Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah gangguan saluran

pernapasan yang sering terjadi dan merupakan penyakit yang masih dianggap

remeh oleh masyarakat Indonesia (Zhafirah & Susanna, 2020). ISPA jika tidak

ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi serius seperti infeksi

pada paru, infeksi pada selaput otak, penurunan kesadaran, gagal napas,

bahkan menimbulkan kematian khususnya pada anak balita yang belum

memiliki imunitas yang kuat (Widoyono, 2011, Aryani & Syapitri, 2018).

Infeksi saluran pernapasan akut merupakan infeksi akut dengan melibatkan

organ pernapasan bagian atas dan bawah yang penyebabnya adalah virus,

jamur dan bakteri. Diperkirakan tiap anak terkena ISPA 3-6 kali setiap

tahunnya, (Baladiah, 2019).

Lebih dari 50% kematian pada balita di berbagai negara berkembang

disebabkan karena infeksi saluran pernafasan akut (Kemenkes RI, 2017).

WHO melaporkan pada tahun 2015 angka kematian anak balita hampir 6 juta,

16% diantaranya disebabkan oleh pneumonia (satu dari beberapa manifestasi

ISPA) (IDAI, 2016).

ISPA di dunia menduduki urutan pertama. Tingkat Under Five Mortality

1
Rate (UFMR) ISPA sebesar 41 per 1.000 anak, sedangkan Infant Mortality Rate

(IMR) ISPA sebesar 45 per 1.000 anak. Kejadian ISPA dinegara maju diakibatkan

oleh virus sedangkan negara berkembang akibat bakteri.

Dalam setahun kematian akibat ISPA pada anak ada 2.200 anak setiap

hari, 100 anak setiap jam, dan 1 anak per detik. Hal ini menjadi angka

penyebab kematian anak tertinggi dari pada infeksi yang lainnya di seluruh

(WHO, 2018).

Prevalensi ISPA pada tahun 2018 di Indonesia menurut Diagnosa Tenaga

Kesehatan (dokter, bidan atau perawat) penderita ISPA tertinggi berada di

Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 15,4%, di ikuti dengan Provinsi Papua

13,1%, Papua Barat sebesar 12,3% dan Sumatera Utara berada di peringkat

tiga puluh dengan prevalensi sebesar 6,8%. Sementara, penderita ISPA paling

sedikit di Jambi yaitu sebesar 5,5%.

Penyakit ISPA juga merupakan masalah kesehatan utama di Provinsi

Sulawesi Tenggara terutama pada anak balita. Realisasi penemuan penderita

ISPA pada tahun 2019 berjumlah 57,138 tahun 2020 berjumlah 46,891 (Dinas

Kesehatan Sulawesi Tenggara 2020). Prevalensi ISPA untuk Kabupaten

Konawe berjumlah 2.043 kasus ISPA pada tahun 2020, kemudian pada tahun

berikutnya mengalami peningkatan sebanyak 109 kasus sehingga jumlah

kasus ISPA pada tahun 2021 sebanyak 2152 kasus (Dinas Kesehatan

Kabupaten Konawe, 2021).

2
Jumlah data Puskesmas Kecamatan Wawotobi, pada pasien anak usia 1-4

tahun yang menderita ISPA pada tahun 2020 sebanyak 84 anak, tahun 2021

sebanyak 94 anak dan tahun 2022 sebanyak 107 anak. (Puskesmas Wawotobi

2022).

ISPA disebabkan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor

individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran

udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah, faktor

lingkungan yang dimaksud adalah perilaku merokok anggota keluarga akan

berdampak kepada anggota keluarga lain khususnya balita, dimana balita

menyerap nikotin dua kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa (Basuki

dan febriani 2017). ISPA dapat menghambat suatu perkembangan anak jika

tidak ditangani. ISPA yang menyerang saluran pernafasan atas dan jarang

berulang pada dasarnya tidak berkaitan dengan gangguan perkembangan.

Dampak jangka panjang yang ditimbulkan yaitu mengalami gangguan status

nutrisi asupan makan anak pasti turun setiap sakit (Atika, 2017). Dalam

penelitian menyebutkan bahwa infeksi berat dan kronik pada ISPA berisiko

gangguan absorpsi (penyerapan) nutrisi di usus, efek jangka panjang ISPA

pada anak yang kronik berujung pada kondisi yang lebih serius.(Anika ardian,

2019).

Polusi udara sekitar juga mempengaruhi kejadian Ispa pada balita dan

anak, udara yang sudah tercemar baik dari asap pembakaran, rokok,

kendaraan maupun limbah pabrik. Hal ini di karenakan adanya zat-zat

3
berbahaya yang terdapat pada oksigen, sehingga apa bila balita atau anak

tersebut menghirup udara yang sudah tercemar akan lebih mudah terkena Ispa.

Asap rokok dari orang tua yang merokok dapat menyebabkan pencemaran

udara yang dapat merusak mekanisme paru-paru. (Notoatmojo, 2013).

Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, 200

diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, racun utama pada rokok

adalah tar, nikotin, dan CO (Carbon Monoksida). Paparan asap rokok pada

perokok aktif dan perokok pasif dapat menyebabkan berbagai gangguan

kesehatan termasuk Ispa serta gangguan pernapasan pada balita. Hal ini

disebakan karena bahan toksik yang terkandung pada asap rokok diketahui

bersifat karsinogen. Tidak ada tingkat paparan yang aman dari paparan asap

rokok (WHO, 2011).

