HERPES
Klasifikasi Herpes
I. Herpes Simpleks
II. Herpes Genital
III. Herpes Zoester
b. Etiologi
HSV ditularkan melalui kontak langsung. Infeksi HSV terjadi melalui
inokulasi virus kedalam permukaan mukosa ( misalnya : orofaring, serviks,
konjungtiva ) atau melalui suatu lesi dikulit.
HSV -1 ditularkan terutama melalui kontak dengan air liur yang
terinfeksi virus, sedangkan HSV-2 ditularkan secara seksual atau dari infeksi
melalui kontak pada jalan akhir seorang ibu untuk bayinya yang lahir.
(Mutaqin,Arif. 2012. Sistem integumen. Jakarta : Salemba Medika)
c. Patofisiologi
Infeksi primer dimulai 2 – 20 hari setelah mengalami kontak. Infeksi
genetalia HSVtipe 1 dan 2 secara klinis identik. Individu dengan riwayat lesi
orang dan antibodi HSV tipe 1 cenderung untuk menderita infeksi HSV tipe 2
yang tidak begitu berat. Infeksi primer dapat menimbulkan lesi atau gejala
yang ringan atau tidak sama sekali. Akan tetapi pada wanita, infeksi herpes
genitalis primer secara khas ditunjukkan oleh adanya vesikel nultipel pada
labia mayora dan minora, menyebar pada perineum dan paha, yang kemudian
berlanjut menjadi tukak yang sangat nyeri.
HSV mempunyai kemampuan untuk reaktivasi melalui beberapa
rangsangan (misalnya : demam, trauma, stress emosional, sinar matahari dan
menstruasi). HSV tipe1 dapat aktif kembali 8-10 kali lebih sering didaerah
genital daripada genitalia. Sementaraitu, HSV-1 dapat aktif kembali dan lebih
sering pada bagian oral dari pada genital dari pada di daerah orolabial.
Reaktivasi lebih umum dan parah terjadi pada individu dengan kondisi
penurunan fungsi imun. (Mutaqin,Arif. 2012. Sistem integumen. Jakarta :
Salemba Medika)
patflow herpes simpleks
kontak virus
Infeksi akut
setelah infeksimukokuntaneus
virus tidak aktiv pada
simtomatik
gang lion
asimtomatik
fase laten terputus oleh reaktivitas virus yang disebut fase rekuren
mk GG integritas kulit
( Mutaqin,Arif.2012. sistem Integumen. Jakarta : EGC)
d. Tanda Dan Gejala
Gejala dapat dicirikan dengan lesi dimulut,faring, kelopak mata,atau
genital. Suatu saat lesi pada area ini akan berkelompok. Pejamu yang terinfeksi
mungkin mengalami gejala umum seperti demam, sakit tenggorokan,
kelemahan dan limfadenopati. Keparahan gejala karena kekebalan yang
disupresi meliputi penyebaran penyakit yang luas dengan lesi yang tampak di
area yang luas antara lain membran mukosa dan kulit. Infesi primer mungkin
berlangsung selama beberapa hari.
Infeksi primer hampir semua orang yang terinfeksi tidak mengetahui
episode pertama dari infeksi herpes simplek. Pada gejala individu, infeksi
primer adalah tahap dimana mungkin rasa nyeri muncul dan gejala memanjang
tahap sesudahnya.
Masa latten. Virus yang awalnya menginfeksi sel epitel membran
mukosa dan kulit akan menyerang sel saraf sensorik selama masa latten. Pada
masa ini virus tidak melakukkan replikasi tetapi tetap hidup. Pada keadaan ini,
adanya stressor emosi atau fisiologik dapat menyebabkan virus aktif kembali.
Reaktivasi infeksi. Virus melakukan repliukasi pada reaktivasi dari
infeksi baik dengan menunjukkan gejala atau tanpa gejala. Pada kasus lain
dapat terjadi penyebaran virus pada orang lain. Umumnya, reinfeksi
simtomatik tidak terlalu parah dan dalam waktu yang lebih singkat dariinfeksi
primer. Gejala yang muncul kembali dari infeksi mempunyai periode
prodromal dan dapat diketahui dengan adanya sensasi gatal, panas atau
kesemutan. ( Brunner & Sudart. 2001. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta :
EGC)
e. Komplikasi
Komplikasi yang paling signifikan dari HSV adalah ensefalitis
meskipun jarang, merupakan kasus fatal sekitar 60-80%. HSV dapat muncul
sebagai penyakit menular seperti pneumonia, kolitis, esofagitis pada pasien
HIV. Suatu saat tersebar secara luas pada pasien dengan luka bakar yang berat.
Infeksi primer atau rekuren selama hamil dapat menimbulkan infeksi
kongenital janin dan bayi baru lahir. Komplikasi dapat berupa infeksi lokal
sampai dengan kelainan dan kadang meninggal.( Brunner & Sudart. 2001.
Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC)
f. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis tentang virus herpes simpleks dapat dibuat dengan kultur
virus atau tes serologik. Seringnya penggunaan test usap Tzanck menggunakan
kikisan dari lesi dan menambhakan pewarna khusus lagsung mengobservasi
sel multinukleus raksasa yang menandakan HSV atau infeksi zoster lain.
( Brunner & Sudart. 2001. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC)
g. Penatalaksanaan Medis
Herpes simpleks ensefalitis dan infeksi neonatal umunya diatasi asiklovir.
Asiklovir juga telah menunjukkan penanganan yang efektif untuk membatasi
morbiditas dari episode awal pada herpes genital dan untuk munculnya kembali
menifestasi herpes yang berat.( Brunner & Sudart. 2001. Keperawatan Medical
Bedah. Jakarta : EGC)
Ada dua macam tipe HSV yaitu : HSV-1 dan HSV-2 dan keduanya
dapat menyebabkan herpes genital. Infeksi HSV-2 sering ditularkan melalui
hubungan seks dan dapat menyebabkan rekurensi dan ulserasi genital yang
nyeri. Tipe 1 biasanya mengenai mulut dan tipe 2 mengenai daerah genital.
