Dosen Pengampu :
Romli Usman, M.Pdi
Disusun Oleh :
Choirunnisyah Alvrida 1654400021
Fitria Wanda Sari 1614400037
Kelompok / Kelas : 10(Sepuluh) / 16 Perpustakaan A
1
Bahkan kelemahan mereka akhirnya menyeret pada kenistaan, menjadi peminta dan pengemis
dengan mengenakan baju yang penuh tambalan di sana-sini. Lebih jelasnya lihat Annemarie
Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj.Sapardi Djoko Damono dkk. (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003), h. 15-17.
2
Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta: Fajar Pustaka,
2000), h. 7.
Yang dimaksud dengan kepentingan ini adalah tolak ukurnya bersifat
materi atau ekonomi.3Karena kehidupan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh
kepentingan yang bersifat materi atau ekonomi, maka tampak sekali kehidupan ini
diwarnai oleh aspek materi dan mengesampingkan kehidupan rohani atau
kehidupan spiritual. Kebanyakan orang yang lebih mengedepankan duniawi yang
bersifat jasmaniah, akibatnya berlomba mengejar materi dan kemewahan hidup,
namun lupa akan hakekat dan tujuan hidupnya yang hakiki, yakni pendekatan diri
kepada Tuhan.
Oleh sebab itu, maka tasawuf yang sesungguhnya adalah keseimbangan
antara jasmani dan rohani, lahiriyah dan batihiyah, material dan spiritual. Islam
mengajak kepada pemenuhan kebutuhan hidup, baik material maupun spiritual,
kemajuan dimensi spiritual hanya bisa dicapai melalui hidup yang soleh di
tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari
kehidupan di dunia4
6
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, cet. III (Bandung: Mizan, 1993), h. 112.
7
Dikutip dari Ibrahim, Tasawuf, Ibid.
realitas dan kebahagiaan rohani.8 Tegasnya, tasawuf adalah ajaran moral. Dan
tasawuf sebagai fitrah manusia untuk menyempurnakan kediriannya tertuang
dalam pengertian Mahmud Abu al-Faidh al-Manuni, baginya tasawuf adalah fitrah
manusia untuk ma'rifat dan menyempurnakan diri dengan cara mukasyafah atau
ilmu yaqin yang muncul melalui pengilhaman Tuhan, penalaran, riyadah, atau
bukti-bukti lainnya.9
Demikianlah beberapa sufi di atas yang secara sepintas tampak adanya
perbedaan pendapat dalam memberikan pengertian tentang tasawuf, walaupun
pada hakikatnya adalah mengarah ke satu titik yakni mencapai derajat sedekat-
dekatnya kepada Allah. Dalam hal ini, Zaki Ibrahim menjelaskan tentang hakikat
sufi ibarat sebuah taman indah yang di dalamnya terdapat banyak pohon. Setiap
sufi tersebut berteduh di bawah masing-masing pohon di dalam taman itu,
kemudian masing-masing sufi memberikan gambaran sifat pohon yang menjadi
tempat berteduhnya.10 Dalam konteks itu, secara esensi keragaman pengertian di
atas bersifat saling melengkapi dan dengan jelas tidak ada kontroversi antara satu
pendapat dengan lainnya.
Selain yang tersebut di atas, Ibrahim Basyuni, sarjana muslim
berkebangsaan Mesir, telah memberikan pengertian tentang tasawuf (setelah
mengemukakan 40 definisi tasawuf termasuk beberapa definisi yang telah
dipaparkan di atas) dengan mengkategorikannya pada tiga hal: Pertama, kategori
al-bidayah, yaitu pengertian yang mencerminkan tasawuf pada tingkat permulaan.
Kategori ini sebagaimana yang dikemukakan al-Karkhi di atas, menekankan
kecenderungan jiwa yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam fitrah inilah
manusia berbeda dengan binatang.
