Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit kusta tidak termasuk dalam 10 penyakit mematikan

di dunia akan tetapi merupakan urutan ke 2 dari 8 penyakit yang

terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD) di Indonesia

DepKes, (2015). Kusta adalah penyakit infeksi menahun yang

disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang primer

menyerang syaraf tepi dan sekunder menyerang kulit dan yang lain

kecuali susunan syaraf pusat Sodik, (2016). Penyakit kusta terdiri dari dua

tipe yaitu PB dan MB, sumber penularan penyakit kusta yaitu tipr MB

(Mulyadi, Sepdianto & Mitayasari, 2017).

Penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah,

dengan pertama kali muncul dalam catatan Yunani kuno di Negara

India dan area Asia kecil KemenKes RI, (2015). Penyakit kusta

merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan

masalah yang sangat kompleks, seperti masalah medis, sosial,

budaya, ekonomi Wewengkang, Palandeng & Rombot, (2016).

Penyakit kusta adalah penyakit yang melekat dengan padangan

negatif dan diskriminasi, baik yang muncul dari dalam diri sindiri,

anggota keluarga, maupun dari masyarakat Bur, Amelia &

Nurgahayu, (2018). Kusta yang tidak memperoleh penanganan

secara tepat dan tidak terdeteksi akan secara progresif menyerang


kulit, saraf anggota gerak dan mata yang akan menimbulkan

kecatatan Nur Laili, (2017). Hal ini akan memberikan kesan negatif

pada penderita kusta yang berlangsung seumur hidup bahkan

setelah penderita sembuh (Putri & Utomo, 2016).

Menurut WHO, (2016), angka penemuan kasus baru kusta

diseluruh dunia mulai tahun 2011 hingga 2015 mengalami

penurunan yang tidak signifikan. Pada tahun tersebut ditemukan

226.626 kasus pada tahun 2011, 232.857 pada tahun 2012,

215.656 kasus pada tahun 2013, 213.899 kasus pada tahun 2014

dan 201.758 pada tahun 2015. Asia Tenggara merupakan regional

dengan jumlah penderita kusta terbanyak di dunia pada tahun 2015

dengan angka kejadian sebesar 156.118 kasus dan 14.059 per

1.000.000 mengalami kecacatan tingkat 2 di mana penderita

mengalami kelainan anatomis (Nur Laili, 2017).

Jika ditinjau dari situasi global, Indonesia merupakan Negara

penyumbang jumlah penderita kusta ketiga terbanyak yaitu 16.856

kasus, setelah India 132.752 dan Brazil 33.303 MS, (2015).

Masalah ini di perberat dengan masih tingginya stigma di kalangan

masyarakat dan sebagian petugas. Akibat dari cacat yang

ditimbulkannya, sebagian besar penderita dan mantan penderita

kusta dikucilkan sehingga tidak mendapatkan akses pelayanan

kesehatan serta pekerjaan yang berakibat pada meningkatnya

angka kemiskinan. Dalam kurun waktu 10 tahun (1991-2001),

angka prevalensi penyakit kusta secara nasional telah turun dari


4,5 per 10.000 penduduk pada tahun 1991 menjadi 0,85 per 10.000

penduduk pada tahun 2001 (Husen & Muhammad, 2017).

Menurut data dan informasi profil kesehatan Indonesia tahun

2017 dari Kementrian Kesehatan RI, (2018), Indonesia memiliki

penduduk sebanyak 261.890.872 dengan klasifikasi jenis kelamin

yang mengalami kusta dimana pada laki-laki 6.497 dan perempuan

3.980 pada tipe PB (Paucibasillary) 1.462 dan tipe MB

(Multibasillary) 9.015. Jadi selama tahun 2017 ditemukan kasus

baru di Indonesia sebanyak 10.477. Pada provinsi terendah yang

memiliki penduduk penyakit kusta adalah Riau dengan pravelensi

0.39 % , dan Papua Barat menjadi provinsi urutan pertama dengan

presentase 50.58 % sedangkan Sulawesi Selatan berada pada

urutan 27 dari 34 provinsi dengan presentase 10.01 %.

Untuk Sulawesi Selatan, situasi penderita kusta hampir sama

dengan pola nasional, dimana jumlah penderita dan prevalensi rate

per 10.000 penduduk mengalami penurunan yang tidak signifikan

dari tahun ke tahun. Berdasarkan pengumpulan data dari tahun

2011 jumlah penderita kusta sebanyak 1.258 penderita yaitu

penderita PB sebanyak 193 orang, dan penderita MB sebanyak

1.065 orang. Untuk tahun 2012 kasus baru kusta sebanyak 1.115

orang, 685 laki-laki dan 430 perempuan. Penderita baru kusta B

umur 0-14 tahun sebanyak 19 orang, 11 laki-laki dan 8 perempuan.

Penderita baru kusta PB umur diatas 15 tahun sebanyak 152

orang, 84 laki-laki dan 68 perempuan. Total penderita baru kusta


PB sebesar 171 orang, 95 laki-laki dan 76 perempuan. Sedangkan

penderita baru MB umur 0-14 tahun sebanyak 48 orang, 27 laki-laki

dan 21 perempuan. Penderita baru kusta MB umur diatas 15 tahun

sebanyak 896 orang, 563 laki-laki dan 333 perempuan (Bujawati,

Nildawati & Alam, 2016) .

