Anda di halaman 1dari 11

22 Gea. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 18, Nomor 1, April 2018.

ANALISIS FREKUENSI CURAH HUJAN EKSTREM KEPULAUAN


BANGKA BELITUNG BERBASIS DATA CLIMATE HAZARDS GROUP
INFRA-RED PRECIPITATION WITH STATIONS (CHIRPS)

Akhmad Fadholi1,2, Rizki Adzani2


1Program Studi MPPDAS, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
2Stasiun Meteorologi Depati Amir Pangkalpinang
1yudhistira407@gmail.com

ABSTRACT
This study aimed to know the distribution of extreme rainfall frequency in Babel using
CHIRPS data for 36 years from 1981-2016. The determination of extreme threshold value uses
four methods, those are BMKG heavy rainfall threshold, Percentile-99, Quartile (Q3 + 3IQR)
and Peak Over Threshold (POT). The results of frequency calculations on each grid are then
mapped with Inverse Distance Weight (IDW) method in the ArcGIS application. However,
there are five areas with different patterns of consistency. Northern Bangka especially in West
Bangka regency is indicated as consistent high frequency area, consistent low frequency region
is east coast of Bangka, while non-consistent area is west coast of Central Bangka to South
Bangka regency. Two patterns in Belitung consistently show high frequency in the west and
low in the east. The findings of these patterns are similar to the three zones of the season (ZOM)
in Bangka established by BMKG. It can be a consideration to make ZOM in Belitung.
Keywords: Extreme rainfall, Frequency, CHIRPS, ZOM.

ABSTRAK
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi curah hujan ekstrem
di Babel ini menggunakan data CHIRPS selama 36 tahun dari 1981-2016. Penentuan
nilai ambang batas (threshold) esktrem menggunakan empat metode yaitu batas nilai
hujan lebat BMKG, Persentil-99, Kuartil (Q3+3IQR) dan Peak Over Threshold (POT).
Hasil dari penghitungan frekuensi di tiap grid kemudian dipetakan dengan metode
Inverse Distance Weight (IDW) pada aplikasi ArcGIS. Namun, dilihat dari pola
konsistensinya, ada lima wilayah dengan pola konsistensi yang berbeda. Bangka
bagian utara khususnya di Kabupaten Bangka Barat terindikasi sebagai wilayah
konsisten frekuensi tinggi, wilayah dengan konsisten frekuensi rendah adalah pesisir
timur Bangka, sedangkan wilayah nonkonsisten adalah pesisir barat Bangka bagian
tengah hingga selatan sehingga dapat berfrekuensi tinggi maupun rendah. Dua pola
di Belitung secara konsisten menunjukan frekuensi tinggi di bagian barat dan rendah
di bagian timur. Temuan pola-pola tersebut mirip dengan tiga zona musim (ZOM) di
Bangka yang ditetapkan oleh BMKG. Hal ini dapat menjadi pertimbangan pemberian
ZOM di Belitung.
Kata kunci: Curah hujan ekstrem, Frekuensi, CHIRPS, ZOM.

PENDAHULUAN (Nimmrichter, 2016). Namun, data curah


Curah hujan ekstrim merupakan hujan yang tersedia di Indonesia
salah satu data yang penting sebagai tergolong masih sedikit dengan
pertimbangan dalam desain infrastruktur wilayahnya yang sangat luas (Supari et al,
(Cheng et al, 2014) khususnya yang 2012). Oleh sebab itu perlu adanya sumber
berkaitan dengan pemetaan potensi banjir data lain yang dapat digunakan dengan
Akhmad Fadholi dan Rizki Adzani. Analisis Frekuensi Curah Hujan Ekstrem… 23