HSV dapat menimbulkan serangkaian penyakit, mulai dari
ginggivostomatitis sampai keratokonjungtivitis, ensefalitis, penyakit kelamin
dan infeksi pada neonatus. Komplikasi tersebut menjadi bahan pemikiran dan
perhatian dari beberapa ahli, seperti : ahli penyakit kulit dan kelamin, ahli
kandungan, ahli mikrobiologi dan lain sebagainya. Infeksi primer oleh HSV
lebih berat dan mempunyai riwayat yang berbeda dengan infeksi rekuren
Setelah terjadinya infeksi primer virus mengalami masa laten atau
stadium dorman, dan infeksi rekuren disebabkan oleh reaktivasi virus dorman
ini yang kemudian menimbulkan kelainan pada kulit. Infeksi herpes simpleks
fasial-oral rekuren atau herpes labialis dikenali sebagai fever blister atau cold
sore dan ditemukan pada 25-40% dari penderita Amerika yang telah terinfeksi.
Herpes simpleks fasial-oral biasanya sembuh sendiri. Tetapi pada
penderita dengan imunitas yang rendah, dapat ditemukan lesi berat dan luas
berupa ulkus yang nyeri pada mulut dan esofagus.
Virus herpes merupakan sekelompok virus yang termasuk dalam
famili herpesviridae yang mempunyai morfologi yang identik dan mempunyai
kemampuan untuk berada dalam keadaan laten dalam sel hospes setelah
infeksi primer. Virus yang berada dalam keadaan laten dapat bertahan untuk
periode yang lama bahkan seumur hidup penderita. Virus tersebut tetap
mempunyai kemampuan untuk mengadakan reaktivasi kembali sehingga dapat
terjadi infeksi yang rekuren.
b. Etiologi
Herpes genitalis disebabkan oleh HSV atau herpes virus hominis
(HVH), yang merupakan anggota dari famili herpesviridae. Adapun tipe-tipe
dari HSV :
1) Herpes simplex virus tipe I : pada umunya menyebabkan lesi
atau luka pada sekitar wajah, bibir, mukosa mulut, dan leher.
2) Herpes simplex virus tipe II : umumnya menyebabkan lesi
pada genital dan sekitarnya (bokong, daerah anal dan paha).
Herpes simplex virus tergolong dalam famili herpes virus, selain HSV
yang juga termasuk dalam golongan ini adalah Epstein Barr (mono) dan
varisela zoster yang menyebabkan herpes zoster dan varicella. Sebagian besar
kasus herpes genitalis disebabkan oleh HSV-2, namun tidak menutup
kemungkinan HSV-1 menyebabkan kelainan yang sama.
Pada umumnya disebabkan oleh HSV-2 yang penularannya secara
utama melalui vaginal atau anal seks. Beberapa tahun ini, HSV-1 telah lebih
sering juga menyebabkan herpes genital. HSV-1 genital menyebar lewat oral
seks yang memiliki cold sore pada mulut atau bibir, tetapi beberapa kasus
dihasilkan dari vaginal atau anal seks.
c. Patofisiologi
HSV-1 dan HSV-2 adalah termasuk dalam famili herphesviridae,
sebuah grup virus DNA rantai ganda lipid-enveloped yang berperanan secara
luas pada infeksi manusia. Kedua serotipe HSV dan virus varicella zoster
mempunyai hubungan dekat sebagai subfamili virus alpha-herpesviridae.
Alfa herpes virus menginfeksi tipe sel multiple, bertumbuh cepat dan
secara efisien menghancurkan sel host dan infeksi pada sel host. Infeksi pada
natural host ditandai oleh lesi epidermis, seringkali melibatkan permukaan
mukosa dengan penyebaran virus pada sistem saraf dan menetap sebagai
infeksi laten pada neuron, dimana dapat aktif kembali secara periodik.
Transmisi infeksi HSV seringkali berlangsung lewat kontak erat dengan pasien
yang dapat menularkan virus lewat permukaan mukosa.
Infeksi HSV-1 biasanya terbatas pada orofaring, virus menyebar
melalui droplet pernapasan, atau melalui kontak langsung dengan saliva yang
terinfeksi. HSV-2 biasanya ditularkan secara seksual. Setelah virus masuk ke
dalam tubuh hospes, terjadi penggabungan dengan DNA hospes dan
mengadakan multiplikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit.
pada wanita
timbul vesikel multipel pada labiya mayora dan minora
menyebar ke perineum dan paha berlanjut menjadi tukak
yang sangat nyeri
factor pencetus muncul yaitu demam, trauma, stres emosional dan menstruasi
fase rekrum
MK:
menyerang ke genital dan paha
- Nyeri
- GG integritas kulit
( Brunner & Sudart. 2001. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC)
e. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah Tes Tzank
diwarnai dengan pengecatan giemsa atau wright, akan terlihat sel raksasa
berinti banyak. Sensitifitas dan spesifitas pemeriksaan ini umumnya rendah.
Cara pemeriksaan laboratorium yang lain adalah sebagai berikut.
1) Histopatologis
Vesikel herpes simpleks terletak intraepidermal, epidermis yang
terpengaruh dan inflamasi pada dermis menjadi infiltrat dengan leukosit dan
eksudat sereus yang merupakan kumpulan sel yang terakumulasi di dalam
stratum korneum membentuk vesikel.