Sedangkan menurut data DinKes Kabupaten Bulukumba,

(2018), Analisa situasi program pemberantasan penyakit kusta di

Kabupaten Bulukumba, pada tahun 2016 memiliki 64 kasus

penyakit kusta, pada tahun 2017 kasus ini meningkat menjadi 138

kasus, dan pada tahun 2018 turun menjadi 72 kasus dari jumlah

penduduk 410.485 dari jumlah itu, klasifikasi tipe PB pada laki-laki 3

kasus, perempuan 9 kasus dan tipe MB pada laki-laki 80 kasus dan

pada perempuan 53 kasus jadi total kasus yang ditemukan pada

tahun 2018 di kabupaten Bulukumba yaitu 145 kasus.

Penelitian tentang pengalaman penderita kusta masih

terbatas, satu-satunya penelitian yang peneliti dapatkan adalah

hasil penelitian Soenoe & Kristiana, (2017), yang mengungkapkan

bahwa penderita kusta yang kembali ke lingkungan masyarakat

akan menemui stigma dan diskriminasi dari masyarakat, sehingga

pada penderita kusta yang kembali menjalani hidupnya dengan

masyarakat ditemukan adanya perasaan sedih, pasrah, sakit hati,

dan menarik diri dalam menghadapi respon negatif masyarakat.

Kemampuan penderita kusta untuk dapat bangkit dari keterpurukan

dan menyesuaikan diri dipengaruhi oleh dukungan keluarga,


kemampuan kontrol diri, keterikatan dengan masyarakat, penilaian

terhadap diri sendiri, dukungan sosial, dan usaha untuk kembali

menjalin hubungan dengan masyarakat.

Berdasarkan data awal diperoleh dari Dinas Kesehatan Kab.

Bulukumba serta masih kurang penelitian yang membahas secara

kualitatif pengalaman penderita pasien kusta selama menjalani

pengobatan sampai dinyatakan sembuh, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang “Studi Fenomenologi

Pengalaman Mantan Penderita Kusta Dalam Menjalani Pengobatan

Sampai Dinyatakan Sembuh Di Bulukumba”. Jika kasus ini diteliti

lebih mendalam maka bisa menjadi motivasi bagi penderita bagi

penderita kusta yang lain agar menjalani pengobatan secara

teratur.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan data awal dari Dinas Kesehatan Bulukumba

tahun, (2018), dengan angka kejadian penyakit kusta pada tahun

2017 ada 138 kasus dan tahun 2018 menjadi 72 kasus, terjadi

penurunan penyakit kusta sehingga peneliti tertarik untuk meniliti

fenomena dari data yang ada maka dapat dirumuskan masalah

“Bagaimana pengalaman mantan penderita kusta dalam menjalani

pengobatan sampai dinyatakan sembuh di Bulukumba”.

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengeksplorasi pengalaman mantan penderita kusta

dalam menjalani pengobatan sampai dinyatakan sembuh.

D. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang, dan perumusan masalah,

serta tujuan penelitian yang hendak ingin dicapai, maka manfaat

yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah.

1. Manfaat Teoritis

Untuk mengkontribusi ke ilmu pengetahuan Stikes Panrita

Husada Bulukumba mengenai pengalaman mantan penderita kusta

dalam menjalani pengobatan sampai dinyatakan sembuh di

Bulukumba.
2. Manfaat Aplikatif

a. Penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran

dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengalaman

menjalani pengobatan pada mantan penderita kusta.

b. Diharapkan dapat menjadi wahana pengetahuan mengenai

pengalaman mantan penderita kusta dalam menjalani

pengobatan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi perawat

untuk memberikan edukasi dan perawatan pada penderita

kusta dalam mejalani pengobatan.


BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Pengertian Kusta

1. Definisi

Kusta (morbus hansen atau lepra) adalah penyakit infeksi

kronis yang disebabkan oleh kuman mycrobacterium leprae

yang menyerang saraf tepi (primer), kulit, dan jaringan tubuh

lainnya, kecuali susunan saraf pusat. Muttaqin & Sari, ( 2011).

Bakteri mycrobacterium juga masuk melalui mukosa hidung, apa

bila kusta tidak di diagnosa dan di obati secara dini dapat

menyebabkan cacat pada mata, tangan, dan kaki (Tantun et al.,

2013).

Sedangkan menurut Huda Nurarif & Kusuma, (2015)

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya

ialah myrobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat.

Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa

traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat keorgan lain

kecuali susunan saraf pusat.

2. Etiologi

Hygiene yang buruk dan populasi yang kumuh (padat)

mempermudah penyebaran penyakit. Penyakit ini di derita pada

masa kanak-kanak atau remaja, tetapi dapat menimbulkan

manifestasi setelah masa laten 2-5 tahun. Dengan demikian lesi


yang karakteristik lepra mencakup bercak kulit yang anestetik,

penebalan saraf, deformitas wajah singa (leonine) dan hidung

yang kolaps Shenoy & Nileshwar, (2014). Mycrobactery leprae

mempunyai ukuran panjang 2-7 mikrometer dan lebar 0,3-0,4

mikrometer myrobactery leprae mempunyai dinding sel yang

banyak mengandung lemak dan lapisan lilin, sehingga

mengakibatkan bakteri tahan asam (Tantun et al., 2013).

