PENDAHULUAN
1
2
keduanya, baik sejarah maupun isinya. Perbedaan ini jelas dilakukan oleh
Baner, yang mengatakan ada dua macam filsafat sejarah. Pertama, merupakan
suatu Geschichtsphilosophie formal yang meneliti logika dan epistemologi
sejarah. Ini tentu saja merupakan studi sejarah sistematis sebagai suatu cerita
(story). Kedua, (Baner menyebutnya dengan filsafat sejarah dalam pengertian
sempit, sebagaimana yang diterapkannya). Filsafat sejarah disini dimaksudkan
dengan perjalanan peristiwa-peristiwa sejarah, menjadikannya sejarah dalam
pengertian yang berkenaan dengan masa silam umat manusia yang beradab.
Ini adalah pengertian yang disebut dalam bahasa Perancis Philosophie de
L’historie.10
Sebagaimana kita ketahui sejarah umat manusia itu berkembang dalam
suatu tatanan masyarakat. Dikarenakan masyarakat merupakan suatu sistem
sosial, yang unsur-unsurnya saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
Perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain, yang
akhirnya mempunyai dampak terhadap kondisi sistem secara keseluruhan.
Masyarakat dan kebudayaannya merupakan dwi tunggal yang sukar
dibedakan, di dalamnya tersimpul sejumlah pengetahuan yang terpadu dengan
kepercayaan dan nilai, yang menentukan situasi-situasi kondisi perilaku
anggota masyarakat. Dengan kata lain, dalam kebudayaan tersimpul suatu
simbol maknawi (symbolic system of meaning).
Secara umum kebudayaan sering diartikan sebagai seperangkat sistem
pengetahuan dan keyakinan yang terwujud dalam pola-pola tindakan
sebagaimana ditunjukkan ke berbagai kehidupan sosial seperti ekonomi,
kegiatan sosial, kegiatan keagamaan (ritual) dan kegiatan berkesenian. Pada
term ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang
berguna sebagai alat operasional dalam hal manusia menghadapi lingkungan-
lingkungan tertentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk
10
G.J. Renier, op. cit., hlm. 86 - 87
3
dapat hidup secara lebih baik. Karena itu, kebudayaan juga dinamakan sebagai
desain menyeluruh dari kehidupan (blueprint).3
Kebudayaan itu merupakan khas insani yang tidak dimiliki oleh mahluk
lain. Misalnya, sejenis hewan. Bahkan yang bersifat transenden sekaligus.
Hanya manusialah yang dengan dirinya dapat mewujudkan eksistensinya.
Dengan akalnya guna memenuhi segala keinginan baik yang serupa nilai dan
peradaban.4 Peranan kebudayaan bagi umat manusia sangatlah besar.
Bermacam-macam yang harus dihadapi manusia. Seperti, kekuatan alam di
mana ia tinggal, maupun kekuatan-kekuatan lain dalam masyarakat itu sendiri
yang tidak selalu baik baginya. Kecuali daripada itu, manusia memerlukan
kepuasan baik di bidang spiritual maupun di bidang material.5
Bertolak daripada pengertian di atas, Cina pernah terlibat langsung
pada proses sejarah kebudayaan bangsa Indonesia baik dari sisi spirituil
maupun sisi materiil (arsitektur, pakaian, makanan, dan lain-lain), yang dapat
kita saksikan lewat apa yang lazim disebut oleh sejarawan, yaitu Sino
Javanese Muslim Culture pada kurun abad ke-15 dan 16. Peranan bangsa Cina
dalam proses penyebaran Islam di Indonesia merupakan fenomena yang
menarik untuk diteliti lebih mendetail lagi. Karena sampai saat ini belum ada
kata sepakat di kalangan para sejarawan tentang asal-usul Islam di Nusantara
ini. Ada yang mengatakan Islam Indonesia dibawa oleh orang-orang dari
Gujarat (India), ada yang berpendapat dibawa oleh orang-orang Cina Yunnan,
bahkan ada pula yang mempunyai statement bahwa Islam masuk ke Indonesia
langsung dari Mekkah.6
Terlepas dari “khilafiyah” itu, Cina memang pernah berperan besar
dalam perkembangan Islam di Indonesia. Fakta ini dibuktikan dari beberapa
peninggalan-peninggalan Cina Muslim di Indonesia. Misalnya, di Ancol
3
M. Mukhsin Jamil, Pemulihan Khong Hu Chu di Indonesia, Makalah pada Seminar
Nasional Agama Khong Hu Chu pada Tanggal 12 Februari 2000 di Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang, hlm. 1
4
J.W.M. Baker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebagai Pengantar, Kanisius, Yogyakarta, 1992,
hlm. 14
5
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 167
6
H.J. de. Graff, dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI Antara Historisitas dan Mitos,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 2004, hlm. 1
4
Jakarta, dan Gedung Batu Semarang. Dan yang paling monumental hingga
sampai sekarang adalah Masjid Agung Demak. Berdasarkan beberapa catatan
sejarah, dapat dipastikan pula beberapa Sultan dan Sunan yang mempunyai
andil sangat besar dalam penyiaran Islam di Jawa, ternyata adalah keturunan
Cina. Misalnya, Raden Fatah yang mempunyai nama Cina Jin Bun sebagai
Raja Demak Pertama, Sunan Ampel, Sunan Gunung Djati, dan lain
sebagainya.
