Abstrak
Estimasi curah hujan per jam dengan memanfaatkan data satelit merupakan salah
satu solusi untuk mendapatkan informasi curah hujan yang akurat dan near real time.
Convective Stratiform Technique (CST) merupakan metode estimasi curah hujan
berdasarkan suhu puncak awan dengan pemisahan kelompok konvektif dan stratiform,
sedangkan Modified Convective Stratiform Technique (mCST) merupakan modifikasi pada
intensitas curah hujan dan luasan area lingkup piksel rata-rata terhadap CST. Penelitian
dilakukan memanfaatkan data inframerah satelit MTSAT sepanjang tahun 2014. Hasil
curah hujan estimasi per jam diverifikasi dengan data curah hujan Hellman di Stasiun
Meteorologi Supadio Pontianak.. Evaluasi hasil estimasi curah hujan dilakukan dengan
menggunakan indeks statistik dan tabel kontingensi. Secara umum, kedua metode estimasi
curah hujan dapat diterapkan di wilayah Pontianak dengan korelasi yang sangat kuat
dengan data pengamatan. Metode CST dan mCST cukup konsisten dalam memberikan
kualitas hasil estimasi yang baik untuk curah hujan per jam pada setiap bulan sepanjang
tahun. Dengan demikian, kedua metode tersebut cocok untuk memonitor curah hujan di
Pontianak yang memiliki tipe hujan ekuatorial. Perbandingan kualitas dari kedua metode
menunjukkan metode mCST menghasilkan estimasi curah hujan yang lebih baik.
Kata kunci : estimasi curah hujan, satelit, CST, mCST
Abstract
Hourly rainfall estimation using satellite data is one of solutions to obtain accurate
and near real time rainfall informations. Convective Stratiform Technique (CST) is a
rainfall estimation method based on cloud top temperature in which convective and
stratiform components are separated, while Modified Convective Stratiform Technique
(mCST) is the modifications towards the rainfall intensity and averaged area of pixel
scope from CST. This research is done by using MTSAT infrared data during 2014. Hourly
rainfall estimations by each methods are verified with Hellman rainfall data in Supadio
Meteorogical Station in Pontianak. The evaluation of rainfall estimations is done by using
statistical indices and contingency table. In general, both methods can be applied in
Pontianak area with very strong correlation with the observation data. CST and mCST
methods are consistent enough to produce good quality estimation values for hourly
rainfall in all months during the year. Thus, both methods are suitable for rainfall
monitoring in Pontianak which has equatorial rainfall pattern. The comparison between
those two methods shows that the estimation quality using mCST is better.
Keywords: rainfall estimation, satellite, CST, mCST
1. PENDAHULUAN
Pontianak terletak tepat di ekuator,
Informasi curah hujan yang akurat dan sehingga memiliki tipe curah hujan
near real time dibutuhkan dalam berbagai ekuatorial dengan distribusi curah hujan
aspek kehidupan, terutama dalam peringatan bulanan yang menunjukkan maksima ganda
dini bencana alam seperti banjir, longsor dan dan curah hujan tinggi sepanjang tahun
kekeringan serta dalam penelitian yang (Tjasyono dan Musa, 2000).
berkaitan dengan siklus hidrologi Dalam penelitian ini, metode CST dan
(Suwarsono dkk, 2009; Joyce dkk, 2004; mCST diterapkan untuk melakukan estimasi
Hong dkk, 2007). Ketersediaan data curah curah hujan per jam di wilayah Pontianak.
hujan masih cukup menjadi masalah karena Hasil estimasi dengan menggunakan masing-
tidak di seluruh tempat memiliki titik masing diverifikasi dengan data curah hujan
pengamatan curah hujan atau apabila alat pengamatan Hellman di Stasiun Meteorologi
penakar curah hujan di suatu stasiun Supadio Pontianak (96581). Tujuan
pengamatan cuaca mengalami kerusakan. penelitian ini adalah untuk menganilisis
Estimasi curah hujan dengan kualitas hasil estimasi curah hujan,
memanfaatkan data satelit merupakan salah konsistensinya ketika diterapkan pada setiap
satu solusi dari masalah ketersediaan data bulan, serta mengetahui perbandingan
curah hujan. Data satelit cuaca ini dapat kualitas hasil estimasi antara kedua metode.