karakteristik kerapatan yang tinggi dan sedangkan GSMaP mempunyai resolusi


series data yang panjang. Data dengan temporal 0.1ox0.1o sejak tahun 2000.
karakteristik tersebut akan mampu Wilayah Indonesia dengan karakteristik
mengatasi kendala-kendala data curah dinamika atmosfer dan variasi topografi
hujan seperti blank area, data yang memaksa perlunya data dengan grid yang
terputus, serta inkonsistensi (Sutikno et al, rapat dan series yang panjang sesuai
2014). dengan rekomendasi WMO dalam
Seiring dengan ditemukannya analisis klimatologi yaitu 30 tahun
teknologi satelit cuaca, penelitian tentang (Arguez et al, 2011). Oleh sebab itu perlu
kualitas data dilakukan di beberapa dicari data alternatif lainya dengan grid
wilayah Indonesia. Validasi data satelit yang lebih rapat dengan series panjang.
terhadap pola-pola hujan yang ada di Data estimasi curah hujan dari
Indonesia dlakukan oleh Mamenun et al Climate Hazard Grup Infra Red
(2014) dengan menggunakan data satelit Precipitation with Station (CHIRP)
Tropical Rainfal Measuring Mission diperkenalkan oleh Funk et al (2015)
(TRMM) dan Fitria et al (2016) dengan sebagai data reanalysis dengan reolusi
menggunakan data Global Satellite spasial 0.05ox0.05o sejak tahu 1981. Data
Mapping of Precipitation (GSMaP). CHIRPS dapat menjadi solusi kajian curah
Validasi data dua satelit tersebut juga hujan esktrem dalam series panjang
dilakukan dengan pada wilayah khusus meskipun pada awalnya digunakan untuk
dengan menampilkan pola spasial seperti memantau kekeringan khususnya di
di pesisir barat Aceh (Lubis et al, 2017), di Afrika (Funk et al, 2014) dan telah
Kepulauan Babel (Supari et al, 2013), dan dilakukan juga di Sulawesi Selatan oleh
tematik pada daerah aliran sungai besar Setiawan et al (2017). Kemudian, hasil
Indonesia (Syaifullah, 2014) validasi data CIRPS di beberapa wilayah
Selain kajian validasi data satelit, di Indonesia seperti di Kalimantan Utara
penelitian spesifik juga dilakukan pada dan (Abdurahman et al, 2016) dan
varian data hujan yaitu curah hujan Hidayat (2015) menunjukan potensi kajian
ekstrem. Kajian data hujan ekstrem lebih lanjut untuk data ini yaitu kajian
berbasis satelit di Indonesia sering curah hujan ekstrem.
dilakukan pada studi kasus banjir Katsanos et al (2016) telah
Indonesia seperti studi kasus Wasior melakukan kajian frekuensi curah hujan
Papua (Renggono et al, 2011) dan Jakarta data CHIRPS di Cyprus yang
(Syaifullah, 2013). Tidak terbatas pada menghasilkan kelayakan pemakaian data
studi kasus, penelitian curah hujan CHIRPS terutama pada nilai-nilai
ekstrem berbasis satelit dalam periode maksimum dan ekstrem. Di wilayah
yang panjang yang menghasilkan Indonesia, Fadholi et al (2017) telah
klimatologi curah hujan ekstrem juga mencoba pembuatan normal curah hujan
dilakukan baik dengan data TRMM di Kepulauan Babel dengan data CHIRPS
(Junaeni, 2011; Marpaung et al, 2012) dan dengan hasil yang mendekati penelitian
GSMaP (Ayastana et al, 2012). sebelumnya oleh Supari et al (2013).
Penentuan nilai ekstrem yang yang Penelitian dengan menggunakan data
akan dispasialkan dengan memanfaatkan CHIRPS kali ini bertujuan untuk
data satelit pada prinsipnya menentukan frekuensi kejadian curah
memperhatikan resolusi spasial dan series hujan ekstrem di Kepulauan Babel dengan
data yang tersedia. Data satelit TRMM beberapa metode yang berbeda dan
mempunyai resolusi spasial 0.25ox0.25o membandingkan hasilnya dengan
dan ketersediaan data sejak tahun 1998, visualisasi spasial.
24 Gea. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 18, Nomor 1, April 2018.
METODE PENELITIAN Data CHIRPS yang digunakan merupakan
Penelitian ini dikerjakan dengan data harian yang mempunyai panjang
lokasi penelitian di Kepulauan Bangka data 36 tahun sejak 1981-2016.
Belitung (Babel). Babel merupakan Penggunaan series data yang up to date
provinsi dengan wilayah kepulauan yang ditujukan agar perhitungan nilai ekstrem
terletak di sebelah timur Sumatera Selatan menjadi maksimal (Caberaa et al, 2016).
dengan batas Selat Bangka. Babel juga Pengolahan yang dilakukan pada
dikelilingi perairan seperti Laut Natuna di data CHIRPS yang telah diunduh meliputi
sebelah utara, Selat Karimata di sebelah 4 tahapan yaitu Cropping, Merging,
timur, dan Laut Jawa di sebelah selatan. Calculating, dan Mapping (Gambar 1). Data
Dua Pulau utama yaitu Bangka dan CHIRPS berjumlah 36 file dengan jenis file
Belitung juga terpisah oleh perairan Selat netcdf dibuka dan dilakukan pemotongan
Gelasa. merupakan wilayah hasil area (crop) Babel dengan menggunakan
pemekaran dari Sumatera Selatan yang aplikasi Grid Analysis Display System
terdiri dari dua pulau utama yaitu Bangka (GrADS) menggunakan script. Hasil dari
dan Belitung yang terpisah oleh Selat cropping, kemudian digabungkan
Gelasa. Beberapa tahun terakhir, Babel menjadi satu file netcdf dengan aplikasi
dilanda bencana banjir besar baik di Climate Data Operator (CDO) dengan script
Bangka maupun Belitung sehingga time merging. File hasil merging
wilayah Babel menjadi kajian dalam merupakan data CHIRPS dengan dimensi
penelitian ini. waktu harian mulai 1 Januari 1981
Penelitian ini menggunakan data Shingga 31 Desember 2016 yang
curah hujan Climate Hazards Group Infrared kemudian diekstrak ke dalam bentuk text.
Precipitation with Station data (CHIRPS). Perhitungan nilai ekstrem yang
CHIRPS adalah database curah hujan dilakukan antara lain dengan
daratan yang nerupakan kombinasi dari menggunakan 1) patokan nilai 50 mm
tiga informasi curah hujan yaitu sebagai ambang batas hujan lebat Badan
klimatologi global, estimasi curah hujan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
berbasis satelit, dan curah hujan hasil (BMKG, 2010); 2) Persentil 99 yang
pengamatan in-situ (Funk et al, 2014; Funk diadopsi dari Katsanos et al (2016); 3) Nilai
et al, 2015). CHIRPS menggabungkan Ekstrem pada rentang 3xIQR dari Q3
klimatologi curah hujan bulanan dari (Faisal, 2016); dan 4) Peak Over Threshold
Climate Hazards Group Precipitation yang digunakan oleh Visa et al (2015).
Climatology (CHP Clim), quasi-global 𝒊
𝟏𝟎𝟎
𝒏− 𝒇𝒌
geostationary thermal infrared satellite 𝑷𝟗𝟗 = 𝑻𝒃 + ( )𝑪
𝒇
observations, produk Tropical Rainfall ........................................(1)
Measuring Mission (TRMM) 3B42, model Keterangan:
atmosfer curah hujan dari NOAA CFS 𝑃99 = Persentil ke-99
(Climate Forecast System), dan data curah 𝑇𝑏 = Tepi bawah kelas Persentil
hujan observasi dari berbagai sumber 𝑛 = banyaknya data
termasuk national or regional 𝑓𝑘 = Frekuensi kumulatif (Jumlah
Meteorological Services seperti Badan frekuensi pada kelas sebelumnya)
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika di 𝑓 = Frrekuensi yang dimiliki oleh
Indonesia. kelas Persentil
Data CHIRPS didapat dari alamat 𝐶 = Panjang Persentil
ftp.chg.ucsb.edu/pub/org/chg/products
/CHIRPS-2.0/global_daily dengan jenis
data netcdf dengan resolusi spasial 0.05o.
Akhmad Fadholi dan Rizki Adzani. Analisis Frekuensi Curah Hujan Ekstrem… 25

