PENDAHULUAN
Hipertrofi kardiomiosit adalah merupakan respon seluler terhadap
peningkatan stress biomekanis, baik yang berasal dari luar sel miosit, seperti
hipertensi arterial atau penyakit katup maupun yang berasal dari dalam seperti
kardiomiopati hipertrofi familial (FHC). Hipertrofi otot jantung pada mulanya
berfungsi untuk menormalisasikan peningkatan tekanan pada dinding jantung,
dengan cara meningkatkan ukuran kardiomiosit, peningkatan sintesis protein,
aktivasi program ekspresi gen jantung fetal, modulasi sumber energy seluler dan
peningkatan koordinasi fungsional di tingkat sarkomer.1,2
Meskipun hipertrofi dianggap sebagai respon adaptif terhadap sinyal
patologis yang diperlukan untuk mempertahankan kardiak output pada keadaan
stress, namun hipertrofi yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
hipertrofi maladaptive yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kematian
mendadak atau memburuk menjadi gagal jantung. Pada berbagai penelitian
didapatkan hubungan positif antara hipertrofi jantung dengan peningkatan stress
oksidatif akibat hipertiroid yang mengindikasikan bahwa spesies oksigen reaktif
(ROS) dapat menyebabkan pertambahparahan hipertrofi menjadi gagal jantung.1,2
Jika hipertrofi sebagai respon terhadap stress merupakan suatu proses
maladaptive, maka pendekatan logis yang dapat dilakukan adalah dengan meneliti
proses molekuler yang terjadi dan sedapat mungkin mencegah atau
mengembalikan sel fenotip yang mengalami hipertrofi untuk mencegah
perkembangan selanjutnya menjadi gagal jantung.1
1
calmodulin yang akan mengaktifkan enzim calcineurin defosforilasi yang
selanjutnya akan mengaktifkan NFAT (nuclear factor of activated T-cells) yang
dapat memicu aktivasi gen respon imun seperti Interleukin-2.
Jalur yang sama juga terjadi pada sel miosit jantung, dimana aktivaswi
calcineurin yang terus-menerus dapat memicu terjadinya pembesaran dinding
jantung dan terjadinya gagal jantung. Hasil yang sama juga didapatkan pada
paparan yang berlebihan oleh protein NFAT yang membuktikan bahwa NFAT
juga berpengaruh terhadap hipertrofi kardiomiosit melalui jalur calcineurin.
Adanya beberapa penelitan yang membuktikan bahwa jalur calcineurin
berperan dalam proses hipertrofi kardiomiosit, maka calcineurin menjadi target
terapi untuk mencegah bahkan mengobati gagal jantung dengan menggunakan
calcineurin inhibitor seperti CsA (calcineurin inhibitors cyclosporine A),
AKAP79, dan MCIP (myocite-enriched calcineurin interacting proteins ). Akan
tetapi, masih belum jelas berapa tingkat konsentrasi calcineurin yang dibutuhkan
untuk memicu terjadinya hipertrofi jantung.
Jalur PI3K/Akt/GSK-3
Phosphoinositide-3-kinase (PI3K) merupakan kelompok enzim yang dapat
menghambat aktivitas protein kinase dan lipid kinase dan berhubungan dengan
berbagai jalur pada berbagai fungsi seluler, utamanya pada proses pertumbuhan
sel dan proliferasi. PI3K dapat teraktivasi oleh berbagai reseptor tyrosin kinase,
seperti reseptor IGF-1 serta oleh reseptor GPCRs (G protein cupled reseptor)
seperti reseptor adrenergic alfa dan beta-2. Dengan mengontrol fungsi
peningkatan dan penurunan mutasi, PI3K berperan dalam mengontrol
perkembangan ukuran organ, dimana paparan yang berlebih dari PI3K yang aktif
dapat menyebabkan terjadinya hipertrofi jantung. Sebaliknya dominasi bentuk
negative PI3K dapat menyebabkan penurunan signifikan rasio berat jantung/berat
tubuh.
Salah satu target utama dari jalur PI3K adalah serine/threonine kinase Akt,
yang juga dikenal dengan protein kinase B (PKB). Akt teraktivasi melalui proses
pengikatan PI3K-phosphoinositida terfosforilasi, yang pada akhirnya
2
menyebabkan translokasi ke membrane sel.sama halnya dengan PI3K, paparan
yang berlebih oleh Akt menyebabkan terjadinya peningkatan ukuran jaringan,
dimana telah dibuktikan bahwa Akt dapat memicu terhadi hipertrofi kardiomiosit
pada jantung dan hipertrofi otot pada otot skeletal.
Pada kedua jalur tersebut, terdapat mediator yang berperan dalam memicu
terjadinya hipertrofi jantung, yakni GSK-3 dan mTor (mammalian target of
rifampicin). Akt secara langsung memfosforilasi GSK-3 yang memicu pelepasan
residu serine/threonine (reside serine 9) pada region refulatori terminal-N pada
protein NFAT. Dimana pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa inaktivasi
GSK-3 dibutuhkan untuk respon hipertrofi yang dapat terjadi akibat proses
fosforilasi Akt terhadap GSK-3 yang memicu terjadinya fosforilasi residu serine 9
dan inaktivasi GSK-3.
Jalur mediator Gq
Angiotensi II, ET1 dan reseptor alfa adrenergic berpasangan dengan
protein Gq yang selanjutnya mengaktivasi fosfolipase C dan telah terbukti
berpengaruh dalam memicu terjadinya hipertrofi kardiomiosit. Terlebih lagi,
paparan yang berlebih terhadap reseptor-reseptor ini, serta terhadap mediator
protein Gq dapat menyebabkan terjadinya hipertrofi kardiomiosit yang memicu
terjadinya kardiomiopati dengan penurunan fungsi kontraktil. Sebaliknya ablasi
genetic dari gen Gq ini menyebabkan terjadinya hipoplasi miokardial embrionik,
3
yang menunjukkan pentingnya peran mediator Gq dalam pertumbuhan otot
jantung.
Jalur mediator Gs
Reseptor adrenergic yang terbanyak pada jantung adalah reseptor beta-1
yang berpasangan dengan protein Gs yang selanjutnya mengaktivasi adenylate
cyclase (AC), yang menimbulkan efek kronotropik, inotropik dan lusitropik
positif pada jantung. Reseptor adrenergic yang terbanyak kedua adalah reseptro
beta-2 yang berpasangan dengan protein Gs dan Gi. Paparan yang berlebihan
terhadap reseptor beta-1 meneybabkan peningkatan fungsi kontraktilitas dan
respon terhadap isoproterenol, akan tetapi berakibat pada penurunan progresif
terhadap kinerja jantung, hipertrofi kardiomiosit dan fibrosis. Hal yang sama juga
terjadi pada paparan yang berlebih terhadap protein Gs.
Jalur mediator Gi
Reseptor muskarinik dan beta-2 adrenergik berpasangan dengan mediator
Gi yang menghambat aktivasi AC dan jalur Gs. Sebagai catatan, terjadi
peningkatan reseptor Gi pada pasien dengan gagal jantung yang menandakan
bahwa mekanisme ini juga berpengaruh terhadap fenotip kardiomiosit. Disamping
itu, protein Gi juga mengalami peningkatan jumlah reseptor pada kondisi
hipertrofi hipertensi sebelum berlanjut menjadi gagal jantung, yang menandakan
bahwa peningkatan reseptor Gi mendahului terjadinya dekompensasi, dimana
paparan berlebih reseptor tersebut menyebabkan terjadinya kardiomiopati dan
aritmia letal.
4
patologis seperti iskemia atau paparan agen sitotoksik. Paparan yang berlebih dari
MAPK fosfatase-1 (MPK-1), yang berfungsi untuk menghambat ketiga subfamily
tersebut, dapat mennghambat terjadinya hipertrofi otot jantung, sehingga
memegang peranan penting dalam proses hipertrofi melalui jalur tersebut.
5
ini dapat terjadi sebagai proses respon adaptif karena menurunkan konsumsi
oksigen miokardial untuk setiap mol ATP yang diproduksi. Akan tetapi, meskipun
masih belum jelasa, perubahan metabolisme ini dalam jangka panjang dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi lemak akibat gangguan oksidasi
asam lemak di jantung. Gen yang terlibat dalam oksidasi asam lemak diatur oleh
family faktor transkripsi yakni PPARs (peroxisome proliferator-activated
receptors)
MMP/TNF
MMP (matrix metalloproteinase), family dari enzim yang terlibat dalam
metabolisme matriks ekstraseluler mengalami peningkatan reseptor pada kondisi
remodeling jantung post infark. Disamping itu, peningkatan aktivasi MMP
berpengaruh terhadap dilatasi progresif jantung yang mengalami gagal jantung.
Berdasarkan beberapa penelitian yang melakukan inhibisi farmakologis terhadap
MMP menurunkan kondisi hipertrofi jantung dan dilatasi sekunder akibat tekanan
yang berlebih. MMP 12 memicu terjadinya pelepasan HB-EGF (heparin-binding
epidermal growth factor) sebagai respon terhadap agonis protein G-berpasangan,
seperti PE, ET-1, atau AnggII yang berakibat pada transaktivasi EGFR (epidermal
growth factor receptor) dan memicu terjadinya hipertrofi kardiomiosit.
6
REFERENSI
1. Frey N, Olson EN. Cardiac Hypertrophy ; The Good, the Bad, and the Ugly.
Annual Reviews Physiology. 2003. 65:45-79. DOI: