Anda di halaman 1dari 12

ETIKA BERKOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh : Armiah

ABSTRACT
Human being actively carries out a process of communication with
others, universe, and the Creator. With regard to human
communication, man requires rules which they create and subject to
them so that communication process becomes meaningful and
ethical. Ethical guide in communication shoud be used in attempt to
create a harmonic communication. Harmony in this sense refers to a
mutual under-standing and interplay between communicator and
communicant. If one ignores the value of this com-munication, there
will emerge a gap of communication which can result in tension,
conflict and disharmony between human beings. This is because the
direction of communication is human-made and, therefore, relative.
Accordingly, human requires a perfect guide when communicating
with others. Author, in this paper, offers alternatives of
communication ethics which is in accord with Islamic perspective.
Key words:communication ethics, Islamic perspective, harmony.

A. Pendahuluan

We cant not communicate.! Kita tidak dapat tidak untuk


berkomunikasi! Pernyataan ini menjadi ungkapan khas ahli
komunikasi dalam memberikan dalil yang bersifat umum pada manusia.
Komunikasi merupakan bagian inhe-ren dalam kehidupan manusia.
Lewat komunikasi manusia bisa mengenal manusia lainnya, bertukar
pikiran, berso sialisasi dan sebagainya. Para ahli komunikasi merumus
kan aspek tujuan dan fungsi komunikasi bagi manusia. Di antaranya
pendapat Gordon I. Zimmerman et al (Mulyana, 2001:4), yang
merumuskan tujuan berkomunikasi menjadi dua kategori yakni
berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi
kebutuhannya dan menik mati hidup. Kedua, berkomunikasi untuk
menciptakan
dan
memupuk
hubungan
dengan
orang
lain.
Berkomunikasi diartikan sebagai fungsi isi yang melibatkan pertukaran
informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi
hubungan dengan orang lain.
Sementara Rudolph F. Verderber memiliki pendapat bahwa
berkomunikasi dimaksudkan sebagai fungsi social yakni untuk
Armiah, Dosen Tetap Fakultas Dakwah IAIN Antasari, Dosen Pasca Uniska dan Fisip Unlam, juga
menjabat Sekretaris Jurusan Teknik Informatika (TI). Pemegang mata kuliah Ilmu Komunikasi.
Magister Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

kesenangan, menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan


memelihara hubungan. Selain itu, berkomunikasi dimaksudkan sebagai
fungsi pengambil an keputusan yang mengarah pada sisi emosional,
rasional dan praktis. Misalkan pengambilan keputusan mengenai pilihan
perguruan tinggi yang akan dijalani semasa kuliah. Tentunya, proses
komunikasi ini sangat rasional dan me-merlukan konsultasi dengan
orang lain. Untuk itulah diper lukan mekanisme komunikasi dengan
orang lain.
Sedangkan William I. Golden (Mulyana, 2005:4) me-nyatakan ada
empat fungsi komunikasi, yakni komunikasi sosial, komunikasi
ekspresif, komunikasi ritual dan komu nikasi instrumental. Komunikasi
sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting guna membangun
konsep diri manusia, kelangsungan hidup, memperoleh kebaha giaan,
terhindar dari tekanan dan ketegangan, menghibur dan memupuk
hubungan dengan orang lain.
Sementara itu yang disebut komunikasi ekspresif dimaksudkan
untuk mempengaruhi orang lain lewat pe-nyampaian perasaan-perasaan
tertentu secara verbal dan non verbal. Komunikasi ritual lebih pada
aspek hubungan manusia dengan penciptanya, yang dilakukan secara
kolek tif lewat penyampaian perasaan yang mendalam. Komuni kasi
instrumental berhubungan dengan penyampaian infor masi, pengajaran,
perubahan sikap, keyakinan dan peri laku.
Tujuan dan fungsi komunikasi di atas, tentunya sangat kompleks
karena melibatkan seluruh sisi kehidupan manusia. Persoalannya
adalah bagaimana manusia berko munikasi dengan standar nilai
manusia yang beradab, tidak bertentangan dengan manusia lainnya
bahkan tujuan berkomunikasi adalah mencegah dan menciptakan kehar
monisan sesama manusia.
Standarisasi ini mutlak dilakukan, karena persoalan komunikasi
bukan hanya berakhir dengan kesuksesan. Namun sebaliknya bisa pula
bermuara pada munculnya masalah baru akibat kesalahan manusia
ketika melancar kan jurus-jurus komunikasinya yang versi buatannya
sendiri. Temuan kesalahan ketika berkomunikasi ini dapat ditemui pada
konteks komunikasi perseorangan, kelompok, publik, massa, organisasi,
sosial, budaya, politik, dan seba gainya.
Melalui komunikasi antar pribadi (perseorangan) mi-salnya di
kendaraan umum, anda duduk berdampingan dengan orang yang belum
anda kenal. Melalui komunikasi anda dan orang tadi melakukan tukar
menukar informasi mengenai data diri anda. Tentunya tidak semua
biodata anda paparkan secara detil. Pertimbangan yang mendasari nya
salah satunya adalah batasan pilihan memberikan in-formasi yang
terkait erat dengan penilaian anda terhadap orang tersebut. Begitu pula
dengan komunikasi salesmen yang datang ke rumah anda dengan