Kedua, kategori al-mujahadah, yakni pengertian yang membatasi tasawuf
pada pengamalan yang didasarkan atas kesungguhan. Pengertian semacam ini,
muncul dalam definisi-definisi yang diberikan oleh Amin al-Kurdi, Abu Yazid al-
Bustami, dan Sammun, yang cenderung menonjolkan akhlak dan amal dalam
8
Lebih lanjut lihat Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad
Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h. 1 & 10.
9
Mahmud Abu al-Faidh al-Manuni, al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami (t.tp: tp, tt.), h. 9.
10
Ibrahim, Tasawuf, h. 7.
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, seorang sufi dituntut bersungguh-
sungguh dan berjuang keras dengan mencurahkan segenap tenaga yang ada dalam
menempuh jalan sufi. Hal itu terjadi karena dalam dirinya telah muncul kesadaran
akan adanya jarak rohani antara makhluk dengan Dzat Yang Maha Mutlak. Dalam
hal ini seorang sufi berusaha semaksimal mungkin untuk menghiasi dirinya
dengan akhlaq yang tepuji (khair). Pada fase ini disebut dengan tahap perjuangan
dalam bertasawuf.
Ketiga, kategori al-mazaqah, yaitu pengertian yang cenderung membatasi
tasawuf dengan pengalaman spiritual dan perasaan keberagamaan, terutama dalam
mendekati Dzat Yang Maha Mutlak. Tatkala seorang sufi telah berhasil
melampaui dua fase sebelumnya (al-bidayah dan al-mujahadah), maka dia
mampu berada sedekat mungkin dengan-Nya, yang pada gilirannya akan
merasakan kelezatan spiritual yang didambakan. Pengertian seperti ini dapat
dijumpai pada definisi yang diungkapkan oleh Junaid al-Baghdadi dan Ibnu Jala',
yang cenderung memposisikan tasawuf sebagai pengalaman batin atau
pengetahuan esoteris.11
Berdasarkan keragaman pengertian tasawuf di atas, maka dapat dipahami
bahwa lapangan kerja tasawuf adalah aspek spiritual Islam atau aspek esoteris
yang ada di dalam ajaran Islam. Oleh karenanya kadang-kadang oleh sebagian
pengamat, para sufi tersebut dikatakan sebagai ahl al-bawatin (kaum kebatinan),
dengan alasan bahwa mereka berorientasi berat ke arah paham keagamaan yang
lebih mengutamakan usaha menangkap "makna dalam" (batin atau spirit) dari
suatu teks ajaran agama. Sementara lawan dari aspek esoteris adalah aspek
eksoteris (lahiriah). Adapun yang menangani aspek eksoteris ini adalah ilmu fiqih,
yakni ilmu yang tekanan orientasinya sangat eksoterik, sehingga ilmu fiqih itu
lebih dikenal dengan ilmu yang membidangi hal-hal yang bersifat lahiriah, yakni
mengenai segi-segi formal peribadatan dan hukum.
11
Yunasril Ali, Tasawuf Dalam Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam, Jil. 4 (Jakarta: Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 2002), h. 140.
dalam ilmu tasawuf inilah manusia dapat menemukan ajaran yang mendalami
aspek esensi dari sebuah tuntunan agama dan teks-teks suci. Sebagai akibatnya,
ilmu tasawuf menuntut pemahaman yang lebih luas dan mendalam, tidak sekedar
formal ritualnya saja. Dalam rangka itulah, maka menurut pandangan tasawuf,
tazkiyah al-nafss (pembersihan jiwa) bagi seorang hamba adalah sangat penting
untuk mengawali segala macam bentuk ibadah, baik yang terkait dengan habl min
Allah maupun habl min al-nas.
