMS terutama diaktivasi oleh sel mikroglia. Fibrinogen memacu astrosit secara
langsung dalam pembentukan scar dan juga memainkan peran dalam pengaktifan
sel mikroglial dengan mengikat integrin. Peningkatan konsentrasi fibrinogen
berkorelasi dengan peningkatan agregasi sel merah dan pembentukan struktur
rouleaux. Struktur ini memperlambat aliran sirkulasi terutama area arteriol pre
kapiler dan venul post kapilar. Hal ini menyebabkan inflamasi grade rendah,
dengan keadaan prokoagulan pada disfungsi endotel yang terlokalisasi. Fibrinogen
adalah aggregator yang baik untuk sel darah putih dan platelet. Leukosit atau sel
darah putih pada awalnya berputar sepanjang dinding lumen, lalu menempel pada
sel endhotel, yang diikuti dengan ekstravasasi (migrasi trans endhotelial) ke area
fokal dari kerusakan. Hal ini menunjukkan bahwa fibrinogen memainkan peran
dalam CMS, terutama pada proses inflamaasi, koagulasi, homeostasis dan
interaksi selular (Anwar, Shehabi, & Eid, 2016).

Leukosit (granulosit, monosit atau makrofag, dan limfosit) berkumpul dalam


episenter SCI, dimana berpartisipasi dalam membatasi dan memperbaiki
kerusakan patologis. Neutrofil adalah sel inflamasi pertama yang bermigrasi pada
sisi kerusakan dengan sinyal oksidatif (NADP oxidase dan mieloperoxidase) dan
enzim proteolitik (Matrix Metalloprotein 9 (MMP9). Makrofag seperti yang sudah
dijelaskan di bab sebelumnya, dibagi menjadi 2 subtipe utama, M1 sebagai pro

65
inflamasi (berperan dalam perangsangan IL-1ß, IL-6, IL-2, TNFα) dan M2 sebagai
anti inflamasi (IL-10, IL13). Limfosit B dan T lebih sedikit dibanding leukosit
lainnya. Distribusi CD4+ dan CD8+ bervariasi dan pada medulla spinalis yang
mengalamai degenerative, CD4+ lebih banyak daripada CD8+. Pengaktifan sel B
dan sitokin akan meregulasi autoimun CMS (Anwar, Shehabi, & Eid, 2016).

Sistem komplemen, bagian dari sistem imun alami yang memainkan


neuropatogenesis inflamasi dari CMS. sebaliknya, komplemen berhubungan
dengan neuroprotektif, perbaikan dan regenerasi. Sistem komplemen meliputi
hamper 60 protein, termasuk yang berfungsi sebagai pengaktif maupun
penghambat. Komplemen protein C3a dan C5a berpartisipasi pada proinflamasi
dan peran neuroprotektif. Penghambat endogen yang diproduksi sel membran
memproteksi dengan melawan aktivasi komplemen (Anwar, Shehabi, & Eid,
2016).

66
Gambar. Diagram yang menunjukkan komponen utama dari kaskade komplemen,
yang meliputi regulator aktivasi komplemen dan efek patofisiologi
(Anwar, Shehabi, & Eid, 2016)

Apoptosis adalah bentuk kematian sel yang terprogram yang terlihat pada
berbagai proses perkembangan dan penyakit, termasuk kerusakan medulla spinalis
ini. apoptosis muncul pada neuron, oligodendrosit, mikroglia, dan mungkin juga
astrosit. Kematian oligodendrosit pada white matter berlanjut beberapa minggu
setelah kerusakan dan berkontribusi pada proses demielinisasi dengan
mengaktifkan mikroglia. Sel apoptosis ditemukan setelah CMS pada binatang
pengerat (tikus), monyet dan manusia yang mengindikasikan bahwa kematian sel
aktif memfasilitasi kerusakan setelah kerusakan sistem saraf pusat. (Silva, N A;
Saus, Nuno; reia, Rui L; et al, 2013)

Dari aspek respon biologis, CMS dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu,

a. Fase Akut (detik sampai menit setelah lesi)


b. Fase Sekunder(menit sampai minggu setelah lesi)
c. Fase Kronik ( bulan sampai tahun setelah lesi) (Zhou, He, & Ren, 2014)

Tabel. Fase dari cedera medulla spinalis (Zhou, He, & Ren, 2014).

67
Berdasarkan Ziddiqui et al, proses kerusakan fase sekunder dari SCI dibagi
menjadi lima subfase, yaitu:

a. Immediate
Fase immediate berakhir paling tidak pada dua jam pertama kerusakan dan
berkonstitusi segera setelah kerusakan. Kematian cepat dari neuron dan glia
mengawali syok spinal yang menghasilkan kehilangan yang cepat dari fungsi
pada dan di bawah lesi. Tanda awal dari fase immediate adalah kematian sel
nekrotik dari neuron olehkarena iskemi, pendarahan, edema, dan gangguan
mekanis dari membran sel. Awal fase immediate didapatkan peningkatan
regulasi dari TNFα dan ILß. Kejadian awal yang terjadi dalam beberapa menit
setelah CMS adalah peningkatan glutamate ekstraselular yang diikuti dengan
peningkatan ion kalsium ektraseluler. Hal ini yang berperan untuk kematian
sel secara selular (Gumera, Christiane, Britta Rauck, Yadong Wang, 2011;
Siddiqui, Khazael, & Fehlings, 2015).
b. Akut
Fase akut dapat dibagi menjadi dua stadium, yaitu akut awal dan subakut. Fase
akut awal terjadi pada 2 jam sampai 48 jam setelah trauma. Secara
makroskopis, tanda paling awal dari perubahan yang terlihat dalam 2 jam post
cedera adalah perluasan pendarahan pada sisi trauma dan tampak beberapa
pendarahan kecil-kecil. Pada onset 6 jam penumbra mengelilingi lesi primer
dan oedem terutama pada white matter (Profyris, Cheema, Zang, & etal, 2013).
Pada fase ini terjadi kerusakan vaskular dan pendarahan yang menghasilkan
iskemia. Hal ini menyebabkan hipotensi, peningkatan tekanan interstitial yang
mengawali hipoperfusi dari kerusakan medulla spinalis. Proses dari hemoragik
dan iskemi berhubungan dengan gangguan permeabilitas dari blood-brain
barrier (BBB) atau blood-spinal cord barrier (BSCB) oleh karena gangguan
dari vaskular dan efek dari mediator inflamasi pada sel endotel. Pada fase ini
terapi sel dan obat dapat diberikan karena akan mudah menembus BSCB/BBB.