diperoleh secara up to date dan tidak
dikenakan biaya, namun pemanfaatannya 2. DATA DAN METODE
masih sangat terbatas di kalangan masyarakat
luas (Suwarsono dkk, 2009; Endarwin, 2.1 Data
2014). Data yang digunakan dalam penelitian
Satelit MTSAT (Multi-Functional ini meliputi:
Transport Satellite) merupakan satelit 1. Data citra satelit MTSAT kanal IR-1
penginderaan jauh yang memiliki sensor yang dikemas dalam bentuk PGM
visible dan inframerah yang memonitor (Portable Gray Map) diperoleh dari
fenomena atmosfer berupa suhu puncak http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/GAME
awan (Kidder dan Haar, 1995). Metode dengan format kompresi Gzip.
estimasi curah hujan berdasarkan suhu Resolusinya 1/20o atau 5,55 km x 5,55
puncak awan, diantaranya adalah Convective km dan berukuran 1800 x 1800 piksel.
Stratiform Technique (CST) dan Modified Sedangkan untuk file kalibrasinya
Convective Stratiform Technique (mCST). (.CAL) dengan nilai 0 untuk albedo 0%
CST merupakan metode estimasi curah dan 255 untuk albedo 100% dan
hujan dengan pemisahan kelompok konvektif interpolasinya diperoleh dari
dan stratiform yang ditemukan oleh Adler http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/CAL.
dan Negri (1988), sedangkan mCST Data tersebut tersedia untuk citra setiap 1
merupakan modifikasi pada intensitas curah (satu) jam. Dalam penelitian ini
hujan dan luasan area lingkup piksel rata-rata digunakan data citra satelit MTSAT
terhadap CST yang dikembangkan oleh sepanjang tahun 2014.
Endarwin (2014). 2. Data curah hujan setiap 1 (satu) jam yang
Berdasarkan metode pembentukannya, diperoleh dari hasil pengukuran dengan
awan digolongkan menjadi awan stratiform penakar hujan jenis Hellman di Stasiun
dan cumuliform (Tjasyono, 1999). Awan Meteorologi Supadio (96581). Data
jenis stratiform tumbuh lebih lambat, arus curah hujan yang digunakan adalah
vertikalnya kuat dan terjadi pada wilayah untuk waktu sepanjang tahun 2014.
dengan kelembaban kecil. Awan stratiform
menyebabkan hujan secara terus-menerus 2.2 Metode Penelitian
(kontinyu) namun dengan intensitas ringan.
Awan jenis cumuliform atau akibat aktivitas Penelitian yang dilakukan termasuk
konvektif menyebabkan hujan deras dalam penelitian mengenai suatu kajian
(showers) namun dengan selang waktu yang penerapan metode dalam kegiatan estimasi di
relatif lebih singkat. wilayah dan waktu penelitian baru. Penelitian
dilakukan sepanjang tahun 2014 di titik (2.3)
penelitian Stasiun Meteorologi Supadio
Pontianak (0,14208oLS dan 109,40253oBT).
Keterangan:
Pengolahan data dalam penelitian ini Ac = luasan area hujan konvektif
dilakukan dengan perangkat lunak MATLAB (km2)
R2008a dan Microsoft Excel. Adapun teknik
= temperatur puncak awan pada
pengolahan data adalah sebagai berikut:
1. Konversi data IR satelit dalam ekstensi inti konvektif ke-i (K)
file .pgm dan .dat sehingga diperoleh a dan b = konstanta yang ditetapkan
temperatur kecerahan awan (TBB). Adler dan Negri (1988),
2. Mengatur koordinat titik penelitian a = -0,0492
(lintang: -0,14208 dan bujur: 109,40253). b = 15,27
3. Pembacaan temperatur kecerahan awan Sedangkan luasan wilayah stratiform
(TBB) pada piksel dimana koordinat telah ditentukan dengan menggunakan
diatur. persamaan serupa, yaitu pada persamaan
4. Perhitungan slope parameter (S). Untuk 2.4 sebagai berikut:
resolusi data 5,55 km x 5,55 km S sesuai (2.4)
persamaan 2.1 (Islam dkk, 2002; Keterangan:
Endarwin, 2014): As = luasan area hujan stratiform
(km2)
+ Ts = temperatur puncak awan
+ - 8 ) (2.1) stratiform (K)
Karena dalam penelitian ini dipilih satu
piksel yang mewakili koordinat stasiun,
Keterangan: maka layaknya Tmin, untuk Tci dan Ts juga
S = slope parameter (S) (K) didefinisikan sebagai temparatur
T = temperatur kecerahan kecerahan awan pada piksel yang dibaca.
