Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH TERHADAP


PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU PADA KELUARGA DI KOTA
BEKASI TAHUN 2020

DI SUSUN OLEH:

DHEA PUTRI MARETYAS


17.156.01.11.099
Kelas / Prodi : 3C/ Keperawatan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEDISTRA INDONESIA


YAYASAN MEDISTRA INDONESIA
Jl. Cut Mutia Raya No.88A, Sepanjang Jaya, Rawalumbu, Kota Bekasi, Jawa Barat 17113
Tahun Ajaran 2020
LEMBAR PERSETUJUAN
PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH TERHADAP
PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU PADA KELUARGA DI KOTA
BEKASI TAHUN 2020

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :

DHEA PUTRI MARETYAS


NPM 17.156.01.11.099

Pembimbing,

Ns. Lina Indrawati, S.Kep, M.Kep


NIDN. 0321108001

Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Ilmu Keperawatan
STIKes Medistra Indonesia

Ns. Lisna Agustina, M.Kep


NIDN.0316028302
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan bimbingannya
penulis dapat menyelesaikan proposal dengan judul “Pengaruh Perilaku Penderita Tb Paru Dan
Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan Tb Paru Pada Keluarga Di Kota Bekasi
Tahun 2020”. Proposal penelitian ini merupakan syarat untuk penelitian dan sebagai Tugas
Akhir Dari Mata Kuliah Metode Penelitian Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKes
Medistra Indonesia.

Selama penyusunan proposal peneliatan ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada :

a. Safer Mangandar ompusunggu, SE, selaku Ketua Yayasan Medistra Indonesia

b. Vermona Marbun, MKM selaku BPH Yayasan Medistra Indonesia

c. Linda K Telaumbanua, SST selaku Ketua STIKes Medistra Indonesia

d. Nurmah, SST, M.Kes selaku Wakil Ketua 1 Bidang Akademik STIKes Medistra Indonesia

e. Farida Banjarnahor, SH selaku Wakil Ketua II Bidang Administrasi STIKes Medistra

Indonesia

f. Hainun Nisa, SST, M.Kes selaku Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan STIKes Medistra

Indonesia

g. Ns. Lisna Agustina, M.kep selaku Ketua Program Stady S1 Keperawatan Stikes Medistra

Indonesia

h. Ns. Lina Indrawati, S.kep, M.kep selaku Dosen Pembimbing yang sudah sabar membimbing

dan arahan dalam pembuatan proposal penelitian ini.

i. Ns. Kiki Deniati S.kep, M.kep selaku Wali kelas 3C Keperawatan

j. Seluruh dosen dan staff STIKes Medistra Indonesia yang turut membantu memberikan

banyak ilmu masukan dan arahan selama proses Pendidikan.


k. Kepada ke dua orang tua saya yang sudah memberikan saya semangat tiada henti

l. Kepada Blackpink yang sudah memberikan saya semangat dan suport tiada henti

Serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian proposal ini. Mohon maaf atas

segala kesalahan dan ketidaksopanan yang mungkin telah saya perbuat. Semoga Tuhan Yang

Maha Kuasa senantiasa memudahkan setiap langkah-langkah kita menuju kebaikan dan selalu

menganugerahkan kasih sayang-Nya untuk kita semua Amin.

Bekasi, Agustus 2020

Dhea Putri Maretyas


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar Bakteri TB biasanya menyerang
paru-paru, ada juga yang menyerang bagian tubuh lain seperti, tulang, kelenjar dan otak
yang biasa disebut TB ekstra paru. Bakteri TB menular melalui udara bila orang yang
mempunyai penyakit TB tersebut batuk dan menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak. Bila ruangan lembab dan gelap, maka penularan akan lebih mudah
terjadi (Departemen kesehatan RI, 2007)
Tuberkulosis merupakan masalah utama kesehatan dunia. Pada tahun 1993, WHO
telah menyatakan TB sebagai kedaruratan masalah kesehatan dunia (Global Public health
emergency). Pada saat itu diperkirakan terjadi 7-8 juta kasus dan 1,3–1,6 juta orang
diperkirakan meninggal karena TB. Pada tahun 2010, diperkirakan telah terjadi 8,5–9,2
juta kasus TB dan 1,2–1,5 juta orang meninggal (termasuk kematian TB pada orang yang
juga menderita HIV positif). TB adalah penyebab kematian kedua penyakit infeksi di
dunia (WHO, 2011)
Di Indonesia TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Pada tahun
2010, jumlah kasus TB di Indonesia merupakan urutan keempat terbanyak di dunia
setelah India, China dan Afrika Selatan, dengan jumlah kasus sekitar 0,37 juta- 0,54 juta
(WHO, 2011). Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Periode Prevalence
TB Paru penduduk pada usia 15 tahun keatas 2009/2010 berdasarkan diagnosa tenaga
kesehatan melalui pemeriksaan dahak dan atau foto paru (D) sebesar 725/100.000
penduduk (Kementrian Kesehatan RI, 2010)
(Agustina Ayu Wulandari, Nurjazuli, 2015a) Derajat kesehatan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Faktor
paling besar yang mempengaruhi derajat kesehatan adalah faktor lingkungan dan perilaku
masyarakat sendiri yang dapat merugikan kesehatan. Penyakit tuberkulosis merupakan
penyakit berbasis lingkungan.Faktor risiko penularan tuberkulosis adalah faktor
lingkungan dan faktor perilaku, faktor lingkungan meliputi ventilasi, kepadatan hunian,
suhu, pencahayaan dan kelembaban. Sedangkan faktor perilaku meliputi kebiasaan
merokok, meludah atau membuang dahak di sembarang tempat, batuk atau bersin tidak
menutup mulut dan kebiasaan tidak membuka jendela.
Rumah dengan kondisi tidak sehat atau tidak memenuhi syarat kesehatan dapat
sebagai media penularan penyakit pernafasan yang salah satunya adalah penyakit
tuberkulosis paru (TB paru ). Penyakit tuberkulosis diperburuk dengan kondisi sanitasi
perumahan yang buruk, khususnya pada pemukiman padat dan penduduk miskin.
Penderita TB paru dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei) pada waktu batuk atau bersin, sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak. Percikan dahak yang mengandung kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika percikan dahak
itu terhirup dalam saluran pernafasan. Satu penderita TB paru BTA (+) berpotensi
menularkan kepada 10-15 orang per tahun sehingga kemungkinan setiap kontak dengan
penderita akan tertular. Apabila penderita TB paru BTA (+) batuk maka ribuan bakteri
tuberkulosis berhamburan bersama “Droplet” napas penderita yang bersangkutan
sehingga berpotensi menularkan ke orang lain.