Faktor-faktor resiko penderita kusta (Tantun et al., 2013):

a. Usia

b. Daya taha tubuh atau imunitas

c. Nutrisi

d. Social ekonomi dan pendidikan

e. Lingkungan

f. Perilaki hygiene individu

g. Pelayanan kesehatan

3. Klasifikasi

Dalam buku Huda Nurarif dan Kusuma, (2015), Kusta tampil

dalam tiga jenis klinis utama, yaitu kusta bentuk kering tipe

(tuberkuloid) dan kusta bentuk basah tipe (lepromatosa), bentuk

ketiga yaitu bentuk peralihan (borederline).

a. Kusta bentuk kering (tuberkuloid) : tidak menular, kelainan

kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih

besar, sering timbul di pipi, punggung, pantat, paha, atau


lengan. Bercak tampak kering, kulit kehilangan daya rasa

sama sekali.

b. Kusta bentuk basah (lepromatosa) : bentuk menular karena

kumannya banyak terdapat di selaput lendir hidung, kulit dan

organ tubuh lainnya, dapat berupa bercak kemerahan, kecil-

kecil tersebar diseluruh badan, atau berupa penebalan kulit

yang kuas sebagian infiltrate yang tampak mengkilap dan

berminyak, dapat berupa benjolan merah sebesar biji jagung

yang tersebar di badan, muka dan daun telinga. Disertai

rontoknya alis mata, menebalnya daun telinga.

c. Kusta tipe peralihan (borederline) : merupakan peralihan

antara kedua tipe utama. Pengobatan tipe ini dimasukkan

kedalam jenis kusta basah.

Menurut Shenoy & Nileshwar, (2014), jenis lepra ada tiga

yaitu lepra tuberkuloid, lepra lepromatosa, lepra borderline;

a. Lepra tuberkuloid yaitu lepra terjadi pada pasien dengan

imunitas yang baik, dengan jaringan yang kuat.

b. Lepra lepromatosa yaitu jenis lepra yang timbul pada

pasie dengan imunitas yang buruk, dengan respon

jaringan yang buruk.

c. Lepra borderline yaitu bentuk lepra ini dapat berupa lepra

lepromatosa borderline atau lepra tuberkuloid borderline

tergantung pada respons imunnya.


4. Patofisiologi

Penyebaran infeksi lepra dipengaruhi oleh kerentanan

individu serta kondisi lingkungan di sekitar (status sosio ekonomi

yang rendah dan pemukiman yang terlalu padat) penderita

multibalsiler (MB) yang tidak mendapatkan terapi adalah sumber

infeksi utama, karna meraka menghasilkan 107 bakteri/hari

melalui tetesan dari hidung, mulut, atau ulkus. Mukosa jalan

napas atas adalah jalan masuk utama bakteri dan

mycrobacterium leprae, juga dapat masuk melalui kulit. Waktu

inkubasinya bervariasi antara beberapa bulan hingga 20 tahun.

Inokulasi transkutan sering menimbulkan lepra tipe TT

(tuberkuloid) atau BT (borderline tuberkuloid); sedangkan bakteri

yang masuk lewat jalan nafas atas lebih sering menyebabkan

tipe BB (mid borderline), BL (borderline lepromatosa), LL

(lepromatosa) ( Murlistrysni et al., 2018).

Setelah mycrobacterium leprae kedalam tubuh, bakteri ini

memasuki pembuluh darah dan limfe untuk mencapai targetnya,

yaitu sel schwann. Bakteri ini memasuki mycrobacterium leprae

dengan berikatan dengan domain G dari rantai alfa 2 dari

laminin. Didalam sel schwann, mycrobacterium leprae terlindungi

dari makrofat dan dapat beresflikasi secara perlahan-lahan

menurut (Murlistrysni et al., 2018).

5. Manifetasi Klinik

Menurut Huda Nurarif & Kusuma, (2015).


a. Macula hipopigmentasi

b. Hiperpigmentasi

c. Eritomatosa

d. Gejala kerusakan saraf ( sensori, motoric, autonom)

e. Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiataorius

atas, tulang-tulang jari dan wajah)

f. Kulit kering dan alopesia

Tantun et al., (2013), menyatakan bahwa untuk menetapkan

diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau

cardinal sign, yaitu :

a. Lesi (kelainan) kulit yang matirasa ; kelainan kulit / lesi dapat

berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau

kemerah-merahan (erythematous) yang mati rasa

(anaesthesia).

b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi

saraf ; gangguan saraf ini merupakan akibat dari peradangan

kronis saraf tepi neuritis perifer (sensori, motoris, otonom).

Gangguan fungsi sensoris merupakan gangguan yang

ditandai dengan mati rasa.

1) Gangguan fungsi motoris merupakan gangguan yang

ditandai dengan kelemahan otot (parese), atau

kelumpuhan (paralise).