Dampak perilaku merokok orang tua di rumah membuat anak kecil

menjadi perokok pasif, dan mereka selalu terpapar asap rokok. WHO

menyatakan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif

dibandingkan perokok aktif. Ketika seorang perokok membakar sebatang

rokok dan menghirupnya, asap yang dihisap si perokok disebut asap utama,

dan asap yang keluar dari ujung (bagian pembakaran) rokok disebut asap

sampingan. asap sampingan ini lebih banyak mengandung hasil pembakaran

tembakau dibandingkan asap utama. Asap ini mengandung karbon monoksida

5 kali lipat, tar dan nikotin 3 kali lipat, monia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat,

4
dan nitrosamin sebagai konsentrasi karsinogenik. Paparan asap rokok di

rumah merupakan faktor utama polusi udara dalam ruangan yang

menyebabkan penyakit pernapasan, terutama di kalangan anak balita (Amila,

2021). Hal ini dikarenakan Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai

bahaya asap rokok yang dapat memicu kejadian Ispa pada balita dan

anakanak. (Harahap, 2018).

Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingin tahuan melalui proses

sensoris, terutama pada mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan

merupakan domain yang penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau

open behavior (Donsu, 2017). Pengetahuan di pengaruhi oleh faktor

pendidikan formal dan sangat erat hubungannya. Diharapkan dengan

pendidikan yang tinggi maka akan semakin luas pengetahuaannya. Tetapi

orang yang berpendidikan rendah tidak mutlak berpengetahuan rendah pula.

Peningkatan pengetahuan tidak mutlak di peroleh dari pendidikan formal saja.

Pengetahuan akan suatu objek mengandung dua aspek yaitu positif dan

negatir. Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak

aspek positif dan objek yang di ketahui, maka akan menimbulkan sikap

semakin positif terhadap objek tertentu (Notoadmojo, 2014).

Sikap merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak disukai terhadap

sesuatu atau seseorang, menunjukkan kepercayaan, perasaan atau

5
kecenderungan perilaku seseorang. Sikap ibu yang kurang dalam penanganan

Ispa dapat menyebabkan anak lebih banyak mengalami episode Ispa berulang.

Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian terhadap upaya untuk hidup

sehat dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatan

(Harahap, 2018).

Penelitian kejadian Ispa dilakukan oleh Harahap (2018) dengan judul

Tingkat Pengetahuan Orang Tua Tentang Bahaya Asap Rokok Yang Dapat

Memicu Kejadian Ispa pada Anak. Hasil penelitian ini menunjukan sebagian

besar responden memiliki pengetahuan terhadap bahaya asap rokok. Armiyati

(2021) juga melakukan penelitian terkait kejadian Ispa dengan judul

Hubungan Perilaku Merokok orang Tua dengan Kejadian Ispa pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Bestari Medan Pitisa. Hasil penelitian ini

menunjukan 70% perilaku orang tua cukup baik dan 30% kurang baik.

Studi pendahuluan yang dilakukan kepada 5 orang tua yang melakukan

aktifitas merokok. Keseluruhan responden menggunakan rokok tembakau. 3

orang responden memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang kurang baik

terhadap dampak dan bahaya rokok sedangkan 2 orang responden mengetahui

tentang dampak dan bahaya asap rokok itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai “Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Orang Tua

Tentang Bahaya Asap Rokok Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 1-

4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Wawotobi”

6
B. Rumusan Masalah

1. Apakah ada hubungan pengetahuan orang tua tentang bahaya asap rokok

dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-4 tahun.

2. Apakah ada hubungan sikap orang tua tentang bahaya asap rokok dengan

kejadian ISPA pada anak usia 1-4 tahun.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan penegetahuan dan sikap orang tua

tentang bahaya asap rokok dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-4

tahun.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan orang tua dengan kejadian

ISPA pada anak usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Wawotobi

kabupaten konawe.

b. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan kejadian ISPA pada anak

usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesma Wawotobi Kabupaten

Konawe.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari peneliti ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

a. Manfaat bagi peneliti

7
Bagi peneliti sendiri pengalaman yang sangat berharga dalam

memperluas wawasan dan menambah pengetahuan.

b. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi

guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran serta setrategi atau

sarana untuk mengurangi kejadian ISPA.

c. bagi institusi pendidikan

Penelitian ini dapat memberikan masukan dan menjadi acuan dalam

pengembangan mutu pendidikan di bidang riset.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi

mahasiswa tentang penanggulangan ISPA serta magatasi bahaya paparan

asap rokok bagi anak usia 1-4 tahun.

8
E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini


No Judul Penelitian Nama Desain Penelitian Variabel Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
Peneliti
1 Faktor-faktor Krisnawati Jenis Penelitian Pendidikan, Hasil menunjukkan Variabel Variabel
yang Bangkas, Dwi ini menggunakan pengetahuan, bahwa dari 11 variabel Independen dan dependennya
Mempengaruhi Gayatri, desain studi cross pendapatan yang dilakukan uji variabel hanya satu yaitu
Kejadian Muhammad - sectional keluarga, dan bivaria, variabel yang dependen, pada anak usia
Infeksi Saluran Habib Syahidi kepad2atan diketahui memiliki desain 12-59 bulan dan
Pernapasan (2016). hunian rumah hubungan yang
penelitian cross- jenis kuantitatif
Akut (ISPA) (independen ) bermakna
sectional
pada Anak Pada anak (P value < 0,05)
Berumur 12-59 berumur 12-59 dengan kejadian ISPA
Bulan di bulan pada Anak berusia
Puskesmas (dependen) 12 – 59 bulan adalah
Kelurahan pendidik an (OR=3,16:
Tebet Barat, 9% CI 1 ,20 8,31),
Kecamatan pengetahuan (OR=
Tebet, Jakarta 2,76 : 95% CI 1,12
Selatan. 6,79), pendapatan
keluarga (OR=2,75 :
95% CI 1,10 6,86),
kepadatan hunian
(OR=5,59 : 95% CI
2,16 14,50) perilaku
merokok Keluarga
dalam rumah (OR=
8,02 : 95% CI
(2,4226.5) dan

