Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ZUHUD
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah :

TASAWUF
Dosen pengampu :
Dr. H. Anis Humaidi, M.Ag

Di susun oleh :

Rif’atul Muna (20201188)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri


2021
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam ajaran tasawuf, seseorang yang ingin mencapai mencapai ma'rifat pada Allah
harus melalui tangga atau station, yang dalam istilah tasawuf dikenal dengan maqomat.
Zuhud dalam ajaran tasawuf merupakan salah satu dari tangga (maqomat). Banyak station
yang harus dilalui antara lain adalah Taubat, wara', zuhud, fakir, sabar, syukur, tawakkal dan
ridho. Salah satu dari jumlah tangga atau station ini yang paling banyak dibicarakan dan
menimbulkan banyak pendapat pro dan kontra adalah zuhud.
Perbedaan pendapat ini berawal dari praktek-praktek zuhud yang dilakukan oleh para
tokoh-tokoh sufi yang dinilai oleh sebagian orang tidak memiliki landasan normatif yang kuat
dalam ajaran Islam. Ada sebagian tokoh sufi dianggap telah menyimpang dan membawa
dampak negatif bagi kemajuan peradaban. Tokoh-tokoh sufi yang menulis dan mengajarkan
konsep zuhud seperti Imam Ghazali, Syech Abdul Qodir Jailani, Imam Qusyairi dan tokoh-
tokoh sufi lainnya telah dianggap oleh sebagian orang sebagai pemicu dan penyebab
kemunduran umat Islam. Terlepas dari benar atau salah tentang masalah praktek zuhud ini.
Konsep zuhud klasik yang menafikan kehidupan dunia dan cenderung anti dunia serta
pasif dalam menghadapi hidup, secara konsepsi bertentangan dengan ajaran tentang ibadah.
Ibadah tidaklah terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi manusia dengan
manusia, masyarakat dan lingkungannya, semuanya adalah satu kesatuan antara Tuhan dan
ciptaannya yang terangkum dalam konsep ibadah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Zuhud
Secara etimologis, kata zahada berarti raqab ‘an shay’ wâ tarakahu, artinya
tidak tertarik pada sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fî al-dunyâ, berarti
mengosongkan diri dari dunia.1 Orang yang melakukan zuhd disebut zâhid,
zuhhâd, atau zâhidun, zâhidah. Bentuk pluralnya zuhdan, yang artinya kecil atau
sedikit.2 Adapun arti zuhud secara terminologi harus dilihat dari berbagai definisi
yang diungkapkan oleh para sufi. Dalam pandangan kaum sufi, dunia dan segala
isinya merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat
menjauhkannya dari Tuhan.3 Karena hasrat, keinginan, dan nafsu seseorang sangat
berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan
kehidupan, sehingga memalingkannya dari Tuhan.
Oleh karena itu maka seorang sufi dituntut untuk terlebih dahulu memalingkan
seluruh aktifitasnya baik jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi.
Dengan demikian segala apa yang dilakukannya dalam kehidupan tidak lain
hanyalah dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan. Perilaku inilah yang dalam
terminologi sufi disebut zuhud.4 Meskipun banyak pengertian yang diberikan oleh
tokoh sufi tentang zuhud, tapi ungkapan para sufi mengarah pada arti deskriptif di
atas. Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan maqâm yang sangat menentukan
kelanjutan ibadah seorang sufi. Sehingga hampir seluruh ahli tasawuf meletakkan
zuhud dalam setiap konsep tasawufnya,5 hanya saja dengan konsep yang berbeda.
Junayd al-Baghdadî menyatakan bahwa zuhud adalah kekosongan hati dari
pencarian.6 Sufyân al-Thaurî mengatakan, zuhud terhadap dunia adalah membatasi
keinginanya untuk memperoleh dunia, bukan memakan makanan yang kasar atau