Hal ini karena jika jiwa seseorang sudah bersih dari berbagai penyakit
yang mengotorinya, tentu dari dalam "diri manusia" itu akan terpancar sebuah
sikap sempurna, baik ketika berhubungan dengan Allah swt maupun ketika
bersosialisasi dengan sesama manusia.Sedangkan asal kata tasawuf itu sendiri,
belum ada kesepakatan di antara ulama' dalam mengidentifikasinya. Sebagian
besar ahli tasawuf berpendapat bahwa sufi dan tasawuf berasal dari kata-kata yang
dikaitkan dengan arti suci, antara lain dari kata-kata: Shafa berarti suci, istilah ini
mengindikasikan bahwa seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi
merupakan orang-orang yang berusaha untuk menyucikan dirinya melalui
ketekunan dalam beribadah kepada Allah swt, seperti shalat dengan khusu',
membaca al-Qur'an dengan disertai perenungan atas makna yang dikandung,
selalu berbuat kebajikan, dan lain sebagainya.
Kata berikutnya adalah Ahl Shuffah, yaitu para sahabat yang ikut hijrah
bersama Rasulullah saw ke Madinah dengan meninggalkan seluruh kekayaannya
di Makkah. Mereka ini hidup sebagai orang miskin di Madinah, tinggal di serambi
masjid Nabi saw dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana (Suffaah)
sebagai bantal. Ahl Shuffah, walaupun tidak memiliki harta sediki-pun tapi mereka
berhati baik dan mulia, tidak mau meminta-minta karena memang tidak
mementingkan kehidupan duniawi.
Sejarah Tasawuf Dan Perkembangannya Di Indonesia
12
Nasution, Filsafat, h. 58-59. Bandingkan dengan Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. Kenyataan ini
dibantah oleh Abuddin Nata dengan asumsi adanya kesamaan dari masing-masing ajaran. Lihat
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 185-190.
yaitu Kristen dan India (Budha). Ia juga berpendapat bahwa kehidupan zuhud
telah dipengaruhi oleh Kristen yang ada sebelum kedatangan Islam tepatnya di
gurun pasir Syiria dan Sinai.13
Kedua, berasal dari pengaruh filsafat mistik Phytagoras yang memiliki
faham roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing.
Sedangkan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang
sebenarnya berada di alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam
samawi itulah, maka manusia harus membersihkan roh dengan cara meninggalkan
kehidupan materi dan dilanjutkan dengan berkontemplasi.14
Budaya Yunani ini secara nyata masuk ke dalam dunia Islam semenjak
terjadinya penerjemahan besar-besaran yang dilakukan pada masa Bani
Abbasiyah. Para penerjemah tidak hanya berasal dari kalangan muslim tapi juga
non muslim. Dari penerjemahan ini, banyak buku-buku filsafat yang ditelaah oleh
orang-orang Islam. Dalam perkembangannya, bacaan tersebut mempengaruhi
orang-orang Islam khususnya di bidang Filsafat termasuk Tasawuf Falsafi dengan
tokoh-tokohnya, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi dan
sebagainya. Salah satu contoh yang dianggap mempengaruhi tasawuf adalah
pemikiran sebagian sufi dari unsur Yunani adalah filsafat mistik Phytagoras.
Filsafat ini berpandangan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia
ini sebagai orang asing. Jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh
hakiki dialami pada alam samawi. Agar mencapai tujuan tersebut, manusia harus
meninggalkan hidup materi seperti zuhud kemudian melakukan kontemplasi.15
Menurut Taftazani sebagaimana dikutip oleh Sahri, bahawa para ilmuwan
orientalis yang menyatakan hal seperti di atas sangat banyak dan salah satunya
adalah O’leary. Para ilmuwan orientalis hanya menyatakan bahwa pengaruh
Yunani terhadap tasawuf terjadi pada satu model tasawuf saja, yaitu tasawuf
ketuhanan (theosophical mysticism) yang muncul pada kurun ke 3 H di yangan
Dzunnun al-Misri (w. 245 H). Sekalipun filsafat Yunani secara umum atau
neoplatonisme secara khusus mempengaruhi tasawuf, namun hal tersebut tidak
13
Sahri, Studi Ilmu Tasawuf (Cet. 5; Ciputat: Sentra Media, 2011), h. 24.
14
Nasution, Filsafat, h. 58-59. Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10.
15
Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 26.
sepenuhnya tasawuf dapat dikembalikan secara utuh pada sumber Yunani. Sebab
sufi-sufi tertama tidak memperhatikan filsafat Yunani, seperti ulama kalam atau
filosof sendiri. Bahkan disebutkan pula bahwa sebagian sufi tidak menerima
filsafat sebagai meanstream ketasawufan.16
Ketiga, berasal dari pengaruh filsafat emanasi Plotinus yang berfahamkan
bahwa segala yang wujud ini memancar dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa. Roh
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, tetapi dengan masuknya ke
alam materi (jasad), maka roh menjadi kotor. Oleh karenanya, agar dapat kembali
ke tempatasalnya (Tuhan), roh terlebih dahulu harus dibersihkan atau disucikan.
Penyucian roh itu dengan cara meninggalkan kehidupan yang bersifat duniawi dan
mendekatkan diri secara maksimal terhadap Tuhannya, bahkan kalau bisa bersatu
dengan-Nya.
Keempat, berasal dari ajaran Budha dengan faham nirwananya. Menurut
faham ini, untuk mencapai nirwana manusia harus meninggalkan kehidupan
duniawi dan memasuki hidup kontemplasi. Faham ini hampir serupa dengan
faham fana' yang ada dalam sufisme. Kelima, berasal dari ajaran Hinduisme yang
juga mendorong manusia untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan
mendekatkan diri kepada Tuhan supaya mencapai persatuan dengan Atman dan
Brahman.17
Di antara ilmuwan yang berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh
unsur Hindu dan Budha atau India adalah Horton dan Hartmann. Horton yang
menganalisis pemikiran al-Hallaj, al-Busthami dan Junaid mengatakan bahwa
tasawuf pada kurun ke-3H dipengaruh dengan pemikiran-pemikiran India seperti
yang tampak pada tasawuf al-Hallaj. Dan ia juga mengatakan bahwa tasawuf tak
lain merupakan aliran Vedanta dari India. Sementara Hartmann mengatakan
bahwa sumber tasawuf adalah India dengan alasan: 1) mayoritas sufi bukan orang
Arab, 2) tasawuf muncul pertama kali di Khurasan, 3) Turkistan adalah pusat
persinggungan banyak agama dan setelah penduduknya memeluk Islam, mereka
16
Ibid., h. 27.
17
Nasution, Filsafat, h. 58-59. Bandingkan dengan Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. kenyataan ini
dibantah oleh Abuddin Nata asumsi adanya kesamaan dari masing-masing ajaran. Lihat Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 185-190.
mewarnainya dengan tasawuf klasik, 4) orang Islam sendiri mengakui keberadaan
India, dan 5) zuhud Islam ber-menstrem-kan India. Ridha (kerelaan) adalah asli
pemikiran India seperti juga khalwat (menyepi) dan bertasbih juga merupakan
adat India. Namun pendapat ini terbantahkan dengan pendapat Nicholson
bahwasanya keserupaan antara aliran A dan aliran B tidak lantas menandakan
bahwa salah satu di antara keduanya mengambil lainnya. Intinya pengaruh-
pengaruh India tidak muncul pada diri sufi-sufi falsafi Islam kecuali pada kurun
ke 7, yaitu setelah tasawuf Islam telah sempurna pondasi-pondasinya pada abad
keenam sebelumnya18
Sedang yang keenam, berasal dari agama Islam sendiri. Dalam al-Qur'an,
Nabi Muhammad saw digambarkan sebagai ummi, seorang Nabi yang buta huruf
dan bodoh. Disebutkan bahwa Allah swt menyatakan diri-Nya lewat kata dalam
al-Qur'an bahwa Nabi Muhammad saw meskipun sebagai ummi harus menjadi
wahana yang tidak terkotori oleh pengetahuan intelektual, kata dan tulisan agar
bisa menyebarkan sabda Allah swt semurni-murninya19 tanpa tereduksi dan
rekayasa.
