Anda di halaman 1dari 12

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-6 Tahun 2019

Analisis Hujan Ekstrim Penyebab Tanah Longsor di Melawi


Memanfaatkan Data Radar dan Satelit Cuaca
(Studi Kasus Tanggal 28 Februari 2019)

Analysis of Extreme Rain Causing Landslides in Melawi Utilizing Weather


Radar and Satellite Data
(Case Study on 28 February 2019)
Ajis Nur Efendi1*), Siwi Kuncorojati2, dan Firman Setia Budi3
1
Stamet Nanga Pinoh-Melawi
2
Stamet Susilo Sintang
3
BMKG-Pusat
*)
E-mail: Ajisnur.efendi@yahoo.com

ABSTRAK – Pada tanggal 28 Februari 2019, terjadi hujan yang sangat lebat yang mengakibatkan tanah longsor di
Bukit Matuk yang berada di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Kejadian tersebut berdampak pada putusnya jalan
poros penghubung Kabupaten Sintang – Melawi selama beberapa waktu. Hujan yang tercatat di Stasiun Meteorologi
Nanga Pinoh saat kejadian mencapai 205,5 mm/hari yang merupakan kriteria hujan yang sangat ekstrem. Dari kejadian
tersebut, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode interpretasi data citra satelit dan citra radar serta
fenomena-fenomena cuaca lainnya. Hujan lebat yang terjadi di wilayah Melawi disebabkan oleh akumulasi beberapa
proses fisis. Hasil pengamatan satelit cuaca didapat hasil pada saat kejadian pertumbuhan awan di mulai pukul 12.00
UTC dengan nilai suhu puncak awan 100C hingga -620C. Untuk nilai labilitas udara dilihat dari satelit nilai K-indeks
tertinggi adalah 37,5 dan terendah 35,4. Lifting Indeks nilai tertinggi adalah -1,5 dan terendah -3,3. Nilai Sweat tertinggi
adalah 314 dan terendah 109, untuk nilai CAPE (Convective Available Potential Energy) nilai tertinggi 1.212 j/kg dan
nilai terendah 233 j/kg. Berdasarkan nilai refektifitas radar cuaca nilai saat kejadian hujan berkisar antara 40 dBZ
sampai 55 dBZ. Dilihat dari nilai Precipitation Accumulation (PAC) tercatat di radar nilainya 132,17 mm. Dilihat dari
streamline di wilayah penelitian terdapat daerah belokan angin dan daerah pertemuan angin yang secara khusus diikuti
dengan perlambatan angin sehingga menimbulkan pertumbuhan awan-awan konvektif yang mengakibatkan hujan lebat.
Dapat disimpulkan bahwa hujan ekstrem yang terjadi mampu digambarkan dengan baik dari produk radar cuaca
maupun satelit cuaca, sehingga untuk kedepannya produk ini bisa digunakan lebih maksimal untuk mengantisipasi
kejadian tersebut.

Kata kunci: Interpretasi, Hujan, PAC, dan Konvektif.

ABSTRACT - On February 28, 2019, there was heavy rain which resulted landslide at Bukit Matuk in Melawi district,
West Kalimantan. This incident caused the breakdown of road thats connect Sintang – Melawi Regency for some times.
The rain recorded at the Nanga Pinoh meteorological station when the incident occured was 205.5 mm / day which is
categorized as very extreme rain. From the incident, the authors conducted research using the method of interpreting
satellite image and radar imagery as well as other weather phenomena. Heavy rain that occurred in the Melawi region
was caused by the accumulation of several physical processes. Based on satellite observations at the time of the
incident, the cloud growth event began at 12:00 UTC with the values of cloud peak temperatures were 100C to -620C.
The air lability based on satellite, the highest K-index value was 37,5 and the lowest one was 35,4. The highest Lifting
index was -1.5 and the lowest one was -3.3. The highest Sweat value was 314 and the lowest one was 109, for the highest
value of CAPE (Convective Available Potential Energy) was 1212 j / kg and for the lowest value was 233 j / kg. Based
on the radar reflectivity data, the value of rain events ranged from 40 dBz to 55 dBZ. Judging from Precipitation
Accumulation (PAC) product, the value was 132,17 mm. Judging from streamline, there were shearline and
convergence followed by wind deceleration in which results in the growth of convective clouds resulting in heavy rain.
It can be concluded that the extreme rain that occured can be described well from weather radar products and weather
satellites, so that in the future the use of this product can be used more optimally to anticipate this event.

Keywords: Interpretation, Rain, PAC and Convective.

195
Analisis Hujan Ekstrem Penyebab Tanah Longsor di Melawi Memanfaatkan Data Radar dan Satelit Cuaca (Efendi, A.N., dkk.)

1. PENDAHULUAN

Teknologi semakin memudahkan aktivitas manusia dalam melakukan beberapa hal. Salah satu manfaat
teknologi adalah bisa digunakan untuk mendekteksi suatu kejadian cuaca yang terjadi disuatu tempat.
Teknologi yang dimaksud adalah sistem penginderaan jauh, yang merupakan suatu ilmu atau seni untuk
memperoleh data dan informasi dari suatu benda yang ada di permukaan bumi tanpa harus berhubungan atau
bertemu langsung degan benda tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1979). Di Indonesia teknologi penginderaan
jauh untuk informasi cuaca ada dua alat yaitu radar cuaca dan satelit cuaca.
Di Indonesia, satelit maupun radar cuaca memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan dan
memantau kondisi cuaca, ini disebabkan oleh luasnya wilayah indonesia dan perubahan cuaca yang sangat
cepat. Indonesia merupakan daerah tropis dengan pertumbuhan awan-awan konvektif cukup tinggi (Tjasyono,
2004). Pertumbuhan awan-awan konvektif bisa menimbulkan fenomena-fenomena cuaca seperti hujan,
guntur, angin kencang, dan fenomena-fenomena yang lainnya.
Salah satu fenomena cuaca yang terjadi karana adanya awan konvektif adalah hujan, salah satunya yang
terjadi di wilayah Melawi, Kalimantan Barat. Terjadi hujan yang sangat ekstrim dengan intensitas 205,5
mm/hari pada tanggal 28 Februari 2019. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur intensitas hujan adalah
penakar hujan Hellman yang menggunakan prinsip pelampung. Jika hujan turun air masuk dalam
penampung hujan yang mengakibatkan pelampung naik ke atas dan gerakan naik tersebut menggerakkan
pena yang di pasang pada piasnya. Pena akan naik hingga air yang ditampung 10 mm dan akan terus terulang
hingga hujan reda. Untuk lebih jelas melihat hasil dari pias hujan Hellman bisa dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Pias hujan Hellman saat kejadian.

Dari Gambar 1, Diketahui hujan mulai turun ketika pukul 19.00 WIB hingga sekitar pukul 06.00 WIB,
atau hujan terjadi hampir 11 jam tanpa henti. Hujan yang terjadi merupakan kriteria hujan sangat lebat atau
ekstrim, ini bisa di lihat pada tabel kriteria hujan yang ada di bawah ini :
Tabel 1. Kriteria intensitas hujan (sumber: BMKG).

Dari hujan yang terjadi menimbulkan bencana yaitu tanah longsor yang ada di Bukit Matuk yang ada di
wilayah Melawi. Tanah longsor ditentukan oleh dua faktor, yaitu alami dan faktor manajemen. Faktor alami
meliputi curah hujan, kemiringan lahan, batuan, keberadaan patahan, dan kedalaman tanah sedangkan faktor
manajemen adalah penggunaan lahan, infrastruktur, dan kepadatan penduduk (Paimin dkk, 2009). Tanah

196
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-6 Tahun 2019

Longsor yang terjadi di Bukit Matuk terjadi sekitar pukul 02.00 WIB, yang mengakibatkan jalan provinsi
penghubung kabupaten Melawi – Sintang terputus dan tidak bisa dilewati (SindoNews.com, 2019).
Berdasarkan kejadian hujan ekstrim yang mengakibatkan tanah longsor maka penulis ingin menganalisis
kejadian tersebut berdasarkan unsur-unsur meteorologi dengan menggunakan bantuan produk radar cuaca
dan produk satelit cuaca serta unsur-unsur meteorologi lainnya.
2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :


1. Data curah hujan dari stasiun meteorologi Nanga Pinoh Melawi pada tanggal 28 Februari 2019.
2. Data satelit Himawari 8, berupa data suhu puncak awan, indeks labilitas berupa KI (K-indeks), LI (Lifting
Indeks), SWEAT (Severe Weather Threat) dan CAPE (Convective Available Potential Energy) dari produk
NWP (Numerical weather Prediction).
3. Produk citra radar berupa produk CMAX (Column Maximum) , PAC (Precipitation Accumulation) dan SWI
(Severe Weather Indicator)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Software yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID) aplikasi ini dikembangkan oleh
Japan Meteorological Agency (JMA). SATAID mulanya di gunakan untuk keperluan menganalisis kejadian
siklon tropis (Tanaka, 2009), namun seiring perkembangan teknologi, aplikasi ini digunakan untuk
menganalisis gambar citra secara visual. Aplikasi ini juga bisa di gunakan untuk pengolahan data-data
keluaran satelit Himawari-8, selain itu, SATAID dapat digunakan untuk memonitor kondisi aktual yang
terjadi (Manual sataid, 2007). Data satelit cuaca dapat digunakan untuk pemantau kondisi sebaran awan dan
untuk bahan pertimbangan membuat prakiraan cuaca (Zakir, dkk,2010). Untuk pengolahan data radar
digunakan aplikasi Rainbow 5 yang merupakan sistem manajemen sensor yang paling komprehensif dan
canggih untuk manajemen jaringan multi-radar, analisis data, dan tampilan data radar. Aplikasi ini, dapat
digunakan untuk pemantauan cuaca, hidrologi, penerbangan, dan penelitian. (Manual Rainbow 5, 2018).
Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang penulis lakukan adalah pertama-tama menyiapkan data hujan
Hellman, kemudian data satelit cuaca Himawari-8 yang diolah menjadi data suhu puncak awan dan labilitas
udara serta kanal infrared dan uap air. Data radar cuaca berupa data reflektifitas dan juga produk PAC.
Langkah selanjutnya adalah melihat pola-pola dari unsur cuaca sehingga bisa ditarik kesimpulan mengenai
penyebab dan gambaran saat kejadian. Untuk lebih jelas, bisa dilihat prosedur penelitian yang dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian.

Untuk lokasi penelitian Adalah wilayah Melawi, Kalimantan Barat dan untuk wilayah longsor tepatnya di
Bukit Matuk, Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.

197
Analisis Hujan Ekstrem Penyebab Tanah Longsor di Melawi Memanfaatkan Data Radar dan Satelit Cuaca (Efendi, A.N., dkk.)

Gambar 3. Lokasi penelitian (sumber : https://www.google.com/maps).

Lokasi penelitan terletak di wilayah ekuator. Pada umumnya wilayah yang terletak di daerah ekuator
memiliki curah hujan yang tinggi dan terjadi dua kali periode hujan dalam satu tahun, keadaan ini bisa
disebut memiliki pola curah hujan bimodal (Tukidi, 2010). Rata-rata wilayah ekuator kecepatan anginya
relatif teduh, suhu lebih tinggi serta pertemuan angin pasat dari belahan bumi selatan dan utara. Wilayah
ekuator memiliki gaya korioli mendekati nol (Tjasyono, 2007) serta wilayah tersebut sangat rentan terhadap
pertumbuhan awan-awan konvektif penghasil hujan lebat.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis kejadian hujan sangat lebat yang terjadi di wilayah Melawi, pada tanggal 28 Februari 2018
berdasarkan data suhu udara yang merupakan ukuran derajat panas suatu benda yang dapat menentukan
kemampuan suatu benda untuk mentransfer panas atau menerima panas. Distribusi panas di atmosfer
tergantung dari radiasi matahari sehingga selalu mengalami perubahan disetiap waktunya tergantung energi
yang diterimanya (Swarinoto dan Widiastuti, 2003). Untuk kasus dalam penelitian ini, suhu udara bisa kita
lihat pada Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Suhu Udara tanggal 28 Februari 2019.

Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa suhu udara mengalami puncaknya terjadi pada pukul 16.00
WIB dengan nilai suhu 31,1 0C. Setelah itu, terus-menurus mengalami penurunan hingga pukul 06.00 WIB.

198
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-6 Tahun 2019

Bila dibandingkan dengan data hujan yang terjadi pada pukul 19.00 WIB maka pola suhu udara sesuai atau
bisa menggambarkan peristiwa hujan yang sangat lebat tersebut. Untuk data berikutnya adalah data
kelembaban udara yang merupakan konsentrasi uap air yang ada di atmosfer. Bila nilainya tinggi berarti uap
air yang ada di atmosfer banyak dan itu berlaku sebaliknya. Dalam kasus ini nilai kelembaban udara bisa kita
lihat pada Gambar 5 di bawah ini :

Gambar 5. Kelembaban udara.

Dari Gambar 5, diketahui bahwa kelembaban udara dari pukul 07.00 WIB sampai 16.00 WIB mengalami
penurunan, dengan nilai kelembaban udara paling rendah adalah 68% yang terjadi pada pukul 16.00 WIB.
Setelah itu, kelembaban udara mengalami kenaikan sehingga bisa diartikan bahwa kandungan uap air
menjadi meningkat di atmosfer dan mengindikasikan bahwa kemungkinan di daerah tersebut terjadi hujan.
Dilihat dari nilainya, tekanan udara dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 09.00 WIB mengalami kenaikan
setelah itu cenderung menurun dan puncaknya terjadi pada pukul 16.00 WIB. Grafik tekanan udara
kemudian mengalai kenaikan yang fluktuatif namun secara kecenderungan bisa dikatakan naik. Untuk lebih
jelas bisa kita lihat pada Gambar 6. yang ada di bawah ini.

Gambar 6. Tekanan udara.

Berdasarkan gambar di atas bisa kita ketahui bahwa ketika tekanan udara turun, artinya udara yang
menekan kita menjadi lebih tipis sehingga gerakan udara ke atas yang memicu pertumbuhan awan semakin
banyak, sebaliknya bila tekanan udara naik maka udara yang menekan kita menjadi lebih berat yang bisa
mengindikasikan bahwa potensi hujan sangat tinggi.

199
Analisis Hujan Ekstrem Penyebab Tanah Longsor di Melawi Memanfaatkan Data Radar dan Satelit Cuaca (Efendi, A.N., dkk.)

Gambar 7. Sreamline lapisan 3000 ft pukul 00.00 UTC (sumber: www.bom.gov.au).

Berdasarkan Gambar 7, diketahui bahwa pada lokasi kejadian terdapat pola belokan angin yang
mengindikasikan pertumbuhan awan-awan konvektif sangat mengkin terjadi sehingga wilayah tersebut sangat
berpotensi terjadi hujan. Bila dilihat dari suhu puncak awan hasil olahan aplikasi SATAID, bisa dilihat pada Gambar
8 berikut.

Gambar 8. Suhu puncak awan.

Berdasarkan Gambar 8, diketahui suhu puncak awan mengalami kenaikan dari pukul 12.00 UTC dengan
nilai sekitar 100C hingga -600C pada pukul 15.00 UTC dan puncaknya terjadi pada pukul 18.00 UTC, suhu
puncak awan bernilai -620C. Nilai suhu puncak awan yang berpotensi menimbulkan hujan tinggi berkisar
antara 195ºK - 235ºK atau (-38)0C sampai (-78)0C (Parwati dkk., 2008). Sehingga bila di lokasi kejadian
terjadi hujan yang sangat lebat, ini sesuai dengan nilai suhu puncak awan yang ada dilokasi kejadian.

200
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-6 Tahun 2019

Gambar 9. Citra satelit saat kejadian.

Dilihat pada Gambar 9, lokasi kejadian bisa dilihat pada kotak warna ungu, dan diketahui pada pukul
12.00 UTC, wilayah kejadian mulai di tutupi awan tebal. Tutupan awan terus meningkat hingga pukul 21.00
UTC tutupan awan mulai meluruh. Dari tutupan awan tersebut bisa mengindikasikan dilokasi kejadian telah
terjadi hujan dengan intensitas sangat lebat dan durasi yang cukup lama sehingga hujan tersebut bisa
dikategorikan sebagai hujan ekstrim. Untuk lebih menggambarkan kejadain tersebut bisa kita lihat citra
satelit kanal uap air yang diperlihatkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Citra uap air.

201
Analisis Hujan Ekstrem Penyebab Tanah Longsor di Melawi Memanfaatkan Data Radar dan Satelit Cuaca (Efendi, A.N., dkk.)

Berdasarkan Gambar 10, uap air mulai muncul ketika pukul 12.00 UTC dan terus berkembang hingga
mulai meluruh pada pukul 21.00 UTC. Bila dibandingkan antara terjadinya hujan dan gambar citra uap air
maka bisa dikatakan sesuai dan sebanding. Untuk mengetahui apakah ketika hujan sangat lebat tersebut
disertai dengan badai guntur, maka akan dianalisis indeks labilitas udaranya. Indikasi badai guntur biasanya
disertai dengan adanya kejadian lain seperti turbulensi, hujan es, angin kencang dan juga hujan lebat
(Mayangwulan dkk., 2011).
Dalam pembahasan makalah ini, indeks labilitas yang digunkan adalah K-Indeks, Lifting Indeks (LI),
SWEAT dan CAPE. Data diperoleh dari produk Numerical weather Prediction (NWP) yang di peroleh dari
data satelit cuaca yang diolah menggunakan aplikasi SATAID. Indeks labilitas udara berupa K-Indeks atau
yang lebih sering disebut dengan KI merupakan ukuran potensi badai yang dikarenakan gerak konvektif dan
diukur berdasarkan selisih antara suhu vertikal dan kelembaban atmosfer, K-Indeks memiliki pola diurnal
yaitu semakin siang maka nilainya semakin tinggi ini disebabkan karena kondisi atmosfer semakin labil
(Ratnam,dkk,2013). Untuk mengetahui nilai K-Indeks pada saat kejadian maka bisa dilihat pada Gambar
11 berikut.

Gambar 11. K-Indeks.

Berdasarkan hasil di atas, dapat diketahui bahwa nilai K-Indeks tertinggi terjadi pada pukul 24.00 WIB
dengan nilai 37,5 sedangkan terendah nilainya 35,4. Secara pola KI mulai naik secara signifikan terjadi pada
pukul 18.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB. Dengan nilai ini, maka indikasi potensi badai dalam kategori
sedang. Nilai indeks labilitas berikutnya adalah LI atau Lifting Indeks nilainya sebagai berikut.

Gambar 12. Lifting indeks.

