Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES

MENGGUNAKAN RADAR X-BAND DI KOTA BANDUNG


(Studi Kasus 19 April 2017)

1
Dinda Shabrina Medyani– 1Dr. Nurjanna Tri Laksono– 2Tiin Sinatra, M.Si
1Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
2PusatSains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Bandung
Email: dinda_shabrina@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis kejadian hujan es menggunakan radar X-Band untuk mendapatkan
keadaan umum atmosfer pada rentang waktu sebelum, sesaat dan sesudah kejadian terhadap cuaca
permukaan dan sebaran es di Kota Bandung. Keadaan atmosfer ini perlu diketahui karena terdapat
perubahan kejadian hujan es di wilayah ini setiap tahunnya. Untuk mengetahui kondisi umum hujan es
dibutuhkan observasi permukaan yang mampu merekam fenomena lokal serta memiliki resolusi tinggi,
salah satunya adalah radar X-Band. Radar ini memiliki panjang gelombang lebih kecil daripada radar
lainnya sehingga dapat memperoleh informasi kejadian ekstrem. Penggunaan observasi permukaan ini
belum digunakan dalam mengkaji kejadian hujan es di wilayah tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi
keterbatasan tersebut dilakukan analisis kejadian hujan es menggunakan radar X-Band di Kota Bandung.
Analisis kejadian dilakukan pada tanggal 19 April 2017.

Data dan metode yang digunakan yaitu data satelit sebagai bahan analisis untuk melihat perawanan
secara umum di atas Kota Bandung, analisis identifikasi radar dengan data radar CAPPI (Constant Altitude
Plan Position Indicator) sebagai inputan primer dalam menganalisis perawanan yang menghasilkan hujan
es, data stasiun pengamatan sebagai pendukung analisis keadaan cuaca permukaan terhadap perawanan
dan, laporan es untuk analisis akhir distribusi spasial sebaran es terhadap perawanan.

Hasil menunjukkan bahwa terdapat tutupan awan di atas Kota Bandung pada siang hari melalui citra
satelit. Tutupan awan ini didukung oleh penurunan temperatur permukaan dan kemunculan curah hujan
pada stasiun pengamatan. Awan berpotensi hujan terdeteksi sebelum hujan terjadi dan mengalami
pertumbuhan yang cepat. Saat kejadian hujan es, hujan terdeteksi perawanan dengan reflektivitas tinggi
pada awal waktu hujan. Namun, terdapat penurunan signifikan pada temperatur permukaan disertai disipasi
awan sebelum curah hujan mencapai intensitas tertingginya. Perawanan ini memiliki kesesuaian dengan
laporan es. Setelah kejadian, awan hujan tidak terdeteksi.

Kata Kunci : Hujan Es, Radar X-Band, Kota Bandung, Reflektivitas

1. Pendahuluan frekuensi rata-rata kejadian sebanyak 9 kali setiap


tahun. Tingginya frekuensi kejadian tidak diimbangi
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang dengan data yang memadai untuk penelitian maupun
terletak di daerah khatulistiwa dengan suhu permukaan kajian yang lebih jauh. Bahkan kajian mengenai
yang tinggi akibat pemanasan matahari (Lestari dkk., fenomena hujan es di Indonesia terbilang sedikit karena
2016). Suhu permukaan tersebut mengakibatkan tidak berbahaya seperti hujan es di lintang menengah.
ketinggian lapisan atmosfer saat tetes air membeku Meski begitu, frekuensi kejadian hujan es di Bandung
(freezing level) lebih tinggi daripada wilayah lintang mengalami peningkatan dengan total 57 kejadian dari
menengah (Fadholi, 2012). Hal ini menyebabkan tahun 2003 hingga 2015. Perubahan kejadian hujan es
fenomena hujan es sulit untuk terjadi di wilayah ini perlu dilakukan studi lanjut untuk mengetahui
Indonesia. Pada penelitian Frisby (1967), hingga tahun kondisi atmosfer yang menyebabkan kejadian hujan es
1965 tidak ada laporan mengenai kejadian hujan es di di Kota Bandung.
wilayah Indonesia. Menurut Tabary (2010), kesulitan dalam
Walaupun peluang terjadinya hujan es di mengkaji hujan es adalah mencari waktu kejadian dan
Indonesia rendah, kejadian hujan es melanda beberapa tempat jatuhnya es di permukaan. Hal ini disebabkan
daerah di Indonesia sebagai contoh Kota Bandung. hujan es merupakan fenomena yang sangat lokal
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratama (Ventura, 2013). Karena itu, kajian hujan es
(2016), kejadian hujan es di Bandung memiliki membutuhkan observasi permukaan untuk mengetahui