1
Louis Ma‟luf al-Yassu‟i, al-Munjid fî al-Lughâh wa al-Adab (Beirut: Kâtulikîyah, t.th.), 308.
2
A. Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. al-Munawir, 1984), 626.
3
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 35.
4
A. Mun„in al-H}afnî, Must}alahât al-S}ufîyah (Beirut: Dâr al Masirah, t.th.), 121.
5
Karena setiap tokoh sufi memiliki pengalam pribadi masing-masing dalam menguraikan konsep zuhd,
maka penempatan zuhd dalam struktur maqâmât-nya berbeda-beda pula, dan diuraikan sesuai kondisi
pengalaman mereka.
6
A. Hakim Hasan, al-Tas}awuf fî Shi’r al-Arabî (Mesir: al-Anjlû al-Mis}riyah, 1954), 42.
memakai jubah yang jelek.7 Dalam kitab Mizân al-H}ikmah, sebagaimana yang
dikutib oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa zuhud adalah jika merasakan kehidupan
akhirat dan tidak terpukau dengan kehidupan dunia, seperti yang dirasakan oleh
Rasulullâh dan para Sahabat, maka para Malaikat akan turun menyertainya. Tirai
kegaiban akan disingkap, mereka akan menyalami sambil mengucapkan “Kami
akan melindunggi kalian di dunia dan akhirat” (Q.S. 41: 31).8 Sebagai makhluk
gaib yang wajib diimani keberadaannya, seringkali tidak disadari keberadaannya,
karena jiwa terlalu terbuai dengan hiruk pikuk realitas material yang ada di sekitar
manusia, sehingga tidak dapat merasakan dan keindahan yang datang dari realitas
lain yang bersifat spiritual. Lingkup manusia hanya terbatas pada sesuatu yang
dapat diamati sehingga mengabaikan sifal-sifat abstrak.9
B. Sejarah Munculnya Zuhud
Zuhud merupakan salah satu maqâm yang sangat penting dalam tasawuf. Hal
ini dapat dilihat dari pendapat ulama tas}awuf yang senantiasa mencantumkan
zuhud dalam pembahasan tentang maqâmât, meskipun dengan sistematika yang
berbeda-beda. Al-Ghazâlî menempatkan zuhud dalam sistematika: al-Tawbah, al-
Sabr, al-Faqr, al-Zuhd, al-Tawakkul, al-Mahabbah, al-Ma‘rifah, dan al-Ridâ.
Sedangkan al-Tûsî menempatkan zuhud dalam sistematika: al-Tawbah, al-Wara‘,
al-Zuhd, al-Faqr, al-Sabr, al-Rida, al-Tawakkul, dan al-Ma‘rifah.10 Sedangkan al-
Qushayrî menempatkan zuhud dalam urutan maqâm yang keenam dari empat
puluh sembilan maqâm yang dibahas, antara lain: al-Tawbah,al-Mujâhadah, al-
‘Uzlah, al-Taqwâ, al-Wara‘, dan al-Zuhd.11 Jalan yang harus dilalui seorang sufi
tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah
dari maqâm satu ke maqâm yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu
yang bukan singkat, kadang-kadang seorang calon sufi harus bertahun-tahun
tinggal dalam satu maqâm.
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhud. Pertama,
dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh
Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka

7
al-Qushayrî, al-Risâlah, 115
8
Jalaluddin Rahmat, Renungan-renungan Sufistik (Bandung: Mizan, 1997), 261.
9
al-Qushayrî, al-Risâlah, 116.
10
Abû Nahsr al-T}usi, al-Lumâ’ (Mesir: Dâr al-Kutub al-H}adîthah, 1969), 65.
11
al-Qushayrî, al-Risâlah, 115.
membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang
mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi
oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang
telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia.
Keempat, pengaruh Budha dengan faham Nirwana-nya bahwa untuk mencapainya
orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima,
pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan
mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan
Brahman.12
Sementara itu Abû al-‘alâ al-‘Afîfî mencatat empat pendapat para peneliti
tentang faktor atau asal-usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh
India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani.
Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda
kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam.
Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga:
Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-
Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara‘, taqwâ,
dan zuhd.13 Kedua, reaksi ruhaniah kaum Muslimin terhadap sistem sosial politik
dan ekonomi di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar
keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konsekuensi–konsekuensi
tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak
dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang
saudara antara
Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah yang bermula dari al-fitnah al-kubrâ
yang menimpa khalîfah ketiga Usman bin Affan (35 H/655 M). Dengan adanya
fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak
ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu
terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam
pertikaian tersebut.14 Ketiga, reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam, sebab keduanya
tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut Al-Taftazani,

