Disusun oleh:
1. dr. Arie Yudha Baskara – RSIY PDHI Kalasan
2. dr. Meidiana Ika Surya Dewi – RSI Arafah Rembang
3. dr. Annanda Rimasari – RSU Syifa Medika Banjarbaru
Kelompok A
Pelatihan Dialisis Angkatan 16
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
LAPORAN
KASUS
Identitas
● Nama : Tn AM
● Umur : 52 Tahun
● Jenis kelamin : Laki-laki
● Agama : Islam
● Alamat : Sluke, Rembang
● Pekerjaan : Wiraswasta
● Tgl masuk RS: 1 Maret 2021
Anamnesis
• Keluhan Utama : Sesak Napas
• Riwayat Keluarga
Hipertensi, DM, Gagal ginjal, Penyaki jatung dan paru
disangkal
Pemeriksaan Keadaan Umum
01
Fisik
Tampak sesak. Kesadaran Compos Mentis
(GCS E4M6V5)
Tekanan Darah
02 170 / 100 mmHg
Nadi
03 110 x / menit
Laju Nafas
04 40 x / menit
Suhu
05 36,7 0C
03
Saturasi Oksigen
06 Awal 89% 97% on NRM 10 lpm
Berat Badan
07 BBK: 54 kg BB HD yll: 56 kg BBD: 58kg
Pemeriksaan Fisik
- Kepala: Konjunctiva pucat (+/+), Sklera ikterik (-/-)
- Abdomen: Supel (+), Bising usus (+) normal, Timpani (+), Shifting dullness (-),
Nyeri tekan (-)
Pada kasus ini dengan LFG 5,80 ml/menit/1,73m2, merupakan CKD stage V
Adekuasi HD
Kecukupan jumlah proses dialisis untuk mencapai kondisi optimal pada CKD, ditandai:
3. Hipertensi terkontrol
Kt/V, K: dialyzer clearance (L/minutes) t: time (minutes) V: distribution volume of urea (L)
Kt/V= 0,216 L/min x 300 min
33 L
= 64,8 L
33 L
= 1,964
Target Kt/V untuk HD 2x seminggu adalah 1,8 jadi pada kasus ini telah tercapai adekuasi HD.
EDEMA PARU
DEFINISI
•Edema paru adalah suatu kondisi yang ditandai dengan gejala sulit bernapas
akibat terjadinya penumpukan cairan di dalam kantong paru-paru (alveoli). Terjadi
akumulasi cairan yang berlebihan di dalam sel, ruang antar sel, dan rongga alveoli
pada paru. Penyebabnya beragam, tetapi memiliki hasil akhir yang sama, yaitu jumlah
air yang berlebihan di dalam paru. Kondisi ini dapat terjadi tiba-tiba maupun
berkembang dalam jangka waktu lama.
•Edema paru bisa digolongkan sebagai kondisi gawat darurat medis yang
memerlukan penanganan secepatnya, karena mengancam nyawa penderitanya.
•Dalam kondisi normal, udara akan masuk ke dalam paru-paru ketika bernapas.
Namun, pada kondisi edema paru, paru-paru justru terisi oleh cairan. Sehingga
oksigen yang dihirup pun tidak mampu masuk ke paru-paru dan aliran darah.
•Edema paru akan mempengaruhi kemampuan mekanik dan pertukaran gas di
paru dengan berbagai mekanisme. Produksi lapisan surfaktan terganggu karena
alveoli terendam cairan, serta adanya protein dan sel debris.
•Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tegangan permukaan pada
alveoli, sehingga memudahkan terjadi kolaps (atelektasis).
PENYEBAB
Cardiogenic Non cardiogenic
• Penyakit jantung koroner • Gagal ginjal
• Kardiomiopati • ARDS
• Hipertensi • Infeksi virus
• Penyakit katup jantung • Emboli paru
• Cedera pada paru-paru
• Tenggelam
• Berada di ketinggian (diatas 2400
meter diatas permukaan laut)
• Cedera kepala, kejang atau
operasi otak
• Menghirup asap saat terjadi
kebakaran. Terpapar racun
amonia dan klorin, yang mungkin
terjadi saat kecelakaan kereta
• Kecanduan kokain
Cardiogenic
Jantung berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh dari bagian rongga
jantung yang disebut ventrikel kiri. Ventrikel kiri mendapat darah dari paru-paru, yang
merupakan tempat pengisian oksigen ke dalam darah untuk kemudian disalurkan ke
seluruh tubuh. Darah dari paru-paru, sebelum mencapai ventrikel kiri, akan melewati
bagian rongga jantung lainnya, yaitu atrium kiri. Edema paru yang disebabkan oleh
gangguan jantung terjadi akibat ventrikel kiri tidak mampu memompa masuk darah
dalam jumlah yang cukup, sehingga tekanan di dalam atrium kiri, serta pembuluh darah
di paru-paru meningkat. Peningkatan tekanan ini kemudian menyebabkan terdorongnya
cairan melalui dinding pembuluh darah ke dalam alveoli.