Untuk nilai LI adalah ketika LI > 2 maka artinya cuacanya cerah, untuk 0 < LI < 2 artinya kemungkinan
terjadi hujan tipe shower, nilai -2 < LI < 0 menunjukkan bahwa kemungkinan untuk terjadi petir, -4 < LI < -
2 menunjukkan bahwa badai petir kemungkinan bisa terjadi dan nilai terakir yaitu LI < -4 yang
menunjukkan bahwa kemungkinan badai guntur dan bisa juga terjadi tornado. Dalam hasil di atas nilai LI
berkisar antara (-1,5) sampai (-3,3) ini artinya bahwa potensi badai petir memungkinkan untuk terjadi dan
mendukung akan cuaca buruk yang terjadi.

202
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-6 Tahun 2019

Nilai labilitas berikutnya adalah SWEAT (Severe Weather Threat) yang merupakan indeks untuk melihat
potensi cuaca buruk disuatu wilayah. Untuk nilai indeks SWEAT bisa kita lihat dari Tabel 2 yang ada di
bawah ini.
Tabel 2. Nilai Intensitas SWEAT (sumber: http://weather.uky.edu/sweat.html).

> 272 Stabil. Thunderstorms tidak mungkin terjadi.

273 - 299 Kemungkinan thunderstorms ringan

300 - 400 Thunderstorms sedang. Mendekati batas kuat

401 - 600 Thunderstorms kuat. Beberapa badai petir

601 - 800 Thunderstorms tinggi. Badai petir / tornado besar.

> 800 Dapat menimbulkan cuaca yang merusak.

Dalam kasus ini bisa kita lihat nilai SWEAT sebagai berikut :

Gambar 13. SWEAT.

Berdasarkan Gambar 13 Nilai SWEAT dari pukul 07.00 WIB mengalami kenaikan hingga pukul 13.00
WIB. Dengan menaiknya SWEAT, maka potensi thunderstorm mulai ada waluapun hanya ringan, Kemudian
ketika pukul 18.00 WIB nilai SWEAT mengalami kenaikan sehingga potensi thunderstorm meningkat dari
ringan menjadi sedang. Dari grafik tersebut maka bisa digambarkan bahwa cuaca buruk sangat mungkin
terjadi dan waktunya sesuai dengan waktu hujan turun. Untuk melihat nilai konvektivitas di suatu tempat
maka bisa menggunakan labilitas udara berupa produk CAPE (Convective Available Potential Energy). Nilai
CAPE < 300 menunjukkan udara stabil atau bisa dikatakan cerah, CAPE 300-1000 itu artinya udara mulai
labil, 1000 – 2500 artinya udara keadaan labil sedang, 2500 – 3000 udara sangat labil. Untuk nilai CAPE
pada waktu kejadian bisa kita lihat pada Gambar 13 yang ada di bawah ini.

Gambar 14. CAPE.

203
Analisis Hujan Ekstrem Penyebab Tanah Longsor di Melawi Memanfaatkan Data Radar dan Satelit Cuaca (Efendi, A.N., dkk.)

Dilihat nilai CAPE dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB mengalami kenaikan yang
cukup signifikan, dengan nilai CAPE tertinggi adalah 1212 j/kg. Dari indek tersebut menunjukkan bahwa
keadaan udara bisa di katakana cukup labil sehingga pada sore hingga malam memungkinkan terjadi potensi
hujan dan badai petir.
Pemanfaatan produk radar cuaca untuk analisis kejadian hujan lebat yang mengakibatkan tanah longsor,
peneliti menggunakan 3 produk radar cuaca yaitu CMAX, SWI dan PAC. Untuk produk radar yang pertama
adalah produk CMAX yang pada dasarnya adalah bagian dari produk max dengan konsep data mentah
dikonversi menjadi volume kartesian yang menghasilkan gambar tampilan atas dari nilai tertinggi dalam arah
vertikal yang ada dalam setiap piksel. Produk ini sangat berguna untuk analisa data reflektivitas hingga jarak
menengah. Untuk hasil produk CMAX pada saat kejadian bisa di lihat pada Gambar 14 yang ada di bawah
ini.

