Anda di halaman 1dari 7

LOKABASA

Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah serta Pengajarannya


Volume 11, No. 1, Bulan April Tahun 2020, Hal. 22-28
p-2338-6193 (print) | e-2528-5904 (online)
Article URL: http://ejournal.upi.edu/index.php/lokabasa
doi: 10.17509/jlb.v10i1

Tata Ruang Kosmologis Masyarakat Adat


Kampung Naga berbasis Naskah Sunda Kuno
Elis Suryani Nani Sumarlina, Rangga Saptya Mohamad Permana,
Undang Ahmad Darsa
Universitas Padjadjaran
elis.suryani@gmail.com, ranggasaptyamp@gmail.com, undang.a.darsa@unpad.ac.id

Sejarah Artikel: Diterima (05 November 2019); Diperbaiki (27 Desember 2019); Disetujui (15
Januari 2020); Published (30 April 2020)
Bagaimana mengutip artikel ini (dalam gaya APA): Sumarlina, E. S. N., Permana, R. S. M., Darsa,
U. A. (2020). Tata Ruang Kosmologis Masyarakat Adat Kampung Naga Berbasis Naskah Sunda
Kuno. Lokabasa, 11(1), 22-28. doi: 10.17509/jlb.v10i2.21333
Abstrak: Secara kosmologis, manusia dipandang sebagai mikrokosmosnya jagat raya, seluruh
kehidupannya harus selalu menjalankan segala siksa atau ajaran Sanghyang Darma. Itulah manusia ideal
yang kelak dapat mencapai surga abadi atau nirwana menurut naskah Sanghyang Raga Dewata (SRD),
salah satu naskah lontar beraksara dan berbahasa Sunda kuno abad ke-16 Masehi. Konsep tata ruang
masyarakat Sunda secara kosmologis, berdasarkan beberapa naskah Sunda abad ke-16 Masehi, bersifat
tiga serangkai, tritunggal atau triumvirate. Masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran
antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Dalam tatanan ini,
berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya. Tulisan ini menyajikan kosmologis tata ruang
masyarakat adat Kampung Naga, berbasis naskah Sunda Kuno abad ke-16 Masehi, yang dikaji melalui
metode penelitian deskriptif analisis, dan kajian filologi dan budaya. Konsep kosmologis masyarakat
Kampung Naga seperti itu, berkaitan erat dengan konsep yang dikenal dengan sebutan Tri Tangtu di
Bumi, yang meliputi ‘tata wilayah’, ‘tata wayah’, dan‘tata lampah’, yang ketiganya saling berhubungan
satu sama lain, sesuai dengan adat dan tradisi mereka.
Kata Kunci; Kampung Naga; Tataruang Kosmologis; Tri Tangtu Di Bumi

Cosmological Space for Indigenous Peoples of Kampung Naga


Based on Ancient Sundanese Manuscripts

Abstract: Cosmologically, humans are seen as the microcosm of the universe whose entire life must
always carry out all the torments or teachings of the Sanghyang Darma. That is the ideal human who
can reach eternal heaven or nirvana according to the Sanghyang Raga Dewata (SRD) manuscript, one
of the lontar manuscripts and the ancient Sundanese language of the sixteenth century AD. The
cosmological concept of spatial Sundanese society, based on several Sundanese manuscripts of the XVI
century AD, is triad, triune or triumvirate. Sundanese people have a view of parallels between the
macrocosm and the microcosm, between the universe and the human world. This order seeks to find the
meaning of the world according to its existence. This paper presents the cosmological layout of the
Kampung Naga indigenous people, based on the Ancient Sundanese XVI century AD, which is examined
through descriptive analysis research methods, and philological and cultural studies methods. The
cosmological concept of the Kampung Naga community is closely related to the concept known as Tri
Tangtu Di Bumi, which includes ‘tata wilayah', 'tata wayah', and 'tata lampah', all of which are
interconnected with one another, according to their customs and traditions.
Keywords; Cosmological space; Kampung Naga; Tri Tangtu Di Bumi

