Anda di halaman 1dari 10

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-5 Tahun 2018

Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 dan Radar Cuaca C-Band


Untuk Identifikasi Hujan Lebat
(Studi KasusTanggal 21 Februari 2017 di Lanud Halim Perdana Kusuma)

Applicationof Himawari-8 Satellite and C-Band Weather Radar Data


For Heavy Rainfall Identification
(Case Study Februari 21th 2017 in Halim Perdana Kusuma Air Force Base)

Dimas Tunjung Wahyu Jatmiko*), Usman Efendi, Aries Kristianto, Achmad Zakir

Prodi Meteorologi - Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika


*)
E-mail: dimaszidane90@gmail.com

ABSTRAK - Hujan merupakan salah satu parameter meteorologis yang perlu mendapat perhatian lebih khususnya di
wilayah landasan udara. Hal ini dikarenakan hujan khususnya pada intensitas lebat akan mengganggu aktivitas
penerbangan akibat berkurangnya jarak pandang serta kondisi landasan pacu yang licin saat hujan. Berdasarkan hasil
observasi Stasiun Meteorologi Landasan Udara (Lanud) Halim Perdana Kusuma (6°15'54"LS dan 106°53'36" BT)
tercatat bahwa curah hujan kumulatif 24 jam pada tanggal 21 Februari 2017 sebanyak 136 mm dan termasuk ke dalam
kategori curah hujan lebat. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan kajian guna mengetahui kondisi atmosfer
pada saat terjadinya hujan lebat tersebut. Penelitian ini menggunakan data radar cuaca serta citra satelit Himawari-8.
Hasil analisis citra hasil pantauan citra satelit Himawari-8 pada pukul 20.00 hingga 06.50 WIB dengan suhu puncak
awan bernilai antara -42,4 oC sampai dengan -82,5 oC yang mengindikasikan adanya pertumbuhan awan cumulonimbus
(CB). Hal ini didukung dengaan analisis citra radar yang menunjukan nilai reflektivitas 40 dBZ pada jam 04.00 WIB
hingga 05.00WIB. Sementara itu, curah hujan terukur antara jam 04.00 WIB hingga 06.50 WIB menunjukan nilai 99
mm yang menimbulkan genangan air dan banjir di sejumlah daerah di Jakarta.Diketahui bahwa hujan lebat disebabkan
adanya gangguan skala regional berupa polamonsoon trough di Samudera Hindia selatan Indonesia serta adanya
konvergensi di wilayah Jawa Barat yang menyebabkan penumpukan massa udara, sehingga memicu peningkatan
aktivitas konveksi yang cukup merata.

Kata kunci:hujan lebat, citra satelit, citra radar, awan cumulonimbus

ABSTRACT - Rain is one of the meteorological parameters that need to get more attention especially in the airstrip
area. This is because the rain especially in the thick intensity will disrupt flight activity due to reduced visibility as well
as slippery runway conditions during rain. Based on the observations of Halim Perdana Kusuma Air Base
Meteorological Station (6 ° 15'54 "LS and 106 ° 53'36" BT) it was noted that the cumulative rainfall of 24 hours on
February 21st 2017 was 136 mm and included into the category heavy rainfall. Therefore this study is conducted to
determine the atmospheric condition at the time of the heavy rain. This study uses Himawari-8 satellite images and
weather radar data. The results of image analysis of the observed images of Himawari-8 satellite at 20.00 to 06.50 WIB
with cloud peak temperature is worth between -42.4 oC to -82.5 oC which indicates the growth of cumulonimbus cloud
(CB). This is supported by radar image analysis which shows the value of 40 dBZ reflectivity at 04.00 WIB until 05.00
WIB. Meanwhile, the measured rainfall between 04.00 WIB and 06.50 WIB indicates the value of 99 mm which caused
puddles and floods in some areas in Jakarta. It is known that heavy rains are caused by regional disturbances in the
form of monsoon trough patterns in the Indian Ocean south of Indonesia as well as the convergence in West Java that
causes the buildup of air masses, thus triggering a considerable increase in convection activity.

Keywords: heavy rainfall, satellite imagery, radar imagery, cumulonimbus cloud

1. PENDAHULUAN

Curah hujan merupakan butir-butir air atau kristal es yang keluar dari awan dan mencapai permukaan
tanah (Wirjohamidjojo dan Swarinoto, 2007). Proses terjadinya hujan ini diawali oleh naiknya massa udara
lembab melalui berbagai mekanisme seperti konveksi, orografi, maupun konvergensi, kemudian mengalami
872
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 dan Radar Cuaca C-Band Untuk Identifikasi Hujan Lebat (Studi KasusTanggal 21 Februari
2017 di Lanud Halim Perdana Kusuma)(Jatmiko, DTW., dkk.)

serangkaian proses hingga tumbuh menjadi awan beserta partikel curah hujan dan pada kondisi tertentu jatuh
sebagai hujan. Hujan umumnya terjadi dalam musim panas atau musim gugur belahan bumi, dimana untuk
belahan bumi selatan musim panas terjadi pada bulan Desember – Januari – Februari (DJF) dan musim gugur
terjadi pada bulan Maret – April – Mei (MAM) (Tjasyono, 2007).
Sumber curah hujan di daerah monsun Indonesia pertumbuhan dengan konveksi dari awan konvektif
maupun gabungan antara konveksi dengan faktor lain seperti konvergensi, orografik, maupun arus siklonik.
Curah hujan konveksional disebabkan adanya pemanasan oleh radiasi matahari dan umumnya terjadi dalam
skala ruang yang terbatas. Curah hujan orografik disebabkan oleh kondensasi dan pembentukan awan udara
lembap yang dipaksa naik oleh barisan pegunungan. Sementara itu, curah hujan siklonik disebabkan adanya
konvergensi horisontal udara lembab dalam area sirkulasi dengan pusat tekanan rendah yang mempunyai
vortisitas maksimum (Tjasyono, 2007).
Pada suatu kondisi, adakalanya hujan turun dalam intensitas yang besar atau biasa disebut hujan lebat.
Hujan lebat termasuk ke dalam salah satu jenis cuaca ekstrem dengan intensitas mencapai lebih dari 50 mm
selama 24 jam atau lebih dari 20 mm/jam (BMKG, 2010). Hujan lebat merupakan salah satu kondisi yang
perlu mendapat perhatian serius mengingat fenomena ini seringkali terkait dengan berbagai bencana
hidrometeorologi di Indonesia, seperti banjir dan tanah longsor.
Pada tanggal 21 Februari 2017 telah tercatat adanya kejadian banjir di sejumlah wilayah di Jakarta, yang
tersebar di 54 titik di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, serta Jakarta Utara. Sementara itu, berdasarkan hasil
pengamatan sinoptik Stasiun Meteorolgi Lanud Halim Perdana Kusuma tanggal 21 Februari 2017 jam 04.00
– 06.50WIB tercatat curah hujan mencapai 99 mm dan termasuk kedalam kriteria hujan lebat.Dalam hal ini,
penulis bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui kondisi atmosfer pada saat terjadinya hujan lebat
tersebut.
Pada penelitian ini akan berfokus pada analisis data citra satelit Himawari-8 serta data radar cuaca.Satelit
Himawari-8 merupakan generasi terbaru dari satelit MTSAT-2 yang berfungsi untuk memudahkan
pengamatan pertumbuhan awan secara lebih detail. Satelit yang mulai beroperasi pada tahun 2015 ini
dilengkapi dengan sensor Advance Himawari Imager (AHI) yang memiliki 16 kanal dengan resolusi
temporal dan spasial lebih baik dari generasi sebelumya. Kanal pada Himawari-8 terdiri dari 3 kanal cahaya
tampak (visible) dengan resolusi 0,5 hingga 1 km, 3 kanal near infrared (NIR) dengan resolusi 1 hingga 2
km, serta kanal 10 kanal infrared (IR) dengan resolusi 2 km. Adapun resolusi temporal untuk semua kanal
Himawari-8 meliputi 10 menit untuk pengamatan global, 2,5 menit untuk pengamatan khusus (Pandjaitan
dan Andersen, 2015).
Analisis data radar cuaca dilakukan berdasarkan pancaran energi radar yang dipantulkan kembali oleh
butiran-butiran air pada awan yang direpresentasikan ke dalam nilai reflektivitas dengan satuan dBz (decibel).
Nilai dBz yang semakin besar menunjukan energi pantul yang diterima radar semakin besar serta
menunjukan bahwa semakin besar intensitas hujan yang terjadi (Samriyanto, 2010). Pada saat terjadi hujan,
radar cuaca digunakan untuk mengukur radiasi gelombang elektromagnetik yang kembali dari objek
sehingga diketahui reflektivitasnya atau nilai Z sebagai fungsi dari volume presipitasi.

2. METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data angin gradien yang diperoleh dari Bureau of
Meteorology (BOM) dalam situs http://www.bom.gov.au, data pengamatan sinoptik yang diperoleh dari
Stasiun Meteorologi Lanud Halim Perdana Kusuma pada tanggal 21 Februari 2017, data radar EEC C-Band
Doppler Tangerang, serta data citra satelit Himawari-8 yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG). Adapun metode yang digunakan dalam tulisan ini meliputi analisis angin gradien
untuk mengamati faktor regional yang mempengaruhi terjadinya hujan lebat pada tanggal 20 Februari 2017.
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data citra satelit Himawari-8 serta data radar cuaca guna mengetahui
lebih lanjut kondisi cuaca pada saat terjadinya hujan lebat.
Data citra satelit Himawari-8 diolah menggunakan perangkat lunak Satellite Animation and Interactive
Diganosis (SATAID) yang merupakan perangkat lunak berbasis Windows yang berfungsi mengolah data
biner menjadi citra. Analisis citra satelit Himawari-8 dilakukan dengan menggunakan kanal IR dan Water
vapour (WV). Baik kanal IR maupun WV termasuk dalam panjang gelombang infrared, sehingga citra yang
dihasilkan dari kedua kanal tersebut merupakan representasi dari suhu suatu objek, Kanal IR digunakan
untuk mengidentifikasi suhu puncak awan yang direpresentasikan dalam citra gelap dan terang. Semakin
terang suatu citra, maka suhu puncak awan semakin rendah serta semakin tinggi ketinggian awan tersebut.
Adapun kanal WV dicari nilai selisihnya dari kanal IR, atau dikenal juga dengan metode Split Window.

873
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-5 Tahun 2018

Metode split window berguna untuk mengidentifkasi awan cumulonimbus (Cb) dengan menggunakan selisih
kanal IR dengan WV (S3). Awan Cb diidentifikasi apabila suhu puncak awan kurang dari -33 ℃, nilai dan
S3 ≤ 3℃ (Inoue, 1997).
Pengolahan data radar cuaca ECC C-Band Tangerang dengan cara mengkonversi data kedalam format
rawdata Gematronik agar bisa diolah menggunakan perangkat lunak Rainbow yang merupakan perangkat
lunak untuk mengolah data radar bawaan dari vendor radar Gematronik. Dalam analisis ini digunakan
produk Column Maximum (CMAX). Data radar CMAX menampilkan nilai maksimum dari reflektivitas
dalam suatu kolom udara tanpa memperhatikan posisi ketinggian (Manurung, 2016). CMAX merupakan
produk yang sangat berguna dalam mendeteksi lokasi terjadinya awan konvektif dan potensi cuaca buruk
dengan menampilkan nilai maksimum dan minimum dari suatu kolom vertikal (Wati dan Wiguna, 2016).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Angin Gradien


