Anda di halaman 1dari 8

Identifikasi Pola Curah Hujan Diurnal Menggunakan Citra Satelit GSMAP

(Global Satellite Mapping of Precipitation) di Wilayah Jabodetabek

Abdul Hamid Al Habib1*), Hayu Nur Mahron1, Kholis Nur Cahyo1, dan Imma Redha
Nugraheni1
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Geofisika
*)
E-mail: abdulhamidalhabib96@gmail.com

ABSTRAK - Curah hujan adalah unsur utama yang diukur dalam meteorologi karena curah hujan berpengaruh
pada berbagai sektor seperti pertanian, pariwisata dan kesehatan. Pengukuran curah hujan pada tiap stasiun
pengamatan menghasilkan data curah hujan titik, yang dianggap mewakili curah hujan untuk radius tertentu.
Beberapa dekade terakhir untuk mengatasi permasalahan tersebut, dikembangkan pengukuran/estimasi curah
hujan mengunakan satelit luar angkasa Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP). Wilayah
Jabodetabek sebagai sebuah kawasan metropolitan dan pusat pemerintahan merupakan wilayah yang sangat luas
dan memiliki pola curah hujan yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan pola curah
hujan menggunakan satelit GSMaP baik secara spasial maupun variasi temporal. Data satelit GSMaP selama
jangka waktu lima tahun (2014 s/d 2018) digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
di wilayah Jabodetabek puncak curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus, serta puncak curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Januari. Sedangkan, pola curah hujan harian sering terjadi pada waktu sore hari.

Kata kunci: Curah hujan, Citra Satelit, GSMaP

I. PENDAHULUAN

Pola dinamika cuaca di benua maritim Indonesia sangat bervariasi. Pengaruh topografi dan letak
geografis yang bervariasi pada setiap wilayah di Indonesia mengakibatkan keanekaragaman pola distribusi curah
hujan. Wilayah Indonesia sangat menarik untuk diteliti lebih jauh mengenai kompleksitas fenomena
meteorologisnya seperti distribusi curah hujan. Salah satu wilayah yang menarik untuk dikaji adalah wilayah
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) dengan tipe topografi berbukit dan dikelilingi oleh
lautan. Wilayah ini terletak di sebelah selatan Laut Jawa dan sebelah utara Samudra Hindia.

Distribusi hujan di Indonesia dipengaruhi berbagai faktor seperti pergerakan monsun Asia dan
Australia, waktu matahari melewati khatulistiwa, serta pengaruh orografik (Tjasyono dkk., 2008). Berbagai
faktor ini menyebabkan Indonesia secara umum memiliki tiga pola hujan utama (Aldrian dan Susanto, 2003) dan
membuat curah hujan sebagai salah satu parameter atmosfer yang sulit diprediksi. Analisis dan prediksi menjadi
penting karena curah hujan merupakan salah satu faktor paling penting dalam berbagai aspek seperti pertanian,
ketersediaan air, kebencanaan, dan sebagainya.

Kendala utama yang sering dihadapi dalam proses analisis dan prediksi hujan adalah minimnya data
hujan akibat keterbatasan stasiun observasi. Keterbataasan tersebut antara lain data hujan tidak lengkap dan tidak
cukup panjang, serta sebaran stasiun yang kurang merata. Selain kendala diatas, perolehan data hujan dengan
cepat juga sulit dilakukan karena masih membutuhkan pemeriksaan kualitas data sebelum digunakan. Salah satu
data hujan yang dapat dimanfatkan dan diperoleh dari pendugaan adalah data satelit (Mamenun dkk., 2014).
Data penginderaan jauh seperti citra satelit dan citra radar cuaca saat ini banyak digunakan untuk melengkapi
data pengamatan curah hujan di daerah yang tidak terdapat stasiun pengamatan curah hujannya.