Suatu survei nasional lain yang khusus membahas tentang Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku Tuberkulosis (PSP-TB) di Indonesia telah dilaksanakan oleh Badan Litbangkes,
Universitas Indonesia dan Global fund pada tahun 2010. Survei ini merupakan bentuk
Clien Oriented Research Activity (CORA) yang sejak awal melibatkan klien utama dari
program, yaitu Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
(Ditjen P2MPL). Survei ini dilaksanakan, karena sejak survei PSP-TB tahun 2004
sampai dengan tahun 2010, belum ada lagi survei representasi nasional adekuat yang bisa
menggambarkan pengetahuan, sikap dan perilaku tuberkulosis. Padahal sejak tahun 2005
telah dilakukan kampanye elektronis Tuberkulosis secara besar-besaran melalui media
massa pada semua lapisan masyarakat. Hal ini menyebabkan sulitnya para pembuat
program dalam menentukan target pencapaian program, terutama dalam hal promosi TB
lanjutan (Widoyono., 2008)
Dalam menggunakan pelayanan kesehatan, Andersen (1995) menggambarkan adanya
model sistem kesehatan, yang terdiri dari 3 kategori. Pertama yaitu karakteristik
predisposisi (predisposing characteristic) yang terdiri dari demografi (jenis kelamin,
umur, dll), struktur sosial (antara lain tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan, ras, dsb),
dan health belief (termasuk pengetahuan tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan yang
dapat mempengaruhi persepsi/ keyakinan mereka bahwa pelayanan kesehatan dapat
menolong proses penyembuhan penyakitnya). Karakteristik yang kedua adalah
karakteristik pendukung (Enabling characteristic) yang meliputi family resources dan
community resources. Terakhir, adalah karakteristik kebutuhan (Need characteristics)
yang dirasakan (perceived) dan evaluated (clinical diagnosis).

Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010), mengungkapkan bahwa perilaku kesehatan


dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, dll), faktor
enabling (lingkungan fisik dan ketersediaan sarana), faktor penguat/reinforcing
(dukungan keluarga, petugas, dll).

Perubahan perilaku melalui cara pendidikan diawali dengan memberikan


informasi/pengetahuan tentang kesehatan, sehingga diharapkan pengetahuan masyarakat
menjadi meningkat. Dengan meningkatnya pengetahuan, maka akan menimbulkan
kesadaran, yang pada akhirnya mereka akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang
mereka miliki. Perubahan perilaku dengan cara ini, memang membutuhkan waktu yang
cukup lama, sehingga hasilnya kadang tidak langsung terlihat. Tetapi perubahan tersebut
akan bersifat lebih langgeng dibandingkan dengan cara yang lain, karena didasari oleh
kesadaran mereka sendiri, bukan karena paksaan dari pihak luar (Notoadmojo, 2010).

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi Kusnanto Saidi menambahkan, setiap tahun
angka suspect penyakit tuberkulosis (Tb) paru memang cukup tinggi. Pada 2014 suspect
penyakit TB tercatat 9.204 pasien, 2015 sebanyak 12.831 pasien, dan pada 2016 ada
11.960 pasien. "Temuan pasien Tb di Kota Bekasi cukup tinggi. Namun, dari 2015 ke
2016 temuan suspect penyakit itu menurun” jelas dia. Kusnanto menjelaskan, progres
penyembuhan penderita penyakin Tb cukup baik. Pada 2014, penyembuhan pasien
penyakit Tb sebesar 77,5 persen dari target kesembuhan 85 persen. Pada 2015,
penyembuhannya 74 persen. Sedangkan, pada 2016 angka penyembuhan 84 persen dari
target 85 persen.
 "Meski suspect kasus TB cukup banyak, tapi progres penyembuhannya pun cukup baik,"
kata Kusnanto.