2) Pemeriksaan serologis ( ELISA dan Tes POCK )
Beberapa pemeriksaan serologis yang digunakan :
a) ELISA mendeteksi adanya antibodi HSV-1 dan HSV-2
b) Tes POCK untuk HSV-2 yang sekarang mempunyai sensitivitas yang
tinggi.
3) Kultur virus
Kultur virus yang diperoleh dari spesimen pada lesi yang dicurigai
masih merupakan prosedur pilihan yang merupakan gold standard pada
stadium awal infeksi. Bahan pemeriksaan diambil dari lesi mukokutaneus pada
stadium awal (vesikel atau pustul), hasilnya lebih baik dari pada bila diambil
dari lesi ulkus atau krusta.
Pada herpes genitalis rekuren hasil kultur cepat menjadi negatif,
biasanya hari keempat timbulnya lesi, ini terjadi karena kurangnya pelepasan
virus, perubahan imun virus yang cepat, teknik yang kurang tepat atau
keterlambatan memproses sampel. Jika titer dalam spesimen cukup tinggi,
maka hasil positif dapat terlihat dalam waktu 24-48 jam.
f. Komplikasi
Infeksi herpes genital biasanya tidak menyebabkan masalah kesehatan
yang serius pada orang dewasa. Pada sejumlah orang dengan sistem
imunitasnya tidak bekerja baik, bisa terjadi outbreaks herpes genital yang bisa
saja berlangsung parah dalam waktu yang lama. Orang dengan sistem imun
yang normal bisa terjadi infeksi herpes pada mata yang disebut herpes okuler.
Herpes okuler biasanya disebabkan oleh HSV-1 namun terkadang dapat juga
disebabkan HSV-2. Herpes dapat menyebabkan penyakit mata yang serius
termasuk kebutaan.
Wanita hamil yang menderita herpes dapat menginfeksi bayinya. Bayi
yang lahir dengan herpes dapat meninggal atau mengalami gangguan pada
otak, kulit atau mata.(12) Bila pada kehamilan timbul herpes genital, hal ini
perlu mendapat perhatian serius karena virus dapat melalui plasenta sampai ke
sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin.
Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup
menderita cacat neurologis atau kelainan pada mata.
g. Penatalaksanaan
Sampai sekarang belum ada obat yang memuaskan untuk terapi herpes
genitalis, namun pengobatan secara umum perlu diperhatikan, seperti :
1) menjaga kebersihan lokal
2) menghindari trauma atau faktor pencetus
Penggunaan idoxuridine mengobati lesi herpes simpleks secara lokal
sebesar 5% sampai 40% dalam dimethyl sulphoxide sangat bermanfaat.
Namun, pengobatan ini memiliki beberapa efek samping, di antaranya pasien
akan mengalami rasa nyeri hebat, maserasi kulit dapat juga terjadi.
Meskipun tidak ada obat herpes genital, penyediaan layanan kesehatan
anda akan meresepkan obat anti viral untuk menangani gejala dan membantu
mencegah terjadinya outbreaks. Hal ini akan mengurangi resiko menularnya
herpes pada partner seksual. Obat-obatan untuk menangani herpes genital
adalah :
1) Asiklovir (Zovirus)
2) Famsiklovir
3) Valasiklovir (Valtres)
Asiklovir
Pada infeksi HVS genitalis primer, asiklovir intravena (5 mg/kg BB/8
jam selama 5 hari), asiklovir oral 200 mg (5 kali/hari saelama 10-14 hari) dan
asiklovir topikal (5% dalam salf propilen glikol) dsapat mengurangi lamanya
gejala dan ekskresi virus serta mempercepat penyembuhan.
Valasiklovir
Valasiklovir adalah suatu ester dari asiklovir yang secara cepat dan
hampir lengkap berubah menjadi asiklovir oleh enzim hepar dan meningkatkan
bioavaibilitas asiklovir sampai 54%.oleh karena itu dosis oral 1000 mg
valasiklovir menghasilkan kadar obat dalam darah yang sama dengan asiklovir
intravena. Valasiklovir 1000 mg telah dibandingkan asiklovir 200 mg 5 kali
sehari selama 10 hari untuk terapi herpes genitalis episode awal.
Famsiklovir
Adalah jenis pensiklovir, suatu analog nukleosida yang efektif
menghambat replikasi HSV-1 dan HSV-2. Sama dengan asiklovir, pensiklovir
memerlukan timidin kinase virus untuk fosforilase menjadi monofosfat dan
sering terjadi resistensi silang dengan asiklovir. Waktu paruh intrasel
pensiklovir lebih panjang daripada asiklovir (>10 jam) sehingga memiliki
potensi pemberian dosis satu kali sehari. Absorbsi peroral 70% dan
dimetabolisme dengan cepat menjadi pensiklovir. Obat ini di metabolisme
dengan baik.
h. Pencegahan
Hingga saat ini tidak ada satupun bahan yang efektif mencegah HSV.
Kondom dapat menurunkan transmisi penyakit, tetapi penularan masih dapat
terjadi pada daerah yang tidak tertutup kondom ketika terjadi ekskresi virus.
Spermatisida yang berisi surfaktan nonoxynol-9 menyebabkan HSV menjadi
inaktif secara invitro. Di samping itu yang terbaik, jangan melakukan kontak
oral genital pada keadaan dimana ada gejala atau ditemukan herpes oral.
Secara ringkas ada 5 langkah utama untuk pencegahan herpes genital
yaitu:
1) Mendidik seseorang yang berisiko tinggi untuk mendapatkan herpes genitalis
dan PMS lainnya untuk mengurangi transmisi penularan.
2) Mendeteksi kasus yang tidak diterapi, baik simtomatik atau asimptomatik.
3) Mendiagnosis, konsul dan mengobati individu yang terinfeksi dan follow up
dengan tepat.
