Anda di halaman 1dari 23

Tasawuf di Indonesia, Sejarah, Dan Tokoh-Tokohnya.

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf.

Dosen Pengampu :
Romli Usman, M.Pdi

Disusun Oleh :
Choirunnisyah Alvrida 1654400021
Fitria Wanda Sari 1614400037
Kelompok / Kelas : 10(Sepuluh) / 16 Perpustakaan A

Program Studi Ilmu Perpustakaan


Fakultas Adab Dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
2017
PENDAHULUAN

Tasawuf memiliki pengaruh sangat besar terhadap dunia Islam, karena


ajaran dan pemahamannya berdampak kepada sikap benci atau menjauhi
kehidupan duniawi dan menjadikan seseorang tidak menggunakan kesempatannya
sebagai umat manusia pada umumnya. Dengan begitu, maka manusia menjadi
lemah, tidak mampu mengorbankan dan bersedekah dengan harta, karena
kekayaan duniawi telah dibencinya.1 Apabila mereka mencari kekayaan, maka
lambang pencari kesenangan duniawi akan melekat di keningnya.
Maka tidak jarang, beberapa kalangan terlebih lagi kalangan modernis
beranggapan bahwa tasawuf adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam.
Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa tasawuf telah mengajarkan sifat-sifat
kepasifan dan kelemahan vitalitas. Ia menekankan pada kesalehan individual
sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan, sehingga melahirkan sikap apatis terhadap
keberadaan manusia di dunia ini dan mendorong orang untuk melupakan
kodratnya sebagai makhluk sosial.2
Berbeda pada abad modern ini, kehidupan banyak bertumpu pada
rasionalitas, professional, spesialis, dan tehnikal, sehingga hubungan antara fisik
material dan mental spiritual seakan terputus. Akibatnya, kehidupan
bermasyarakat berlangsung begitu keras dan penuh kompetisi, yang tidak saja
tidak sehat tetapi cenderung semakin ganas, seolah yang punya kekuatan yang
dapat bertahan hidup, sedangkan yang lainnya seakan tersingkir, karena yang
diutamakan adalah kepentingan. Dimana ada kepentingan, disitu ada daya tarik
ikatan.

1
Bahkan kelemahan mereka akhirnya menyeret pada kenistaan, menjadi peminta dan pengemis
dengan mengenakan baju yang penuh tambalan di sana-sini. Lebih jelasnya lihat Annemarie
Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj.Sapardi Djoko Damono dkk. (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003), h. 15-17.
2
Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta: Fajar Pustaka,
2000), h. 7.
Yang dimaksud dengan kepentingan ini adalah tolak ukurnya bersifat
materi atau ekonomi.3Karena kehidupan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh
kepentingan yang bersifat materi atau ekonomi, maka tampak sekali kehidupan ini
diwarnai oleh aspek materi dan mengesampingkan kehidupan rohani atau
kehidupan spiritual. Kebanyakan orang yang lebih mengedepankan duniawi yang
bersifat jasmaniah, akibatnya berlomba mengejar materi dan kemewahan hidup,
namun lupa akan hakekat dan tujuan hidupnya yang hakiki, yakni pendekatan diri
kepada Tuhan.
Oleh sebab itu, maka tasawuf yang sesungguhnya adalah keseimbangan
antara jasmani dan rohani, lahiriyah dan batihiyah, material dan spiritual. Islam
mengajak kepada pemenuhan kebutuhan hidup, baik material maupun spiritual,
kemajuan dimensi spiritual hanya bisa dicapai melalui hidup yang soleh di
tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari
kehidupan di dunia4

Pengertian dan Asal Kata Tasawuf


Ketika menelusuri berbagai literatur, akan banyak dijumpai pengertian
tasawuf yang sangat variatif dengan keragaman pencetus dan
penggagasnya5.Keragaman varian ini tentu saja bukan menunjukkan kontradiksi
antar pengertian tasawuf itu sendiri. Hal itu disebabkan tasawuf pada hakikatnya
merupakan pengalaman pribadi seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga
kecenderungan dan pengamalan spiritual individu tentu saja berbeda-beda sesuai
dengan maqam tasawufnya. Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang dalam
menjelaskan arti atau definisi tasawuf dalam konteks pemikiran pengalaman
3
Nasaruddiin Umar dalam H.M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), VII sebagaimana dikutip oleh Noorthaibah, Ajaran Tasawuf KH. Dja’far
Sabran (Samarinda: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Samarinda, 2010), h. 2.
4
Ibid., h. 2-3.
5
Bahkan mungkin kalau dihitung jumlahnya akan mencapai ratusan definisi. Nicholson mencatat
sebanyak 78 Definisi. Sementara al-Suhrawadi menyatakan bahwa definisi tasawuf jumlahnya
lebih dari seribu. Lebih lanjut lihat Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi; Menyucikan
Tasawuf Dari Noda-Noda, terj.Abdul Syakur dkk.(Jakarta: Hikmah, 2002), h. 7.
keberagamaannya berdasarkan intuisi masing-masing individu Dimana
kemunculan istilah tasawuf, dan setiap sufi pun memiliki cara yang berbeda dalam
mengekspresikan kondisi pengalaman yang dialaminya.
Beberapa pengertian atas tasawuf dapat kita simak dari beberapa gagasan
tokoh sufi berdasarkan pemahaman dan pengalamannya, antara lain yang digagas
oleh Junaid al-Baghdadi, baginya tasawuf adalah an takuna ma'a Allah bila
'alaqah, yaitu hendaknya engkau bersama-sama dengan Allah tanpa adanya relasi.
Lebih lanjut, Junaid menjelaskan bahwa tasawuf adalah mengambil segala sifat
yang mulia dan meninggalkan segala sifat yang buruk. Tasawuf tidak bisa dicapai
hanya dengan banyak berdoa dan puasa, tetapi lebih dari itu, aspek keamanan hati
dan kedermawanan jiwa dengan menjauhi segala sebab-sebab sekunder, lewat
kekuatan ruh dan pada akhirnya tinggal bersama Tuhan.6
Pengertian senada dapat dilihat dari gagasan Amin al-Kurdi bahwa
tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kebaikan dan keburukan
jiwa, bagaimana cara membersihkan sifat-sifat buruk dan menggantinya dengan
sifat-sifat terpuji, serta bagaimana jalan menuju keridaan Allah. Sementara
Sammun berpendirian bahwa tasawuf adalah an la tamlika shay'an wa la
yamlikuka shay'un, yaitu hendaknya engkau merasa tidak memiliki sesuatu dan
sesuatu itupun tidak menguasaimu.
Pengertian dengan menekankan aspek kehidupan yang hakiki datang dari
Ma'ruf al-Karkhi, baginya tasawuf adalah mengambil yang hakikat dengan
mengabaikan segala kenyataan yang ada pada selain Allah, dan barang siapa yang
mampu merealisasikan hidup miskin maka ia mampu dalam bertasawuf. Ibnu Jala'
berpandangan bahwa tasawuf adalah apa yang menjadi esensi dan tidak ada suatu
formalitas apapun baginya.7
Pengertian dengan menekankan aspek filosofis dan menjadikan moralitas
sebagai pijakannya telah dipaparkan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani,
bahwa tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku
manusia untuk merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat

6
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, cet. III (Bandung: Mizan, 1993), h. 112.
7
Dikutip dari Ibrahim, Tasawuf, Ibid.
realitas dan kebahagiaan rohani.8 Tegasnya, tasawuf adalah ajaran moral. Dan
tasawuf sebagai fitrah manusia untuk menyempurnakan kediriannya tertuang
dalam pengertian Mahmud Abu al-Faidh al-Manuni, baginya tasawuf adalah fitrah
manusia untuk ma'rifat dan menyempurnakan diri dengan cara mukasyafah atau
ilmu yaqin yang muncul melalui pengilhaman Tuhan, penalaran, riyadah, atau
bukti-bukti lainnya.9
Demikianlah beberapa sufi di atas yang secara sepintas tampak adanya
perbedaan pendapat dalam memberikan pengertian tentang tasawuf, walaupun
pada hakikatnya adalah mengarah ke satu titik yakni mencapai derajat sedekat-
dekatnya kepada Allah. Dalam hal ini, Zaki Ibrahim menjelaskan tentang hakikat
sufi ibarat sebuah taman indah yang di dalamnya terdapat banyak pohon. Setiap
sufi tersebut berteduh di bawah masing-masing pohon di dalam taman itu,
kemudian masing-masing sufi memberikan gambaran sifat pohon yang menjadi
tempat berteduhnya.10 Dalam konteks itu, secara esensi keragaman pengertian di
atas bersifat saling melengkapi dan dengan jelas tidak ada kontroversi antara satu
pendapat dengan lainnya.
Selain yang tersebut di atas, Ibrahim Basyuni, sarjana muslim
berkebangsaan Mesir, telah memberikan pengertian tentang tasawuf (setelah
mengemukakan 40 definisi tasawuf termasuk beberapa definisi yang telah
dipaparkan di atas) dengan mengkategorikannya pada tiga hal: Pertama, kategori
al-bidayah, yaitu pengertian yang mencerminkan tasawuf pada tingkat permulaan.
Kategori ini sebagaimana yang dikemukakan al-Karkhi di atas, menekankan
kecenderungan jiwa yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam fitrah inilah
manusia berbeda dengan binatang.
Kedua, kategori al-mujahadah, yakni pengertian yang membatasi tasawuf
pada pengamalan yang didasarkan atas kesungguhan. Pengertian semacam ini,
muncul dalam definisi-definisi yang diberikan oleh Amin al-Kurdi, Abu Yazid al-
Bustami, dan Sammun, yang cenderung menonjolkan akhlak dan amal dalam

8
Lebih lanjut lihat Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad
Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h. 1 & 10.
9
Mahmud Abu al-Faidh al-Manuni, al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami (t.tp: tp, tt.), h. 9.
10
Ibrahim, Tasawuf, h. 7.
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, seorang sufi dituntut bersungguh-
sungguh dan berjuang keras dengan mencurahkan segenap tenaga yang ada dalam
menempuh jalan sufi. Hal itu terjadi karena dalam dirinya telah muncul kesadaran
akan adanya jarak rohani antara makhluk dengan Dzat Yang Maha Mutlak. Dalam
hal ini seorang sufi berusaha semaksimal mungkin untuk menghiasi dirinya
dengan akhlaq yang tepuji (khair). Pada fase ini disebut dengan tahap perjuangan
dalam bertasawuf.
Ketiga, kategori al-mazaqah, yaitu pengertian yang cenderung membatasi
tasawuf dengan pengalaman spiritual dan perasaan keberagamaan, terutama dalam
mendekati Dzat Yang Maha Mutlak. Tatkala seorang sufi telah berhasil
melampaui dua fase sebelumnya (al-bidayah dan al-mujahadah), maka dia
mampu berada sedekat mungkin dengan-Nya, yang pada gilirannya akan
merasakan kelezatan spiritual yang didambakan. Pengertian seperti ini dapat
dijumpai pada definisi yang diungkapkan oleh Junaid al-Baghdadi dan Ibnu Jala',
yang cenderung memposisikan tasawuf sebagai pengalaman batin atau
pengetahuan esoteris.11
Berdasarkan keragaman pengertian tasawuf di atas, maka dapat dipahami
bahwa lapangan kerja tasawuf adalah aspek spiritual Islam atau aspek esoteris
yang ada di dalam ajaran Islam. Oleh karenanya kadang-kadang oleh sebagian
pengamat, para sufi tersebut dikatakan sebagai ahl al-bawatin (kaum kebatinan),
dengan alasan bahwa mereka berorientasi berat ke arah paham keagamaan yang
lebih mengutamakan usaha menangkap "makna dalam" (batin atau spirit) dari
suatu teks ajaran agama. Sementara lawan dari aspek esoteris adalah aspek
eksoteris (lahiriah). Adapun yang menangani aspek eksoteris ini adalah ilmu fiqih,
yakni ilmu yang tekanan orientasinya sangat eksoterik, sehingga ilmu fiqih itu
lebih dikenal dengan ilmu yang membidangi hal-hal yang bersifat lahiriah, yakni
mengenai segi-segi formal peribadatan dan hukum.

