Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No.

3, Nopember 2016

KAJIAN PENERAPAN ESTIMASI CURAH HUJAN PER JAM


MEMANFAATKAN METODE CONVECTIVE STRATIFORM
TECHNIQUE (CST) DAN MODIFIED CONVECTIVE STRATIFORM
TECHNIQUE (mCST) DI PONTIANAK

Ashriah Jumi Putri Andani*, Endarwin


Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
*
Email : ashriahandani@gmail.com

ABSTRAK

Estimasi curah hujan per jam dengan memanfaatkan data satelit merupakan salah satu solusi untuk
mendapatkan informasi curah hujan yang akurat dan near real time. Convective Stratiform Technique (CST)
merupakan metode estimasi curah hujan berdasarkan suhu puncak awan dengan pemisahan kelompok
konvektif dan stratiform, sedangkan Modified Convective Stratiform Technique (mCST) merupakan
modifikasi pada intensitas curah hujan dan luasan area lingkup piksel rata-rata terhadap CST. Penelitian
dilakukan memanfaatkan data inframerah satelit MTSAT sepanjang tahun 2014. Hasil curah hujan estimasi
per jam diverifikasi dengan data curah hujan Hellman di Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak.. Evaluasi
hasil estimasi curah hujan dilakukan dengan menggunakan indeks statistik dan tabel kontingensi. Secara
umum, kedua metode estimasi curah hujan dapat diterapkan di wilayah Pontianak dengan korelasi yang
sangat kuat dengan data pengamatan. Metode CST dan mCST cukup konsisten dalam memberikan kualitas
hasil estimasi yang baik untuk curah hujan per jam pada setiap bulan sepanjang tahun. Dengan demikian,
kedua metode tersebut cocok untuk memonitor curah hujan di Pontianak yang memiliki tipe hujan ekuatorial.
Perbandingan kualitas dari kedua metode menunjukkan metode mCST menghasilkan estimasi curah hujan
yang lebih baik.

Kata kunci : estimasi curah hujan, satelit, CST, mCST

ABSTRACT

Hourly rainfall estimation using satellite data is one of solutions to obtain accurate and near real time
rainfall informations. Convective Stratiform Technique (CST) is a rainfall estimation method based on cloud
top temperature in which convective and stratiform components are separated, while Modified Convective
Stratiform Technique (mCST) is the modifications towards the rainfall intensity and averaged area of pixel
scope from CST. This research is done by using MTSAT infrared data during 2014. Hourly rainfall
estimations by each methods are verified with Hellman rainfall data in Supadio Meteorogical Station in
Pontianak. The evaluation of rainfall estimations is done by using statistical indices and contingency table.
In general, both methods can be applied in Pontianak area with very strong correlation with the observation
data. CST and mCST methods are consistent enough to produce good quality estimation values for hourly
rainfall in all months during the year. Thus, both methods are suitable for rainfall monitoring in Pontianak
which has equatorial rainfall pattern. The comparison between those two methods shows that the estimation
quality using mCST is better.