Data satelit Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) merupakan salah satu sumber data
estimasi hujan. Menurut Kachi (2012) GSMaP diperoleh dari perpaduan hasil pengamatan multisatelit (Aqua
AMSR-E, DMSP SSM/I (SSMIS), TRMM TMI), (NOAA & MetOp AMSU-A/MHS) dan algoritma. Algoritma
yang digunakan terdiri dari algoritma microwave radiometer (MWR) algorithm dan Blended MWR-IR algorithm
(Kubota dkk., 2007). Data yang dimiliki GSMaP saat ini terdiri dari data reanalysis sejak Maret 2000, data v5,
v6, dan realtime (JAXA Global Rainfall Watch). Data hujan tersedia tiap jam dan dapat diakses empat jam
setelah pengamatan oleh satelit. Kelebihan lainnya dari GSMaP adalah resolusi spasialnya yang mencapai
0,1ºx0,1º atau setara dengan 11,06 x 11,06 km sehingga dapat diperoleh data hujan di semua wilayah Indonesia
yang memiliki keragaman tinggi (Kachi, 2012).

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM | 814
Berbagai kelebihan GSMaP diatas menyebabkan GSMaP digunakan untuk analisis bencana
meteorologi seperti siklon tropis (Aonashi dkk., 2009; Kubota dkk., 2007 dalam Shige dkk., 2009). JAXA,
ICHARM, dan IFNet/IDI telah mempelajari kemungkinan penggunaan informasi hujan yang diperoleh dari
GSMaP untuk sistem peringatan dini/prakiraan banjir sejak 2003 (Kachi, 2012). Penelitian ini akan dilakukan
untuk memetakan pola curah hujan GSMaP baik secara spasial pada berbagai topografi dan variasi temporal
(harian dan bulanan). Hasil yang didapatkan diharapkan dapat menjadi referensi dalam penggunaan data citra
satelit GSMaP ini untuk melengkapi data pengamatan langsung untuk keperluan analisis cuaca dan iklim di
wilayah Jabodetabek seperti verifikasi prakiraan cuaca.

II. METODE
Pada penelitian ini, wilayah penelitian meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
seperti yang ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Data GSMaP yang digunakan adalah data GSMaP_NRT daily, yang berisi rainrate atau intensitas hujan real
time setiap jam (mm/jam) selama 1 hari dari pukul 00 – 23 UTC dengan format data berupa *.DAT.GZ. Data
rainrate intensitas hujan harian tersebut memiliki resolusi spasial 0.25 ox0.25o, yang dapat diunduh dari situs
ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp. Data rainrate curah hujan GSMaP merupakan data prakiraan curah hujan hasil
konversi dari kandungan uap air di awan yang tercitra oleh satelit ini. Data distribusi curah hujan di wilayah
Jabodetabek dalam kurun waktu 5 tahun (tahun 2014 – 2018) digunakan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini
digunakan data GSMaP dikarenakan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Wibowo, Y., A., 2010) hasil
evaluasi perbandingan curah hujan bulanan GSMaP di wilayah Jakarta-Bogor dengan curah hujan permukaan
menunjukkan nilai korelasi lebih dari 0.60 pada wilayah pantai dan dataran. Hal tersebut dapat diterapkan
dengan menggunakan persamaan koreksi karena besar curah hujan GSMaP selalu lebih rendah dari intensitas
curah hujan permukaan.
Software the Grid Analysis and Display System (GrADS) digunakan untuk mengolah dan analisis data
GSMaP secara spasial maupun temporal. GrADS bersifat open source yang dapat digunakan untuk analisis data
mentah dan menampilkan data model atau data sains atmosfer tersebut kedalam bentuk grafik atau gambar.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus curah hujan diurnal dan aktivitas konvektif adalah karakteristik dasar dari iklim di daerah tropis
(Wallace,1975; Murakami,1983; Nitta dan Sekine,1994; Yang dan Slingo, 2001; Nesbitt dan Zipser, 2003).
Waktu siklus diurnal dari sistem konvektif umumnya dikaitkan dengan energi yang tersimpan melalui radiasi
matahari. Hubungan ini merupakan komponen penting dari siklus curah hujan diurnal. Siklus curah hujan diurnal
juga terkait dengan distribusi darat-laut dan pola sirkulasi lokal yang terkait (Takahasi, H.G, 2006).