1.2 Rumusan Masalah


Pencegahan dan pengendalian penyakit di Dinas Kesehatan Kota Bekasi
mengatakan polusi udara terjadi membuat banyak warga Bekasi terpapar penyakit
Tuberculosis (TB). Tinggi nya pencemaran polusi udara di Kota Bekasi, Jawa Barat
menimbulkan dampak Kesehatan pernafasan terlebih pada musim kemarau. Berdasarkan
kondisi tersebut pengidap penyakit paru pada tahun 2019 cukup besar yakni mencapai
4.260 kasus. Penggunaan masker menjadi upaya pencegahan dini terhadap penyebaran
pernafasan.
Setiap orang yang terkena virus ini kebanyakan dilatarbelakangi kondisi fisiknya
lemah dan termasuk lingkungan rumah dengan tumpukam sampah, karena penyebaran
penyakit tb paru dihasilkan melaui asap dari knalpot dan pembakaran sampah.
Hasil survei pravelensi pada survei Kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2004
diperkirakan prevalensi penyakit TB paru berdasarkan pemeriksaan mikroskopik Basil
Tahan Asam (BTA) positif sebesar 104 per 100.000 penduduk, yg dilakukan badan
penelitian dan pengembangan Kesehatan Depkes RI, TB berkontribusi sekitar 9,4%
terhadap total kematian di Indonesia
Upaya penanggulangan TB paru yang telah menjadi program nasional dengan
memberikan pengobatan gratis kepada penderita TB paru. Tetapi program tersebut belum
dapat terlaksana secara optimal dengan adanya insiden baru setiap tahunnya. Berdasarkan
kondisi terebut maka muncul suatu permasalahan yaitu “bagaimana pengaruh perilaku
dan kondisi rumah dalam upaya pencegahan penularan TB paru di Kota Bekasi tahun
2020”

1.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh perilaku penderita dan
keluarga serta kondisi rumah dalam upaya pencegahan penularan TB paru di Kota
Bekasi tahun 2020
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengaruh perilaku tentang upaya pencegahan penularan TB paru
di Kota Bekasi tahun 2020
b. Mengetahui upaya tentang pencegahan penularan TB paru di Kota Bekasi
tahun 2020
c. Mengetahui pencegahan terhadap upaya pencegahan penularan TB paru di
Kota Bekasi tahun 2020
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memperluas teori sebelumnya
khususnya dalam mata kuliah keperawatan keluarga, menguatkan bukti teori
bahwa adanya pengaruh perilaku penderita tb paru dan kondisi rumah terhadap
pencegahan potensi penularan tb paru pada keluarga
2. Manfaat praktik
a. Institusi
Penelitian ini dapat memberikan informasi untuk Mahasiswa/I STIKes Medistra
Indonesia agar dapat mengetahui serta melakukan kehidupan sehari hari untuk
pencegahan penularan TB paru
b. Peneliti
Sebagai pembelajaran bagi peneliti untuk menambah wawasan dalam berfikir
ilmiah, memperoleh informasi dan pengetahuan pencegahan penularan TB paru

1.5 keaslian penelitian


1. Agustina Ayu Wulandari, Nurjazuli, M. Sakundarno Adi dengan judul “Faktor Risiko
dan Potensi Penularan Tuberkulosis Paru di Kabupaten Kendal , Jawa Tengah”
analisis deskriptif pada kasus dan kontrol data numerik kelompok faktor risiko
lingkungan fisik rumah yaitu luas ventilasi, kepadatan hunian, suhu ruangan,
intensitas pencahayaan alami dan kelembaban ruangan.Rata-rata prosentase luas
ventilasi kelompok kasus 7,19% dan untuk kelompok kontrol 11,15%. Kepadatan
hunian rata-rata kepadatan hunian 9,46M2 , sedangkan kelompok kontrol rata-rata
kepadatan hunian 12,78M2 . Suhu ruangan kelompok kasus rata-rata suhu ruangan
29,56⁰C, sedangkan kelompok kontrol rata-rata suhu ruangan 31,28 ⁰C. Intensitas
pencahayaan rata-rata intensitas pencahayaan alami kelompok kasus 50,69 lux dan
untuk kelompok kontrol 64,77 lux. Kelembaban ruangan pada kasus rata-rata 69,56%,
sedangkan kelompok kontrol dengan rata-rata suhu ruangan 68,08%. (Agustina Ayu
Wulandari, Nurjazuli, 2015b)
2. Leny wulandari dengan judul “peran pengetahuan terhadap peran perilaku pencarian
pengobatan penderita suspek TB paru di Indonesia” Distribusi responden berdasarkan
hasil analisis berbeda antara responden yg berpengetahuan tinggi dengan yang
rendah. Jumlah responden terbanyak adalah responden yang berpengetahuan tinggi
yaitu 227 orang (21,2), sedangkan yang berpengatahuan rendah sebanyak 216 orang
(48,8%). (Leny wulandari, 2010)
3. Tonny Lumban Tobing dengan judul “pengaruh perilaku penderita TB paru dan
kondisi rumah terhadap pencegahan potensi penularan TBparu pada keluarga di
Kabupaten Tapanuli Utara yahun 2008” Berdasarkan responden kepadatan hunian
pada tingkat pencegahan penularan TB paru yang terbanyak adalah pada kategori
tidak memenuhi syarat(>4 orang) yaitu 40 orang (66,7%) dan pada kategori baik (<4
orang) sebanyak 20 orang (33,3%), sedangkan pada tingkat pencegahan TB paru
terbanyak pada kategori baik yaitu 25 orang (62,5%) dan yang kurang sebanyak 15
orang ( 37,5%). (Tobing, 2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN TEORI
2.1.1 Etiologi

Penyakit TB paru merupakan penyakit Infeksi yang disebabkan bakteri


berbentuk basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis dan dapat
menyerang semua golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah
atau dahak penderita yang mengandung hasil tuberculosis paru.

Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat taham asam sehingga dikenal juga
sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh
Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya
bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru paru
kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan
pada anak anak sumber infrksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa.
Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul didalam paru paru akan berkembang
biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang
rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelanjar getah bening.
Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hamper seluruh organ tubuh
seperti : paru paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening,
dan lain lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu
paru-paru. (Tonny Lumban Tobing, 2008)

2.1.2 Epidemiologi TB Paru

Survei prevalensi TB paru per tahun 2004 di Indonesia dengan jumlah


sampel 86.000 rumah tangga menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang
berada di pedesaan lebih rendah dibanding masyarakat perkotaan mengenai gejala
gejala penyakit TB paru, penularan TB paru. Hasil survei juga menemukan bahwa
sikap masyarakat pedesaan dalam pencarian pengobtaan TB paru lebih rendah
disbanding masyarakat di perkotaan (Depkes RI, 2004)

Penelitian follow up yang dilakukan (Gotama I, 2002), di Tanggerang


menyimpulkan bahwa sanitasi perumahan yang jelek, pemakaian sumber air
minum, dan air bersih yang tidak terlindugi menyebabkan peningkatan kasus TB
paru sebesar 0,5%.

Penelitian yang dilakukan Firdous (2005) di poli paru Rumah Sakit


Persahabatan Jakarta menemukan bahwa factor factor yang mempengaruhi
hubungan bermakna dengan kesembuhan/ketidak sembuhan orang yang sedang
berobat TB paru adalah merokok (OR = 7,78), penghasilan TB paru (OR = 5,51),
sikap terhadap proses pengobatan TB paru (OR = 6,27), perilaku (OR = 6,83),
keadaan rumah di pandang dari segi kesehatan (OR = 6,68), program OAT gratis
dari pemerintah (OR = 4,15), PMO (OR = 4,25), keadaan gizi ( OR = 9,95).

Penelitian yang dilakukan (Sukana B, 2000), di Daerah tingkat II Kabupaten


Tanggerang, diperoleh angka ketaatan minum obat penderita dengan
memberdayakan tenaga anggota keluarga lebih baik/berbeda makna dibandingkan
dengan tanpa pemanfaatan anggota keluarga tenaga PMO. Anggota konversi BTA
(+) setelah terapi intensif (2 bulan) adalah 81,8% dan 62,5% untuk kasus dengan
PMO dari anggota keluarga tanpa PMO, sedangkan angka konvensi BTA (-) akhir
terapi adalah masing masing 100%. Angka konversi dahak penderita setalah
terapi intensif pada akhir terapi antara dua kelompok tidak berbeda (p>0,05).

2.1.3 Penularan TB Paru

Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA (+), penularan


terjadi pada waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman
bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, orang dapat
terinfeksi kalua droplet tersebut terhirup kedalam pernafasan. Setelah kuman TB paru
masusk kebagian tubuh lainnya melalui system peredaran darah, system saluran limfe,
saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian bagian tubuh lainnya (Depkes RI,
2002)

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negative (tidak
terlihat kuman) maka penderita tersebut tidak menularkan. Kmeungkinan seseorang
terinfeksi TB paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002)

Perlu diketahui bahwa hasil tuberculosis dalam paru tidak hanya keluar ketika
penderita TB paru batuk. Basil tuberkolosis juga dapat keluar bila penderita bernyanyi,
bersih atau bersiul. Di Jepang dan Inggris telah ada beberapa kali laporan
menunjukkan penularan tuberculosis pada murid sekolah, terutama yang duduk di
barisan depan yang tertular dari guru yang mengajar di depan kelas (Aditama T, 1994)

Hal penting yang perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang terhirup basil
tuberculosis akan menjadi sakit, walaupun tidak sengaja menghirup basil tuberculosis.
Risiko orang terinfeksi TB paru untuk menderita TB paru pada ARTI ( Annual Risik
Of Tuberkulosis Infection) sebesar 1%. Hal ini berati diantara 100.000 penduduk rata
rata terjadi 100 penderita TB paru setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA
positif (Depkes RI, 2002).

2.1.4 Gejala Penyakit TB Paru


Gejala penyakit pada penderita TB paru dapat dibagi menjadi gejala local di paru
dan gejala pada seluruh tubuh secara umum. Gejala di paru tergantung pada
banyaknya jaringan paru yang sudah rusak karena gejala penyakit TB paru ini
berkaitan bagaimana bentuk kerusakan paru yang ada (Aditama, 1994).
Gejala paru seseorang yang dicurigai menderita TB paru dapat berupa :
1. Batuk lebih dari 3 minggu
2. Batuk berdarah
3. Sakit dada selama lebih dari 3 minggu
4. Demam selama lebih dari 3 minggu
Semua gejala tersebut diatas mungkin disebabkan penyakit lain, tetapi bila
terdapat tanda tanda yang manapun diatas, dahak perlu dilakukan pemeriksaa
(Cofton. J, 2002)
Gejala tubuh penderita tuberculosis secara umum dapat berupa :
1. Keadaan umun, kadang kadang keadaan penderita TB paru sangat kurus, berat
badan menurun, tampak pucat atau tampak kemerahan
2. Demam, penderita TB paru pada malam hari kemungkinan mengalami
kenaikan subu badan secara tidak teratur
3. Nadi, pada umunya penderita TB paru meningkat seiring dengan demam
4. Dada, sering kali menunjukkan tanda tanda abnormal. Hal paling umum
adalah krepitasi halus di bagian atas pada satu atau kedua paru. Adanya suara
pernafasan brokial pada bagian atas kedua paru yang menimbulkan Wheezing
terlokalisasi disebabkan oleh tuberculosis (Crofton, 2002).
2.1.5 Diagnosa TB Paru
Diagnosa TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan jasmani
radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia, pada saat ini uji tuberculin
tidak mempunyai arti dalam mennetukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab
sebagian besar masyarakat Indonesia sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis
karena tingginya prevalensi TB paru. Uji tuberculin positif hanya menunjukkan bahwa
orang yang bersangkutan pernah terpapar Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI,
2004)
1. Gejala klinik
Gejala klinik TB paru dapat di bagi menjadi 2 golongan yaitu, gejala respiratorik
dan gejala sistematik.
a. Gejala respiratorik dapat berupa
1) Batuk lebih atau sama dengan 3 minggu
2) Batuk darah
3) Sesak nafas
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain : malaise, keringet malem, anoreksia, berat badan
menurun.

1. Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmani akan dijumpai sangat tergantung luas dan
kelainan stuktural paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya
atau sulit sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umunya
terletak didaerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara nafas
lemah, ronkhi basa, tanda tanda penarikan paru, diagfragma dan
mediastinum (Aditama T, 2002)
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi standar adalah foto thorax PA dengan tanpa
foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : L foto apiko-lordotik,
oblik, CT scan. Pada pemeriksaan foto thorax tuberculosis dapat
memberi gambaran bermacam macam bentuk (multiforom).
Gambaran radiologic yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
a. Bayangan brawan/nodular di segmen apical dan posteror lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
b. Kapitas, terutama lebih dari satu, dikelilingin oleh bayangan
berawan atau nodular
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB paru inaktif :

a. Fibrotic pada segmen apical dana tau posterior lobus atas


b. Klasifikasi atau fibrotic
c. Fibrothorax dana tau penebalan pleura
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa pemeriksaan bakteriologi,
pemeriksaan darah dan uji tuberculin.

a. Pemeriksaan bekteriologik
Pemeriksaan bakteriologik unuk menemukan kuman
tuberculosis mempunyai arti yang sangat pentig dalam
menegakkan diagnosis. Bahkan untuk pemeriksaan bakteriologi ini
dapat berasal dari sputum, bilasan bronchitis, jaringan paru, cairan
pleur
b. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indicator
yang spesifik untuk tuberculosis. Laju endap darah (LED) jam
pertama dan kedua dibutuhkan. Data ini dapat dipakai sebagai
indicator tingkat kestabilan keadaan nilai seimbangan bilogi
penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai prediksi
tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit
dapat menggambrakan biologic/daya tahan tubuh penderita, yaitu
dalam keadaan supresi/tidak. LED sering meningkat pada proses
aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberculosis.
c. Uji tuberculin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha medeteksi infeksi
TB paru di darah dengan prevalensi tuberculosis rendah. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, pemeriksaan
uji tuberculin sebagai alat bantu diagnostic kurang berate apalagi
pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila
didapatkan konversi dari uji yang dilakukan sebelumnya atau
apabila ada kepositifan uji yang di dapat besar sekali atau timbul
bulae.
2.1.6 Tipe Penderita TB Paru
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita, yaitu :
1. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2. Kambuh (Relaps)
Adalah penderita TB paru yang belum pernah mendapat pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh kemudia kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan ( Transfer in )
Adalah penderita yang sedang mendapat pengombatan di suatu
kabupaten/kota lain dan kemudia pindah berobat ke kabupaten/kota lain.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4. Lalai
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti
2 bulan atau lebih, kemudia dating kembali berobat. Umunya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Lain lain
a. Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau
lebih).
b. Kronis
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan basil BTA positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 (Depkes RI, 2002).

Program penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI,2002).

Strategi :

1. Paradigma sehat
a. Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin, serta
meningkatkan cakupan program
b. Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat
c. Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi tertentu
1. Strategi DOTS, Sesuai rekomendasi WHO
a. Komitmen politisi dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana.
b. Diagnose TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
c. Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawasan
menelan obat (PMO)
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC.
2. Peningkatan mutu pelayanan
a. Pelatihan seluruh tenaga pelaksana
b. Ketetapan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopi
c. Kualitas laboratorium diawasi melalui uji silang (cross check)
d. Untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium, dibentuklah
KPP ( Kelompok Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 PMR
( Puskesmas Rujukan Mikroskopi ) dan beberapa PS (puskesmas
satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM
(puskesmas pelaksana mandiri)
e. Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan
f. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus
menerus
g. Keteraturan menelan obat sehari hari diawasi oleh pengawas oleh
pengawasan menelan obat (PMO). Keteraturan tetap merupakan
tanggung jawab petugas kesehatan.
h. Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap
dan benar.
2.2 Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan
2.2.1 Prinsip Prinsip Pendidikan Kesehatan

Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu


penting untuk menunjang program program kesehatan lai, tetapi pada kenyataan
pengakuan ini tidak di dukung oleh kenyataan. Program program pelayanan
kesehatan kurang melibatkan pendidikan kesehatan, meskupin ada tetapi kurang
efektif. Argumentasi yang dikemukakan untuk hal ini adalah karena pendidikan
kesehatan itu tidak segera dan tidak jelas memperlihatkan hasilnya. Dengan
perkataan lain pendidikan kesehatan itu tidak segera membawa manfaat bagi
masyarakat, yang dapat dengan mudah dilihat atau diukur, karena pendidikan
adalah behavior investment jangka panjang. Hasil investment pendidikan
kesehatan abru dapat dilihat beberapa tahun kemudia. Dalam waktu yang pendek
(immediate impact) pendidikan kesehatan hanya menghasilka perubahan atau
peningkatan pengetahuan masyarakat, sedangkan peningkatan pengetahuan saja,
belum berpengaruh langsung terhadap indicator kesehatan.

Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku, sebagai hasil


jangka menengah (Intermediate Impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya
perilaku kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indicator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. Hal ini berbeda
dengan program kesehatan yang lain, terutama program pengobatan yang dapat
langsung memberikan hasil (immediate impact) terhadap penurunan kesakitan.

Menurut H.L Blum di Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang
sudah maju. Belum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang
paling besar terhadap status kesehatan, dan berturut turut disusul oleh perilaku,
memberikan andil nomer dua, dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil
terhadap suatu Kesehatan (Natoatmodjo, 2002)

Bagaiman proposi pengaruh factor factor tersebut terhadap status kesehatan


di negara negara berkembang terutama di Indonesia, belum ada penelitiannya. Bila
dilakukan penelitian, mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih besar.
Meskipun variable ekonomi di sini belum mewakili seluruh variable lingkungan,
tetapi paling tidak pengaruh perilaku lebih besar daripada variable lain.

Selanjutnya (Green I, 2005) menjelaskan bahwa perilaku itu dilator


belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni : faktor‐faktor predisposisi
(predisposing factors), faktor‐faktor yang mendukung (enabling factor) dan faktor‐
faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factor). Oleh sebab itu,
pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan
kepada ketiga factor pokok tersebut.

Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah atau


mempredisposisikan terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat.
Beberapa komponen yang termasuk faktor predisposisi yang berhubungan
langsung dengan perilaku, antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai‐nilai,
dan menyadari kemampuan dan keperluan seseorang atau masyarakat terhadap apa
yang dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan motivasi dari individu atau kelompok
untuk melakukan sesuatu tindakan, (Green dan Marshall, 2005).  

Sebagai contoh perilaku masyarakat  untuk memeriksakan kesehatannya


akan lebih baik, jika masyarakat tahu apa manfaat periksa kesehatan tahu siapa dan
dimana periksa kesehatan tersebut dilakukan. Demikian pula, perilaku tersebut
akan dipermudah jika masyarakat yang bersangkutan mempunyai sikap yang
positif terhadap periksa kesehatan. Kepercayaan, tradisi, sistem, nilai di
masyarakat setempat juga dapat mempermudah (positif) atau mempersulit (negatit)
perilaku seseorang, (Notoatmodjo, 2005).

Pada umumnya, faktor enabling memudahkan penampilan seseorang atau


masyarakat untuk melakukan suatu tindakan. Faktor ini meliputi sumber‐sumber
daya pelayanan kesehatan dan masyarakat yaitu ketersediaan, kemudahan, dan
kesanggupan. Termasuk juga keadaan fasilitas orang untuk bertindak seperti
ketersediaan transportasi atau ketersediaan program kesehatan. Faktor enabling
juga meliputi keterampilan orang, organisasi, atau masyarakat untuk melaksanakan
perubahan perilaku, (Green dan. Marshall, 2005).
Faktor enabling menjadi target langsung dari organisasi masyarakat atau
perkembangan organisasi dan intervensi training dalam suatu    program dan terdiri
dari somber daya dan keahlian baru yang diperlukan untuk melakukan
tindakan  kesehatan dan tindakan kemasyarakatan yang diperlukan untuk
mengubah lingkungan. Sumber daya meliputi organisasi, individu dan kemudahan
dari fasilitas

pelayanan kesehatan, sekolah dan klinik. Keahlian kesehatan perorangan


seperti pendidikan kesehatan sekolah, merupakan tindakan kesehatan khusus.
Keahlian dalam rnempengaruhi masyarakat, digunakan untuk tindakan sosial dan
perubahan masyarakat dalam melakukan tindakan kesehatan, (Green dan Marshall,
2005).

Menurut Notoatmodjo (2005), faktor enabling adalah faktor pemungkin


atau pendukung seperti fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang
memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.

Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dengan


adanya umpan balik (feedback) dan dukungan sosial. Faktor reinforcing meliputi
dukungan sosial, pengaruh dan informasi serta feedback oleh tenaga kesehatan.
Dalam pengembangan program kesehatan, sumber daya yang mendukung sangat
tergantung pada tujuan dan jenis program. Dalam program kesehatan kerja, sumber
daya manusia adalah pekerja, supervisor, pemimpin; dan anggota keluarganya
dapat menjadi penguat    program. Dalam perencanaan perawatan pasien, sebagai
penguat
(reinforcement) adalah perawat pasien, dan anggota keluarganya, (Green dan
Marshall 2005).

Reinforcing dapat positif atau negatif, tergantung dari sikap dan perilaku
orang di dalam lingkungannya (Green dan Marshall, 2005).  
Pendapat Blum dan Green dapat dimodifikasi sebagai berikut :

Keturunan

Pelayanan Status Lingkungan

Kesehatan Kesehatan

                                                     

Perilaku

Predisposing Factors enabling factors reinforcing factors

(pengetahuan, sikap, (ketersediaan sumber- (sikap dan perilaku

kepercayaan, tradisi, sumber/fasilitas

organisasi

Pendidikan Kesehatan
                          Sumber : Notoadmodio (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.

Gambar 2.1.: Skema Modifikasi Teori Blum dan Green

Dari skema tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, peranan pendidikan
kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku, sehingga perilaku individu,
kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai‐nilai kesehatan. Dengan perkataan lain
pendidikan kesehatan adalah suatau usaha untuk menyediakan kondisi psikologis dari
sasaran, agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai‐nilai kesehatan
(Notoatmodjo. S, 2003).