PENDAHULUAN berupa naskah abad ke-16 Masehi, yang


Apabila dicermati secara sek- bisa kita gali dan kita ungkapkan di masa
sama, tanpa kita sadari banyak manfaat kini. Ada beberapa hal menarik dari teks
serta informasi budaya, hasil kreativitas naskah lontar abad ke-16 Masehi
dan warisan karuhun orang Sunda tersebut, baik ajaran moral, sistem
Copyright ©2020 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.
22
Elis Suryani Nina Sumarlina, dkk.: Tata Ruang Kosmologi Masyarakat… | 23

pemerintahan, kepemimpinan, konsep ke-16 Masehi, yang kini tersimpan


tata ruang kosmologis, maupun unsur dalam koleksi skriptorium Kabuyutan
budaya lainnya, seperti juga diungkap- Ciburuy, Bayongbong, Kabupaten
kan oleh Danasasmita (1987) dan Garut. Metode deskriptif analisis
Suherman (2019, hlm. 264). Hal ini komparatif yang digunakan dalam
dapat memberi sedikit gambaran penelitian diarahkan guna mengolah
mengenai kearifan lokal, yang sangat teks-teks tertulis dalam naskah tradisi
berharga dan masih relevan untuk Sunda kuno melalui langkah berikut:
diketahui di era global dan canggih saat pengidentifikasian konteks terhadap
ini. teks-teks naskah itu yang memiliki
Konsep tata ruang kosmologis makna fungsional yang sama;
Sunda, saat ini masih dapat kita lihat pengidentifikasian konteks melalui
pada masyarakat Kampung Naga, pengenalan kembali terhadap adanya
sebagai salah satu kampung adat yang persamaan-persamaan (sintagma) dan
masih memegang teguh ‘tradisi’ perbedaan-perbedaan (paradigma); dan
leluhurnya, terutama berkaitan dengan mencari relevansi berdasarkan teori-
masalah ‘rumah‘. Bagi mereka, rumah teori yang umum maupun yang spesifik
tidak hanya sekadar tempat berteduh, terhadap data yang dihadapi. Hal ini
namun berkelindan dengan makna yang berkaitan dengan satu dari enam definisi
terkandung di balik rumah itu sendiri. yang dinyatakan Palmer (1969) bahwa
Hal ini jika dihubungkan dengan kata hermeneutika merupakan general
‘imah’ atau ‘bumi’, yang berarti ‘dunia’, philological methodology ‘metodologi
sebagaimana dalam tatanan tata surya. filologi umum’, meskipun tidak secara
Bumi adalah tempat hidup makhluk yang khusus dibandingkan antara keduanya,
disebut manusia, maka rumah bagi yakni kosmologis masyarakat Kampung
masyarakat Kampung Naga dianggap Naga dengan sistem kosmologis yang
bukan hanya sebagai tempat tinggal, ada dalam naskah Sunda Kuno.
namun merupakan bagian dari konsep
kosmologisnya, sebagaimana tercermin HASIL DAN PEMBAHASAN
dalam penataan pola kampung, bentuk Salah satu pengejawantahan dan
rumah, serta pembagian ruang-ruang- cerminan dari hubungan antara mikro-
nya. Untuk menjaga keseimbangan kosmos dan makromokosmos dalam
dalam kehidupannya, Suganda (2006, kehidupan masyarakat Kampung Naga,
hlm. 40) dan Hermawan (2014, hlm. mereka menganggap bahwa tempat
144) menyebutkan bahwa masyarakat tinggal manusia yang masih hidup,
Kampung Naga memiliki keyakinan bukanlah di “dunia bawah”, karena
bahwa hubungan antara makrokosmos ‘dunia bawah’ menurut mereka adalah
dengan mikrokosmos harus tetap dijaga, ‘tanah’. Manusia berada di ‘dunia
agar senantiasa terjalin keharmonisan bawah’ apabila sudah meninggal dunia.
dan keselarasan dalam kehidupannya. Manusia yang masih hidup, tinggal dan
berada di ‘dunia tengah’, sedangkan
METODE yang dimaksud ‘dunia atas’ adalah
Objek dan sumber data adalah ‘langit’. Konsep kosmologis masyarakat
masyarakat adat Kampung Naga, yang Kampung Naga seperti itu, berkaitan erat
berada di daerah Neglasari, Kecamatan dengan konsep yang dikenal dengan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, sebutan Tri Tangtu di Bumi, yang
khususnya berkaitan dengan tata ruang meliputi ‘tata wilayah’, ‘tata wayah’,
kosmologis lokasi dan tatanan Kampung dan‘tata lampah’, yang ketiganya
Naga yang ada kaitannya dengan saling berhubungan satu sama lain,
naskah-naskah lontar Sunda kuno abad sesuai dengan adat dan tradisi mereka.