Keywords: rainfall estimation, satellite, CST, mCST

9
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

1. PENDAHULUAN Informasi curah hujan yang ak


urat dan near real time dibutuhkan dalam Pontianak terletak tepat di ekuator, sehingga
berbagai aspek kehidupan, terutama dalam memiliki tipe curah hujan ekuatorial dengan
peringatan dini bencana alam seperti banjir, distribusi curah hujan bulanan yang
longsor dan kekeringan serta dalam menunjukkan maksima ganda dan curah
penelitian yang berkaitan dengan siklus hujan tinggi sepanjang tahun (Tjasyono dan
hidrologi (Suwarsono dkk, 2009; Joyce dkk, Musa, 2000).
2004; Hong dkk, 2007). Ketersediaan data
Dalam penelitian ini, metode CST dan mCST
curah hujan masih cukup menjadi masalah
diterapkan untuk melakukan estimasi curah
karena tidak di seluruh tempat memiliki titik
hujan per jam di wilayah Pontianak. Hasil
pengamatan curah hujan atau apabila alat
estimasi dengan menggunakan masing-
penakar curah hujan di suatu stasiun
masing diverifikasi dengan data curah hujan
pengamatan cuaca mengalami kerusakan.
pengamatan Hellman di Stasiun Meteorologi
Estimasi curah hujan dengan memanfaatkan Supadio Pontianak (96581). Tujuan
data satelit merupakan salah satu solusi dari penelitian ini adalah untuk menganilisis
masalah ketersediaan data curah hujan. Data kualitas hasil estimasi curah hujan,
satelit cuaca ini dapat diperoleh secara up to konsistensinya ketika diterapkan pada setiap
date dan tidak dikenakan biaya, namun bulan, serta mengetahui perbandingan
pemanfaatannya masih sangat terbatas di kualitas hasil estimasi antara kedua metode.
kalangan masyarakat luas (Suwarsono dkk,
2. DATA DAN METODE
2009; Endarwin, 2014).
2.1. Data
Satelit MTSAT (Multi-Functional Transport
Data yang digunakan dalam penelitian ini
Satellite) merupakan satelit penginderaan
meliputi:
jauh yang memiliki sensor visible dan
1. Data citra satelit MTSAT kanal IR-1
inframerah yang memonitor fenomena
yang dikemas dalam bentuk PGM
atmosfer berupa suhu puncak awan (Kidder
(Portable Gray Map) diperoleh dari
dan Haar, 1995). Metode estimasi curah
http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME
hujan berdasarkan suhu puncak awan,
dengan format kompresi Gzip.
diantaranya adalah Convective Stratiform
Resolusinya 1/20o atau 5,55 km x 5,55
Technique (CST) dan Modified Convective
km dan berukuran 1800 x 1800 piksel.
Stratiform Technique (mCST).
Sedangkan untuk file kalibrasinya
CST merupakan metode estimasi curah hujan (.CAL) dengan nilai 0 untuk albedo 0%
dengan pemisahan kelompok konvektif dan dan 255 untuk albedo 100% dan
stratiform yang ditemukan oleh Adler dan interpolasinya diperoleh dari
Negri (1988), sedangkan mCST merupakan http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/CAL.
modifikasi pada intensitas curah hujan dan Data tersebut tersedia untuk citra setiap 1
luasan area lingkup piksel rata-rata terhadap (satu) jam. Dalam penelitian ini
CST yang dikembangkan oleh Endarwin digunakan data citra satelit MTSAT
(2014). sepanjang tahun 2014.
2. Data curah hujan setiap 1 (satu) jam yang
Berdasarkan metode pembentukannya, awan
diperoleh dari hasil pengukuran dengan
digolongkan menjadi awan stratiform dan
penakar hujan jenis Hellman di Stasiun
cumuliform (Tjasyono, 1999). Awan jenis
Meteorologi Supadio (96581). Data
stratiform tumbuh lebih lambat, arus
curah hujan yang digunakan adalah
vertikalnya kuat dan terjadi pada wilayah
untuk waktu sepanjang tahun 2014.
dengan kelembaban kecil. Awan stratiform
menyebabkan hujan secara terus-menerus
(kontinyu) namun dengan intensitas ringan. 2.2. Metode Penelitian
Awan jenis cumuliform atau akibat aktivitas Penelitian yang dilakukan termasuk dalam
konvektif menyebabkan hujan deras penelitian mengenai suatu kajian penerapan
(showers) namun dengan selang waktu yang metode dalam kegiatan estimasi di wilayah
relatif lebih singkat. dan waktu penelitian baru. Penelitian

10
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

dilakukan sepanjang tahun 2014 di titik dkk, 1990; Islam dkk, 2002; Endarwin,
penelitian Stasiun Meteorologi Supadio 2014):
Pontianak (0,14208oLS dan 109,40253oBT). ln( )= +
Pengolahan data dalam penelitian ini (3)
dilakukan dengan perangkat lunak MATLAB
R2008a dan Microsoft Excel. Adapun teknik Keterangan:
pengolahan data adalah sebagai berikut: Ac = luasan area hujan konvektif
1. Konversi data IR satelit dalam ekstensi (km2)
file .pgm dan .dat sehingga diperoleh = temperatur puncak awan pada
temperatur kecerahan awan (TBB). inti konvektif ke-i (K)
2. Mengatur koordinat titik penelitian a dan b = konstanta yang ditetapkan
(lintang: -0,14208 dan bujur: 109,40253). Adler dan Negri (1988),
3. Pembacaan temperatur kecerahan awan a = -0,0492
(TBB) pada piksel dimana koordinat telah b = 15,27
diatur. Sedangkan luasan wilayah stratiform
4. Perhitungan slope parameter (S). Untuk ditentukan dengan menggunakan
resolusi data 5,55 km x 5,55 km S sesuai persamaan serupa, yaitu pada persamaan
persamaan 1 (Islam dkk, 2002; 4 sebagai berikut:
Endarwin, 2014):
ln( )= + (4)
= ( , + , + , ++ , +
, + , + , -8 , ) (1) Keterangan:
As = luasan area hujan stratiform
Keterangan: (km2)
S = slope parameter (S) (K) Ts = temperatur puncak awan
T = temperatur kecerahan stratiform (K)
awan (TBB) (K)
i dan j = posisi nilai piksel dimana Karena dalam penelitian ini dipilih satu
S dihitung piksel yang mewakili koordinat stasiun,
k = konstanta = 0,125 maka layaknya Tmin, untuk Tci dan Ts juga
didefinisikan sebagai temparatur
5. Pemisahan inti konvektif dan stratiform. kecerahan awan pada piksel yang dibaca.
Inti konvektif ditentukan melalui
pembatasan (Goldenberg dkk, 1990; 7. Estimasi curah hujan setiap jam. Dengan
Islam dkk, 2002; Endarwin,2014): menggunakan metode CST, maka
estimasi curah hujan dilakukan dengan
S ≥ exp [0,0826 (Tmin – 207 K)] (2) persamaan 5 dan 6 (Adler dan Negri,
1988; Goldenberg dkk, 1990; Islam dkk,
Keterangan: 2002):
Tmin = temperatur minimum
relatif dari TBB (K) Curah Hujan Konvektif (mm)=

Dalam penelitian ini, dipilih satu piksel C (5)


yang mewakili koordinat stasiun, maka
untuk Tmin merupakan temperatur pada
piksel yang dibaca. Apabila nilai slope Keterangan:
parameter (S) memenuhi persamaan 2 C = bilangan sel konvektif
maka merupakan jenis inti konvektif dan = luasan wilayah konvektif (km2)
sebaliknya (Islam dkk, 2002). A = rata-rata area yang dilingkupi oleh
tiap piksel (km2)
6. Penentuan luasan wilayah konvektif dan
T = rata-rata periode estimasi (jam)
stratiform. Untuk luasan wilayah
Rc = intensitas curah hujan konvektif
konvektif sebagai berikut (Goldenberg
(mm/jam)

11
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

Untuk mengevaluasi secara kuantitatif,


Sedangkan untuk curah hujan stratiform digunakan beberapa indeks validasi
dirumuskan sebagai: (Jiang dkk, 2010), yaitu:

Curah Hujan Stratiform (mm) =


a. Koefisien korelasi (C)
St (6) Koefisien korelasi adalah bilangan
yang menyatakan besar kecilnya
suatu hubungan antar variabel
Keterangan: (Sudjana, 1996). Nilai C yang
St = bilangan sel stratiform mendekati 1 atau -1 menunjukkan
= luasan wilayah stratiform (km2) hubungan yang sangat erat. Nilai
A = rata-rata area yang dilingkupi oleh koefisien korelasi ditunjukkan pada
tiap piksel (km2) tabel 2.
T = rata-rata periode estimasi (jam)
Rs = intensitas curah hujan stratiform ∑ ( )( )
= (7)
(mm/jam) ∑ ( ) ∑ ( )

Nilai C dan St adalah 1 berkenaan Tabel 2. Kategori koefisien korelasi (Sugiyono,


dengan penelitian pada setiap lokasi 2004)
yang hanya merujuk pada titik tertentu. Interval Tingkat
Selanjutnya dikarenakan estimasi Koefisien Hubungan
dilakukan untuk curah hujan setiap jam, 0,00 – 0,199 Sangat Lemah
maka nilai T adalah 1. 0,20 – 0,399 Lemah
Dalam pengerjaan estimasi 0,40 – 0,599 Sedang
menggunakan metode CST, maka nilai 0,60 – 0,799 Kuat
Rc dan Rs yang digunakan berturut-turut
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
sebesar 20 mm/jam dan 3,5 mm/jam
(Islam dkk, 2002). Sedangkan dalam
b. Error rata-rata absolut / mean
pengerjaan estimasi curah hujan
absolute error (MAE)
menggunakan metode mCST, maka nilai
Error rata-rata absolut (MAE) adalah
Rc dan Rs yang digunakan berturut-turut
rata-rata absolut dari kesalahan
sebesar 26 mm/jam dan 0,8 mm/jam.
estimasi, tanpa menghiraukan tanda
Luasan rata-rata area (A) yang
positif atau negatif.
dilingkupi piksel untuk estimasi dengan
metode CST dan mCST berturut-turut
adalah 121 km2 dan 202,1243 km2. = ∑ |( − )| (8)
Adapun tabel perbedaan spesifikasi
metode CST dan mCST yang digunakan c. Root Mean Square Error (RMSE)
dalam penelitian ini dapat diamati ada RMSE digunakan untuk mengetahui
tabel 1. besarnya penyimpangan yang terjadi
antara lain prediksi total curah hujan
Tabel 1. Perbedaan spesifikasi dari metode CST harian dibandingkan dengan nilai
dan mCST total curah hujan harian aktual hasil
Intensitas Curah Luasan Area
Hujan (mm/jam) Rata-Rata observasi (Wilks, 1995).
No
Konvektif Stratiform yang dilingkupi
(Rc) (Rs) piksel (A) (km2)
∑ ( )
1 20 3,5 121 = (9)
2 26 0,8 202,1243
d. Bias relatif (B)
8. Evaluasi hasil estimasi curah hujan
dengan data Hellman.

12
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

Bias relatif adalah prosentase nilai Evaluasi dilakukan dengan menggunakan


error hasil estimasi terhadap hasil 3 (indeks) indeks statistik (Jiang dkk,
pengamatan real. 2010), yaitu:

∑ ( ) a. Probability of detection (POD)


= × 100%
∑ POD menunjukkan frekuensi kejadian
(10) hujan dapat diestimasi dengan satelit,
yang disebut juga dengan hit rate.
Keterangan: = (11)
n = jumlah data
REi dan ROi = nilai estimasi
curah hujan dan pegukuran Hellman b. False alarm rate (RFA)
ke-i RFA menunjukkan fraksi kejadian
dan = nilai rata-rata dimana estimasi satelit menunjukkan
estimasi dan kejadian hujan tetapi hasil observasi
pegukuran Hellman tidak.

Untuk mengukur hubungan antara curah = (12)


hujan hasil estimasi dengan satelit dan
pegamatan permukaan, digunakan tabel
kontingensi seperti tabel 3. c. Critical success index (ICS)
ICS menunjukkan fraksi kejadian
Tabel 3. Tabel kontingensi 2x2 (Kouchak dan hujan keseluruhan yang dapat
Mehran, 2013)
diestimasi oleh satelit.

Observasi =
Estimasi
Ya Tidak (13)
Ya H F
Keterangan:
Tidak M N N, M, F dan H = kasus-kasus yang
ditunjukkan pada tabel 3.
Nilai kategori intensitas curah hujan per , , dan = jumlah kejadian
jam yang masing-masing akan diujikan kasus terkait
adalah mengikuti kategori curah hujan
yang ditetapkan oleh Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika menurut tabel 9. Penerapan estimasi curah hujan secara
4. spasial untuk sampel kejadian hujan lebat
per jam. Hasil estimasi di plot dengan
Tabel 4. Kategori intensitas curah hujan menggunakan ArcGIS 10.2 dan
menurut BMKG
dibandingkan dengan produk observasi
Jumlah Curah
Kategori Curah curah hujan per jam, yaitu GSMaP
No. Hujan Per Jam
Hujan
(mm/jam) (Global Satellite Mapping of
1 Ringan 0,1 – 5,0 Precipitation) yang diperoleh dari
2 Sedang 5,1 – 10,0 ftp://rainmap:Niskur+1404@hokusai.eor
3 Lebat 10,1 – 20,0 c.jaxa.jp/.
4 Sangat Lebat > 20,0

13
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

Gambar 1. Diagram alir penelitian

(a) (b)
Gambar 2. Scatter-plot CH estimasi CST (a) dan mCST (b) per jam VS pengamatan Hellman tahun 2014

14
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan scatter-plot curah hujan Secara umum, metode CST menghasilkan
estimasi dan pengamatan per jam pada curah hujan estimasi yang over estimate
gambar 1 dapat diamati bahwa terdapat terhadap pengamatan, sedangkan estimasi
beberapa data yang menyebar pada kedua mCST menghasilkan curah hujan yang
plot. Penyebaran ini sebagian menunjukkan nilainya cenderung under estimate. Korelasi
nilai estimasi yang kurang dari curah hujan yang dihasilkan oleh metode mCST lebih
aktual dan sebagian lagi lebih besar. tinggi dari pada CST.
kategori hujan yang ditetapkan BMKG pada estimasi CST seringkali menghasilkan nilai
table 5. Secara umum, estimasi mCST curah hujan setiap jamnya, bahkan pada saat
menghasilkan prosentase yang relatif lebih kejadian tidak hujan. Sedangkan untuk
konsisten konsisten dengan curah hujan kategori hujan sedang hinga sangat lebat,
Hellman untuk semua kategori hujan. prosentase kejadian dari estimasi curah hujan
Estimasi CST menghasilkan prosentase yang dengan kedua metode cukup konsisten
berbeda jauh dengan curah hujan aktual menunjukkan akurasinya terhadap
khususnya untuk kategori hujan dibawah 0,1 pengamatan aktual.
mm dan hujan ringan. Hal ini dikarenakan

Tabel 5. Frekuensi kejadian hujan per jam tahun 2014 hasil estimasi dan observasi
Prosentase (%)
Kategori Hujan Intensitas (mm/jam) CST mCST Hellman
- < 0,1 28,52 78,94 91,54
Ringan 0,1 - 5,0 69,08 19,79 7,02
Sedang 5,1 - 10,0 1,51 0,58 0,65
Lebat 10,1 - 20,0 0,50 0,46 0,42
Sangat Lebat > 20,0 0,40 0,23 0,37

3.1 Analisis Berdasarkan Indeks Evaluasi

Berdasarkan data estimasi curah hujan per Demikian pula bias relatif dari hasil estimasi
jam yang diujikan selama tahun 2014 menunjukkan bahwa dengan menggunakan
diperoleh indeks evaluasi hasil estimasi metode CST dihasilkan hasil estimasi curah
dibandingkan dengan pengamatan aktual hujan yang 162,29 % lebih besar terhadap
yang ditunjukkan pada tabel 6. Estimasi observasi, sedangkan estimasi mCST
curah hujan per jam menggunakan kedua menghasilkan curah hujan estimasi yang nilai
metode tersebut menghasilkan korelasi yang biasnya 15,94 % lebih kecil dari observasi.
sangat kuat dengan curah hujan pengamatan
Hellman. Nilai korelasi yang dihasilkan
estimasi mCST lebih tinggi. Error yang
dihasilkan oleh estimasi CST relatif lebih
besar dibanding metode mCST.

Tabel 6. Indeks evaluasi estimasi curah hujan per jam terhadap observasi tahun 2014
Korelasi MAE RMSE Bias Relatif
(mm/jam) (mm/jam) (%)
Estimasi CST 0,81 0,47 1,57 162,29
Estimasi mCST 0,85 0,05 1,32 -15,94

15
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

3.2 Analisis Berdasarkan Tabel estimasi tersebut berdasarkan kategori hujan


Kontingensi yang ditetapkan BMKG. Grafik nilai indeks
Probability of Detection (POD), False Alarm
Hasil estimasi curah hujan dengan Rate (RFA) dan Critical Success Index (ICS)
menggunakan metode CST dan mCST untuk kategori hujan per jam ditampilkan
dikelompokkan dengan menggunakan tabel pada gambar 3.
kontingensi untuk mengetahui tingkat akurasi

(a) (b) (c)


Gambar 3. Grafik nilai POD (a), RFA (b) dan ICS (c) estimasi curah hujan per jam tahun 2014
menggunakan metode CST dan mCST

Berdasarkan grafik nilai indeks POD untuk menunjukkan hujan dengan intensitas yang
setiap kategori hujan pada gambar 3 (a), lebih besar dibandingkan dengan hujan
dapat diamati bahwa untuk kategori hujan ringan.
ringan dan sangat lebat, estimasi CST Nilai ICS merupakan fraksi kejadian dimana
mampu menghasilkan nilai POD yang lebih hujan pada masing-masing kategori dapat
tinggi, artinya frekuensi kejadian hujan ditunjukkan oleh satelit yang ditunjukkan
ringan dan hujan sangat lebat dapat pada gambar 3 (c). Nilai ICS yang dihasilkan
diestimasi dengan lebih baik menggunakan oleh estimasi mCST lebih tinggi dari pada
metode tersebut. Pada kategori hujan lebat, CST pada kategori hujan ringan, sedang dan
kemampuan metode mCST lebih baik dalam lebat. Hal ini menunjukkan frekuensi hit rate
estimasinya. Secara umum, kedua metode kejadian hujan ringan dan sedang lebih besar
menunjukkan indeks di atas 0,4 untuk dibandingkan dengan estimasi CST.
masing-masing kategori hujan, artinya kedua Sedangkan untuk kategori hujan sangat lebat,
metode estimasi mampu menunjukkan estimasi CST memberikan nilai ICS yang
frekuensi kejadian hujan pada masing- lebih tinggi. Seperti halnya analisis pada
masing kategori dengan prosentase di atas 40 indeks RFA, indeks ICS juga menunjukkan
%. bahwa kemampuan kedua metode dalam
Grafik indeks RFA pada gambar 3 (b) melakukan estimasi curah hujan per jam
menunjukkan metode CST menghasilkan lebih baik untuk intensitas hujan yang lebih
fraksi lebih besar untuk kejadian dimana tinggi.
estimasi CST menunjukkan kejadian hujan
ringan namun observasi. Hal ini terjadi pada 3.3 Analisis Konsistensi Kualitas Estimasi
semua kategori hujan. Estimasi mCST Curah Hujan Setiap Bulan
menghasilkan nilai false alarm yang lebih
kecil namun dengan pola yang sama dengan Hasil estimasi curah hujan setiap jam
CST. Nilai indeks RFA terbesar terdapat dikelompokkan setiap bulan untuk
pada kategori hujan ringan dan semakin mengamati konsistensi dari kualitas estimasi
mengecil untuk kategori hujan lebat. Artinya, dengan metode CST dan mCST sepanjang
untuk estimasi curah hujan per jam, tahun 2014.
kemampuan CST dan mCST lebih baik untuk