12
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, 56-57.
13
Abû al-Alâ al-Afifî, dalam kata pengantar edisi bahasa Arab buku Nicholson, Fî alTas}awuf al-Islâm wa
Tarîkhihî (Kairo: Lajnah al-Ta‟lif wâ al-Tarjamah wâ al-Nashr, 1969), 123.
14
Ibrâhîm Madhkûr, Fî al-Falsafah al-Islâmîyah: Manhâj wa Tat}bîq, Vol. 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.),68
pendapat Afîfî yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan
bukan reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan
dalam Islam, seperti ilmu fiqh dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah
praktik zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis
timbul setelah lahirnya Mu„tazilah kalamîyah pada permulaan abad keduaHijriyah,
lebih akhir lagi ilmu fiqh, yakni setelah tampilnya Imam-Imam mazhab, sementara
zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas di dunia Islam.15
C. TINGKATAN ZUHUD DAN CIRI-CIRINYA
Dalam ajaran tasawuf, Para tokoh sufi membagi tingkatan zuhud menjadi tiga
tingkatan. Tingkatan pertama adalah tahap pra zuhud. Pada tahap ini seseorang
hatinya masih cenderung kepada kelezatan dunia kemudian berusaha memerangi
dan menghentikan segala hawa nafsunya terhadap semua keinginan terhadap
dunia. Dan ini merupakan pangkal awal memasuki kezuhudan untuk menapak
kepada derajat zuhud selanjutnya. Seseorang harus melatih dan memposisikan
dirinya dalam ketaatan, dan melakukan berbagai macam riyadhoh (latihan-latihan)
dan bersabar terhadap semua godaaan dan bisikan hati untuk tertarik pada dunia.
Pada tahap ini seseorang harus mermbiasakan dirinya untuk memandang rendah
dan hina terhadap semua kenikmatan dan kelezatan dunia (Abdullah Al Haddad,
tth: 165).
Tingkatan kedua, yaitu sesorang yang sudah berada pada tingkatan zuhud
dimana hatinya tidak tertarik lagi kepada kelezatan dunia, tetapi hatinya masih
merasa takjub dengan kezuhudannya. Tidak tertarik kepada dunia karena ingin
mendapat kelezatan dan kenikmatan yang lebih besar di akhirat. Berzuhud yang
seperti ini menurut kaum sufi bukan merupakan tujuan zuhud yang sesungguhnya,
dan dianggap masih memiliki kekurangan (Yahya ibn Hamzah, 1991 :442).
Tingkatan ketiga, yaitu berzuhud dengan sukarela dan zuhud dalam
kezuhudannya. Ia bahkan sama sekali tidak memandang kezuhudannya. Karena di
dalam dirinya tidak melihat bahwa ia telah meninggalkan sesuatu yang berharga,
sebab ia tahu bahwa dunia bukanlah sesuatu yang berharga. Ia seperti orang yang
meninggalkan tembikar untuk mengambil permata atau mutiara (Ahmad Farid,
1997: 66-77). Ia tidak memandang itu sebagai hasil kompensasi, tidak pula