Copyright ©2020 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


24 | LOKABASA Vol. 11, No. 1, April 2020

Hal ini juga tampak pada pola ‘bentuk bangunan rumah yang di bagian
pembagian lahan, yang terbagi menjadi depan belakangnya memakai sorondoy
kawasan suci, kawasan bersih, dan seperti sayap julang yang sedang terbang
kawasan kotor yang dijadikan tempat atau mengepakkan sayapnya’, yang
pemukiman masyarakat Kampung Naga, merupakan ciri khas bangunan tradisi-
dikelilingi oleh lahan pertanian sawah onal Sunda. Betapapun rapatnya
yang berteras-teras/sengkédan dan hutan bangunan rumah di Kampung Naga,
tutupan. Sebagian lagi berupa kolam bagian ujungnya tidak boleh menutup
tempat penampungan air dan pemeli- atap bangunan rumah di sebelahnya.
haraan ikan, yang terdiri atas tiga
elemen yang saling mendukung dalam
pemenuhan sehari-hari, yakni rumah
sebagai tempat tinggal, sumber air yang
selalu tersedia, dan kebun/kolam tempat
pemeliharaan ikan. Konsep Tri Tangtu di
Bumi ini juga sering dijadikan acuan
untuk mengkaji sistem pemerintahan
tradisional Sunda, seperti yang dilaku- Setiap rumah di Kampung Naga,
kan Heryana (2010). ujung atap bagian atasnya dipasangi
Bentuk rumah Kampung Naga ‘gelang-gelang’. Tiang gelang-gelang
yang khas, memang menjadi salah satu terbuat dari sepasang bambu setinggi
daya pikat tersendiri, dengan letak kurang lebih setengah meter dari puncak
membujur arah utara-selatan. Tampak atas, sehingga bentuknya menyerupai
dari kejauhan, atap bangunannya tanduk atau huruf ‘V’. Bambu ‘gelang-
bagaikan deretan trapesium yang gelang’ tersebut kemudian dililit
memanjang dengan ijuk berwarna hitam. tambang ijuk, kemudian bagian atasnya
Letak bangunan rumahnya saling ditutup dengan batok kelapa, sehingga
berhadapan, serta tidak boleh membela- terlindung dari terik mataharti dan
kangi bagian depan rumah lainnya. siraman air hujan. Sebagian orang
Selain berkelompok, dindingnya sera-
menyebutnya ‘cagak gunting, capit
gam berwarna putih dilabur kapur, hurang atau capit gunting, yakni bentuk
sedangkan sebagian lainnya dibiarkan bangunan rumah yang bagian pinggir
sesuai warna aslinya. Kusen jendela atap gentingnya memakai bambu atau
maupun kusen pintunya tidak boleh kayu disilangkan /menyilang seperti
dicat, kecuali dimeni agar bisa tahan gunting hendak mencapit’. Gelang-
lebih lama, serta bernuansa lebih cerah. gelang tersebut sebagai simbol ikatan
Bangunan rumah masyarakat kesatuan dalam kepercayaan mereka
Kampung Naga berbentuk rumah terhadap alam semesta dengan segenap
panggung. Bahan bangunannya hampir isinya, di mana matahari bergerak dari
seluruhnya terbuat dari bahan-bahan timur ke barat. Itu sebabnya rumah
lokal yang mudah didapat di daerah masyarakat Kampung Naga tidak boleh
setempat, kecuali untuk beberapa bagian
tertentu, seperti paku dan kaca untuk
jendela. Hal ini disesuaikan dengan
pikukuh tradisi leluhurnya.
Bentuk bangunan masyarakat
Kampung Naga, dilihat dari suhunan
yang atapnya dilapisi ijuk berbentuk
memanjang, dikenal dengan sebutan
suhunan panjang atau julang ngapak