Sebagai ilmu yang sangat memperhatikan aspek-aspek esoteris, tentunya


tasawuf menempati posisi yang sangat signifikan dalam ajaran Islam. Sebab di

11
Yunasril Ali, Tasawuf Dalam Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam, Jil. 4 (Jakarta: Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 2002), h. 140.
dalam ilmu tasawuf inilah manusia dapat menemukan ajaran yang mendalami
aspek esensi dari sebuah tuntunan agama dan teks-teks suci. Sebagai akibatnya,
ilmu tasawuf menuntut pemahaman yang lebih luas dan mendalam, tidak sekedar
formal ritualnya saja. Dalam rangka itulah, maka menurut pandangan tasawuf,
tazkiyah al-nafss (pembersihan jiwa) bagi seorang hamba adalah sangat penting
untuk mengawali segala macam bentuk ibadah, baik yang terkait dengan habl min
Allah maupun habl min al-nas.

Hal ini karena jika jiwa seseorang sudah bersih dari berbagai penyakit
yang mengotorinya, tentu dari dalam "diri manusia" itu akan terpancar sebuah
sikap sempurna, baik ketika berhubungan dengan Allah swt maupun ketika
bersosialisasi dengan sesama manusia.Sedangkan asal kata tasawuf itu sendiri,
belum ada kesepakatan di antara ulama' dalam mengidentifikasinya. Sebagian
besar ahli tasawuf berpendapat bahwa sufi dan tasawuf berasal dari kata-kata yang
dikaitkan dengan arti suci, antara lain dari kata-kata: Shafa berarti suci, istilah ini
mengindikasikan bahwa seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi
merupakan orang-orang yang berusaha untuk menyucikan dirinya melalui
ketekunan dalam beribadah kepada Allah swt, seperti shalat dengan khusu',
membaca al-Qur'an dengan disertai perenungan atas makna yang dikandung,
selalu berbuat kebajikan, dan lain sebagainya.

Kata berikutnya adalah Ahl Shuffah, yaitu para sahabat yang ikut hijrah
bersama Rasulullah saw ke Madinah dengan meninggalkan seluruh kekayaannya
di Makkah. Mereka ini hidup sebagai orang miskin di Madinah, tinggal di serambi
masjid Nabi saw dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana (Suffaah)
sebagai bantal. Ahl Shuffah, walaupun tidak memiliki harta sediki-pun tapi mereka
berhati baik dan mulia, tidak mau meminta-minta karena memang tidak
mementingkan kehidupan duniawi.
Sejarah Tasawuf Dan Perkembangannya Di Indonesia

A. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Tasawuf


Sejarah kemunculan tasawuf dalam Islam secara mendetail sulit
dijabarkan, karena telah terjadi kontroversi yang cukup panjang. Hal ini
disebabkan adanya tuduhan dari kalangan yang tidak simpati pada ajaran tasawuf.
Menurut mereka, tasawuf dalam agama Islam tidak lebih hanya merupakan
pengaruh dari budaya lokal atau bahkan merupakan pengaruh dari agama non
Islam. Beberapa teori yang menjelaskan tentang sejarah kemunculan tasawuf
dalam agama Islam datang dari pandangan agama-agama lain, seperti di bawah
ini:
Pertama, berasal dari pengaruh ajaran kristen dengan faham kerahibannya
(suatu paham yang menjauhi kehidupan dunia dan hidup mengasingkan diri dalam
biara-biara). Dalam literatur Arab ditemukan data-data tentang pengasingan diri di
padang pasir Arabia. Mereka memasang lampu pada waktu malam hari supaya
menjadi petunjuk jalan bagi kafilah yang berlalu, sementara kemahnya yang
sederhana dapat menjadi tempat berlindung bagi orang-orang yang kemalaman,
dan dengan kemurahan hati mereka, juga menjadi tempat memperoleh makan
minum bagi musafir yang membutuhkannya.12
Di antara ilmuan yang memiliki paham seperti ini adalah Goldziher. Ia
membagi tasawuf kedalam dua bagian; 1). Asketisme (zuhud), menurutnya
sekalipun dipengaruhi oleh kependetaan Kristen, asketisme lebih mengakar pada
semangat ajaran Islam. 2). Tasawuf dalam arti luas seperti ma’rifah, hal, wijdan,
dan dzauqterpengaruh oleh agama Hindu dan neo-Platonisme. Sedangkan
menurut Taftazani, ilmuan yang berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh
unsure Kristen antara lain; Von Kreamer, Goldziher, Nicholson, Asin Pacsion,
O’leary. Menurut Von Kreamer, kezuhudan dalam Islam muncul karena adanya
pengaruh kezuhudan Kristen, sedangkan tasawuf di dalamnya terdapat dua unsur,