TANDA & GEJALA
01 02 03
Sesak Napas Mudah lelah Batuk Darah
04 05 06
Nyeri Dada Pembengkakan Palpitasi
DIAGNOSIS
1. Pulse oximetry, untuk mengukur secara cepat kadar oksigen di dalam darah, dengan menempatkan
sensor pada jari tangan atau kaki.
2. Elektrokardiografi (EKG), untuk melihat adanya tanda-tanda serangan jantung dan masalah pada
irama jantung.
3. Foto Rontgen dada, untuk memastikan bahwa pasien benar-benar mengalami edema paru, serta
melihat kemungkinan lain penyebab sesak napas.
4. Tes darah, untuk mengukur kadar oksigen dan karbon dioksida di dalam darah (analisis gas darah),
mengukur kadar hormon B-type natriuretic peptide (BNP) yang meningkat pada gagal jantung, serta
melihat fungsi tiroid dan ginjal.
5. Ekokardiografi, untuk mengetahui adanya masalah pada otot jantung.
6. Kateterisasi jantung, dilakukan bila edema paru disertai nyeri dada, namun tidak ditemukan kelainan
di EKG maupun ekokardiografi.
7. Kateterisasi arteri paru, untuk mengukur tekanan di dalam pembuluh darah paru-paru. Pemeriksaan
ini dilakukan bila pemeriksaan lain tidak mampu memastikan penyebab edema paru.
TATALAKSANA
1. Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan kapasitas vital paru,
mengurangi kerja otot pernapasan, dan menurunkan aliran darah vena balik ke jantung.
2. Pasang sungkup muka non-rebreathing dengan aliran 15 L/menit (target SpO2 >90%) berikan
bersamaan dengan pemasangan akses IV dan monitor EKG.
3. Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun alat pemantauan SpO 2 ini
kurang akurat apabila terjadi penurunan perfusi perifer. Oleh karena itu dianjurkan melakukan
pemeriksaan analisis gas darah untuk pemantauan oksigenasi ventilasi dan asam basa.
4. Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end-expiratory pressure) dapat diberikan untuk mencegah
kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas.
5. Berikan ventilasi tekanan positif dengan kantung napas sungkup muka untuk menggantikan sungkup
muka non-rebreathing bila terjadi hipoventilasi.
6. Continuous positive airway pressure diberikan pada pasien bernapas spontan dengan sungkup muka atau
pipa endotrakea.
TATALAKSANA
7. Nitrogliserin/Nitrat SL. Nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru karena mengurangi preload.
Berikan tablet atau spray sublingual yang dapat diulangi setiap 5-10 menit bila TD tetap >90-100
mmHg. Isosorbide semprot oral bisa diberikan tetapi nitrogliserin pasta transkutan atau isosorbid orang
kurang dianjurkan karena vasokontriksi perifer tidak memungkinkan penyerapan yang optimal.
8. Furosemid 0,5-1 mg/kgBB IV. Efek bifasik pertama dicapai dalam 5 menit dimana terjadi venodilatasi,
sehingga aliran balik ke jantung dan paru berkurang (mengurangi preload). Efek kedua adalah sebagai
diuretik yang mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Keefktifan furosemid tidak harus dicapai
dengan diuresis berlebihan. Bila furosemid sudah sutin diminum sebelumnya, maka dosis bisa
digandakan. Bila dalam 20 menit belum didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV 2x dosis awal. Dosis
bisa lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan/atau fungsi ginjal terganggu.
9. Morfin sulfat diencerkan dengan NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila tekanan darah sistolik >100
mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pilihan pada edema paru, namun dianjurkan diberikan di
rumah sakit. Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena
sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga mempunyai efek
vasodilator ringan, sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat menurunkan laju
napas.