awan (TBB) (K)
i dan j = posisi nilai piksel dimana 7. Estimasi curah hujan setiap jam. Dengan
S dihitung menggunakan metode CST, maka
k = konstanta = 0,125 estimasi curah hujan dilakukan dengan
5. Pemisahan inti konvektif dan stratiform. persamaan 2.5 dan 2.6 (Adler dan Negri,
Inti konvektif ditentukan melalui 1988; Goldenberg dkk, 1990; Islam dkk,
pembatasan (Goldenberg dkk, 1990; 2002):
Islam dkk, 2002; Endarwin,2014):
Curah Hujan Konvektif (mm)
S exp [0,0826 (Tmin – 207 K)] (2.2)
=C (2.5)
Keterangan:
Tmin = temperatur minimum
Keterangan:
relatif dari TBB (K)
C = bilangan sel konvektif
Dalam penelitian ini, dipilih satu piksel
= luasan wilayah konvektif (km2)
yang mewakili koordinat stasiun, maka
untuk Tmin merupakan temperatur pada A = rata-rata area yang dilingkupi oleh
piksel yang dibaca. Apabila nilai slope tiap piksel (km2)
parameter (S) memenuhi persamaan 2.2 T = rata-rata periode estimasi (jam)
maka merupakan jenis inti konvektif dan Rc = intensitas curah hujan konvektif
sebaliknya (Islam dkk, 2002). (mm/jam)
6. Penentuan luasan wilayah konvektif dan Sedangkan untuk curah hujan stratiform
stratiform. Untuk luasan wilayah dirumuskan sebagai:
konvektif 2.3 sebagai berikut
(Goldenberg dkk, 1990; Islam dkk, 2002;
Endarwin, 2014):
Curah Hujan Stratiform (mm) a. Koefisien korelasi (C)
Koefisien korelasi adalah bilangan
= St (2.6) yang menyatakan besar kecilnya
suatu hubungan antar variabel
Keterangan: (Sudjana, 1996). Nilai C yang
St = bilangan sel stratiform mendekati 1 atau -1 menunjukkan
= luasan wilayah stratiform (km2) hubungan yang sangat erat. Nilai
koefisien korelasi ditunjukkan pada
A = rata-rata area yang dilingkupi oleh
tabel 2.2.
tiap piksel (km2)
T = rata-rata periode estimasi (jam)
Rs = intensitas curah hujan stratiform (2.7)
(mm/jam)
(a) (b)
Gambar 3.1 Scatter-plot CH estimasi CST (a) dan mCST (b) per jam VS pengamatan Hellman tahun 2014
Curah hujan hasil estimasi dan observasi mm dan hujan ringan. Hal ini dikarenakan
setiap jam dikelompokkan berdasarkan estimasi CST seringkali menghasilkan nilai
kategori hujan yang ditetapkan BMKG pada curah hujan setiap jamnya, bahkan pada saat
tabel 3.1. Secara umum, estimasi mCST kejadian tidak hujan. Sedangkan untuk
menghasilkan prosentase yang relatif lebih kategori hujan sedang hinga sangat lebat,
konsisten konsisten dengan curah hujan prosentase kejadian dari estimasi curah hujan
Hellman untuk semua kategori hujan. dengan kedua metode cukup konsisten
Estimasi CST menghasilkan prosentase yang menunjukkan akurasinya terhadap
berbeda jauh dengan curah hujan aktual pengamatan aktual.
khususnya untuk kategori hujan dibawah 0,1
Tabel 3.1 Frekuensi kejadian hujan per jam tahun 2014 hasil estimasi dan observasi
Prosentase (%)
Kategori Hujan Intensitas (mm/jam) CST mCST Hellman
- < 0,1 28,52 78,94 91,54
Ringan 0,1 - 5,0 69,08 19,79 7,02
Sedang 5,1 - 10,0 1,51 0,58 0,65
Lebat 10,1 - 20,0 0,50 0,46 0,42
Sangat Lebat > 20,0 0,40 0,23 0,37
3.1 Analisis Berdasarkan Indeks Evaluasi metode tersebut menghasilkan korelasi yang
sangat kuat dengan curah hujan pengamatan
Berdasarkan data estimasi curah hujan Hellman. Nilai korelasi yang dihasilkan
per jam yang diujikan selama tahun 2014 estimasi mCST lebih tinggi. Error yang
diperoleh indeks evaluasi hasil estimasi dihasilkan oleh estimasi CST relatif lebih
dibandingkan dengan pengamatan aktual besar dibanding metode mCST. Demikian
yang ditunjukkan pada tabel 3.2. Estimasi pula bias relatif dari hasil estimasi
curah hujan per jam menggunakan kedua menunjukkan bahwa dengan menggunakan
metode CST dihasilkan hasil estimasi curah menghasilkan curah hujan estimasi yang nilai
hujan yang 162,29 % lebih besar terhadap biasnya 15,94 % lebih kecil dari observasi.