Gambar 15. Produk CMAX.

Berdasarkan nilai reflektifitas produk CMAX, diketahui bahwa nilai saat kejadian berkisar antara 40 – 55
dBz. Pada pukul 12.00 UTC nilai reflektifitas cukup tinggi hingga meluruh sekitar pukul 21.00 UTC. Dari
produk ini bisa kita ketahui, bahwa hujan dengan intensitas sangat lebat terjadi cukup lama sehingga
berimbas pada longsornya tanah yang memutuskan jalan penghubung Kabupaten Melawi – Sintang. Untuk
melihat daerah konvergen maupun daerah konvergen serta inti badai maka bisa di lihat pada produk SWI
yang diperlihatkan pada Gambar 16.

Gambar 16. Produk SWI.

204
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-6 Tahun 2019

Pada Gambar 16 Diketahui ketika pukul 12.00 UTC di lokasi kejadian tanah longsor merupakan daerah
konvergen yang cukup kuat, berarti arus udara berkumpul di wilayah tersebut sehingga bisa meningkatkan
pertumbuhan-pertumbuhan awan-awan konvektif yang bisa menimbulkan hujan yang sangat lebat. Selain itu,
inti badai di lokasi kejadian memiliki ukuran 741 km2 dengan volume 2281 km3 dan memiliki massa 797.550
ton. Ketika pukul 15.00 UTC daerah konvergen mulai berkurang sehingga potensi hujan mulai menurun
namun setelah pukul 18.00 UTC ternyata wilayah konvergen mengalami peningkatan lagi sehingga potensi
hujan lebat kembali meningkat dengan wilayah badai 4.993 km2, volume 13.544 km3 dan memiliki massa
5.031.685 tons, inti badai meningkat dibandingkan dengan pukul 12.00 UTC . Ketika Pukul 21.00 UTC
untuk wilayah konvergen sudah mulai menurun, ini mengindikasikan bahwa potensi hujan semakin menurun
dan lama kelamaan akan berhenti. Indikasi lain, hujan mulai reda adalah inti badai mulai meluruh di lokasi
kejadian.
Berdasarkan Produk PAC atau produk akumumulasi curah hujan selama 24 jam, pada Gambar 17, yang
terpantau pada radar cuaca di lokasi kejadian tanah longsor menunjukkan nilai curah hujan sebesar 132,17
mm. Walupun nilainya lebih kecil dari pengamatan manual, namun nilai dari radar cuaca cukup bisa
menggambarkan bahwa hujan yang terjadi sangat lebat atau ekstrim dengan baik sehingga bisa dikatakan
bahwa hujan ekstrim tersebut merupakan salah satu faktor diantara faktor-faktor lain, penentu tanah longsor
di lokasi kejadian.

Gambar 17. Produk PAC.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kejadian hujan sangat lebat atau ektrim yang
terjadi di wilayah Melawi, Kalimantan Barat, bisa di deteksi dengan baik mengunakan produk penginderaan
jauh yaitu radar dan satelit cuaca. Saat kejadian nilai suhu puncak awan dari satelit cuaca berkisar antara
100C hingga -620C, dilihat nilai indek labilitas saat kejadian adalah K-indeks tertinggi adalah 37,5 dan
terendah 35,4. Nilai tertinggi Lifting Indeks adalah -1,5 dan terendahnya adalah -3,3. Nilai SWEAT tertinggi
adalah 314 dan terendah 109, untuk nilai CAPE nilai tertinggi 1.212 j/kg dan nilai terendah 233 j/kg. Untuk
nilai reflektifitas dari produk CMAX radar cuaca saat kejadian adalah 40 dBZ – 55 dBZ. Berdasrkan produk
SWI saat kejadian wilayah tersebut merupakan daerah konvergen yang mengindikasikan bahwa potensi
pertumbuhan awan-awan konvektif begitu tinggi. Dari produk PAC nilai hujan yang tercatat pada radar
adalah 132,17 mm walupun nilainya lebih rendah dari nilai hujan yang tercatat di stasiun meteorologi Nanga
Pinoh-Melawi. Namun, ini cukup baik dalam hal menggambarkan bahwa hujan yang terjadi sangat ekstrim.
Untuk kedepannya pemanfaatan produk radar dan satelit cuaca diharapkan akan lebih maksimal sehingga
bisa digunakan untuk memberikan peringatan dini cuaca buruk kepada masyarakat supaya bisa mengurangi
dampak yang bisa ditimbulkan.