Demikianlah beberapa faham atau ajaran yang menurut teorinya memiliki
pengaruh cukup kuat dalam mendorong munculnya ajaran tasawuf di dalam
agama Islam. Akan tetapi, tentu saja faham-faham di atas dibantah oleh kalangan
cendekiawan muslim, sebab argumen yang mereka kemukakan sangat sulit untuk
dibuktikan. Dengan argumentasi bahwa tanpa pengaruh dari faham lain pun
ajarantasawuf tetap akan muncul berdasarkan teks-teks suci yang terdapat di
dalam agama Islam itu sendiri.
Memang secara tersurat, kata sufi, tasawuf, atau sufiyyah tidak ada di
dalam al-Qur'an maupun sunnah. Akan tetapi satu hal yang perlu dipahami, tidak
setiap nama atau istilah yang tidak terdapat di dalam kedua sumber hukum Islam
tersebut akan menjadi haram untuk digunakan, atau bahkan dapat dikatakan
sebagai hukum murni dari ajaran Islam. Sementara jika kita cermati secara
mendalam, walaupun kalimat tasawuf tidak terdapat di dalam al-Qur'an, namun
18
Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 26.
19
Schimmel, Dimensi, h. 31. Bandingkan dengan Abd al-Hafiz Farghali Ali al-Qarni, al-Tasawwuf
wa al-Hajah al-'Asriyah (Kairo: al-Hai'ah al-'Ammah al-Syu'un al-Tabi' al-Amirah, 1984), h. 45.
pada hakikatnya materi-materi yang diajarkan dalam tasawuf ada dalam al-Qur'an
dan sunnah, sebagaimana halnya juga dialami oleh disiplin-disiplin ilmu
keislaman yang lain, dimana penamaannya justru muncul pada masa
belakangan.20
Dengan begitu, maka dapat disimpulkan bahwa kata tasawuf secara
tekstual tidak termaktub dalam Al-Qur'an maupun sunah, namun di dalam
keduanya sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi
bimbingan yang mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah
barang tentu ilmu tasawuf memiliki dasar-dasar normatif yang jelas di dalam Al-
Qur'an ataupun hadis.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang mendorong umat manusia untuk
bersikap sufi, seperti ayat yang memerintahkan agar manusia selalu menyucikan
jiwanya (QS. Al-Shams [91] : 9; al-A'la [87] : 14; 'Abasa [80] : 3 & 7),
memandang rendah kehidupan duniawi dan menjelaskan bahwa kehidupan akhirat
jauh lebih baik (QS. al-An'am [6] : 32 & 70; al-ankabut [29] : 64; Muhammad
[47] : 36; al-Duha [93] : 4). Selain itu al-Qur'an juga mendeskripsikan sifat-sifat
orang wara' dan taqwa (QS. Al-Ahzab [33] : 35), posisi mulia bagi yang
melaksanakan salat tahajjud (QS. Al-Israa' [17] : 79) dan lain sebagainya. Ajaran-
ajaran yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas merupakan esensi seorang muslim
dalam pengamalan tasawuf. Dengan demikian, kirannya tidak berlebihan jika ada
pernyataan bahwa jika seseorang tidak melaksanakan amalan-amalan tasawuf
sebagaimana yang tersebut belum dapat disebut sebagai seorang muslim sejati.