15
al-Taftâzânî, Madkhâl, 58 dan 250, lihat juga, Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), 5-6.
memandang bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu yang berharga. Sungguh,
bila disandingkan dengan Allah SWT dan kenikmatan akhirat, dunia lebih tidak
berharga dan lebih buruk daripada tembikar disandingkan dengan mutiara dan
permata. Inilah yang sempurna dalam kezuhudan. Inilah puncak
zuhud yang hakiki. Dan zahid yang seperti ini aman dari bahaya keberpalingan
pada dunia (Yahya ibn Hamzah, 1990: 442-443). Hatinya tertuju penuh dan hanya
fokus kepada Allah SWT semata. Ini merupakan kezuhudan para pencinta yang
arif (al-muhibbin al-arifin). Sebab, hanya orang yang mengenal-Nya-lah yang akan
mencintai-Nya secara khusus.
Selanjutnya para tokoh sufi memberikan ciri-ciri khusus terhadap seseorang
yang telah sampai kepada maqam zuhud. Kadang-kadang ada pendapat (bukan dari
pendapat kaum sufi) mengatakan bahwa semua orang yang meninggalkan harta
adalah seorang zuhud. Tentu saja pendapat ini bukan merupakan ajaran murni
tasawuf. Menurut kaum sufi, meninggalkan harta dan menampakkan kemelaratan
itu sangat mudah dilakukan bagi siapa saja yang ingin dianggap zuhud. Banyak
orang yang makan sedikit, dan hidup sederhana atau bahkan miskin lalu tekun
beribadah. Dan mereka mendapatkan pujian dan predikat sebagai orang yang
zuhud. Kemudian mereka merasa sangat senang dipuji. Hal
yang demikian ini bukanlah yang dimaksud dengan zuhud. Secara lahiriyah
mereka bisa dikatakan zuhud, namun secara bathiniyah merupakan kebohongan,
karena hatinya menyimpan sum'ah, riya’ dan ‘ujub. Zuhud lahiriyah seperti ini
menurut kaum sufi adalah termasuk orang-orang yang makan dunia dengan agama,
mereka tidak secara sungguh-sungguh menyucikan batinnya (Imam al-Ghazali,
1990: 439-440)
Ada tiga ciri seseorang dapat dikatakan telah melakukan zuhud. Pertama,
Seseorang tersebut tidak merasa gembira terhadap sesuatu yang ada dimilikinya.
Seperti harta, kekuasaan, dan lain sebagainya. Dan tidak pula merasa sedih jika
sesuatu itu tidak dimilikinya (Imam al-Ghazali, 1990: 358). Sebagaimana firman
Allah SWT: di dalam Alquran : “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang
luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu”. Kedua, seseorang tidak merasa resah apabila dihina dan tidak
berbangga hati apabila dipuji. Baginya mendapatkan pujian atau hinaan sama saja.
Orang yang benar-benar zuhud tidak akan merasa gembira dengan apa yang ada
dan juga tidak merasa sedih dengan apa yang tidak ada dalam materi duniawi.
Mereka bersungguh-sungguh memantapkan hatinya dengan sikap zuhud dan
berpaling dari hal-hal yang membuatnya melanggar ketaatan kepada Allah SWT.
Mereka tidak sibuk mencari dan tidak larut akan kesenangan dunia. Ketamakan
seseorang terhadap harta akan menyebabkan agamanya binasa. Sedangkan
ketamakan seseorang terhadap pangkat akan menyebabkan agama dan hartanya
binasa (Abdullah bin Alwi, 1993: 16). Keduanya (pangkat dan harta) menunjukkan
keserakahan terhadap dunia, karena cinta harta merupakan pangkal dari cinta
kesenangan duniawi, serta cinta pangkat merupakan pangkal dari gila akan
kehormatan. Dan cinta kehormatan ini lebih berbahaya daripada cinta harta. Habib
Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan: " Jangan kau cari pangkat wahai orang
yang bersih hatinya. Karena ia begitu menggoda, namun di dalam nya terdapat
racun yang tak kau ketahui" (1989: 210). Kemudian ketiga, hatinya hanya semata-
mata tertanam rasa takut, rindu dan cinta kepada Allah SWT (Yahya ibn Hamzah,
1991: 440-441)
D. ZUHUD SEBAGAI AKHLAK
Dalam menguraikan konsep zuhud sebagai akhlaq al-Qushayrî menulis sebuah
ayat al-Qur‟ân surah al-H}ashr ayat 9 yang berbunyi:

‫َويُ ْؤ ِث ُر ْو َن عَ ٓ ىٰل َانْ ُف ِسه ِْم َولَ ْو ََك َن ِبِ ِ ْم خ ََص َاصة‬
“Mereka mengutamakan (orang-orang Muhâjirîn) atas diri mereka sendiri,
meskipun mereka sangat butuh (apa yang mereka berikan).”44