2) Gangguan fungsi otonom merupakan gangguan yang

ditandai dengan kulit kering dan retak-retak.


c. Adanya bakteri tahan asam basa (BTA) di dalam kerokan

jaringan kulit (BTA Positif). Seseorang dinyatakan sebagai

penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda

utama diatas.

Tantun et al., (2013), menjelaskan tentang gejala

umum yang muncul dan merupakan persepsi umum di

masyarakat.

a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan, bercak

putih mula-mula muncul sedikit, tetapi semakin lama

akan melebar dan banyak. Adanya pelebaran saraf

terutama saraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus

serta peroneus.

b. Kurang aktifnya kelenjar keringat, sehingga kulit

tampak lebih mengkilap dan tipis.adanya bintil-bintil

kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar, alis

rambut mulai rontok, wajah menjadi benjol-benjol dan

tegang yang disebut dengan facies leomonia (muka

singa).

c. Beberapa gejala yang akan dirasakan penderita kusta

diantaranya panas dari derajat rendah sampai

menggigil, anoreksia (tidak nafsu makan), nausea

(mual).

d. Penderita kusta mengalami cephalgia (sakit kepala),

kadang-kadang disertai dengan iritasi.


e. Penderita kusta akan mengalami orchitis (kemerahan

pada testis), dan pleuritis (radang pleura), kadang-

kadang disertai dengan nephrosia (penurunan fungsi

ginjal), nepritis (radang ginjal), dan

hepatosplenomegali (pembesaran hati dan empedu)

dan neuritis (radang serabut saraf).

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratoris dapat dilakukan untuk diagnosis,

klasifikasi , serta monitor respon terhadap terapi.

a. Hapusan Kulit

Hapusan kulit diberi pewarnaan Ziehl-Neelsen untuk

menunjukan adanya bakteri lepra. Bakteri lepra paling sering

ditemukan pada dorsum jari (Murlistrysni et al., 2018).

b. Hapusan Hidung

Hapusan dan kerokan hidung sering digunakan di masa

lalu, namun sekarang mulai ditinggalkan. Hasilnya selalu

positif pada kasus LL yang tidak diterapi, namun negative

pada mayoritas kasus BL dan semua kasus BB,BT dan TT

(Murlistrysni et al., 2018).

c. Biopsi Kulit

Biopsy kulit sangat berguna untuk mendiagnosis dan

mengklasifikasi lepra secara akurat (Murlistrysni et al., 2018).

d. Biopsy Saraf
Sampel yang gunakan adalah saraf sensorik yang

menebal. Hasilnya akan menunjukan histologi tuberkuloid atau

borderline secara akurat (Murlistrysni et al., 2018).

e. Uji Histamine

Bila histamine disuntikkan secara intradermal ke kulit

yang normal, akan terjadi dilatasi kapiler yang tampak sebagai

ruam merah cerah (histamin flare). Efek ini dihasilkan oleh

reflex akson dalam saraf dermis. Oleh karena itu, histamine

dapat digunakan untuk menguji intergritas saraf dermis

(Murlistrysni et al., 2018).

f. Uji Keringat

Metode ini juga mengukur intergritas saraf dermis.

Anhidrosis adalah ciri khas dari lepra tuberkuloid (Murlistrysni

et al., 2018).

g. Polymerase chain reaction

PCR adalah sarana yang digunakan untuk amplikasi

DNA tertentu. Metode ini sangat sensitive dan spesifik untuk

mendeteksi sejumlah kecil mycrobacterium leprae dalam

sampel biologis (Murlistrysni et al., 2018).

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita lepra tergantung dari gambaran

klinis, tahapan penyakit, adanya reaksi, neuropati, serta

sekulaenya.

a. Terapi antibiotic
Berupa terapi bebrapa obat (multidrug therapy,NDT) yang

direkomendasikan oleh WHO (Luzy, et al,. 2012).

1) Dapzone : analog dari para-amino asam benzot yang

berkompetisi agarbenzoat tidak digunakan untuk

sintesis asam folat dengan dosis 100mg/hari untuk

orang dewasa.

2) Clofazimine: terdaftar dengan nama lamprene, bekerja

dengan enghambat replikasi DNA dan memeiliki efek

anti inflamasi dengan dosis 50-100mg/hari.

3) Rifampisin: obat utama dari terapi lepra. Memiliki efek

bakterisida yang kuat dengan dosis tunggal 600mg

dapat membunuh 99.99% bakteri.

b. Terapi Rekasi Kusta

1) Reaksi tipe 1

Disebabkan oleh peningkatan imunitas selular

terhadap mycrobacterium leprae biasanya terjadi pada

tipe borderline, jarang pada tipe LL. Reaksi dapat

terbatas pada kulit atau saraf, saraf keduanya.

Penanganannya meliputi imobilisasi ekstremitas dan

terapi kortikosteroid dengan dosis 1 mg/kg/hari

(Murlistrysni et al., 2018).

2) Reaksi tipe II Erythema Nodosum Leprosum (ENL)

Disebabkan oleh ketidakseimbangan antara

imunitas humoral dengan formasi kompleks imun yang


bersirkulasi, pilihan terapinya adalah prednisone 40-

60mg/hari oral, clofazimine, dan thalidomide untuk

ENL 100-300mg/hari (Murlistrysni et al., 2018).

