Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 11 MODUL 1
PENYAKIT INFESTASI KULIT

Disusun oleh : Kelompok 5

Alvianita Ziinat L 1710015016


Yehezkiel Brilliant 1710015019
Nabila arianti alfitri 1710015028
Enjelina Febri Adi Melinia 1710015030
Indria Yulva Istralita 1710015043
Muh. Wiryansyah 1710015058
Joshua Gaza Dirgantara T 1710015062
Ramadhani Hengki Wijaya 1710015064
Vaya Luthfi Salsabila 1710015088
Asiah Nurul Izzah 1710015089
Olivia Siappa Tonglolangi 1710015099

Tutor :
Dr. dr. Sjarif Ismail, M. Kes
dr. Agustina Rahayu, M. Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah-Nya kami
selaku kelompok 5 telah menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil
pada Blok 10 Modul 1 Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2019.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Darwis Toena, Sp. KK, FAADV sebagai Penanggung Jawab Modul 1
2. dr. Agustina Rahayu selaku tutor pengganti kelompok 5 yang telah
membimbing kami selama menjalani diskusi kelompok kecil (DKK) I dan
Dr. dr. Sjarif Ismail, M. Kes selaku tutor kelompok 5 yang telah
membimbing kami selama menjalani diskusi kelompok kecil (DKK) II
sehingga materi diskusi dapat mencapai sasaran pembelajaran yang
sesuai.
3. Rekan sekelompok yang telah mengkondusifkan suasana diskusi tutorial
dan bekerja sama dalam penyelesaian laporan ini
4. Dosen-dosen yang telah memberikan materi pendukung pada
pembahasan sehingga semakin membantu pemahaman kami terhadap
materi ini.
5. Kepada seluruh pihak yang turut membantu penyelesaian laporan ini,
baik sarana dan prasarana kampus yang kami pergunakan.
Kami mengharapkan agar laporan ini dapat berguna bagi penyusun
maupun bagi para pembaca di kemudian hari. Kami memohon maaf apabila
dalam penulisan laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini terdapat kata
kata yang kurang berkenan dihati para pembaca. Kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Semoga laporan kami ini
dapat mendukung pemahaman pembaca terhadap materi tersebut.

Samarinda, 14 Maret 2019


Hormat Kami,

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................iERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................4


A. LATAR BELAKANG............................................................................................................4
B. TUJUAN...........................................................................................................................4
C. MANFAAT........................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN DAN ISI............................................................................................5


A. SKENARIO.......................................................................................................................5
B. IDENTIFIKASI ISTILAH........................................................................................................5
C. IDENTIFIKASI MASALAH....................................................................................................5
D. ANALISA MASALAH..........................................................................................................6
E. SRUKTURNISASI KONSEP.................................................................................................7
F. IDENTIFIKASI TUJUAN BELAJAR.........................................................................................8
G. BELAJAR MANDIRI...........................................................................................................8
H. SINTESIS.........................................................................................................................8
BAB III PENUTUP...............................................................................................................19
A. KESIMPULAN.................................................................................................................19
B. SARAN..........................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal
sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas
Texas pada tahun 2008. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan
oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen
pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah
lama dikenal sebagai lepra. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai
penyakit Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya,
melainkan juga karena kata leprosy dan leper mempunyai konotasi yang
begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan untuk
mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta.
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan
mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang
bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath.

1.2 Tujuan Penulisan


Dalam proses pembuatan laporan ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, pencegahan, komplikasi, serta
prognosis dari kusta atau penyakit Hansen.

1.3 Manfaat
Manfaat dibuatnya laporan ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan kusta atau penyakit Hansen.

4
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI
2.1 Skenario

BENGKAK KEMERAHAN DI WAJAH PADAHAL TIDAK DIHAJAR

Nina mengeluh adanya bercak dan bengkak kemerahan yang muncul di


wajahnya sudah berbulan-bulan. Keluhan ini menyebar ke bagian tubuh
lainnya tanpa adanya keluhan nyeri atau gatal. Malah di beberap bagian
tubuh kelainan ini cenderung “kurang rasa”. Bermacam pengobatan sendiri
atau dari perawat tidak ada hasilnya. Tante yang pernah tinggal serumah
beberapa tahun lalu menderita kelainan yang mirip dengan yang Nina alami.
Menurut Dokter memeriksa Nina di puskesmas, Nina harus mendapatkan
pengobatan MDT selama 1 tahun setelah hasil pemeriksaan laboratorium
BTA positif.

2.2 Identifikasi Istilah Sulit


1. MDT : Multi Drug Treatment, kombinasi obat missal rifampisin + obat lain
dalam penyakit kusta
2. BTA : Pemeriksaan bakteri tahan asam yaitu dengan pewarnaan Zhiel
Nellson

2.3 Identifikasi Masalah


1. Kenapa ada bercak dan bengkak? Kenapa ada keluhan “kurang rasa”?
Kenapa bercak dan bengkaknya bisa menyebar?
2. Apakah ada hubungannya antara keluhan Nina dengan keluhan
tantenya? Apakah penyakit tersebut menular atau dari keturunan?
3. Pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan pada Nina?
4. Apa maksud dari BTA (+) pada Nina? Apa bedanya BTA (+) skenario
dengan BTA (+) pada TB?
5. Selain kusta, penyakit apa saja yang harus MDT? Tujuan MDT?
Mengapa harus MDT?
6. Kenapa MDT hanya 1 tahun pada kasus ini?

5
2.4 Analisa Masalah
1. Kemungkinan penyebab penyakitnya menginvasi di kulit. Dimana
makrofag mencoba eliminasi benda asing tersebut menyebabkan reaksi
histamine berujung mekanisme inflamasi memunculkan bengkak dan
merah. Kemungkinan besar juga mikroba tersebut juga menyerang sel-
sel saraf menyebabkan perasaan “kurang rasa”. Bercak (kemungkinan
besar adalah macula yaitu perubahan warna tanpa diikuti perubahan
ketebalan dan konsistensi). Mikroba tersebut kemungkinan menyebar
melewati sistem saraf dengan memanfaatkan keadaan sistem imun
tubuh turun. Kemungkinan masa inkubasi penyakit tersebut lama.
2. Kemungkinan ada hubungannya karena Nina lama tinggal bersama
tantenya yang memiliki gejala serupa. Kemungkinan penyakit menular,
bisa melalui inhalasi atau sentuhan langsung.
3. Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan kulit untuk menilai
pembengakakn dan bercaknya tipe apa dan pemeriksaan motorik juga
sensorik. Selain itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan BTA,
serologi (ELISA), dan PCR.
4. Kalau pada TB sediaan untuk pemeriksaan BTA berasal dari sputum
kalau dari kasus ini kemungkinan besar sediaannya dari jaringan lesi
yang diambil menggunakan scalpel steril. Dari gejala kalau TB kutis
varikosa juga skrofulodermal memiliki batas tidak tegas dan gatal
sedangkan kusta batas tegas dan gatal.
5. Selain kasus kusta yang menggunakan MDT antara lain adalah TB,
HIV/AIDS, dan Malaria. Tujuannya untuk mencegah resistensi,
mempercepat penyembuhan, dan mencegah penyebaran dengan
menggunakan mekanisme banyak obat yang bekerja pada tempat yang
berbeda-beda untuk membunuh kuman.
6. Karena penyebabnya adalah bakteri tahan asam, maka
kemungkinannya terapi tersebut adalah terapi untuk TB meningitis yang
selama 1 tahun atau terapi untuk penyakit Hansen multibasiler selama 1
tahun. Multi basiler menandakan bahwa kumannya lepra banyak di
tubuh penderita.

6
2.5 Strukturisasi Konsep

Anamnesis

Belum dilakukan

Disarankan : Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Lesi,
Pemeriksaan Motorik,
dan Pemeriksaan Sensorik

Pemeriksaan Belum dilakukan


Penunjang Disarankan :
1. BTA
2. Histopatologi
3. Serologi
4. PCR

Diagnosis
Banding

1. Ptriasis
Versikolor
2. Psoriasis
Tatalaksana

& Pencegahan

Prognosis

& Komplikasi

7
2.6 Learning Objective
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan etiologi dari Kusta.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi dari Kusta.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patogenesis dan patifisiologi dari Kusta.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis dari Kusta.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding
(Ptriasis Versikolor dan Psoriasis).
6. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana dari Kusta
7. Mahasiswa mampu menjelaskan pencegahan dari Kusta
8. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis dari Kusta.

2.7 Belajar Mandiri


Pada step ini masing-masing anggota diskusi melakukan proses belajar
mandiri yang berhubungan dengan tujuan belajar (learning objective) yang
telah dirumuskan pada step 5 untuk mengetahui lebih dalam terhadap materi
yang akan dibahas pada diskusi kelompok kecil (DKK) 2.

2.8 Sintesis
Learning Objective I
Definisi dan Etiologi Kusta
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang bersifat intraselular obligat.
Mycobacterium leprae pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat.
Disebut juga Morbus Hansen atau lepra.
Penyebab penyakit ini adalah Mikobakterium lepra (Mycobacterium leprae,
M. leprae) yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia,
yang sampai sekarang belum dapat dbiakkan dalam medi artifisial. M. leprae
berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 ꭒm x 0,5 ꭒm, tahan asam dan alcohol
serta positif-Gram. Secara morfologik, M. leprae berbentuk pleomorf lurus,
batang panjang, sisi parallel dengan kedua ujung bulat, tidak bergerak dan tidak
berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi. Dengan mikroskop

8
electron, tampak M. leprae mempunyai dinding yang terdiri dari 2 lapisan, yakni
lapisan peptidoglikan padat bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida
dan kompleks protein-lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini
adalah suatu arabinogalactan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan
ketebalan 20 nm. Peptidoglikan tersebut memiliki sifat spesifik pada M. leprae,
yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung
alanine.
M. leprae adalah basil obligat intraselular yang terutama dapat berkembang
biak di dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit. Basil ini dapat ditemukan
dimana-mana, misalnya di dalam tanah, air, udara, dan pada manusia terdapat
pada permukaan kulit, rongga hidung, dan tenggorokan. Basil ini dapat
berkembang biak di dalam otot polos atau otot bergaris sehingga dapat
ditemukan pada otot erector pili, otot dan endotel kapiler, otot di skrotum, dan
otot di irirs mata. Basil ini dapat dtemukan di dalam folikel rambut, kelenjar
keringat, secret hidung, mukosa hidung, dan daerah erosi atau ulkus pada
penderita tipe borderline dan lepromatous.
M. leprae merupakan basil Gram positif karena sitoplasma basil ini
mempunyai struktur yang sama dengan basil Gram positif yang lain, yaitu
mengandung DNA dan RNA dan berkembang biak secara perlahan dengan cara
binary fision yang membutuhkan waktu 11-13 hari. Sifat multiplikasi ini lebih
lambat daripada Mycobacterium tuberculosis yang hanya membutuhkan waktu
20 jam. Pertumbuhan yang sangat lambat ini sebagai faktor utama yang
menyebabkan masa inkubasi kusta sangat lama (5-7 tahun) dan menyebabkan
semua manifestasi kliniknyamenjadi kronik. Basil ini belum dapat dibiakkan in
vitro walaupun telah dapat diinokulasi pada beberapa binatang percobaan seperti
armadillo, mencit, tupai, hedgehog, dengan pertumbuhan yang terbatas dan tidak
teratur.
Bagian tubuh yang dingin merupakan tempat predileksi tidak hanya karena
pertumbuhan yang optimal M. leprae pada temperature rendah, tetapi juga
mungkin karena rendahnya temperature dapat mengurangi respon imunologis. Di
luar hospes, dalam secret kering dengan temperature dan kelembaban yang
ervariasi, M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperature
kamar dibuktikan dapat bertahan hidup sampai 46 hari. Untuk kriteria identifikasi,
ada lima sifat khas M. leper, yakni:

9
1. M. leprae merupakan parasite intraselular obligat yang tidak dapat
dibiakkan dalam media buatan.
2. Sifat tahan asam M. leprae dapat diekstrasi oleh piridin.
3. M. leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-
Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
4. M. leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi
dan bertumbuh dalam saraf perifer.
Ekstrak terlarut dan preparat M. leprae mengandung komponen antigenic
yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada
penderita tuberkuloid dan negative pada penderita lepromatous.

Learning Objective II
Epidemiologi Kusta
Masih belum dapat di pastikan karena cara penularan belum juga pasti, di
indonesia anak-anak di bawah umur 14 tahun ada sekitar 13 % tetapi umur 1
tahun jarang frekuensi tertinggi ada di umur 25-35 tahun, di indonesia yang
terdapat paling banyak ada di papua

Learning Objective III


Patogenesis dan Patofisiologi Kusta
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering
ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor
imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat
pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka
tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel
mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.

10
Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman.Sayangnya setelah sernua
kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebinan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di
samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam
sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.

Learning Objective IV
Gejala Klinis Kusta
1) Tanda pada kulit :
a. Bercak merah atau putih dan atau plakat pada kulit terutama di wajah
dan telinga
b. Bercak kurang/mati rasa
c. Bercak tidak gatal
d. Kulit mengkilap atau kering bersisik
e. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan atau tidak berambut
f. Lepuh tanpa nyeri
2) Tanda pada saraf :
a. Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
c. Lemah pada ekstremitas dan atau wajah
d. Adanya cacat (deformitas)
e. Ulkus sulit sembuh
3) Lahir dan tinggal di daerah endemic kusta dan mempunyai kelainan kulit
yang tidak sembuh dengan pengobatan lain terutama bila terdapat
keterlibatan sistem saraf tepi

11
Learning Objective V
Diagnosis dan Diagnosis Banding Kusta
Diagnosis Kusta
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda
utama) menurut WHO, yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak dapat berupa hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula)
atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja
terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat/tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena,
yaitu:
- Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
- Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
- Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3. Ditemukan basil tahan asam
Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal.
Bila tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta, dan
pasien perlu diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis
kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
A. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis yang lengkap dan teliti diperlukan untuk menegakkan
diagnosis pada penyakit kusta.
1. Anamnesis
Ditanyakan secara lengkap kepada pasien tentang riwayat
penyakitnya, khususnya mengenai :
- Sejak kapan keluhan atau bercak mulai timbul?
- Apakah ada keluarga yang juga mengalami keluhan yang sama
(riwayat kontak)?
- Lahir dan tinggal dimana? (untuk mengetahui apakah lahir/tinggal di
daerah endemis)

12
- Riwayat pengobatan kusta sebelumnya?
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Kulit/ Dermatologi
- Inspeksi
Melihat dari ujung kepala sampai kaki apakah ada bercak
(makula), bintil-bintil (nodulus), jaringan parut, kulit yang
mengeriput, dan kelainan kulit lain serta tentukan bagian yang
akan diraba / dipalapasi. Inspeksi juga ada bagian tangan dan
kaki apakah terdapat kelainan / cacat seperti atropi, jari kiting,
pemendekan jari dan ulkus.
- Palpasi
Memeriksa rasa raba untuk mengetahui apakah ada kelainan
atau tidak pada daerah lesi maupun kulit normal.
b. Pemeriksaan Saraf Tepi
Memeriksa pada N.tibialis posterior, N.fascialis, N.auricularis
magnus, N.mediana, N. radialis, N.ulnaris, N.peroneus komunis
untuk mengetahui apakah terjadi penebalan, nyeri, ukuran / besar
saraf kiri dan kanan sama.
c. Pemeriksaan Fungsi Saraf
Pemeriksaan fungsi saraf dilakukan secara sistematis dari mata
kemudian tangan dan kaki, yaitu pemeriksaan fungsi raba dan
kekuatan otot.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakterioskopik (Kerokan Jaringan kulit)/BTA (Reutz
Serum)
b. Pemeriksaan Histopatologik, membantu untuk menentukan
klasifikasi dari kusta.
c. Pemeriksaan Serologi, didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh jika seseorang terinfeksi M.leprae.
d. Tes Lepromin, yaitu tes Mitsuda dan tes Fernandez.

Diagnosis Banding
Banyak penyakit kulit lain yang memiliki manifestasi yang mirip dengan
kusta. Bahkan ada yang mengatakan penyakit kusta sebagai peniru terhebat

13
(The Great Imitator) dalam penyakit kulit. Adapun beberapa kelainan kulit yang
mirip dengan penyakit kusta antara lain :
1. Bercak merah :
- Psoriasis : bercak kemerahan berbatas tegas dengan sisik berlapis-
lapis
- Tinea Circinata : bercak meninggi, sering meradang, mengandung
vesikel/krusta
- Dermatitis seboroik : lesi di daerah berminyak (sebore) dengan sisik
kuning berminyak, gatal, kronis
2. Bercak putih : Vitiligo, Ptiriasis versikolor, Ptiriasis alba
Nodus : Veruka vulgaris, Sarkoma kaposi

Learning Objective VI
Tatalaksana Kusta
Medikamentosa

Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998,2012) diberikan


tergantung tipe pausibasilar (PB) atau multibasilar (MB)

Tabel 1. MDT tipe pausibasilar (PB) (PERDOSKI,2017)

Jenis Obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan


Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 mg/bulan Minum di
depan petugas
Dapson 25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di
(DDS) 25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 mg/bulan rumah
Minum di
depan petugas
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan dalam 6-9
bulan.

14
Tabel 2. MDT tipe multibasilar (MB) (PERDOSKI,2017)

Jenis Obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan


Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 mg/bulan Minum di
depan petugas
Dapson 25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di
(DDS) 25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 mg/bulan rumah
Minum di
depan petugas
Klofazimin 50 mg 2 kali 50 mg setiap 50 mg/hari Minum di
(Lapren) seminggu 2 hari rumah
100 mg/bulan 150 mg/bulan 300 mg/bulan
Minum di
depan petugas
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan (PERDOSKI, 2017)

Mula-mula kombinasi obat ini diberikan sampai selesai dengan syarat


bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, harus
dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap
3 bulan untuk multibasilar dan setelah 6 bulan pada akhir pengobatan untuk
pausibasilar. Setelah Release From Treatment (RFT), dilakukan tindak lanjut
(tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama
5 tahun untuk multibasilar, dan setiap tahun selama 2 tahun untuk pausibasilar.
Apabila secara bakterioskopis tetap negatif da klinis tidak ada keaktifan baru,
maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control
(RFC). (FK UI,2011)

Pemakaian regimen MDT pada pasien dengan keadaan khusus


(PERDOSKI,2017)

 Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui


Menurut WHO, obat-obatan MDT standar aman dipakai selama masa
kehamilan dan menyusui baik untuk ibu maupun bayinya. Tidak

15
diperlukan perubahan dosis pada MDT. Obat dapat melalui air susu ibu
dalam jumlah kecil, belum ada laporan mengenai efek samping obat pada
bayi kecuali pewarnaan kulit akibat klofazimin.
 Pengobatan kusta pada pasien yang TB
Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB aktif,
pengobatan harus ditujukan untuk kedua penyakit. Obat anti TB tetap
diberikan bersamaan dengan pengobatan MDT untuk kusta.
- Pasien TB yang menderita kusta tipe PB.
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobataan tetap
sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.
- Pasien TB yang menderita kusta tipe MB.
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena
rifampisin sudah diperoleh dari pengobatan TB. Lama pengobatan
tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan TB. Lama
pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB.
Jika pengobatan TB sudah selesai, maka pengobatan kusta kembali
sesuai blister MDT.
 Pengobatan kusta pada penderita yang disertai HIV
Manajemen pengobatan kusta yang disertai HIV sama dengan
manajemen untuk penderita non HIV.
Pengobatan dengan regimen alternatif (FK UI,2011)
 Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin, biasanya resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini
regimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasi 400 mg dan
minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50
mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari
selama 18 bulan.
 Pasien yang menolak klofazimin
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, dapat diberikan ofloksasin
400mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain
adalah diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg
dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan.