1
secara detail keadaan atmosfer yang dekat dengan c. Data citra satelit visible EXT Himawari-8
permukaan (Pratama, 2016). Observasi permukaan ini menggunakan kanal 3 dengan resolusi spasial 0.5
dapat berupa survey masyarakat (Tuovinen dkk., 2009) m dan temporal 10 menit. Data ini digunakan
dan observasi dengan alat diantaranya adalah stasiun untuk melihat tutupan awan pada rentang waktu
pengamatan dan radar meteorologi. kejadian hujan es berdasarkan pemberitaan media
Observasi permukaan menggunakan radar online, yaitu pukul 13.30, 14.00 dan 14.30.
memiliki kelebihan yaitu resolusi spasial dan temporal d. Laporan es digunakan sebagai validasi akhir
yang tinggi dibandingkan observasi yang lain. Salah perawanan dan cuaca permukaan terhadap lokasi
satunya adalah radar X-Band, radar ini banyak jatuhnya es. Laporan ini merupakan gabungan
digunakan oleh penyedia layanan cuaca (Ventura, antara laporan media sosial dan survey hujan es di
2013). Radar X-Band memiliki panjang gelombang Kota Bandung. Laporan media sosial memiliki 39
yang kecil (2.8 – 3.2 cm) dibandingkan dengan radar titik dan telah dilakukan quality control. Kriteria
lainnya (Kyung Ha dkk., 2005). Semakin kecil panjang yang digunakan adalah bukti dokumentasi
gelombang maka resolusi yang didapatkan lebih tinggi, (foto/video) dan waktu posting mendekati waktu
sehingga mampu mendeteksi presipitasi dekat dengan kejadian hujan es. Sedangkan, survey hujan es
permukaan dan memperoleh informasi kejadian memiliki 29 titik dan dilakukan pada tanggal 23
ekstrem secara detail karena jangkauannya lebih kecil April 2017 terhadap kejadian hujan es 19 April
(Lengfeld dkk., 2013; Trabal dkk., 2013). 2017 oleh mahasiswa/i Meteorologi ITB.
Dalam mengkaji kejadian hujan es perlu
menggunakan observasi permukaan yang mampu 2.2. Metode
menangkap fenomena lokal (Pratama, 2016). Untuk
mengatasi keterbatasan kajian hujan es di Kota Metode yang dilakukan dalam penelitian ini
Bandung, penelitian ini menggunakan observasi adalah sebagai berikut:
permukaan dengan resolusi tinggi yaitu radar X-Band.
Penelitian ini dibatasi oleh waktu kejadian hujan 2.2.1. Analisis Citra Satelit
es yang terjadi pada tanggal 19 April 2017 di Kota
Bandung. Pembahasan dan analisis melibatkan kondisi Kanal yang digunakan dalam melihat perawanan
cuaca permukaan serta sebaran es. Selain itu, data radar di atas Kota Bandung adalah EXT visible kanal 3.
yang digunakan adalah produk CAPPI (Constant Kanal ini memiliki panjang gelombang sebesar 0.64
Altitude Plan Position Indicator). µm dan mampu melihat kondisi puncak awan
(overshooting top) pada lokasi kejadian. Penggambaran
2. Data dan Metode hasil citra kanal ini dengan pendefinisian reflektansi.
Bagian yang terlihat terang memiliki reflektansi tinggi
2.1. Data dan menandakan perawanan. Sedangkan bagian gelap
memiliki reflektansi rendah menandakan daratan dan
Penelitian ini menggunakan beberapa data, yaitu laut. Reflektansi suatu awan bergantung pada jumlah
sebagai berikut: dan kepadatan butir awan (Pertiwi, 2018), ketika
a. Data radar yang digunakan adalah hasil campaign bagian gambar terlihat lebih terang daripada sekitarnya
Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) maka menandakan perawanan memiliki jumlah dan
Bandung pada tahun 2017. Data ini digunakan kepadatan butir awan yang tinggi.
sebagai input tahap awal pengolahan data. Untuk
penelitian kali ini, produk radar yang digunakan 2.2.2. Analisis Kondisi Cuaca Permukaan
adalah Constant Altitude Plan Position Indicator
Reflectivity dengan resolusi temporal 10 menit, Dalam menganalisis perawanan perlu
resolusi spasial 250 x 250 meter dan resolusi mengetahui kondisi cuaca permukaan yang
ketinggian 1 km. Radar beroperasi pada waktu menyebabkan adanya pembentukan awan skala lokal.
kejadian yaitu 19 April 2017 yang terletak di Analisis ini menggunakan parameter meteorologi
daerah Rancakusumba, Majalaya dengan sebagai yaitu temperatur permukaan dan curah hujan.
koordinat 7,04o LS dan 107,77o BT dan jangkauan Parameter temperatur digunakan untuk
maksimum sejauh 100 km. membandingkan kondisi cuaca permukaan pada hari
b. Data AWS (Automatic Weather Station) hujan es. Pada hari kejadian hujan es digunakan
digunakan untuk penentuan waktu hujan es dan parameter curah hujan untuk mengetahui rentang waktu
hubunga cuaca permukaan dengan perawanan. kejadian hujan di permukaan. Sedangkan potensi
Data AWS disediakan oleh Laboratorium Analisis kemunculan hail dilihat dari kondisi temperatur
Meteorologi ITB. Data yang digunakan sebanyak permukaan (Giaiotti dkk, 2003). Analisis kondisi cuaca
6 titik (Antapani, Sukapada, Braga, ITB, Dago dan permukaan ini dilakukan dengan metode analisis time-
Mekarwangi) pada tanggal 19 April 2017, dengan series pada pola masing-masing parameter terhadap
resolusi temporal setiap 10 menit. Parameter waktu. Kedua parameter cuaca permukaan (curah hujan
meteorologi yang digunakan dalam penelitian dan temperatur) dihubungkan untuk melihat kondisi
adalah temperatur dan curah hujan. secara umum pada hari kejadian hujan es.

2
2.2.3. Identifikasi Reflektivitas Radar penghasil hail dilakukan dengan overlay keduanya.
Hasil laporan es menjadi validasi akhir dari
Dalam pengamatan awan menggunakan radar penampakan perawanan yang terlihat di radar saat
dilakukan pengolahan data dengan mengubah hasil kejadian hujan es. Semua laporan es dilakukan
pengamatan dari format Constant Altitude Plan pembuatan pola kasar (lingkaran atau elips) untuk
Position Indicator (CAPPI) berekstensi .Z ke dalam setiap titik sumber yang berdekatan, namun penanda
besaran reflektivitas (Sinatra dan Noersomadi, 2015) laporan es media sosial dan survey masyarakat
dengan menggunakan persamaan (2.1), yaitu: dibedakan untuk melihat informasi area yang beririsan.
95,5−(−32)
Kemudian, pola spasial reflektivitas dikoreksi terhadap
𝑟𝑒𝑓𝑙𝑒𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 (𝑑𝐵𝑍) = −32 + ( ) ∗ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑖𝑘𝑠𝑒𝑙...............2.1 sebaran es. Pola spasial ditentukan pada waktu dan
255

ketinggian tertentu setelah mengetahui interval waktu


Hasil perhitungan yang digunakan hanya kejadian hujan es melalui plot time-height. Setelah
bernilai positif. Nilai reflektivitas yang mengetahui kondisi reflektivitas terhadap sebaran es
merepresentasikan awan berada di atas 10 dBZ (Fabry, maka dipilih pola spasial dengan rentang waktu yang
2015). Untuk threshold awan yang berpotensi hujan lebih pendek. Pemilihan rentang waktu ini berdasarkan
ditandai dengan nilai reflektivitas di atas 17 dBZ kemunculan reflektivitas tertinggi sekitar stasiun
(Schumacher, 2003). Pada ketinggian yang lebih pengamatan dan sebaran es.
rendah reflektivitas cenderung mengalami gangguan
permukaan (ground clutter). Untuk menghilangkan 3. Hasil dan Pembahasan
gangguan tersebut maka dilakukan filter Gabella
(2012) yang tersedia pada modul wradlib Python. 3.1. Kondisi Perawanan Berdasarkan Citra
Satelit
2.2.4. Analisis Hubungan antara Kondisi Cuaca
Permukaan dengan Perawanan Kejadian hujan es yang melanda Kota Bandung
pada tanggal 19 April 2017 diberitakan oleh media
Identifikasi reflektivitas dilakukan analisis time- online, yaitu Detikcom dan Kompas.com. Menurut
series terhadap waktu dan ketinggian. Perubahan nilai kedua media tersebut, kejadian hujan es terjadi sekitar
reflektivitas ini memperlihatkan inisiasi dan disipasi pukul 14.00. Untuk mengetahui kondisi perawanan di
awan. Hubungan antara perawanan dan cuaca atas wilayah Kota Bandung saat kejadian, dilakukan
permukaan dianalisis dengan membandingkan plot analisis citra VIS menggunakan satelit Himawari 8
time-height dan grafik temperatur permukaan serta pada rentang waktu tersebut (Gambar 3-1).
curah hujan setiap stasiun pengamatan. Plot time-height
yang dihasilkan merupakan reflektivitas rata-rata area
pilihan. Area ini menggunakan grid 2 km dengan titik
tengah stasiun pengamatan (Gambar 2-1). Namun,
untuk memperoleh kondisi tersebut dilakukan
pemilihan stasiun dengan ketersediaan data yang sesuai
terhadap rentang waktu perawanan.

(a) (b) (c)

Gambar 3-1 Kondisi perawanan di atas Kota Bandung


melalui citra VIS kanal 3 satelit Himawari-8
pada pukul (a) 13.30, (b) 14.00 dan, (c) 14.30.

Dari citra satelit terlihat bahwa pada pukul 13.30


hingga 14.30 terdapat tutupan awan di atas Kota
Bandung. Tutupan awan ini menandakan keberadaan
Gambar 2-1 Area grid 2 km pada masing-masing stasiun awan yang menyebabkan hujan es di Kota Bandung
pengamatan di Kota Bandung. pada waktu tersebut.

2.2.5. Analisis Distribusi Spasial Es dengan 3.2 Analisis Kondisi Cuaca Permukaan
Perawanan
Untuk mengetahui adanya awan yang menyebabkan
Setelah mengetahui kondisi umum antara terjadinya hujan es pada waktu tersebut, maka
atmosfer dan permukaan maka dibuat penampang dilakukan analisis kondisi cuaca permukaan pada 6
spasial reflektivitas yang memperlihatkan perawanan stasiun pengamatan yang digunakan pada penelitian
terhadap stasiun pilihan dan sebaran es di permukaan. ini. Analisis terhadap parameter temperatur permukaan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Geotis dan curah hujan menjadi fokus utama. Temperatur
(1962), konfirmasi antara laporan es terhadap awan permukaan pada Gambar 3-2 memperlihatkan kondisi

3
temperatur. Pada parameter ini terjadi penurunan 3.3 Analisis Perawanan di Kota Bandung
temperatur signifikan pada siang hari yang berdasarkan Reflektivitas Radar X-Band
menandakan kejadian hujan.
Dengan menggunakan rentang waktu kejadian
hujan es yaitu pukul 12.30 - 15.30, kondisi perawanan
dapat dilihat dari reflektivitas rata-rata area Kota
Bandung pada setiap ketinggian (Gambar 3-4).
Tampilan time-height reflektivitas ketinggian 1 hingga
15 km memperlihatkan kondisi perawanan di atas Kota
Bandung terhadap waktu.

Gambar 3-2 Plot time-series temperatur permukaan stasiun


pengamatan di Kota Bandung pada tanggal 19
April 2017

Jika difokuskan pada waktu kejadian, sharp-drop


temperatur terjadi pada pukul 13.30 hingga 14.00
dengan kemiringan (slope) rata-rata sebesar -0.2. Gambar 3-4 Profil time height reflektivitas rata-rata area
Kemiringan ini menandakan bahwa penurunan cukup Kota Bandung
curam. Dalam waktu singkat ini (30 menit), temperatur
mengalami penurunan signifikan dengan nilai Secara umum, awan yang terbentuk di Kota
perubahan rata-rata sebesar 6.25 °C untuk keseluruhan Bandung merupakan awan Cumulonimbus karena
stasiun. Kondisi sharp-drop tersebut diindikasikan memiliki ketinggian puncak awan lebih dari 15 km
proses pendinginan udara yang cepat di permukaan. (overshooting top). Pada awal waktu curah hujan
Hal ini memiliki kesesuaian dengan penelitian yang tercatat di stasiun (13.30), di ketinggian 6 km
dilakukan (Lestari dkk., 2016; Fadholi, 2012; Hidayati, mengalami kenaikan reflektivitas (inisiasi inti
2015) bahwa kejadian hujan es identik dengan konvektif awan hujan). 30 menit setelahnya, terjadi
penurunan temperatur permukaan yang signifikan. pertambahan ketinggian puncak awan dari 6 km
Berdasarkan media online, hujan es terjadi pada menuju 15 km. Bertambahnya ketinggian puncak awan
siang hari (14.00). Awan hujan ini sesuai dengan ditandai dengan adanya updraft yang kuat. Awan ini
penelitian Pratama (2016) bahwa hujan es di Kota mencapai ketinggian puncaknya mulai pukul 13.50 –
Bandung terutama bulan April terjadi pada waktu 14.20 dan setelah itu mengalami penurunan ketinggian.
konvektif aktif yaitu 13.00 – 14.00. Terlihat pada Inisiasi dan disipasi awan hujan dapat dijelaskan
distribusi curah hujan terhadap waktu (Gambar 3-3) melalui peningkatan dan penurunan reflektivitas radar
bahwa tercatat hujan dalam rentang waktu tersebut. terhadap waktu.
Jika difokuskan pada waktu sebelum dan saat
kejadian hujan, awan hujan mengalami penurunan dari
ketinggian 6 km menuju 2 km. Namun, pada waktu
curah hujan tertinggi (14.00) persebaran awan hujan di
ketinggian 6 km ini tersebar di bagian Selatan kota
Bandung, sedangkan pada ketinggian 2 km awan hujan
tersebar dari Utara hingga Selatan Kota Bandung. Dari
hal ini dapat diketahui bahwa awan Cumulonimbus
yang menyebabkan hujan es memiliki bentuk yang
miring (condong ke arah Selatan Bandung).
Gambar 3-3 Diagram batang time-series distribusi total
curah hujan stasiun pengamatan di Kota 3.4 Analisis Perawanan di Kota Bandung
Bandung berdasarkan Reflektivitas Radar X-Band

Kejadian hujan di Kota Bandung tercatat pada Awan Cumulonimbus yang menutupi Kota Bandung
pukul 13.30 - 14.30. Rentang waktu ini digunakan dan menghasilkan hujan es pada kasus ini berhubungan
sebagai rentang waktu saat kejadian hujan es. Untuk erat dengan kondisi cuaca permukaan. Untuk melihat
keadaan sebelum kejadian hujan es dipilih rentang kondisi cuaca permukaan yang dipengaruhi oleh awan
waktu 12.30 – 13.30, dan setelah kejadian hujan es tersebut dan analisis hubungan diantara keduanya maka
berada pada rentang waktu 14.30 - 15.30. Pemilihan dipilih stasiun ITB. Stasiun ini terpilih sebagai stasiun
rentang waktu ini digunakan untuk melihat keadaan pengamatan karena memiliki ketersediaan data lengkap
sebelum kejadian hujan, sesaat dan setelahnya, rentang terhadap perawanan (reflektivitas rata-rata >17 dBZ)
waktu ini menjadi batasan untuk analisis berikutnya. yang terdeteksi di area grid stasiun (Gambar 3-5).

4
Pada ketinggian 2 km memiliki rentang waktu
yang sesuai dengan tercatatnya curah hujan stasiun
pengamatan ITB. Terjadi inisiasi inti konvektif 10
a) menit sebelum kemunculan curah hujan. Ketika curah
hujan turun, awan hujan berdisipasi dan seterusnya
mengalami peningkatan intensitas curah hujan hingga
pukul 14.00. Pada curah hujan yang tercatat setelah
waktu tersebut, tidak terdapat awan yang terdeteksi
pada ketinggian 2 atau 3 km. Curah hujan ini berpotensi
menjadi curah hujan bawaan akibat angin permukaan
b) ataupun awan hujan yang lebih rendah (1 km) saat
kejadian hujan es.

3.5 Analisis Distribusi Spasial Reflektivitas Radar


terhadap Sebaran Es di Kota Bandung

Hubungan antara perawanan di atas Kota


c) Bandung dengan laporan es dari media sosial dan
survey mampu menjelaskan kondisi atmosfer yang
terjadi. Untuk melihat sebaran awan terhadap distribusi
es secara umum, digunakan ketinggian 2 km sebagai
Gambar 3-5 Plot time-series parameter (a) reflektivitas
ketinggian yang memiliki kesesuaian antara insiasi
radar, (b) temperatur, dan (c) curah hujan di perawanan dengan cuaca permukaan (Gambar 3-7).
stasiun pengamatan ITB dengan grid 2 km Berdasarkan penelitian hujan es yang dilakukan oleh
Fiary (2015) ketinggian tersebut memiliki reflektivitas
Perawanan yang terdeteksi terlihat mengalami tinggi. Sedangkan untuk pemilihan rentang waktu
kenaikan puncak awan seiring bertambahnya jatuhnya es dilihat melalui reflektivitas tinggi yang
reflektivitas pada ketinggian rendah (2 - 4 km). terdeteksi di area stasiun ITB (13.30 – 13.50). Sebaran
Reflektivitas rata-rata tertinggi terdeteksi pada pukul awan diperlihatkan melalui pola spasial reflektivitas
13.30 – 13.50, waktu ini terindikasi adanya dalam wilayah Kota Bandung.
pembentukan hail dalam awan. Kondisi ini terlihat
pada puncak awan pada ketinggian 6 km yang 1330 1340
mengalami kenaikan hingga ketinggian 10 km.
Ketika awan hujan pada area tersebut berdisipasi,
temperatur mengalami penurunan signifikan dalam
waktu singkat (13.50 – 14.00) sebesar 4 °C. Rentang
waktu penurunan temperatur ini berpotensi menjadi
rentang waktu hujan es turun ke permukaan. Setelah
1350
temperatur permukaan menurun, terlihat curah hujan
mengalami kenaikan intensitas cukup tinggi (14.00).
Reflektivitas rata-rata tinggi diindikasikan sebagai
pembentukan inti konvektif pada awan hujan. Pada
Gambar 3-5, inisiasi ini pertama kali terlihat pada
ketinggian 2 dan 3 km. Untuk melihat kesesuaian
kondisi perawanan terhadap cuaca permukaan,
Gambar 3-7 Distribusi spasial reflektivitas radar terhadap
dilakukan plot time-series pada reflektivitas rata-rata di
stasiun AWS ITB (titik merah) dan sebaran es
area tersebut (Gambar 3-6). survey (area/titik biru dan pink)

Area sebaran es yang banyak diberitakan oleh media


a) cetak online adalah daerah Sekeloa, SWK Cibeunying
sebagai area dengan deposit es cukup banyak. Area ini
berdekatan dengan stasiun pengamatan ITB.
Persebaran awan pada ketinggian rendah (2 km)
memiliki kesesuaian dengan sebaran es di permukaan.
b)
Awan dengan potensi keberadaan hail berada pada
pukul 13.30, karena reflektivitas tertinggi terdeteksi di
sekitar stasiun pengamatan dan sebaran es. Potensi hail
Gambar 3-6 Nilai reflektivitas rata-rata area grid ITB pada
jatuh ke permukaan berada pada rentang waktu 13.40 -
ketinggian CAPPI (a) 3 km dan (b) 2 km 14.00, ditandai dengan adanya disipasi awan dan