205
Analisis Hujan Ekstrem Penyebab Tanah Longsor di Melawi Memanfaatkan Data Radar dan Satelit Cuaca (Efendi, A.N., dkk.)

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang selalu mendukung dan memotivasi
dalam berkarya, Kepala Stasiun Meteorologi Nanga Pinoh Melawi dan Kepala Meteorologi Susilo Sintang
Bapak Toni Kurniawan dan Bapak Supriandi dalam hal memberi kesempatan dan pemberian data-data yang
penulis butuhkan, serta tak lupa kami ucapkan rekan-rekan operasional yang ada di stasiun Meteorologi
Nanga Pinoh dan Sintang atas masukan dan arahannya.

6. DAFTAR PUSTAKA

Lillesand.T.M. dan R.W.Kiefer. (1979). Remote Sensing and Image Interprestation, John Willey and Sons, New York.
Manual Rainbow 5. (2018). Selex Es Afinmeccanica Company.Germany
Manual Sataid. (2007). BMKG,Jakarta.
Mayangwulan, D., Wiratmo, J., dan Siregar, P, M. (2011). Potensi Kejadian Badai Guntur Berdasarkan Parameter
Kelembapan, Labilitas Udara, dan Mekanisme Pengangkatan (Studi Kasus: di Bandar Udara Frans Kaisiepo
Biak). Jurnal Sains Dirgantara Vol. 8 No.2 : 139 – 156.
Paimin, Sukresno dan Pramono, I. B. (2009). Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Balikpapan: Tropenbos
International Indonesia Programme.
Parwati, S., Yulianto, F. dan Suprapto, T. (2008). Penentuan Nilai Ambang Batas untuk Potensi Rawan Banjir dari
Data MT-SAT dan QMORPH, Jurnal LAPAN, Vol 5, Jakarta.
Ratnam, M. V.,Y. Durgha S., M. Rajeevan, dan S. Vijaya B. R. (2013). Diurnal Variability of Stability Indices
Observed Using Radiosonde Observations Over a Tropical Station: Comparison with Microwave Radiometer
Measurements. Atmospheric Research 124 (2013) 21 – 33.
SindoNews.com. (2019). Bukit matuklongsor, jalan Melawi –Sintang kalbar terputus. Berita online. 1 Maret 2019 :
Melawi.
Tanaka,Y. (2009). SATAID-powerful Toolfor Satellite Analysis.RMSC Tokyo-Typhoon Center,Japan Meteorology
Agency.
Tjasyono, B. (2004). Klimatologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Tjasyono, B. (2007). Mikrofisika Awan dan Hujan, BMKG, Jakarta.
Tukidi. (2010). Karakter Curah Hujan di Indonesia, Jurnal Geografi Fis UNNES, Vol 7, No 2, Semarang.
Swarinoto, Y. dan Widiastuti, M. (2003). Uji Statistika Terhadap Persamaan Eksperimental Untuk Menghitung Nilai
Suhu Udara Permukaan Rata-rata Harian, Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 3. No.3 Juli-September
Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M. (2010). Perspektif Operasional CuacaTropis, Badan Klimatologi dan
geofisika, Jakarta.

206

Anda mungkin juga menyukai