16
Learning Objective VII
Pencegahan Kusta
1. Higienisitas dijaga agar mengurangi terjadinya infeksi tertular dan
menularkan kepada orang lain
2. Vaksin BCG yang kedua setelah vaksin BCG yang pertama, dimana
efektivitas dari vaksin BCG pertama hanya 50% sedangkan jika pasien
tersebut dilakukan vaksinasi BCG yang kedua, efektivitasnya meningkat
menjadi 80%
3. Jangan memakai pakaian dan alat mandi secara bersamaan

Learning Objective VIII


Komplikasi dan Prognosis Kusta
Komplikasi

Biasanya dimulai dari kerusakan saraf perife, insufficiency venous (darah


vena mengalir ke arah yang berlawanan sehingga menimbulkan pembengkakan
dan kemerahan; biasanya terjadj pada kak) atau menjadi jaringan parut. Sekitar
1/3 atau ¼ orang yang terdiagnosa dengan leprae ini mempunyai
ketidakmampuan sekunder yang kronis sampai kerusakan saraf yang ireversibel,
biasanya terjadi pada kaki atau tangan atau adanya keterlibatan mata seperti
keratitis dikarenakan mata kering, insensitivitas kornea, dan lagophtalmos.
Keratitis dan lesia di bagian anterior dapat menyebabkan kebutaan. Insufficiency
venous, menyebabkan dermatitis dan ulserasi kaki. Kurangnya kepekaan pada
saraf sensoris menyebabkan kerusakan pada otot (charcot’s join).

Kerusakan saraf dapat menyebabkan berkurangnya inervasi otot sehingga


pasien atau orang tersebut menjadi lemah. Cedera atau trauma yang berulang-
ulang disertai adanya infeksi bakteri dikarenakan menurunnya sensitivitas
sensasi nyeri merupakan sumver kerusakan jaringan pada leprae. Lemahnya
otot atau adanya luka yang semakin meluas dapat menyebabkan defornitas pada
bagian tersebut.

17
Prognosis

Pasien yang tidak mendapat pengobatan dapat menjadi kusta tipe TT atau
pasien yang awalnya kusta tipe BT dapat berubah menjadi kusta tipe TT.
Penyakit ini dapat berlanjut tergantung pada kerusakan saraf. Pengobatan akan
memperbaiki keadaan pasien dalam hal prognosis. Neuritis perifer dapat
berkembang menjadi lebih baik jika onset dari penyakit tersebut segera diketahui
dan diberikan pengobatan kortikosteroid lebih awal.

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan gejala yang tampak pada pemeriksaan Nina serta didukung oleh
pernah kontak dengan bibinya yang memiliki penyakit yang sama maka
kemungkinan diagnosa awal penyakit yang diderita Nina adalah Morbus Hansen
atau Kusta yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae.
Penularannya yang sering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin atau melalui mukosa nasal. Gejala yang ditimbulkan salah
satunya berupa bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang
mati rasa.
Sebelum melakukan pengobatan selain dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik diperlukan juga pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan
diagnosis banding agar didapatkan diagnosa pasti penyakit yang dialami Nina.

B. SARAN
Dalam pembuatan laporan ini, kami sadar bahwa laporan yang kami buat ini
masih belum sempurna, oleh karena itu, kami mengharapkan saran dari dosen,
semua teman-teman angkatan 2017 dan para pembaca untuk memberikan saran
yang membangun agar kedepannya kami dapat membuat laporan yang lebih
baik lagi.

19
Daftar Pustaka

Djuanda, Adhi, dkk.. 2015. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Fitzpatrick JE, JL. Aeling. 2001. Dermatology Secrets in Color 2 nd Ed. Hanley &
Belfus Inc : Philadelphia
Harahap, M. 2015. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates

20

Anda mungkin juga menyukai