2.2.2 Perilaku Kesehatan


Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah
suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia
mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup : berbicara, berjalan, bereaksi,
berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir,
persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan
kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dibedakan oleh
organisme tesebut baik dapat diamati secara langsung atau tidak langsung
(Notoatmodjo. S, 2003).
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme
tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan
penentu dari perilaku makhluk hidup, termasuk perilaku manusia. Heriditas atau
faktor keturunan adalah merupakan konsep dasar atau modal untuk perkembangan
perilaku makhluk itu untuk selanjutnya. Di sisi lain, lingkungan adalah
merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu
mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya
perilaku disebut proses belajar.
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni
respon dan stimulus atau. perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik
bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan
sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata). Sedangkan stimulus atau
rangsangan di sini terdiri 4 (empat) unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan dan lingkungan (Notoatmodjo. S, 2003)
2.3 Lingkungan Perumahan
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan terjadinya
proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit.
Secara garis besar lingkungan perumahan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan
sosial.
Lingkungan fisik perumahan berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung
maupun tidak terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik
meliputi udara, kelembaban, air, pencemaran udara, pencahayaan, ventilasi rumah, dan
lain sebagainya.
2.3.1 Ventilasi
Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere yang
menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia di dalam rumah. Atmosphere yang
ideal adalah bila udaranya kering tapi sejuk dan sirkulasi gerakan angin yang terus
menerus. Inilah sebenarnya fungsi ventilasi, menyediakan udara segar dan
melenyapkan udara yang jenuh dan tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi
khemis.
Mc. Nall dalam buku perumahan sehat karangan Pandapotan Lubis, bahwa
temperatur optimal di dalam rumah adalah 73 – 770 F (23 – 250 C), kelembaban
antara 20 – 60%. Josef Lubart menganjurkan batas antara 680 F dengan
kelembaban relatif 50% sampai dengan 760 F.
Udara yang bersih merupakan komponen utama di dalam rumah dan
sangat diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara
berkaitan dengan masalah ventilasi. Untuk itu luas ventilasi alamiah yang
permanen seharusnya dirancang 10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999).
Penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara
mendapatkan bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian TB paru
dengan nilai OR = 6,176, p = 0,003.  

2.3.2 Tata Ruang dan Kepadatan Hunian


Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.
Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar
minimal jumlah ruangan. Sebab rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu
kamar tidur, kamar tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.

Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara


koloni bakteri dan kepadatan hunianper meter persegi sehingga efek sinergis yang
diciptakan sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan
bersama dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan hunian
pada setiap keluarga. Dengan demikian bakteri TBC dirumah penderita TB paru
semakin banyak, bila jumlah penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran
rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang padat serta jumlah kamar yang
sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan TB paru melalui droplet dan
kontak langsung.
Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas
Teknik dalam 5 kategori yaitu  ≤  3,9m2 /orang, 4‐5 m2 /orang, 5‐6,9m2 /orang,
7‐8m2 /orang dan ≥9m2 /orang. Depkes RI (1999) menetapkan bahwa luas ruang
tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur.
Penelitian Daryatno tahun 2000 di Semarang mendapatkan bahwa
kepadatan hunian ada kaitan dengan kejadian tersangka TB paru. Penelitian yang
dilakukan Sugiharto tahun 2004 juga menemukan bahwa ada hubungan kepadatan
hunian ruang tidur dengan kejadian TB paru dengan nilai OR = 3,161, 0 = 0,001.
2.3.3 Lantai Rumah
Kualitas tanah pada perumahan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a)
timah hitam (Pb) maksimal 300 mg/kg, b) arsenik total maksimal 100 mg/kg, c)
cadmium (Cd) maksimal 20 mg/kg dan Benzo pyrene maksimal 1 mg/kg (Depkes
RI, 1999).
Komposisi tanah tergantung kepada proses pembentukan, iklim, jenis
tumbuhan yang ada, suhu, air yang ada. Tanah merupakan sumber daya alam
yang mengandung bahan organik dan anorganik yang mampu mendukung hara
dan air yang perlu ditambah untuk pengganti yang habis pakai (Modul Kuliah
pasca sarjana, 2005).

2.3.4 Pencahayaan Ruangan


Bakteri TBC akan mati jika terpapar cahaya matahari secara langsung
memerlukan waktu sekitar 6‐8 jam dan cahaya ruangan yang kurang sekitar 2 – 7
hari. Sputum yang mengandung bakteri TBC di dalam ruangan yang gelap dapat
hidup berminggu‐minggu atau berbulan‐bulan (Default dalam Crofton, 2002)
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan
(Depkes RI, 1999).

2.4 Kerangka Teori (DIKOTAKIN)

Faktor Predisposisi Faktor Reinforcing


1. Umur 1. Dukungan Keluarga
2. Pendidikan
3. Pengetahuan

Faktor Enabling
1. Kepadatan Hunian
2. Ventilasi
3. Pencahayaan ruangan

Gambar 2.2 kerangka Teori

2.5 Kerangka Konsep


Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan atau kaitan
anatara konsep konsep atau variable-variabel yang akan di amati atau diukur melalui
penelitian yang dilakukan. (Ardian, 2017)