Selanjutnya, peristiwa politik bersejarah dan yang paling fenomenal
ialah saat terjadinya ekspedisi Cheng Ho di masa pemerintahan Yung Lo dari
Dinasti Ming. Yang melibatkan ribuan orang Cina. Sebagian besar awak kapal
beragama Islam. Beberapa petinggi ekspedisi, selain tokoh legendaris Cheng
Ho, yakni Ma Huan, Hasan, Wang Jing Hong (dikemudian hari terkenal
dengan sebutan Kiai Dampoawang), Kung Wu Ping, Fei Hsin, dan lain-lain,
juga seorang Muslim yang dikenal taat beragama.7
Menurut Parlindungan dan Slamet Mulyana, yang penulis kutip dari
Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa, ekspedisi sejak
awal abad ke-15 itu tercatat tiga kali mengunjungi Jawa. Setiap misi
muhibahnya selalu meninggalkan jejak historis yang mengagumkan. Kegiatan
penjelajahan samudera yang dipimpin langsung oleh Laksamana Cheng Ho ini
tidak sekadar bermuatan politik dan ekonomi belaka. Tetapi juga menyimpan
“hidden agenda” berupa Islamisasi. Hal ini terbukti dengan penempatan para
konsul dan duta keliling Muslim Cina di setiap daerah yang dikunjunginya.
Kemungkinan besar sebagian Cina Islam yang turut serta dalam rombongan
Cheng Ho ini enggan pulang kembali ke negerinya. Baik karena alasan
pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih menjanjikan atau
faktor kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk
menyebarkan syi’ar Islam di “negeri kafir”.8
Jejak-jejak historis yang ditaburkan Cheng Ho ini begitu terasa
mengurat dalam benak kehidupan masyarakat Jawa. Tidak hanya muncul
7
Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina Islam Jawa, Inspeal Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 43
8
Ibid
5
lewat tradisi lesan melalui tokoh mitologi Kyai Dampo Awang. Tetapi juga
beberapa peninggalan kesejarahan seperti bangunan mercusuar di Cirebon
maupun berbagai kelenteng kuno yang dikaitkan dengan sang legendaris
Laksamana Cheng Ho. Salah satunya adalah Kelenteng Sam Po Kong di
Gedung Batu Semarang.
Kelenteng ini keberadaannya sangatlah monumental sekaligus
fenomenal. Sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian dari berbagai
segi. Utamanya dari segi bangunan kelenteng tersebut. Pengaruh Cina yang
cukup kuat dan menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16
telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Dimana fungsi
awal bangunan tersebut adalah sebagai Masjid (tempat sholat Cheng Ho
beserta rombongan, hal ini dibuktikan dengan adanya Bedug dan tulisan pada
dindingnya dalam bahasa Cina yang artinya “Bacalah Al-Qur’an”).9
Kemudian beralih fungsi menjadi tempat peribadatan umat Khong Hu Chu
(fakta sekarang memang demikian adanya) merupakan “suatu fenomena yang
harus kita terima”. Bisa jadi, disamping fungsi awalnya sebagai Masjid, tidak
menutup kemungkinan untuk peribadatan awak kapal Cheng Ho lainnya yang
non-Muslim. Karena, pada rombongan ekspedisi tersebut ada yang beragama
Tao, Khong Hu Chu, dan Buddha (tiga kepercayaan tertua di Cina).
Namun demikian, ada kemungkinan ketiga yang muncul. Yaitu hanya
sebagai “tempat singgah” rombongan ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang
tercatat tujuh kali melakukan pelayaran ke Kepulauan Nusantara. Di
Semarang sendiri rombongan Cheng Ho tercatat mengunjungi sebanyak tiga
kali. Hingga penulis menduga, Kelenteng Sam Po Kong atau Sam Po Tay
Djien itu “hanya sekadar” Ekspresi Kebudayaan Cina Jawa Islam yang
terletak di Gedung Batu Simongan Semarang.
Hal tersebut perlu penelitian lebih mendalam lagi. Sehingga
“ketidakselarasan informasi” yang selama ini membelenggu bisa
“terluruskan”. Karena Kelenteng tersebut merupakan cagar budaya. Maka
9
Djawahir Muhammad (ed), Semarang Sepanjang Jalan Kenangan, Pemda Dati II
Semarang, Dewan Kesenian Jawa Tengah, Aktor Studio Semarang, 1995, hlm. 145
6
2. Pokok Masalah
Berdasarkan dari sekelumit deskripsi di atas, maka permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
2.1.Bagaimanakah Sejarah dan Fungsi Kelenteng Sam Po Kong di Gedung
Batu dalam Kehidupan Sejarah Kota Semarang?
2.2 Bagaimanakah Bentuk Akulturasi Kebudayaan Cina Jawa Islam dalam
Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu Kota Semarang?
4. Tinjauan Kepustakaan
Hal ini sengaja penulis angkat dengan melihat fenomena
“ketidakselarasan informasi” atas bangunan Kelenteng tersebut, sekaligus
sebagai spesifikasi penelitian atas beberapa karya terdahulu yang “terkesan”
sepintas dalam membahasnya. Karya-karya tersebut, yaitu :
- Prof. Kong Yuanzhi, Hembing Wijayakusuma (ed), Muslim Tionghoa
Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, Jakarta, Pustaka
Populer Obor, 2000. Buku ini menjelaskan tentang perjalanan pelayaran
Laksamana Cheng Ho ke berbagai kota di Nusantara dan negara-negara
tetangga di kawasan Asia Tenggara serta ke-Islaman Laksamana Cheng
Ho beserta para awak kapalnya. Dan tentunya sangat berbeda dengan
skripsi ini yang nantinya akan dikupas habis tentang persinggahan Cheng
Ho di Semarang beserta Kelenteng Sam Po Kong-nya dan dampaknya
bagi kehidupan sejarah Kota Semarang, yang mana di buku tersebut tidak
disinggung hal-hal yang sebagaimana peneliti sebutkan.
- Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, Inspeal Press, 2003. Di
dalamnya dikupas habis tentang peranan orang-orang Tionghoa dalam
penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XV dan XVI, dan jejak-jejak
historis dari peninggalan kepurbakalaan Islam di Jawa yang
mengisyaratkan adanya pengaruh Cina yang cukup kental dalam “media”
Sino Javanese Muslim Culture. Perbedaannya dengan skripsi yang akan
penulis tulis, di situ kurang dikupas lebih dalam akan simbol-simbol yang
terdapat di Kelenteng Sam Po Kong Gedung Batu Semarang.
- H.J. de Graff, dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, Yogyakarta,
Tiara Wacana, Cetakan II, 2004, yang intinya “meluruskan” bahwa
pembawa Islam ke Indonesia bukan “hanya” pedagang Gujarat-India,
kaum sufi dari Arab (Persia), orang Cina-pun punya andil besar dalam
Islamisasi Nusantara ini dan merupakan kritik atas Catatan Melayu: Teks
8
10
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003, Edisi Kedua,
hlm. 138
11