Berdasarkan kajian Mamenun dkk. (2014) dan Meyers dkk. (2007) telah diungkapkan bahwa dinamika
iklim global dan regional (fenomena ENSO dan IOD) serta sistem sirkulasi monsun Asia-Australia (Chang
dkk.,2005; Kajikawa dkk., 2009) mempengaruhi variabilitas iklim di BMI. ENSO adalah fenomena skala global
hasil interaksi antara lautan dan atmosfer di wilayah pasifik tropis. Pada kondisi normal wilayah Pasifik Barat
lebih hangat daripada Pasifik Timur tropis, sedangkan fenomena anomali panas dingin Samudera Pasifik

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM | 815
ekuatorial bagian tengah dan timur disebut sebagai El Nino / La Nina. Sedangkan menurut Yamata dkk. (2002)
beda temperatur permukaan laut pantai timur Afrika dan pantai barat Sumatera disebut sebagai IOD. Ketika
kejadian IOD positif (DM+) / IOD negatif (DM-), anomali SST Samudera Hindia barat lebih dingin / hangat
daripada Samudera Hindia timur (Sajid kk., 1999, Yamagata dkk., 2004).

(Aldrian dan Susanto, 2003) telah membagi wilayah Indonesia menjadi 3 tipe wilayah curah hujan
yaitu monsunal, ekuatorial dan lokal. Berdasarkan amplitudo dan fase tahunan, wilayah Indonesia
diklasifikasikan ke dalam empat wilayah klimatologi yaitu: Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei
(MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA), dan September-Oktober-November (SON) (Hendon, 2003; Hamada, 2002).
Kemudian, berdasarkan rata-rata tahun 1951 - 1997 data curah hujan Indonesia dari 43 stasiun, Hendon (2003)
menyatakan bahwa JJA dan SON sebagai musim kering serta DJF dan MAM sebagai musim basah.

Gambar 2. Siklus curah hujan harian rata-rata setiap bulan tahun (2014-2018)
Gradien warna menunjukkan distribusi dan intensitas curah hujan dalam (mm/jam)

Berdasarkan Gambar 2, pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) merupakan bulan basah sebagai
puncak musim penghujan, sedangkan bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) merupakan bulan kering sebagai puncak
musim kemarau. Pada bulan Maret-April-Mei (MAM) merupakan masa peralihan dari musim penghujan menuju
musim kemarau (terlihat dari bulan Maret hingga Mei intensitas curah hujan semakin menurun). Bulan
September-Oktober-November (SON) adalah masa peralihan dari musim kemarau menuju musim penghujan
(terlihat dari intensitas curah hujan dari bulan September hingga November semakin meningkat). Pola ini

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM | 816
termasuk kedalam tipe monsunal yaitu tipe curah hujan yang memiliki satu puncak musim hujan (unimodial).
Pada bulan DJF merupakan bulan basah, sedangkan bulan JJA merupakan musim kering. Periode masa peralihan
terjadi pada bulan SON (peralihan musim kemarau menuju musim hujan) dan bulan MAM (peralihan musim
hujan ke musim kemarau).