∑ ( x − 𝐗𝐢) Hasil dari perhitungan ambang



𝑷𝑶𝑻 = x +𝟐 batas nilai ektrem akan menghasilkan
(𝑵−𝟏)
nilai yang berbeda tiap grid. Kemudian,
dilakukan penghitungan frekuensi
( ) kejadian ekstrem dengan dasar nilai
.......................... (2)
Keterangan: ambang batas. Nilai ambang batas
ekstrem dan frekuensi yang telah didapat
𝐱𝐢 = Nilai x ke i
kemudian dipetakan dengan
x = Rata-rata menggunakan aplikasi ArcGIS dengan
N = Jumlah data metode interploasi Invers Distance Weight
(IDW). Hasil pemetaan tersebut kemudian
𝟑 dianalisis untuk mengetahui distribusi
𝒏− 𝑭𝟑
𝑸𝟑 + 𝟑𝑰𝑸𝑹 = (𝑳𝟑 + 𝒊 (𝟒 )) +3 nilai batas ekstrem dan pola frekuensi
𝒇𝟑
kejadian hujan ekstrem.
𝟑
𝒏− 𝑭𝟑
𝟒
( (𝑳𝟑 + 𝒊 ( 𝒇𝟑
)) − (𝑳𝟏 + HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Batas Nilai Ekstrem
𝟏 Hasil yang didapat dari
𝒏− 𝑭𝟏
𝒊 (𝟒 )))............. (3) pengolahan data dengan metode yang
𝒇𝟏
berbeda menghasilkan dua jenis peta yang
Keterangan: berbeda. Pada peta sebaran nilai batas
𝐿3 = Tepi bawah kelas 𝑄3 ambang ekstrem menghasilkan tiga peta
𝐿1 = Tepi bawah kelas 𝑄1 dari sebaran ekstrem persentil, kuartil,
𝑖 = Interval kelas 𝑄3 atau 𝑄1 dan POT, sedangkan nilai ambang batas
𝑛 = Banyak data ekstrem dari BMKG (2010) memberikan
𝐹3 = Jumlah frekuensi kelas-kelas sebelum 𝑄3 nilai yang sama untuk seluruh grid yaitu
𝐹1 = Jumlah frekuensi kelas-kelas sebelum 𝑄1
50 mm. Sebaran batas nilai ekstrem dari
𝑓3 = Frekuensi kelas 𝑄3
persentil, kuartil, dan POT dapat dilihat
𝑓1 = Frekuensi kelas 𝑄1
pada Gambar 1.

