Anda di halaman 1dari 16

RANGKUMAN MATERI

PEMBELAJARAN MATA KULIAH


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Dosen Pengampu :
NAZARUDDIN S.KEP.,NS.,M.KEP

Disusun Oleh :

Nama : Nur aisyah


P2019010025
T1 KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU -ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2022
A. SISTEM SARAF
1. Pengertian
Sistem saraf merupakan jaringan kompleks yang memiliki peran penting untuk
mengatur setiap kegiatan dalam tubuh. Beberapa fungsi sistem saraf yang sering
Anda dengar adalah untuk berpikir, melihat, bergerak, hingga mengatur berbagai
kerja organ tubuh.
2. Klasifikasi
Sistem saraf yang kompleks dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu sistem
saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum
tulang belakang, sementara sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf somatik dan
otonom. Kedua sistem ini bekerja sama untuk mengendalikan seluruh aktivitas di
dalam tubuh, baik yang disadari maupun tidak disadari.
3. Bagian –bagian saraf
Secara umum, sistem saraf terdiri dari beberapa bagian, yaitu otak, sumsum tulang
belakang, dan sel-sel saraf (neuron). Fungsi dari bagian-bagian ini saling
berhubungan satu dengan yang lain. Berikut adalah penjelasannya:
a. Otak, Otak adalah pusat kendali yang bertugas untuk mengatur segala fungsi
di tubuh, mulai dari gerakan, sekresi atau mengeluarkan hormon, daya pikir
atau kognitif, sensasi, hingga emosi.
b. Sumsum tulang belakang, Sumsum tulang belakang adalah bagian dari sistem
saraf pusat. Sebagian rangsangan yang sifatnya refleks bisa melewati sumsum
tulang belakang tanpa melewati otak.
c. Sel saraf (neuron), Neuron adalah unit kerja sistem saraf pusat. Terdiri dari 12
nervus kranial, semua nervus spinal, dan cabangnya. Fungsinya sebagai
penghantar informasi berupa rangsangan atau impuls. Dengan adanya sel-sel
saraf ini, baik organ maupun sistem gerak bisa memberikan respons
sebagaimana mestinya.
4. Fungsi Sistem Saraf pada Manusia
Fungsi yang paling utama adalah untuk menerima, mengolah dan menyampaikan
rangsangan dari seluruh organ. Selain itu, jika diuraikan lebih lanjut, sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Sistem saraf pusat, Sistem saraf pusat mengendalikan seluruh pengaturan dan
pengolahan rangsangan, mulai dari mengatur pikiran, gerakan, emosi,
pernapasan, denyut jantung, pelepasan berbagai hormon, suhu tubuh, hingga
koordinasi seluruh sel saraf untuk melakukan fungsi pengaturan di dalam
tubuh.
b. Sistem saraf tepi, Fungsi utama dari sistem saraf tepi adalah menerima
rangsangan dan menghantarkan semua respons yang sudah diolah oleh sistem
saraf pusat. Sistem ini terdiri dari beberapa fungsi dan bagian, yaitu :
1) Fungsi sensorik
Bagian ini berfungsi untuk menerima setiap rangsangan atau impuls, baik
yang dari luar maupun dalam tubuh. Rangsangan yang diterima bisa
berupa cahaya, suhu, bau, suara, sentuhan, tekanan.
2) Fungsi motorik
Bagian motorik berperan untuk memberikan tanggapan atau reaksi tubuh
terhadap rangsangan yang sudah diproses oleh sistem saraf pusat. Ketika
terkena gangguan, misalnya karena penyakit saraf motorik, maka tubuh
tidak dapat bergerak dengan normal atau bahkan tidak dapat bergerak
sama sekali.
3) Fungsi somatik, Selain kedua fungsi tersebut, sistem saraf tepi juga
mengelola respons semua kegiatan yang tidak disadari, seperti respons
flight-or-fight dan kebalikannya. Contohnya, ketika mengalami ancaman,
tubuh akan merespons keadaan tersebut dengan mempercepat denyut nadi,
meningkatkan frekuensi pernapasan, serta meningkatkan aliran darah.
Setelah keadaan yang dirasa mengancam sudah teratasi, tubuh akan
mengembalikan respons ke kondisi normal.
B. SISTEM INTEGUMEN
1. Pengertian
Sistem Integumen pada manusia terdiri dari kulit, kuku, rambut, kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan kelenjar susu. Sistem integumen mampu memperbaiki sendiri
(self- repairing) & mekanisme pertahanan tubuh pertama (pembatas antara
lingkungan luar tubuh dengan dalam tubuh).
2. Anatomi Sistem Integumen pada Manusia
a. Epidermis, berasal dari ektoderm, terdiri dari beberapa lapis (multilayer).
Epidermis sering kita sebut sebagai kuit luar.Epidermis merupakan lapisan
teratas pada kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda.epidermis juga
tersusun atas lapisan: Melanosit, Sel Langerhans, Sel Merkel, Keratinosit.
b. Dermis
Merupakan bagian Lapisan Setelah Epidermis. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis.
Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu stratum
papilare dan stratum reticular.
c. Skin Appendages atau /Struktur asesoris kulit
merupakan struktur tambahan kulit. Derivat kulit berasal dari epidermis, terdiri
dari kelenjar sudorifera, kelompok sebasea, rambut dan folikelrambut serta
kuku. Nama lainnya appendages kulit / adneksa kulit / struktur tambahan kulit.
3. Fisiologi Sistem Integumen pada Manusia
Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh.
Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi,
ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan
vitamin D.
4. Gangguan Pada Sistem Integumen Manusia
Kanker kulit, penyakit lupus, Rubeola atau Penyakit Campak, Cold Sore (Herpes
Simplex Virus), prosiasis, dll.
C. KONSEP DASAR LUKA
1. Pengertian
merupakan Kerusakan integumen atau struktur dibawahnya yang mengakibatkan
atau tidak mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fungsi fisiologis jaringan
menjadi rusak).
2. Klasifikasi luka
a. Hitam (Nekrotik).
b. Kuning (Slough).
c. Hijau (Terinfeksi).
d. Merah (Granulasi).
e. Pink (Epitelisasi).
3. Fase penyembuhan luka :
a. Fase Koagulasi dan Inflamasi (0-5 hari)
Setelah luka terjadi dan melibatkan platelet. Pengeluaran platelet akan
menyebabkan vasokonstriksi. Proses ini bertujuan untuk homeostatis sehingga
mencegah perdarahan lebih lanjut ( 5 – 10 menit) kemudian trjd Vasodilatasi
dan pelepasan substansi vasodilatator. Fase inflamasi memungkinkan
pergerakan leukosit (utamanya neutrofil). Neutrofil selanjutnya memfagosit dan
membunuh bakteri dan masuk ke matriks fibrin dalam persiapan pembentukan
jaringan baru.
b. Fase Proliferasi atau Rekonstruksi (5-21 hari), terdiri dari :
1) Proses granulasi (untuk mengisi ruang kosong pada luka).
2) Angiogenesis (pertumbuhan kapiler baru) tujuannya untuk suplai oksigen
kedalam jaringan.
3) Proses kontraksi (untuk menarik kedua tepi luka agar saling berdekatan
c. Fase Remodelling atau Maturasi (21 hari-1tahun).
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan
luka. Dimulai pd mgg ke 3 dan berakhir – 1 thn atau lebih. Akhir dari
penyembuhan didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80
% dibanding kulit normal. Tujuan : menyempurnakan terbentuknya jaringan
baru mjd jaringan penyembuhan yg baru yg kuat dan bermutu.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan
1) Usia,
2) Penyakit yang menyertai,
3) Vascularisasi, Kegemukan,
4) Gangguan sensasi dan pergerakan,
5) Status psikologis,
6) Terapi radiasi,
7) Obat-obat.
e. Faktor-faktor yang dapat menghambat penyembuhan luka
1) Kelembaban luka.
2) Temperatur luka.
3) Managemen luka.
4) Tekanan, gesekan, dan tarikan.
5) Benda asing.
6) Infeksi luka.
TUGAS BU DWI WULANDARI, S.Kep, Ns, M.Kep

A.ANALISA JURNAL

JUDUL PENELITIAN
Pengaruh Neurological Wake-Up Test terhadap Tekanan Intrakranial dan Tekanan Perfusi Serebral
pada Pasien Cedera Otak.

PENELITI

Karin Skoglund , Per Enblad & Niklas Marklun.

RINGKASAN JURNAL

NWT digunakan untuk mengevaluasi tingkat kesadaran yang menyebabkan peningkatan signifikan
pada ICP dan CPP. Pada sebagian besar pasien, perubahannya ringan dan sementara dan kami
berpendapat bahwa temuan keseluruhan dalam penelitian ini tidak menghalangi penerapan NWT
berulang dalam pengaturan perawatan neurointensif. Dalam subset pasien, NWT menginduksi
perubahan ICP dan CPP yang ditandai yang mungkin memiliki efek negatif pada otak yang cedera.
Pasien tersebut harus dikeluarkan dari NWT berulang dan informasi harus dikumpulkan dari metode
pemantauan multimodalitas lainnya dalam kombinasi dengan neuroimaging.

TUJUAN PENELITIAN

penilaian neurologis berulang setelah gangguan sedasi terus menerus (di sini disebut tes bangun tidur
neurologis; NWTs) adalah untuk mendeteksi tandatanda neurologis yang menunjukkan
perkembangan, misalnya, hematoma intrakranial atau defisit iskemik neurologis tertunda yang
memerlukan intervensi segera.

KEKURANGAN DAN KELEBIHAN

Kelebihan :

"Tes bangun" (NWT), mudah untuk dilakukan karena merupakan kegiatan sehari-hari.

Tes bangun" (NWT) ", tidak sepenuhnya membutuhkan bantuan perawat, dan keluarga pasien.

Pada jurnal ini dijelaskan secara rinci bagaimana proses Tes bangun" (NWT) " dilakukan.

Kekurangan :

Jurnal ini menggunakan metode statistic dalam penilaiannya, sehingga hasil penelitian tidak
menunjukan penelitian secara ringkas.

D. PERAN, FUNGSI DAN PRINSIP ETIK KEPERAWATAN


1. Peran perawat
a. Peran Sebagai Pemberi asuhan Keperawatan
b. Peran Sebagai Advokat (Pembela) klien
c. Peran Sebagai Edukator
d. Peran sebagai kolaborator
e. Peran sebagai konsultan
2. Fungsi perawat
a. Fungsi Independent (Bebas)
Contoh : Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis (Oksigenasi, cairan, elektrolit,
nutrisi dan lain2), keamanan, cinta mencintai, dan harga diri.
b. Fungsi Dependent (Terikat)
Contoh : Pelimpahan tugas( Perawat Spesialis ke umum, dan perawat primer
ke pelaksana)
c. Fungsi Interindependent
Contoh : kerja tim dan saling ketergantungan (dokter, perawat, farmasi,
fisioterapi dan gizi)
3. Objek utama dalam ilmu keperawatan
a. Manusia
b. Keperawatan
c. Konsep Sehat sakit dan Lingkungan
4. Prinsip etik : Etika adalah ilmu tentang moralitas. Etik adalah suatu usaha yang
sistematik untuk memberikan arti.
5. Prinsip etik dalam keperawatan :
a. Otonomi (Kemandirian atau kebebasan)
b. Beneficence (Berbuat baik)
c. Justice (Keadilan)
d. Non-Maleficience (tidak merugikan)
e. Veracity (Kejujuran)
f. Fidelity (Menepati Janji)
g. Confidentiality (Kerahasian)
h. Accountability (Akuntabilitasi)
6. Faktor yang mempengaruhi keputusan etik :
a. Kepercayaan (Agama)
b. Kode etik
c. Hak klien
d. Prilaku sosial budaya
e. Perkembangan IMTEK
f. Keputusan pengadilan
g. Pendanaan
7. Faktor dilingkungan kerja yang mempengaruhi pembutan kepetusan etik :
a. Status sebagai pegawai
b. Hubungan kolegialitas
c. Latar belakang tipe pemimpin yang otoriter dan patrealistik
d. Komite etik dalam pelayanan kesehatan
8. Kerangka kerja untuk membuat keputusan etik :
a. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi masalah etik
b. Mengumpulkan data
c. Mengidentifikasi pilihan-pilihan pemecahan masalah
d. Membuat keputusan
e. Melakukan tindakan dan pengkajian
E. FRAKTUR
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer S.C dikutip dalam Bare B.G, 2001).
2. Etiologi
a. Trauma
b. Gaya meremuk
c. Gerakan puntir mendadak
d. Kontraksi otot ekstrem
e. Keadaan patologis: osteoporosis, neoplasma
f. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit (Brunner dikutip dalam
Suddarth 2001)
3. Klasifikasi Fraktur
a. Fraktur tertutup (closed), Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar
b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur). Dikatakan terbuka bila tulang yang
patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi
infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang
yang patah. 
4. Manifestasi Klinis
a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak
b. Nyeri
c. Echimosis (memar)
d. Deformitas
e. Pergerakkan abnormal
f. Krepitasi
g. Edema/Bengkak : muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
h. Kurang/Kehilangan sensasi (mati rasa mungkin terjadi dari rusaknya saraf atau
perdarahan).
i. Rontgen abnormal
5. Patofisiologi
Sel-sel osteoblast didalam periosteum, dan endosteum akan memproduksi osteoid
(tulang muda dari jaringan kolagen yang belum mengalami klasifikasi, yang juga
disebut kalus). Osteoid ini akan mengeras disepanjang permukaan luar korpus
tulang dan pada kedua ujung patahan tulang.
6. Penatalaksanaan Medis
a. Rekognisi (Pengenalan)
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi).
c. Retensi (Immobilisasi).
d. Rehabilitasi
7. Diagnosa Keperawatan Fraktur
a. nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (SDKI D.0077 Hal.172)
b. Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur dan
immobilisasi (SDKI D.0067. Hal.151).
c. Risiko Gangguan Integritas kulit/Jaringan berhubungan dengan penekanan pada
tonjolan tulang.
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang (SDKI D.0054. Hal.124)
e. Risiko Infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahan tubuh primer
(kerusakan integritas kulit) (SDKI 0142 Hal. 304)
F. DISLOKASI
1. Definisi
Dislokasi sendi adalah suatu keadaan dimana permukaan sendi tulang yang
membentuk sendi tak lagi dalam hubungan anatomis.kasar tulang “lepas dari
sendi”.
2. Etiologi
a. Cedera olahraga.
b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga.
c. Terjatuh.
d. Factor predisposisi ( pengaturan posisi ).
e. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.
f. Trauma akibat kecelakaan.
g. Trauma akibat pembedahan ortopedi ( ilmu yang mempelajari tentang tulang).
h. Terjadi infeksi disekitar sendi.
3. Klasifikasi
Dislokasi dapat di klasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital
b. Dislokasi patologik
c. Dislokasi traumatic
4. Manifestasi Klinis
Nyeri terasa hebat, pasien menyongkong lengan itu dengan tangan sebelahnya
dan segan menerima pemeriksaan apa saja garis gambar lateral bahu dapat rata dan
kalau pasien tak terlalu berotot suatu tonjolan dapat diraba tepat dibawah klavikula
(Wahid, 2013).
5. Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan humerus terdorong
kedepan. Merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadang-
kadang bagian postero lateral kaput hancur. Walau jarang proses usakromium
dapat mengungkit out kebawah dan menimbulkan luksasi oerekta (dengan tangan
mengarah lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput keposisi dibawah
karakoit (Wahid, 2013).
6. Penatalaksanaan
a. Sendi yang terkena di imobilisasi saat klien dipindahkan Dislokasi direduksi
atau direposisi
b. Di imobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi sampai posisi stabil
c. Kompreses selama 20-30 menit secara intermiten selama 24 jam
d. Ektremi tadi tinggikan setinggi jantung untuk mengontrol pembekakan dan
memberi istirahat.
e. Setelah reduksi, lakukan gerakan aktif lembut, 3-4 kali/hari
f. Tingkatkan kenyamanan
g. Lindungi sendi selam penyembuhan
h. Pembedahan dilakukan jika terdapat robekan
7. Komplikasi
a. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera, pasien tidak dapat mengkerutkan otot
deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tersebut.
b. Cedera pembuluh darah : arteri aksila dapat rusak.
c. Fraktur dislokasi
8. Diagnosa keperawatan pada fraktur
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Gangguan Mobilitas fisik b.d penurunan kendali otot
c. Ansietas b.d kurang terpapar informasi
d. Gangguan citra tubuh b.d perubahan struktur/bentuk tubuh
G. GLUKOMA
1. Definisi
Glukoma adalah penyakit mata dimana terjadi kerusakan saraf optik yang diikuti
gangguan pada lapang pandang yang khas.kondisi utamanya ini diakibatkan oleh
tekanan bola mata yang meninggi yang biasanya disebabkan oleh hambatan
pengeluaran cairan bola mata (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan,
2015).
2. Manifestasi
a. Rasa pegal yang ringan pada kedua mata akibat kenaikan TIO.
b. Kehilangan penglihatan perifer akiat kompresi sel-sel batang pada retina dan
serabut saraf
c. Perasaan tertekan pada mata akibat kenaikan TIO
d. Pelebaran pupil yang sedang dan tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya
e. Kornea yang keruh akibat kompresi pada intraokuler
3. Klasifikasi
a. Glukoma primer
b. Glukoma sekunder
c. Glukoma kongenital
d. Glukoma absolut

4. Diagnosa pada glukoma


a. Nyeri Akut b.d Peningkatan Tekanan intra okuler
b. Gangguan persepsii sensori b.d Penurunan fungsi penglihatan
c. Risiko Cedera b.d penurunan lapang pandang
d. Nausea b.d peningkatan tekanan intrakranial
e. Ansietas b.d Krisis Situasional
H. OTITIS MEDIA AKUT
1. Pengertian
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga
tengah, tuba eustachii, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Biasanya terjadi
karena peradangan saluran napas atas dan sering mengenai bayi dan anak-anak.
Etiologi
2. Faktor pertahanan tubuh terganggu
a. Infeksi saluran pernafasan atas
b. Bakteri piogeik
c. Obstruksi tuba eusthachius
3. Manifestasi klinis
a. Terjadi setelah infeksi pernafasan atas
b. Otalgia (sakit telinga)
c. Demam
d. Rabas purulen (otorea)
4. Klasifikasi
a. Stadium oklusi tuba Eustachius ditandai dengan adanya gambaran retraksi
membran timpani
b. Stadium hiperemis (stadium pre-supurasi) dilihat adanya pelebaran pembuluh
darah pada membran timpani
c. Stadium supuratif terjadinya edema yang hebat pada mukosa telinga tengah
d. Stadium perforasi terjadi ruptur membran timpani
e. Stadium resolusi
f. dimana membran timpani yang perforasi dapat kembali normal tanpa
pengobatan
5. penatalaksanaan
a. Stadium oklusituba
1) Berikan antibiotik selama 7 hari:
a) Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x
sehari atau
b) Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x
sehari atau
c) Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x
sehari
2) Obattetes hidung nasaldekongestan
3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya
b. Stadium hiperemis
1) Berikan antibiotik selama 10–14 hari:
a) Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x
sehari atau
b) Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x
sehari atau
c) Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x
sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya
c. Stadium supurasi
1) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan
2) Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral
selama 3 hari
3) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk kedokter spesialis THT
untuk dilakukan miringotomi
6. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri Akut b.d agen pencederaan fisiologi
b. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan pendengaran
c. Hipertermia b.d proses penyakit
d. Gangguan Citra Tubuh b.d perubahan fungsi tubuh
e. Ansietas b.d kurang terpapar informasi

I. KATARAK
1. Pengertian
Katarak adalah proses degenerative berupa kekeruhan di lensa bola mata
sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan penglihatan sampai kebutaan.
Kekeruhan ini di sebabkan oleh terjadinya reaksi biokimia yang menyebabkan
koagulasi protein lensa (Kemenkes RI, 2019).
2. Etiologi
a. Usia lanjut (senil) dan proses penuaan
b. Congenital atau bisa diturunkan (genetic)
c. Gangguan perkembangan
d. Pembentukan katarak dipercepat oleh faktor lingkungan, seperti merokok
atau bahan beracun lainnya.
3. Manifestasi Klinis
a. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
b. Gangguan penglihatan bisa berupa:
1) Peka terhadap sinar atau cahaya.
2) Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
3) Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
4) Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
5) Kesulitan melihat pada malam hari
6) Melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa menyilaukan
mata
4. Penatalaksanaan
Gejala-gejala yang timbul pada katarak yang masih ringan dapat dibantu dengan
menggunakan kacamata, lensa pembesar, cahaya yang lebih terang, atau
kacamata yang dapat meredamkan cahaya. Pada tahap ini tidak diperlukan
tindakan operasi (Ilyas, 2007)
Tindakan operasi katarak merupakan cara yang efektif untuk memperbaiki
lensa mata, tetapi tidak semua kasus katarak memerlukan tindakan operasi.
Operasi katarak perlu dilakukan jika kekeruhan lensa menyebabkan penurunan
tajam pengelihatan sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari.
Operasi katarak dapat dipertimbangkan untuk dilakukan jika katarak terjadi
berbarengan dengan penyakit mata lainnya, seperti uveitis yakni adalah
peradangan pada uvea.
5. Diagnosa keperawatan pada katarak
1. Ansietas b.d kurang terpapar informasi
2. Risiko Cedera b.d gangguan penglihatan
3. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik
4. Risiko infeksi b.d efek prosedur invasive
J. VERTIGO
1. Pengertian
Vertigo berasal dari bahasa latin, vertere, artinya memutar merujuk pada sensasi
berputar sehingga menganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya
disebabkan oleh gangguan pada sistem keseimbangan. Derajat yang lebih ringan
dari Vertigo disebut dizziness yang lebih ringan lagi disebut giddiness dan
unsteadiness (finestone, 1982).
2. Etiologi
a. Otologi
b. Neurologis
c. Interna
d. Psikiatrik
e. Fisiologis
3. Klasifikasi
a. Vertigo vestibular perifer
b. Vertigo vestibular sentral
c. Vertigo nonvestibular
4. Manifestasi klinis
Gejala pada Vertigo vestibular dengan gejala sensasi rasa berputar tempo
serangan episodik mual atau muntah, gangguan pendengaran gerakan pencetus
gerakan kepala.
5. Penatalaksanaan
a. Terapi simtomatik melalui farmakoterapi
b. Terapi kausal, mencakup:
c. Terapi rehabilitatif ( metode Brandt-Daroff, latihan visual vestibular latihan
berjalan).
d. Hindari faktor pencetus dan memperbaiki lifestyle pemilihan terapi Vertigo
angat tergantung dari tipe dan kausa Vertigo
6. Diagnosa Keperawatan Vertigo
a. Nyeri Akut b.d Agen Pencedera Fisiologis(D.0077, Hal. 172)
b. Gangguan Pola Tidur b.d Hambatan Lingkungan(D.0055, Hal. 126)
c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan (D.0056, Hal. 128)
d. Resiko jatuh b.d Kerusakan keseimbangan (D.0143, Hal. 306)
e. Resiko defisit nutrisi b.d Ketidak mampuan mencerna makanan (D.0032, Hal.
81)

Anda mungkin juga menyukai