Fenomena Monsun, disebabkan oleh aktivitas sel tekanan tinggi dan sel tekanan rendah di benua Asia dan
Australia, secara bergantian mempengaruhi curah hujan di wilayah Jabodetabek. Pergerakan semu matahari di
23.5 o Belahan Bumi Selatan (BBS) terjadi pada bulan-bulan DJF, sehingga angin bertiup dari arah utara menuju
ke selatan yang lebih dikenal dengan Monsun Barat. Monsun Barat biasanya lebih lembab dan banyak
menimbulkan hujan. Pada bulan-bulan JJA berlaku sebaliknya, yaitu terjadi Monsun Timur dimana massa udara
kering bergerak dari selatan menuju ke utara. Perbedaan sifat kejenuhan dari kedua massa udara yang
disebabkan oleh arus udara yang bergerak di atas laut dengan luasan yang berbeda mengakibatkan perbedaan
banyaknya curah hujan yang terjadi pada kedua monsun tersebut.

Siklus curah hujan harian rata-rata dengan periode 3 jam setiap tiga bulan tahun (2014-2018) pada
penelitian ini digunakan sebagai acuan identifikasi pola curah hujan diurnal di wilayah Jabodetabek. Tingkat
kontribusi didefinisikan sebagai proporsi curah hujan selama periode 3 jam untuk jumlah total curah hujan
selama 24 jam.

Gambar 3. Siklus curah hujan harian rata-rata 3 jam bulan Desember-Februari (2014-2018)
Gradien warna menunjukkan distribusi dan intensitas curah hujan dalam (mm/jam)

Berdasarkan Gambar 3, pukul 0700–1300 waktu setempat (LT) distribusi pola curah hujan berpotensi terjadi
di wilayah pesisir pantai dengan intensitas yang sangat ringan. Menjelang sore hari pada pukul 1300–1600 LT
distribusi curah hujan mulai terbentuk di sepanjang dataran tinggi (daerah Jawa Barat) dan intensitas curah hujan
semakin menurun di dataran rendah dekat pesisir. Pada sore-malam hari pukul 1600–1900 LT memiliki karakter
pola distribusi curah hujan yang sama dengan intensitas curah hujan semakin meningkat pada daerah dataran
tinggi seperti daerah Bogor. Perhatikan bahwa transisi aktivitas curah hujan semakin lemah dan tidak berlanjut
dari 1900–2200 LT ke 2200–0100 LT. Selain itu, curah hujan di pagi hari (0100–0400 hingga 0400–0700 LT) di
atas laut dekat pesisir terjadi di sebelah utara Jakarta-Tangerang.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM | 817
Gambar 4. Siklus curah hujan harian rata-rata 3 jam bulan Maret-Mei (2014-2018)
Gradien warna menunjukkan distribusi dan intensitas curah hujan dalam (mm/jam)

Berdasarkan Gambar 4, siklus curah hujan harian rata-rata 3 jam bulan Maret-April-Mei (2014-2018). Mulai
pukul 0700–1300 waktu setempat (LT) (Gambar 4) distribusi pola curah hujan berpotensi terjadi di wilayah
pesisir pantai dengan intensitas yang sangat ringan. Menjelang sore hari pada pukul 1300–1600 LT distribusi
curah hujan mulai terbentuk di sepanjang dataran tinggi (daerah Jawa Barat) dan intensitas curah hujan semakin
menurun di dataran rendah dekat pesisir. Pada sore-malam hari pukul 1600–1900 LT memiliki karakter pola
distribusi curah hujan yang sama dengan intensitas curah hujan semakin meningkat pada daerah dataran tinggi
(Jawa Barat) seperti Bogor. Perhatikan bahwa transisi aktivitas curah hujan semakin lemah dan tidak berlanjut
dari 1900–2200 LT ke 2200–0100 LT. Selain itu, curah hujan di pagi hari (0100–0400 dan 0400–0700 LT) di
atas laut dekat pesisir terjadi di sebelah utara Jakarta-Tangerang. Intensitas hujan yang lebat di daratan dan laut
melemah di pagi hari.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM | 818
Gambar 5. Siklus curah hujan harian rata-rata 3 jam bulan Juni-Agustus (2014-2018)
Gradien warna menunjukkan distribusi dan intensitas curah hujan dalam (mm/jam)

Berdasarkan Gambar 5, karakteristik pola curah hujan diurnal bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) hujan berpotensi
terjadi pada sore-malam hari memiliki intensitas curah hujan sangat ringan. Konsentrasi curah hujan dengan
intensitas ringan tersebar merata di sebagian besar wilayah Banten, Bogor, dan Tangerang berdasarkan distribusi
temporal pukul 1600–1900 LT. Adanya penurunan suhu muka laut yang menyebabkan kurangnya penguapan,
bergesernya pusat tekanan rendah di Samudera Pasifik karena melemahnya angin timuran, serta indeks dipole
mode bernilai positif menjadi faktor utama penurunan curah hujan Jabodetabek (Yananto dan Sibarani, 2016).
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) distribusi spasial curah hujan di
Jabodetabek mencakup area yang sangat kecil.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM | 819
Gambar 6. Siklus curah hujan harian rata-rata 3 jam bulan September-November (2014-2018)
Gradien warna menunjukkan distribusi dan intensitas curah hujan dalam (mm/jam)

Berdasarkan Gambar 6, menjelang sore hari pada pukul 1300–1600 LT distribusi curah hujan mulai
terbentuk di sepanjang dataran tinggi (daerah Jawa Barat) dan intensitas curah hujan semakin menurun di dataran
rendah dekat pesisir. Pada sore-malam hari pukul 1600–1900 LT memiliki karakter pola distribusi curah hujan
yang sama dengan intensitas curah hujan semakin meningkat pada daerah dataran tinggi (daerah Jawa Barat).
Perhatikan bahwa transisi aktivitas curah hujan semakin lemah dan tidak berlanjut dari 1900–2200 LT ke 2200–
0100 LT. Selain itu, intensitas curah hujan di daratan dan pesisir melemah di pagi hari.

IV.KESIMPULAN

Wilayah Jabodetabek termasuk kedalam tipe curah hujan monsunal yang memiliki satu puncak musim
hujan (unimodial) pada bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) yang merupakan periode bulan basah,
sedangkan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus merupakan puncak musim kemarau atau periode bulan kering.
Periode masa peralihan musim kemarau menuju musim hujan terjadi pada bulan September, Oktober, dan
November dan masa peralihan musim penghujan menuju musim kemarau terjadi pada bulan Maret, April, dan
Mei. Berdasarkan siklus curah hujan harian rata-rata 3 jam setiap tiga bulanan potensi terjadinya curah hujan di
wilayah Jabodetabek paling tinggi terjadi pada waktu sore hari, mulai dari pukul 1600 hingga 1900 waktu
setempat.

V. UCAPAN TERIMAKASIH

Kami ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan penulis yang telah memberikan sumbangsih pemikiran serta
tenaga dalam menyelesaikan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Imma Redha
Nugraheni sebagai pembimbing dalam penelitian ini.

VI.DAFTAR REFERENSI

Aldrian, E. & Susanto, R.D. (2003). Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and
Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal od Climatology, 23: 1435 – 1452.

Chang, C. P., Wang, Z., McBride, J., & Liu, C. H. (2005). Annual Cycle of Southeast Asia – Maritime Continent
Rainfall and the Asymmetric Monsoon Transition, Journal of Climate, 18, 287 – 301.

Hamada, J. I. (2002). Spatial and Temporal Variations of the Rainy Season over Indonesia and their Link to
ENSO, Journal of the Meteorological Society of Japan, 80, 2, 285 – 310.

Hendon, H. H. (2003). Indonesian Rainfall Variability: Impacts of ENSO and Local AirSea Interaction, Journal
of Climate, 16, 1775 – 1790.

Kachi M. (2012). Overview of Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) Side event at the Japan
Pavillion on the 6th World Water Forum.