observasi, sedangkan estimasi mCST
Tabel 3.2 Indeks evaluasi estimasi curah hujan per jam terhadap observasi tahun 2014
Korelasi MAE RMSE Bias Relatif
(mm/jam) (mm/jam) (%)
Estimasi CST 0,81 0,47 1,57 162,29
Estimasi mCST 0,85 0,05 1,32 -15,94
Berdasarkan grafik nilai indeks POD ringan namun observasi. Hal ini terjadi pada
untuk setiap kategori hujan pada gambar 3.2 semua kategori hujan. Estimasi mCST
(a), dapat diamati bahwa untuk kategori menghasilkan nilai false alarm yang lebih
hujan ringan dan sangat lebat, estimasi CST kecil namun dengan pola yang sama dengan
mampu menghasilkan nilai POD yang lebih CST. Nilai indeks RFA terbesar terdapat
tinggi, artinya frekuensi kejadian hujan pada kategori hujan ringan dan semakin
ringan dan hujan sangat lebat dapat mengecil untuk kategori hujan lebat. Artinya,
diestimasi dengan lebih baik menggunakan untuk estimasi curah hujan per jam,
metode tersebut. Pada kategori hujan lebat, kemampuan CST dan mCST lebih baik untuk
kemampuan metode mCST lebih baik dalam menunjukkan hujan dengan intensitas yang
estimasinya. Secara umum, kedua metode lebih besar dibandingkan dengan hujan
menunjukkan indeks di atas 0,4 untuk ringan.
masing-masing kategori hujan, artinya kedua Nilai ICS merupakan fraksi kejadian
metode estimasi mampu menunjukkan dimana hujan pada masing-masing kategori
frekuensi kejadian hujan pada masing- dapat ditunjukkan oleh satelit yang
masing kategori dengan prosentase di atas 40 ditunjukkan pada gambar 3.2 (c). Nilai ICS
%. yang dihasilkan oleh estimasi mCST lebih
Grafik indeks RFA pada gambar 3.2 (b) tinggi dari pada CST pada kategori hujan
menunjukkan metode CST menghasilkan ringan, sedang dan lebat. Hal ini
fraksi lebih besar untuk kejadian dimana menunjukkan frekuensi hit rate kejadian
estimasi CST menunjukkan kejadian hujan hujan ringan dan sedang lebih besar
dibandingkan dengan estimasi CST.
Sedangkan untuk kategori hujan sangat lebat,
estimasi CST memberikan nilai ICS yang
lebih tinggi. Seperti halnya analisis pada
indeks RFA, indeks ICS juga menunjukkan
bahwa kemampuan kedua metode dalam
melakukan estimasi curah hujan per jam
lebih baik untuk intensitas hujan yang lebih
tinggi.
3.3 Analisis Konsistensi Kualitas Estimasi Gambar 3.4 Grafik nilai MAE estimasi curah
Curah Hujan Setiap Bulan hujan CST dan mCST setiap bulan
Hasil estimasi curah hujan setiap jam Berdasarkan grafik nilai error absolut
dikelompokkan setiap bulan untuk rata-rata (MAE) pada gambar 3.4 dapat
mengamati konsistensi dari kualitas estimasi diamati bahwa dengan menggunakan metode
dengan metode CST dan mCST sepanjang CST, estimasi curah hujan menghasilkan
tahun 2014. error yang relatif lebih besar dibandingkan
metode mCST pada setiap bulan. Namun
demikian, nilai MAE yang dihasilkan oleh
estimasi dengan kedua metode untuk
sepanjang tahun cukup kecil, yaitu kurang
dari 0,8 mm/jam. Hal ini menandakan bahwa
kedua metode estimasi ini memiliki kualitas
yang cukup baik untuk mengestimasi curah
hujan per jam di Pontianak. Nilai error
terbesar yang dihasilkan metode CST
terdapat pada bulan Oktober yang merupakan
bulan puncak hujan pada tahun 2014.