4) Evaluasi, konsul dan mengobati pasangan seksual dari individu yang
terinfeksi.
5) Skrining disertai diagnosis dini, konseling dan pengobatan sangat berperan
dalam pencegahan.
anti body dalam darah masih tinggi anti body menurun dibawah titik kritis
e. Komplikasi
Herpes zoster tidak menimbulkan komplikasi pada kebanyakan orang.
Bila timbul komplikasi, hal-hal berikut dapat terjadi:
1. Neuralgia pasca herpes. Ini adalah komplikasi yang paling umum. Nyeri
saraf (neuralgia) akibat herpes zoster ini tetap bertahan setelah lepuhan
kulit menghilang. Masalah ini jarang terjadi pada orang yang berusia di
bawah 50. Rasa nyeri biasanya secara bertahap menghilang dalam satu
bulan tetapi pada beberapa orang dapat berlangsung berbulan-bulan bila
tanpa pengobatan.
2. Infeksi kulit. Kadang-kadang lepuhan terinfeksi oleh bakteri sehingga
kulit sekitarnya menjadi merah meradang. Jika hal ini terjadi maka Anda
mungkin perlu antibiotik.
3. Masalah mata. Herpes zoster pada mata dapat menyebabkan peradangan
sebagian atau seluruh bagian mata yang mengancam penglihatan.
4. Kelemahan/layuh otot. Kadang-kadang, saraf yang terkena dampak
adalah saraf motorik dan saraf sensorik yang sensitif. Hal ini dapat
menimbulkan kelemahan (palsy) pada otot-otot yang dikontrol oleh saraf.
5. Komplikasi lain. Misalnya, infeksi otak oleh virus varisela-zoster, atau
penyebaran virus ke seluruh tubuh. Ini adalah komplikasi yang sangat
serius tapi jarang terjadi. Penderita herpes zoster dengan sistem kekebalan
tubuh lemah lebih berisiko mengembangkan komplikasi langka ini.
f. Pemeriksaan diagnostik
Secara laboratorik, pemeriksaan sedian apus secara tzanc membantu
menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak demikian
pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop
elektron,serta tes serologik.
g. Penatalaksanaan
Asiklovir telah menujukan keefektifan dalam menurunkan keperahan
dari infeksi varisela (baik cacar air atau herpes zoster ) pada pasien dengan
makalah imunosupresi. Obat ini juga dianjurkan pada pejamu dengan imun
yang kompeten dengan varisela penomonia yang terlihat pada cacar air. Saat
ini, imun anak dan orang dewasa dengan bentuk cacar air lebih ringan telah
diatasi dengan asiklovir oral denagan penurunan gejala. Dalam hal ini,
keuntungan asiklovir untuk pengobatan manifestasi herpes zoster pada pasien
dengan imun kompoten masih dalam penelitian.
ASUHAN KEPERAWATAN
Kaji kerusakan jaringan kulit yang Menjadi data dasar untuk memberikan informasi
terjadi pada klien intervensi perwatan yang akan di gunakan
Evaluasi kerusakan jaringan dan Apabila masih belum mencapai dari kriteria
perkembangan pertumbuhan jaringan evaluasi 7 x 24 jam , maka perlu di kaji ulang
factor-faktor menghambat pertumbuhan dan
perbaikan lesi
Kriteria hasil :
keperawatan
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
telah menunjukan keektefin dalam
nonfarmakologi dan noninfasif mengurangu nyeri
:
yang berada di ruangan
tetanus
Beri kompres dingin di kepala dan Memberikjan respons dingin pada
aksila pusat pegatur panas dan pada
pembuluh darah besar
Intervensi rasional
Seorang wanita umur 25 tahun datang kerumah sakit dengan keluhan adanya
rasa nyeri (seperti terbakar atau tertusuk) dan gatal – gatal dan adanya lepuhan yang
dikelilingi oleh daerah kemerahan membentuk sebuah gelembung cair pada daerah
leher dan genetalia. Sebelumnya hasil dari pemeriksaan fisik pada daerah kemaluan
dan leher terdapat bintil – bintil merah berisi cairan. Wanita tersebt didiagnosa
menderita Herpes.
Data fokus
Data subjektif Data objektif
1. Klien mengatakan adanya nyeri seperti 1. Kesadran
tertusuk dan terbakar di tubuhnya. E: 6 M: 5 V: 4
2. Klien mengatakan skala nyeri sedang 2. k/u : lemah 3. TTV
(6) Td: 120/80
3. Klien mengatakan nyerinya hilang N: 80x/menit
timbul RR: 20x/ menit
4. Klien mengtakan tersa gatal- gatal dan S: 380 C
adanya lepuhan pada daerah leher 4. Klien terlihat meringis kesakitan
5. Klien mengtakan adanya kemerahan 5. Klien terlihat menggaruk
membentuk sebuah gelembung cair bagian lehernya
pada daerha leher dan genitalnya 6. Klien terlihat gelisah
7. Klien terlihat kurus
Data Tambahan : 8. Klien terlihat nyeri pada bagian
6. Kemungkinan Klien mengatakan takut lehernya
dengan penyakitnya 9. Klien terlihat adanya kemerahan dan
7. Kemungkinan klien mengatakan membentuk gelmbng cair pada daerah
gelisah setiap melihat penyakitnya leher dan genitalianya
8. Kemungkinan klien mengatakan BB 10. Klien terlihat malaise
menurun dari 50 kg menjadi 42 kg.
9. Kemungkinan klien mengatakan
DO:
a.
Kesadran E:
6 M: 5 V: 4
b. K/u : lemah
c. TTV
Td: 120/80
N: 80x/menit
RR: 20x/ menit
S: 380 C
d. Klien terlihat meringis
kesakitan
e. Klien terlihat menggerakan
bagian lehernya
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
2. Nyeri b.d kerusakan jaringan respon sekunder ditandai adanya eritema, dan bula.
3. Gangguan integrias kulit b.d reaksi inflamasi ditandai dengan adanya eritema dan bula
pada leher dan genitalis
4. Cemas b.d adanya lesi pada kulit
Intervensi Keperawatan
1. Gangguan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan asupan nutrisi pasien
terpenuhi.
Kriteria hasil :
- pasien dapat mempertahankan status malnutrisi yang adekuat.
- pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
- tidak terjadi penurunan berat badan lebih dari ½ kg dalam kalori.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, Mengvalidasi dan menetapkan derajat
BB, dan derajat penurunan berat badan, masalah untuk menetapkan pilihan
integritas mukosa oral, kemapuan
menelan, riwayat mual/ muntah dan intervensi yang tepat.
diare.
Pantau intake dan output, timbang beraqt Berguna dalam mengukur keefektifan
badan secara periodic(sekali seminggu). nutrisi dan dukungan cairan
Lakukan dan ajarkan perawatan mulut Menurunkan rasa tak enak karena sisa
sebelum dan sesudah makan, serta makanan, sisa sputum atau obat untuk
sebelum dan sesudah intervensi / pengobatan system respirasi yang dapat
pemeriksaan peroral. merangsang pusat muntah.
2. Nyeri b.d kerusakan jaringan respon sekunder ditandai adanya eritema, dan bula.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang / hilang atau teradaptasi
Kriteria hasil :
-secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi . skala nyeri :
01(0-4)
Intervensi rasional
peradangan
Lingkungan tennang akan
Manajemen lingkungan :
menurunkan stimulus nyeri
lingkungan tenang dan batasi
eksternal dan pembatasan
pengunjung
pengunjung akan membantu
meningkatkan kondisi O2
ruangan yang akan berkurang
apabila banyak pengunjung
yang berada di ruangan
Ajarkan teknik relaksasi Meningkatkan asupan O2
pernapasan dalam sehingga akan menurunkan
nyeri sekunder dari
peradangan
Ajarkan teknik distraksi pada
saat nyeri
Distraksi (penglihan perhatian)
dapat menurunkan stimulus
internal dengan mekanisme
peningkatan produksi endofren
dan enkefalin yang dapat
memblok reseptor nyeri untuk
tdak dikirimkan ke korteks
serebri sehingga menurunkan
persepsi nyeri
Lakukan manajemen sentuhan Manajemen sentuhan pada saat nyeri
berupa sentuhan dukungan psikologis
dapat membantu menurunkan nyeri
3. Gangguan integrias kulit b.d reaksi inflamasi ditandai dengan adanya eritema dan bula
pada leher dan genitalis
Tujuan : Dalam 7X24 jam integritas kulit membaik secara optimal
kriteria evaluasi : - pertumbuhan jaringan membaik dan lesi berkurang
Intervensi Rasional
Kaji kerusakan jaringan kulit yang Menjadi data dasar untuk memberikan informasi
terjadi pada klien intervensi perwatan yang akan di gunakan
Kompres lesi dengan cairan NaCl di Kompresi dengan cairan nrman saline dan
lakukan pada seluruh lesi dan harus di mempercepat proses penyembuhan luka dan
laksanakan dengan hati-hati sekali pda ulkus mole. Pada setiap pergantian kasa ,
daerah yang erosif perawat melakukan pengguyuran pda kasa
sampai basah agar lebih mudah dalam melepas
kasa yang menempel kuat pada sisi lesi mulai
mongering
Evaluasi kerusakan jaringan dan Apabila masih belum mencapai dari kriteria
perkembangan pertumbuhan jaringan evaluasi 7 x 24 jam , maka perlu di kaji ulang
factor-faktor menghambat pertumbuhan dan
perbaikan lesi
Tingkat kan kontrol sensasi pasien Control sensasi pasien (dan dalam
menurunkan ketakutan) dengan cara
memberikan informasi tentang keadaan
pasien, menekankan pada penghargaan
terhadap sumber – sumber koping
(pertahanan diri) yang positif, membantu
latihan relaksasi dan teknik – teknik
pengelihatan, serta memberikan respon
balik yang positif.
Orientasikan pasien terhadapprosedur rutin Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
dan aktivitas yang diharapkan.
\
Beri kesempatan kepada pasien untuk Dapat menghilangkan ketegangan terhadap
mengungkapkan kecemasannya. kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk pasien dan orang Member waktu untuk mengekpresikan
terdekat. perasaan, menghilangkan cemas, dan
prilaku adaptasi. adanya keluarga dan
teman – teman yang dipilih pasien melayani
aktivitas dan pengelihatan (misalnya
membaca akan menurunkan perasaan
terisolasi).
1. Definisi
2. Klasifikasi
Didasarkan atas criteria patogenik, walaupun kebanyakan untuk penyakit tidak
diketahui. Dermatitis dibagi atas dua tipe endogen (konstitusional) dan eksogen. Ada
lagi yang membagi tiga endogen, eksogen dan penyebab yang tidak di ketahui.
Contoh dermatitis endogen adalah dermatitis atopic, dermatitis seboroik, liken
simpleks kronis, dermatitis non spesifik (pompoliks, dermatitis numuler, dermatitis
xeroik, dermatitis ortosensitisasi) dan dermatitis karena obat. Sedangkan contoh
dermatitis eksogen adalah dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergik,
dermatitis fotoalergik, dermatitits infektif, dan dermatofitid.
c) Etiologi
1. Faktor keturunan
Di duga dermatitis atopic di turunkan secara dominan autosomal, resesif
autosomal, dan multifaktorial
2. Faktor Imunologi
Gangguan imunologi yang menonjol pada DA adalah adanya peningkatan
produksi IgE karena aktivitas limfosit T yang meningkat. Aktivitas limfosit
meningkat karena pengaruh dari IL-4 sementara itu produksi IL-4 dipengaruhi
oleh aktivitas sel T Helper. Sel TH2 akan merangsang sel Buntuk memproduksi
IgE. Sitokin dihasilkan IL-2 dan IL-4. Jadi pada DA, TH2 mempunyai peran yang
menonjol pada proses patrogenesis DA. Imunopatologi DA sangat kompleks. IgE
meningkat pada 80% penderita DA. Perlu diketahui bahwa pada DA, selain
melalui reksi hipersensitivitas tipe I, IgE juga dapat bertindak sebagai penangkap
antigen dan reaksi IgE-Mediated delayed type hypersensitivity.
Sel langerhans (APC) menyerahkan antigen sel T dan menyebabkan Sel T
menjadi aktif. Hasilnya adalah produksi limfokin. Antigen, dapat berupa tungau
debu rumah (TDR), berikatan dengan IgE yang menempel pada permukaan
membrane sel Langerhans. Menempelnya molekul immunoglobulin pada sel
Langerhans melalui suatu reseptor disebut Fc_iR. Keberadaan Fc_iR pada dinding
membrane sel Langerhans epidermal ini mempunyai kaitan dengan perana sel
Langerhans sebagai sel penyaji antigen.
Pada penderita dermatitis atopic, sel Th2 aktif memproduksi II-5 yang
mempengaruhi migrasi eosinofil. Karena efek in vivo II-5 menyerupai efek
ECFA,eosinofil pada penderitaDA menjadi lebih prominen jumlah dan
efektivitasnya. Dengan demikian, II-5 ini selain merangsang sel B juga
merangsang sel eosinofil untuk bergerak ke daerah yang sedang mendapat paparan
antigen inhalan.
Pengobatan
1. Tindakan Umum
Dinasehatkan untuk memberitahukan rencana pengobatan yang akan diberikan
kepada pasien ataupun orang tua penderita. Pada penderita DA, sebaiknya
dilakukan gerak jalan sedikit ataupun latihan gerak badan ringan untuk
menghilangkan kegelisahan ataupun stress.
Kelembaban ruangan dipertahankan 50-60% untuk menghidari pengeringan
kulit.
Syarat-syarat dasar pengobatan DA :
a. Pada eksaserbasi yang berat, sebaiknya penderita pindah lingkungan
(misalnya rumah sakit)
b. Pengobatan Balneotherapeutic regimen (mandi berendam dengan air
yangtelah di tambah bahan minyak, mandi dengan air dingin untuk
menghilangkan gatal pada malam hari).
c. Hindari rangsangan pada kulit (seperti tidak boleh menggaruk setelah
mandi pakai celana dalam yang lembut, hindari pakaian dari bahan wol
dan bahan sintetik)
d. Bila eczemanya basah, sebaiknya pasien menggunakan sarung tangan dari
katun.
e. Hindari bahan pemberisih yang dapat merangsang kulit.
f. Bila harus memakai sarung tangan plastic pada waktu bekerja, sebaiknya
dalam waktu singkat saja ( misalnya dalam kamar mandi ).
a. Makanan susu, soya, telur, gandum, ikan, udang, beef, ayam, coklat
b. Aeroalergen : D.pteronissinus
c. Mikroba
d. Factor psikis
2. Tahap-tahap pengobatan
Tahap 1
a. Kortikosteroid yang potensi sedang
b. Mandi : dua kali sehari dengan air hangat dan sebantar
Kulit kering : salap emulsifikan
Kulit yang kurang kering : sol. Ter
Emolien : paraffin, krim aquos, urea, laktar, silicon.
c. Anthihistamin :
Klorfeniramine 2-4 mg, 3 kali sehari hydroxizine : 5-10 mg 3 kali sehari pada
anak sekolah, jangan diberikan yang non-sedatif : ceftrizine, loratadin,
astemizol, terfenadin, (bersama dengan eritromissinn
menimbulkan aritmia).
d. Antibiotika oral : Kloxasilin, eritromissin, sefalosporin. Antibiotika topical
: asam fusidat, salap mupirosin.
Tahap 2
a. Steroid oral
b. Rawat, kompres
c. Terapi foto : PUVA B (disukai) di gelomban yang pendek (UVB)
d. Lihat alergi makanan (pric dan RAST/Radioallergosorbent test terhadap
makanan )
e. Steroid dosis denyut intravenous 20mg/kg/hari, untuk 3 hari
Tahap 3
a. Siklosporin
b. Metotretexat
c. Injeksi gamma interferon
d. Injeksi Timopentin
e. Papaverin, menstabilkan sel mas
f. Natamycine
g. Siklosporin topical
h. Hindari diet, psikoterapi
Pengobatan nonsteroid
Definisi
Dermatitis seborik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah
tubuh berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan
superficial.
Etiologi
Manifestasi Klinik
Pada dermatitis seboroik ringan, hanya didapati skuama pada kulit kepala. Skuama
berwarna putih dan merata tanpa eritem.
Dermatitis seborik berat dapat mengenai alis mata, kening, pangkal hidung,sulkus
nasolabialis, belakang telinga, daerah dan daerah diantara scapula. Blefaritis ringan
sering terjadi. Bila lebih berkembang lagi, lesinya dapat mengenai daerah ketiak,infra
mamma,sekitar pusar (umbilicus),daerah anogenital,lipatan gluteus dan daerah
inguinal.
1. Seboroik kepala
Pada daerah berambut , dijumpai sukama yang berminyak dengan warna
kekuning-kiningan sehingga rambut saling melengket kadang-kadang dijumpai
krusta yang disebut Pityriasis Oleosa (Pityriasis Steatoides). Kadang-kadang
skuamanya kering dan berlapis-lapis dans sering lepas sendiri disebut pitiriasis
sika(ketombe). Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga
terjadi alopesia dan rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telibga (retro
aurikularis). Bila meluas,lesinya dapat sampai dahi,disebut korona seboroik.
Dermatitis seboroik yang dijumpai pada kepala bayi disebut topi buaian (cradle
cap).
2. Seboroik Muka
Pada daerah mulut,palpebra,sulkus nasolabial, dagu dll. Terdapat macula eritem
yang diatasnya dijumpai skuama berminya berwarna kekuning-kuningan. Bila
sampai palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering dijumpai pada wanita. Bila didapati
daerah berambut, seperti dagu dan ata bibir dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering
dijumpai pada laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik
muka daerah jenggot disebut sikosis barbe.
3. Seboroik badan dan sel-sela
Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula,
ketiak,inframmma,umbilicus,krukal (lipatan paha,perineum nates). Dijumpai ruam
berbentuk macula eritema yang pada permukaanya ada skuama berminya warna
kekuning-kuningan. Pada daerah badan,lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran
dengan penyembuhan sentral. Didaerah intertigo,kadang-kadang bisa timbul fisura
sehingga menyebabkan infeksi sekunder.
Pengobatan
1. Tindakan umum
Penderita harus diberitahu bahwa penyakit ini berlangsung kronik dan sering
kambuh. Harus fihindari factor pencetus,seperti stress emosional, makanan
berlemak an sebagainya.
2. Pengobatan topical
Digunakan shampoo mengandung sulfur atau asam salisi dan selenium sulfide
2% , 2-3 kali seminggu selama 5-10 menit. Atau dapat diberikan shampoo yang
mengandung sulfur, asam salisil, zing pirition 1-2 %. Kemudian krim untuk
tempat yang tidak berambut atau losio/gel kortikosteriod yang diberikan jang yang
berpotensi tinggi, terutama untuk daerah muka. Dapat juga diberikan salap yang
mengandung asam salisil 2%, sulfur 4% dan ter 2%, ketokonazol. Pada bayi dapat
diberikan asam salisil 3-5% dalam minyak mineral.
3. Pengobatan sistemik
Dapat diberikan anti histamine ataupun sedative. Pada keadaan yang berat dapat
diberikan kortikosteroid sistemik. Kalau ada infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotika.
JENIS
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup
banyak, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja) namun
angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak
penderita dengan kelainan ringan tidak dapat berobat atau bahkan tidak mengeluh.
ETIOLOGI
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut diterjen, minyak pelumas, asam alkali dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor
yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya
oklusi menyebabkan kulit lebih pemeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis.
Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikutberperan. Faktor individu juga ikut
berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit diberbagai tempat
menyebabkan perbedaan permeabilitas, usia (anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut
lebih muda teriritasi), ras(kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin
(insidens DKI lebih banyak pada wanita) penyakit kulit yang pernah atau sedang
dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatits atopik.
GEJALA KLINIS
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan
kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis . selain itu juga
banyak faktor yang mempengaruhi sebagaimana yang telah disebutkan yaitu faktor
individu ( misalnya ras, usia, lokasi,penyakit kulit lain) faktor lingkungan (suhu dan
kelembaban udara). Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada
yang mengklasifikasi DKI menjadi 10 macam, yaitu DKI akut, lambat akut (acute
delayed ICD), reaksi iritan, kumulatif, traumateratif,eksikasi ekzematik, pustular,
akneformis, noneritematosa dan subyektif. Ada pula yang membaginya menjadi 2
kategori yaitu kategori mayor terdiri atas DKI akut termasuk luka bakar kimiawi dan
DKI kumulatif. Kategori lain terdiri dari atas: DKI lambat akut, reaksi iritasi,DKI
traumatik,DKI eritematosa, dan DKI subyektif.
• DKI akut
Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam
hidroklorid atau basa kuat misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya
terjadinya karena kecelakaan dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding
dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada tempat
kontak kulit terasa pedih, panas rasa terbakar, kelainan terlihat berupa eritema
edema, bula ,mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tugas dan
pada umumnya asimetris.
• DKI Kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi nama lain ialah DKI kronis.
Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor
fisis ,misalnya gesekan trauma mikro,kelembaban rendah, panas atau dingin juga
bahan misalnya deterjen, sabun , pelarut, tanah bahkan juga air). DKI Kumulatif
mungkin terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi sautu bahan seacar
sendiri tidak sukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bila
bergabung dengan faktor lain. Kalinan baru nyata setelah kontak
bermingguminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian,sehingga
waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema,skuama , lamabt laun kulit tebal
(hiperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlangsung akhirnya
kulit dapat retak seperti luka iris (fisur).
• Reaksi iritan
Reaksi iritan merupakan dermititis iritan subklinis pada seseorang yang terpajan
dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam dalam
beberpa bulan pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat
berupa,skuama,eritema,vesikel,pustul dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri
menimbulkan penebalan kulit (skin hardening), kadang dapat berlanjut menjadi
DKI kumulatif.
• DKI Traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau leserasi. Gejala
seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu. Paling
sering terjadi ditangan.
• DKI noneritematosa
DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan fungsi
sawar startum korneum tanpa disertai kelainan klinis.
• DKI Subyektif
Juga disebut DKI sensori kelainan kulit tidak terlihat namun penderita merasa
seperti tersengat (pedih) tebakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia
tertentu, misalnya asam laktat.
Pengobatan
ETIOLOGI
Gejala Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak
eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau
bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA
akut ditempat tertentu misalnya kelopak mata, penis,skrotum,eritema dan edema lebih
dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit
kering,berskuama,papul ,likenifikasi dan mungkin juga fisur,batasnya tidak jelas.
Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis mungkin
penyebabnya juga campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain,misalnya dengan cara
autosensitisasi. Skalp ,telapak tangan dan kaki relatif terhadap DKA.
Pengobatan
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab an menekan
kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan
pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema vesikel atau bula serta eksudatif
(medidans),misalnya prednison 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda
setelah beberapa hari. Sedangkan larutan garam faal atau larutan air salisil 1:1000.
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid sistemik),cukup diberikan kortikosteroid atau makrolaktam
(pimercrolimus atau tacrolimus) secara topikal.
Dermtitis sekunder akibat insufiensi kronik vena (atau hipertensi vena) tungkai
bawah.
Gambaran Klinis
Akibat tekanan vena meningkat pada tungkai bawah, akan terjadi pelebaran
vena atau va rises dan edema. Lambat laun kulit berwarna merah kehitaman an timbul
purpura (karena ekstravasasi sel darah merah merah dalam dermis), dan
hemosiderosis. Edema dan varises mudah terlihat bila openderita lama berdiri.
Kelainan dian secara bertahap akan meluas keatas sampai dibawah lutut dan kebawah
sampai dipunggung kaki. Dalam perjalanan selanjutnya terjadi perubahan ekzematosa
berupa eritema,skuama, kadang eksudasi dan gatal. Bila telah berlangsuung lama kulit
akan menjadi tebal dan fibrotik meliputi sepertiga tungkai bawah, sehingga tampak
seperti botol yang terbalik, keadaan ini disebut lipodermatosklerosis.
Dermatitis statis dapat mengalami komplikasi berupa ulkus diatas maleolus
disebut ulkus vonosum atau ulkus varikosum dapat pula mengalami infeksi
sekunder,misalnya selulitis. Dermatitis statis dapat diperberat karena mudah teriritasi
oleh bahan kontaktan atau mengalami autosensitisasi.
Pengobatan
Untuk mengatasi edema tungkai dinaikkan waktu tidue dan waktu duduk. Bila
tidur kaki diangkat diatas permukaan jantung selama 30 menit, dilakukan 3 hingga 4
kali sehari, maka edema akan menghilang/mengurang dan mikrosirkulasi akan
membaik. Dapat pula bila malam hari, kaki tempat tidur disebelah bawah di ganjal
dengan balok setinggi 15 sampai 20 cm(sedikit lebih tinggi daripada letak kor).
Apabila sedang menjalankan aktivasi, memakai kaos kaki penyangga varises atau
pembalut elastis.
Eksudat dikompres dan setelah kering diberi krim kortikosteroid potensi
rendah sampai sedang. Anblotika sistemik diberikan untuk mengatasi infeksi
sekunder.
PATFLOW DERMATITIS
Reaksi hipersensitivitas
Infeksi Nyeri Ggn Citra tipe II
tubuh
Terpajan ulang
Sel efektor
mengeluarkan
KOMPLIKASI
2. Infeksi sekunder
(Arif Mutaaqqin, 2006. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PENGKAJIAN DIAGNOSTIK
Tujuan dari pengkajian diagnostik adalah dilakukan untuk membedakan dari
impetigo, kontak dermatitis dan herpes simpleks. Pengkajian diagnostik yang bisa
diklakukan, meliputi hal-hal berikut ini.
1. Tzanck Smear : mengidentiffikasikan virus herpes tetapi tidak dapat membedakan
herpes zoster dan herpes simpleks.
2. Kultur dari cairan vesikel dan tes antibodi : digunakaan untuk membedakan diagnosis
herpes virus.
3. Immunofluororescent : mengidentifikasi varisela di sel kulit.
4. Pemeriksaan Histopatologik : tes yang digunakan untuk menegakkan diagnosa.
5. Pemeriksaan Mikroskop Elektron.
6. Kultur Virus
LABORATURIUM
Darah : Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein total, albumin,
globulin
Urin : pemerikasaan histopatologi. (Arif Mutaaqqin, 2006. Asuhan Keperawatan Gangguan
Sistem Integumen).
PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan merupakan golongan azol dapat dikombinasikan
dengan regimen desonide (satu dosis per hari secara dua minggu) untuk terapi
dermatitis pada wajah. Dapat juga diberikan salep yang mengandung asam salisil
2%, sulfur 4%. Pada bayi dapat diberikan asam salisil 3-5%.
2. Pengobatan sistemik
Dapat diberikan antihistamin ataupun sedatif.pemberian dosis rendah dari terapi
oral bromidal dapat membantu penyembuhan. Terapi oral yang menggunakan
dosis rendah dari preparat hemopoetik yang mengandung potasium bromida,
sodium bromida, nikel sulfatt, dan sodiumclorida dapat memberikan perubahan
yang berrti dalam penyembuhan DS dan setelah pengunaan 10 minggu. Pada
keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid sistemik, dosis prenidsolan
2030 mg sehari, jika ada perbaikan, dosis diturunkan perlahan kalau ada infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotik.
(Arif Mutaaqqin, 2006. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen)
ASUHAN KEPERAWATAN
2.Klien mengatakan
Data tambahan
Analisa Data
Data Problem Etiologi
2. DS :
- Klien mengatakan gatal Kemerahan pada kulit
Gangguan integritas kulit
DO :
- Klien tampak gatal
- Daerah gatal terlihat
merah
3. DS :
- Kemungkinan klien
Kurangnya pengetahuan Tidak adekuat sumber
mengatakan tidak
informasi
mengetahui tentang
penyakit.
- Kemungkinan klien
bingung cara
mengatasinya.
DO :
- Klien tampak bingung
- Terlihat adanya skuama
Diagnosa
Intervensi