9
Perilaku merokok
keluarga diluar rumah
(OR=5,12 : 95%CI
1,24 21,19).
2 Pencegahan Farida Jenis penelitian Pencegahan Berdasarkan table Variabel Variabel
kejadian ISPA Heriyani, Lia ini menggunakan kejadian ISPA diketahui bahwa independen dan dependennya
pada anak di Yulia Budiarti desain studi cross- (independen) sebagain besar variabel hanya satu yaitu
daerah (2019). sectional pada anak (78,33%) peserta dependen, ada anak.
pendulangan (dependen) kegiatan mempunyai desain penelitian
pengetahuan jelek
intan cempaka cross-sectiona
tentang pencegahan
banjar baru ISPA, hanya 18,33%
peserta mempunyai
pengetahuan cu up dan
hanya 3,33% atau 2
orang yang
mempunyai
pengetahuan baik. Hal
ini menunjukkan
bahwa masih
rendahnya
pengetahuan para
siswa siswi tentang
pencegahan
ISPA. Sehingga
berdasarkan data
Ini sangat diperlukan
adanya pemberian
promosi kesehatan
kepada anak-anak

10
sekolah dasar yang ada
di

daerah Pendulangan
Intan Kecamata
Cempaka Banjarbaru
mengenai Polusi udara
akibat pertambangan /
pendulangan di daerah
tersebut dan akibatnya
bagi saluran
pernapasan serta
encegahan ISPA pada
anak.
3 Pengaruh Amir Jenis penelitian Kejadian Hasil penelitian ini Variabel Jenis penelitian
paparan asap Patintingan, ini adalah metode penyakit ISPA menunjukkan bahwa independen dan
rokok dengan Henni Observasional (independen) ada hubungan antara variabel
kejadian Kumaladewi Analitik dengan paparan paparan asap rokok dependen,
penyakit ISPA Hengky, desain penelitian asap dengan kejadian ISPA desain penelitian
pada balita Sarina Jamal Cross-sectional rokok dan pada balita dengan cross-sectional
(2022). pada balita
dipuskesmas nilai p. value 0,003.
(dependen)
aslompoe kota Orang tua sebaiknya
parepare menghindari rokok di
dalam uangan dan
perlu memperhatikan
ventilasi rumah tangga
untuk mengedarkan
udara kotor, seperti
asap rokok.

11
4 Hubungan Niken Ayu Desain penelitian Perilaku Hasil penelitian Variabel Variabel
perilaku Merna Eka yang digunakan merokok orang didapatkan dari 68 dependennya independen dan
merokok orang Sari, Ni Ketut adalah analitik tua responden, sebesar jenis penelitian
tua dengan Ayu Mirayanti, korelasi (independen) 75% orang tua
kejadian infeksi Ni Made Heni dengan kejadian merokok dan kejadian
saluran Wahyuni1, Pendekatan cross- infeksi saluran ISPA pada balita
sectional
pernapasan (2020). pernapasan Sebesar 63,2%. Hasil
akut pada balita akut pada analisis menunjukkan
di UPTD balita adanya hubungan
puskesmas (dependen) antara perilaku
tabanan III merokok orang tua
dengan kejadian ISPA
pada balita di UPTD
Puskesmas tabanan III.
5 Hubungan Vandri D. Desain penelitian Hubungan Hasil penelitian uji Variabel Variabel
kebiasaan Kallo, A. Yudi yang digunakan kebiasaan statistik menggunakan dependen dan independen
merokok di Ismanto, adalah desain merokok di uji chi square pada jenis penelitian
dalam rumah Salma Milo, cross-Sectional dalam rumah tingkat kemaknaan
dengan (2015). dan data (independen). 95% (α ≤ 0,05), maka
kejadian ISPA dikumpulkan dari Kejadian ISPA didapatkan nilai p=
responden pada anak 0,002. Ini berarti
pada anak umur 1-5 bahwa nilai p< α
umur 1-5 tahun menggunakan
tahun (0,05).
di puskesmas lembar kuisioner
sario kota
manado.

12
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang ISPA

1. Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas, mulai dari

hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

andeksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA

merupakan infeksi saluran pernapasan yang berlangsung selama 14 hari.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang

banyak dijumpai pada balita dan anak-anak mulai dari ISPA ringan

sampai berat. ISPA yang berat jika masuk kedalam jaringan paru-paru

akan menyebabkan Pneumonia.Pneumonia merupakan penyakit infeksi

yang dapat menyebabkan kematianterutama pada anak-anak (Jalil, 2018).

ISPA sering terjadi pada anak-anak. Penyakit batuk pilek pada balita

di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun),

artinya seorang balita rata rata mendapatkan serangan batuk pilek

sebanyak 3-6 kali setahun (Maryani, 2012). Penyakit ISPA merupakan

salah satu penyebab kesakitan dan kematian pada balita. Angka kejadian

penyakit ISPA pada balita di Indonesia adalah 6 per 1000 balita. Ini

berarti setiap tahun 6 diantaranya meninggal akibat ISPA sebelum umur 5

13
tahun. Jika dihitung, jumlah balita yang meninggal akibat ISPA di

indonesia dapat mencapai 150.000 balita per tahun, 12.500 perbulan, 416

per hari, 17 per jam atau 1 orang balita setiap detik (Maryunani, 2014).