maksud menawarkan barang, namun anda menolak secara halus agar


tidak ter jadi transaksi jual beli barang.
Dalam konteks yang lebih luas, misalkan komuni kasi publik, erat
kaitannya dengan pelaksanaan dakwah, yang dilakukan penceramah
kepada jamaahnya. Dalam menyampaikan pesan agama, pendakwah
dibatasi oleh se jumlah aturan main yang jelas. Misalkan menyampaikan
pesan agama dengan benar, tidak mengandung kebohong an, rekayasa
negatif, tidak menyudutkan satu pihak dan sebagainya.
Dalam komunikasi organisasi, pimpinan menjadi pa nutan para
bawahannya. Ketika para bawahannya datang mengeluhkan gaji yang
dibawah standar hidup, tentunya pimpinan menjadi orang nomor satu
yang perduli akan nasib karyawannya. Meskipun kondisi perusahaan
bukan dalam kondisi sukses, namun setidaknya ada upaya pen dekatan
persuasif yang dilakukan perusahaan agar gejolak ketidakpuasan
bawahan semakin mereda. Cara menyam paikan pesan yang sesuai
dengan kondisi bawahan lah yang mutlak dikedepankan.
Kasus kerusuhan-kerusuhan atau musibah-musibah yang terjadi
di berbagai belahan propinsi di Indonesia, me-nurut hemat penulis juga
disebabkan ketidaksimpatian pemerintah dalam mengkomunikasikan
pesan pembangun annya. Pemerintah (dalam hal ini komunikator
sebuah ne-gara) belum menguasai pengolahan pesan yang bisa mere
dakan emosi rakyat dan diterima masyarakatnya.
Pembahasan etika ketika peserta berkomunikasi menjadi salah
satu sorotan human communication yang menyoroti nilai atau etika yang
dianut seseorang atau komunitas tertentu karena setiap pribadi atau
komunitas memiliki nilai yang diyakininya. Johannesen (1996:11)
menyatakan komunikasi yang etis bukan hanya serang kaian keputusan
yang cermat dan reflektif, melainkan penerapan-penerapan kaidah etika
secara berhati-hati, ka-dang-kadang tidak mungkin dilakukan.
B. Pentingnya Etika Berkomunikasi
Etika secara etimologi berasal dari bahasa latin ethi cus (adat
kebiasaan atau sikap cara berfikir). Etika dide finisikan sebagai ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan, tidak terlepas dari nilai baik dan
buruk atau salah dan benar. Etika sebagai kumpulan nilai yang dapat
mengatur individu berdasarkan asas baik dan buruk. Batasan menge
nai baik dan buruk dimaksudkan sebagai salah satu baro meter atau
standardisasi penilaian (norma) yang dijadikan alat oleh masya rakat
untuk mengukur standar berperi laku.
Secara aksiologi etika sangat bermanfaat untuk men jawab dan
mengatasi berbagai persoalan agar manusia mampu menjadi pribadi
yang lebih baik. Dengan kata lain, etika dipandang sebagai usaha
manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirannya dapat

berperilaku baik dalam hidupnya. Etika menimbulkan norma atau


aturan terhadap perbuatan seseorang dalam wujud perbuatan itu boleh
atau tidak boleh seperti perbuatan KKN, kolusi, korupsi dan nepotisme.
Etika bersifat absolute prinsipil sehingga menjadi suatu keharusan yang
tidak bisa ditawar lagi untuk diterapkan, terlebih dalam masyarakat
Indonesia yang pluralis.
Kaitannya etika dengan komunikasi bermuara pada tujuan akhir
komunikasi itu sendiri, yakni bertujuan agar komunikasi berhasil
dengan baik (komunikatif). Seperti yang dikatakan Wilbur Schramm
sebagai the condition of success in communication (kondisi suksesnya
komunikasi) dan terjalinnya hubungan yang harmonis antara komuni
kator dan komunikan dalam (Robins, 1982: 67). Dalam konteks
komunikasi, aksiologi etika ini bisa kita kaitkan dengan bagaimana
pesan yang berasal dari hasil ideasi yang telah diproses oleh peserta
komunikasi dalam benak nya itu ketika ditransmisikan kepada peserta
lainnya. Jadi, ketika peserta komunikasi akan mentransmisikan pesan
yang sedang disusun, ia harus mempertimbangkan nilai kebenarannya
(logika), nilai kebaikannya (etika) dan nilai keindahannya (estetika).
Pentingnya pemahaman akan nilai (etika) karena melekat pada
keterpautan antara sejumlah manusia yang terikat sebagai konsekuensi
dari hubungan sosial. Hubu-ngan sosial tersebut mensyaratkan adanya
proses komuni kasi
yang mengandung nilai-nilai tertentu, baik
diungkap kan secara eksplisit maupun implicit. Eksplisit-implisit ini,
terkait dengan pelaku komunikasinya dalam mengamati berlangsungnya
komunikasi (Onong, 2000:373).
Etika dalam penerapan omunikasi antar persona ini secara
khusus dikaji oleh John Condon . Ada sejumlah isu etika yang khas,
yang muncul dalam suasana komunikasi antarpersona, yakni
keterusterangan,
keharmonisan
sosial,
ketepatan,
kecurangan
konsistensi kata dan tindakan, menjaga kepercayaan, dan menghalangi
komunikasi (Johan nesen, 1996: 148). Hal ini mengisyaratkan
implementasi eti ka ketika berkomunikasi merupakan salah satu konsekuensi dari terciptanya hubungan social yang dilakukan peserta
komunikasi.
Masing-masing
peserta
komunikasi
menjalankan
komunikasi dengan atau tanpa efek tertentu, tetapi pasti memunculkan
nilai tertentu. Misalkan komuni kasi yang berlangsung antara dua orang
yang memberi salam ketika bertemu di jalan. Dalam proses komunikasi
yang singkat itu terdapat suatu nilai tertentu. Hal ini akan tampak pada
gaya komunikator dalam menyampa dan saat si komunikan menyambut
sapaan tersebut. Jika salam itu ditunjukkan oleh komunikator sambil
berhenti berjalan, kemudian diucapkan dengan kata-kata yang lemah
lembut disertai wajah yang cerah bahkan dihiasi dengan senyuman yang

tulus, maka nilainya akan berbeda jika salam tersebut disampaikan


sebaliknya.
Kajian etika manakala orang berkomunikasi amat penting,
terutama dalam hubungannya dengan lambang atau simbol yang
digunakan setiap peserta dalam menyam paikan pesannya. Misalkan
penggunaan lambang atau simbol yang diekspresikan calon pemimpin
baik tingkat daerah maupun nasional mengandung makna khusus dari
nilai-nilai yang ingin disampaikannya. Kandidat Gubernur misalnya,
menggunakan simbol atau lambang bernuansa agama seperti sorban,
baju koko menjadi salah satu ciri pesan tersebut berkonotasi ganda oleh
para pemilihnya. Begitu pula dalam penyampaian pesan di media massa
(surat kabar, majalah, televisi, dan radio), menyangkut aspek objektivitas
pemberitaan media. Para pakar komu nikasi sering menyanggah adanya
berita yang objektif. Mereka menyatakan yang ada ialah berita yang
objektif subjektif, karena setiap berita yang disusun tidak mungkin
bebas dari sifat subjektif sang wartawan yang meliputnya (Onong,
2000:375).
Dalam penerapannya pada keseharian masyarakat, pengertian
dan makna nilai ini sangat bervariasi, ter gantung pada konteks dari
komunikasi itu sendiri. Nilai etika dalam berkomunikasi menjadi
penting, manakala peserta komunikasi menyepakati nilai kebaikan
dalam proses komunikasi itu untuk tujuan kebaikan.
C. Pendekatan Etika Berkomunikasi secara Islami dalam Konteks
Dakwah
Islam sebagai suatu agama sarat dengan berbagai ajaran yang
melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Islam tidak hanya
berbicara tentang hal-hal yang ber dimensi ukhrawi, namun juga
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan urusan keduniawian.
Oleh karena itu, dalam keseharian kita mengenal konsep ekonomi Islam,
konsep politik Islam, termasuk konsep komunikasi yang Islami.
Kompleksitas ajaran Islam seperti itulah yang membuat Islam dikenal
sebagai Rahmatanlilalamin. Seba gai agama yang menjadi rahmat bagi
seluruh alam, tentunya konsep-konsep Islam tentang berbagai hal dapat
diterima sebagai ajaran yang universal.
Islam sebagai agama dakwah. Oleh karena itu dalam ajaran dan
tradisi Islam sarat akan nuansa-nuansa komu nikasi. Al-Quran sendiri
yang diyakini sebagai kitab suci umat Islam merupakan wahyu (pesan
komunikasi) yang vertikal dari Allah Swt kepada umat-Nya. Demikian
juga dengan Hadits yang merupakan pesan-pesan yang me-ngelaborasi
lebih rinci tentang ajaran-ajaran Al-Quran. Bahkan ayat Al-Quran yang
pertama kali turun menga jarkan bagaimana pentingnya berkomunikasi
(iqra atau membaca).