B. Teori Pengalaman

Pengalaman adalah suatu peristiwa yang pernah dialami,

dijalani, dirasakan dan ditanggung oleh sesorang, menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia KBBI, (2013). Pengalaman dapat

didefinisikan juga sebegai memori episodik yang mampu menerima

dan menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada

waktu dan tempat tertentu serta berfungsi sebagai refernsi

otobigrafi, pengalaman merupakan hal yang tak dapat dipisahkan

dari kehidupan manusia sehari-harinya. Pengalaman juga sangat

berharga bagi setiap manusia, dan pengalaman juga dapat

diberikan kepada siapa saja untuk digunakan dan menjadi

pedoman serta pembelajaran manusia.

Berdasarkan hasil penelitian Soenoe & Kristiana, (2017),

tentang pengalaman penderita kusta, bahwa ketiga subjek

menjalani proses penyesuaian diri yang berbeda satu sama lain

karena konflik dan faktor yang mempengaruhi berbeda-beda.

Dalam ungkapan pengalaman subjek 1 dan 2 yang menjalani

proses penyesuaian secara alloplastic yaitu mengubah lingkungan

sesuai dengan keinginan atau keadaan individu dan autoplastic

yaitu mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungannya. Secara

aktif mengubah lingkungannya dengan cara membuktikan pada


masyarakat bahwa ia telah sembuh dari penyakit kusta dan mulai

menjalani kegiatan seperti dulu lagi, sedangkan secara aktif

mengubah diri dengan cara mengikuti kegiatan kemasyarakatan

sehingga bertemu dengan masyarakat sekitar dan membuka

percakapan lagi. Sedangkan pada subjek ke 3 terjadi penolakan

dan memperlihatkan sikap tidak mampu untuk kembali menjalin

hubungan dengan masyarakat, walaupun begitu ia telah mencoba

berbagai usaha untuk dapat kembali ke lingkungan masyarakat

namun tetap mengalami penolakan dan akhirnya menyerah juga

sakit hati yang bertubi-tubi ia terima dari pihak masyarakat.

C. Teori Kepatuhan Berobat

1. Pengertian kepatuhan berobat

Kepatuhan berobat pasien merupakan salah satu faktor

yang menentukan dalam keberhasilan terapi, namun kepatuhan

untuk melakukan pengobatan oleh pasien tuberkulosis seringkali

rendah (Selogiri, 2018).

2. Kepatuhan obat

Kepatuhan obat terjadi jika aturan pakai obat yang

diresepkan serta pemberiannya dirumah sakit diikuti dengan

benar. Jika terapi ini akan dilanjutkan setelah pasien pulang,

penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi itu

dengan benar tanpa pengawasan.

Kepatuhan dalam terapi pediatrik tergantung pengertian

dan kerja sama orang tua pasien dan anak tersebut. Pasien
senile dan pasien psikiatrik sering menjalankan terapi multiple

dan karenanya keluarga pasien harus menyadari pentingnya

obat tersebut bagi pasien. Terapi obat yang efektif dan aman

hanya dapat dicapai jika pasien mengetahui seluk beluk

pengobatan serta kegunaannya. Untuk itu, sebelum pasien

pulang kerumah, tim kesehatan harus yakin bahwa pasien

mengetahui :

a. Nama dan kekuatan obat

b. Kegunaan obat

c. Jumlah obat untuk dosis tunggal

d. Jumlah total kali minum obat

e. Waktu obat itu harus diminum, misalnya berkaitan dengan

makan (Tambayong, 2014).

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan terhadap

pengobatan

a. Kurang pemahaman pasien tentang tujuan pengobatan.

b. Kurang pasien tentang pengobatan pentingnya mengikuti

aturan pengobatan yang diprogramkan sehubungan

dengan prognosis penyakit yang dialami.

c. Kesulitan memperoleh obat tertentu diluar rumah sakit.

d. Harga obat yang mahal.

e. Kurang perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin

bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat

tersebut kepada pasien (Tambayong, 2014).


Dari hasil penelitian Wewengkang, Palandeng & Rombot,

(2016), sebagian besar pengetahuan informan mengenai penyakit

kusta secara umum masih kurang, namun pengetahuan dalam

upaya pencegahan kecacatan melalui pengobatan teratur sudah

cukup. Sikap informan yang setuju dan optimis dengan pengobatan

menunjukkan sikap yang positif.. Tindakan sebagian besar

informan dalam upaya pencegahan kecacatan seperti pengobatan

teratur sudah baik walaupun masih perlu dioptimalkan lagi. Perilaku

keseluruhan informan sudah baik namun pengetahuan mengenai

kusta secara umum perlu ditingkatkan lagi, disarankan pasien lebih

aktif lagi mencari informasi tentang penyakit kusta dan pencegahan

kecacatannya, serta perlunya ditingkatkan penyuluhan dan promosi

kesehatan tentang kusta oleh petugas kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian Bur, Amelia & Nurgahayu,