KOMPLIKASI
•Edema paru yang tidak tertangani atau terus berlanjut dapat menyebabkan
peningkatan tekanan di ruang jantung sebelah kanan, yang menerima darah dari
seluruh tubuh. Kondisi ini mengakibatkan ruang jantung kanan gagal berfungsi dan
terjadi penumpukan cairan di rongga perut (asites), bengkak pada tungkai, dan
pembengkakan organ hati.
•Edema paru merupakan komplikasi yang umum terjadi pada gagal ginjal
kronik ataupun gagal ginjal akut. Hipoalbuminemia, yang merupakan karakteristik
dari gagal ginjal kronik, menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma yang
kemudian mendorong pergerakan cairan dari kapiler paru.
Komplikasi CKD
1. Anemia 11. Gangguan musculoskeletal
2. Hipertensi 12. Perubahan hormone
3. Hiperkalemia 13. Kelainan mata
4. Hiperfosfatemia 14. Gangguan imunologis
5. Hipocalcemia renal
osteodystrofi
6. Sindroma uremikum
7. Gangguan gastrointestinal
8. Gangguan integumentum
9. Gangguan neurologi
10. Gangguan pulmonal
• Pada kasus ini CKD merupakan komplikasi dari hipertensi yang diderita sejak 10
tahun yang lalu.
• Terapi pengganti ginjal pada pasien ini dilakukan hemodialisis ke 400.
• Pada kasus ini pemeriksaan analisis gas darah belum dilakukan sehingga tidak
diketahui pemantauan oksigenasi ventilasi yang akurat dan keseimbangan asam basa
pada pasien. Selain itu, juga tidak dilakukan pemeriksaan EKG karena kondisi pasien
yang gelisah dan makin sesak jika posisi berbaring, sehingga tidak diketahui
kemungkinan masalah pada irama jantung.
• Setelah pemberian diuretik yaitu furosemid secara kontinyu, didapatkan volume urin
masih sedikit yaitu 100ml dalam 12 jam.
• Komplikasi dari CKD on HD yang dialami pasien antara lain anemia, hipertensi dan
gangguan cor-pulmonal
• Untuk kondisi anemia, pasien tidak menerima terapi eritropoietin secara rutin dan
belum dilakukan pemeriksaan lab untuk mengetahui status besi pasien.
• Untuk kondisi hipertensi, pasien mendapat terapi 2 kombinasi obat antihipertensi yaitu
valsartan dan amlodipin. Tetapi tekanan darah belum mencapai target <140/90 mmHg.
Sehingga perlu pertimbangan kenaikan dosis atau penambahan kombinasi obat.
• Untuk gangguan cor-pulmonal, pasien sering mengeluhkan sesak napas terutama
setelah aktivitas. Berdasarkan hasil pemeriksaan foto thorax diketahui jika pasien
mengalami oedem pulmo, efusi pleura dextra, dan cardiomegali.
• Penyebab oedem pulmo yang dialami pasien disebabkan karena diet natrium dan intake
cairan yang belum terkontrol, riwayat hipertensi stage 2 lama sehingga sudah
mengalami cardiomegali serta kemungkinan kondisi hipoalbuminemia namun belum
dilakukan pemeriksaan albumin pada pasien.
Saran
• Pemeriksaan laboratorium terutama analisis gas darah untuk pemantauan oksigenasi
ventilasi dan mengetahui keseimbangan asam basa pasien.
• Pemeriksaan laboratorium dan penunjang yang lengkap secara berkala seperti
pemeriksaan Hb tiap bulan, serta ureum dan albumin tiap 6 bulan untuk mengetahui
adekuasi HD yang telah dilakukan.
• Pemberian terapi eritropoietin secara rutin jika Hb >7mg/dl dan TD <180/120 pada
pasien yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan status besi.
• Penambahan kombinasi obat antihipertensi sehingga tercapai target tekanan darah
• Mengontrol kenaikan BB diantara waktu HD dengan membatasi cairan dan natrium.
Kenaikan BB diantara HD maksimal 5% BB. Intake cairan yaitu volume urin output
ditambah 500cc/hari. Intake natrium yaitu 1 gram ditambah 1gram untuk tiap 500ml
urin.
• Hemodialisis rutin tetap dilanjutkan. Terapi pengganti ginjal dengan transplantasi
ginjal jika kondisi ekonomi memungkinkan.
Terimakasih