Gambar 3.3 Grafik nilai korelasi estimasi curah Estimasi curah hujan yang dilakukan dengan
hujan CST dan mCST setiap bulan menggunakan metode mCST mengasilkan
MAE yang sangat kecil, yaitu di bawah 0,2
Korelasi yang dihasilkan kedua mm/jam. Nilai error yang rendah ini
metode estimasi curah hujan baik CST dan konsisten pada setiap bulan sepanjang tahun.
mCST menghasilkan nilai koefisien yang Hal ini menunjukkan kualitas hasil estimasi
tinggi, yaitu di atas 0,6. Sebagaimana yang mCST lebih baik dan relatif lebih cocok
ditampilkan pada grafik korelasi setiap bulan untuk diterapkan di wilayah ini.
pada gambar 3.3, tingkat hubungan yang
tinggi antara hasil estimasi dan curah hujan
aktual ini konsisten sepanjang tahun, baik
pada bulan-bulan puncak hujan maupun pada
bulan-bulan lembah hujan. Hal ini
mengindikasikan bahwa metode estimasi
curah hujan dengan CST dan mCST cocok
untuk diterapkan di wilayah Pontianak yang
memiliki tipe hujan ekuatorial, yaitu curah
hujan tinggi sepanjang tahun. Pada semua
bulan, metode mCST menghasilkan korelasi
yang relatif lebih tinggi dibandingkan
metode CST. Nilai korelasi tertinggi Gambar 3.5 Grafik nilai RMSE estimasi curah
dihasilkan pada bulan Oktober, dimana pada hujan CST dan mCST setiap bulan
bulan ini terjadi puncak hujan kedua.
Grafik nilai RMSE pada gambar 3.5
menunjukkan bahwa penerapan estimasi
curah hujan di Pontianak dengan metode observasi. Estimasi CST memiliki prosentase
CST dan mCST menghasilkan nilai RMSE bias yang positif ketika diterapkan untuk
yang kurang dari 2,4 mm/jam. Hal ini estimasi curah hujan per jam pada setiap
konsisten untuk estimasi curah hujan per jam bulan, yang artinya estimasi dengan metode
pada setiap bulan sepanjang tahun. ini selalu menghasilkan nilai curah hujan
Berdasarkan grafik tersebut dapat kita amati yang over estimate. Sedangkan metode
bahwa tidak terdapat pola khusus antara nilai mCST secara umum menghasilkan nilai bias
RMSE dan intensitas curah hujan aktual relatif yang negatif, yang artinya estimasi
untuk akurasi sepanjang tahun. dengan metode ini seringkali under estimate
terhadap curah hujan pengamatan.
(c)
Gambar 3.7 Peta plot estimasi curah hujan dalam satu jam dengan metode CST (a) dan mCST (b) serta
observasi GSMaP (c) di wilayah Pontianak pada tanggal 14 Oktober 2014 jam 09.00 UTC – 10.00 UTC
Berdasarkan peta plot estimasi curah wilayah selatan dan barat dengan
hujan pada gambar 3.7 dapat diamati bahwa menggunakan metode estimasi mCST.
dengan menggunakan metode CST, di Namun demikian, metode CST menghasilkan
wilayah Stasiun Meteorologi Supadio nilai estimasi curah hujan yang relatif lebih
Pontianak pada khususnya tergambar curah besar untuk hampir keseluruhan tempat
hujan yang besarnya 10 mm hingga 50 mm. dalam wilayah penelitian.
Plot hasil estimasi ini menunjukkan hasil Peta observasi curah hujan dari
estimasi yang overestimate dibandingkan produk GSMaP tidak berhasil menunjukkan
observasi di stasiun tersebut. Curah hujan wilayah hujan di lokasi Stasiun Meteorologi
dengan intensitas tinggi, yaitu mencapai 60- Supadio Pontianak. Curah hujan yang
70 mm terkonsentrasi di wilayah Pontianak ditunjukkan oleh produk tersebut ditunjukkan
bagian selatan dan barat, sedangkan untuk di wilayah utara, selatan dan barat dari
wilayah Pontianak bagian tengah curah hujan Pontianak, namun bukan di Pontianak.
