Anda di halaman 1dari 13

Kasus 1

Topik : Bell’s Palsy

Tanggal Kasus : 16 Juni 2019

Presenter : dr. Muhammad Nizar

Tanggal Presentasi :

Pendamping : dr. Novieka Dessy M

Tempat Presentasi : RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin

Objektif Presentasi : Keterampilan, Diagnostik, Dewasa

Deskripsi : Laki-laki, 49 tahun, mengeluhkan wajah

mencong ke sebelah kiri sejak 1 hari, mendadak, Keluhan

juga disertai dengan rasa tebal dan kaku di wajah sebelah

kanan dan terasa berat ketika ingin bicara, keadaan umum

tampak sakit sedang.

Tujuan : Diagnosis dan tatalaksana Bell’s Palsy

Bahan Bahasan : Kasus

Cara Membahas : Diskusi

Data Pasien : Nama Pasien : Tn. MA, 49 tahun

Data untuk bahan diskusi :

1. Diagnosis

Bell’s Palsy

2. Riwayat Pengobatan

1
Belum pernah

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :

Pasien datang dengan keluhan wajah mencong ke sebelah kiri, keluhan dirasakan

sejak 1 hari yang lalu. Keluhan muncul mendadak, saat pasien sedang istirahat, pasien

merasa mulutnya mencong ke sebelah kiri. Keluhan juga disertai dengan rasa tebal

dan kaku di wajah sebelah kanan dan terasa berat ketika ingin bicara. Pasien juga

mengeluhkan mata sebelah kanan sulit ketika berkedip.

Keluhan kelemahan satu sisi pada anggota gerak disangkal. Pasien tidak ada

riwayat trauma kepala dan penyakit keganasan. Tidak ada keluhan nyeri di telinga.

Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada, tidak ada gangguan pendengaran.

Keluhan pusing berputar, gangguan pendengaran, rasa makanan berkurang, demam,

batuk, pilek tidak ada. Pasien memiliki riwayat berada diluar rumah setiap hari pada

malam hari sekitar 2 jam untuk bermain kartu domino.

4. Riwayat Pekerjaan

Pedagang

5. Riwayat Perkawinan

Pasien sudah menikah 1x

6. Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan serupa (-), hipertensi (+) dengan captopril, tidak rutin

7. Riwayat Keluarga

Keluhan serupa (-), hipertensi (+)

2
8. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Vital Sign : TD : 140/100 mmHg

N : 94 x/menit

RR : 20 x/menit

T : 36,7oC

Kepala dan Leher :

Mata : Konjungtiva anemis (-) ikterik (-)

Hidung : Sekret (-) epitaksis (-) deviasi septum (-)

Mulut : Mukosa basah. Sianosis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-) peningkatan JVP (-)

Pemeriksaan Thorax

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris. Retraksi (-).

Palpasi : Fremitus vokal simetris kanan dan kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler. Ronkhi (-). Wheezing (-)

Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS IV linea midclavikula

sinistra

3
Perkusi : Batas jantung

Atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Bawah : ICS V linea parasternalis sinistra

Kanan : ICS IV linea parasternal dextra

Kiri : ICS IV linea midklavikula sinistra

Auskultasi : S1>S2. Reguler. Murmur (-) Gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Supel. H/L/M tidak teraba. Nyeri tekan pada regio

hipokondriaka kanan dan epigastrik (+). Nyeri ketok

CVA kanan dan kiri (-)

Perkusi : Timpani

b. Status Neurologis

 Nervus Cranialis:

N.I : tidak dilakukan

N.II : Lapang pandang baik

N.III, IV, VI: Ptosis +/-

Strabismus (-)

Nistagmus (-)

Gerakan bola mata baik ke segala arah

Pupil : bulat, isokor ,Ø 3mm/3mm

4
Refleks cahaya langsung : +/+

Refleks cahaya tidak langsung : +/+

N.V : Membuka dan menutup mulut : baik

Menggigit : baik

N.VII : Kerutan dahi : asimetris, kanan kerutan tidak tampak jelas

Menutup mata : asimetris, kelopak mata kanan tidak menutup

dengan baik

Lipatan nasolabialis : asimetris, kanan lebih datar

N.VIII : Pendengaran: tidak dilakukan

N.IX, X : Disfagia (-) Disfonia (-)

Arcus faring : simetris

Uvula : ditengah

N.XI : Menolehkan kepala : simetris kanan = kiri

Mengangkat bahu : simetris kanan = kiri

N.XII : Lidah deviasi: tidak ada deviasi

Atrofi lidah : tidak ada

 Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : (-)

Laseque : >700̊ / >700̊

Kerniq : >1350̊ / >1350̊

Brudzinky I,II : -/-

 Motorik

5
Tonus : Normotonus │ Normotonus

Normotonus │ Normotonus

Power : 5│5

5│5

 Refleks Fisiologis

Biceps : +2/+2

Triceps : +2/+2

Knee : +2/+2

Achilles : +2/+2

 Refleks Patologis

Babinski : -/- Chaddock : -/- Schaefer : -/-

Openheim : -/- Gordon : -/- Hoffman-Trommer : -/-

Hasil Pembelajaran

1. Diagnosis Kerja

Bell’s Palsy

2. Subjektif

Berdasarkan anamnesis, didapatkan adanya keluhan wajah mencong ke sebelah

kiri, keluhan muncul mendadak dirasakan sejak 1 hari yang lalu, rasa tebal dan kaku

di wajah sebelah kanan (+), terasa berat ketika ingin bicara, mata sebelah kanan sulit

ketika berkedip.