12
Nasution, Filsafat, h. 58-59. Bandingkan dengan Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. Kenyataan ini
dibantah oleh Abuddin Nata dengan asumsi adanya kesamaan dari masing-masing ajaran. Lihat
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 185-190.
yaitu Kristen dan India (Budha). Ia juga berpendapat bahwa kehidupan zuhud
telah dipengaruhi oleh Kristen yang ada sebelum kedatangan Islam tepatnya di
gurun pasir Syiria dan Sinai.13
Kedua, berasal dari pengaruh filsafat mistik Phytagoras yang memiliki
faham roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing.
Sedangkan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang
sebenarnya berada di alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam
samawi itulah, maka manusia harus membersihkan roh dengan cara meninggalkan
kehidupan materi dan dilanjutkan dengan berkontemplasi.14
Budaya Yunani ini secara nyata masuk ke dalam dunia Islam semenjak
terjadinya penerjemahan besar-besaran yang dilakukan pada masa Bani
Abbasiyah. Para penerjemah tidak hanya berasal dari kalangan muslim tapi juga
non muslim. Dari penerjemahan ini, banyak buku-buku filsafat yang ditelaah oleh
orang-orang Islam. Dalam perkembangannya, bacaan tersebut mempengaruhi
orang-orang Islam khususnya di bidang Filsafat termasuk Tasawuf Falsafi dengan
tokoh-tokohnya, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi dan
sebagainya. Salah satu contoh yang dianggap mempengaruhi tasawuf adalah
pemikiran sebagian sufi dari unsur Yunani adalah filsafat mistik Phytagoras.
Filsafat ini berpandangan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia
ini sebagai orang asing. Jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh
hakiki dialami pada alam samawi. Agar mencapai tujuan tersebut, manusia harus
meninggalkan hidup materi seperti zuhud kemudian melakukan kontemplasi.15
Menurut Taftazani sebagaimana dikutip oleh Sahri, bahawa para ilmuwan
orientalis yang menyatakan hal seperti di atas sangat banyak dan salah satunya
adalah O’leary. Para ilmuwan orientalis hanya menyatakan bahwa pengaruh
Yunani terhadap tasawuf terjadi pada satu model tasawuf saja, yaitu tasawuf
ketuhanan (theosophical mysticism) yang muncul pada kurun ke 3 H di yangan
Dzunnun al-Misri (w. 245 H). Sekalipun filsafat Yunani secara umum atau
neoplatonisme secara khusus mempengaruhi tasawuf, namun hal tersebut tidak

13
Sahri, Studi Ilmu Tasawuf (Cet. 5; Ciputat: Sentra Media, 2011), h. 24.
14
Nasution, Filsafat, h. 58-59. Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10.
15
Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 26.
sepenuhnya tasawuf dapat dikembalikan secara utuh pada sumber Yunani. Sebab
sufi-sufi tertama tidak memperhatikan filsafat Yunani, seperti ulama kalam atau
filosof sendiri. Bahkan disebutkan pula bahwa sebagian sufi tidak menerima
filsafat sebagai meanstream ketasawufan.16
Ketiga, berasal dari pengaruh filsafat emanasi Plotinus yang berfahamkan
bahwa segala yang wujud ini memancar dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa. Roh
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, tetapi dengan masuknya ke
alam materi (jasad), maka roh menjadi kotor. Oleh karenanya, agar dapat kembali
ke tempatasalnya (Tuhan), roh terlebih dahulu harus dibersihkan atau disucikan.
Penyucian roh itu dengan cara meninggalkan kehidupan yang bersifat duniawi dan
mendekatkan diri secara maksimal terhadap Tuhannya, bahkan kalau bisa bersatu
dengan-Nya.
Keempat, berasal dari ajaran Budha dengan faham nirwananya. Menurut
faham ini, untuk mencapai nirwana manusia harus meninggalkan kehidupan
duniawi dan memasuki hidup kontemplasi. Faham ini hampir serupa dengan
faham fana' yang ada dalam sufisme. Kelima, berasal dari ajaran Hinduisme yang
juga mendorong manusia untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan
mendekatkan diri kepada Tuhan supaya mencapai persatuan dengan Atman dan
Brahman.17
Di antara ilmuwan yang berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh
unsur Hindu dan Budha atau India adalah Horton dan Hartmann. Horton yang
menganalisis pemikiran al-Hallaj, al-Busthami dan Junaid mengatakan bahwa
tasawuf pada kurun ke-3H dipengaruh dengan pemikiran-pemikiran India seperti
yang tampak pada tasawuf al-Hallaj. Dan ia juga mengatakan bahwa tasawuf tak
lain merupakan aliran Vedanta dari India. Sementara Hartmann mengatakan
bahwa sumber tasawuf adalah India dengan alasan: 1) mayoritas sufi bukan orang
Arab, 2) tasawuf muncul pertama kali di Khurasan, 3) Turkistan adalah pusat
persinggungan banyak agama dan setelah penduduknya memeluk Islam, mereka