Gambar 1 menunjukan analisis angin gradien pada tanggal 20 Februari 2017 jam 07.00 dan 19.00WIB.
Berdasarkan pola angin pada gambar tersebut terlihat adanya pola monsoon trough di Samudera Hindia
sebelah selatan Indonesia seperti yang ditunjukan pada garis biru. Selain itu, di wilayah Jawa Barat terlihat
adanya pola konvergensi (garis merah pada gambar) yang memicu terjadinya penumpukan massa udara.
Penumpukan massa udara mendukung terjadinya pertumbuhan awan-awan konvektif yang menyebabkan
terjadinya hujan secara kontinu dengan intensitas lebat.

Gambar 1. Analisis Angin Gradien Tanggal 20 Februari 2017 pada (a) Jam 07.00 WIB, dan (b) Jam 19.00 WIB.
Garis Biru Menunjukan Adanya Pola Monsoon Trough sedangkan Garis Merah Menunjukan Adanya Konvergensi
(Sumber: bom.gov.au)

874
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 dan Radar Cuaca C-Band Untuk Identifikasi Hujan Lebat (Studi KasusTanggal 21 Februari
2017 di Lanud Halim Perdana Kusuma)(Jatmiko, DTW., dkk.)

3.2 Analisis Suhu Puncak Awan menggunaakan Citra Satelit Himawari-8


Analisis kondisi atmosfer menggunakan satelit Himawari-8 berfokus pada identifikasikeberadaan awan
Cb yang disinyalir menjadi penyebab terjadinya hujan lebat. Analisis citra satelit dilakukan dengan melihat
suhu puncak awan sebelum dan sesudah terjadinya hujan lebat menggunakan citra satelit kanal IR.
Kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi eksistensi awan Cb melalui metode split window dengan
mencari selisih selisih kanal IR dengan WV.
Time series suhu puncak awan pada tanggal 20 Februari 2018 jam 07.00 WIB hingga 21 Februari 2017
jam 06.50 WIB terlihat pada Gambar 2a. Suhu puncak awan pada jam 01.00 hingga 03.30 WIB berada pada
kisaran 0℃ hingga -20℃, kemudian terpantau mengalami penurunan secara signifikan pada jam 03.30
hingga 04.30 WIB dengan suhu puncak awan mencapai -82,8℃. Penurunan suhu puncak awan dalam waktu
yang relatif singkat ini menunjukan adanya pertumbuhan awan konvektif. Suhu puncak awan terpantau
masih berada pada rentang -60℃ sampai -80℃ hingga jam 06.50 WIB. Pada suhu tersebut awan-awan yang
menutupi wilayah Lanud Halim Perdana Kusuma dan sekitarnya umumnya berupa awan Cb atau awan tinggi.

A B
0709 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 WIB 0709 11 13 15 17 19 21 23 01 03 05 WIB
20 Feb 2017 I 21 Feb 2017 20 Feb 2017 I 21 Feb 2017
(a) (b)

Gambar 2. Time Series Suhu Puncak Awan di Wilayah Lanud Halim Perdana Kusuma pada Kanal (a) IR, dan (b)
Kanal Split Window S3. Garis Merah pada Gambar 4b Menunjukan Batas Nilai S3 untuk Identifiksi Awan Cb (3℃)

Tampilan visual dari citra satelit kanal IR Enhanced pada jam 03.00 hingga 06.00 WIB dapat dilihat pada
Gambar 3. Semakin rendah suhu puncak awan maka warna citra yang dihasilkan dari kanal IR semakin
terang. Apabila suhu puncak awan sama atau lebih rendah daeri -33 ℃ maka awan tersebut termasuk ke
dalam awan dingin yang dapat dikategorikan sebagai awan tinggi atau Cumulonimbus. Berdasarkan citra
satelit terlihat bahwa di wilayah Lanud Halim Perdana Kusuma dan sekitarnya pada jam 03.00 WIB
umumnya masih didominasi awan rendah dan menengah yang hangat, kemudian mulai terbentuk adanya
awan dingin berupa Cb atau awan tinggi pada jam 04.00 WIB hingga akhirnya tertutupi seluruhnya oleh
awan dingin pada jam 05.00 hingga 06.00 WIB. Untuk mengidentifikasi jenis awan dingin yang menutupi
wilayah Lanud Halim Perdana Kusuma dan sekitarnya digunakan metode split window.
Nilaisplit window S3 pada grafik time series Gambar 2b merupakan selisih antara nilai suhu puncak awan
dari kanal IR dengan kanal WV. Kriteria idensifikasi Cb berdasarkan nilai S3 yaitu apabilai nilai S3 ≤ 3℃
sehingga citra visual S3 pada Gambar 4 juga disetting agar nilai S3 maksimal yang muncul adalah 3℃.
Berdasarkan grafik pada Gambar 2b dan Gambar 4, terlihat bahwa citra S3 mulai terbentuk di sebelah barat
Lanud Halim dan sekitarnya pada jam 04.00 WIB dan menutupi hampir seluruh wilayah tersebut pada jam
05.00 hingga 06.00 WIB. Dengan demikian dapat diketahui adanya tutupan awan Cb yang cukup luas di
daerah Lanud Halim dan sekitarnya pada jam 05.00 hingga 06.00 WIB dan bertepatan dengan kejadian hujan
lebat.

875
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-5 Tahun 2018

Gambar 3. Citra Satelit Himawari-8 Kanal IR Enhanced Tanggal 20 Februari 2017 Jam 20.00 hingga 23.30 UTC
(21 Februari 2018 Jam 03.00 hingga 06.30 WIB)

876
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 dan Radar Cuaca C-Band Untuk Identifikasi Hujan Lebat (Studi KasusTanggal 21 Februari
2017 di Lanud Halim Perdana Kusuma)(Jatmiko, DTW., dkk.)

Gambar 4. Citra Satelit Himawari-8 Split Window S3 (IR-WV) Tanggal 20 Februari 2017 Jam 20.00
hingga 23.30 UTC (21 Februari 2018 Jam 03.00 hingga 06.30 WIB)

3.3 Analisis Citra Radar


Analisis citra radar cuaca dilakukan berdasarkan besarnya energi radar yang terpantul oleh suatu objek
dalam bentuk nilai reflektivitas dengan satuan dBz. Perbedaan hasil output nilai reflektivitas radar
menunjukan adanya perbedaan susunan molekul atau partikel pada suatu objek (Waseso, 2014). Reflektivitas
radar juga merupakan salah satu indikator untuk mengetahui pertumbuhan awan konvektif (Paski, 2017).
Variasi nilai reflektivitas yang digunakan untuk mengidentifikasi cuaca lebat seperti keberadan awan
konvektif yang mengakibatkan hujan deras dan petir dengan interval 10 sampai 60 dBZ seperti yang terlihat
pada Gambar 5.

877
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-5 Tahun 2018

Gambar 5. Karakteristik dBz (eumetrain.org, 2012). Sumbu Vertikal Menyatakan Jenis Objek
yang Terdeteksi Radar. Sumbu Horizontal Menyatakan Besarnya Nilai Reflektivitas
dan Garis Hijau Menyatakan Nilai Reflektivitas Tiap Objek.

Hasil analisis citra radar produk CMAX pada pukul 03.00WIB menunjukan nilai reflektivitas sekitar 5
dBZ. Nilai reflektivitas radar semakin meningkat pada pukul 03.30 WIB dengan nilai mencapai255 dBz dan
pada jam 04.00 WIB menunjukan nilai reflektivitas sebesar 40 dBz. Pada pukul 04.30 WIB reflektivitas
radar menunjukan adanya penurunan dengan nilai mencapai 35 dBz dan selanjutnya relatif konstan hingga
jam 05.00 WIB. Pada jam 05.30 WIB reflektivitas radar cuaca kembali meningkat menjadi sebesar 40 dBz,
kemudian kembali turun pada jam 06.00 hingga 11.30dengan nilai reflektivitas mencapai 25 hingga 30 dBz.
Meskipun mengalami penurunan nilai refkesifitas radar, namun terlihat adanya pertambahan luas echo radar
warna hijau dengan kisaran nilai 25 – 37 dBz. Liputan echo tersebut tampak secara terus menerus pada citra
jam 05.30 hingga 06.30 WIB dan cenderung memiliki bentuk yang sama.
Menurut Wardoyo (2011), nilai reflektivitas juga terkait dengan kejadian hujan. Berdasarkan nilai
reflektivitasnya, curah hujan dikategorikan menjadi 4, yaitu hujan ringan, hujan sedang, hujan lebat, dan
hujan sangat lebat seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Nilai dBz Berdasarkan Kategori Intensitas Hujan

Kategori Intensitas Hujan Nilai dBz mm/jam


Hujan Ringan 30 s/d 38 1 s/d 5
Hujan Sedang 38 s/d 48 5 s/d 10
Hujan Lebat 48 s/d 58 10 s/d 20
Hujan Sangat Lebat >58 >20

Pada lokasi kejadian terjadi hujan dengan intensitas lebat dengan nilai reflektivitas berkisar antara 30
hingga 40 dBz yang terjadi pada jam 04.00 hingga 06.00 WIB yang menyebabkan hujan lebat dan
berdampak pada terjadinya banjir di sejumlah tempat di Jakarta.

Bersambung…..
878
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 dan Radar Cuaca C-Band Untuk Identifikasi Hujan Lebat (Studi KasusTanggal 21 Februari
2017 di Lanud Halim Perdana Kusuma)(Jatmiko, DTW., dkk.)

Bersambung…..

879
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-5 Tahun 2018

Gambar 6. Citra Radar tanggal 20 Februari 2017 jam 20.00 hingga 23.30 UTC
(21 Februari 2018 jam 03.00 hingga 06.30 WIB)

4. KESIMPULAN

Peristiwa hujan lebat yang melanda wilayah Lanud Halim Perdana Kusuma dan sekitarnya disebabkan
oleh faktor regional pengendali cuaca yang mempengaruhi dinamika atmosfer di tempat tersebut. Adanya
monsoon trough di Samudera Hindia selatan Indonesia serta pola konvergensi di daerah Jawa Barat
menyebabkan terjadinya penumpukan massa udara dan mendukung terbentuknya awan-awan konvektif
secara merata.
Kondisi ini didukung berdasarkan analisis citra satelit Himawari-8 kanal IR yang menunjukan bahwa
suhu puncak awan turun secara signifikan pada jam 03.30 hingga 04.30 WIB hingga mencapai nilai dibawah
-80℃ sekitar jam 04.30 WIB.Secara umum suhu puncak awan berada pada kisaran -80℃ hingga -60℃ pada
jam 05.00 hingga 06.00WIB yang menunjukan adanya pertumbuhan awan Cb. Keberadaan awan Cb ini
didukung dengan nilai split window S3 kurang dari 3℃ yang mendominasi wilayah Lanud Halim Perdana
Kusuma dan sekitarnya, yang menunjukan adanya tutupan awan Cb yang cukup luas.

880
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 dan Radar Cuaca C-Band Untuk Identifikasi Hujan Lebat (Studi KasusTanggal 21 Februari
2017 di Lanud Halim Perdana Kusuma)(Jatmiko, DTW., dkk.)

