Anda di halaman 1dari 10

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe 1 atau
tipe 2 yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan.  Penyakit ini menyebabkan kulit melepuh dan terasa
sakit pada otot di sekitar daerah yang terjangkit. Penyakit ini juga bisa ditularkan melalui hubungan
seksual. Herpes atau HSV 2 bisa sangat berbahaya jika tidak segera ditangani.

            Ketika aktif, virus ini akan berkembang dan bergerak di antara sel-sel saraf. HSV dapat
menular dan masuk ke dalam tubuh melalui berbagai membran mukosa. Membran mukosa adalah
jaringan lunak basah yang melapisi bagian terbuka tubuh. Membran mukosa berada di beberapa
bagian tubuh dan bersinggungan langsung dengan kulit, yaitu pada dinding mulut, bagian dalam
kelopak mata, di dalam telinga, dalam saluran urin, di dinding vagina dan anus. Gejala herpes
simpleks yang pertama kali muncul adalah luka melepuh yang kemerahan dan terasa sakit di sekitar
daerah genital. Luka ini bisa pecah dan menjadi luka terbuka.

            Virus herpes simpleks 1 dan 2 (HSV-1 dan HSV-2) adalah dua virus dari famili herpasvirus,
Herpasviridae, yang menyebabkan infeksi pada manusia. HSV-1 dan 2 juga merujuk pada virus
herpes manusia 1 dan 2 (HHV-1 dan HHV-2). Setelah infeksi, HSV menjadi tersembunyi, selama virus
ada pada sel tubuh saraf. Selama reaktivitas, virus diproduksi di sel dan dikirim melalui sel saraf
akson menuju kulit.

1.2      Tujuan

1.      Mempelajari pastofisiologi gambaran penyakit herpes simpleks secara menyeluruh.

2.      Mengetahui konsep dari penyakit herpes simpleks yang sering menyerang pada bagian mulut,
punggung, dan alat kelamin.

3.      Mengetahui implikasi pastofisiologi penyakit herpes simpleks dalam bidang keperawatan dan
peranan keperawatan terhadap penyakit tersebut.

1.3      Manfaat

1.    Dapat memahami konsep dari penyakit herpes simpleks

2.    Mengetahui gejala, cara merawat, dan melakukan pencegahan terhadap  penyakit herpes


simpleks.

3.    Dapat menjalankan implikasi patofisiologi herpes simpleks dalam bidang keperawatan dan dapat
memahami dalam peranan keperawatan dalam menghadapi penyakit tersebut.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Definisi

Virus Herpes Simpleks adalah virus DNA yang dapat menyebabkan infeksi akut pada kulit yang
ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab. Ada 2 tipe virus herpes
simpleks yang sering menginfeksi yaitu : - HSV-Tipe I (Herpes Simplex Virus Type I) - HSV-Tipe II
(Herpes Simplex Virus Type II) HSV-Tipe I biasanya menginfeksi daerah mulut dan wajah (Oral
Herpes), sedangkan HSV-Tipe II biasanya menginfeksi daerah genital dan sekitar anus (Genital
Herpes). HSV-1 menyebabkan munculnya gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada mukosa
mulut, wajah, dan sekitar mata. HSV-2 atau herpes genital ditularkan melalui hubungan seksual dan
menyebakan gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada membran mukosa alat kelamin. Infeksi
pada vagina terlihat seperti bercak dengan luka. Pada pasien mungkin muncul iritasi, penurunan
kesadaran yang disertai pusing, dan kekuningan pada kulit (jaundice) dan kesulitan bernapas atau
kejang. Lesi biasanya hilang dalam 2 minggu. infeksi . Episode pertama (infeksi pertama) dari infeksi
HSV adalah yang paling berat dan dimulai setelah masa inkubasi 4-6 hari. Gelala yang timbul,
meliputi nyeri, inflamasi dan kemerahan pada kulit (eritema) dan diikuti dengan pembentukan
gelembung-gelembung yang berisi cairan. Cairan bening tersebut selanjutnya dapat berkembang
menjadi nanah, diikuti dengan pembentukan keropeng atau kerak (scab).

2.2       Etiologi

Herpes simpleks virus (HSV) tipe 1 dan tipe 2 merupakan virus DNA. Pembagian tipe 1 dan tipe 2
berdasarkan kerakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenik markes dan lokasi klinis tempat
predileksi. HVS tipe 1 sering dihubungkan dengan infeksi oral sedangkan HSV tipe 2 dihubungkan
dengan infeksi genital. Semakin sering infeksi HSV tipe 1 di daerah genital dan infeksi HSV tipe 2 di
daerah oral kemungkinan disebabkan oleh kontak seksual dengan cara oral-genital.

            Secara serologic, biologik, dan sifat fisikokimia HSV-1 dan HSV-2 sukar dibedakan. Dari
penelitian seroepidemiologik didapat bahwa antibody HVS-1 sudah terdapat pada anak-anak sekitar
umur lima tahun, meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian
seroepidemiologik terdapat antibodi HSV-2 sulit untuk dinilai berhubung adanya reaksi silang antara
respons imun humoral HSV-1 dan HSV-2. Dari data yang dikumpulkan WHO dapat diambil
kesimpulan bahwa antibodi terhadap HSV-2 rata-rata baru terbentuk setelah melakukan aktivitas
seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dai 30%, pada kelompok wanita di atas umur 40
tahun naik sampai 60%, dan pada pekerja seks wanita (PSW) ternyata antibodi HSV-2 sepuluh kali
lebih tinggi dari pada orang normal.

2.3       Epidemiologi

Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang dan menyerang baik pria maupun
wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe 1
biasa pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe 2 biasa terjadi pada decade 2 atau 3 dan
berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Infeksi genital yang berulang 6 kali lebih sering
dari pada infeksi berulang pada oral-labial, infeksi HSV tipe 2 pada daerah genital lebih sering
kambuh daripada infeksi HSV tipe 1 di daerah genital, dan infeksi HSV tipe 1 pada oral-labial lebih
sering kambuh daripada HSV tipe 2 di daerah oral. Walaupun begitu infeksi dapat terjadi di mana
saja pada kulit dan infeksi pada satu area tidak menutup kemungkinan bahwa infeksi dapat
menyebar ke bagian lain.

2.4       Patogenesis/Patofisiologi

Infeksi primer HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan bereplikasi lokal lalu
menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus bereplikasi. Denagn penyebaran sentrifugal
oleh syaraf-syaraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer HSV masuk
dalam masa laten di ganglia sensoris. Pada episode 1 non infeksi primer, infeksi sudah lama
berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga
pada waktu terjadinya episode 1 ini kelainan yang timbul tidak seberat episode 1 dengan infeksi
primer. Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factora), virus akan mengalami reaktivitas
dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekurens.

Pada saat ini di dalam tubuh horpes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan
gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. Trigger factor tersebut antara lain
adalah trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stress emosi, kelelahan,
makanan yang merangsang, alkohol, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), dan ada beberapa
kasus sukar diketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya
infeksi rekurens: 1. Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan virus
akan menurun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang dipersarafinya dan disana akan
mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulakan lesi. 2. Virus secara terus menerus
dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktor pencetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan
menimbulkan lesi rekurens.

2.5       Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)

            Manifestasi klinis dapat dipengaruhi oleh faktor hosper, pajanan HSV sebelumnya, episode
terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama.
Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan
pada daerah serviks. Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi HSV adalah asimtomatis. Biasanya
didahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi.
Setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi seperti malaise, demam, dan nyeri otot. Lesi pada
kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem. Vesikel ini mudah pecah dan
menimbulkan erosi multiple. Tanda infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima
sampei tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut, tetapi bila ada penyembuhan memerlukan waktu
yang lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.

Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama. Kelenjar limfe regional dapat
membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi di daerah serviks, dapat menimbulkan beberapa
perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multiple sampai terjadinya ulkus yang besar dan
nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan
memerukan waktu yang cukup lama, dapat dua sampai emapat minggu, sedangkan pada serangan
berikutnya penyembuhan akan lebih cepat. Di samping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria
bila lesi terletak di urin.

Hal lain yang menyebabkan retensi urin adalah lesi pada daerah sakral yang menimbulkan mielitis
dan radikulitis.Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, batang penis, dapat
juga di uretra dan daerah anal (pada homoseks), sedangkan daerah skrotum jarang terkena. Lesi
pada wanita dapat ditemukan di daerah labia major/minor, klitoris, introitus vaginae, serviks,
sedangkan pada daerah perianal, bokong dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita
sering dihubungkan dengan servitis, karena itu perlu pemerikasaan sitologi secara teratur.

2.6 Penyakit yang ditimbulkan Virus Herpes Simplek

1. HSV-1

a. Gingivostomatitis herpetik akut Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak kecil (usia 1-3 tahun)
dan terdiri atas lesi-lesi vesikuloulseratif yang luas dari selaput lendir mulut, demam, cepat marah
dan limfadenopati lokal. Masa inkubasi pendek(sekitar 3-5 hari) dan lesi-lesi menyembuh dalam 2-3
minggu.

b. Keratojungtivitis Suatu infeksi awal HSV-1 yang menyerang kornea mata dan dapat
mengakibatkan kebutaan.

c. Herpes Labialis Terjadi pengelompokan vesikel-vesikel lokal, biasanya pada perbatasan


mukokutan bibir. Vesikel pecah, meninggalkan tukak yang rasanya sakit dan menyembuh tanpa
jaringan parut. Lesi-lesi dapat kambuh kembali secara berulang pada berbagai interval waktu.

2. HSV-2

a. Herpes Genetalis Herpes genetalis ditandai oleh lesi-lesi vesikuloulseratif pada penis pria atau
serviks, vulva, vagina, dan perineum wanita. Lesi terasa sangat nyeri dan diikuti dengan demam,
malaise, disuria, dan limfadenopati inguinal. Infeksi herpes genetalis dapat mengalami kekambuhan
dan beberapa kasus kekambuhan bersifat asimtomatik. Bersifat simtomatik ataupun asimtomatik,
virus yang dikeluarkan dapat menularkan infeksi pada pasangan seksual seseorang yang telah
terinfeksi.

b. Herpes neonatal Herpes neonatal merupakan infeksi HSV-2 pada bayi yang baru lahir. Virus HSV-2
ini ditularkan ke bayi baru lahir pada waktu kelahiran melalui kontak dengan lesilesi herpetik pada
jalan lahir. Untuk menghindari infeksi, dilakukan persalinan melalui bedah caesar terhadap wanita
hamil dengan lesi-lesi herpes genetalis. Infeksi herpes neonatal hampir selalu simtomatik. Dari kasus
yang tidak diobati, angka kematian seluruhnya sebesar 50%.[4]

2.7 Cara penularan Herpes


Transmisi HSV kepada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya terjadi ketika virus
mengalami multiplikasi di dalam tubuh host (viral shedding). Lama waktu viral shedding pada tiap
episode serangan HSV berbeda-beda. Pada infeksi primer dimana dalam tubuh host belum terdapat
antibodi terhadap HSV, maka viral shedding cenderung lebih lama yaitu sekitar 12 hari dengan
puncaknya ketika muncul gejala prodormal (demam,lemah, penurunan nafsu makan, dan nyeri
sendi) dan pada saat separuh serangan awal infeksi primer, walaupun > 75 % penderita dengan
infeksi primer tersebut tanpa gejala. Viral shedding pada episode I non primer lebih singkat yaitu
sekitar 7 hari dan karena pada tahap ini telah terbentuk antibodi terhadap HSV maka gejala yang
ditimbulkan lebih ringan dan kadang hanya berupa demam maupun gejala sistemik singkat. Pada
tahap infeksi rekuren yang biasa terjadi dalam waktu 3 bulan setelah infeksi primer, viral shedding
berlangsung selama 4 hari dengan puncaknya pada saat timbul gejala prodormal dan pada tahap
awal serangan. Viral shedding pada tahap asimptomatik berlangsung episodik dan singkat yaitu
sekitar 24-48 jam dan sekitar 1-2 % wanita hamil dengan riwayat HSV rekuren akan mengalami
periode ini selama proses persalinan. Seorang individu dapat terkena infeksi HSV karena adanya
transmisi dari seorang individu yang seropositif, dimana transmisi tersebut dapat berlangsung secara
horisontal dan vertikal. Perbedaan dari ke-dua metode transmisi tersebut adalah sebagai berikut :
1.Horisontal Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang seronegatif berkontak
dengan individu yang seropositif melalui vesikel yang berisi virus aktif (81-88%), ulkus atau lesi HSV
yang telah mengering (36%) dan dari sekresi cairan tubuh yang lain seperti salivi, semen, dan cairan
genital (3,6-25%). Adanya kontak bahan-bahan tersebut dengan kulit atau mukosa yang luka atau
pada beberapa kasus kulit atau mukosa tersebut maka virus dapat masuk ke dalam tubuh host yang
baru dan mengadakan multiplikasi pada inti sel yang baru saja dimasukinya untuk selanjutnya
menetap seumur hidup dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan gejala khas yaitu timbulnya vesikel
kecil berkelompok dengan dasar eritem. [5]

2. Vertikal Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada periode antenatal,
intrapartum dan postnatal. Periode antenatal bertanggung jawab terhadap 5 % dari kasus HSV pada
neonatal. Transmisi ini terutama terjadi pada saat ibu mengalami infeksi primer dan virus berada
dalam fase viremia (virus berada dalam darah) sehingga secara hematogen virus tersebut dalam
masuk ke dalam plasenta mengikuti sirkulasi uteroplasenter akhirnya menginfeksi fetus. Periode
infeksi primer ibu juga berpengaruh terhadap prognosis si bayi, apabila infeksi terjadi pada trimester
I biasanya akan terjadi abortus dan pada trimester II akan terjadi kelahiran prematur. Bayi dengan
infeksi HSV antenatal mempunyai angka mortalitas ± 60 % dan separuh dari yang hidup tersebut
akan mengalami gangguan syaraf pusat dan mata. Infeksi primer yang terjadi pada masa-masa akhir
kehamilan akan memberikan prognosis yang lebih buruk karena tubuh ibu belum sempat
membentuk antibodi (terbentuk 3-4 minggu setelah virus masuk tubuh host) untuk selanjutnya
disalurkan kepada fetus sebagai suatu antibodi neutralisasi transplasental dan hal ini akan
mengakibatkan 30- 57% bayi yang dilahirkan terinfeksi HSV dengan berbagai komplikasinya
(mikrosefali, hidrosefalus, calsifikasi intracranial, chorioretinitis dan ensefalitis).3 Sembilan puluh
persen infeksi HSV neonatal terjadi saat intrapartum yaitu ketika bayi melalui jalan lahir dan
berkontak dengan lesi maupun cairan genital ibu. Ibu dengan infeksi primer mampu menularkan HSV
pada neonatus 50 %, episode I non primer 35% , infeksi rekuren dan asimptomatik 0-4%. [5]

2.8. Pencegahan

1. Pencegahan transmisi HSV secara horisontal

a) Higiene Personal
- Sering membersihkan diri dengan mandi menggunakan air yang bersih. Idealnya saat musim panas
mandi 2 kali pagi dan sore.

- Ganti pakaian satu hari minimal 2 kali sehabis mandi agar tubuh tetap terjaga kebersihannya.

- Cucilah seprai, handuk dan pakaian yang dipakai dengan air yang bersih dan menggunakan
deterjen.

- Pencegahan kontak dengan saliva penderita HSV dapat dilakukan dengan menghindari berciuman
dan menggunakan alat-alat makan penderita serta menggunakan obat kumur yang mengandung
antiseptik yang dapat membunuh virus sehingga menurunkan risiko tertular.

b) Sanitasi lingkungan

- Menjaga lingkungan agar tetap bersih

- Menggunaan air bersih yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan.

2. Pencegahan transmisi HSV secara vertikal dapat dilakukan dengan deteksi ibu hamil dengan
screning awal di usia kehamilan 14-18 minggu, selanjutnya dilakukan kultur servik setiap minggu
mulai dari minggu ke-34 kehamilan pada ibu hamil dengan riwayat infeksi HSV serta pemberian
terapi antivirus supresif (diberikan setiap hari mulai dari usia kehamilan 36 minggu dengan acyclovir
400mg 3×/hari atau 200mg 5×/hari) yang secara signifikan dapat mengurangi periode rekurensi
selama proses persalinan (36% VS 0%). Namun apabila sampai menjelang persalinan, hasil kultur
terakhir tetap positif dan terdapat lesi aktif di daerah genital maka kelahiran secara sesar menjadi
pilihan utama.[3] Periode postnatal bertanggungjawab terhadap 5-10% kasus infeksi HSV pada
neonatal. Infeksi ini terjadi karena adanya kontak antara neonatus dengan ibu yang terinfeksi HSV
(infeksi primer HSV-I 100%, infeksi primer HSV-II 17%, HSV-I rekuren 18%, HSV-II rekuren 0%) dan
juga karena kontak neonatus dengan tenaga kesehatan yang terinfeksi HSV.[3] Pemilihan metode
pencegahan yang tepat sesuai dengan model transmisinya dapat menurunkan angka kejadian dan
penularan infeksi HSV.

                                                                                                

2.6       Komplikasi

                        Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi yang baru lahir.
Herpes ganitalis pada permulaan kehamilan bisa menimbulkan abortus/malformasi congenital
berupa mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita herpes ganitalis pada waktu
kehamilan dapat ditemukan kelainan berupa hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokonjungtivitis,
erupsi kulit berupa vasikel herpetiformis, dan bahkan bisa lahir mati. Pada orang tua, hepatitis
karena HSV jarang ditemukan, sedangkan meningitis dan ensefalitis pernah dilaporkan.

Pada orang tua, hepatitis karena HSV jarang ditemukan, sedangkan meningitis dan ensefalitis pernah
dilaporkan. Pada orang tua herpetika biasanya disebabkan oleh HSV-2 sedangkan ensefalitis oleh
HSV-1. Disamping itu juga ditemukan hipersesivitas terhadap virus, sehingga timbul reaksi pada kulit
berupa eritema eksudativum multiforme. Dapat juga timbul ketakutan dan depresi terutama bila
terjadi salah penanganan pada penderita.
2.7       Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier

Pencegahan transmisi HSV secara horizontal, bisa dilakukan secara mandiri seperti sering


membersihkan diri dengan mandi menggunakan air yang bersih, idealnya saat musim panas dua kali
pagi dan sore, dan menjaga lingkungan agar tetap bersih. Pencegahan kontak dengan saliva
penderita HSV dapat dilakukan dengan menghindari berciuman dan menggunakan alat-alat makan
penderita serta menggunakan obat kumur yang mengandung antiseptik yang dapat membunuh virus
sehingga menurunkan risiko tertular. Pencegahantransmisi HSV secara vertikal, dapat dilakukan
dengan deteksi ibu hamil dengan screening awal di usia kehamilan 14-18 minngu, selanjutnya
dilakukan kultur servik setiap mulai dari minggu ke-34 kehamilan pada ibu hamil dengan riwayat
infeksi HSV serta pemberian terapi antivirus supresif (diberikan setiap hari mulai dari usia kehamilan
36 minggu dengan acyclovir 400mg 3kali/hari atau 200mg 5kali/hari) yang secara signifikan dapat
mengurangi periode rekuensi selama proses persalinan (36% VS 0%). Namun apabila sampai
menjelang persalinan, hasil kultur terakhir tetap positif dan terdapat lesi aktif di daerah genital maka
kelahiran secara sesar menjadi pilihan utama.

Periode postnatal bertanggung jawab terhadap 5-10% kasus infeksi HSV pada neonatal. Infeksi ini
terjadi karena adanya kontak antara neonatus dengan ibu yang terinfeksi HSV (infeksi primer HSV-1
100%, infeksi primer HSV-2 17%, HSV-1 rekuren 18%, HSV-2 rekuren 0%, dan juga karena kontak
neonatus dengan tenaga kesehatan yang terinfeksi HSV. Pemilihan metode pencegahan yang tepat
sesuai dengan transmisinya dapat menurunkan angka kejadian dan penularan infeksi HSV.

2.8       Penatalaksana

Sampai saat ini belum ada terapi memberikan penyembuhan radikal, artinya tidak ada pengobatan
yang dapat mencegah episode rekurens secar tuntas. Pada lesi yang dini dapat digunakan obat
topical berupa salap/krim yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, viruguent-
P) dengan cara aplikasi yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax)yang
dipakai secara topikal tampaknya memberikan masa depan yang lebih cerah. Asiklovir ini cara
kerjanya mengganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif. Jika
timbul ulserasi dapat dilakukan kompres. Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya
memberikan hasil yang lebih baik, penyakit berlangsung lebih cepat dan masa rekurensnya lebih
panjang. Dosisnya 5*200 mg sehari selam 5 hari. Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama
ditujukan kepada penyakit yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula
dengan preparat adenin arabinosid (vitarabin). Interferon sebuah preparat glikoprotein yang dapat
menghambat reproduksi virus juga dapat dipakai secara parenteral.

Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan
imunitas seluler, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk HSV tipe 1) dan lupidon G (untuk
HSV tipe 2) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara
berkala menurut beberapa penyelidik memberikan hasil yang baik. Efek levamisol dan isoprinosin
ialah sebagai imunostimulator. Pemberian vaksinasi cacar sekarang tidak dianut lagi.

                                                                                                               
2.9       Prognosis

Meskipun kematian yang disebabkan oleh infeksi HSV-2 jarang terjadi, akan tetapi selama belum ada
pengobatan yang efektif, perkembangan penyakit sulit diramalkan. Infeksi primer dini yang segera
diobati mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekurens hanya dapat dibatasi frekuensi
kambuhnya. Selama pencegahan rekurens masih merupakan problem, hal tersebut secara psikologik
akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis lebih baik,
yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang.

            Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di
sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat
lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan fatal. Prognosis akan lebih
baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.

BAB 3 PENUTUP

3.1       Kesimpulan

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe 1 atau
tipe 2 yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan.  Penyakit ini menyebabkan kulit melepuh dan terasa
sakit pada otot di sekitar daerah yang terjangkit. Penyakit ini juga bisa ditularkan melalui hubungan
seksual. Herpes atau HSV 2 bisa sangat berbahaya jika tidak segera ditangani.

            Ketika aktif, virus ini akan berkembang dan bergerak di antara sel-sel saraf. HSV dapat
menular dan masuk ke dalam tubuh melalui berbagai membran mukosa. Membran mukosa adalah
jaringan lunak basah yang melapisi bagian terbuka tubuh. Membran mukosa berada di beberapa
bagian tubuh dan bersinggungan langsung dengan kulit, yaitu pada dinding mulut, bagian dalam
kelopak mata, di dalam telinga, dalam saluran urin, di dinding vagina dan anus. Gejala herpes
simpleks yang pertama kali muncul adalah luka melepuh yang kemerahan dan terasa sakit di sekitar
daerah genital. Luka ini bisa pecah dan menjadi luka terbuka.

Pencegahan transmisi HSV secara horizontal, bisa dilakukan secara mandiri seperti sering


membersihkan diri dengan mandi menggunakan air yang bersih, idealnya saat musim panas dua kali
pagi dan sore, dan menjaga lingkungan agar tetap bersih. Pencegahan kontak dengan saliva
penderita HSV dapat dilakukan dengan menghindari berciuman dan menggunakan alat-alat makan
penderita serta menggunakan obat kumur yang mengandung antiseptik yang dapat membunuh virus
sehingga menurunkan risiko tertular.

10

Pencegahan transmisi HSV secara vertikal, dapat dilakukan dengan deteksi ibu hamil dengan
screening awal di usia kehamilan 14-18 minngu, selanjutnya dilakukan kultur servik setiap mulai dari
minggu ke-34 kehamilan pada ibu hamil dengan riwayat infeksi HSV serta pemberian terapi antivirus
supresif (diberikan setiap hari mulai dari usia kehamilan 36 minggu dengan acyclovir 400mg
3kali/hari atau 200mg 5kali/hari) yang secara signifikan dapat mengurangi periode rekuensi selama
proses persalinan (36% VS 0%).

Meskipun kematian yang disebabkan oleh infeksi HSV-2 jarang terjadi, akan tetapi selama belum ada
pengobatan yang efektif, perkembangan penyakit sulit diramalkan. Infeksi primer dini yang segera
diobati mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekurens hanya dapat dibatasi frekuensi
kambuhnya. Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi yang baru lahir.
Herpes ganitalis pada permulaan kehamilan bisa menimbulkan abortus/malformasi congenital
berupa mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita herpes ganitalis pada waktu
kehamilan dapat ditemukan kelainan berupa hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokonjungtivitis,
erupsi kulit berupa vasikel herpetiformis, dan bahkan bisa lahir mati. Pada orang tua, hepatitis
karena HSV jarang ditemukan.

3.2 Saran

Dengan terselesainya makalah ini diharapkan mahasiswa Program Studi DIII keperawatan Universitas
Bondowoso dapat mengetahui, mempelajari, dan memahami konsep patofisiologis Herpes Simpleks
dengan baik serta hubungannya dengan ilmu keperawatan yang tengah ditekuni. Hal tersebut
ditujukan agar mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Universitas Bondowoso dapat memiliki
kompetensi yang tinggi dalam perawatan terhadap Herpes Simpleks. Serta mampu untuk
menjalankan peranan keperawatan baik untuk sasaran perorangan ataupun komunitas.
Daftar Pustaka

Daili Syaiful Fahmi, B.Makes Wresti Indriatmi, Zubier Farida, Edisi Keempat. Infeksi Menular Seksual.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda, dr. Mochtar Hamzah, Prof. Dr. dr. Siti Aisyah

Edisi Kelima. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Univ. Indonesia.

Brenda B. Spriggs, 2012 (http:///C:/Users/Public/Documents/Chapter%20II.pdf) diaksespada hari


Selasa, 18 Oktober 2016 pukul 15.13 WIB

Jakagendon-syahrul, 2012 https://id.wikipedia.org/wiki/Herpes_simpleks. Diakses pada hari Rabu,


19 Oktober 2016 pukul 17.15 WIB

Dwinoviakrismawanti, 2010 http://www.alodokter.com/herpes-genital, Diakses pada hari Kamis, 20


Oktober 2016 pukul 19.15 WIB

Anda mungkin juga menyukai