2. Klasifikasi ISPA

Menurut Halimah (2019) klasifikasi ISPA dapat dikelompokkan

berdasarkan golongannya dan golongan umur yaitu :

1. ISPA berdasarkan golongannya

a. Pneumonia yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan

paruparu (alveoli).

b. Bukan pneumonia meliputi batuk pilek biasa (common cold),

radang tenggorokan (pharyngitis), tonsilitisi dan infeksi telinga

(otomatis media).

c. ISPA dikelompokkan berdasaran golongan umur yaitu :

1. Untuk anak usia 2-29 bulan :

a. Bukan pneumonia bila frekuensi pernapasan kurang dari 50

kali permenit untuk usia 2-11 bulan dan kurang dari 40 kali

permenit untuk usia 12-59 bulan, serta tidak ada tarikan pada

dinding dada.

b. Pneumonia yaitu ditandai dengan nafas cepat (frekuensi

pernafasan sama atau lebih dari 50 kali permenit untuk usia

2-11 bulan dan frekuensi pernafasan sama atau lebih dari 40

14
kali permenit untuk usia 12-59 bulan), serta tidak ada tarikan

pada dinding dada.

c. Pneumonia berat yaitu adanya batuk dan nafas cepat (fast

breathing) dan tarikan dinding pada bagian bawah ke arah

dalam (servere chest indrawing).

2. Untuk anak usia kurang dari dua bulan :

a. Bukan pneumonia yaitu frekuensi pernafasan kurang

dari 60 kali permenit dan tidak ada tarikan dinding

dada.

b. Pneumonia berat yaitu frekuensi pernafasan sama atau

lebih dari 60 kali permenit (fast breathing) atau adanya

tarikan dinding dada tanpa nafas cepat.

3. Etiologi

Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebab ISPA misalnya dari genus streptococcus, haemophylus,

stafilococcus, pneumococcus, bordetella, dan corynebakterium (Depkes

RI, 2004). Virus penyebab ISPA antara lain group mixovirus (virus

influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus), enterovirus

(coxsackie virus, echovirus), adenovirus, rhinovirus, herpesvirus,

sitomegalovirus, virus Epstein-Barr. Jamur penyebab ISPA antara lain

Aspergillus sp, candidia albicans, blastomyces dermatitidis, histoplasma

capsulatum, coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans. Selain itu

15
juga ISPA dapat disebabkan oleh karena inspirasi asap rokok, asap

kendaraan bermotor, bahan bakar minyak biasanya minyak tanah dan

cairan ammonium pada saat lahir (Widoyono, 2008).

4. Faktor Risiko ISPA

a. Faktor agent (bibit penyakit)

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia

(Depkes RI, 2004). ISPA juga dapat disebabkan oleh jamur dan ispirasi

asap rokok, asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar

Minyak/BBM, dan cairan ammonium pada saat lahir (widoyono,

2008).

b. Faktor host (pejamu)

1. Umur

Umur mempunyai pengaruh cukup besar untuk terjadinya

ISPA.Anak dengan umur <2 tahun merupakan faktor resiko

terjadinya ISPA. Hal ini disebabkan karena anak dibawah dua

tahun imunitasnya belum sempurna dan saluran napas lebih

sempit. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan

gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan

karena ISPA pada bayi dan balita merupakan kejadian infeksi

pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan

secara alamiah.

16
2. Jenis kelamin

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa

tidak terdapat perbedaan prevalensi ISPA antara laki-laki dan

perempuan. Hal ini juga didukung dengan penelitian Fatimah di

Puskesmas Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun tahun 2017

yang menunjukkan bahwa secara statistic tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada

bayi di Wilayah kerja Puskesmas Kampung Baru Kecamatan

Medan Maimun Tahun 2017. (Fatimah, 2017)

3. Status gizi

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup

kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi.

Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan

menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk mempertahankan

diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu,

setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi

yang ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya

kekebalan tubuh terhadap penyakit. Penelitian yang dilakukan di

berbagai negara menunjukkan bahwa infeksi protozoa pada

anakanak yang tingkat gizinya buruk akan jauh lebih parah

dibandingkan dengan anak-anak yang gizinya baik (Notoatmodjo,

2013).

17
c. Faktor environment (lingkungan)

1. Ventilasi

Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam

penularan ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi udara

yang sehat bagi manusia (Depkes RI, 2004). Ventilasi rumah

mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar

aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah

tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan

kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar CO yang

bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat (Notoatmodjo,

2017).

2. Kepadatan hunian rumah

Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni

tidaklah sehat karena dapat menyebabkan kurangnya konsumsi

oksigen dan karbon dioksida meningkat dalam ruangan sehingga

memudahkan penularan penyakit infeksi. Kepadatan hunian dapat

mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, dimana semakin

banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam

rumah mengalami pencemaran Berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan No. 829/MENKES/SK/VIII/1999 tentang persyaratan

kesehatan perumahan menetapka bahwa luas ruangan tidur

18
minimal 8 m² dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang

tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Dengan kriteria tersebut

diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan

aktivitas (Kemenkes dalam Harianja, 2011).

3. Keberadaan perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok

pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia. 200 diantaranya

merupakan racun antara lain CO, polycyclic Aromatic

Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.

Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya

mempunyai kemungkinan terkena ISPA dua kali lebih besar

dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok.

Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA

meningkat 2 kali lebih besar akibat orang tua merokok

(Kusumawati, 2010).