Copyright ©2020 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


Elis Suryani Nina Sumarlina, dkk.: Tata Ruang Kosmologi Masyarakat… | 25

menghadap ke arah timur, karena dikenal dengan sebutan palupuh, yang


dianggap melanggar tradisi dan kodrat terbuat dari bambu atau papan dengan
alam (tabu). alas tikar. Tepas imah juga berfungsi
Bentuk dan bagian rumah di sebagai ‘penyerap’pengaruh buruk yang
Kampung Naga menurut pandangan masuk ke dalam rumah. Sebagai
Naga, harus dilihat sebagai kategorisasi pencegah hal yang tidak diinginkan, di
ritual, yang ditata berdasarkan kategori bagian atas pintu masuk, mereka meng-
jenis kelamin, serta perannya dalam gantungkan semacam anyaman yang
keluarga. Kaum laki-laki menempati disebut tangtang angin, yang dianggap
bagian depan, sedangkan kaum perem- sebagai penolak bala. Setiap Bulan
puan, yang bertugas mengatur keluarga, Muharam, tangtang angin diganti
menguasai ruang lainnya yang berada di dengan yang baru. Letak pintu depan
dapur. Sebelum masuk ke rumah, di tempat menggantungkan tangtang angin
bagian paling depan ada yang disebut pun tidak boleh sejajar dengan pintu
golodog, yang terbuat dari bambu belakang/dapur. Hal ini dipercaya bisa
dibelah dua, namun ada juga yang mengakibatkan penghuninya selalu
terbuat dari papan. Golodog biasanya mengalami kesulitan ekonomi.
terdiri atas satu atau dua tahapan, dengan Bagian rumah yang berada di
panjang masing-masing sekitar dua tengah disebut tengah imah, berfungsi
meter dan lebar 30-40 cm. Golodog sebagai ruang tempat berkumpulnya
selain berfungsi sebagai tangga anggota keluarga, juga sebagai tempat
memasuki rumah panggung, pada waktu belajar anak-anak. Rumah Kampung
tertentu biasa digunakan tempat duduk- Naga rata-rata berukuran 6 x 8 meter,
duduk, semacam teras untuk sekedar maka dari itu, tengah imah pada malam
ngabungbang atau berangin-angin. hari juga dipakai sebagai tempat tidur.
Golodog Ruangan tempat tidur di Kampung Naga
disebut pangkéng, yang di dalamnya
hanya dilengkapi dengan kasur dan
bantal, yang digelar di atas palupuh.
digunakan bagi suami istri pemilik
rumah. Untuk rumah yang lebih besar
biasanya memiliki dua buah pangkéng.
Ruang wilayah kekuasaan kaum
perempuan, disebut dapur, berfungsi
Tantang Angin sebagai tempat memasak dan
menyiapkan hidangan, sedangkan goah
merupakan tempat menyimpan beras
atau gabah. Goah dalam kehidupan
masyarakat Kampung Naga berperan
penting, sehingga untuk menentukan
letak goah tersebut dibutuhkan perhitu-
ngan tertentu berdasar atas weton ‘hari
Ruang depan yang biasa lahir’ sang istri. Berdasarkan weton
dijadikan sebagai ruang tamu disebut tersebut, ditetapkan apakah goah akan
tepas imah atau ruang laki-laki apabila ditempatkan di sebelah timur atau barat.
menerima tamu atau menghabiskan Dengan ditetapkannya letak goah, maka
waktu senggangnya. Sebagaimana ujung bambu atau kayu bangunan yang
rumah adat lainnya, tepas imah di digunakan ketika membangun rumah
Kampung Naga tidak dilengkapi dengan tersebut harus searah dengan ruang
meja kursi, mereka duduk di lantai yang goah. Ruangan lain yakni kolong imah,

Copyright ©2020 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


26 | LOKABASA Vol. 11, No. 1, April 2020

tingginya kurang lebih 60 cm, berfungsi Berkaitan dengan konsep tata


sebagai tempat menyimpan alat-alat ruang masyarakat Sunda secara
pertanian, kayu bakar atau sebagai kosmologis, sebagaimana tercermin
kandang hewan (ayam atau itik). Dengan dalam naskah Sunda Kuno Sanghyang
adanya kolong imah, akibat buruk dan Hayu (disingkat SH). Menurut SH, tata
udara lembab yang berasal dari permu- ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi
kaan tanah bisa dikurangi. tiga susunan, yaitu: (1) susunan dunia
bawah, saptapatala ‘tujuh neraka’, (2)
buhloka bumi tempat kita bernaung atau
madyapada; dan (3) susunan dunia atas,
saptabuana atau buanapitu ‘tujuh
sorga’. Tempat di antara saptapatala
dengan saptabuana disebut madyapada,
yakni pratiwi. Proses penciptaan alam
dalam naskah meliputi buwana (jagat
Ada suatu kelebihan dalam raya), pretiwi (bumi), sarira (diri
penataan bangunan di Kampung Naga, sendiri), dan para dewa pengatur jagat
yakni kemampuan masyarakatnya dalam (Darsa, 1998).
melakukan harmonisasi dan menyelaras- Naskah kuna lainnya, Kropak
kan kehidupannya dengan kosmologis- 422 menyebutkan bahwa alam semesta
nya, bahkan Riany (2014, hlm. 11) terbagi dalam tiga dunia, yaitu sakala
menyebutkan bahwa gaya arsitekturnya (dunia nyata), niskala (dunia gaib), dan
banyak menerapkan kosmologi astro- jatiniskala (kemahagaiban sejati).
nomi, filosofi dan agama. Dengan Dalam naskah Sanghiyang Siksa
kearifan lokal yang dimilikinya, mereka Kandang Karesian (SSSK), paparan
berusaha menyesuaikan dan menyelaras- kahyangan para dewa lokapala (pelin-
kan kebutuhan hidupnya akan lahan dung dunia), disesuaikan dengan
pemukiman dengan, memperhitungkan kedudukan arah mata angin dengan
topografi wilayahnya yang berbukit- warna masing-masing yang disebut
bukit. Lahan pemukiman masyarakat Sanghiyang Wuku Lima di Bumi, yaitu
Kampung Naga adalah daerah yang Isora bertempat di kahyangan timur
permukaan tanahnya tidak rata/berbukit- (Purwa), putih warnanya. Daksina
bukit. Kondisi permukaan tanah ‘selatan’, tempat tinggal Hyang Brahma,
demikian, sebenarnya mudah terkena merah warnanya. Pasima ‘barat’ tempat
longsor. Sebagai antisipasi jika terjadi tinggal Hyang Mahadewa, kuning
bencana alam (gempa atau longsor), warnanya. Utara yaitu ‘utara’ tempat
selain bentuk bangunannya panggung, tinggal Hyang Wisnu, hitam warnanya.
mereka juga membuat séngkédan, yang Madya ‘tengah’, tempat Hyang Siwa,
diperkuat dengan susunan batu kali, aneka macam warnanya . Cerita pantun
sehingga bentuknya menyerupai teras Eyang Resi Handeula Wangi memuat
dan tampak indah, asri, serta artistik. kosmologi Sunda kedalam tiga bagian,
yaitu Buana Nyungcung ‘dunia roh’,
Buana Panca Tengah‘dunia manusia’,
dan Buana Larang. Mandala hanya
dikenal di Buana Nyungcung (Suryani,
dkk., 2009).
Berdasar atas Naskah Sanghyang
Hayu, Sanghyang Raga Dewata,
Jatiniskala, Fragment Carita
Parahiyangan, dan Sanghyang Siksa-