6
3. Objektif

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan adanya paralisis nervus fasialis perifer, tidak

ditemukan parase pada ekstremitas. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut

mengarah pada diagnosis Bell’s palsy. Dasar teori:

1. Etiologi

Bell’s palsy adalah paralisis nervus fasialis (N.VII) yang bersifat akut, unilateral,

perifer, dan mempengaruhi lower motor neuron. Etiologi Bell’s palsy masih

kontroversial. Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada

ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.

Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen

timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus.

Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses

inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s

palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga

menjadi penyebabnya.
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi

saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh

perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang. Beberapa sumber

menyebutkan adanya hubungan antara Bell’s palsy dengan reaktivasi virus herpes

simplex tipe I (HSV-I) dan herpes zoster pada ganglia nervus kranial.
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy,

terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Riwayat Bell’s

palsy pada keluarga dilaporkan terdapat pada 4% kasus.

7
2. Manifestasi Klinis

Bell’s palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya

mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi

dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang

dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga

pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan

pengecapan pada du pertiga lidah melalui korda timpani.

Pasien Bell’s palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi

secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak

berkerut, tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar

ke atas (Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi

yang sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau

berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah. Beberapa literatur

juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering dijumpai pada

pasien BeIl’s palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada hampir 50% pasien

8
Bell’s palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari

atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis

3. Diagnosis

 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada

tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk

membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy

kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset

mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang

progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang.

Keluhan khas pada pasien Bell’s palsy adalah kelemahan atau paralisis

komplit pada seluruh otot wajah sesisi wajah sehingga pasien merasa

wajahnya perot. Makanan dan air liur dapat terkumpul pada sisi yang

mengalami gangguan pada mulut dan dapat tumpah ke luar melalui sudut

mulut.
 Pemeriksaan fisik
a. Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga

menghilang sesisi, dan sudut mulut jatuh/ mulut mencong ke sisi yang sehat.
b. Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika pasien diminta untuk

menutup mata maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena Bell’s).


c. Produksi airmata berkurang, iritasi pada mata karena berkurangnya lubrikasi

dan paparan langsung.


Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis

perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga dapat

9
menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer, tidak

dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan

baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya,

sekurang-kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral.


Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang

mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia

yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis

dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy.
 Pemeriksaan Penunjang
Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang.

Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat

dianjurkan, seperti:

1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging

(MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis

fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial

multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik.

Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme yang mendahului

kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.

2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi

dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.

3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan sistemik

tanpa perbaikan lebih dari empat minggu.

10
Untuk menilai derajat paresis N. Facialis digunakan House Brackmann
Classification of Facial Function, yaitu :
a. Derajat 1 : fungsional normal (normal facial function)
b. Derajat 2 : angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit asimetris (mild
dysfunction)
c. Derajat 3 : angkat alis sedikit, menutup mata komplit dengan usaha, mulut
bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal (moderate dysfunction)
d. Derajat 4 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha,
mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal (moderately severe
dysfunction)
e. Derajat 5 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha,
mulut sedikit bergerak (severe dysfunction)
f. Derajat 6 : tidak bergerak sama sekali (total paralysis)

4. Tatalaksana

 Non-Farmakologis
 Tindakan fisioterapi yang direkomendasikan adalah terapi panas superfisial,

elektroterapi dengan menggunakan arus listrik, latihan dan pemijatan wajah

disertai kompres panas.


 Latihan otot wajah
Latihan wajah dapat bermanfaat pada pasien dengan Bell palsy. Dapat

dilakukan sambil berdiri di depan cermin dan termasuk mencoba mengangkat

alis, membuka dan menutup mata, meniup, dan bersiul. Latihan ini dapat

dilakukan beberapa kali sehari


 Farmakologis
Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk mempercepat

penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit,

meningkatkan angka penyembuhan, menurunkan insiden kontraktur serta mencegah

kelainan pada mata.

11
Dalam penatalaksanaan Bell’s palsy diberikan kortikosteroid dan antiviral.

Kortikosteroid sangat bermanfaat dalam mencegah degenerasi saraf, mengurangi

sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf

fasialis sedangkan Acyclovir diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus.


Pengobatan inisial:
a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari, diikuti

penurunan bertahap total selama 10 hari.


b. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf

kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).


c. Apabila tidak ada gangguan fungsi ginjal, antiviral (asiklovir) dapat diberikan

dengan dosis 400mg 5 kali sehari selama 7-10 hari. Jika virus varicella zooster

dicurigai, dosis tinggi 800mg 5 kali sehari.

5. Difensial Diagnosa
Guillain Barre Syndrome (GBS)
Ramsay Hunt Syndrome
Otitis Media

Terapi yang diberikan yaitu :

- Methylprednisolone 16mg 3x1 tab (tapp off)

- Cendo lyteers 3 x gtt II OD

- KIE: Tutup mata dengan kassa atau tissu saat tidur, menggunakan kacamata saat

pasien keluar rumah.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Duus P. Diagnostik Topik Neurologi. Jakarta: EGC. 1996; hal 112-18.

2. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Ed. 6. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press; 2007.

3. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis dan


Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC; 2009.

13

Anda mungkin juga menyukai