16
Ibid., h. 27.
17
Nasution, Filsafat, h. 58-59. Bandingkan dengan Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. kenyataan ini
dibantah oleh Abuddin Nata asumsi adanya kesamaan dari masing-masing ajaran. Lihat Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 185-190.
mewarnainya dengan tasawuf klasik, 4) orang Islam sendiri mengakui keberadaan
India, dan 5) zuhud Islam ber-menstrem-kan India. Ridha (kerelaan) adalah asli
pemikiran India seperti juga khalwat (menyepi) dan bertasbih juga merupakan
adat India. Namun pendapat ini terbantahkan dengan pendapat Nicholson
bahwasanya keserupaan antara aliran A dan aliran B tidak lantas menandakan
bahwa salah satu di antara keduanya mengambil lainnya. Intinya pengaruh-
pengaruh India tidak muncul pada diri sufi-sufi falsafi Islam kecuali pada kurun
ke 7, yaitu setelah tasawuf Islam telah sempurna pondasi-pondasinya pada abad
keenam sebelumnya18
Sedang yang keenam, berasal dari agama Islam sendiri. Dalam al-Qur'an,
Nabi Muhammad saw digambarkan sebagai ummi, seorang Nabi yang buta huruf
dan bodoh. Disebutkan bahwa Allah swt menyatakan diri-Nya lewat kata dalam
al-Qur'an bahwa Nabi Muhammad saw meskipun sebagai ummi harus menjadi
wahana yang tidak terkotori oleh pengetahuan intelektual, kata dan tulisan agar
bisa menyebarkan sabda Allah swt semurni-murninya19 tanpa tereduksi dan
rekayasa.
Demikianlah beberapa faham atau ajaran yang menurut teorinya memiliki
pengaruh cukup kuat dalam mendorong munculnya ajaran tasawuf di dalam
agama Islam. Akan tetapi, tentu saja faham-faham di atas dibantah oleh kalangan
cendekiawan muslim, sebab argumen yang mereka kemukakan sangat sulit untuk
dibuktikan. Dengan argumentasi bahwa tanpa pengaruh dari faham lain pun
ajarantasawuf tetap akan muncul berdasarkan teks-teks suci yang terdapat di
dalam agama Islam itu sendiri.
Memang secara tersurat, kata sufi, tasawuf, atau sufiyyah tidak ada di
dalam al-Qur'an maupun sunnah. Akan tetapi satu hal yang perlu dipahami, tidak
setiap nama atau istilah yang tidak terdapat di dalam kedua sumber hukum Islam
tersebut akan menjadi haram untuk digunakan, atau bahkan dapat dikatakan
sebagai hukum murni dari ajaran Islam. Sementara jika kita cermati secara
mendalam, walaupun kalimat tasawuf tidak terdapat di dalam al-Qur'an, namun

18
Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 26.
19
Schimmel, Dimensi, h. 31. Bandingkan dengan Abd al-Hafiz Farghali Ali al-Qarni, al-Tasawwuf
wa al-Hajah al-'Asriyah (Kairo: al-Hai'ah al-'Ammah al-Syu'un al-Tabi' al-Amirah, 1984), h. 45.
pada hakikatnya materi-materi yang diajarkan dalam tasawuf ada dalam al-Qur'an
dan sunnah, sebagaimana halnya juga dialami oleh disiplin-disiplin ilmu
keislaman yang lain, dimana penamaannya justru muncul pada masa
belakangan.20
Dengan begitu, maka dapat disimpulkan bahwa kata tasawuf secara
tekstual tidak termaktub dalam Al-Qur'an maupun sunah, namun di dalam
keduanya sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi
bimbingan yang mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah
barang tentu ilmu tasawuf memiliki dasar-dasar normatif yang jelas di dalam Al-
Qur'an ataupun hadis.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang mendorong umat manusia untuk
bersikap sufi, seperti ayat yang memerintahkan agar manusia selalu menyucikan
jiwanya (QS. Al-Shams [91] : 9; al-A'la [87] : 14; 'Abasa [80] : 3 & 7),
memandang rendah kehidupan duniawi dan menjelaskan bahwa kehidupan akhirat
jauh lebih baik (QS. al-An'am [6] : 32 & 70; al-ankabut [29] : 64; Muhammad
[47] : 36; al-Duha [93] : 4). Selain itu al-Qur'an juga mendeskripsikan sifat-sifat
orang wara' dan taqwa (QS. Al-Ahzab [33] : 35), posisi mulia bagi yang
melaksanakan salat tahajjud (QS. Al-Israa' [17] : 79) dan lain sebagainya. Ajaran-
ajaran yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas merupakan esensi seorang muslim
dalam pengamalan tasawuf. Dengan demikian, kirannya tidak berlebihan jika ada
pernyataan bahwa jika seseorang tidak melaksanakan amalan-amalan tasawuf
sebagaimana yang tersebut belum dapat disebut sebagai seorang muslim sejati.
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para
sahabat r.a. bahkan tidak dikenal dizaman tiga generasi yang utama (Generasi
Sahabat Tabi’in, Dan Tabi’id Tabi’in) ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga
generasi ini.21 Oleh sebab itu, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa secara keilmuan,
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam Syariat Islam. Adapun asal usul
tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah SWT, meninggalkan
kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari makhluk. Ketika

20
Ibrahim, Tasawuf, h. 102. Mengenai hal ini, al-Taftazani mensinyalir bahwa kata tasawuf baru
dikenal seteah generasi sahabat dan tabi’in. Lebih lanjut lihat al-Taftazani, Sufi, h. 21.
21
M. Shalehin & Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 39.
kehidupan matrelialistik mulai mencuat dari kehidupan muslim pada abad ke-2
dan ke-3 Hijriyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia islam, orang-
orang yang konsentrasi ibadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya
kehidupan dunia. Dari kerangka ini muncul orang-orang yang disebut sebagai
kaum sufi.