Usia 1 sampai 5 tahun pada balita merupakan dalam daur kehidupan

dimana pertumbuhan tidak sepesat pada masa bayi karena aktivitas

mereka sangat banyak. Anak berumur di atas 2 tahun sampai 5 tahun

mempunyai resiko terserang infeksi saluran pernapasan akut dan juga

pada anak usia dibawah 2 tahun sama mempunyai resiko untuk terserang

infeksi saluran pernapasan akut, karena keadaan pada anak dibawah umur

19
2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran napasannya

relatif sempit. Balita adalah individu atau sekelompok individu dari suatu

penduduk yang berada dalam rentang usia tertentu. Balita juga merupakan

salah satu periode usia manusia setelah bayi. Rentang usia balita dimulai

dari dua tahun sampai lima tahun, atau biasa digunakan perhitungan bulan

yaitu usia 24 sampai 60 bulan (Merryana & Bambang, 2012).

Balita merupakan generasi yang perlu mendapatkan perhatian, karena

balita merupakan generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan

hidup bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian sangat

tinggi. Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat

jasmani, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.

Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat angka

kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka

kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab

utamanya berhubungan dengan faktor lingkungan dan lainnya (Merryana

& Bambang, 2012).

B. Tinjauan Umum Tentang Asap Rokok

1. Definisi Rokok

Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk

dibakar dan dihisap atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok

putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana

20
tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang

asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.

(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012).

2. Zat-zat yang terkandung didalam rokok

Menurut Gondodiputro (2007) bahan utama rokok adalah tembakau,

dimana tembakau mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen dan

setidaknya 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada

tembakau adalah tar, nikotin dan CO. Selain itu, dalam sebatang

tembakau juga mengandung bahan-bahan kimia lain yang juga sangat

beracun. Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam

yang merupakan subtansi hidrokarbon yang bersifat lengketdan

menempel pada paru-paru. Nikotin adalah suatu zat yang memiliki efek

adiktif dan spikoaktif sehingga perokok akan merasakan

kenikmatan,kecemasan berkurang, toleransi dan keterikatan. Karbon

Monoksida (CO) adalah unsur yang dihasilkan oleh pembekaran tidak

sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Selain itu juga terdapat zat-zat

lain seperti Kadmium, Amoniak, Asam Sianida (HCN), Nitrous Oxide,

Formaldehid, Fenol, Asetol, Asam Sulfida (H2S), Piridin, Metil Klorida,

Metanol, Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) dan Volatik

Nitrosamine.

21
3. Bahaya merokok bagi kesehatan

Dalam merokok dikenal istilah perokok pasif dan perokok aktif.

Perokok pasif adalah orang-orang secara tidak sengaja menghisap asap

rokok orang lain, sedangkan perokok aktif adalah orang yang melakukan

aktivitas merokok. Adapun dampak negatif bagi perokok ialah,

Mengalami acute necrotizing ulcerative gingitivis (penyakit yang

menyebabkan gusi tampak memerah dan membengkak), Beresiko terkena

angina 20 kali lebih besar. Angina adalah rasa sakit didada pada saat

sedang latihan olaraga atau sedang makan, Mengalami sakit

punggung,Mengalami buerger’s disease (penyakit peredaran darah).

Dikenal juga sebagai thromboangitis obliterans, adalah penyakit pada

pembuluh alteri,dimana pembuluh darah pada otot, biasanya dilengan

menjadi lebih sempit, Mengalami duodenal ulcer (Luka yang memborok

didalam duodenum), Menderita colon polyps, yaitu semacam selaput

polip yang menutupi usus besar, Menderita crohn, yaitu sejenis penyakit

peradangan.

Biasanya, terjadi pada usia bawah. Penyakit ini dapat diketahui

dengan adanya pengentalan dan luka yang membekas dan mengalami

dinding usus, Mengalami Depresi, Menderita diabetes (tipe 2, non insulin

dependent), Mengalami penurunan pendengaran, Menderita influenza,

Mengalami impotensi (Beresiko 2 kali lebih besar), Mengalami optic

neuropathy (penurunan kemampuan penglihatan 16 kali lebih beresiko),

22
Beresiko terkena katarak 2 kali lebih besar, Mengalami osteoporosis

(Pengeroposan tulang, dimana tulang mengecil dan rapuh akibat

kekurangan kalsium), Mengalami peripheral vascular disease, yaitu

penyakit yang menyerang pembuluh darah yang terdapat pada lengan dan

tangan, Mengalami pneumonia, yaitu radang paru-paru dimana alveoli

kecil pada paru-paru dipenuhi dengan cairan, Mengalami psoriasis

beresiko 2 ka li lebih besar, yaitu penyakit peradangan pada kulit dimana

noda merah ditutupi dengan noda putih, Mengalami rheumatoid arthritis,

yaitu rasa sakit menyeluruh yang melumpuhkan tangan, kaki dan pinggul.

Ini terjadi pada perokok berat, Terjadi luka-luka pada urat, Mengalami

tobacco amblyopia (Gangguan penglihatan menjadi kurang jelas),

Mengalami pengeroposan pada tulang gigi, Mengalami tuberculosis, yaitu

penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri tuberculosis, Mengalami

stroke atau pendarahan di otak (Rafael, 2007).

C. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil “ Tahu”, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan

terjadi melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan,

pendengaran pencium, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh oleh mata dan telinga (Notoatmojo,2003 dalam Dewi,

2011).

23
Pengetahuan adalah sejumlah informasi yang dikumpulkan yang

dipahami dan pengenalan terhadap sesuatu hal atau benda-benda secara

obyektif. Pengetahuan juga berasal dari pengalaman tertentun yang

pernah di alami dan yang diperoleh dari hasil belajar secara formal,

informal dan non formal (Natoatmojo, 2014).