16
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

Gambar 5. Grafik nilai MAE estimasi curah


hujan CST dan mCST setiap bulan

Gambar 4. Grafik nilai korelasi estimasi curah Namun demikian, nilai MAE yang dihasilkan
hujan CST dan mCST setiap bulan oleh estimasi dengan kedua metode untuk
sepanjang tahun cukup kecil, yaitu kurang
dari 0,8 mm/jam. Hal ini menandakan bahwa
Korelasi yang dihasilkan kedua metode kedua metode estimasi ini memiliki kualitas
estimasi curah hujan baik CST dan mCST yang cukup baik untuk mengestimasi curah
menghasilkan nilai koefisien yang tinggi, hujan per jam di Pontianak. Nilai error
yaitu di atas 0,6. Sebagaimana yang terbesar yang dihasilkan metode CST
ditampilkan pada grafik korelasi setiap bulan terdapat pada bulan Oktober yang merupakan
pada gambar 4, tingkat hubungan yang tinggi bulan puncak hujan pada tahun 2014.
antara hasil estimasi dan curah hujan aktual Estimasi curah hujan yang dilakukan dengan
ini konsisten sepanjang tahun, baik pada menggunakan metode mCST mengasilkan
bulan-bulan puncak hujan maupun pada MAE yang sangat kecil, yaitu di bawah 0,2
bulan-bulan lembah hujan. mm/jam. Nilai error yang rendah ini
konsisten pada setiap bulan sepanjang tahun.
Hal ini mengindikasikan bahwa metode Hal ini menunjukkan kualitas hasil estimasi
estimasi curah hujan dengan CST dan mCST mCST lebih baik dan relatif lebih cocok
cocok untuk diterapkan di wilayah Pontianak untuk diterapkan di wilayah ini.
yang memiliki tipe hujan ekuatorial, yaitu
curah hujan tinggi sepanjang tahun. Pada
semua bulan, metode mCST menghasilkan
korelasi yang relatif lebih tinggi
dibandingkan metode CST. Nilai korelasi
tertinggi dihasilkan pada bulan Oktober,
dimana pada bulan ini terjadi puncak hujan
kedua.

Berdasarkan grafik nilai error absolut rata-


rata (MAE) pada gambar 5 dapat diamati
bahwa dengan menggunakan metode CST,
estimasi curah hujan menghasilkan error
yang relatif lebih besar dibandingkan metode
mCST pada setiap bulan. Gambar 6. Grafik nilai RMSE estimasi curah
hujan CST dan mCST setiap bulan

17
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

Grafik nilai RMSE pada gambar 6


menunjukkan bahwa penerapan estimasi Hal tersebut menunjukkan tingkat kecocokan
curah hujan di Pontianak dengan metode yang lebih tinggi antara curah hujan estimasi
CST dan mCST menghasilkan nilai RMSE dengan metode ini terhadap observasi.
yang kurang dari 2,4 mm/jam. Estimasi CST memiliki prosentase bias yang
positif ketika diterapkan untuk estimasi curah
Hal ini konsisten untuk estimasi curah hujan hujan per jam pada setiap bulan, yang artinya
per jam pada setiap bulan sepanjang tahun. estimasi dengan metode ini selalu
Berdasarkan grafik tersebut dapat kita amati menghasilkan nilai curah hujan yang over
bahwa tidak terdapat pola khusus antara nilai estimate. Sedangkan metode mCST secara
RMSE dan intensitas curah hujan aktual umum menghasilkan nilai bias relatif yang
untuk akurasi sepanjang tahun. negatif, yang artinya estimasi dengan metode
ini seringkali under estimate terhadap curah
hujan pengamatan.