B. Perkembangan Tasawuf di Indonesia.


1. Peranan taawuf dalam penyebaran islam di Indonesia.

Tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian islam di


indonesia. Sejak masuknya islam ke indonesia, unsur tasawuf sangat jelas,
mewarnai kehidupan praktikal agama pada masyarakat nusantara. Hawas
Abdullah, dalam M.Sholihin menjelaskan, beberapa bukti tentang besarnya
peranan para sufi dalam menyebarkan islam untuk pertama kalinya di nusantara.
Ia menyebutkan tokoh sufi Syekh Abdullah Arif yang menyebarlan islam untuk
pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke-12M. Ia adalah seorang pendatang ke
nusantara bersama banyak Muballigh lainnya yang diantaranya bernama Syekh
Ismail Zaffi. Lebih jauh lagi, Hawas Abdullah menegaskan bahwa kalau mau
meneliti secara jujur, kita akan berkesimpulan bahwa pada tahun tahun pertama
masuknya islam ke Nusantara, para Sufilah yang paling banyak jasa nya. Hampir
semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan
asalnya dari Animisme, Dinamisme, Buddhisme, dan Hinduisme. Karena tertarik
kepada ajaran tasawuf22.

Dengan demikian tampak bahwa Islam di Indonesia lebih banyak


menonjol aspek mistik daripada aspek hukum sebagai corak aslinya. Ini dapat
dimaklumi mengingat mistik dari masa pra-islam dan ajaran dari Hindu-Buddha
sangat besar pengaruhnya sebelum datangnya Islam. Namun, justru dengan warna
Islam yang sudha bercampur dengan mistik inilah lebih sesuai dengan kondisi
Indonesia waktu itu, sehingga dapat dengan cepat tersebar.

22
M. Shalehin & Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 241-242.
Para penyebar Islam seperti Wali Songo di Jawa menggunakan media
yang komunikatif dalam dakwahnya, misalnya dengan menggunakan wayang
walaupun pada akhirnya menimbulkan efek yang sifatnya seolah-olah
melestarikan Nilai-Nilai Tradisional Pra-Islam.23

2. Sejarah Perkembangan Penyebaran Tasawuf di Indonesia

Tasawuf yang sering ditemui dalam Khazanah Dunia Islam perkembangan


dan penyebarannya tidak terlepas dari usaha dan kesungguhan para penyiar dan
penyebar agama islam yang pada masa awal, kesungguhan dan usaha mereka
terlihat dari masuknya islam ke beberapa suku dan menempati beberapa wilayah.
Sebagian kaum muslimin seiring dengan perkembangannya dan teknologi sering
terlupakan sejarah masuk dan perkembangannya Islam, bagaimana islamisasi di
daerah-daerah dan kapan, hal ini penting dipahami karena maju dan
berkembangnya islam saat ini tidak terlepas dari proses sejarah masa lampau dan
peranan dari tokoh-tokoh dan ulama-ulama pada masa awal penyiaran ajaran
agama islam seperti ajaran wali songo.

“Walisongo” berarti sembilan orang wali. Mereka dalah Maulana Malik


Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan
Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Serta Sunan Gunung Jati. Mereka tinggal di
Pantai Utara Jawa dari awal abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 di tiga
wilayah penting yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-
Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para
intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.

Pada abad ke-12M, peranan ulama tasawuf sangat dominan di dunia islam.
Hal ini antara lain disebabkan pengaruh pemikiran islam AL-Ghazali (wafat
111M), yang berhasil mengintegrasikan tasawuf kedalam pemikiran keagamaan
mazhab sunnah wal jamaah menyusul penerimaan tasawuf di kalangan

23
Ajid Tohir, perkembangan peradaban di kawasan dunia islam, (Jakarta: Grafindo Persada,
2004), h.290.
masyarakat menengah. Hal ini juga berlaku di Indonesia, sehingga corak tasawuf
yang berkembang di Indonesia cenderung mengikuti tasawuf yang diusung oleh
AL-Ghazali walaupun tidak menutup kemungkinan berkembang tasawuf dengan
corak warna yang lain. Wali Songo juga mengajak masyarakat untuk berzikir
mengingat Allah SWT. Dan menumbuhkan kesadaran kehambaan yang dikemas
dalam bentuk karya seni budaya setempat.

3. Tasawuf Dalam Perspektif Budaya dan Pendidikan.


a. Tasawuf dalam perspektif budaya.

Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai bentuk. Bentuk-bentuk


simbolis yang berupa Kata, Benda, Laku, Mythe, Sastra, Lukisan, Nyanyian,
Musik kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep Epistemologis dari
sistem pengetahuan masyarakatnya.24

Sebagai kebudayaan yang ekspresif yang dikuasai oleh intuisi perasaan


dan fantasi, tentulah tenaga penciptaan kesenian yang berdasarkan intuisi,
perasaan dan fantasi itu amat besar. Bentuk daripada seni yang rapat berjalin
dengan agama adalah mitos. Yang mengisahkan kejadian segala sesuatu dari
bumi, manusia, hewan, hingga adat istiadat yang kudus. Mitos itu biasanya
diulang-ulang dalam upacara pada hari-hari yang penting dalam kehidupan
masyarakat.25

Dengan kata lain, jika tasawuf dilihat dalam perspektif budaya, maka ada
sinergitas antara nilai-nilai tasawuf yang intuitif dengan budaya asli indonesia
yang juga intuitif. Namun kedatangan islam di indonesia lebih berorientasipada
fiqih bukan pada filsuf atau para sufi yang ilmuan. Akibatnya masyarakt muslim
di indonesia, seakan kehinlangan jejak bagaimana memajukan islam di bumi
nusantara.

24
Ismail R. Farouqi, islam dan kebudayaan, (Bandung: Mizan, 1991), h, 7.
25
Mulyadhi Kartanegara, menyelami lubuk tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006) h.10-11.
b. Tasawuf dalam Perspektif Pendidikan.