Keberadaan awan Cb sebagai didukung dengan hasil analisis citra radar ECC C-Band Doppler Tangerang
produk CMAX di lokasi terjadinya hujan lebatdengan nilai reflektivitas 30 hingga 40 dBz. Selain itu, echo
radar yang didominasi warna hijau bertambah luas pada jam 22.30 WIB dan cenderung tetap hingga jam
06.30 WIByang menunjukan terjadinya hujan dengan intensitas sedang.

5. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada sub-bidang pengelolaan citra satelit dan sub-bidang
pengelolaan citra radar BMKG yang telah membantu dalam penyediaan dan pengolahan data satelit
Himawari-8 dan citra radar EEC C-Band Doppler serta kepada Stasiun Meteorologi Lanud Halim Perdana
Kusuma yang membantu dalam penyediaan data pengamata permukaan sehingga penelitian ini dapa
tterselesaikan dengan baik

6. DAFTAR PUSTAKA
BMKG. (2010). Tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan dan Diseminasi
Informasi Cuaca Ekstrem (KEP.009 Tahun 2010). BMKG Jakarta.
BOM. (2018). Analysis Chart Archive. Diakses padatanggal 2 Juni 2018
http://www.bom.gov.au/australia/charts/archive/index.shtml.
EUME Train. (2012). Icing. Diakses pada tangal 8 Juni 2018 http://www.eumetrain.org.
Inoue, T. 1997. Day-to-Night Cloudiness Change of Cloud Types Inferred from Split Window Measurements aboard
NOAA Polar-Orbiting Satellites. Journal of the Meteorological Society of Japan, vol.75, no.1, hlm.59-66.
JMA. (2018). Himawari User’s Guide. Diakses pada 6Juni 2018http://www.jmanet.go.jp/msc/en/support/index.html
Manurung, R., M., dan Matondang, A., C. (2016). Pemanfaatan Data Satelit dan Radar dalamAnalisis Intensitas Hujan
di Wiayah Medan (StudiKasus 7 – 8 Februari 2016). Paper dipresentasikan pada Prosiding Workshop Operasional
Radar Cuaca 2016, Jakarta, Indonesia.
Pandjaitan, B. dan Andersen, P., (2015). Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk
Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia (Studi Kasus: Kebakaran Hutan dan
Lahan Di Pulau Sumatera Dan Kalimantan Pada Bulan September 2015). Paper dipresentasikan pada Prosiding
Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2015, Bogor, Indonesia.
Paski, I., A., J., Permana, S., D., dan Pertiwi, S., s., A., D. (2017). Analisis Dinamika Atmosfer Kejadian Hujan Es
Memanfaatkan Citra Radar dan Satelit Himawari-8 (Studi Kasus: Tanggal 3 Mei 2017 di Kota Bandung). Paper
dipresentasikan pada Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2017, Depok, Indonesia
Samriyanto., (2010). Analisis Citra Satelit dan Radar untuk Membuat Prediksi Cuaca Ekstrem. Buletin BMKG. Vol :
No.4.
Tjasyono, B dan Harijono. 2007. Meteorologi Indonesia Volume II: Awan dan Hujan Monsun. Badan Meteorologi dan
Geofisika, Jakarta
Wardoyo, E., (2011). Pengantar III Output Radar Data: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Waseso, G., P., M., (2014). Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar pada saat Kejadian Cuaca Lebat
(Studi kasus Kejadian Banjir tanggal 21 Januari 2014 di Sambelia, Lombok Timur). (Laporan Kerja Diploma III),
STMKG, Tangerang Selatan.
Wati, S., K., dan Wiguna, H, P, P. (2016). Deteksi Clear Air Turbulence Pada Tampilan Radar Cuaca C-Band Lombok.
Paper dipresentasikan pada Prosiding Workshop Operasional Radar Cuaca 2016, Jakarta, Indonesia.
Wirjohamidjojo, S dan Swarinoto, Y. S.2007.Praktek Meteorologi Pertanian. Jakarta: Badan Meteorologi dan
Geofisika.

881

Anda mungkin juga menyukai