2. Manfaat pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2014). Pengetahuan atau kognitif merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

(overt behavior)

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam diri

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut. Disini

sikap subyek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adaptional, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

3. Tingkat pengetahuan

Menurut (Notoatmodjo, 2014) tingkat pengetahuan dibagi menjadi 6

tingkat, yaitu :

24
a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan

secara benar tentang objek yang di ketahui dan dapat menginterpretasi

materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi di artikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil

(sebenarnya).

d. Analisa (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

objek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu

struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis)

25
Sintesis menujukkan keadaan suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian didalam satu bentuk keseluruhan

yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation)

Eveluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi atau objek.

D. Tinjauan Umum Tentang Sikap

1. Pengertian

Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup

dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Newcomb

dalam Notoatmojo (2011), salah seorang ahli psikologis sosial

menyatakan bahwa sikap itu meripakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif akan tetapi

merupakan reaksi tertutup,bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah

laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap

objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

2. Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar

(2013) yaitu pengetahuan, pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang

26
di anggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga

pendidikan dan lembaga agama, pengaruh faktor emosional.

E. Kajian Empiris

1. Berdasarkan penelitian dari Syahidi Habib Muhammad, ddk: (2016)

“Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan

Akut (ISPA) pada Anak Berumur 12-59 Bulan di Puskesmas Kelurahan


Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan”, dimana dalam penelitian

ini menggunakan rancangan deskriptif dengan desain studi crosssectional,

sehingga dapat ditarik kesimpulan kejadian ISPA pada balita di wilayah

Puskesmas Tebet Barat adalah pendidikan dan pengetahuan pengawas

anak, pendapatan keluarga, kepadatan hunian, dan perilaku merokok

anggota keluarga.

2. Berdasarkan penelitian dari Farida Heriyani, ddk: (2019) “ Pencegahan

kejadian ISPA pada anak di daerah pendulangan intan cempaka banjar

baru “, dimana dalam penelitian ini menggunakan rancangan pendekatan

yang dilakukan berupa pemberian promosi kesehatan berupa penyuluhan

secara langsung kepada anak-anak sekolah dasar. Setelah dilakukan

kegiatan diperoleh peningkatan pengetahuan para peserta kegiatan tentang

polusi udara di daerah pendulangan intan dan pencegahan ISPA pada

siswa-siswi dua sekolah dasar di daerah pendulangan intan Kec. Cempaka

Banjarbaru.

27
3. Berdasarkan penelitian dari Amir Patintingan, ddk: (2022) “ Pengaruh

paparan asap rokok dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di

puskesma aslompoe kota parepare”, dimana dalam penelitian ini

menggunakan rancangan metode Observasional Analitik dengan desain

penelitian Cross sectional, sehingga dapat ditarik kesimpulan hubungan

antara paparan asap rokok dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai

p. value 0,003.Orang tua sebaiknya menghindari rokok di dalam ruangan

dan perlu memperhatikan ventilasi rumah tangga untuk mengedarkan

udara kotor, seperti asap rokok.

4. Berdasarkan penelitian dari Nike Ayu Merna Eka Sari, dkk: (2020) “

Hubungan perilaku merokok orang tua dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut pada balita di UPTD puskesmas tabanan III “, dimana

dalam penelitian ini menggunakan rancangan analitik korelasi dengan

pendekatan cross sectional, sehingga dapat ditarik kesimpulan ada

hubungan antara perilaku merokok orang tua dengan kejadian ISPA pada

balita di UPTD Puskesmas Tabanan III.

5. Berdasarkan penelitian dari Vandri D. Kallo, dkk: (2015), “ Hubungan

kebiasaan merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada anak

umur 1-5 tahun di puskesmas sario kota manado”, dimana dalam

penelitian ini menggunakan rancangan Cross Sectional dan data

dikumpulkan dari responden menggunakan lembar kuisioner, sehingga

28
dapat ditarik kesimpulan ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan

kejadian ISPA pada anak.

BAB 3

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah infeksi yang dimulai dari

saluran pernapasan atas hingga paru yang berlangsung sampai 14 hari. Infeksi

saluran napas bagian atas adalah infeksi saluran pernapasan yang terletak

diatas laring sedangkan bila mengenai organ dibawah laring disebut infeksi

saluran pernapasan bawah.

Asap rokok dapat menyebabkan terjadinya ISPA pada anak, meskipun

anak tersebut hanya menghirup udara yang terkontaminasi dengan asap rokok.

Kejadian seperti ini sudah sering dan tidak asing lagi di kehidupan sehari

hari, karena kurangnya pengetahuan orang tua mengenai dampak dan bahaya

terhadap kesehatan anak.

29
B. Kerangka Konsep Penelitan

Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


Pengetahuan Orang Tua
Tentang Bahaya Asap
Rokok

Kejadian Ispa
Sikap Orang Tua Tentang

Bahaya Asap Rokok

Gamba r 1. Kerangka konsep penelitian

Keterangan :

: Variabel independen yang diteliti

: Variabel dependen yang diteliti

: Garis penghubung yang diteliti

C. Variabel Penelitian

1. Variable bebas (independen)

Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang

menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (Sugiyono,

30
2017). Variabel independen pada penelitian ini yaitu pengetahuan dan sikap

orang tua tentang bahaya asap rokok.

2. Variabel terkait (dependen)

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2017). Variabel dependen

pada penelitian ini yaitu kejadian Ispa

D. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Pengetahuan

Pengetahuan orang tua yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

responden mampu mengetahui mengenai dampak dan bahaya paparan asap

rokok yang mengakibatkan terjadinya Ispa pada anak usia 1-4 tahun.

Variabel ini menggunaan kuisioner yang berisi 10 item pertanyaan yang

diukur menggunakan sakala Nominal, dimana setiap jawab “benar” diberi

nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0. Untuk menghitung interval skala

digunakan rumus Aswar (2009):

(Nilai ideal tertinggi + Nilai ideal terendah)


2

Rumus menghitung standar deviasi ideal (s):

(Nilai ideal tertinggi + Nilai ideal terendah) 6

a. Rata-rata ideal:

31
Nilai ideal tertinggi didapat dari nilai tertinggi yaitu 1 , dikali jumlah

soal pertanyaan pengetahuan yaitu 10. Nilai ideal terendah didapat dari

nilai terendah 0, dikali jumlah soal pertanyaan pengetahuan yaitu 10.

Nilai ideal tertinggi = 1 x 10 = 10

Nilai ideal terendah = 0 x 10 = 0

Rata-rata ideal = (Nilai ideal tertinggi + Nilai ideal terendah)


2

= (10 + 0) = 10 = 5
2 2
Kriteria objektif
a. Baik : jika skor total x > 5 jumlah kuesioner

b. Kurang : jika skor total x ≤ 5 jumlah kuesioner

2. Sikap

Sikap orang tua yang di maksud dalam penelitian ini adalah respon

tertutup seseorang bila ada orang yang merokok di sekitar anak balita.

Kriteria penilaian didasarkan atas skala Likert, jumlah pertanyaan

keseluruhan sebanyak 6 nomor dan setiap pertanyaan mempunyai 4 pilihan

jawaban dengan skor nilai : Sangat Setuju skor 4, Setuju skor 3, Tidak

setuju skor 2 Sangat tidak setuju skor 1 sehingga diperoleh skor nilai :

Skor Tertinggi : 6 x 4 = 24 (100%)

Skor terendah : 6 x 1 = 6 (25%)

Kemudian diukur dengan menggunakan rumus interval :

32
R

= (Sugiyono, 2012).

K
Keterangan :

= Interval kelas

R = Range atau kisaran yaitu nilai tertinggi – nilai terendah

= 100% - 25% = 75%

K = Kategori. Jumlah kategori sebanyak 2 cukup dan kurang

75 %

= = 37,5 %

Sehingga kriteria penilaian 100 – 37,5% = 62,5%.

Kriteria objektif

Cukup : Jika persentase jawaban responden ≥ 62,5 %

Kurang: Jika persentase jawaban responden < 62,5 %

E. Hipotesis

1. Pengetahuan

Ha : Ada hubungan pengetahuan dengan kejadian Ispa pada anak usia 1-

4 tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Wawotobi

33
Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan dengan kejadian Ispa pada anak

usia 1-4 tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Wawotobi

2. Sikap
Ha : Ada hubungan sikap dengan kejadian Ispa pada anak usia 1-4 tahun

di Wilayah Kerja Puskesmas Wawotobi

Ho : Tidak ada hubungan sikap dengan kejadian Ispa pada anak usia 1-4

tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Wawotobi

34
BAB 4

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap orang tua tentang bahaya

asap rokok dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-4 tahun di wilayah kerja

Puskesmas Wawotobi. Rancangan penelitian menggunakan cross sectional

karena data penelitian (variabel independen dan variabel dependen) dilakukan

pengukuran pada waktu sama/sesaat. Berdasarkan pengolahan data yang di

gunakan, penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif (Notoatmodjo, 2012).

B. Waktu Dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April – Mei tahun 2023.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Wawotobi

Kabupaten Konawe.

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari obyek penelitian (Notoatmodjo

2012), Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah pasien berumur 1-4

tahun yang melakukan pemeriksaan pada tahun 2022 sebanyak 107 di

Wilayah Kerja Puskesmas Wawotobi.

35
2. Sampel

a. Jumlah sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang melakukan

pemeriksaan berumur 1-4 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Wawotobi.

Adapun rumus pengambilan sampel yaitu: ( Soekidjo Notoatmojo, 2012)

Keterangan:

n = jumlah sampel N = jumlah populasi d = Tingkat kepercayaan

/ ketetapan yang diinginkan(5% = 0,05)

= 85 Responden

Sehingga banyaknya responden penelitian adalah sebanyak 85 orang

36
b. Tekning sampling

Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling

adalah teknik pengambilan sampel dimana responden yang bersedia untuk

dipilih sesuai dengan keinginan peneliti dengan

pertimbanganpertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012).

c. Kriteria sampel

1) Kriteria inkusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti

(Nusalam,2013). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a) Responden yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Wawotobi

b) Responden yang menggunakan Puskesmas Wawotobi sebagai

tempat pelayanan kesehatan

c) Responden yang biasa membaca dan menulis

d) Responden yang memiliki anak usia 1-4 tahun yang melakukan

pemeriksaan penyakit ISPA.

2) Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek

yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini

adalah:

a) Responden yang tidak mengerti bahasa Indonesia

37
b) Responden yang tidak bersedia untuk di jadikan responden

D. Instrument Penelitian

1. Kuesioner pengetahuan

Kuesioner pengetahuan pada penelitian ini sudah di uji validasi dengan

10 item pertanyaan pada penelitian (Harahap, 2018) “Tingkat

pengetahuan orang tua tentang bahaya asap rokok yang dapat memicu

kejadian ispa pada anak” dengan hasil r table = 0,312 keterangan valid.

Sedangkan uji reabilitas nilai alpha cronbach 0,902 dengan keterangan

sangat reliable.

2. Kuesioner Sikap

Kuesioner sikap pada penelitian ini sudah di uji validasi dengan 6 item

pertanyaan pada penelitian (Armiyati, 2021) “Hubungan perilaku

merokok orang tua dengan kejadian Ispa pada balita di wilayah kerja

puskesmas bestari medan pitisa” dengan hasil r table = 0,707 keterangan

valid. Sedangkan uji reabilitas nilai alpha cronbach = 0,8 dan dinyatakan

reliable.

E. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui:

1. Data primer

Data primer diperoleh langsung dari responden dengan

menggunakan lembar kuisioner disusun yang mengacu pada kriteria

38
obyektif. Cara pengumpulan data dilakukan setelah responden

menandatangani Informed Consent. Responden diberikan lembar

kuisioner dan diberikan kesempatan untuk bertanya jika ada hal yang

tidak dimengerti. Setelah pengisian, kuisioner yang telah diisi hari itu

juga untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data.

2. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Kepala Bagian Tata

Usaha (KTU) Puskesmas Wawotobi yakni jumlah pasien anak usia 1-4

tahun yang terdiagnosa Ispa.

F. Pengolahan, Analisis Dan Penyajian Data

1. Pengolahan data

Pengolahan data dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap yaitu:

a. Editing

Editing dilakukan untuk meneliti setiap daftar pertanyaan yang sudah

diisi. Editing meliputi memeriksa kelengkapan data, memeriksa

kesinambungan data dan memeriksa keseragaman data.

b. Coding

Langkah ini dapat dilakukan hanya memberi kode pada responden

untuk memudahkan analisis data dan mengklasifikasi data menurut

jenisnya.

39
c. Tabulating

Memberi kategori dan skor terhadap jawaban responden dengan

menggunakan sistem kategori dan nilai kemudian menjumlahkan hasil

dan skor yang didapat dan mengklasifikasikan untuk selanjutnya

dibuat tabel distribusi frekuensi.

2. Analisis data

Pada bagian ini peneliti akan memberikan gambaran sekilas mengenai

pengumpulan dan analisa data yaitu pengumpulan data menggunakan

kuisioner.

a. Analisis univariat

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan statistik

(analisis frekuensi) dengan formula sebagai berikut: (Sugiono, 2021)


f
x xk
n
Keterangan :

x : Persentase variabel diteliti


f : Kriteria penelitian terhadap responden

n : jumlah sampel k :

Konstanta (100)

b. Analisis bivariat

40
Setelah data terkumpul dianalisa secara Analitik dengan

menggunakan perhitungan uji Chi- Square dengan rumus (Sugiyono,

2012):

n (ad-bc) 2

X2 = ∑ --------------------------------

(a+b)(c+d)(a+c)(b+d)

Keterangan :

n : jumlah sampel

a,b,c,d : sel-sel

Interprestasi hasil uji, dikatakan bermakna bila dengan kriteria :

a. X2 hitung ≥ X2 tabel = H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti ada

hubungan yang bermakna.

b. X2 hitung < X2 tabel = Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan

yang bermakna.

c. Dengan menggunakan taraf signifikansi 5% dengan

tingkat kepercayaan 95%.

Tetapi bila uji Chi Square tidak memenuhi syarat maka dilakukan uji

Fisher’s Exact Test dengan rumus :

P = (a+b)!(c+d)!(a+c)!(b+d)!

n!a!b!c!d!

Keterangan :

41
a,b,c,d = Nilai Sel n

= Jumlah sampel

! = Faktorial

Taraf signifikan 5% (α = 0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%

pengambilan keputusan dilakukan sebagai berikut :

1) Jika nilai P < α maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada

hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.

2) Jika nilai P > α maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak

ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen).

Keterangan : X2= nilai chi-square ( Sugiyono, 2012 )

Tabel 1: Tabel 2 x 2

Sampel Frekuensi pada Jumlah Sampel

Objek I Objek II

sampel a A B a+b

42
sampel b C D c+d

Jumlah a+c b+d a + b+c + d

Keterangan :

1. Jumlah variabel bebas, variabel bebas positif dengan variabel terikat


positif
2. Jumlah variabel bebas, variabel bebas positif dengan variabel terikat
negative
3. Jumlah variabel bebas, variabel bebas negatif dengan variabel terikat
positif
4. Jumlah variabel bebas negatif dengan dengan variabel terikat negatif

Untuk mengetahui besarnya hubungan antara variabel yang telah diuji

Chikuadrat dilakukan uji Creamers dengan rumus

Keterangan : X2 = nilai chi

n = besar sampel

interpretasi sebagai berikut :

a. Nilai 0,01 – 0,25 hubungan lemah

b. Nilai 0,26 – 0,50 hubungan sedang

c. Nilai 0,51 – 0,75 hubungan kuat

d. Nilai 0,76 – 1,0 hubungan sangat kuat (Sugiyono, 2017).

3. Penyajian data

Penyajian data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel disertai

dengan penjelasan.

43
G. Etika Penelitian

Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai

berikut:

1. Informet consent, merupakan cara persetujuan antara peneliti dan

responden dengan memberikan lembar persetujuan.

2. Anonymity (tanpa nama), dilakukan dengan cara tidak memberikan nama

responden pada lembar alat ukur, hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data.

3. Confidentiality (kerahasiaan), menjamin kerahasiaan hasil penelitian baik

informasi maupun masalah-masalah lainnya. Informasi yang

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.

44

Anda mungkin juga menyukai