5
penurunan nilai reflektivitas. Namun, dalam rentang permukaan mengalami penurunan signifikan
waktu ini nilai reflektivitas maksimum hanya mencapai (13.50 – 14.00). Setelah temperatur mengalami
43 dBZ. Hal ini berbeda dengan threshold hail yang sharp drop, terjadi peningkatan intensitas curah
digunakan pada lintang menengah (> 55 dBZ). hujan yang tinggi (14.00).
Jika dilihat pada cuaca permukaan dan reflektivitas
sekitar stasiun ITB (Gambar 4.7), terdapat kesesuaian 4.2. Implikasi
dengan waktu berpotensi hail yaitu pukul 13.30.
Terjadi updraft kuat ditandai dengan peningkatan Penelitian ini dapat dikembangkan untuk
puncak awan hingga 10 km dan peningkatan nilai menganalisis lebih dalam mengenai kejadian hujan es
reflektivitas rata-rata pada 13.30 – 13.40. Updraft kuat terutama penentuan threshold reflektivitas hail di Kota
ini diketahui sebagai salah satu syarat terbentuknya Bandung.
hail. Pembentukan hail berpotensi terjadi pada rentang
waktu ini dengan waktu yang singkat (10 menit), hal ini 4.3. Saran
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Schulze,
2007). 1. Diperlukan pola tiga dimensi reflektivitas agar
Pada pola spasial reflektivitas, rentang waktu yang mengetahui kondisi keseluruhan awan di setiap
menjadi potensi jatuhnya es ke permukaan yaitu pukul ketinggian terhadap parameter meteorologi selain
13.40 – 14.00. Hal ini diindikasikan dengan penurunan temperatur dan curah hujan di wilayah kajian.
puncak awan yang ditandai adanya downdraft dimulai
2. Dalam menganalisis kejadian hujan es perlu
pada pukul 13.40. Adanya downdraft menandakan
membandingkan kondisi atmosfer dan cuaca
bahwa hail jatuh ke permukaan. Diperkuat dengan
permukaan antara hari kejadian hujan es dengan
tercatatnya penurunan temperatur signifikan pada
hari tanpa kejadian hujan es.
pukul 13.50 – 14.00, penurunan ini disebabkan oleh
jatuhnya es yang mendinginkan permukaan. Setelah
itu, terjadi peningkatan intensitas curah hujan sebesar 6 5. Daftar Pustaka
mm (Gambar 3-5).
Fabry, F. (2015). Radar Meteorology – Principles and
Area sebaran es pada daerah ITB dan Braga
Practice. Cambridge University Press, Cambridge,
memiliki kesesuaian dengan reflektivitas yang
UK. Gauthreaux, S.A., Belser, C.G., 19.
terdeteksi. Namun, sebaran es Sukapada terlihat jauh
dari distribusi spasial reflektivitas pada rentang waktu
Fadholi, A. (2012). Analisa Kondisi Atmosfer pada
kejadian. Hal ini diindikasikan adanya faktor lokal
Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es (Hail). Simetri,
angin yang mempengaruhi jatuhnya es hingga daerah
Jurnal Ilmu Fisika Indonesia, 74-80.
tersebut.
Fiary, I. C. (2015). Kajian Terjadinya Hujan Es dengan
4. Kesimpulan dan Saran
Menggunakan Citra Satelit dan Radar: Studi Kasus
Bali Tanggal 16 Desember 2010 dan Jakarta 22
4.1. Kesimpulan
April 2014. Skripsi. Taruna Sekolah Tinggi
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Frisby, E. M., dan Sansom, H. W. (1967). Hail
1. Reflektivitas mengalami kenaikan signifikan Incidence in the Tropics. Journal of Applied
sebelum kejadian hujan es, mengindikasikan Meteorology, 339-349.
adanya pertumbuhan awan yang cepat. Saat
kejadian hujan, terjadi disipasi awan dan Geotis, S. G. (1962). Some Radar Measurements of
penurunan temperatur permukaan yang signifikan Hailstorms. Journal of Applied Meteorology
menjelang puncak curah hujan. Setelah kejadian, Volume 2, 270-275.
awan hujan tidak terdeteksi.
Giaiotti, D., Nordio, S., dan Stel. F. (2003). The
2. Awan yang menyebabkan hujan es adalah awan Climatology of Hail in the pLain of Friuli Venezia
Cumulonimbus yang mencapai ketinggian 15 km. Giulia. Atmos. Res., 67-259.
3. Pada penelitian hujan es di wilayah lintang
menengah, awan penghasil hujan es memiliki Haryoko, U. (2009). Laporan Kejadian Angin Kencang
threshold > 55 dBZ. Namun, pada penelitian ini di Wilayah DKI Jakarta Tanggal 22 April 2009.
awan hanya memiliki nilai reflektivitas maksimum Tangerang: BMKG.
yaitu 43 dBZ.
Hidayati, Rahman. (2015). Analisis Kejadian Hujan Es
4. Pembentukan hail terbentuk selama 10 menit di Wilayah Bandung Berdasarkan Kondisi
dilihat dari peningkatan reflektivitas yang Atmosfer dan Citra Satelit. Fibusi (JoF) Vol.3 No.1.
terdeteksi dan updraft kuat pada pukul 13.30 –
13.40. Ketika hail jatuh ke permukaan, temperatur