3.4 Penerapan Estimasi Pada Kejadian


Hujan Lebat

Estimasi curah hujan dengan menggunakan


metode CST dan mCST diterapkan pada
sampel kejadian hujan lebat dalam 1 (satu)
jam. Hasil estimasi curah hujan dengan
kedua metode tersebut diplot menggunakan
perangkat lunak ArcGIS 10.2 dan
dibandingkan dengan produk pengamatan
curah hujan satelit, yaitu GSMaP (Global
Satellite Mapping of Precipitation).
Gambar 7. Grafik nilai bias relatif estimasi
Hal ini dilakukan untuk mengamati performa
curah hujan CST dan mCST setiap
bulan dari kedua metode estimasi serta
perbandingannya dengan produk GSMaP
Berdasarkan grafik bias relatif yang dalam menampilkan nilai estimasi curah
dihasilkan estimasi CST dan mCST di hujan secara spasial di wilayah Pontianak.
Pontianak pada gambar 7, dapat diamati
Pada tanggal 14 Oktober 2014 jam 09.00
bahwa secara umum metode CST
UTC – 10.00 UTC, observasi Hellman di
menghasilkan bias yang lebih besar
Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak
dibandingkan curah hujan aktual, yaitu
menunjukkan curah hujan sebesar 35,9 mm.
dengan prosentase sebesar 100 % hingga 500
Berdasarkan kategori intensitas hujan setiap
%. Artinya, estimasi curah hujan dengan
jam yang ditetapkan BMKG, curah hujan ini
CST menghasilkan nilai yang over estimate
tergolong dalam hujan dengan intensitas
sebanyak satu hingga lima kali dari curah
sangat lebat. Gambar 3.7 menunjukkan peta
hujan pengamatan.
plot estimasi curah hujan dengan metode
CST, mCST dan observasi curah hujan dari
Prosentase bias relatif terbesar terdapat pada
produk GSMaP untuk curah hujan dalam satu
estimasi curah hujan ketika diterapkan pada
jam yaitu jam 09.00 hingga 10.00 UTC.
bulan Januari dan September, dimana pada
kedua bulan tersebut intensitas curah hujan Lingkaran merah menandakan wilayah
yang terjadi relatif lebih kecil. Bias relatif Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak
yang dihasilkan metode mCST bernilai lebih sebagai lokasi pengamatan curah hujan
kecil yang artinya prosentase nilai error yang dengan penakar Hellman.
dihasilkan dengan metode ini lebih kecil
pula.

18
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

(a) (b)

(c)
Gambar 8. Peta plot estimasi curah hujan dalam satu jam dengan metode CST (a) dan mCST (b) serta
observasi GSMaP (c) di wilayah Pontianak pada tanggal 14 Oktober 2014 jam 09.00 UTC – 10.00 UTC

Berdasarkan peta plot estimasi curah hujan tinggi turut digambarkan terkonsentrasi di
pada gambar 8 dapat diamati bahwa dengan wilayah selatan dan barat dengan
menggunakan metode CST, di wilayah menggunakan metode estimasi mCST.
Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak pada Namun demikian, metode CST menghasilkan
khususnya tergambar curah hujan yang nilai estimasi curah hujan yang relatif lebih
besarnya 10 mm hingga 50 mm. Plot hasil besar untuk hampir keseluruhan tempat
estimasi ini menunjukkan hasil estimasi yang dalam wilayah penelitian.
overestimate dibandingkan observasi di Peta observasi curah hujan dari
stasiun tersebut. Curah hujan dengan produk GSMaP tidak berhasil menunjukkan
intensitas tinggi, yaitu mencapai 60-70 mm wilayah hujan di lokasi Stasiun Meteorologi
terkonsentrasi di wilayah Pontianak bagian Supadio Pontianak. Curah hujan yang
selatan dan barat, sedangkan untuk wilayah ditunjukkan oleh produk tersebut ditunjukkan
Pontianak bagian tengah curah hujan relatif di wilayah utara, selatan dan barat dari
ringan, yaitu kurang dari 10 mm. Pontianak, namun bukan di Pontianak.
Peta plot estimasi curah hujan Padahal observasi Hellman menunjukkan
dengan metode mCST menggambarkan kejadian hujan sangat lebat yang terjadi pada
curah hujan sebesar 10 mm hingga 40 mm di jam tersebut. Selain itu, curah hujan selama
wilayah Stasiun Meteorologi Supadio jam kejadian yang ditunjukkan pada wilayah
Pontianak. Nilai estimasi ini relatif lebih di luar Pontianak tersebut bernilai sangat
mendekati nilai pengamatan aktual dari kecil, yaitu dibawah 5,5 mm. Ketidak
penakar Hellman di stasiun tersebut, yaitu akuratan dari produk ini dapat disebabkan
35,9 mm. Secara umum, estimasi CST dan resolusi ruang yang dimiliki oleh produk
mCST menghasilkan pola curah hujan yang GSMaP relatif lebih rendah dibandingkan
sama di wilayah Pontianak. Curah hujan