Etika komunikasi Islam sangat mementingkan komit men moral


atau akhlak yang tinggi seperti yang diajarkan Al-Quran dan Hadits
Nabi Muhammad Saw. Keterbukaan dan kejujuran adalah ciri khas
komunikasi yang Islami. Al-Quran bersifat pesan (firman) Allah Swt
yang bersifat im-peratif kepada manusia. Demikian juga Hadits Nabi
merupa kan kumpulan pesan (sabda) Rasulullah Saw tentang ber bagai
kehidupan, dalam menjabarkan berbagai pesan Allah Swt dalam AlQuran. Etika komunikasi Islam antara lain tergambar dalam Hadits
Nabi yang berbunyi: katakanlah apa yang benar sekalipun pahit.
Rambu-rambu etikanya adalah tergambar dalam Surat Al-Nahl ayat 92:
Ajaklah (mereka) ke jalan Tuhannya dengan hikmah kebijaksanaan dan
dengan informasi yang baik dan berdiskusilah dengan mereka dengan
cara yang lebih baik.
Sebagai agama dakwah tentunya Islam menganjur kan umatnya
untuk mempelajari komunikasi, karena di dalam aktivitas dakwah
terkandung berbagai unsur yang berdimensi komunikasi, seperti
mubaliq atau subjek dak wah (komunikator), materi dakwah (pesan),
metode dakwah (strategi komunikasi), media dakwah, objek dakwah
(komu nikan), dan lain-lain. Semua unsur dakwah diatas memiliki etika
dan petunjuk operasional tersendiri, yang sekaligus bisa dikategorikan
sebagai etika berkomunikasi secara Is-lami.
Muis (2001: 66) mendefinisikan komunikasi Islami adalah proses
penyampaian pesan antara manusia yang didasarkan pada ajaran Islam.
Pengertian ini menunjukkan bahwa komunikasi Islami adalah cara
berkomunikasi yang bersifat islami (minimal tidak bertentangan dengan
ajaran Islam). Penulis akan memaparkan etika komunikasi terse but
dengan unsur-unsur komunikasi yang terkait dengan nya.
Komunikator dalam perspektif Etika Islam
Komunikator (penyampai pesan) merupakan unsur yang sangat
penting dalam memberikan kontribusi keber hasilan suatu komunikasi.
Islam juga memposisikan komu nikator sebagai pilar utama bagi
kontinyuitas dan eksis tensi ajaran Islam di muka bumi. Oleh karena itu
agama Islam mempunyai konsep etik tersendiri yang berkaitan dengan
komunikator. Aristoteles pernah menyebutkan tiga cara persuasive yang
efektif yaitu ethos, logos dan pathos. Jalaluddin Rakhmat (dalam Jurnal
Audentia, 1993:41) men jelaskan ketiga strategi persuasive tersebut
dalam perspek tif Islam. Ethos dalam pandangan Islam merujuk kepada
kualitas komunikator. Komunikator yang jujur, dapat diper caya,
memiliki pengetahuan yang tinggi, akan sangat mem pengaruhi
khalayak. Dengan logos seorang komunikator meyakinkan orang lain
tentang
kebenaran
argumentasinya.
Komunikator
mengajak
komunikannya berpikir, mengguna kan akal sehat, membimbing sikap

kritis dengan menun jukkan bahwa yang diajarkan tersebut memang benar karena secara rasional argumentasi kita harus dapat dite rima.
Pathos juga dapat digunakan oleh seorang komu nikator untuk
membujuk khalayak agar mengikuti panda patnya, dengan cara
menggetarkan emosi mereka, menyen tuh kehidupan dan keinginannya,
serta meredakan kege lisahan dan kecemasannya.
Islam telah menujukkan bagaimana pentingnya as-pek ethos bagi
seorang komunikator dakwah. Bahkan dalam surat Al-Alaq (khususnya
ayat pertama yang turun) menyerukan Nabi untuk membacakan
kebenaran dengan menegaskan kredibilitas Sang Pencipta, Sang
Pemelihara Yang Maha Mulia yang mengajarkan dengan pena, yang
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Aspek ethos pada
Nabi Muhammad Saw, juga sangat terkenal. Muhammad (termasuk
sebelum beliau diangkat menjadi Nabi) telah dikenal sebagai sosok yang
jujur, bijak dan cerdas. Beliau telah dikagumi oleh karena
keputusannya. Fathanah (memiliki kecerdasan dan pengetahuan di atas
orang pada umumnya) merupakan sifat yang wajib bagi para Rasul.
Fathanah menurut Rakhmat (1993:42) meru pakan sifat yang terpancar
dari kemahatahuan Allah Swt. Ethos juga dalam pandangan Islam
penting bagi daI mus lim (komunikator dakwah), karena mereka adalah
penerus risalah Rasul. Komunikasi yang dilakukan oleh daI bisa efektif
apabila dia menyerap sinar kemahamuliaan dan ke-mahatahuan Allah
Swt dalam dirinya.
Dalam teori komunikasi modern, sifat mulia itu disebut
trustworthiness; dan sifat tahu disebut expertness. Berbagai pene litian
membuktikan bahwa seseorang cen derung mengikuti pendapat atau
keyakinan orang yang dianggapnya jujur (terpercaya) dan memiliki
keahlian. Orang berakhlak rendah, yang tidak memiliki integritas
pribadi, sulit untuk menjadi komunikator yang berpenga ruh. Hal yang
sama juga dialami oleh orang-orang yang jahil, yang kurang memiliki
gairah ilmu, yang pengeta huannya lebih bawah dari rata-rata orang
banyak, akan mengalami kesulitan dalam mengarahkan atau merubah
perilaku orang lain.
Pada aspek logos juga agama Islam telah mengajar kan bagaimana
pentingnya rasionalitas seorang komunika tor. Alquran sendiri banyak
menyebut kata-kata yang menganjurkan umatnya untuk berpikir,
merenung, tafakur, dan lainnya terutama pada ayat-ayat Allah yang
secara langsung membimbing manusia menggunakan akalnya. Hal ini
bisa dibuktikan dalam surat Al-Naml ayat 60-64. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Keti ka berdebat dan berdiskusi
dengan para sahabatnya atau bahkan dengan musuhnya sekalipun.
Nabi selalu mengede pankan penyataan-pernyataan yang rasional.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah An-Nuur ayat 15-19.