6
Kyung Ha, Ho., Jerome. P. Y. (2005). X-Band Radar Tuovinen, J., Punkka, A., Rauhala, J., Hohti, dan
Wave Observation System. Minerals Management Schultz, D. M. (2009). Climatology of Severe Hail
Service Virginia Institute, 1-5. in Finland: 1930–2006. Mon. Wea. Rev., 137,
2238–2249.
Lengfeld, K., Clemens, M., Münster, H., dan Ament, F.
(2013). PATTERN: Advantages of High- Ventura, J., Honore, F., Tabary, P. (2013). X-Band
Resolution Weather Radar Networks. Proceedings Polametric Weather Radar Observations of a
of American Meteorological Society 36th Hailstorm. Meteo-France, Toulouse France, 2143-
Conference on Radar Meteorology, Breckenridge, 2145.
CO, USA.

Lestari, R., Siadari, E., Putri, R. (2016). Analisis


Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es di Kota Medan
(Studi Kasus Tanggal 26 Juli 2015 dan 12
September 2016). Proseding Seminar Nasional
Fisika dan Aplikasinya.

Pertiwi, B. D. (2018). Analisis Karakteristik Awan


Cumulonimbus Menggunakan Citra Satelit dan
Data Cuaca Permukaan Wilayah Banyuwangi:
Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Kelas III
BMKG Banyuwangi. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Pratama, S. A. (2016). Kajian Karakteristik Kejadian


Hujan Es (Hail) di Wilayah Bandung. Skripsi.
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.

Schulze, R. E. (2007). Hail and Hail Day Frequency.


South African Atlas of Climatology and
Agrohidrology, Water Research Commission,
Section 19.2, 2-3.

Schumacher, C. (2003). The TRMM Precipitation


Radar: Comparison to a Ground-Based Radar and
Application to Convective-Stratiform Precipitation
Mapping over the Tropics. Department of
Atmospheric Science University of Washington.

Sinatra, T., dan Noersomadi. (2015). Pemanfaatan


Transportable Radar Cuaca X-Band untuk
Pengamatan Awan. Berita Dirgantara Vol.16
No.2, 91-97.

Tabary, P. (2010). Hail Detection and Quantification


with C-band Polarimetric radars: Results from a
two-year objective comparison against hailpads in
the south of France. Proc. Sixth European Conf. on
Radar in Meteorology and Hydrology (ERAD
2010), Sibiu, Romania, EUMETSAT.

Trabal, J. M., Colom-Ustariz, J., Cruz-Pol, S., Pablos-


Vega, G. A., dan McLaughlin. (2013). Remote
Sensing of Weather Hazards Using a Low-Cost
and Minimal Infrastructure Off-the-Grid Weather
Radar Network, IEEE Trans. Geosci. Remote
Sens., 51, 2541– 2555.

Anda mungkin juga menyukai