(2018), diketahui bahwa kebanyakan mantan pasien kusta di RS

Makassar sudah memiliki pengetahuan yang memadai mengenai

penyakit yang diderita. Pengetahuan mantan pasien mulai dari

tanda awal, cara penularan, waktu minum obat dan konsekuensi

dari obat yang diminum secara teratur. Hal ini mengakibatkan

pengetahuan yang dimiliki mantan pasien membentuk kepatuhan

mereka, mantan pasien kusta menyatakan bahwa ada dukungan

keluarga dalam bentuk saran, bantuan finansial, sebagai pengawas

dan juga membantu membantu mengambil obat, hanya saja

kepatuhan berobat mantan pasien kusta tidak bergantung pada


dukungan keluarga. Sedangkan petugas kesehatan menjelaskan

tentang penyakit kusta, menyampaikan bahayanya dan

memberikan pesan kepada pasien dan keluargnya untuk selalu

tepat waktu minum obat. Sementara itu mantan pasien mengakui

bahwa obat di RS Makassar selalu tersedia. Persoalannya

meskipun ketersediaan obat selalu ada, dalam jumlah yang pas

dan lengkap diberikan, namun faktor tersebut tidak langsung

membuat mantan pasien patuh mengonsumsi obat yang diberikan.

Hal ini tampak pada banyaknya pasien yang tidak patuh meski

mereka mengambil obat di RS Makassar.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah

kualitatif dengan metode studi fenomenologi. Penelitian jenis ini

mementingkan makna dan tidak ditentukan oleh hasil kuantitasnya.

Data yang dikumpulkan adalah berupa pengalaman mantan

penderita kusta dalam menjalani pengobatan sampai dinyakatan

sembuh.

B. Desain Penelitian

Fenomenologi merupakan strategi peneliti di mana di

dalamnya penelitian mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia

tentang suatu fenomena tertentu Susila & Suyanto, (2014). Tujuan

penelitian fenomenologi adalah memahami makna dari pengalaman

kehidupan yang dialami oleh partisipan dan menjelaskan perspektif

filosofi atau persepsi yang mendasari fenomena tersebut (Dharma.,

2015).

Kelayakan studi fenomenologi dalam konteks pelayanan

kesehatan telah secara luas diterima oleh para peneliti karena

penelitian fenomenologi bermanfaat dalam mengeksplorasi dan

memahami makna dari kesehatan, keadaan sakit, disabilitas dan

penyakit (Whitehead, Dilworth, & Higgins, 2016).


C. Waktu Dan Lokasi pendekatan

1. Waktu penelitian

Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan April – Mei -

2019

2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian akan dilaksanakan di Kabupaten Bulukumba

D. Sumber Data

1. Sampel

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada format khusus untuk

menentukan jumlah sampel, penelitian kualitatif tidak

menggunakan populasi karena berangkat dari kasus tertentu

yang ada pada situasi sosial Sugiyono, (2017). Whitehead dan

Whitehead, (2016), menyatakan bahwa jumlah sampel

penelitian kualitatif tergantung pada desain penelitian yang

digunakan, misalnya pada penelitian Fenomenologi, jumlah

minimal sampel berkisar antara 6-10 0rang. Oleh karena itu,

sampel dalam penelitian ini adalah pasien kusta yang

direncanakan paling sedikit 5 responden.

2. Kriteria Inklusi Dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien yang mampu dan mengerti berbahasa

Indonesia

2) Pasien dengan kesadaran composmentis.


3) Pasien yang mampu merespon pertanyaan yang

diberikan.

b. Kriteria Ekslusi

3. Teknik sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Purposive Sampling. Purvosive Sampling adalah suatu

metode pemilihan sampel yang dilakukan dengan memilih

berdasarkan kriteria tertentu yang sesuai dangan tujuan

penelitian (Dharma, 2015).

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu metode

wawancara mendalam terstruktur dan observasi.

1. Wawancara Terstruktur

Data pada penelitian ini akan dikumpulkan melalui

wawancara mendalam pada subjek terpilih (In-depth

Interviews). Pada teknik ini, subjek penelitian di wawancara

secara individual, biasanya mencakup data secara luas namun

mengarah pada masalah tertentu secara rinci Kaswandi dan

Sastroasmoro, (2014). Untuk mendapatkan gambaran yang

lebih luas serta menstimulasi terciptanya diskusi yang terbuka,

maka pertanyaan-pertanyaan wawancara akan ditanyakan

dengan metode semi-structured. Metode semi-structured

dilakukan untuk menjamin bahwa tujuan penelitian atau hal-hal

yang ingin digali didapatkan dari subyek penelitian, dengan


tidak mengikuti urutan pertanyaan secara runut tetapi bersifat

fleksibel Whitehead & Whitehead, (2016). Proses wawancara

dilakukan informal, dengan menggunakan pedoman

wawancara, recorder dan dekumentasi, namun proses

wawancara didasari sepenuhnya pada perkembangan

pertanyaan secara spontan dan alamiah.

2. Observasi

Observasi merupakan metode yang menggunakan

pancaindra untuk mengamati keadaan sekitar , tentang kajadian

atau tingkah laku subyek yang diteiliti, aik dalam situasi buatan

yang secara khusus diadakan (laboraturium) maupun dalam

situasi alamiah atau sebenarnya (lapangan) (Dharma, 2015).