19
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 3 No. 3, Nopember 2016

produk estimasi CST maupun mCST, yaitu Meteorological Society of Japan,


10-25 km. Vol. 68, pp 37-63.

4. KESIMPULAN Hong, Yang, R.F., Adler, A., Negri dan


Secara umum, metode CST dan mCST dapat Huffman, G.J., 2007, Flood and
diterapkan untuk melakukan estimasi curah Landslide Applications of Near Real-
hujan per jam di wilayah Pontianak. Hal ini time Satellite Rainfall Estimation,
ditunjukkan oleh adanya korelasi yang sangat Journal of Natural Hazards.
kuat terhadap pengamatan Hellman. Kedua
metode tersebut cukup konsisten dalam Islam, M. N., Islam, A. K. M. S., Hayashi,
megestimasi curah hujan per jam pada setiap T., Terao, T. dan Uyeda, H, 2002,
bulan. Kualitas yang baik dari hasil estimasi Application of a Method to Estimate
ini menunjukkan kedua metode tersebut Rainfall in Bangladesh Using GMS-5
cocok untuk diterapkan sepanjang tahun di Data, Journal of Natural Disaster
wilayah Pontianak yang memiliki tipe hujan Science, Vol. 24, no. 2 pp 83-89.
ekuatorial, sehingga dapat digunakan untuk
memonitor curah hujan secara near real time. Jiang, S., Ren, L., Yong, B., Yang, X. dan
Nilai koefisien korelasi, MAE, RMSE dan Shi, L, 2010, Evaluation of High-
bias relatif, diketahui bahwa metode mCST Resolution Satellite Precipitation
memberikan hasil estimasi curah hujan per Products with Surface Rain Gauge
jam yang lebih baik dan akurat dibandingkan Observations from Laohahe Basin in
CST. Indeks-indeks evaluasi dengan tabel Northern China. Water Science and
kontingensi berdasarkan pengelompokan Engineering, Vol. 3, no. 4 pp 405-
kategori intensitas hujan umumnya 417.
menunjukkan hal yang sama bahwa mCST Joyce, R. J., Janowiak, J. E., Arkin, P. A. dan
menghasilkan kualitas estimasi yang lebih Xie, P., 2004, CMORPH: A Method
baik. that Produces Global Precipitation
DAFTAR PUSTAKA Estimates from Passive Microwave
and Infrared Data at High Spatial and
BMKG, 2010, Peraturan Kepala Badan Temporal resolution. Journal of
Meteorologi Klimatologi dan hydrometeorology, Vol. 5, pp 487-
Geofisika Nomor: KEP.009 Tahun 503.
2010 tentang Prosedur Standar Kouchak, A. A. dan Mehran, A., 2013,
Operasional Pelaksanaan Extended Contingency Table:
Peringatan Dini, Pelaporan, dan Performance Metrics for Satellite
desiminasi Informasi Cuaca Observations and Climate Model
Ekstrem. Simulations. Water Resources
Endarwin, 2014, Modifikasi Convective Research, Vol. 49, pp 7144-7149.
Stratiform Technique dengan Sugiyono, 2004, Statistik Untuk Penelitian,
Kombinasi Data Satelit Gelombang
Mikro Pasif dan Inframerah untuk
Estimasi Curah Hujan di Indonesia,
Disertasi, Program Studi Sains
Kebumian, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.

Goldenberg, S. B., R. A. Houze, Jr. dan


Churchill, D. D., 1990, Convective
and Stratiform Components of a
Winter Monsoon Cloud Cluster
Determined from Geo-Synchronous
Infrared Satellite Data, Journal of the

20

Anda mungkin juga menyukai