Gambar 1. Sebaran nilai ambang batas ekstrem dengan metode persentil (a), kuartil (b),
dan POT (c)
26 Gea. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 18, Nomor 1, April 2018.
Pada Gambar 1, penentuan nilai mm/hari. Kisaran batas nilai ekstrem
ambang batas ekstrem dengan metode dengan metode kuartil di Pulau Bangka
persentil, kuartil, dan POT menghasilkan sama dengan metode persentil, sedangkan
pola yang mirip terutama di Pulau Belitung memiliki kisaran antara 55 - 63
Bangka. Kisaran nilai terendah hingga mm/hari. Perhitungan batas nilai ekstrem
tertinggi berada di Pulau Bangka dengan dengan metode POT di Pulau Bangka
pola nilai terendah dari Pulau Bangka berkisar antara 30 - 45 mm/hari,
bagian selatan hingga tengah, sedangkan sedangkan Belitung berkisar antara 36 - 40
tertinggi tepat terkonsentrasi pada ujung mm/hari.
utara Pulau Bangka khususnya di
Kabupaten Bangka bagian utara dan Distribusi Frekuensi Kejadian Nilai
Bangka Barat bagian utara. Kemiripan Ekstrem
pola dari hasil pengolahan tiga metode Nilai batas ekstrem atau threshold
juga dapat dilihat di Pulau Belitung. yang telah didapatkan frekuensi
Pesisir utara Pulau Belitung selalu kejadiannya selama 36 tahun juga
menjadi wilayah dengan batas nilai dilakukan pemetaan. Frekuensi yang
ekstrem yang lebih tinggi. dimaksud merupakan seberapa sering
Metode persentil dan kuartil kejadian dengan nilai di atas threshold
menghasilkan nilai dengan kisaran antara dari masing-masing metode penentuan
40 - 65 mm/hari, sedangkan POT atau frekuensi kejadian curah hujan
menghasilkan kisaran 30 - 45 mm/hari. ekstrem. Hasil pemetaan distribusi
Kisaran batas nilai ekstrem di Pulau frekuensi kejadian ekstrem dari empat
Bangka antara 40 - 65 mm/hari, metode dapat dilihat pada Gambar 2.
sedangkan di Belitung antara 55 - 62

Gambar 2. Distribusi frekuensi kejadian curah hujan ekstrem dengan penentuan BMKG
(a), metode persentil (b), kuartil (c), dan POT (d)
Akhmad Fadholi dan Rizki Adzani. Analisis Frekuensi Curah Hujan Ekstrem… 27