F. Teknik Pengelolaan Dan Analisa Data

Tehnik analisis data dilakukan dengan menggunakan

Analisis Tematik. Pada analisis tematik, peneliti mengidentifikasi

semua masalah penting, konsep, dan tema dari data yang

diperoleh dari wawancara, dan hasil akhir dari tahap ini adalah

indeks data secara rinci, semua data dilabel sesuai dengan sub-

kelompok Kaswandi & Sastroasmoro, (2014). Analisis Tematik

adalah cara mengidentifikasi tema-tema yang terpola dalam suatu

fenomena. Analisis tematik memungkinkan peneliti untuk berulang-

ulang mempelajari kembali data yang ada sampai diperolehnya

makna berarti untuk dijadikan tema (Harding dan Whitehead,

2016).
G. Keabsahan Data

Keabsahan data adalah yang dapat dipertanggung jawabkan

kebenarannya adapun metode yang diterapkan didalam keabsahan

data yaitu:

1. Kepercayaan (Credibility) peneliti melakukan perekaman saat

wawancara pada mantan penderita kusta , hasil rekaman

merupakan bukti keabsahan data dari peneliti.

2. Keteralihan (Transferability) peneliti menguraikan hasil

rekaman yang didapatkan pada hasil rekaman yang

didapatkan pada saat melakukan wawancara terhadap klien

mantan penderita kusta dengan menceritakan dan

menguraikan dalam bentuk paragraf menggunakan jurnal dan

literatul yang sesuai dengan topik penelitian yang dibahas di

bab II dan yang didapat oleh peneliti.

3. Ketergantungan (Dependability) dalam hal ini penelitian

melakukan pemeriksaan hasil rekaman wawancara dengan

melibatkan pembimbing yang membantu pada saat

melakukan penelitian, dibantu dengan pembimbing kampus

dengan bukti look book yang ditanda tangani oleh

pembimbing.

4. Kepastian (Confirmability) peneliti melakukan audit terhadap

hasil penelitian yang telah dilakukan. Apakah hasil yang

didapatkan sesuai dengan pembahasan di bab II ebook metil

muh fitrah.
Hal ini dibantu dengan pendokumentasian foto yang

dilampirkan pada setiap metode untuk melihat keabsahan

data dari peneliti.


H. Alur Penelitian

Ujian Proposal

Ijin Penelitian

Keluar rekomendasi dari Dinas


Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu

Membawa Surat

Dari Dinas Kesehatan

Mendapat Ijin dari

Bagian Manajemen

Pengumpulan Data

Melakukan Wawancara dan Observasi

Analisis data

Uji Tematik analisis

Kesimpulan dan saran


I. Etika Penelitian

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human

dignity)

Prinsip pertama, peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak

subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan

dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan

pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan

(autonomy). Beberapa tindakan yang dengan prinsip menghormati

harkat dan martabat manusia adalah peneliti mempersiapkan

formulir persetujuan subyek (informed consent)

a) Menjelaskan manfaat penelitian

b) Menjelaskan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan

yang dapat ditimbulkan

c) Menjelaskan manfaat yang akan didapatkan

d) Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan

yang diajukan subyek berkaitan dengan prosedur penelitian

e) Persetujuan subyek dapat mengundurkan diri kapan saja

f) Jaminan anonimitas dan kerahasian

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for

privacy and confidentiality)

Prinsip kedua, setiap manusia memiliki hak-hak dasar

individu termasuk privasi dan kebebasan individu. Pada dasarnya

penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi individu

termasuk informasi bersifat pribadi. Sedangkan, tidak semua orang


menginginkan informasinya diketahui oleh orang lain, sehingga

peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar individu. Dalam

penelitian tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas

baik nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat

ukur apapun untuk menjaga anominitas dan kerahasiaan identitas

subyek, penelti dapat menggunakan koding (inisial) sebagai

pengganti identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)

Prisip ketiga, keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan

adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan, penelitian dilakukan

secara jujur, hati-hati, professional, berperikemanusiaan, dan

memperhatikan factor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan,

intimitas, psikologis, serta perasaan religious subyek penelitian.

Keadilan memiliki bermacam-macam teori, namun yang penting

adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harus didistribusikan

di antara anggota kelompok masyarakat. Sebagai contoh dalam

prosedur penelitian, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan

gender dan hak sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi

dalam penelitian.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan

(balancing harms and benefist)

Prinsip keempat, peneliti melaksanakn penelitian sesuai

dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang

bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat


digeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Peneliti

meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek. Apabila

intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stress

tambahan maka subyek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk

mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stress, maupun kematian

subyek penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Bujawati, E., Nildawati dan Alam, A. S. (2016) “Gambaran Persepsi

Pasien Tentang Penyakit Kusta dan Dukungan Keluarga Pada Pasien

Kusta di RS. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar Tahun 2015,” Al-Sihah :

Public Health Science Journal, 8(1), hal. 29–38.

Bur, N., Amelia, A. R. dan Nurgahayu (2018) “Window of Health,” Analisis

Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Mantan Pasien

Kusta, 1(1), hal. 50–55.