68
Selain itu, sel imun sepeti sel T, netrofil dan monosit menjadi mudah masuk
sistem saraf pusat saat kerusakan pada BBB/BSCB. Dalam 24 jam post
kerusakan, neutrofil mencapai lesi dimana sitokin, MMP, superoxide
dismutase, dan myeloperoxidase diproduksi. Mikroglia proliferasi dan
berlanjut menjadi aktif pada fase subakut (Siddiqui, Khazael, & Fehlings,
2015). Pada hari pertama post cedera (12-24 jam), pendarahan membesar dan
menyatu. Pada daerah sekitar cedera menjadi terlihat lebih lembut dan menjadi
parut olehkarena peningkatan oedem. Pendarahan masih bertahan dalam
waktu tiga hari (Profyris, Cheema, Zang, & etal, 2013).
c. Subakut
Pada fase ini mikroglia merangsang leukosit perifer dan sel imun lainnya
melalui produksi sitokin yang meningkatkan kemokin. Neutrofil beraksi untuk
membantu ekstravasasi dan kemotaksis leukosit seperti dalam mengaktifkan
glia. Monosit mulai berkumpul saat netrofil berhenti meningkat pada 48 jam.
Pada 72 jam setelah trauma, monosit mulai berdiferensiasi dalam makrofag
dan memproduksi glutamate, TNFα, IL1 dan IL6 dan prostanoid yang
mungkin meningkatkan kerusakan sekunder. Reseptor glutamat berupa
reseptor NMDA dan AMPA saat ini terjadi peningkatan, dimana mengawali
influks dari ion natrium dan keluarnya ion kalium, yang kemudian disusul
dengan aktivasi kanal kalsium, disregulasi aktivitas mitokondria dan hilangnya
keseimbangan osmotik yang menghasilkan kematian sel eksitotoksik. Jumlah
makrofag mulai menurun tujuh hari setelah kerusakan, namun aktivasi
mikroglia dapat bertahan selama beberapa minggu setelah kerusakan
(Siddiqui, Khazael, & Fehlings, 2015). Delapan hari post CMS, pendarahan
hilang dan saat ini lesi primer meluas dengan kaya akan debris selular. Sampai
pada hari ke delapan ini juga terjadi proses nekrosis yang berawal secara
sentripetal dan rostrocaudal yang berawal pada sisi lesi primer. Proses nekrosis
ini berlangsung pada dua level vertebral pada bagian atas dan bawah lesi awal.
(Profyris, Cheema, Zang, & etal, 2013)

69
Pada fase ini sejumlah OPC meningkat secara persisten, dengan level tinggi
nya bertahan dalam satu bulan. Di bawah kondisi yang memungkinkan, OPC
berdiferensiasi menjadi oligodendrosit di luar myelin. Proses ini teregulasi
dengan bantuan berbagai alur sinyal, seperti faktor pertumbuhan, sitokin,
neuronergen, dan faktor transkripsi (Wang, Liu, Li, & etal, 2017).
Fase subakut berakhir kurang lebih dari 2 hari sampai 2 minggu setelah CMS.
Pada fase ini astrosit pada awalnya melalui sel nekrotik yang mati namun
menjadi hipertrofi dan proliferative. Proses sitoplasma yang besar bersama-
sama menjadi gliotic scar yang membentuk sebuah pelindung fisik dan kimia
untuk regenerasi (Siddiqui, Khazael, & Fehlings, 2015).
d. Intermediate
Fase intermediate dimulai kurang lebih 2-3 minggu setelah kerusakan dan
berlanjut pada 6 bulan setelah kerusakan. Selama fase ini, gliosis reaktif
berlanjut sebagai jaringan parut yang mulai matang dan terjadi sprouting
axonal dari traktus kortikospinal dan serabut retikulospinal (Siddiqui,
Khazael, & Fehlings, 2015). Pada 21 hari post trauma pada medulla spinalis
tampak kavitas, dan proses ini berlangsung sampai 14 minggu membentuk
kavitas yang besar. Regio ini dikelilingi oleh jaringan parut yang berasal
terutama dari glia dan menjadi tingkat yang lebih rendah dari glial scar.
Fenomena ini terjadi beberapa tahun sehingga memproduksi sindrom jangka
panjang dari syringomelia post trauma yang menghasilkan defisit neurologis
(Profyris, Cheema, Zang, & etal, 2013).
e. Kronik
Pada fase akhir pada CMS adalah fase kronik yang dimulai pada 6 bulan
setelah kerusakan dan berakhir selama waktu hidup dari pasien. Selama fase
kronik, lesi mulai menstabilkan bentuk scar dan pertumbuhan kista dan syrinx.
Pembersihan debris oleh mikroglia dan makrofag menyebabkan hilangnya
secara progresif jaringan saraf, sehingga memacu perkembangan kista.
Selanjutnya proses degenerasi wallerian dari akson berlanjut dan disusul

70
dengan pengeluaran badan sel dan akson yang terjadi selama bertahun tahun.
Strategi terapi pada fase ini bertujuan untuk memacu regenerasi, plastisitas
atau untuk meningkatkan fungsi dari akson (Siddiqui, Khazael, & Fehlings,
2015).

Fase ini ditandai dengan perubahan pada inflamasi, hemoragik, apoptosis, blood-
spinal cord barrier (BSCB), dan matrik ekstraselular

Gambar. Kejadian yang terjadi setelah SCI dibagi menjadi immediate (2 jam
pertama), akut (2-48 jam), subakut(48 jam-14 hari), intermediate (14
hari-6 blan), kronik (diatas 6 bulan) (Siddiqui, Khazael, & Fehlings,
2015).

71
Tabel. Kejadian Selama Fase SCI baik Kerusakan Primer dan Sekunder (Anwar,
Shehabi, & Eid, 2016).

Fase paling penting pada CMS adalah kerusakan sekunder dimana proses yang
terjadi pada fase ini tidak terbatas pada area dari fraktur vertebra namun meluas
pada segmen yang berdekatan dan mempengaruhi keseluruhan tubuh. Mekanisme
baik selular maupun selular pada fase ini multifaktor dimana melibatkan proses
inflamasi secara molekuler yang menghasilkan hematoma, edema, glial scar atau
akson, dan kavitas sentral. Pada mekanisme molekular, sekresi sitokin pada tahap
ini terdiri atas sitokin proinflamasi, seperti tumor necrosis factor α (TNF-α),

72
interferon-γ (IFN-γ), interleukin-1ß (IL-1), IL-6, IL-23, Leukemia Inhibitory
Factor (LIF) dan inducible nitric oxide synthase (iNOS) dan anti-inflammatory
cytokines seperti IL-10, IL-4, IL13, dan transforming growth factor ß (TGF ß) dan
kemokin, seperti CXCL1, CXCL 9, CXCL10, dan CXCL12. Peningkatan
berbagai sitokin ini sering disebut sebagai cytokine cocktail, dimana dimulai pada
hari pertama dan puncaknya mengalami peningkatan pada hari ke empat dan
berlangsung sampai beberapa bulan setelah CMS. Hal ini akan meningkatkan
infiltrasi makrofag, aktivasi mikroglia, dan hilangnya jaringan (Silva, N A; Saus,
Nuno; reia, Rui L; et al, 2013). Respon inflamasi yang terjadi dalam fase ini terdiri
atas beberapa fase:

a. Invasi neutrofil segera dan aktivasi dari mikroglia 0 - 2 hari,


b. akumulasi monosit darah ke dalam lesi pada hari ke 3 – 7, dan
c. resolusi “scar” atau jaringan parut oleh makrofag dan pertumbuhan axonal dari
hari ke 7 (Zhou, He, & Ren, 2014; Anwar, Shehabi, & Eid, 2016).