Kajikawa, Y., Wang, B., & Yang, J. (2009). A Multi-time Scale Australian Monsoon Index, International
Journal of Climatology, DOI: 10.1002/joc.1955.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM | 820
Kubota T, Okamoto K, Shige S, Ushio T, Iguchi T, Takashi N, Iwanami, K, Aonashi K, Kaci M, Oki R. (2007 ).
The Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) Project on the 7th GMP International Planning
Workshop.

Mamenun, Pawitan, H., Sophaheluwakan, A. (2014). Validasi dan Koreksi Data Satelit TRMM pada Tiga Pola
Hujan di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 15, 13-23.

Meyers, G., McIntosh, P., Pigot, L., & Pook, M. (2007). The Years of El Nino, La Nina, and Interactions with
the Tropical Indian Ocean, Journal of Climate, 20, 2872 – 2880.

Murakami, M. (1983), Analysis of the deep convective activity over the western Pacific and Southeast Asia. Part
I: Diurnal variation, J. Meteorol. Soc. Jpn., 61, 60 –76.

Nesbitt, S., dan E. Zipser (2003), The diurnal cycle of rainfall and convective intensity according to three years
of TRMM measurements, J. Clim., 16(10), 1456–1475.

Nitta, T., & S. Sekine (1994), Diurnal variation of convective activity over the tropical western Pacific, J.
Meteorol. Soc. Jpn., 72, 627–641.

Saji, N. H., Goswami, B. N., Vinayachandran P. N., & Yamagata, T. (1999). A Dipole Mode in the Tropical
Indian Ocean, Nature, 401, 360 – 363.

Shige S, Yamamoto T, Tsukimiyama T, Kida S, Ashiwaki H, Kubota T, Seto S, Aonashi K, Okamoto K. (2009).
GSMaP precipitation retrieval alghorithm for microwave sounder – part 1: over-ocean algorithm. IEEE
Trans. Goesci. Remote Sens. 47(9):3084-3097.

Takahashi, H., & T. Yasunari (2006), A climatological monsoon break in rainfall over Indochina—A singularity
in the seasonal march of the Asian summer monsoon, J. Clim., 19, 1545–1556.

Tjasyono H. K, B., Lubis, A., Juaeni, I., Ruminta, & Harijono, S. W. B. (2008). Dampak Variasi Temperatur
Samudera Pasifik dan Hindia EkuatorTerhadap Curah Hujan di Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara, 5(2),
83-95.

Wallace, J. (1975), Diurnal variations in precipitation and thunderstorm frequency over the conterminous
United States, Mon. Weather Rev., 103, 406–419.

Wibowo, Y., A. (2010). Evaluasi Curah Hujan GSMaP dan TRMM TMPA Dengan Curah Hujan Permukaan
Wilayah Jakarta – Bogor.

Yamagata, T., Behera, S. K., Rao, S. A., Guan, Z., Ashok, K. & Saji, H. N. (2002). The Indian Ocean Dipole: A
physical entity. CLIVAR Exch., 24, 15–18.

Yamagata, T., Behera, S. K., Luo, J.J., Masson, S., Jury, M. R., & Rao, S. A. (2004). Coupled Ocean-
Atmosphere Variability in the Tropical Indian Ocean. AGU Book Ocean-Atmosphere Interaction and
Climate Variability, C. Wang, S.-P. Xie and J.A. Carton (eds.), Geophysical Monograph, 147, AGU,
Washington D.C., 189212.

Yananto, A. & Sibarani, R.M. (2016). Analisis Kejadian El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Intensitas Curah
Hujan di Wilayah Jabodetabek (Studi Kasus: Periode Puncak Musim Hujan Tahun 2015/2016). Jurnal Sains
dan Teknologi Modifikasi Cuaca, 17: 65 – 73.

Yang, G., & Slingo, J. (2001), The diurnal cycle in the tropics, Mon. Weather Rev., 129, 784–801.

Seminar Nasional Geografi III-Program Studi Pascasarjana Geografi, Fakultas Geografi, UGM | 821

Anda mungkin juga menyukai