Tasawuf pada dasarnya adalah sebuah model pendidikan, namun


pendidikan model tasawuf sulit diterima sebagai model pendidikan akademik.
Sebab apa yang akan didapat dari model pendidikan tasawuf tidak dapat diukur
dalam pendidikan modern dewasa ini. Model pendidikan tasawuf sebanrnya juga
pernah diterapkan dalam model pendidikan kepribadian masyarakat Jawa di
kalangan Istana. Dalam peristilahan jawa kita mengenal sejumlah kata yang
menunjukkan betapa pentingnya pendidikan yang membuat orang Waskita,
Wicaksana, Wirya, Dan Sempurna. Kata-kata seperti kewaskitaan,
Kewicaksanaan, Kewiryaan, Dan Kasampurnaan, merupakan atribut dari mereka
yang berkepribadian sempurna. Salah satu syarat kualitas kepribadian itu
bukanlah ketrampilan atau keahlian sebuah profesi tetapi syarat umum bagi
manusia “jawa”, beradab26.

Transisi model pendidikan tasawuf kearah pendidikan modern sebenarnya


terjadi di dunia pendidikan pesantren menurut Kuntowijoyo, pendidikan pesantren
berhasil menciptakan jenis kepribadian tersendiri, tidak diragukan. Kata-kata
kunci seperti tawadhu (rendah hati) ikhlas, sabar, memenuhi etika hidup para
santri. Lukisan-lukisan mengenai kepribadian seseorang digambarkan melalui
perwatakan para nabi atau para orang suci dari sahabat nabi.

4. Pengaruh tasawuf dalam kehidupan masyarakat modern

Dalam beberapa tulisan A.H. Johns-Firologi Australis sebagai dikutip


zulkifli di dalam “Neo Sufisme di Indonesia” menemukan bahwa jasa para sufilah
Islam menjadi berakar dalam masyarakat indonesia, walaupun islam masuk ke
indonesia pada abad ke-8M. Konversi besar-besarna terjadi para abad ke-13M

26
Ibid, h. 48.
seiring dengan jatuhnya kota Baghdad di tangan tentara Mongol di tahun 1258 M
para sufilah mtoro akselerasi proses islamisasi tersebut. 27

Secara historis menunjukkan bahwa pada umumnya para sufi tidak


menjauhi kehidupan duniawi. Mereka memberikan sumbangan yang besar
bagikehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bidang pendidikan misalnya peran
sufi seperti Khawajah Nizam al-Mulk, Wazir Dinasti Saljuk, berpartisipasi
langsung membangun Universitas-Universitas atau Madrasah-Madrasah. Hal yang
sama juga terdapat di kalangan sufi indonesia, misalnya pesantren Suryalaya
Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam bidang politik dan militer, peran sufi tidak kalah
pentingnya. Tarekat-tarekat sufi berperan menjadi kekuatan politik di banyak
Negara Islam.

Tasawuf dalam dimensi kehidupan modern disimpulkan singkat sebagai


berikut: Pertama, Tasawuf merupakan basis yang bersifat Fitri pada setiap
manusia kedua, tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol, agar
dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasi yang mengarah pada moral
dan nilai-nilai. Dengan demikian Tasawuf akan menghantarkan manusia pada
tercapainya Supreme Morality.Tasawuf sebagai sebuah pandangan filosofis
kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia, dapat
direalisasikan melalui latihan-latihan praktis sehingga mengakibatkan hanyutnya
perasaan dalam hakikat transendental dengan pendekatan intuisi, yang pada
akhirnya menghasilkan kebahagiaan spiritual. Tasawuf pada hakikatnya mengarah
ke satu titik, yakni mencapai derajat yang sedekat-dekatnya kepada Allah Swt.
Hakikat di sini diibaratkan sebuah taman yang indah yang di dalamnya terdapat
pohon-pohon yang rindang, dan setiap sufi tersebut berteduh dibawah pohon-
pohon di taman itu.
Kendati terdapat beberapa teori yang menyatakan bahwa tasawuf berasal
dari ajaran Kristen, Hindu-Budha, Yunani, Plotinus, Persia, dan sebagainya,

27
Zulkifli, Neo Sufisme di Indonesia : pemikiran dan perkembangannya, (Palembang: Puslit IAIN
Raden Fatah, 1997). H. 1-2.
namun teori ini dibantah oleh teori keenam yang menyatakan bahwa tasawuf
berasal dari Islam sendiri yang ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah.

5. Pengaruh Tasawuf Terhadap Hubungan Sosial

Dalam ajaran Tasawuf memberikan bimbingan kepada manusia, jika akan


mengikuti kegiatan Tasawuf hendaknya selain melakukan taubat dari segala dosa-
dosa, juga dianjurkan untuk memperbanyak memberi sedekah kepada anak yatim
dan fakir miskin. Doktrin dalam ajaran tasawuf di sebutkan bahwa: sisihkan
sebagian dari belanja kamu untuk di berikan kepada anak yatim. Pembiasaan
memperhatikan anak yatim dan fakir miskin, selain merupakan pengabdian
kepada Allah juga menciptakan rasa kasih sayang kepada sesama umatnya,
sehingga menciptakan rasa solidaritas, simpati, dan rasa empati. Jika kebiasaan
satu sama lain tanpa memandang suku, etnik, maupun golongan.

Dengan membiasakan menyisihkan sebagian hartanya untuk di berikan


kepada anak yatim dan fakir miskin, tidak saja merupakan implementasi dari
pelaksanaan menegakkan ajaran agama Islam, lebih dari itu akan tercipta
hubungan yang harmonis sesama manusia dengan memberikan perhatian dan
kasih sayang dalam bentuk materi. Selain itu juga mendidik jiwa dengan
mengorbankan dan merelakan sebagian harta di milikinya untuk di berikan kepada
sesama.