DepKes (2015) “N,” Menkes Canangkan Resolusi Jakarta Guna Hilangkan

Stigma Dan Diskriminasi Kusta.

Dharma, K. K. (2015) Metode Penelitian Keperawatan : Panduan

Melaksanakan Dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: CV. TRANS

INFO MEDIA.

ganesha efka putri wibriani soenoe dan Kristiana, I. F. (2017) “Beri Aku

Kesempatan Studi Fenomenologis Pengalaman Penyesuaian Diri pada

Penderita Kusta setelah Kembali ke Lingkungan Masyarakat,” Jurnal

Empati, 6(1), hal. 181–185.

Harding, T. dan Whitehead, D. (2016) Analysing Data In Qualitatif

Research. In Z. Scheider, D. Whitehead, G. LoBindo-Wood, &J. Haber

(Eds.), Nursing and Midwifery Research: Methods and Appraisal

ForEvidence Based Practice. New South Wales: Elsevier Australia.

Huda Nurarif, A. dan Kusuma, H. (2015) Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda NIC-NOC. Revisi jil. jogjakarta:

Mediaction Publishing.
Husen, S. H. dan Muhammad, R. (2017) “Faktor-faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Cacat Pada Pasien Kusta di Wilayah

Kerja Puskesmas Kalumata Kota Ternate Selatan,” Jurnal Riset

Kesehatan, 6(2), hal. 41–47.

Kaswandi, N. dan Sastroasmoro, S. (2014) Penelitian Kualitatif. In

S.Sastroasmoro & S. Ismael (Eds.), Dasar-Dasar Metodologi Penelitian

Klinis. Jakarta: Sagung Seto.

Kementrian Kesehatan RI (2018) “Data dan Informasi - Profil Kesehatan

Indonesia (Data and Information - Indonesia Health Profil),” hal. 1–184.

doi: 10.1037/0022-3514.51.6.1173.

Kesehatan, D. (2018) Analisa situasi program pemberantasan penyakit

kusta di Kabupaten Bulukumba. Bulukumba.

MS, Z. (2015) “Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Depresi Penderita

Kusta Di Ruang Rawat Penyakit Dalam Kusta Rumah Sakit Kusta Dr.

Sitanala Tangerang,” jurnal ilmiah kesehatan, XII(12), hal. 56–62.

Mulyadi, A., Sepdianto, T. C. dan Mitayasari, E. (2017) “( Leprosy Patients

’ Efforts to Prevent the Increasing Degrees of Disability ),” Jurnal Ners dan

Kebidanan, 4(3), hal. 186–191. doi: 10.26699/jnk.v4i2.ART.p186.

Murlistrysni, S. et al. (2018) Intisari Imu Kesehatan Kulit & Kelamin.

Malang: Universitas Brawijaya Press.

Muttaqin, A. dan Sari, K. (2011) Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem

Integumen. Jakarta: Selemba Medika.

Nur Laili, A. F. (2017) “Hubungan Dukungan Keluarga Dan Pengetahuan

Terhadap Perawatan Diri Penderita Kusta Di Puskesmas Grati Tahun


2016,” The Indonesian Journal of Public Health, 12(1), hal. 13. doi:

10.20473/ijph.v12i1.2017.13-26.

Putri, M. A. dan Utomo, B. (2016) “Psycoeducative Family Therapy

Mempengaruhi Pengetahuan , Dukungan Keluarga Dan Stigma Kusta,”

Jurnal Ners, 11(Rafferty), hal. 88–98.

Selogiri, P. (2018) “Evaluasi Perilaku Kepatuhan Berobat Penderita

Tuberkulosis Ditinjau dari Faktor Predisposisi Kejadian Tuberkulosis,” hal.

163–171.

Shenoy, k. R. dan Nileshwar, A. (2014) Buku Ajar Ilmu Bedah, Jilid Satu.

Ketiga. Tangerang Selatan: KARISMA Publishing Group.

Sodik, M. A. (2016) “leprosy patients in public perception: a qalitative

study of patient confidence (dis) in the community,” juournal of global

reseach in public healt, 1(2), hal. 99–106.

Sugiyono, P. D. (2017) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Susila dan Suyanto (2014) Metode Penelitian Epidemologi Bidang

Kedokteran Dan Kesehatan. Yogyakarta: Bursa Ilmu Karangkajen.

Tambayong, D. J. (2014) Farmakologi Keperawatan Edisi 2. jakarta: EGC.

Tantun, S. et al. (2013) Perawatan Klien Kusta Di Komunitas. Jakarta: CV.

TRANS INFO MEDIA.

Wewengkang, K., Palandeng, H. M. F. dan Rombot, D. V (2016)

“Pencegahan Kecacatan Akibat Kusta di Kota Manado,” Jurnal

Kedokteran Komunitas dan Tropik, 4(2), hal. 87–92.

Whitehead, D. dan Whitehead, L. (2016) Sampling Data dan Data


Collection In Qualitative Research. In Z. Schneider, D. Whitehead, G.

LoBindo-Wood, & J. Haber (Eds.), Nursing and Midwifery Research:

Methods and Appraisal For Evidence-Based Practice. New South Wales:

Elsevier Australia.

WHO (2016) “World Health Organization.”

Anda mungkin juga menyukai