Pada sebuah kerusakan pada parenkim sistem saraf pusat atau penyakit
neurodegeneratif, oligodendrosit, yang sudah termielinisasi, berdegenerasi dan
mati. Proses ini adalah disebut demielinisasi aktif. Astrosit reaktif dan mikroglia
aktif secara langsung berpartisipasi dalam proses ini pada saat BSCB rusak.
Astrosit teraktivasi dan kehilangan penempelannya pada pembuluh darah kecil
pada awal perkembangan lesi. Astrosit ini meningkatkan HIF-1, VEGF-A yang
merangsang penurunan regulasi dari claudin-5 dan occludin, protein penting yang
membentuk ikatan dengan sel endotel yang mengawali kerusakan BSCB. Ekspresi
dari VCAM-1 (Vascular Adhesion Molecule-1), terutama dari astrosit, penting
untuk penempelan sel T pada parenkim sistem saraf pusat. Selain itu IL-1ß, yang
disekresi juga oleh astrosit, memediasi TNF menginduksi transport sel dalam sel
endotel. Selain itu, beberapa sitokin lain, seperti IL-12, IL-23, dan IL-15, dibentuk
oleh astrosit dan berperan dalam regulasi respon autoreaktif spesifik myelin dari
sel T efektor dengan menginduksi diferensiasi sel CD4+T pada fenotip

73
proinflamasi seperti Th1 atau Th17 dan juga aktivitas sitotoksik dari sel CD8+T.
Pada proses ini aktivasi sel B diregulasi juga oleh astrosit. Hal ini terjadi selama
penyakit akut. (Domingues, Portugal, Socodat, & etal, 2016)

Gambar. (A) Respons terhadap kerusakan pada system saraf pusat. Pada post
trauma, masuknya sel inflamasi dan astrosit reaktif menyebabkan
kavitas lesi meluas. Astrosit reaktif meningkatkan molekul inhibisi
seperti Chondroitin Sulfate Proteoglycan (CSP). Hal ini
menghasilkan kerusakan sekunder pada akson yang menyebabkan
demielinisasi dan meningkatnya konsentrasi lokal dari penghambat
myelin (Profyris, Cheema, Zang, & etal, 2013).

Netralisasi dari TNFα merangsang perbaikan fungsional dan menurunkan


apoptosis dan hilangnya jaringan setelah CMS. Sinyal TNFα yang tepat
dibutuhkan untuk remyelinasi dengan cara memacu prolifersi oligodendrosit awal.

74
Proses inflamasi awal pada minggu pertama setelah CMS ini menghasilkan
lingkungan mikro yang tidak menguntungkan untuk berbagai terapi CMS dan
membuat hambatan untuk terapi transplantasi. Respons inflamasi sistemik dan
lokal tidak hanya terjadi pada patogenesis dari kejadian neurodegeneratif selama
fase akut dan kronik dari SCI namun juga mengawali kematian glia dan neuron,
yang membentuk glial scar dan kavitas dalam parenkim spinal. (Zhou, He, & Ren,
2014) Bagian spesifik dari astrocyte scar atau glial scar pada penelitian yang
dilakukan akhir-akhir ini terbukti memiliki fungsi yang membantu regenerasi
axonal yang mengikuti CMS dan menginduksi mikroglia aktif. (Rust & Kaiser,
2017)

Gambar. Setelah lesi primer, astrosit yang berdekatan dan mikroglia teraktivasi
dan bermigrasi menuju sisi lesi. Astrosit dan sel glial lain yang meliputi
fibroblast teraktivasi membentuk glial scar. Sel mikroglial terutama
tampak pada area tepi lesi dan pada area yang tidak rusak. Makrofag
terakumulasi pada episenter dari medulla spinalis yang rusak. (Zhou,
He, & Ren, 2014)

75
Gambar. Bone-marrow derived macrophages (BMDMs) diakumulasi pada
epicenter lesi pada hari ke 3-7 post trauma. Makrofag M1 dan M2
terdeteksi pada lesi epicenter selama minggu pertama setelah CMS.
Fagositosis makrofag dari debris myelin terdeteksi pada sisi lesi dari
minggu 1-2 setelah CMS. Myelin-laden macrophages (myelin Mⱷ)
yang secara fenotip menyerupai M1 dan berada untuk waktu yang
panjang. (Zhou, He, & Ren, 2014)

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan penurunan infiltrasi makrofag


dapat menghambat kerusakan jaringan sekunder. Makrofag (BMDMs) dan
mikroglia dapat dibedakan dari lokasi, BMDMs terutama berlokasi pada sisi lesi
SCI, dan mikroglia terdistribusi dalam batas lesi, dan berdasarkan ekspresi dari
Mac-2 (galantine-3), dimana infiltrasi makrofag ditandai dengan CX3CR1low/
Mac-2high dan mikroglia ditandai dengan CX3CR1high/ Mac-2low. BMDMs
memainkan peran dalam memfagosit sel yang nekrotik dan apoptosis dan
membersihkan debris jaringan seperti debris mielin yang terjadi puncaknya
sampai 42 hari. Mikroglia memainkan peran utama untuk membersihkan jaringan
yang rusak dan degenerasi pada hari ke 3 setelah trauma (Zhou, He, & Ren, 2014).

76
Tabel. Klasifikasi Makrofag (Zhou, He, & Ren, 2014)

Pada jurnal yang ditulis oleh Rust et al, menyatakan sel endothel membawa
sinyal penghambat infiltrasi makrofag dan mikroglia dimana berfungsi sebagai
kontrol inflamasi sesudah CMS. Hal ini di atur oleh ligan CD200 (CD200L) pada
sel endothel dimana pada keadaan normal CD200L diekspresikan pada sistem
saraf pusat dan blood-CSF barrier dan mening medulla spinalis namun tidak
terdapat pada endothel dari BSCB. Setelah SCI sel endothel yang terlokalisasi
pada inti lesi meningkatkan CD200L.

Gambar. Astrosit yang berefek remielinisasi dengan berefek pada diferensiasi


OPC dan maturasi OPC (Wang, Liu, Li, & etal, 2017).

77
BMP dan Olig2 mungkin terlibat dalam diferensiasi OPC dalam astrosit. BMP4
meningkat pada SCI untuk berkontribusi dalam diferensiasi OPC dalam astrosit,
walaupun BMP4 antagonis hanya berefek terbatas pada penghambatan
diferensiasi astrosit. BME4 adalah plipeptida yang mengacu pada protein TGF-ß,
seperti protein morphogenetic tulang, yang terlibat dalam tulang dan pertumbuhan
kartilago. Pada perkembangan embrionik, BMP4 penting dalam memberi sinyal
untuk diferensiasi awal (Wang, Liu, Li, & etal, 2017).

Olig2 menghambat diferensiasi OPC dalam astrosit dimana overekspresi Olig2


menurunkan diferensiasi sel stem neural oada astrosit secara in vitro. Selama
perkembangannya, sejumlah besar dari Olig2 memacu diferensiasi OPC pada
astrosit mielin. Molekul yang memacu diferensiasi OPC dalam astrosit termasuk
hialuronan, janus kinase (JAK)-Stat1 dan jagged 1. Disamping itu SCI memacu
Leucine rich repeat and Ig domain containing 1 (LINGO-1) yang menghambat
diferensiasi OPC menjadi oligodendrosit yang matang. Pada beberapa penelitian,
penghambatan LINGO-1 digunakan untuk terapi multiple sklerosis (Wang, Liu,
Li, & etal, 2017).

Pada kondisi kronik, astrosit memproduksi fibronektin pada matriks ekstraselular


yang bertujuan menghambat pertumbuhan oligodendrosit. Endothelin-1 (ET-1) adalah
pemberi sinyal pada peptide yang dihasilkan oleh astrosit reaktif pada lesi yang
terdemielinisasi. Peptide ini menurunkan rata-rata remielinisasi dengan beraksi secara
tidak langsung pada OPC dan pada astrosit melalui aktivasi reseptor endothelin-B
(Domingues, Portugal, Socodat, & etal, 2016). Kurang lebih 25% dari pasien CMS,
glial scar mengelilingi kavitas kistik yang secara progresif mengawali syringomielia.
(Silva, N A; Saus, Nuno; reia, Rui L; et al, 2013; Rust & Kaiser, 2017)

Pada penelitian analisis kuantitatif dari oligodendrosit pada kerusakan sistem saraf
pusat dengan manifestasi yang buruk termasuk CMS yang dilakukan Lucchinetti et al
menunjukkan bahwa hanya 30% dari lesi tidak ditemukan OPC, dan 70% lainnya

78
terdapat peningkatan OPC yang sulit untuk meremielinisasi akson. Pada jurnal ini juga
disampaikan pada penelitian terakhir yang dilakukan Moyon et al menunjukkan bahwa
OPC orang dewasa memiliki transkriptor yang lebih mirip dengan oligodendrosit
dibanding dengan OPC neonatal. Pada kondisi demyelinisasi, OPC dewasa diaktifkan
dan mengembalikan fenotipnya menjadi lebih dari OPC neonatal. Disamping itu,
sitokin IL-1ß dan kemokin CCL2 diproduksi, sehingga meningkatkan mobilisasi OPC
dan memacu repopulasi pada area demyelinisasi. Hal ini menunjukkan bahwa OPC
dapat memodulasi neuroinflamasi dan memacu regenerasi dan bukan sel target yang
mudah (Domingues, Portugal, Socodat, & etal, 2016).

Astrosit berproliferasi dan mungkin membentuk glial scar dari jaringan yang
padat dari sel yang hipertrofi. Astrosit reaktif memiliki perubahan yang nyata pada
ekspresi dari molekul adhesi, molekul yang menghasilkan antigen, sitokin, faktor
pertumbuhan, reseptor, enzim, dan protease penghambat yang memodifikasi komposisi
matriks extraselular (ECM). Astrosit memodulasi sel imun perifer dengan mensekresi
kemokin CCL2 dan CXCL10 pada tepi dari proses kerusakan sekunder untuk
mengumpulkan mikroglia yang overreaktif yang mungkin berperan dalam
meningkatkan hilangnya oligodendrosit. Ekspresi mRNA dari CCL2 meningkat.
Sinyal mikroglia terlibat dalam pengumpulan sel imun perifer untuk meregulasi
demielinisasi aktif. Demielinisasi aktif, astrosit yang reaktif dan mikroglia yang
teraktivasi dapat merangsang maupun menghambat proses remielinisasi. Astrosit
mensekresi CXCL1, CXCL8, dan CXCL10, sebagai molekul kemoattraktan, untuk
mengumpulkan OPC ke zona yang didemielinisasi dimana OPC dapat berdiferensiasi
menjadi oligodendrosit yang matang. Hal ini penting untuk remielinisasi. (Domingues,
Portugal, Socodat, & etal, 2016).

79
Gambar. Proses Molekular Setelah SCI (Rust & Kaiser, 2017)

80
Gambar. Komunikasi oligodendrosit, astrosit dan mikroglia selama demielinisasi dan
remielinisasi (Domingues, Portugal, Socodat, & etal, 2016)

81
2. GLIAL SCAR
Kerusakan spinal cord dapat menghasilkan jaringan parut atau scar pada zona lesi
yang terisi komponen selular dan matrix penghubung. Secara umum, jaringan
parut diklasifikasi dalam dua bagian,, yaitu:
a. fibrotic scar
Jaringan parut ini terbentuk dari fibroblast dari sel meningeal dan perivaskular,
yang menempati area episenter lesi dengan sedimentasi dari matrix kolagen.
Dekat dengan lapisan luar dari fibrotic scar, ada sebuah struktur khas
ditemukan, membran yang membatasi glial yang menandai batas antara
fibrotic scar dan jaringan glial scar (Yuan & He, 2013).
b. Glial scar (terutama astrosit)
Jaringan parut ini terdiri dari proses dinamik dari gliosis reaktif, yang ditandai
oleh proses kompleks dari astrosit reaktif pada zona perilesi, sehingga
membentuk lapisan nyata sebagai pembatas fisik dari pertumbuhan akson dan
mencegah akson tumbuh melewati pelapis ini setelah CMS. Gambaran MRI
(Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan ketebalan glial scar arah rostral
atau caudal lebih tebal daripada region lateral dari kavitas yang terbentuk pada
medulla spinalis mencit (Yuan & He, 2013).

82
Gambar. Skema asal sel dari pembentukan glial scar yang mengikuti SCI.
Astrosit (biru), sel ependim (ungu), dan sel progenitor NG2 (hijau)
astroglial scar dapat berkembang menjadi jaringan parut atau scar
yang heterogen di dalam glial scar (Yuan & He, 2013).

Glial scar merupakan penghalang regenerasi akson pada medulla spinalis oleh
karena penyusunan irregular dari komponen mayor dari matriks extraselular
(ECM), yaitu Condroitin Sulfate Proteoglycan (CSPG) yang disekresikan oleh
astrosit reaktif itu sendiri pada batas area demielinisasi. Keluarga CSPG termasuk
neurocan, versican, brevican, dan NG2 (Neuron-glial antigen 2). Pada manusia,
setelah CMS, NG2 dan phosphacan terdeteksi terlibat mengembangkan atau
sering disebut glial scar. Neurocan dan versican berada secara eksklusif di lesi
episenter (Domingues, Portugal, Socodat, & etal, 2016; Yuan & He, 2013).

83
Ekspresi NG2 meningkat pada sisi lesi setelah CMS, namun beberapa sel termasuk
perisit, sel schwann non myelin, dan makrofag juga mengekspresikan NG2.
Penggunaan antibody NG2 digunakan untuk mengidentifikasi sel glial NG2.
Adanya sel NG2+makrofag, sel NG2+ perisit, atau PDGFRα+ fibroblast dipakai
sebagai penanda sel NG2 yang berlokasi dalam inti lesi. Sel NG2
bertanggungjawab untuk diferensiasi secara langsung pada oligodendrosit tanpa
pembagian sel dalam 6-8 hari. Stimulasi optogenetik dari neuron dapat
meningkatkan proliferasi sel NG2 dan diferensiasi menjadi oligodendrosit.
Beberapa faktor yang penting untuk proliferasi dan diferensiasi sel NG2
meningkat setelah CMS, berupa Fibroblast Growth Factor 2 (FGF2), glial growth
factor 2 (GGF2), Wnt. FGF2 merupakan mitogen poten untuk sel NG2 secara in
vitro dan meningkat paling tidak 1 bulan setelah CMS ataupun setelah injeksi
FGF2 intraspinal. Hal ini berperan dalam perbaikan fungsional paska CMS. GGF2
berguna untuk meningkatkan proliferasi sel NG2, oligodendrogenesis, dan
perbaikan fungsional paska CMS. GGF2 sangat tinggi pada SCI post mielitis. Wnt
memainkan peran utama dalam proliferasi sel NG2 selama perkembangan dan
meningkat paska CMS. Wnt3A meningkatkan proliferasi sel NG2 secara in vitro
dan menghilangkan ß-catenin pada NG2 yang menyebabkan hipomielinisasi dan
terhambatnya remielinisasi setelah demielinisasi (Hackett & Lee, 2016).

Tabel. Antibodi yang digunakan untuk melabel sel NG2 paska SCI (Hackett &
Lee, 2016)

Astrosit reaktif pada glial scar memiliki dua asal:

84
i. Zona proximal lesi yang meningkatkan regulasi dari protein sitoskeletal dari
protein sitoskeletal (sepeti Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP),
vimentin dan nestin) dan bagian ini yang membutuhkan preparat stem-cell
untuk membentuk keturunan baru dari astrosit.
ii. Zona distal lesi

Selain astrosit yang reaktif, pembentukan sel glial melibatkan sel ependimal dan
sel meningeal. Sel progenitor atau stem cell berada pada dua lokasi utama: zona
proksimal ke kanalis sentralis dan di sekitarnya mengelilingi di bawah permukaan
medulla spinalis (Yuan & He, 2013).

Pada saat CMS awal, sel ependim yang membatasi kanalis sentralis
menginduksi sel progenitor bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi astrosit. Sel
ependim yang menurunkan astrosit disebut GFAP negative, dimana membentuk
bagian tengah glial scar dan astrosit yang reaktif pada perkembangan perifer
dengan menduplikasi sendiri. NG2 adalah membran yang melapisi permukaan sel
setelah kerusakan medulla spinalis. Komponen matriks ekstraselular, termasuk
NG2, menghambat proses OPC tumbuh keluar, berdiferensiasi, dan adhesi dan
merusak remielinisasi. Populasi sel NG2 terdiri atas OPC, sel perisit, sel Schwan
yang tidak termielinisasi, sel meningeal, makrofag, dan mikroglia. Sel NG2 dan
phosphacan terdeteksi dalam astroglial scar, sementara neurocan dan versican
berada di episenter lesi. Progenitor NG2 memiliki berbagai bentuk yang
memproduksi oligodendrosit. Oligodendrosit mengekspresikan protein dasar
myelin pada proses penyelubungan akson setelah lesi dan berdiferensiasi menjadi
scar yang membentuk astrosit selama 24 jam setelah lesi. CSPG memediasi
kegagalan remielinisasi neuron yang bergantung pada Protein Tyrosine
Phosphatase Sigma (PTPIC) dan aktifasi Rho-associated Kinase (ROCK) pada
matriks ekstraselular (Yuan & He, 2013). CSPG secara langsung menurunkan
proses pertumbuhan dari Oligodendrocyte Progenitor Cell (OPC) dan
differensiasi menjadi oligodendrosit yang matang secara in vitro. Disamping itu,

85
CSPG juga mengontrol aktivitas mikroglia dan infiltrasi bloodborne monocytes
melalui reseptor CD44 yang memainkan peran penting pada SCI (Yuan & He,
2013). Penghambatan dari ROCK atau PTPIC meningkatkan proses pertumbuhan
keluar oligodendrosit dan mielinisasi selama pemaparan pada CSPG (Domingues,
Portugal, Socodat, & etal, 2016; Yuan & He, 2013).

Gambar. Gambaran neuroregenerasi setelah kerusakan medulla spinalis/ SCI.


(A) Lesi pada akson dan demielinisasi setelah SCI. (B) Pengikatan
CSPG menghasilkan aktivasi Rho dan penghambatan regenerasi
aksonal. Dengan penghambatan CSPG dengan Chondroitinase ABC
(ChABC) yang diberikan secara intratekal 2-6 minggu atau
penghambatan Rho dengan Cethrin, regenerasi akson dapat dipacu.
ChABC melepaskan pelindung atau barier fisik untuk regenerasi. (C)
Self-assembling peptides (SAP) dapat diinjeksikan ke dalam kista

86
dan beraksi sebagai rangka yang bertujuan regenerasi akson melalui
kista ini (Siddiqui, Khazael, & Fehlings, 2015).

Gambar. Gliosis reaktif setelah CMS. (A) Setelah SCI, astrosit berproliferasi,
mensekresi sitokin, kemokin, dan CSPG dan membentuk batas glial-
fibrotic. (B) sel NG2 proliferasi, berdiferensiasi menjadi
oligodendrosit dan astrosit, dan berkontribusi membentuk scar
setelah CMS. Sel NG2 berkontribusi pada glial scar dengan
mensekresi sitokin dan berkontribusi untuk proses perbaikan luka
yang sampai sekarang belum diketahui prosesnya dengan jelas
(Hackett & Lee, 2016).
Setelah CMS, anggota CSPG berupa NG2 dan phosphacan terdeteksi dalam
astroglial scar, sementara neurocan dan versican berada di episenter lesi.
Dimediasi oleh Rho kinase, CSPG menghambat pertumbuhan neurit secara in vivo
dan in vitro. CSPG secara langsung menurunkan proses pertumbuhan dari
Oligodendrocyte Progenitor Cell (OPC) dan differensiasi menjadi oligodendrosit

87
yang matang secara in vitro. Disamping itu, CSPG juga mengontrol aktivitas
mikroglia dan infiltrasi bloodborne monocytes melalui reseptor CD44 yang
memainkan peran penting pada SCI. (Yuan & He, 2013)

Gambar. Pembentukan scar setelah . Astrosit (biru), sel NG2 (merah), dan
mielinisasi oligodendrosit (kuning), pada white matter medulla
spinalis yang rusak. (A) Kematian sel terjadi dalam sisi lesi dan akson
yang rusak. Mikroglia dan astrosit merespon dengan mensekresi
sitokin dan kemokin. Sel NG2 bereaksi dan berproliferasi
mengelilingi lesi. Makrofag (abu-abu) mulai menginfiltrasi inti lesi
dan fibroblast perivaskular (hijau) mulai membagi dirinya dalam
beberapa lapis dari pembuluh darah. (B) Inflamasi menyebabkan
kematian sekunder dari oligodendrosit dan neuron yang mengawali
akumulasi debris myelin pada sisi lesi. (C) desitas makrofag dan
fibroblast memuncak pada 7 hari setelah CMS. (D) dua minggu
setelah CMS, scar matang, dimana terdapat batas yang erat antara
fibrotic scar (yang terdiri atas fibroblast dan makrofag) dan glial scar

88
(yang terdiri atas astrosit, sel NG2 dan mikroglia). (E) Sejumlah sel
yang berhubungan mungkin tidak mencerminkan secara langsung
keadaan patologis secara in vivo (Hackett & Lee, 2016).

Beberapa molekul yang berhubungan dengan awal dan pemeliharaan glial scar:
i. Bone Morphogenetic Protein (BMP). BMP 2/4/7 dan noggin pada
astrosit reaktif terjadi peningkatan pada trauma medulla spinalis pada
sisi lesi. BMP-4 memacu diferensiasi astrosit dari NSC ketika
menurunkan produksi neuron dan oligodendrosit. Ablasi genetik dari
BMPR1b, sebuah subtipe dari reseptor BMP tipe 1, yang mengawali
melemahnya glial scar pada stadium kronik setelah kerusakan medulla
spinalis. BMPR1a dan BMPR1b memiliki efek yang berlawanan pada
fase awal hipertrofi astrosit.
ii. Matrix Metalloprotein (MMP). MMP-2 dan MMP-9 berperan dalam
perubahan bentuk ECM dan pembentuka glial scar. Pada percobaan
sebelumnya, pemberian rekombinan dari MMP extraselular yang
menginduksi adenovirus pada medulla spinalis yang mengalami
kontusio, menurunkan deposisi CSPG pada glial scar dan meningkatkan
pernaikan lokomotor.
iii. Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR). EGFR tidak terdeteksi
pada astrosit di sistem saraf pusat yang normal, namun meningkat
regulasinya pada astrosit sesudah kerusakan pada medulla spinalis.
EGFR menginduksi astrosit reaktif untuk bermigrasi, hipertrofi dan
membentukglial scar melalui aktivasi dari alur sinyal Rheb-mTOR.
EGFR pada area lesi bertanggunggung jawab dalam pembentukan glial
scar selama fase akut SCI.
iv. Eph/Ephrins. Keluarga Eph dari reseptor tyrosin kinase diketahui
dengan baik berperan dalam memandu pertumbuhan akson selama
perkembangan. Setelah kerusakan medulla spinalis, Eph berjalan

89
bersama ligannya dan terakumulasi pada akson proximal dan astrosit
reaktif untuk bersama-sama membentuk glial scar. Efek dari ephrin-B2
pada astrosit reaktif dan EphB2 pada fibroblast meningeal menunjukkan
bahwa kejadian seluler dimediasi oleh Ephrin-B2 dan EphB2 pada awal
kejadian dalam perkembangan “glial scar” pada SCI. Peningkatan Eph4
pada axon yang terkena lesi mengawali retraksi pada akson
kortikospinal dan menghambat regenerasi axon pada beberapa minggu
usai kerusakan medulla spinalis.
v. Cytoskeleton. Vimentin dan GFAP merupakan filament intermediate
cytoskeleton yang utama yang diexpresikan selama perkembangan.
Pada kasus SCI, baik viementin dan GFAP meningkat pada astrosit
reaktif. Kurangnya densitas scar yang diawali oleh terjadinya
pendarahan terjadi pada defisiensi vimentin dan GFAP dimana terjadi
kegagalan motilitas astrosit yang merupakan hasil dari ablasi filament
intermediate. Ketiadaan secara genetik dari vimentin dan GFAP juga
meningkatkan aksonal sprouting dan memfasilitasi perbaikan secara
fungsional.
vi. Transforming Growth Factor Beta (TGF-beta). TGF-beta meningkat
dengan cepat setelah kejadian SCI pada segmen yang terkena trauma.
Baik TGF-1 dan TGF-2 terdeteksi dalam makrofag dan astrosit dimana
TGF-1 juga berhubungan dengan neuron. Lokalisasi seluler dan bentuk
ekspresi dari TGF-beta menunjukkan bahwa induksi awal dari TGF-
beta1 pada daerah yang terkena SCI. TGF beta merangsang respons
inflamasi akut dan formasi “glial scar”.
vii. Signal Tranducer And Activator Of Transcription And Interleukin
(STAT/IL). Sinyal ini berkontribusi pada inflamasi neuron dan memacu
daya tahan regenerasi neuron. Sebuah tanda penurunan dari
pembentukan glial scar terjadi pada kondisi dengan penurunan STAT3.
Spektrum luas dari pencetus extraseluler untuk mengaktifkan

90
intraseluler STAT3, sebagian interferon tipe I dan II, neurositokin dan
growth factor termasuk EGF dan plateled-yang berasal dari growth
factor. Netralisasi dari pro inflamasi seperti IL6 selama fase akut SCI
secara signifikan menurunkan diferensiasi astrosit yang memacu efek
dari stem neural endogen atau sel progenitor, yang menggambarkan
efek seluler dari pembentukan glial scar oleh IL-6. S100a dan SOX9
dilaporkan secara langsung terlibat dalam formasi glial scar oleh
perangsangan migrasi astrosit reaktif dan menargetkan deposisi CPSG
(Yuan & He, 2013).

91
Gambar. Pemicu dan mediator yang terlibat dalam pembentukan glial scar
(Yuan & He, 2013).

92
Pembentukan dari glial scar penting untuk membantu pemulihan BBB atau BSCB,
dimana glial scar mencegah OPC masuk ke dalam area demielinisasi untuk berinteraksi
dengan neuron yang gundul. Glial scar selain sebagai barier fisik namun juga sebagai
hambatan biokimia untuk remielinisasi. Secara langsung, astrosit dapat memproduksi
sebuah bentuk berat molekul hialuronan yang ditemukan untuk berakumulasi pada lesi
demielinisasi yang kronik.

3. VARIAN MEKANISME CEDERA MEDULA SPINALIS DENGAN


PENYEBAB SELAIN TRAUMA

BBB mencegah masuknya sel T dalam system saraf. BBB/ BSCB pada keadaan normal
tidak mudah ditembus dengan sel-sel inflamasi kecuali dipacu oleh infeksi atau virus,
dimana terjadi penurunan integritas tight junction. Pada kerusakan BBB atau BSCB
perbaikan dan integritasnya didapatkan kembali setelah bebas infeksi, sel T masih
terjebak didalam otak atau medulla spinalis. Hal ini yang membuat proses kerusakan
medulla spinalis tetap berlangsung.

Kelainan Autoimun. Pada keadaan kelainan autoimun, sistem imun menyerang


sistem saraf, yang membentuk plak atau lesi. Hal ini seringkali melibatkan white
matter. Pada kelainan autoimun, proses yang terjadi adalahnya hancurnya
oligodendrosit yang menyebabkan demielinisasi. Walaupun pada fase akut terjadi
remielinisasi namun tidak komplit. Pada serangan berikutnya, proses remielinisasi akan
terjadi dengan kemungkinan yang lebih kecil dan seperti itu selanjutnya. Pada
pembesaran plak yang aktif, gambaran histologi yang tampak pada lesi demyelinisasi
(multiple sklerosis) adalah adanya akumulasi dari linfosit dan makrofag disekitar batas
plak dimana demielinisasi terjadi. Oligodendrosit hilang dan tampak astrosit reaktif
dengan sejumlah microglia pada plak. Pada keadaan ini, akson pada plak secara umum
masih intak. Pada plak inaktif tidak dijumpai adanya sel inflamasi perivaskular yang

93
menginfiltrasi dan ketiadaan dari oligodendrosit. Demielinisasi pada area plak terjadi
komplit dengan keterbatasan regenerasi myelin. Gliosis berkembang dengan baik
namun astrosit tampak kurang menonjol. Beberapa akson hilang (Prasanna, 2016).

Pada multiple sklerosis terjadi berbagai mekanisme yang melibatkan sel T dan
sel B. Sel tersebut teraktivasi oleh merokok (Th 17),obesitas, Epstein Barr Virus
(EBV). Sel T teraktivasi melalui BBB atau BSCB dan mensekresi sitokin yang
merangsang fungsi efektor. Sel Th1 memproduksi IFNγ dan TNFα, sel Th17
mensekresi IL-17, IL-21, IL-22, dan IFNγ; T helper CD8 memproduksi IL-17, IFNγ
dan granula sitolitik. Sitokkin memulai aktivasi sel imun (microglia, astrosit, dan
makrofag), sehingga terbentuklah ROS dan meningkatkan fungsi APC. Granula
sitolitik yang dibentuk CD8 akan mempengaruhi putusnya akson (Allan, Kaskow, &
Weiner, 2018).

Gambar. Sel T efektor pada Multiple Sklerosis (Allan, Kaskow, & Weiner, 2018).

94
Gambar. Peran Patogen dari Sel B pada Multiple Sklerosis (Allan, Kaskow, & Weiner,
2018).

Gambar. Mekanisme pada Multiple Sklerosis (Allan, Kaskow, & Weiner, 2018).

95
Sel imum system saraf pusat, microglia, astrosit dan sel B memicu proses penyakit
pada MS progresif yang berkontribuasi pada neurodegenerasi. Sel imun ini
mengaktifkan mekanisme perhapusan yang tidak bergantung imun. Rusaknya
mitokondria terjadi sebagai hasil dari mutasi mitokondria DNA (mtDNA) dan
menurunkan aktivitas respirasi, meningkatkan defisiensi energy, yang memacu
produksi ROS. Besi yang dilepaskan dari region demielinisasi aktif dan berkontribusi
pada stress oksidatif (Allan, Kaskow, & Weiner, 2018).

Gambar. Gambaran secara histologis dari kerusakan medulla spinalis pada multiple
sklerosis (Prasanna, 2016).

Inflamasi. Proses inflamasi dimulai dengan aktivasi makrofag yang memacu


pengeluaran sel T. Sel T ini menyerang myelin, dan menstimulasi sel imun lainnya dan

96
faktor yang larut seperti sitokin dan antibodi, yang pada akhirnya merusak BBB atau
BSCB (Koyuncu, Hogue, & Enquist, 2013).

Gambar. Proses respon imunitas alami yang terjadi pada awal infeksi (Prasanna, 2016).

97
Gambar. Kontrol imun dalam infeksi virus. Pattern Recognition Receptors (PRRs)
selular mengenal molekul virus setelah bersetuhan dan masuk dalam sel.
Pertahanan intrinsik autonom dimulai pada pengenalan awal dengan
melibatkan peningkatan sintesa protein antiviral dan beberapa sitokin,
termasuk IFNα/ß. Jika pertahanan intrinsic gagal untuk menghentikan
replikasi virus, sitokin dan sel yang terinfeksi mengaktifkan sel sentinel
(contohnya: sel dendritik dan makrofag), dimana memproduksi duplikasi
dari sitokin dan antigen untuk memacu sel T. Respon imun alami yang
diaktifkan dengan segera, melibatkan aksi sestem komplemen, sel natural
killer, neutrofil, dan granulosit. Over reaksi dari respons ini disebut badai
sitokin. Respon imun adaptif terjadi lambat, sistemik dan mengawali induksi
memori immunologi. Sel yang dimediasi respons Th1 melibatkan aksi sel T
helper CD4+ dan sel T sitotoksik CD8+ (CTLs). CTLs penting untuk
membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi IFNγ dan TNFα. Respons
humoral Th2 melibatkan sel T helper CD4+ dan antibody yang memproduksi

98
sel B. sepanjang proses nfeksi ini, gejala klinis yang terjadi selama infeksi
virus disebabkan oleh aksi inflamasi dari system imun alami dan adaptif
(Koyuncu, Hogue, & Enquist, 2013).

Gambar. Rute Masuknya Virus dalam Medula Spinalis. (A) Virus herpes alpha
(contohnya, HSV-1, VZV, dan PRV) menginfeksi neuron sensorik
pseudounipolar dari ganglia sistem saraf perifer. Virus membutuhkan akson
anterograde untuk dapat menuju medulla spinalis. (B) RABV dan poliovirus
menyebar via neuromuscular junction (NMJ) dari otot menuju neuron motor
somatic pada medulla spinalis (Koyuncu, Hogue, & Enquist, 2013).

99
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN
Medula spinalis adalah suatu bagian vital dari sistem saraf pusat, selain otak.
Medula spinalis terdiri atas servikal, thorakal dan lumbosakral. Medulla spinalis
merupakan organ penting dalam timbulnya reflek baik monosinaptik maupun
polisinaptik, dimana dengan reflek ini manusia dapat menggerakkan otot secara
spontan. Medula spinalis juga merupakan penghubung antara sistem saraf perifer
dengan otak melalui traktus asenden dan desenden.
Didalam medulla spinalis terdapat komunikasi antara neuron dan sel glial
(astrosit, ependimal, oligodendrosit, dan mikroglia). Hal ini yang berperan penting
dalam semua proses pada medulla spinalis baik apotosis, demielinisasi maupun
remielinisasi. Pada keadaan cedera medulla spinalis sel inflamasi bermigrasi ke sisi
lesi, mengaktifkan sitokin dan kemokin, sehingga terjadi kerusakan BSCB (Blood-
Spinal Cord Barrier). Pada keadaan ini disebut kerusakan primer pada 3 jam
pertama. Rusaknya BSCB akan mengaktifkan sel glial untuk memulai kerusakan
sekunder. Diantara sel glial, astrosit berperan penting dalam transmisi, modulasi
sinaps dan bersama dengan sel glial lainnya mengawali proses kerusakan pada
medulla spinalis dengan terbentuknya glial scar. Semakin reaktif astrosit, semakin
berat proses demielinisasi terjadi. Astrosit yang reaktif akan mengaktifkan OPC
untuk merangsang pembentukan oligodendrosit yang berperan penting dalam
pembentukan mielin. Namun dengan semakin reaktif astrosit maka oligodendrosit
akan berhenti terbentuk sehingga proses demielinisasi terjadi.
Glial scar yang terbentuk pada lokasi cedera berfungsi untuk melindungi
jaringan diluar lesi agar tidak terjadi perluasan lesi, namun dengan adanya scar ini

100
proses regenerasi tidak dapat terjadi pada sisi lesi dan pada akhirnya menjadi
gambaran kistik, yang sering tampak sebagai syringomieli.
Proses ini yang sebaiknya dipahami untuk dapat memberi terapi yang tepat pada
pasien dengan cedera medulla spinalis dengan berbagai penyebab. Penggunaan
berbagai faktor pertumbuhan, steroid atau anti inflamasi, anti oksidan, sampai pada
stem cel didasari pada patofisiologi yang terpapar dalam refrat ini.

2. SARAN
Refrat ini hanya memaparkan patofisiologi proses demielinisasi dan
remielinisasi secara selular dan molekular pada cedera medulla spinalis. Perlu
adanya pemaparan lebih lanjut perihal perkembangan terapi pada cedera medulla
spinalis yang telah dibutikan melalui beberapa penelitian, yang bertujuan untuk
membuktikan adanya kesinambungan dengan proses yang dipaparkan pada refrat
ini.

101
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M., Shehabi, T. S., & Eid, A. H. (2016). Inflammogenesis of Secondary Spinal Cord
Injury. Frontiers in Cellular Neuroscience .

Armstrong, R. C., Le, T. Q., Frost, E. E., & etal. (2002). Absence of Fibroblast Growth Factor2
Promotes Oligodendrocyte Repopulation ofDemyelinated White Matter. Maryland: The
Journal of Neuroscience.

Atluri, V. S., Kurapati, K. V., & Thangawel, S. (2015). Synapyic Plasticity and Neurological
Disorders in Neurotropic Viral Infections. Hindawi ResearchGate , Volume 2015.

Baehr, M., & Frotscher, M. (2005). Duus' Topical Diagnosis in Neurology. New York: Thieme.

Domingues, H. S., Portugal, C. C., Socodat, R., & etal. (2016). Oligodendrocyte, Astrocyte,
and Microglia Crosstalk in Myelin Development, Damage, and Repair. Frontiers in Cell and
Developmental Biology , volume 4: 71.

Feigenson, K., Reid, M., See, J., & etal. (2011). Canonical Wnt Signaling Requires the BMP
Pathway to Inhibit Oligodendrocyte Maturation. Philadelpia: ASN Neuro Research Article.

Gumera, Christiane, Britta Rauck, Yadong Wang. (2011). Materials for Central Nervous
System Regeneration: Bioactive Cues. Journal of Materials Chemistry , volume 21, 7033.

Hackett, A. R., & Lee, J. K. (2016). Understanding the NG2 Glial Scar After Spinal Cord
Injury. Frontiers in Neurology , 7:199.

Khan Academy. (2017). Overview of Neuron Structure and Function. Retrieved April 10,
2018, from The Neuron and Nervous System:
https://www.khanacademy.org/science/biology/human-biology/neuron-nervous-
system/a/overview-of-neuron-structure-and-function

Kiray, H., Lindsay, S. L., & Hosseindeh, S. (2016). The Multifaceted Role of Astrocytes in
Regulating Myelination. Elsevier , 541-549.

Koyuncu, O. O., Hogue, I. B., & Enquist, L. W. (2013). Virus Infections in the Nervous
System. Cell Host and Microbe .

Liu, C.-M., Hur, E.-M., & Zhou, F.-Q. (2012). Coordinating Gene Expression and Axon
Assembly to Control Axon Growth: Potential Role of GSK3 Signal. Frontiers in Molecular
Neuroscience .

102
Mironets, E., Wu, D., & Tom, V. J. (2016). Manipulating Extrinsic and Intrinsic Obstacles to
Axonal Regeneration after Spinal Cord Injury. Neural Regeneration Research , volume 11,
issue 2.

Moechars, D., Weston, M. C., Leo, S., & etal. (2006). Vesicular Glutamate Transporter
VGLUT2 Expression Levels Control Quantal Size and Neuropathic Pain. The Journal of
Neuroscience , 26(46):12055–12066.

NN. (2013). International Perspectives on Spinal Cord Injury. Switzerland: WHO press.

NN. (2017). Modul 54/ Glial Cells. Retrieved April 10, 2017, from Anatomy and Physiology:
https://oli.cmu.edu/jcourse/workbook/activity/page?context=21af2e8380020ca60060fd6b86d
a64ce

Pertiwi, G., Dwi, M., & Berawi, K. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula
Spinalis. J Medula Unila , volume 7 nomor 2.

Prasanna, J. (2016, Maret 13). Demyelinating Disease. Retrieved Mei 1, 2018, from
SlideShare: https://www.slideshare.net/tamizhponnu9/demyelinating-diseases-59482740

Profyris, C., Cheema, S. S., Zang, D. W., & etal. (2013). Degenerative and Regenerative
Mechanism Governing Spinal Cord Injury. Elsevier , 415-436.

Rust, R., & Kaiser, J. (2017). Insights into the Dual Role of Inflammation after Spinal. Journal
Club , 37(18):4658–4660.

Selzer, M. E., & Dobkin, B. H. (2008). Spinal Cord Injury. New York: AAN Press American
Academy of Neurology.

Siddiqui, A., Khazael, M., & Fehlings, M. G. (2015). Translating Mechanism of


Neuroprotection, Regeneration, and Repair to Treatment of Spinal Cord Injury. Elsevier , 15-
55.

Silva, N A; Saus, Nuno; reia, Rui L; et al. (2013). From Basic to Clinical: A Comprehensive
Review on Spinal Cord Injury. Progress in Neurobiology .

Simon, M., & Trajkovic, K. (2006). Neuron-Glia Communication in the Control of


Oligodendrocyte Function and Myelin Biogenesis. Journal of Cell Science , 4381-4389.

Simon, Mikael, Katarina Trajkovic. (2006). Neuron-Glia Communication in the Control of


Oligodendrocyte Function and Myelin Biogenesis. Journal of Cell Science , 4381-4389.

103
The University of Queensland. (2017). Type of Neuroglia. Retrieved april 10, 2018, from
Queensland Brain Institute: https://qbi.uq.edu.au/brain-basics/brain/brain-physiology/types-
glia

Wang, H.-f., Liu, X.-k., Li, R., & etal. (2017). Effect of Glial Cell on Remyelination After
Spinal Cord Injury. Neural Regeneration Search , volume 12, Issue 10.

Wang, Hai-feng Xing-kai Liu, Rui Li, et al. (2017). Effect of Glial Cell on Remyelination After
Spinal Cord Injury. Neural Regeneration Search , volume 12, Issue 10.

Yuan, Y. M., & He, C. (2013). The Glial Scar in Spinal Cord Injury and Repair. Neurosci Bull
, 29(4): 421-435.

Zhou, X., He, X., & Ren, Y. (2014). Function of Microglia and Macrophages in Secondary
Damage after Spinal Cord Injury. Neuronal Regeneration Research , volume 9, issue 20.

104

Anda mungkin juga menyukai