Pemetaan distribusi frekuensi persentil ke 99 menghasilkan kisaran


kejadian ekstrem dari masing-masing frekuensi 55 - 80 kejadian. Kisaran
metode pada Gambar 2 menghasilkan frekuensi terendah dan tertinggi berada di
pola yang berbeda. Penentuan curah Pulau Bangka, sedangkan frekuensi
hujan esktrem dengan menggunakan tertinggi di Belitung sekitar 75 kejadian.
kriteria hujan lebat BMKG menghasilkan Frekuensi kejadian ekstrem dengan
perbedaan pola antara Pulau Bangka dan metode kuartil memberikan kisaran
Belitung. Frekuensi rendah dimulai dari kejadian 35 - 105. Kisaran frekuensi
bagian selatan hingga tegah dan tinggi tertinggi 90 - 105 kejadian berada di Pulau
tepat di ujung utara. Di Belitung, Bangka bagian utara, sedangkan
frekuensi rendah berada di pesisir selatan tertendah antara 35 - 50 kejadian berada di
dan timur, sedangkan frekuensi tinggi di bagian tengah hingga selatan. Frekuensi
bagian barat dan utara. Distribusi di Belitung brkisar antara 40 - 90 kejadian
frekuensi dengan metode persentil dengan kisaran 75 - 90 berada di bagian
menghasilkan pola frekuensi tingi berada barat. Kisaran frekuensi yang dihasilkan
di bagian barat dan rendah di bagian metode POT yaitu antara 240 - 390
timur. Pola ini terjadi baik di Pulau kejadian dari seluruh data CHIRPS.
Bangka maupun Belitung. Frekuensi tertinggi di Pulau Bangka
Pada metode kuartil di Pulau berada di bagian utara sebelah barat dan
Bangka, distribusi frekuensi tinggi selatan sebelah barat dengan kisaran 360 -
terkonsentrasi di bagian utara khususnya 390 kejadian, sedangkan berada di pesisir
Kabupaten Bangka Barat, meskipun ada timur bagian utara dengan frekuensi
sebagian kecil di Bangka Selatan. antara 240 - 270. Frekuensi tertinggi di
Frekuensi rendah tersebar hampir merata Belitung sekitar 350 kejadian yang berada
di Bangka Selatan dan pesisir timur Pulau di bagian barat.
Bangka. Frekuensi tinggi dan rendah di
Pulau Belitung terbagi antara bagian barat Analisis Distribusi Frekuensi Kejadian
dan timur. Pola distribusi dengan metode Ekstrem
POT mirip dengan pola dengan metode Sebaran nilai threshold ekstrem
persentil. Frekuensi tinggi di Pulau yang ditampilkan pada Gambar 1
Bangka mendominasi bagian selatan dan menunjukan kesamaan pada pola yang
barat, sedangkan frekuensi rendah di terjadi baik di Pulau Bangka maupun
pesisir timur bagian utara. Di Pulau Belitung. Metode penentuan batas nilai
Belitung, dominasi frekuensi rendah lebih ekstrem dengan persentil, kuatil, dan POT
tinggi dengan konsentrasi frekuensi tinggi pada prinsipnya sangat berkorelasi
tetap d bagian barat. dengan nilai rata-ratanya. Hal ini
Berdasarkan data CHIRPS, mengakibatkan semakin tinggi nilai rata-
frekuensi curah hujan ekstrem dengan rata pada grid tertentu maka nilai batas
mengadopsi ketetapan hujan lebat BMKG ekstremnya akan semakin tinggi pula.
menghasilkan kisaran antara 20 hingga Sebaliknya, semakin rendah nilai rata-rata
200 kejadian selama kurun waktu 36 hariannya maka threshold nilai ekstrem
tahun. Frekuensi terendah sekitar 20 akan semakin rendah. Oleh sebab itu,
kejadian berada di Bangka bagian selatan, dapat diketahui juga bahwa wilayah yang
sedangkan tertinggi sekitar 200 kejadian memiliki batas nilai ekstrem tertinggi
berada di ujung utara. Di Belitung, kisaran merupakan wilayah dengan tingkat curah
kejadian antara 90 - 160 kejadian dengan hujan bulanan atau tahunan paling tinggi
kejadian tertinggi berada di bagian barat. atau kebasahan paling tinggi. Wilayah
Metode persentil dengan mengambil dengan batas nilai ekstrem terendah dapat
28 Gea. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 18, Nomor 1, April 2018.
dikatakan memiliki curah hujan bulanan namun konsentrasi frekuensi tinggi tetap
atau tahunan paling rendah. di bagian barat.
Kisaran nilai threshold ekstrem Hasil analisis di atas secara tersirat
pada POT lebih rendah dibanding mengingatkan pada pola ZOM musim
persentil dan kuartil. Hal ini disebabkan (ZOM) di kepulauan Bangka Belitung
karena metode POT yang digunakan pada khususnya di Pulau Bangka. ZOM Babel
penelitian ini hanya menggunakan rata- yang sementara ini hanya terdapat di
rata yang ditambah dengan dua kali Bangka terbagi menjadi tiga ZOM yaitu
standar deviasi, sedangkan metode 52, 53, dan 54 (Gambar 4.). ZOM tersebut
persentil dan kuartil menggunakan teknik diklasifikasikan menurut dasarian awal
sebaran data. Seperti yang kita ketahui musim. Seperti yang ditampilkan pada
nilai rata-rata akan bernilai jauh di bawah Gambar 3, ZOM 52 merupakan wilayah
nilai ekstrem, sedangkan standar deviasi pesisir barat Bangka bagian tengah ke
atau simpangan baku bernilai lebih kecil selatan, ZOM 53 merupakan ujung utara
dari rata-rata. bagian barat, sedangkan zna 54
Analisis distribusi frekuensi curah merupakan pesisir timur Bangka. Wilayah
hujan ekstrem dari empat metode Pulau Belitung tidak memiliki ZOM
menghasilkan sebaran yang bervariasi. Di berdasarkan Gambar 3 karena merujuk
Pulau Bangka, wilayah yang terlihat kepada normal data curah hujan hasil
secara konsisten memiliki frekuensi observasi permukaan, curah hujan
tertinggi adalah bagian utara khusunya bulanan lebih dari 150 mm/bulan
Kabupaten Bangka Barat. Wilayah kedua sepanjang tahun.
yang dilakukan analisis adalah pesisir Hasil analisis spasial dari pola
barat Bangka bagian selatan, namun distribusi frekuensi kejadian curah hujan
hanya ditunjukan oleh metode persentil ekstrem dengan empat metode yang
dan POT. Hal ini dapat diartikan bahwa mempunyai kemiripan dengan ZOM
wilayah tersebut dapat menjadi frekuensi wilayah Babel dapat dijelaskan dengan
rendah dengan dua metode lainnya. potensi frekuensi kejadian ekstrem yang
Wilayah selanjutnya adalah pesisir timur dapat terjadi. Pada ZOM 52, probabilitas
Pulau Bangka dari utara hingga selatan. frekuensi yang dimiliki adalah 2/4 untuk
Pesisir timur Bangka bagian utara frekuensi tinggi dan 2/4 untuk frekuensi
sempat memiliki frekuensi tinggi dengan rendah sehingga ZOM tersebut dapat
threshold ekstrem dengan mengadopsi berpotensi frekuensi tinggi atau rendah.
batas nilai hujan lebat BMKG, namun tiga Pada ZOM 53, keempat metode
metode lainnya memberikan nilai menunjukan nilai frrekuensi yang tinggi
frekuensi rendah. Pesisir timur Bangka sehingga ZOM tersebut memiliki potensi
bagian selatan juga memiliki potensi kejadian ekstrem tinggi. ZOM 53 memiliki
frekuensi yang cukup tinggi, namun frekuensi rendah untuk semua metode,
hanya dihasilkan dengan metode POT. Di sehingga dapat dipastikan bahwa ZOM
Pulau Belitung, hasil penghitungan tersebut memiliki frekuensi kejadian
frekuensi dari empat metode memberikan ekstrem rendah. Namun, ZOM 53 yang
kesepakatan bahwa Belitung bagian barat mempunyai ciri paling menonjol dari tiga
memiliki frekuensi tertinggi dan bagian ZOM yang ada. Hal ini dapat dikaitkan
timur yang terendah. Meskipun metode dengan normal cura hujan tahunan yang
kuartil dan batas nilai hujan lebat BMKG ternyata juga menampilkan wilayah
memberikan pola yang berkebalikan, tersebut sebagai wilayah terbasah di
Bangka.
Akhmad Fadholi dan Rizki Adzani. Analisis Frekuensi Curah Hujan Ekstrem… 29