Variable Independent Variabel Dependen

Pengaruh perilaku

Pencegahan potensi
penularan TB Paru

2.6 Hipotesis
Nursalam (2008) menjelaskan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara dari
rumusan masalah atau pertanyaan peneliti. Maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
:
1. Ada pengaruh perilaku penderita tb paru dan kondisi rumah terhadap pencegahan
potensi penularan tb paru pada keluarga di kota bekasi tahun 2020
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat analitik dengan rancangan penelitian


yang digunakan adalah, cross sectional yang mempelajari hubungan anatara factor
independent dengan factor dependen. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah penderita TB Paru di Kota Bekasi sebanyak 535
orang.
2. Sampel
Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria insklusi dan kriteria
ekslusi yang dapat mewakili keberadaan dari suatu populasi yang benar. Besar
sampel penelitian ini didapat melalui perhitungan dengan menggunakan rumus
Toro Yamani, di dalam Notoadmodjo 2005, sebagai berikut :

N
n = ————
1+N (d²)
Keterangan : n = besar sampel
N = besar populasi
d = tingkat kepercayaan dalam penelitian adalah 10%
Adapun kriteria sampel yaitu :
a. Kriteria insklusi
Kriteria insklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian pada populasi
target dan pada populasi terjangkau ( suddigo, 2015)
1) Telah menderita batuk lebih dari 3 minggu
2) Menderita demam lebih dari 3 minggu
3) Bersedia untuk dilakukan wawancara
b. Kriteria ekslusi
1) Responden meninggal
2) Responden pindah
3) Tidak mau dilakukan wawancara
B. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu di Kota Bekasi
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Bekasi
2. Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan juni 2020 s/d selesai
C. Variable Penelitian
Variable adalah karakteristik yang melekat pada populasi, bervariasi antara satu orang
dengan yang lainnya dan diteliti dalam suatu penelitian, misalnya pengetahuan
penularan dan pencegahan TBC (Dharma, 2015)
1. Variable independent

Variable bebas ( independent variable ) disebut juga variable sebab yaitu


karakteristik dari subjek yang dengan keberadaannya menyebabkan perubahan pada
variable lainnya (Dharma, 2015). Variable bebas ( independent variable ) dalam
penelitian adalah pengaruh perilaku penderita tb paru dan kondisi rumah

2. Variable dependen
Variable terkait ( dependent variable ) adalah variable akibat atau variable yang
akan berubah akibat pengaruh atau perubahan yang terjadi pada variable
independent ( Dharma, 2015) variable terikat ( dependent variable ) dalam
penelitian ini adalah pencegahan potensi penularan tb paru pada keluarga di kota
bekasi tahun 2020
Aditama T. (1994). Tuberculosis Paru : Masalah dan Penanggulangannya. In Tuberculosis Paru :
Masalah dan Penanggulangannya. Universitas Indonesia Press.

Aditama T. (2002). No Title. In Tuberculosis, Diagnosa, Terapi dan Masalahnya (edisi keem).
Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.

Agustina Ayu Wulandari, Nurjazuli, M. S. A. (2015a). Faktor Risiko dan Potensi Penularan
Tuberkulosis Paru di Kabupaten Kendal , Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia, 14. file:///C:/Users/dhewa/Documents/JURNAL/POTENSI TB PARU 1.pdf

Agustina Ayu Wulandari, Nurjazuli, M. S. A. (2015b). Faktor Risiko dan Potensi Penularan
Tuberkulosi s Paru di Kabupaten Kendal , Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia. file:///C:/Users/dhewa/Documents/JURNAL/POTENSI TB PARU 1.pdf

Cofton. J. (2002). Tuberculosis klinik. In Tuberculosis klinik (Edisi kedu). Widya Medika.

Departemen kesehatan RI. (2007). Buku Panduan Post TB Desa. In Kesehatan (p. 1). Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Depkes RI. (2002). Pendoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. In Pendoman Nasional


Penanggulangan Tuberculosis. Cetakan kedelapan.

Depkes RI. (2004). Profil Kesehatan Indonesia.

Gotama I. (2002). Pengembangan Model Pemberantasan Penyakit Berbasis Lingkungan Melalui


Pendekatan Kota Sehat di Kabupaten Tanggerang.

Green I. (2005). No Title. In Health Program Pleanning : An Educational And Ecological


Approach (Fourth Edi). Marshall Kreuter.

Kementrian Kesehatan RI. (2010). RISET KESEHATAN DASAR:RISKESDAS 2010.

Leny wulandari. (2010). peran pengetahuan terhadap peran perilaku pencarian pengobatan
penderita suspek TB paru di Indonesia. file:///C:/Users/dhewa/Documents/JURNAL/file.pdf

Natoatmodjo. (2002). No Title. In Metodologi Penelitian Kesehatan (Cetakan ke). Rineka Cipta.

Sukana B. (2000). Penelitian Pengobatan Penderita TB Paru Dengan Memperdayakan Tenaga


Anggota Keluarga di Tanggerang.
Tobing, T. L. (2008). pengaruh perilaku penderita TB paru dan kondisi rumah terhadap
pencegahan potensi penularan TBparu pada keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara yahun
2008. file:///D:/Matkul/PRODUKTIF/SEMESTER 6/METODOLOGI
PENELITIAN/PDF/09E01348.pdf).pdf

Tonny Lumban Tobing. (2008). pengaruh perilaku penderita TB paru dan kondisi rumah
terhadap pencegahan potensi penularan TBparu pada keluarga.
file:///D:/Matkul/PRODUKTIF/SEMESTER 6/METODOLOGI
PENELITIAN/PDF/09E01348.pdf).pdf

WHO. (2011). global tuberculosis control; who report 2011. Kesehatan.

Widoyono. (2008). Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan &pemberantasannya.


Kesehatan Lingkungan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai