Anda di halaman 1dari 14

Problem Based Learning Blok 15 : Skin dan Integumen

Laki-Laki 30 tahun dengan luka lecet di batang kemaluan


Lion Pamungkas
(NIM : 102016287)
Kelompok D5
Email : lion.pamungkas@gmail.com

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. 021-56942061

Pendahuluan

Herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang sering ditemui dan
telah berhasil mempengaruhi kehidupan jutaan pasien beserta pasangannya. Kebanyakan
individu mengalami gangguan psikologi dan psikososial sebagai akibat dari nyeri yang timbul
serta gejala lain yang menyertai ketika terjadi infeksi aktif. Oleh karena penyakit herpes genital
tidak dapat disembuhkan serta bersifat kambuh-kambuhan, maka terapi sekarang difokuskan
untuk meringankan gejala yang timbul, menjarangkan kekambuhan, serta menekan angka
penularan sehingga diharapkan kualitas hidup dari pasien menjadi lebih baik setelah dilakukan
penanganan dengan tepat.

Herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi yang tinggi di
berbagai negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis. Infeksi herpes genitalis adalah
infeksi genitalia yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) terutama HSV tipe II. Dapat
juga disebabkan oleh HSV tipe I pada 10-40% kasus. Sebagian besar terjadi setelah kontak
seksual secara orogenital.

Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau tipe II yang ditandai
oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah
dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens. Penyakit
yang disebabkan oleh virus herpes simpleks dikenal dengan sebutan fever blister, cold sore,
herpes febrilis, herpes labialis, atau herpes progenitalis (genitalis).1

Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari manusia. Serupa
dengan herpes zoster, herpes simpleks menyebabkan luka-luka yang sangat sakit pada kulit.
Gejala pertama biasanya gatal-gatal dan kesemutan/perasaan geli, diikuti dengan lepuh yang

1
membuka dan menjadi sangat sakit. Infeksi ini dapat dorman (tidak aktif) dalam sel saraf selama
beberapa waktu namun tiba-tiba infeksi menjadi aktif kembali. Herpes dapat aktif tanpa gejala.

Skenario

Laki-laki 30 tahun, luka lecet dibatang kemaluan sejak 3 hari yang lalu

Anamnesis

Anamnesis adalah wawancara terhadap pasien. Hal pertama yang perlu ditanyakan
kepada pasien adalah mengenai identitas pasien (tanyakan nama lengkap dan cocokkan dengan
tabel nama, tanyakan tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau istri
atau penanggung jawab, pendidikan, pekerjaan, alamat, suku bangsa dan agama) dan pastikan
bahwa setiap rekam medis, catatan, hasil tes, dan sebagainya memang milik pasien tersebut.
Tahap berikutnya adalah anamnesis keluhan utama. Anamnesis keluhan utama biasanya
memberikan informasi terpenting untuk mencapai diagnosis banding, dan memberikan wawasan
vital mengenai gambaran keluhan yang menurut pasien paling penting.2
Riwayat penyakit sekarang juga sangat penting untuk ditanyakan kepada pasien. Riwayat
penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis yang berkaitan dengan keadaan kesehatan
pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Anamnesis selanjutnya
mengenai riwayat penyakit dahulu, obat dan alergi. Anamnesis bagian ini memberikan kita
informasi mengenai semua masalah medis yang pernah timbul sebelumnya dan terapi yang
pernah diberikan terhadap pasien, obat apa yang sedang atau sudah dikonsumsi pasien, apakah
pasien alergi terhadap sesuatu, dan apakah pasien merokok ataupun mengkonsumsi alkohol.
Setelah itu, seorang dokter juga penting untuk menanyakan riwayat pribadi pasien yang
mencakup data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan.
Selain riwayat pribadi, riwayat keluarga dan sosial serta riwayat bepergian juga sangat
penting untuk ditanyakan kepada pasien. Anamnesis ini membuat kita mendapat informasi
mengenai penyakit apa saja yang pernah diderita oleh kerabat pasien, latar belakang pasien serta
pengaruh penyakit yang mereka derita terhadap hidup dan keluarga mereka.2

Pada skenario kali ini didapatkan penderita dengan keluhan berupa laki laki 30 tahun luka lecet
di batang kemaluan sejak 3 hari lalu, perih, tidak gatal, status seksual(-), baru pertama kali,
timbul lenting kecil bergerombol lalu pecah jadi luka.

2
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka lecet dibatang kemaluan, regio=penis,
erosi(miliar lenticular), multiple, diskret-confluence, disekitarnya hiperemis, cairan serosa, batas
tegas, vesikel mudah pecah.
Diagnosis Kerja
Tempat predileksi HSV-1 di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan
hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya
kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering menggigit jari (herpetic
Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV-2
mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga
dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus. Daerah predileksi ini sering kacau
karena adanya cara hubungan seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di
daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh HSV-1 sedangkan di daerah mulut dan rongga
mulut dapat disebabkan oleh HSV-2.1
1. Primary Genital Herpes adalah saat pasien pertama kali terinfeksi HSV. Infeksi primer
berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala
sistemik misalnya demam, malese, dan anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan
kelenjar getah bening regional, limfadenopati regional, neuropati regional dan
keterlibatan mukosa (cervicitis, uretritis). Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel
yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan
kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami
ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat
indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran
yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes
simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada
genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.
2. Initial Nonprimary Genital Herpes Infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya pernah
terinfeksi oleh HSV tipe lain, biasanya orang yang baru saja terinfeksi HSV-2
sebelumnya seropositif terhadap HSV-1. Pada jenis ini, manifestasi penyakit secara
sistemik jarang terjadi.3

3
3. Recurrent Genital Herpes Pada jenis ini, infeksi terjadi untuk kedua kalinya atau
berikutnya oleh tipe virus yang sama. Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang
dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu tersebut dapat berupa trauma fisik
(demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dsb), trauma psikis (gangguan
emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang
merangsang. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempay yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat di sekitarnya (non loco).1 Herpes genitalis akibat HSV-2 biasanya lebih
sering mengalami reaktivasi daripada herpes genitalis akibat HSV-1. Manifestasi klinis
pada herpes genitalis rekuren biasanya lebih ringan dan lebih singkat dari pada infeksi
pertama, biasanya berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala
prodormal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Bersama
dengan herpes genital rekuren dapat ditemukan cervicitis, uretritis, limfadenopati,
neuropati, gejala sistemik, namun sangat jarang.3
4. Subclinical Infection Sebagian besar infeksi HSV bersifat subklinis, termasuk tipe
primary, nonprimary initial, atau recurrent herpes. Pada herpes genitalis fase ini berarti
pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan
tidak aktif pada ganglion dorsalis.
Dari hasil klasifikasi diatas dan anamnesis didapatkan bahwa pasien menderita Herpes
genital tipe Primary Genital Herpes.

Diagnosis Banding
 Sifilis, adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat kronik
dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh,
dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu
ke janin. Pada anamnesis diketahui masa inkubasi, tidak terdapat gejala konstitusi,
demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. pada afek primer yang penting
adalah terdapat erosi/ulkus yang bersih, soliter, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan
indurasi: T. Pallidum positif. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar
regional dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa
supurasi.Berbeda dengan sifilis, herpes simpleks bersifat residif, dapat disertai keluhan

4
berupa rasa gatal atau nyeri, 18 lesi berupa vesikel di atas kulit yang eritematosa,
berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi, sering berkonfluensi dan
polisiklik, tidak terdapat indurasi.1
 Chancroid, atau yang lebih dikenal dengan ulkus mole adalah ulkus yang kotor, merah
dan nyeri. Merupakan penyakit menular seksual yang ditandai dengan ulkus genitalis
nekrotik yang sangat nyeri, disertai dengan limfadenipati inguinal. Penyakit ini
disebabkan oleh Haemophilus ducreyi, bakteri gram-negatif berbentuk basil anaerob yang
sangat infektif. Bakteri ini masuk ke dalam kulit melalui mukosa yang tidak intak dan
menyebabkan reaksi inflamasi. H. Ducreyi ditularkan secara seksual melalui kontak
langsung dengan lesi purulen dan dengan autoinokulasi pada daerah nonseksual misalnya
mata dan kulit. Penyakit ini biasanya dimulai dengan papul inflamasi berukuran kecil
pada tempat inokulasi, beberapa hari kemudian, papul akan berubah menjadi ulkus yang
sangat nyeri. Tanpa pengobatan, lesi dapat bertahan beberapa minggu sampai beberapa
bulan, dan dapat berkomplikasi menjadi limfadenopati supuratif. Pada ulkus mole, tanda-
tanda radang akut lebih mencolok dan pada pemeriksaan penunjang sediaan apus berupa
bahan dari dasar ulkus tidak ditemukan sel datia berinti banyak.1
 Trauma, Trauma pada penis jarang ditemukan karena penis merupakan jaringan
yang lunak dan mobile. Trauma pada batang penis biasanya terjadi karna adanya
status seksual yang ekstrim, berupa Riwayat pemaksaan, pemerkosaan, pemakaian
kondom yang salah, atau status seksual diluar normal.

Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk menunjang
penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya dengan spesifisitas dan sensitivitas yang beragam.
Metode-metode tersebut antara lain:

1. Pemeriksaan sitologi Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan


Papanicolaou atau Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smearsdengan pewarnaan
Giemsa menggunakan bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa. Dapat ditemukan sel
datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.(1)Ini merupakan pemeriksaan yang
murah, namun spesifisitas dan sensitivitas nya rendah. Terlihat keratinosit berukuran

5
besar dan multinuklear. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.
Pewarnaan Papanicolaou atau Romanovsky menggunakan bahan dari hasil biopsi,
sedangkan deteksi sel yang terinfeksi dengan imunofluoresens menggunakan hasil
kerokan dasar vesikel. Pemeriksaan ini murah dan cepat, spesifisitas dan sensitivitas nya
lebih tinggi daripada Tzanck smears. 7
2. Pemeriksaaan biologi molekular Akhir-akhir ini, deteksi DNA HSV berdasarkan
amplifikasi asam nukleat dan polymerase chain reaction (PCR) sudah menjadi metode
alternatif karena pemeriksaan ini empat kali lebih sensitif, hasilnya tidak dipengaruhi
oleh cara pengumpuan sampel dan proses transportasi, serta pengerjaannya lebih cepat
daripada kultur virus. Sampel pemeriksaan didapatkan dari swab, kerokan lesi kulit,
cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau sampel dari mukosa yang tidak
terdapat lesi. Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah sensitivitas dan spesifisitas nya
paling tinggi daripada pemeriksaan yang lain. Namun pemeriksaan ini hanya bisa
dilakukan di laboratorium tertentu yang memiliki fasilitas yang mendukung pemeriksaan
tersebut.7
3. Kultur virus Kultur virus digunakan untuk menentukan tipe virus, sudah lama menjadi
landasan untuk penegakan diagnosis infeksi HSV selama dua dekade terakgir dan sudah
ditentukan sebagai gold standard diagnosis laboratoris untuk infeksi HSV. Sampel
diambil dari swab, kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau
dari mukosa yang tanpa lesi. Pemeriksaan ini cukup mahal, tidak lebih sensitif dari PCR,
sensitivitasnya bervariasi dari rendah ke tinggi tergantung keadaan klinis pasien dan
spesifisitasnya cukuo tinggi.7
4. Deteksi antigen virus Antigen virus dapat dideteksi oleh direct immunofluorescence (IF)
assay dengan menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang sudah diberi label
fluorescein, atau oleh enzyme immunoassay (EIA) pada swab. Sampel diambil dari swab,
kerokan dari lesi, cairan dari vesikel, dan eksudat dari dasar vesikel. Spesifisitas kedua
pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara 62- 100% untuk pemeriksaan
ELISA, dan pada immunoperoxidase staining dapat mencapai 90%. Sensitivitas kedua
pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara 85-90%.7

6
Etiologi

HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang merupakan virus DNA. Virus
herpes simpleks hanya menginfeksi manusia. Terdapat dua tipe virus herpes simpleks, yaitu
HSV-1, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes nongenital (orofacial); dan HSV-2, yang
biasanya menyebabkan infeksi herpes genital pada lakilaki dan perempuan(5) , akan tetapi kedua
tipe virus tersebut dapat menginfeksi baik pada area orofacial maupun genital dan dapat
menyebabkan infeksi akut dan rekuren.(2)Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik
pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).(1)
Terdapat perbedaan antara kedua tipe HSV secara biologis, contohnya tingkat rekurensi infeksi
HSV-2 pada genital lebih sering daripada HSV-1. Sebaliknya, infeksi nongenital yang
disebabkan HSV-1 tingkat rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV genital terjadi
enam kali lebih sering daripada infeksi HSV pada orolabial.4

Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan jaringan atau sekret dari
penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada alat genital didapatkan dari partner dengan
infeksi subklinis. Pasangan yang aktif secara seksual dan sama-sama terinfeksi HSV tidak akan
mengalami reinfeksi satu sama lain. Autoinokulasi dapat menyebabkan herpetic whitlow atau
keratokonjungtivitis, terutama saat infeksi primer, namun jarang pada infeksi herpes rekuren.
Belum ada bukti penelitian bahwa HSV dapat menular melalui fomites, penggunaan pakaian atau
handuk secara bersama ataupun dari lingkungan. Penularan perinatal kepada bayi baru lahir
dapat terjadi, terutama jika infeksi baru terjadi pada kehamilan trimester akhir.(3) HSV memiliki
kemampuan untuk menyerang dan melakukan replikasi di dalam jaringan saraf, kemudian virus
tersebut memasuki masa laten di dalam jaringan saraf, terutama di ganglia trigeminal untuk
HSV-1, dan pada ganglia sacralis untuk HSV-2. Akhirnya, virus laten tersebut melakukan
reaktivasi dan bereplikasi sehingga menyebabkan penyakit pada kulit.4

Epidemiologi

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I biasanya

7
dimulai pada anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III,
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.1

Insidens infeksi primer HSV-1 yang menyebabkan herpes labialis paling banyak terjadi
pada masa kanak-kanak, dimana 30-60% anak-anak biasanya terekspos oleh virus ini. Jumlah
kejadian infeksi HSV-1 meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mayoritas ditemukan
pada orang dewasa berusia 30 tahun atau lebih dengan HSV-2 seropositif. Infeksi HSV-2
berhubungan dengan perilaku seksual. Antibodi terhadap HSV-2 sangat jarang ditemukan
sebelum terjadi aktivitas seksual dan meningkat secara terus menerus setelahnya.

Pada tahun 2005-2008, prevalensi infeksi HSV-2 pada populasi usia 14-49 tahun di
Amerika Serikat sebesar 16%, angka tersebut stabil sejak tahun 2001-2004 yaitu sebesar 17%;
dengan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita yaitu 21%, sedangkan pada pria 12%. Kira-kira
45 juta penduduk Amerika Serikat terinfeksi HSV-2; jika digabung dengan yang terinfeksi HSV-
1 mungkin mencapai 60 juta orang. Berdasarkan survei kesehatan nasional yang dilakukan oleh
CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2010 menyatakan bahwa insidens
infeksi HSV-2 pada warga Amerika Serikat masih tinggi, dimana 1 dari 6 warga Amerika Serikat
terinfeksi HSV-2 dan prevalensinya tinggi pada perempuan dan ras AfrikaAmerika (16,2%)
antara usia 14-49 tahun. Di Eropa Barat, prevalensi HSV-2 secara umum lebih lebih rendah
daripada di Amerika Serikat, yaitu berkisar antara 10-15% pada hampir semua negara. 3 Di
Indonesia, penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2005-2007 ditemukan
hasil yang kurang lebih sama, yaitu insidens herpes genitalis lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 1.96:1, usia terbanyak penderita bervariasi antara
25-34 tahun, terutama sesudah menikah.1

Patofisiologi

HSV-1 dan HSV-2 termasuk famili Herpesviridae dan subfamili Alphaherpesviridae. Virus
ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan sifat biologis sebagai berikut:

 Neurovirulensi (kemampuan untuk menyerang dan bereplikasi dalam sistem saraf).

8
 Latensi (pembentukan dan pemeliharaan infeksi laten di ganglia sel saraf proksimal dari
lokal infeksi). Pada infeksi HSV orofacial, ganglia trigeminal yang paling sering terlibat,
sementara, pada infeksi HSV genital, akar ganglia saraf sacral (S2-S5) yang terlibat.
 Reaktivasi: reaktivasi dan replikasi HSV laten, selalu di daerah yang dipersarafi oleh
ganglia dimana tempat virus latensi, dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan
(misalnya demam, trauma, stress emosional, sinar matahari, menstruasi), sehingga
berakibat infeksi berulang yang jelas atau samar-samar dan kemunculan kembali HSV.
Pada orang imunokompeten yang berada pada resiko yang sama tertular HSV-1 dan
HSV-2 baik secara oral maupun genital, HSV-1 reaktivasi lebih sering oral daripada
genital. Demikian pula HSV-2 mengaktifkan kembali 8-10 kali lebih umum di daerah
genital daripada di daerah orolabial. Reaktivasi lebih umum dan parah pada individu
imunocompromised.

Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan gangguan imunitas sel
T, seperti di penerima transplantasi organ pada individu dengan AIDS. HSV tersebar di seluruh
dunia. Manusia adalah satu-satunya reservoir alami, dan tidak ada vektor yang terlibat selama
transmisi. Endemisitas mudah bertahan dalam manusia karena adanya infeksi laten, reaktivasi
periodik, dan virus yang muncul tanpa gejala.

Selama infeksi primer, replikasi dimulai di dalam sel berinti pada dermis dan epidermis.
Setiap sel yang terinfeksi pasti dibunuh dan jumlah sel yang terlibat dalam proses infeksi
menentukan apakah secara klinis akan berkembang membentuk lesi, atau yang lebih sering
malah menjadi subklinis. Dalam dua keadaan tersebut, ujung saraf sensoris akan terinfeksi,
kemudian virus pindah melalui akson ke ganglia sakralis dan disana akan dimulai periode laten.
HSV hanya dapat dikultur dari ganglion selama periode infeksi primer. Virus menyebar ke
daerah lain secara sentrifugal dimana vesikel terbentuk akibat migrasi dari HSV-2 ke saraf
sensoris lainnya dan via autoinokulasi. Viremia terjadi pada 25% pasien dengan infeksi primer.5

Kemudian HSV-2 akan mempertahankan dirinya ke dalam periode laten di dalam


ganglion dimana aktivasi sistem kekebalan tubuh sangat terbatas. Virus tersebut kemudian akan
keluar dari neuron sensoris ke daerah genital sehingga menyebabkan terjadinya periode subklinis
ataupun berkembang menjadi lesi herpes genital. Sistem imun penderita, terutama limfosit
CD8+, sangat penting dalam proses terbentuknya lesi genital. 5 Terbentuknya lesi pada genital

9
(simtomatik) menunjukkan adanya viral shedding, yaitu saat dimana virus menjadi aktif dan
keluar dari ganglion saraf menuju ke permukaan kulit dan menimbulkan lesi. Sebuah penelitian
di Amerika meneliti tentang besarnya angka viral shedding yang diukur dengan quantitive real-
time fluorescence polymerase chain reaction untuk HSV DNA dari swab genital, pada herpes
genitalis yang simtomatik dan asimtomatik. Hasilnya, pada herpes genitalis simtomatik lebih
sering ditemukan viral shedding daripada yang asimtomatik.6

Gejala Klinis

Primary Genital Herpes Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya
bilateral. Umumnya dapat ditemukan vaginal discharge. Urethral discharge umum ditemukan
pada laki-laki, biasanya disertai dengan disuria berat. Lesi kutaneus muncul setelah 7-15 hari
berupa papul, menjadi vesikel, menjadi pustul, menjadi ulkus, lalu menjadi krusta.3

Lesi pada mukosa atau permukaan yang lembab (misalnya introitus vagina, labia minor,
uretra, rektum) mengalami ulserasi lebih awal, sering disertai dengan nyeri yang berat dan tidak
berubah menjadi krusta. Nyeri dan bengkak pada daerah inguinal juga sering ditemukan,
biasanya bilateral. Infeksi yang didapatkan melalui seks secara anal dapat dirasakan nyeri pada
rektum, keluar cairan, tenesmus, dan beberapa gejala dari proctitis. Demam, malaise, nyeri
kepala juga sering ada, dan kadang-kadang fotofobia dan kaku pada leher.3

Penatalaksanaan

Primary Genital Herpes, Penatalaksanaan umum untuk herpes genitalis adalah


membersihkan area yang bersangkutan (terdapat lesi) dengan normal saline, pemberian analgesik
(sistemik maupun lokal, seperti lidokain gel), dan perawatan infeksi sekunder oleh bakteri.
Selain itu juga diberikan terapi antiviral spesifik misalnya asiklovir yang terbukti efektif dalam
mengobati infeksi virus serta ketersediaannya dalam bentuk generik. Obat lainnya, seperti
valaciclovir dan famciclovir, digunakan dalam dosis yang lebih jarang daripada asiklovir, namun
harganya lebih mahal. Penelitian menunjukkan ketiga obat tersebut dalam menurunkan berat dan
durasi dari gejala klinis akibat infeksi virus. Biasanya lama pemberian obat-obatan antivirus
adalah lima hari, namun BASHH guidelines merekomendasikan pengobatan harus tetap

10
dilanjutkan lebih dari lima hari jika lesi yang baru masih terus terbentuk, jika gejala dan tanda
berat, atau jika pasien mengidap HIV atau jika terdapat penyakit komplikasi lainnya. Guideline
tersebut juga menyatakan bahwa kombinasi obat oral dan topikal tidak menunjukkan
keuntungan.11 Obat antiviral sistemik intravena hanya diberikan jika pasien memiliki kesulitan
menelan atau tidak dapat mentoleransi obat-obatan karena muntah.

Rekomendasi terapi oral untuk infeksi herpes genitalis primer (diberikan selama 10-14
hari) adalah sebagai berikut12:

 Aciclovir 200 mg lima kali sehari, atau


 Aciclovir 400 mg tiga kali sehari, atau
 Famciclovir 250 mg tiga kali sehari, atau
 Valaciclovir 500 mg dua kali sehari.

Komplikasi

Infeksi HSV-2 selain dapat menyebabkan penyakit herpes genitalis, juga dapat
menyebabkan komplikasi pada retina, otak, batang otak, nervus kranialis, medulla spinalis, dan
nerve roots. Secara umum, infeksi HSV-2 dapat menyebabkan meningitis. Manifestasi kelainan
neurologis akibat infeksi HSV-2 antara lain herpes simpleks ensefalitis pada neonatus,
meningitis aspetik akut pada dewasa, meningitis aseptik rekuren, ensefalitis dan
meningonesefalitis HSV-2 pada dewasa, radikulopati HSV-2, serta nekrosis retina akut. Sacral
radiculopathy dapat ditunjukkan dengan adanya gejala hyperesthesia pada saat terjadi infeksi
herpes simpleks primer. Amitriptilin dapat menjadi pilihan untuk terapi infeksi ini jika terapi
antiviral sistemik tidak adekuat atau tidak efektif.9

Sesuai dengan rekomendasi European guideline for the management of Genital Herpes
pada tahun 2010, jika herpes genitalis disertai dengan komplikasi penyakit lainnya, maka waktu
pengobatan dapat diperpanjang lebih dari lima hari.12

Pencegahan

Kunci dari penanganan orang yang terinfeksi HSV-2 adalah dengan melakukan konseling
mengenai pencegahan penularan penyakit tersebut. Menghindari kontak seksual dengan

11
pasangan terutama selama masih ada lesi pada daerah genital dan saat terjadi gejala prodormal,
serta penggunaan kondom, ternyata telah terbukti dapat menurunkan angka penularan infeksi
HSV-2, meskipun tidak menghilangkan sama sekali. Ditambah dengan pemberian Valacyclovir
500 mg setiap hari pada penderita awal dapat mengurangi angka penularan hingga 50%.
Pengembangan vaksin untuk HSV adalah pendekatan terbaik untuk pencegahan infeksi ini.

Pasangan yang sudah menikah lebih baik dilakukan pemeriksaan juga pada pasangan
pasien untuk mencegah adanya infeksi pada pasangan tersebut juga.

Prognosis

Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa
penyakit berlangsung lebih singkat dan menghindari adanya sakit berulang. Pemeriksaan pada
pasangan pasien juga dapat mencegah penyebaran tak terkendali dari pasien. Pada orang dengan
gangguan imunitas misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial,
pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah, menyebabkan
infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih baik seiring
dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.

Kesimpulan

Virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) adalah penyebab herpes genitalis yang umum,
namun selain di daerah genital, virus ini juga dapat bereplikasi di semua jaringan pada tubuh
manusia, dan terkadang dapat menyebabkan keratitis, hepatitis, pneumonitis, meningitis dan
sepsis neonatal. Seroprevalensi dari herpes genitalis masih tinggi di seluruh dunia, di Amerika
sebesar 17%. Pada pasien yang simtomatik dan asimtomatik, infeksi tidak selalu ditandai dengan
adanya keluhan maupun lesi di daerah genital, hal tersebut menyebabkan penularan dan
inflamasi yang persisten.

HSV-2 masih menjadi patogen yang dapat menyebar luas ke banyak populasi dan
biasanya menyebabkan infeksi berat pada neonatus dan pasien dengan sistem imun yang rendah.
Yang sekarang menjadi sorotan adalah pengembangan obat-obatan antivirus yang dapat menekan
rekurensi, viral shedding, penularan secara seksual, penularan pada neonatus; serta
pengembangan vaksin terhadap HSV.

12
Daftar Pustaka

1. Handoko RP. Herpes Simpleks. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2010. P.380-2.
2. Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York: McGraw-Hill; 2008. P.1873-85
3. Handsfield HH. Color Atlas & Synopsis of Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New
York: McGraw-Hill; 2011. P.109-31.
4. Melancon JM. Herpes Simplex. In: Arndt KA, Hsu JTS, Alam M, Bhatia A, Chilukuri S.
Manual of Dermatologic Therapeutics. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2014. P.150-9.
5. Schiffer JT, Corey L. New Concept in Understanding Genital Herpes. Curr Infect Dis
Rep 2009; 11(6): 457-64.
6. Tronstein E, Johnston C, Huang ML, Selke S, Magaret A, Warren T, et al. Genital
Shedding of Herpes Simplex Virus Among Symptomatic and Asymptomatic Persons
with HSV-2 Infection. JAMA 2011; 305(14): 1441-9.
7. Legoff J, Pere H, Belec L. Diagnosis of Genital Herpes Simplex Virus Infection in the
Clinical Laboratory. Virology Journal 2014; 11: 1-17. doi:10.1186/1743-422X-11-83.
8. Berger JR, Houff S. Neurological Complications of Herpes Simplex Virus Type 2
Infection. Arch Neurol 2008; 65(5): 596-600.
9. Ooi C, Zawar V. Hyperaesthesia Following Genital Herpes: A Case Report. Dermatology
Research and Practice 2011. doi:10.1155/2011/903595.
10. Bauer ME, Townsend CA, Doster RS, Fortney KR, Zwicki BW, Katz BP, et al. A
Fibrinogen-Binding Lipoprotein Contributes to the Virulance of Haemophilus ducreyi in
Humans. J Infect Dis 2009; 199(5): 684-92.
11. Sen P, Barton SE. Genital Herpes and It’s Management. BMJ 2007; 334: 1048-52. doi:
10.1136/bmj.39189.504306.55.

13
12. Patel R, Alderson S, Geretti A, Nilsen A, Foley E, Lautenschlager S, et al. European
Guideline for the Management of Genital Herpes. Int J STD AIDS 2011; 22(1): 1-10. doi:
10.1258/ijsa.2010.010278.

14

Anda mungkin juga menyukai