Ayat di atas, memberikan panduan bagaimana dan sejauhmana


komunikator dan jurnalis mengumpulkan dan menyebarkan informasi.
Ayat lain dalam Al-Humazah ayat 1, Allah Swt berfirman:

Artinya : Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela.


(QS.Al-Humazah : 1).
Ayat tersebut menandaskan, mengutuk kejahatan mengumpat dengan
kata-kata, sindiran, peniruan, peri laku, sarkasme, atau hinaan) dan
membicarakan kebu rukan orang lain meskipun hal itu benar dan
dilakukan komunikator. Informasi yang buruk, yang tidak berdasar kan
pengetahuan yang pasti, tidak boleh disebarluaskan, apalagi bila
informasi tersebut mencemarkan karakter, nama baik, dan kehormatan
seseorang, terutama orang-orang saleh. Quran menganggap semua jenis
skandal itu sebagai kejahatan, meskipun praktik tersebut lazim dilaku
kan media secular melalui berita, artikel, hiburan dan iklan. Namun,
Quran memperingatkan bahwa setiap piker an dan perbuatan itu akan
dimintai pertanggung jawaban. Sebagai suatu unsur karakter manusia,
kebenaran tidak dapat dicapai dan diterapkan dalam komunikasi massa
tanpa individu dan organisasi mempunyai tanggung jawab. Berita atau
artikel sensasional yang mengandung dusta jelas tidak dibenarkan oleh
Islam. Sebuah hadist berikut, yang berlaku dalam komunikasi
interpersonal, berlaku juga dalam komunikasi massa: Barangsiapa yang
tidak meninggalkan dusta dan perbuatan jahat dan ber bicara dengan
kata-kata buruk kepada orang lain, maka Allah tidak membutuhkan
puasanya (Hadist Riwayat Bukhari).

Pesan dan Metode Komunikasi dalam Perspektif Etika Islam


Pada dasarnya semua materi (pesan) komunikasi Islam harus
berdasarkan pada petunjuk dari Alquran dan Hadits. Islam mengajarkan
agar pesan yang disampaikan harus dapat menjunjung tinggi semangat
kebenaran, sekali pun hal tersebut dirasakan sebagai suatu kepahitan
bagi yang menerimanya. Isi pesan selain berdimensi infor matif, juga
harus mengandung unsur pendidikan, religius dan aspek-aspek yang
bermanfaat lainnya. Hal ini ditekankan oleh Allah dalam firman-Nya:
Ajaklah (mereka) ke jalan Tuhannya dengan hikmah kebijaksanaan dan
dengan infor masi yang baik dan berdiskusilah dengan mereka dengan
cara yang lebih baik. (QS:Al-Nahl :92)
Ayat di atas juga menekankan pentingnya aspek me-todologis
dalam suatu dakwah (komunikasi) Islam. Materi yang baik dan benar
apabila disampaikan dengan cara (me tode) yang tidak tepat, maka tidak

akan dapat mencapai sasaran. Firman Allah di atas menganjurkan agar


pesan komunikasi Islam harus disampaikan dengan cara yang bijaksana
yaitu dengan memperhatikan kondisi audiens. Menurut ilmu komunikasi
bahwa efektifitas komunikasi terwujud apabila terjadi persamaan makna
di antara pela ku komunikasi. Apa yang dimaksud oleh komunikator
sama dengan apa yang dipahami oleh komunikan. Komu nikasi yang
efektif menurut Tubbs dan Moss (2 001:22) apabila rangsangan yang
disampaikan dan yang dimaksud kan oleh pengirim atau sumber,
berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh
penerima.
Islam juga mengajarkan agar metode komunikasi yang digunakan
harus disesuaikan dengan tingkat kemam puan yang ada dalam diri
komunikator. Barang siapa yang melihat suatu kemungkaran, maka
hendaklah dicegah de-ngan tangannya (kekuatan), apabila tidak mampu
maka lakukanlah dengan lisannya (komunikasi verbal), dan apa bila
tidak mampu juga maka cukup dengan hatinya (doa). Hadits. Hadits di
atas juga memiliki makna filosofis yang lain, di mana di dalamnya
tersirat semangat agresifitas.
Etika Islam tentang komunikan dan Media
Pemikiran dan praktek etika dalam masyarakat Is-lam dewasa ini,
khususnya yang berhubungan dengan komunikasi, perilaku media
massa, opini publik, dan inter aksi sosial, biasanya didasarkan pada dua
dimensi yang berbeda, yakni (1) etika normative religius seperti yang
dijelaskan dalam sumber utama ajaran Islam yaitu Al-quran dan Hadits
Nabi Muhammad Saw, (2) etika normatif sekuler yang bersumber mulai
dari tradisi populer plato nisme Yunani hingga tradisi Persia.
Islam lewat ajarannya telah menganjurkan kepada umatnya
(komunikan) agar memiliki daya selektif dan kritis terhadap setiap pesan
yang diterimanya. Allah Swt berfir man: Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang kepa damu seorang fasik membawa berita, maka periksa
dan telitilah berita itu. Potongan ayat di atas juga bisa di-aplikasikan
dalam konteks komunikasi massa. Terpaan media massa yang akhirakhir ini begitu kuat, dengan beragam ideologi dan nilai yang
ditawarkan, membutuhkan daya kritis dan seleksi dari publik harus
lebih kuat. Jadi jauh hari sebelum orang mengenal ilmu komunikasi
seba gaimana sekarang ini, dan sebelum masyarakat menge tahui yang
namanya media massa (elektronik dan cetak), ternyata Islam sudah lebih
awal mengajarkan strategi yang tepat bagi khalayak untuk menghadapi
media massa.
Pemaparan etika berkomunikasi secara Islami, yang penulis
terapkan dalam unsur komunikator, komunikan, media dan metode
komunikasi, menegaskan keberhasilan komunikasi secara total

mensyarakan peneraoan etika yang benar ketika menjalankan proses


komunikasi dalam ting katan dan konteks komunikasi apapun.
Konteks komunikasi ini dimaksudkan sebagai setting lokasi ketika
orang melaksanakan komunikasi. Panduan moralnya mengarahkan
peserta berkomunikasi dalam per spektif dan cara pandang Islam. Hal
ini dilatarbelakangi pemikiran, bahwa dalam perspektif Islam,
komunikasi me rupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan manusia. Pasalnya, segala gerak langkah manusia selalu
disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah
komunikasi yang islami, yaitu komunikasi ber akhlak al-karimah atau
beretika. Komunikasi yang berakh lak al-karimah berarti komunikasi
yang bersumber kepada Alquran dan hadis (sunah Nabi).
Di dalam hadis Nabi juga, ditemukan prinsip-prinsip etika
komunikasi, bagaiman Rasulullah saw mengajarkan berkomunikasi
kepada umatnya. Misalnya, pertama, qulil haqqa walaukana murran
(katakanlah apa yang benar walaupun pahit rasanya) (hadis). Kedua,
falyakul khairan au liyasmut (katakanlah bila benar kalau tidak bisa
diam lah). Ketiga, laa takul qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum
berpikir terlebih dahulu). Keempat, Nabi mengan jurkan berbicara yang
baik-baik saja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya,
Sebutkanlah apa-apa yang baik mengenai sahabatmu yang tidak hadir
dalam pertemuan, terutama hal-hal yang kamu sukai terhadap
sahabatmu itu sebagaimana sahabatmu menyampaikan ke baikan
dirimu pada saat kamu tidak hadir. Kelima, selan jutnya Nabi saw
berpesan, Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orangyaitu
mereka yang menjungkirkan-balikkan fakta (data) dengan lidahnya
seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya.
Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa da-lam
berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang dilihat, didengar,
dan dialami umatnya. Prinsip-prinsip eti ka dalam berkomunikasi
tersebut menjadi formula yang tepat bahkan sebagai landasan moral
berperilaku yang uta ma bagi setiap muslim. Panduan berperilaku
dalam komu nikasi ini dapat diterapkan manakala setiap muslim mela
kukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari,
berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya.
D. Penutup
Banyak persoalan antar manusia yang disebabkan oleh masalah
komunikasi. Namun komunikasi itu sendiri bukanlah obat mujarab
untuk menyelesaikan persoalan atau konflik itu. Paling tidak ketika
melakukan komunikasi atau saat komunikasi berlangsung, peserta
komunikasi memiliki rambu-rambu berkomunikasi (dalam hal ini etika
berkomunikasi) yang disepakati, dipakai bersama-sama, sehingga

mutual understanding dalam berkomunikasi ter cipta dengan sendirinya.


Panduan berkomunikasi ini dapat pula diterapkan dalam konteks
komunikasi dakwah. Arti nya, pesan-pesan yang bernuansa keagamaan
menjadi lengkap dipaparkan manakala prosedur penyampaiannya juga
dikemukakan lewat koridor yang Islami.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad, Amrullah, (Editor), 1983. Dakwah dan Perubahan Sosial.
Yogyakarta:Prima Duta
Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu, Filsafat, dan Aga ma. Surabaya:
Bina Ilmu.
Astrid. S. Susanto. Phil. 1992. Filsafat Komunikas. Ban dung: Binacipta.
Effendy, Onong Uchjana. 2001. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogya karta: Jendela.
Hoesin, Amin Oemar.1964. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Johannesen.
1996.
Etika
Bandung:Rosdakarya.

Komunikasi,

Sebuah

Pengantar.

Jurnal Komunikasi, Audientia, Volume 1 nomor 1 Januari-Maret 1993,


Bandung.
Liliweri, Alo, 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Maslina, 2005. Konsep Etika Komunikasi Islam Menurut Jalaluddin


Rakhmat (Efektifitas Etika dalam Dak wah). Banjarmasin: Antasari
Press.
Miller, Katherine.2001. Communication Theories: Persfec tives, Processes,
and Contexts.. Texas A&M Univer sity, USA.
Muis, A. 2000. Komunikasi Islami, Bandung: Rosdakarya.
Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat, 2003. Komuni kasi Antar
Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya
Winangsih Syam, Nina. 2002. Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Persfektif
Pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradig ma komunikasi
Pembangunan Dalam Era Globalisasi. Bandung: UNPAD.
Syamsuddin, M.Din, 2002. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat
Madani. Jakarta:Logos Wacana Ilmu

Anda mungkin juga menyukai