Copyright ©2020 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


Elis Suryani Nina Sumarlina, dkk.: Tata Ruang Kosmologi Masyarakat… | 27

kandang Karesian, konsep tata ruang nya sebagaimana tercermin dalam


kosmologis komunitas Kampung Naga, naskah-naskah buhun dan masyarakat
merupakan salah satu ‘perwujudan’ dari adat Kampung Naga yang masih kokoh
sistem kemasyarakatan dan tata ruang memegang adat istiadat dan tradisi.
masyarakat Sunda masa lampau, yang
mampu memberikan sebagian gambaran SIMPULAN
bahwa masyarakat Sunda di masa Konsep kosmologis masyarakat
lampau telah memiliki satu taraf Kampung Naga seperti itu, berkaitan erat
kehidupan sosial yang cukup teratur. dengan konsep yang dikenal dengan
Konsep kosmologis Sunda, jika sebutan Tri Tangtu di Bumi, yang
dikaitkan dengan kabuyutan yang meliputi ‘tata wilayah’, ‘tata wayah’,
merupakan peninggalan suatu kerajaan dan‘tata lampah’, yang ketiganya
Sunda masa lampau, biasanya mengacu saling berhubungan satu sama lain,
pada sebuah nama tempat yang merujuk sesuai dengan adat dan tradisi mereka.
pada suatu lokasi secara menyeluruh, Hal ini juga tampak pada pola
sebagai tempat yang memiliki fungsi pembagian lahan, yang terbagi menjadi
magis dalam tatanan ruang bagi kawasan suci, kawasan bersih, dan
masyarakat yang tinggal di kawasan kotor yang dijadikan tempat
sekelilingnya. Lokasi ‘kabuyutan’ pemukiman masyarakat Kampung Naga,
biasanya tidak bisa dipisahkan dengan yang dikelilingi oleh lahan pertanian
lokasi lain yang ada di sekitarnya, yang sawah yang berteras-teras/sengkédan
secara geografis mengarah ke suatu dan hutan tutupan. Sebagian lagi berupa
tempat tertentu yang menjadi ‘ciri’ kolam tempat penampungan air dan
patilasan atau “ciri wanci kabuyutan pemeliharaan ikan, yang terdiri atas tiga
sebuah karajaan”. Lokasi sebuah elemen yang saling mendukung dalam
kabuyutan, kehidupannya menyatu pemenuhan sehari-hari, yakni rumah
dengan alam. Para leluhur kita sangat sebagai tempat tinggal, sumber air yang
memahami aspek lingkungan dan dapat selalu tersedia, dan kebun/kolam tempat
memilih daerah yang "ramah pemeliharaan ikan.
lingkungan" untuk seluruh kehidupan-
nya, termasuk aspek ritualnya, sebagai- UCAPAN TERIMA KASIH
mana tercermin dalam kosmologis Segala puji dan syukur kita
Kampung Naga. curahkan kepada Allah Swt. dengan
Sebuah kabuyutan bukanlah rahmat dan hidayah-nya artikel ini bisa
sebuah tempat yang berdiri sendiri, selesai. Terimakasih kepada semua
tetapi termasuk ke dalam sebuah sistem pihak yang membantu dari mulai
tata ruang kosmologis yang saling mengumpulkan data dan proses analisi
mempengaruhi dengan tenaga-tenaga artikel ini. Semoga artikel ini membawa
yang bersumber pada tempat-tempat di manfaat untuk guru, siswa, dan
sekitarnya, baik secara arkeologis, pembaca. Maka daripada itu peneliti
geologis, geomorfologis, filologis, menantikan kritik atau saran yang
antropologis, maupun folklor. Tenaga- membangun untuk artikel ini bisa lebih
tenaga ini mungkin bisa menghasilkan sempurna di waktu yang lain.
kemakmuran dan kesejahteraan, atau
bahkan bisa berakibat kehancuran. Hal CATATAN PENULIS
ini bergantung kepada kearifan individu, Penulis menyatakan bahwa tidak
kelompok masyarakat, serta pemerintah ada konflik kepentingan terkait publikasi
agar mampu menyelaraskan dan artikel ini. Penulis mengkonfirmasi
mengharmonisasikan kehidupan dan bahwa data dan artikel ini bebas
kegiatan manusia dengan kosmologis- plagiarisme.

Copyright ©2020 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.


28 | LOKABASA Vol. 11, No. 1, April 2020

Arsitektur Rumah Tinggal


PUSTAKA RUJUKAN Vernakular di Kampung Naga.
Reka Karsa, 4(2).
Danasasmita, Saleh dkk. (1987). Sewaka
Darma, Sanghyang Siksakandang Suganda, H. (2006) Kampung Naga
Karesian, Amanat Galunggung. Mempertahankan Tradisi.
Bandung: Proyek Penelitian dan Bandung: Kiblat.
Pengkajian Kebudayaan Sunda Suherman, A. (2019). Literacy Tradition
(Sundanologi). of Sundanese Society - Indonesia:
Darsa, Undang Ahmad. (1998). An annotation of the 16th Century
Sanghyang Hayu: Kajian Ancient
Filologis Naskah Bahasa Jawa Manuscript. International
Kuno di Sunda pada Abad XVI. Journal for Innovation Education
(Tesis Magister Humaniora). and Research, 7(3), 262-271.
Bandung: Pascasarjana https://doi.org/10.31686/ijier.Vol
Universitas Padjadjaran. 7.Iss3.1377.
Hermawan, I. (2014). Bangunan Suryani NS, Elis. (2009). Kearifan Lokal
Tradisional Kampung Naga: Budaya Sunda yang Tercermin
Bentuk Kearifan Warisan Leluhur dalam Naskah dan Prasasti.
Masyarakat Sunda. Sosio Tasikmalaya: Laporan Penelitian.
Didaktika, 1(2). Suryani NS, Elis., dkk. (2009). Laporan
Heryana, A. (2010) Tritangtu di Bumi di Penelitian Kedudukan Lahan
Kampung Naga: Melacak Artefak Penambangan Batu Kampung
Sistem Pemerintahan (Sunda). Selareuma Pasir Reungit
Patanjala, 2(3). Kelurahan Pasanggrahan
Kecamatan Sumedang Selatan
Palmer, R.E. (1969). Hermeneutics.
Kabupaten Sumedang dalam
Illinois: Northwestern University
Konstelasi Kabuyutan
Press.
Sumedanglarang. Sumedang.
Riany, S dkk. (2014). Kajian Aspek
Kosmologi-Simbolisme pada

Copyright ©2020 Universitas Pendidikan Indonesia. All rights reserved.

Anda mungkin juga menyukai