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para
sahabat r.a. bahkan tidak dikenal dizaman tiga generasi yang utama (Generasi
Sahabat Tabi’in, Dan Tabi’id Tabi’in) ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga
generasi ini.21 Oleh sebab itu, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa secara keilmuan,
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam Syariat Islam. Adapun asal usul
tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah SWT, meninggalkan
kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari makhluk. Ketika
20
Ibrahim, Tasawuf, h. 102. Mengenai hal ini, al-Taftazani mensinyalir bahwa kata tasawuf baru
dikenal seteah generasi sahabat dan tabi’in. Lebih lanjut lihat al-Taftazani, Sufi, h. 21.
21
M. Shalehin & Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 39.
kehidupan matrelialistik mulai mencuat dari kehidupan muslim pada abad ke-2
dan ke-3 Hijriyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia islam, orang-
orang yang konsentrasi ibadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya
kehidupan dunia. Dari kerangka ini muncul orang-orang yang disebut sebagai
kaum sufi.
22
M. Shalehin & Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 241-242.
Para penyebar Islam seperti Wali Songo di Jawa menggunakan media
yang komunikatif dalam dakwahnya, misalnya dengan menggunakan wayang
walaupun pada akhirnya menimbulkan efek yang sifatnya seolah-olah
melestarikan Nilai-Nilai Tradisional Pra-Islam.23
Pada abad ke-12M, peranan ulama tasawuf sangat dominan di dunia islam.
Hal ini antara lain disebabkan pengaruh pemikiran islam AL-Ghazali (wafat
111M), yang berhasil mengintegrasikan tasawuf kedalam pemikiran keagamaan
mazhab sunnah wal jamaah menyusul penerimaan tasawuf di kalangan
23
Ajid Tohir, perkembangan peradaban di kawasan dunia islam, (Jakarta: Grafindo Persada,
2004), h.290.
masyarakat menengah. Hal ini juga berlaku di Indonesia, sehingga corak tasawuf
yang berkembang di Indonesia cenderung mengikuti tasawuf yang diusung oleh
AL-Ghazali walaupun tidak menutup kemungkinan berkembang tasawuf dengan
corak warna yang lain. Wali Songo juga mengajak masyarakat untuk berzikir
mengingat Allah SWT. Dan menumbuhkan kesadaran kehambaan yang dikemas
dalam bentuk karya seni budaya setempat.
Dengan kata lain, jika tasawuf dilihat dalam perspektif budaya, maka ada
sinergitas antara nilai-nilai tasawuf yang intuitif dengan budaya asli indonesia
yang juga intuitif. Namun kedatangan islam di indonesia lebih berorientasipada
fiqih bukan pada filsuf atau para sufi yang ilmuan. Akibatnya masyarakt muslim
di indonesia, seakan kehinlangan jejak bagaimana memajukan islam di bumi
nusantara.
24
Ismail R. Farouqi, islam dan kebudayaan, (Bandung: Mizan, 1991), h, 7.
25
Mulyadhi Kartanegara, menyelami lubuk tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006) h.10-11.
b. Tasawuf dalam Perspektif Pendidikan.
26
Ibid, h. 48.
seiring dengan jatuhnya kota Baghdad di tangan tentara Mongol di tahun 1258 M
para sufilah mtoro akselerasi proses islamisasi tersebut. 27
27
Zulkifli, Neo Sufisme di Indonesia : pemikiran dan perkembangannya, (Palembang: Puslit IAIN
Raden Fatah, 1997). H. 1-2.
namun teori ini dibantah oleh teori keenam yang menyatakan bahwa tasawuf
berasal dari Islam sendiri yang ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah.
Dimulai dari kaum elite yang mempunyai kekuasaan dan kedudukan posisi
yang tinggi, dapat mengakses, menyebarkan ajaran isllam, baik ke atas maupun ke
tingkat bawahannya. Kaum elite diharapkan menjadi motivator, fasilitator, dan
dinamisator dari ajaran agama. Dengan model penyebaran agama seperti ini,
penyebaran agama islam mudah dan cepat, dan mempunyai dampak yang cukup
luas dan strategis.
PENUTUP
Kesimpulan