Ayat ini menyiratkan bahwa orang yang mempunyai jiwa zuhud tidak akan merasa
kehilangan walaupun harus menafkahkan hartanya yang tersisa untuk orang lain,
dan mengutamakan kepentingan orang lain adalah utama. Ia tidak diperbudak oleh
harta dan tidak terikat padanya. Hal inilah yang diisyaratkan oleh al-Qushayrî
dengan mengatakan hendaknya bagi seorang hamba jangan memilih meninggalkan
barang yang halal karena terpaksa, jangan memilih hal yang tidak bermanfaat, dan
hendaknya selalu memperhatikan pembagian rezekinya. Apabila Allâh
memberikan rezeki yang halal, hendaknya dia bersyukur, apabila Allâh
memberikan rezeki yang cukup, maka jangan memaksakan diri mencari harta yang
tidak bermanfaat dengan menghalalkan bermacam cara, oleh karena itu sabar lebih
baik untuk orang fakir, sedangkann sukur lebih relevan untuk orang yang
mempunyai harta yang halal.16
Ayat di atas sarat dengan kehidupan sosial dan gotong royong dan lebih
menekankan pada keberlangsungan hidup yang penuh dengan relasi-relasi sosial
dan kepentingan masyarakat secara umum, karena pada dasarnya arti zuhud dalam
hal ini adalah lebih memperhatikan keseimbangan dan keserasian dalam menjalani
kehidupan, dan manusia akan selalu saling membutuhkan agar tercipta
kehidupan yang dinamis dan harmonis. Konsep ini mengajak manusia untuk
menatap masa depan bahwa hanya dengan saling melengkapi dan membantu
sesamanya keberlangsungan hidup akan terus berjalan.

16
al-Qushayrî, al-Risâlah, 118
BAB III
PENUTUP

A. Kesmpulan
zuhud dalam ajaran tasawuf sebagaimana diajarkan dan dipraktekkan oleh para
tokoh sufi adalah bersumber dari ajaran Islam. Praktek kehidupan zuhud sebagai
maqomat dalam sistem ajaran tasawuf merupakan warisan dari potret kehidupan
Rasulullah dan para sahabatnya. Seseorang yang ingin mencapai derajat dan ma'rifat
pada Allah harus lebih mencintai akhirat dari pada kenikmatan dunia. Tanda seseorang
yang memiliki sikap zuhud adalah menjadikan dunia sebagai sarana untuk meraih
akhirat, bukan untuk dinimakti dan dicintai. Semakin tinggi tingkat kelapangan jiwa
untuk melepaskan rasa kepemilikan dunia, maka semakin tinggi pula derajatnya di sisi
Allah. Dalam kehidupan yang serba materialistis sekarang ini sikap zuhud sangat
dibutuhkan, karena dengan sikap ini akan mendidik seseorang untuk tidak berambisi
untuk mengejar urusan dunia secara berlebihan. Kepemilikan seseorang secara
berlebihan terhadap urusan dunia akan berakibat fatal bagi kehidupan akhirat, padahal
kehidupan akhirat merupakan tujuan abadi bagi setiap muslim.

B. Refleksi Diri
zuhud berarti tidak berhasrat pada hal-hal yang dibolehkan meskipun mampu
mendapatkannya. Kalau seseorang memang tidak mampu memperoleh sesuatu mubah
yang diinginkannya, maka itu tidak dikategorikan sebagai zuhud. Demikian pula,
kerahiban (rahbaniyah) tidak termasuk zuhud karena penundukan nafsu diri sendiri
yang dilakukan seseorang tidak memberikan manfaat bagi umat. Bahkan, rahbaniyah
dilarang oleh Islam.Seorang Muslim yang berwatak zuhud akan selalu mendahulukan
kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Ia rela hidup sederhana, tidak silau
oleh kemewahan duniawi. Dengan demikian, seorang Muslim harus terus berikhtiar
dengan seluruh daya dan potensi yang ada di jalan yang baik. Namun, jangan pernah
melupakan bahwa fokus utamanya adalah demi meraih ridho Illahi. Dari pengertian di
atas bahwa menurut saya sendiri, saya masih belum bisa menerapkan tingkatan zuhud
ini dalam kehidupan saya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

’Afifi (al), Abû al-Alâ. dalam “pengantar” edisi bahasa Arab buku
Nicholson, Fî al-Tasawuf al-Islam wa Tarikhihi. Kairo: Lajnah al-
Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nashr,1969.
‘Ali, Muhammad b.. al-Ta’rifat. Kairo: Dâr al-Thaqafah, 1983.
Fudholi, M. (2011). KONSEP ZUHUD AL-QUSHAYRÎ DALAM RISÂLAH AL-
QUSHAYRÎYAH. Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol.1.

Hafiun, M. (2017). Zuhud Dalam Ajaran Tasawuf. Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah
Islam, Vol. 14.

Anda mungkin juga menyukai