6. Tasawuf Sebagai Strategi Media Dakwah Di Kalangan Kaum Elite

Waspodo salah seorang ahli sosiologi UNSRI Palembang


mengungkapkan: (di Amerika) kecenderungan yang terjadi pada masyarakat
modern, yang menjadi kekuatan itu adalah kelas menengah yang ada di elite-elite
politik. Meskipun tak sama, tapi mungkin kelompok intelektual yang mempunyai
pemikiran-pemikiran yang mampu. Karena kelompok intelektual tersebut sudah
mempunyai akses ke samping dan ke bawah. Kalau dianggap kekuatan itu
signifikan (sama-sama mempunyai kekuatan), maka kekuatan itu bisa mendobrak
yang di atas.

Dimulai dari kaum elite yang mempunyai kekuasaan dan kedudukan posisi
yang tinggi, dapat mengakses, menyebarkan ajaran isllam, baik ke atas maupun ke
tingkat bawahannya. Kaum elite diharapkan menjadi motivator, fasilitator, dan
dinamisator dari ajaran agama. Dengan model penyebaran agama seperti ini,
penyebaran agama islam mudah dan cepat, dan mempunyai dampak yang cukup
luas dan strategis.
PENUTUP

Kesimpulan

Tasawuf sebagai sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan


mengembangkan moralitas jiwa manusia, dapat direalisasikan melalui latihan-
latihan praktis sehingga mengakibatkan hanyutnya perasaan dalam hakikat
transendental dengan pendekatan intuisi, yang pada akhirnya menghasilkan
kebahagiaan spiritual. Tasawuf pada hakikatnya mengarah ke satu titik, yakni
mencapai derajat yang sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Hakikat di sini
diibaratkan sebuah taman yang indah yang di dalamnya terdapat pohon-pohon
yang rindang, dan setiap sufi tersebut berteduh dibawah pohon-pohon di taman
itu.
Kendati terdapat beberapa teori yang menyatakan bahwa tasawuf berasal
dari ajaran Kristen, Hindu-Budha, Yunani, Plotinus, Persia, dan sebagainya,
namun teori ini dibantah oleh teori keenam yang menyatakan bahwa tasawuf
berasal dari Islam sendiri yang ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah.
Dalam hal ini, secaratekstual tasawuf tidak termaktub dalam Al-Qur'an maupun
sunah, namun di dalam keduanya sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral
yang memberi bimbingan yang mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam
konteks itu, sudah barang tentu ilmu tasawuf memiliki dasar-dasar normatif yang
jelas di dalam Al-Qur'an ataupun hadis.
Sedangkan sejarah perkembangan tasawuf mengalami lima fase, yaitu:
pertama, fase pembentukan yang terjadi pada awal abad I dan II dengan corak
asketis dalam kehidupan, tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat
tinggal atau lebih dikenal dengan istilah zuhud; kedua, fase pengembangan yang
terjadi pada abad III dan IV dengan corak kefanaan, menjurus kepada kesatuan
hamba dan khaliq; ketiga, fase konsolidasi yang terjadi pada abad V dan VI, yakni
periode pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan al-Qur’an dan Hadis;
keempat, fase tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran
filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf; dan kelima, fase pemulihan dari bid’ah, khurafat,
mengabaikan syariat, hukum, moral, penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, dan
menampilkan amalan yang irrasional. Pada fase ini, ajaran tasawuf dikembalikan
sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasul, yakni menghayati ajaran Islam,
tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan
sosial sebagaimana manusia pada umumnya.

Dengan begitu, maka dasar-dasar tasawuf dalam ajaran Islam secara


gamblang telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Kemudian
diimplementasikan oleh generasi sesudahnya, yakni para sahabat, tabi'in, tabi'it
tabi'in serta segenap umat Islam berikutnya, sampai sekarang. Dalam menerapkan
ajaran tasawuf ini, terkadang mereka mengalami kemajuan dan terkadang
mengalami kemunduran sebagaimana sejarah yang telah digambarkan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril. “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam, Jil. 4,


Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka,
Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000.
Ibrahim, Muhammad Zaki. Tasawuf Salafi; Menyucikan Tasawuf Dari
Noda-Noda, terj. Abdul Syakur dkk., Jakarta: Hikmah, 2002.
Ja’far, Muhammad Kamal Ibrahim. al-Tasawwuf Tariqan wa Tajribatan
wa Mazhaban, Kairo: Kulliyah Dar al-‘Ulum, 1978.
Al-Kalabadzi. Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, cet. III, Bandung:
Mizan, 1993.
al-Manuni. Mahmud Abu al-Faidh, al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami,
t.tp: tp, tt.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf,Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Al-Qarni, Abd al-Hafiz Farghali Ali. al-Tasawwuf wa al-Hajah al-
'Asriyah, Kairo: al-Hai'ah al-'Ammah al-Syu'un al-Tabi' al-Amirah, 1984.
Sahri. Studi Ilmu Tasawuf, cet V. Ciputat: Sentra Media, 2011.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko
Damono dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung jawab Sosial
Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.
Ahmad Rofi’ Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985.

Bappeda Kota Palembang bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik Kota


Palembang. Palembang Dalam Angka. 2001
Burhan Najib, Ahmad. Sufisme Kota: Berfikir Jernih Menemukan
Spiritualitas Positif, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. 2001

Damami, Mohammad. Tasawuf Positif Dalam Pemikiran Hamka, Fajar


Pustaka Baru, Yogyakarta. 2000

Keller, Suzanne. Penguasa dan kelompok elite. Penentu Dalam. 1995

Anda mungkin juga menyukai