Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Makassar, Juni 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

SKABIES

Disusun Oleh:
Muhamad Ilhamsyah Dandung
111 2020 2145

Pembimbing :

Dr. dr. Fanny Iskandar, Sp. KK(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muhamad Ilhamsyah Dandung

NIM : 111 2020 2145

Universitas : Universitas Muslim Indonesia

Judul Refarat : Scabies

Telah menyelesaikan Refarat yang berjudul “Skabies” serta telah disetujui

dan telah dibacakan di hadapan supervisor pembimbing dalam rangka

kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Menyetujui, Makassar, 7 Juni 2021

Dokter Pembimbing Klinik, Penulis,

Dr. dr. Fanny Iskandar, Sp. KK(K) Muh. Ilhamsyah Dandung

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT., karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka

referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat semoga

selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW beserta para

keluarga, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti ajaran

beliau hingga akhir zaman.

Laporan Kasus dan Refarat yang berjudul “Scabies” ini di susun

sebagai persyaratan untuk memenuhi kelengkapan bagian. Penulis

mengucapkan rasa terimakasih sebesar-besarnya atas semua bantuan

yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung

selama penyusunan laporan kasus dan refarat ini hingga selesai. Secara

khusus rasa terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada Dr. dr. Fanny

Iskandar, Sp. KK(K) sebagai pembimbing yang sangat baik, sabar dan

mau meluangkan waktunya dalam penulisan karya tulis ini.

Terakhir saya sebagai penulis berharap, semoga laporan kasus

dan refarat ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah

wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Makassar, Juni 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................................2
KATA PENGANTAR......................................................................................................3
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................7
2.1 Definisi..................................................................................................................7
2. 2 Epidemiologi.......................................................................................................7
2. 3 Etiologi dan Patogenesis.................................................................................8
2. 4 Penegakan Diagnosis.....................................................................................11
2.4.1 Gambaran Klinis........................................................................................11
2.4.2 Variasi Scabies..........................................................................................16
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang..........................................................................16
2. 5 Diagnosis Banding..........................................................................................19
2. 6 Tatalaksana.......................................................................................................19
2. 7 Prognosis..........................................................................................................23
BAB III............................................................................................................................25
SIMPULAN....................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN

Scabies merupakan manifestasi klinis yang disebabkan oleh

penetrasi kutu parasit obligat pada manusia, Sarcoptes scabies var.

hominis ke dalam lapisan epidermis. Kutu scabies ini adalah hewan

Arthropoda yang awalnya diidentifikasi pada tahun 1600-an, namun tidak

dikenal sebagai penyebab erupsi kulit hingga tahun 1700-an. Perkiraan

sekitar 300 juta jiwa diseluruh dunia terinfeksi kutu scabies. Scabies

menyerang seluruh lapisan masyarakat, dimana wanita dan anak-anak

lebih banyak terinfeksi. Penyakit ini umumnya cenderung banyak

ditemukan pada area urban, khususnya pada area padat penduduk.

Terdapat bukti adanya variasi musim, dimana banyak kasus dilaporkan

pada saat-saat musim dingin daripada saat musim panas. Insiden scabies

telah meningkat dalam 2 dekade terakhir ini, terutama di rumah-rumah

perawatan, penjara, dan bangsal-bangsal rumah sakit. Transmisi parasit

ini biasanya terjadi melalui kontak personal, meskipun kutu scabies ini

dapat hidup di kulit manusia selama lebih dari 3 hari. 1 Riwayat kontak di

sekolah, atau dengan teman dekat merupakan hal yang penting, terutama

ketika tidak ada konfirmasi laboratorium. Dalam hal anamnesis, paparan

terjadi sedikitnya dalam 1 bulan sebelum munculnya gejala. Gejala awal

ini terdiri dari adanya lesi yang bermacam-macam, kadang muncul pada

pergelangan tangan dan lengan, namun lesi ini kadang diabaikan. Pruritus

yang bersifat progresif, yang dapat mengganggu tidur dan aktivitas

1
normal, merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien dalam mencari

pengobatan. Munculnya lesi primer kadang-kadang dapat diperoleh hanya

dari anamnesis langsung kepada pasien. Scabies sendiri seharusnya

dianggap berbeda dari penyakit-penyakit gatal yang umum. Bentuk

khusus yang disebut “crusted” atau scabies “Norwegia” dapat muncul

dengan keluhan gatal yang minimal atau bahkan tidak ada. 2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Scabies merupakan infeksi ektoparasit pada manusia yang

disebabkan oleh kutu Sarcoptes scabiei var hominis.3 Infeksi ini terjadi

akibat kontak langsung dari kulit ke kulit maupun kontak tidak langsung

(melalui benda misalnya pakaian handuk, sprei, bantal dan lain - lain). 5

2. 2 Epidemiologi

Scabies dapat menyerang semua ras dan semua kelas sosial di

seluruh dunia, tetapi gambaran yang akurat mengenai prevalensinya sulit

didapatkan. Studi yang dilakukan oleh Downs et al. dengan data-data

yang dikumpulkan di Inggris antar tahun 1967 dan 1996 menunjukkan

insiden yang tinggi pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, kemudian

menurun pada tahun 1980-an, dan kembali meningkat pada tahun 1990-

an, dimana prevalensi yang lebih tinggi ditemukan pada area urban, di

sebelah utara Inggris, lebih banyak pada wanita dan anak-anak, dan

frekuensi yang lebih banyak pada musim dingin dibandingkan dengan

pada musim panas. Beberapa penelitian lain juga menemukan adanya

variasi musim ini.6 Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi

epidemi skabies. Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit

ini, antara lain: kebersihan yang buruk, kesalahan diagnosis, dan

perkembangan dermografik serta ekologi. Penyakit ini dapat dimasukkan

dalam P.H.S. (Penyakit akibat Hubungan Seksual). 7

7
Scabies paling sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda,

tetapi dapat menyerang semua umur, dan di Inggris dalam beberapa

tahun terakhir ini lebih sering ditemukan pada lansia di tempat-tempat

perawatan. Insiden seks secara keseluruhan mungkin sama sedangkan

pada ras terdapat beberapa kelompok ras yang rentan, yang mungkin

lebih berhubungan dengan kebiasaan dan faktor sosial daripada faktor

kerentanan yang melekat. Populasi yang padat, yang umum terjadi di

negara-negara terbelakang dan hampir selalu terkait dengan kemiskinan

dan faktor kebersihan yang buruk, juga ikut mendorong penyebaran

scabies.6

2. 3 Etiologi dan Patogenesis

Scabies disebabkan oleh parasit kutu Sarcoptes scabiei var hominis.

Kutu scabies memiliki 4 pasang kaki dan berukuran 0,3 mm, yang tidak

dapat dilihat dengan menggunakan mata telanjang. 1 Secara morfologik

merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan

bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan

tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x

250 – 350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240

mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2

pasang didepan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua

pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan pasangan

kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat dengan alat perekat. 7

8
Gambar 4. Gambaran morfologi Sarcoptes scabiei

Kutu scabies betina menggali terowongan pada stratum corneum

dengan kecepatan 2 mm per hari, dan meletakkan 2 atau 3 telur-telurnya

setiap harinya. Telur-telur ini akan menetas setelah 3 hari dan menjadi

larva, yang akan membentuk kantung dangkal di stratum corneum dimana

larva-larva ini akan bertrasnformasi dan menjadi dewasa dalam waktu 2

minggu. Kutu ini kawin di dalam kantongnya, dimana kutu jantan akan

mati tetapi kutu betina yang telah dibuahi menggali terowongan dan

melanjutkan siklus hidupnya. Setelah invasi pertama dari kutu ini,

diperlukan 4 hingga 6 minggu untuk timbul reaksi hipersensitivitas dan

rasa gatal akibat kutu ini.2

Gambar 5 : siklus hidup Sarcoptes scabiei

9
Siklus hidup ini menjelaskan mengapa pasien mengalami gejala

selama bulan pertama setelah kontak dengan individu yang terinfeksi.

Setelah sejumlah kutu (biasanya kurang dari 20) telah dewasa dan telah

menyebar dengan cara bermigrasi atau karena garukan pasien, hal ini

akan berkembang dari rasa gatal awal yang terlokalisir menjadi pruritus

generalisata.9

Selama siklus hidup kutu ini, terowongan yang terbentuk meluas dari

beberapa milimeter menjadi beberapa centimeter. Terowongan ini tidak

meluas ke lapisan bawah epidermis, kecuali pada kasus hiperkeratosis

scabies Norwegia, kondisi dimana terdapat kulit yang bersisik, menebal,

terjadi imunosupresan, atau pada orang-orang tua dengan jumlah ribuan

kutu yang menginfeksi. Telur-telur kutu ini akan dikeluarkan dengan

kecepatan 2-3 telur perharinya dan massa feses (skibala) terdeposit pada

terowongan. Skibala ini dapat menjadi iritan dan menimbulkan rasa gatal. 9

Tungau skabies lebih suka memilih area tertentu untuk membuat

terowongannya dan menghindari area yang memiliki banyak folikel

pilosebaseus. Biasanya, pada satu individu terdapat kurang dari 20

tungau di tubuhnya, kecuali pada Norwegian scabies dimana individu bisa

terdapat lebih dari sejuta tungau. Orang tua dengan immunodefisiensi,

dan pasien dengan pengobatan immunosuppresan mempunyai risiko

tinggi untuk menderita Norwegian scabies.1,6

Reaksi hipersensitivitas akibat adanya benda asing mungkin menjadi

penyebab lesi. peningkatan titer IgE dapat terjadi pada beberapa pasien

10
scabies, bersama dengan eosinofilia, dan reaksi hipersensitivitas tipe

langsung akibat reaksi dari kutu betina ini. Kadar IgE menurun dalam satu

tahun setelah terinfeksi. Eosinofil kembali normal segera setelah

dilakukannya perawatan. Fakta bahwa gejala yang timbul jauh lebih cepat

ketika terjadi reinfeksi mendukung pendapat bahwa gejala dan lesi

scabies adalah hasil dari reaksi hipersensitivitas. 9 (Fotokan jurnal nya)

Jalur utama dari transmisi penularan yaitu kontak langsung antara

kulit-ke-kulit. Namun transmisi dengan cara pakaian bersama atau metode

tidak langsung lainnya sangat langka tetapi mungkin terjadi pada

Norwegian scabies (misalnya, dalam host immunocompromised).

Transmisi antara anggota keluarga. Transmisi seksual juga terjadi. 5

2. 4 Penegakan Diagnosis

2.4.1 Gambaran Klinis

Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes

scabiei sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan

gambaran klinis berupa keluhan subjektif dan objektif yang spesifik.

Dikenal ada 4 tanda utama atau cardinal sign pada infestasi skabies, yaitu

:7,10

a. Pruritus nocturna

Setelah pertama kali terinfeksi dengan tungau skabies, kelainan

kulit seperti pruritus akan timbul selama 6 hingga 8 minggu. Infeksi

yang berulang menyebabkan ruam dan gatal yang timbul hanya dalam

beberapa hari. Gatal terasa lebih hebat pada malam hari. 3,6 Hal ini

11
disebabkan karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang

lebih lembab dan panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali

mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah. 10

b. Menyerang manusia secara berkelompok

Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga

dalam sebuah keluarga biasanya mengenai seluruh anggota keluarga.

Begitu pula dalam sebuah pemukiman yang padat penduduknya,

skabies dapat menular hampir ke seluruh penduduk. Didalam

kelompok mungkin akan ditemukan individu yang hiposensitisasi,

walaupun terinfestasi oleh parasit sehingga tidak menimbulkan

keluhan klinis akan tetapi menjadi pembawa/carier bagi individu lain.10

c. Adanya terowongan

Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung

kepada kemampuannya meletakkan telur, larva dan nimfa didalam

stratum korneum, oleh karena itu parasit sangat menyukai bagian kulit
10
yang memiliki stratum korneum yang relatif lebih longgar dan tipis.

12
Gambar 6. terowongan pada penderita scabies

Lesi yang timbul berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul dan

nodul yang sering ditemukan di daerah sela-sela jari, pergelangan

tangan bagian depan dan lateral telapak tangan, siku, aksilar,

skrotum, penis, labia dan pada areola wanita. 3 Bila ada infeksi

sekunder ruam kulitnya menjadi polimorfik (pustul, ekskoriasi, dan

lain-lain).10

Gambar 7. Gambaran klasik Scabies

Erupsi eritematous dapat tersebar di badan sebagai reaksi

hipersensitivitas pada antigen tungau. Lesi yang patognomonis

adalah terowongan yang tipis dan kecil seperti benang, berstruktur

linear kurang lebih 1 hingga 10 mm, berwarna putih abu-abu, pada

ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang merupakan

hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Terowongan

ini terlihat jelas kelihatan di sela-sela jari, pergelangan tangan dan

13
daerah siku. Namun, terowongan tersebut sukar ditemukan di awal

infeksi karena aktivitas menggaruk pasien yang hebat. 1

Gambar 8. distribusi makro lesi primer scabies pada orang dewasa

14
Gambar 9. distribusi makro lesi primer scabies pada anak

d. Menemukan Sarcoptes scabiei

Apabila kita dapat menemukan terowongan yang masih utuh

kemungkinan besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva,

nimfa maupun skibala dan ini merupakan hal yang paling diagnostik.

Akan tetapi, kriteria yang keempat ini agak susah ditemukan karena

hampir sebagian besar penderita pada umumnya datang dengan lesi

yang sangat variatif dan tidak spesifik.10 Diagnosa positif hanya

didapatkan bila menemukan tungau dengan menggunakan

mikroskop, biasanya posisi tungau determined dalam liang, dapat

menggunakan pisau untuk teknik irisan ataupun denggan

15
menggunakan jarum steril, tungau ini mayoritas dapat ditemukan

pada tangan, pergelangan tangan dan lebih kurang pada daerah

genitalia, siku, bokong dan aksila. Pada anak – anak tungau banyak

ditemukan dibawah kuku karena kebiasaan menggaruk,

pengambilan tungau ini dengan menggunakan kuret. 12

Gambar 10. Telur, nimfa, dan skibala Sarcoptes scabiei

2.4.2 Variasi Scabies

a. Norwegian scabies (Skabies berkrusta)

Merupakan skabies berat ditandai dengan lesi klinis generalisata

berupa krusta dan hiperkeratosis dengan tempat predileksi pada kulit

kepala berambut, telinga, bokong, telapak tangan, kaki, siku, lutut dapat

pula disertai kuku distrofik bentuk ini sangat menular tetapi gatalnya

sangat sedikit. Dapat ditemukan lebih dari satu juta populasi tungau

dikulit. Bentuk ini ditemukan pada penderita yang mengalami gangguan

fungsi imun misalnya AIDS, penderita gangguan neurologik dan retardasi

mental.1,10

b. Skabies nodular

Skabies nodular adalah varian klinik yang terjadi sekitar 7% dari

kasus skabies dimana lesi berupa nodul merah kecoklatan berukuran 2-20

mm yang sangat gatal. Umumnya terdapat pada daerah yang tertutup

terutama pada genitalia, inguinal dan aksila. Pada nodul yang lama

tungau sukar ditemukan, dan dapat menetap selama beberapa minggu

16
hingga beberapa bulan walaupun telah mendapat pengobatan anti

skabies.13

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Bila gejala klinis spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan.

Tetapi penderita sering datang dengan lesi yang bervariasi sehingga

diagnosis pasti sulit ditegakkan. Pada umumnya diagnosis klinis

ditegakkan bila ditemukan dua dari empat cardinal sign.10 Beberapa cara

yang dapat digunakan untuk menemukan tungau dan produknya yaitu :

a. Kerokan kulit

Papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral

atau KOH 10% lalu dilakukan kerokan dengan meggunakan skalpel

steril yang bertujuan untuk mengangkat atap papula atau kanalikuli.

Bahan pemeriksaan diletakkan di gelas objek dan ditutup dengan

kaca penutup lalu diperiksa dibawah mikroskop. 10

b. Mengambil tungau dengan jarum

Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing

ditusukkan kedalam terowongan yang utuh dan digerakkan secara

tangensial ke ujung lainnya kemudian dikeluarkan. Bila positif,

tungau terlihat pada ujung jarum sebagai parasit yang sangat kecil

dan transparan. Cara ini mudah dilakukan tetapi memerlukan

keahlian tinggi.10

c. Tes tinta pada terowongan (Burrow ink test)

17
Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-

30 menit. Setelah tinta dibersihkan dengan kapas alkohol,

terowongan tersebut akan kelihatan lebih gelap dibandingkan kulit di

sekitarnya karena akumulasi tinta didalam terowongan. Tes

dinyatakan positif bila terbetuk gambaran kanalikuli yang khas

berupa garis menyerupai bentuk S.10

d. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)

Dilakukan dengan cara menjepit lesi dengan ibu jari dan

telunjuk kemudian dibuat irisan tipis, dan dilakukan irisan superfisial

menggunakan pisau dan berhati-hati dalam melakukannya agar tidak

berdarah. Kerokan tersebut diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi

dengan minyak mineral yang kemudian diperiksa dibawah

mikroskop.10 Biopsi irisan dengan pewarnaan Hematoksilin and

Eosin.

Gambar 11. Sarcoptes scabiei dalam epidermis (panah) dengan

pewarnaan H.E

18
e. Dermoskopi

Dermoskopi awalnya dipakai oleh dermatolog sebagai alat yang

berguna untuk membedakan lesi-lesi berpigmen dan melanoma.

Dermoskopi juga dapat menjadi alat yang berguna dalam

mendiagnosis scabies secara in vivo. Alat ini dapat mengidentifikasi

struktur bentuk triangular atau bentuk-V yang diidentifikasi sebagai

bagian depan tubuh tungau, termasuk kepala dan kaki. Banyak

laporan kasus yang didapatkan mengenai pengalaman dalam

mendiagnosis scabies dengan menggunakan Dermoskopi.

Dermoskopi sangat berguna, terutama dalam kasus-kasus tertentu,

termasuk kasus scabies pada pasien dengan terapi steroid lama,

pasien imunokompromais dan scabies nodular.14

Gambar 12. Scabies yang teridentifikasi dengan Dermoskopi

19
2. 5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk Skabies mencakup berbagai penyakit kulit

lainnya Seperti : Prurigo, Cutaneus Larva Migran, Pediculosis Corporis,

dan Dermatitis.6,15

2. 6 Tatalaksana

Terdapat beberapa terapi untuk skabies yang memiliki tingkat

efektifitas yang bervariasi. Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan

yang antara lain umur pasien, biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan

faktor kegagalan terapi yang pernah diberikan sebelumnya. 1

Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan di seluruh

permukaan tubuh kecuali area wajah dan kulit kepala,dan lebih difokuskan

di daerah sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit sekitar kuku,

dan area belakang telinga. Pada pasien anak dan skabies berkrusta, area

wajah dan kulit kepala juga harus dioleskan skabisid topikal. Pasien harus

diinformasikan bahwa walaupun telah diberikan terapi skabisidal yang

adekuat, ruam dan rasa gatal di kulit dapat tetap menetap hingga 4

minggu. Jika tidak diberikan penjelasan, pasien akan beranggapan bahwa

pengobatan yang diberikan tidak berhasil dan kemudian akan

menggunakan obat anti skabies secara berlebihan. Steroid topikal, anti

histamin maupun steroid sistemik jangka pendek dapat diberikan untuk

menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak membaik setelah

pemberian terapi skabisid yang lengkap. 1

1. Penatalaksanaan secara umum

20
Edukasi pada pasien skabies :4

1. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.

2. Pengobatan meliputi seluruh bagian dari kulit tanpa terkecuali baik

yang yang terkena oleh skabies ataupun bagian kulit yang tidak

terkena.

3. Pengobatan yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya

dilakukan pada malam hari sebelum tidur.

4. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.

5. Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan

teratur dan bila perlu direndam dengan air panas

6. Jangan ulangi penggunaan skabisid yang berlebihan dalam

seminggu walaupun rasa gatal yang mungkin masih timbul selama

beberapa hari.

7. Setiap orang di yang tinggal dalam satu rumah sebaiknya

mendapatkan penanganan di waktu yang sama.

8. Melapor ke dokter anda setelah satu minggu

2. Penatalaksanaan secara khusus

Ada banyak cara pengobatan secara khusus pada pengobatan

skabies dapat berupa topikal maupun oral antara lain :

a. Permethrin

Permethrin merupakan sintesa dari pyrethtoid, sifat skabisidnya

sangat baik. obat ini merupakan pilihan pertama dalam pengobatan

skabies karena efek toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah dan

21
kecenderungan keracunan akibat salah dalam penggunaannya sangat

kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit yang terabsorbsi dan cepat

dimetabolisme di kulit dan deksresikan di urin. Tersedia dalam bentuk krim

5 % dosis tunggal digunakan selama 8-12 jam, digunakan malam hari

sekali dalam 1 minggu selama 2 minggu, apabila belum sembuh bisa

dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu. Permethrin tidak

dapat diberikan pada bayi yang kurang dari 2 bulan, wanita hamil, dan ibu

menyusui. Efek samping jarang ditemukan berupa rasa terbakar, perih,

dan gatal. Beberapa studi menunjukkan tingkat keberhasilan permetrin

lebih tinggi dari lindane dan crotamiton. Kelemahannya merupakan obat

topikal yang mahal.11,18

b. Presipitat Sulfur 2-10%

Presipitat sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama

digunakan, sejak 25 M. Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk salep

(2% -10%) dan umumnya salep konsentrasi 6% lebih disukai. Cara

aplikasi salep sangat sederhana, yakni mengoleskan salep setelah mandi

ke seluruh kulit tubuh selama 24 jam tiga hari berturut-turut. Keuntungan

penggunaan obat ini adalah harganya yang murah dan mungkin

merupakan satu-satunya pilihan di negara yang membutuhkan terapi

massal.11,13

Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk

hidrogen sulfida dan pentathionic acid (CH2S5O6) yang bersifat germisid

22
dan fungisid. Secara umum sulfur bersifat aman bila digunakan oleh anak-

anak, wanita hamil dan menyusui serta efektif dalam konsentrasi 2,5%

pada bayi. Kerugian pemakaian obat ini adalah bau tidak enak, mewarnai

pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. 11

c. Benzyl benzoate

Benzyl benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang

merupakan bahan sintesis balsam peru. Benzyl benzoate bersifat

neurotoksik pada tungau skabies. Digunakan sebagai 25% emulsi dengan

periode kontak 24 jam dan pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis

dapat dikurangi menjadi 12,5%. Benzyl benzoate sangat efektif bila

digunakan dengan baik dan teratur dan secara kosmetik bisa diterima.

Efek samping dari benzyl benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan

pada wajah dan skrotum, karena itu penderita harus diingatkan untuk tidak

menggunakan secara berlebihan. Penggunaan berulang dapat

menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini dikontraindikasikan pada wanita

hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun. Tapi benzyl

benzoate lebih efektif dalam pengelolaan resistant crusted scabies. Di

negara-negara berkembang dimana sumber daya yang terbatas, benzyl

benzoate digunakan dalam pengelolaan skabies sebagai alternatif yang

lebih murah.4

d. Ivermectin

Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh

Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotik

23
makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai antibiotik, diketahui

aktif melawan ekto dan endo parasit. Digunakan secara meluas pada

pengobatan hewan, pada mamalia, pada manusia digunakan untuk

pengobatan penyakit filaria terutama oncocerciasis. Diberikan secara oral,

dosis tunggal, 200 ug/kgBB dan dilaporkan efektif untuk skabies.

Digunakan pada umur lebih dari 5 tahun. Juga dilaporkan secara khusus

tentang formulasi ivermectin topikal efektif untuk mengobati skabies. Efek

samping yang sering adalah kontak dermatitis dan toxicepidermal

necrolysis.10

2. 7 Prognosis

Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap untuk beberapa tahun.

Pada individu yang immunokompeten, jumlah tungau akan berkurang

seiring waktu.1 Investasi skabies dapat disembuhkan. Seorang individu

dengan infeksi skabies, jika diobati dengan benar, memiliki prognosis

yang baik, keluhan gatal dan eksema akan sembuh. 17

24
BAB III

SIMPULAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes

scabiei. Penularannya dengan 2 cara, yaitu kontak langsung dan kontak

tak langsung. Pada penyakit skabies ditemukan 4 tanda cardinal yaitu

pruritus nocturna, menyerang manusia secara berkelompok, adanya

terowongan (kunikulus) yang berwarna putih atau keabu-abuan dan

ditemukan tungau. Bentuk kelainan kulit pada penyakit skabies yaitu

ditemukannya papul, vesikel, erosi, ekskoriasi, dan krusta. Penanganan

yang menjadi pilihan utama adalah primetrhrin 5% topikal yang dioleskan

di kulit 8 - 12 jam serta edukasi kepada pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, other mites, and pediculosis In:

Wolff K, Lowell A, Katz GSI, Paller GAS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s

dermatology in general medicine. 7th ed. United state of America. McGraw-

Hill; 2008.Hal.2029-2032.

2. Trozak DJ, Tennenhouse JD, Russell JJ. Herpes Scabies. : Trozak DJ,

Tennenhouse JD, Russell JJ editors. Dermatology Skills for Primary Care;

An Illustrated Guide: Humana Press; 2006. Hal.105-11.

3. Currie JB, McCarthy JS. Permethrin and Ivermectin for Scabies. New

England J Med; 2010. Hal. 362; 718.

4. Karthikeyan K. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate

Med J. 81: 2005 . Hal. 8 – 10.

5. Chosidow O. Scabies. New England J Med.; 345: 2006. Hal.1718-1723.

6. Burns DA. Diseases caused by arthropods and other noxious animals. In:

Rook’s textbook of dermatology. 8th ed. United kingdom. Willey-blackwell;

2010. Hal. 3: 8.36 – 38.38.

7. Handoko,PR. Skabies. In: Djuanda A, editor. Ilmu penyakit kulit dan

kelamin. Ed 6. Jakarta. FK UI; 2010. Hal.122-123.

8. Granholm JM, Olazowaki J. Scabies prevention and control manual.

Michigan department of community health; 1: 2005.Hal.10.

9. Habif TP. Infestations and bites. In: Habif TP, editor. A clinical dermatology : a

color guide to diagnosis and therapy. 4th ed. London. Mosby; 2004 .Hal. 500

26
10. Amiruddin MD. Skabies. In. Amiruddin MD, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Ed 1.

Makassar: Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas kedokteran

universitas hasanuddin; 2003. Hal. 5-10.

11. Oakley A. Scabies: Diagnosis and Management. BPJ journals ; 19: 2012.

Hal. 12-16.

12. William DJ, Timothy GB, Dirk ME. Parasitic infestations, stings, and bites. In:

Sue Hodgson/Karen Bowler, editors. Andrews’ Disease of the skin: Clinical

Dermatology. 10th ed. Canada: Saunders Elsevier; 2006. Hal. 453.

13. Hengge UR, Currie BJ, Jager G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a

Ubiquitous Neglected Skin Disease. PubMed Med. J; 6:2006. Hal. 771.

14. Park JH, Kim CW, Kim SS. Scabies: The Diagnosis Accuracy of

Dermoscopy for Scabies. Ann Dermatology ; 24: 2012. Hal.194-99.

15. Elston DM. Bites and stings. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors.

Bolognia: Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. Hal. 84.

16. Jones JB. Eczema, lichenidentificatio, prurigo and erythroderma. In: Burns

T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of

dermatology. 8th ed. USA. Willey-blackwell; 2010.Hal.23.42 – 22.43.

17. Johnston G, Sladden M. Scabies: Diagnosis and treatment. Bmj journals;

331;2005. Hal.619, 622.

18. Leone PE. Scabies and Pediculosis Pubis : An Update of Treatment

Regiments and General Review. CID journals ; 44; 2007 Hal.53-59.

27

Anda mungkin juga menyukai