relatif ringan, yaitu kurang dari 10 mm. Padahal observasi Hellman menunjukkan
Peta plot estimasi curah hujan kejadian hujan sangat lebat yang terjadi pada
dengan metode mCST menggambarkan jam tersebut. Selain itu, curah hujan selama
curah hujan sebesar 10 mm hingga 40 mm di jam kejadian yang ditunjukkan pada wilayah
wilayah Stasiun Meteorologi Supadio di luar Pontianak tersebut bernilai sangat
Pontianak. Nilai estimasi ini relatif lebih kecil, yaitu dibawah 5,5 mm. Ketidak
mendekati nilai pengamatan aktual dari akuratan dari produk ini dapat disebabkan
penakar Hellman di stasiun tersebut, yaitu resolusi ruang yang dimiliki oleh produk
35,9 mm. Secara umum, estimasi CST dan GSMaP relatif lebih rendah dibandingkan
mCST menghasilkan pola curah hujan yang produk estimasi CST maupun mCST, yaitu
sama di wilayah Pontianak. Curah hujan 10-25 km.
tinggi turut digambarkan terkonsentrasi di
4. KESIMPULAN Meteorological Society of Japan,
Vol. 68, pp 37-63.
Secara umum, metode CST dan mCST
dapat diterapkan untuk melakukan estimasi Hong, Yang, R.F., Adler, A., Negri dan
curah hujan per jam di wilayah Pontianak. Huffman, G.J., 2007, Flood and
Hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi Landslide Applications of Near Real-
yang sangat kuat terhadap pengamatan time Satellite Rainfall Estimation,
Hellman. Kedua metode tersebut cukup Journal of Natural Hazards.
konsisten dalam megestimasi curah hujan per
Islam, M. N., Islam, A. K. M. S., Hayashi,
jam pada setiap bulan. Kualitas yang baik
T., Terao, T. dan Uyeda, H, 2002,
dari hasil estimasi ini menunjukkan kedua
Application of a Method to Estimate
metode tersebut cocok untuk diterapkan
Rainfall in Bangladesh Using GMS-5
sepanjang tahun di wilayah Pontianak yang
Data, Journal of Natural Disaster
memiliki tipe hujan ekuatorial, sehingga
Science, Vol. 24, no. 2 pp 83-89.
dapat digunakan untuk memonitor curah
hujan secara near real time. Nilai koefisien Jiang, S., Ren, L., Yong, B., Yang, X. dan
korelasi, MAE, RMSE dan bias relatif, Shi, L, 2010, Evaluation of High-
diketahui bahwa metode mCST memberikan Resolution Satellite Precipitation
hasil estimasi curah hujan per jam yang lebih Products with Surface Rain Gauge
baik dan akurat dibandingkan CST. Indeks- Observations from Laohahe Basin in
indeks evaluasi dengan tabel kontingensi Northern China. Water Science and
berdasarkan pengelompokan kategori Engineering, Vol. 3, no. 4 pp 405-
intensitas hujan umumnya menunjukkan hal 417.
yang sama bahwa mCST menghasilkan
kualitas estimasi yang lebih baik. Joyce, R. J., Janowiak, J. E., Arkin, P. A. dan
Xie, P., 2004, CMORPH: A Method
that Produces Global Precipitation
5. DAFTAR PUSTAKA Estimates from Passive Microwave
and Infrared Data at High Spatial and
BMKG, 2010, Peraturan Kepala Badan Temporal resolution. Journal of
Meteorologi Klimatologi dan hydrometeorology, Vol. 5, pp 487-
Geofisika Nomor: KEP.009 Tahun 503.
2010 tentang Prosedur Standar
Operasional Pelaksanaan Kouchak, A. A. dan Mehran, A., 2013,
Peringatan Dini, Pelaporan, dan Extended Contingency Table:
desiminasi Informasi Cuaca Performance Metrics for Satellite
Ekstrem. Observations and Climate Model
Simulations. Water Resources
Endarwin, 2014, Modifikasi Convective Research, Vol. 49, pp 7144-7149.
Stratiform Technique dengan
Kombinasi Data Satelit Gelombang Sugiyono, 2004, Statistik Untuk Penelitian,
Mikro Pasif dan Inframerah untuk Alfa Beta, Bandung.
Estimasi Curah Hujan di Indonesia,
Disertasi, Program Studi Sains
Kebumian, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.