Gambar 3. Pengelompokan wilayah-wilayah sesuai nilai frekuensi kejadian ekstrem tinggi


(H) dan rendah (L) dari BMKG (a), metode persentil (b), kuartil (c), dan POT (d)

Gambar 4. ZOM Babel (52, 53, dan 54 di Bangka; Belitung masih belum terzonasi)

Pulau Belitung merupakan wilayah dikategorikan sebagai ZOM.


yang belum masuk dalam kategori ZOM, Kemungkinan ini juga dikuatkan oleh
namun memiliki pola distribusi spasial hasil penelitian sebelumnya mengenai
yang jelas antara frekuensi tinggi dan normal curah hujan wilayah Babel yang
rendah yang disertai dengan konsistensi menunjukkan pola curah hujan semi
dari empat metode. Hal ini memberikan monsoonal dengan dua puncak di seluruh
kemungkinan bahwa Belitung dapat wilayah. Faktaya, puncak kedua yang
30 Gea. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 18, Nomor 1, April 2018.
jatuh di bulan Desember didahului oleh menunjukan pola curah hujan yang sama
lembah yang menjunjukkan normal curah dengan Bangka kususnya pada saat
hujan di bawah 150 mm sebagai indikator puncak musim kemarau.
musim kemarau khususnya di Belitung
pada bulan Juli dan Agustus sehingga REKOMENDASI
dapat menjadi ZOM (Fadholi et al, 2017). Penelitian disribusi frekuensi
kejadian curah hujan ekstrem dengan
SIMPULAN menggunakan data CHIRPS di Indonesia
Pemanfaatan data CHIRPS dalam merupakan hal yang baru dan perlu
penentuan threshold curah hujan ekstrem dilakukan validasi baik dengan
dengan menggunakan metode persentil, menggunakan jenis data yang berbeda,
kuartil, dan POT menghasilkan nilai yang metode penentuan batas ekstrem lainnya,
bervariasi dan berbeda dengan batas maupun wilayah atau lokasi yang
hujan lebat yang ditentukan BMKG. berbeda. Terlebih lagi, hasil penelitian
Sebaran nilai batas ekstrem persentil, dikaitkan dengan kecocokan wilayah
kuartil, dan POT menghasilkan pola yang ZOM yang ada. Oleh sebab itu,
mirip yang mencerminkan nilai rata-rata rekomendasi yang dapat dilakukan secara
harian data CHIRPS di Babel, meskipun sederhana berdasaran penelitian ini
POT memiliki nilai batas ekstrem antara lain menggunakan data curah
terendah. Perbedaan nilai threshold hujan yang berbeda baik itu data
ekstrem mengakibatkan distribusi pengukuran lapangan maupun estimasi
frekuensi yang berbeda tiap metode. dari satelit, penerapan metode yang
Hasil analisis distribusi frekuensi berbeda, atau penerapan penelitian ini
curah hujan ekstrem dengan empat pada lokasi lainnya di Indonesia.
metode menghasilkan pola yang beragam. Hasil penelitian selanjutnya dari
Namun, terdapat wilayah-wilayah yang tiga rekomendasi di atas dapat menjadi
menunjukan konsistensi pada setiap penentu validitas keterkaitan antara
penghitungan frekuensi. Bangka utara distribusi frekuensi kejadian curah hujan
bagian barat merupakan wilayah dengan wilayah ZOM yang ada. Jika hasil
konsisten frekuensi tinggi, pesisir timur penelitian selanjutnya menyatakan hasil
Bangka merupakan wilayah dengan konsekuen dengan penelitian ini, maka
frekuensi rendah, sedangkan pesisir barat dapat menjadi alternatif yang dapat
Bangka bagian tengah hingga selatan sumbangkan kepada BMKG dalam
merupakan wilayah yang inkonsisten. penentuan wilayah ZOM di Indonesia di
Pola-pola wilayah sebaran frekuensi yang saat banyak kendala data curah hujan dari
ditemukan dari analisis mirip dengan pengukuran manual.
ZOM yang ada di Bangka dengan
karakteristik yang paling signifikan DAFTAR PUSTAKA
adalah wilayah konsisten frekuensi tinggi Abdurahman, Setiawan, A.M., (2016).
yang sesuai dengan ZOM 53 yang juga Validasi Estimasi Berbagai Skala
merupakan normal curah hujan tahunan Waktu Curah Hujan Produk Satelit
tertinggi. Pulau Belitung sebagai wilayah Untuk Topografi yang Beragam di
non-ZOM mungkin dapat Provinsi Kalimantan Utara. Prosiding
dipertimbangkan sebagai ZOM baru Seminar Nasional Penginderaan Jauh
karena bagian barat dan timur memiliki 2016. 27 Juli 2016. Hal. 373-381. ISBN.
perbedaan frekuensi yang signifikan. Hal 978-979-1458-99-3.
ini juga didukung dengan penelitian
sebelumnya tentang normal hujan yang
Akhmad Fadholi dan Rizki Adzani. Analisis Frekuensi Curah Hujan Ekstrem… 31

Arguez, A., Vose, R.S. (2011). The Science 54 (2017) 012040


Definition of the Standard WMO Climate doi:10.1088/1755-1315/54/1/012040.
Normal (The Key to Driving Alternative
Climate Normals). Bulletin Amereican Fadholi, A., Adzani, R., (2017). Normal
Meteorological Society (BAMS). June Curah Hujan Kepulauan Bangka
2011. Pp.699-703. Belitung Berbasis Data Climate
Hazards Group Infra-Red
Ayastana, P., Tanaka, T., Mahendra, M.S. Precipitation with Stations (CHIRPS).
(2012). Characteristic of Rinfall Pattern Prosiding Seminar Nasional Geografi.
Before Flood Occur in Indonesia Pascasarjana UGM. 18 November
Based On Rainfall Data From GSMaP. 2017.
Ecotrophic. Vol. No. Page.100 – 110.
ISSN: 1907-5626. Faisal, M.R. (2016). Seri Belajar
Pemrograman: Pengenalan Bahasa
Cabreraa, J., Tupac, R., Yupanqui, Raub, Pemrograman R. Indonesia Net
P. (2016). Validation of TRMM Daily Developer Community. DOI:
Precipitation Data for Extreme Events 10.13140/RG.2.1.3457.3203.
Analysis. The Case of Piura
Watershed in Peru. Procedia Fitria, M, Sugiato, Y., Sulistyowati, R.
Engineering. Volume 154, 2016, Pages (2016. Validasi Data Curah Hujan
154-157. GlobalSatellite Mapping of
https://doi.org/10.1016/j.proeng.201 Precipitation (GSMaP) Pada Tiga Pola
6.07.436 Hujan Di Indonesia. Scientific
Repository IPB.
Cheng, L., AghaKouchaka, A. (2014).
Nonstationary Precipitation Intensity- Funk C.C., Peterson P.J., Landsfeld M.F.
Duration-Frequency Curves for (2014). A Quasi-Global Precipitation
Infrastructure Design in a Changing Time Series for Drought Monitoring. U.S.
Climate. Scientific Reports. 2014; 4: Geological Survey Data Series 832(4).
7093. Page. 1-6. Published online 2014 http://dx.doi.org/110.3133/ds832.
Nov 18. doi: 10.1038/srep07093.
Funk C.C., Peterson P., Landsfeld M.
Katsanos, D., Retalis, A., Tymvios, F., (2015). The Climate Hazards Infrared
Michaelides, S. (2016). Analysis of Precipitation with Stations—A New
Precipitation Extremes Based on Satellite Environmental Record for Monitoring
(CHIRPS) and In Situ Dataset Over Extremes. Sci Data 2:150066.
Cyprus. Natural Hazards. DOI: doi:10.1038/sdata.2015.66.
10.1007/s11069-016-2335-8. Springer
Science+Business Media Dordrecht. Marpaung, S., Satiadi, D., Harjana, T.
Page. 53-63. (2012). Analisis Kejadian Curah Hujan
Ekstrim di Pulau Sumatera Berbasis
Setiawan, A.M., Koesmaryon, Y., Faqih, data Satelit TRMM dan Observasi
A., Gunawan, D. (2017). Observed and Permukaan. Jurnal Sains Dirgantara. 9
blended gauge-satellite precipitation : 127-138.
estimates perspective on
meteorological drought intensity over Junaeni, I., (2011). Curah Hujan Ekstrim Di
South Sulawesi, Indonesia. IOP Conf. Indonesia Berbasis TRMM (Rata-rata
Series: Earth and Environmental dan Kondisi Tahun 2010). LAPAN.
32 Gea. Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 18, Nomor 1, April 2018.
Jakarta. 2011. Edisi Vol.I No.1
Desember 2010. ISBN/ISSN 2087- Supari dan Setiawan, N. (2013). Variabilitas
8141. Hal.54-61. Curah Hujan Di Kepulauan Bangka
Belitung Berdasarkan Data TRMM
Lubis, N.A., Jihad, A., Rais, A.F., Muhajir, Tervalidasi. Jurnal Meteorologi dan
Fadholi, A. (2017). Validasi Data Geofisika. Vol. 14 No. 1. Hal. 11 – 20.
GSMaP Terhadap Potensi Curah
Hujan di Pesisir Barat Aceh. Prosiding Sutikno, S., Hamidudin, Fauzi, M. (2014).
Seminar Nasional MPPDAS III UGM. Pemodelan Hidrologi Hujan-Aliran
27 September 2017. dengan Menggunakan Data Satelit.
Seminar Nasional Teknik Sipil X-2014.
Mamenun, M., Pawitan, A., ITS-Surabaya. February 2014.
Sophaheluwakan, A. (2014). Validasi DOI10.13140/RG.2.1.4581.3286
dan Koreksi Data Satelit TRMM Pada
Tiga Pola Hujan Di Indonesia. Jurnal Syaifullah, M. D. (2013). Kondisi Curah
Meteorologi dan Geofisika. 15: 13-23. Hujan Pada Kejadian Banjir Jakarta
dan Analisis Kondisi Udara Atas
Maslakah, F.A., (2015). Tren Temperatur Wilayah Jakarta Bulan Januari -
dan Hujan Ekstrim di Juanda Februari 2013. Jurnal Sains &
Surabaya Tahun 1981-2013. Jurnal Teknologi Modifikasi Cuaca
Meteorologi dan Geofisika. Vol. 16. (JSTMC),. Vol. 14. No. 1. Hal. 19-26.
No. 3. Hal. 135-143.
Syaifullah, M. D. (2014). Validasi Data
Nimmrichter, P. (2016). Integrating TRMM Terhadap Data Curah Hujan
Extreme Precipitation into Aktual Di Tiga Daerah Aliran Sungai
Infrastructure Design. National Di Indonesia. Jurnal Meteorologi Dan
Symposium on Climate Change Geofisika. Vol. 15. No. 2. Hal. 109-118.
Adaptation - April 12 to 14, 2016 -
Ottawa, Canada. Visa, J., Harjana, T. (2015). Pola dan
Distribusi Frekuensi Curah Hujan di
Renggono, F., M. D. Syaifullah. (2011). Pulau Morotai Berbasis Data Satelit
Kajian Meteorologis Bencana Banjir Tropical Rainfall Measuring Mission
Bandang di Wasior, Papua Barat. (TRMM). Jurnal Meteorologi dan
Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol. Geofisika .Vol 16, No. 1. Hal. 11-17.
12. No. 1. Hal. 33-41.
......................... (2010). Peraturan Kepala
Supari, Sudibyakto, Ettema, J., Aldrian, E., Badan Meteorologi, Klimatologi, Dan
(2012). Spatiotemporal Characteristics Geofisika Nomor : Kep. 009 Tahun
Of Extreme Rainfall Events Over Java 2010 Tentang Prosedur Standar
Island, Indonesia. The Indonesian Operasional Pelaksanaan Peringatan
Journal of Geography. Vol. 44. No1. Dini, Pelaporan, Dan Diseminasi
Page. 62-86. DOI: Informasi Cuaca Ekstrim.
10.22146/indo.j.geog,2391

Anda mungkin juga menyukai