Anda di halaman 1dari 16

JURNAL

Awan merupakan indikator utama dalam menentukan keadaan cuaca di suatu daerah,
dan masing-masing jenis awan mempunyai arti yang berbeda. Adanya awan cumulonimbus
dengan bentangan awan yang cukup luas pada suatu daerah dapat diasumsikan sebagai
indikasi keadaan cuaca buruk karena akan turun hujan lebat. Awan stratocumulus
menandakan daerah tersebut cenderung hujan gerimis. Namun, sering kali awan ini
merupakan tanda bahwa cuaca yang lebih buruk akan datang. Awan cirrus tidak membawa
hujan, namun jika banyak terdapat awan cirrus di atmosfer merupakan tanda bahwa 24 jam
ke depan akan terjadi perubahan cuaca.
Awan diklasifikasikan menurut perbedaan albedo. Parameter ini mengindikasikan ketebalan
awan, sehingga klasifikasi awan didasarkan pada tingkat ketebalannya. Namun, albedo tidak
hanya dipengaruhi oleh ketebalan awan saja tetapi juga oleh sudut zenith matahari.
Sudiana, Dodi. 2009. Klasifikasi Tutupan Awan menggunakan Data Sensor Satelit NOAA.
Jurnal teknologi. Vol .5(1):32-54
Awan rendah sangat dipengaruhi oleh distribusi aerosol sehingga jika terjadi
peningkatan sinar kosmik, pembentukan inti kondensasi awan rendah akan mengalami
percepatan. Sinar kosmik mempengaruhi proses pertumbuhan awan berdasarkan mekanisme
ion-aerosol clear-air dan ion-aerosol near-cloud melalui ionisasi aerosol oleh sinar kosmik
yang mengakibatkan percepatan pembentukan inti kondensasi awan. Awan rendah sangat
sensitif terhadap distribusi aerosol. Jika terjadi peningkatan sinar kosmik, radiasi sinar
kosmik akan menyebabkan meningkatnya laju ionisasi aerosol dalam pembentukkan inti
kondensasi awan rendah yang menyebabkan semakin banyak proses pembentukan awan
rendah.
Awan menengah jenis Altocumulus pembentukannya lebih disebabkan proses konvektif dari
efek termal radiasi matahari. Pengaruh ionisasi sinar kosmik terhadap tutupan awan
menengah tidak dominan, karena pembentukan tutupan awan menengah lebih banyak
disebabkan dinamika termal atmosfer seperti hantaran energi secara konduksi.
Awan rendah memiliki ketinggian antara 1000 mb hingga 680 mb, awan menengah memiliki
ketinggian 680 mb hingga 440 mb, dan awan tinggi memiliki ketinggian antara 440 hingga
50 mb.
Adriat,Riza. 2015. Keterkaitan Variasi Sinar Kosmik dengan Tutupan Awan.
POSITRON.Vol. 5(1):36-41
Indikator tutupan awan bisa diketahui secara tidak langsung dari tingginya curah
hujan. Semakin banyak curah hujan maka tutupan awan semakin tinggi. Sebenarnya efek
hujan tidak langsung berpengaruh terhadap fluktuasi termoklin, namun diduga kuat kondisi
lingkungan atmosfir yang terjadi pada saat curah hujan meningkat adalah tingkat tutupan
awannya tinggi. Hal ini menyebabkan energi panas matahari terhalang masuk ke dalam laut,
sehingga termoklin menjadi dangkal dan ketebalannya berkurang. Sebaliknya pada saat curah
hujan menurun, tingkat tutupan awan diduga juga menurun sehingga energi panas matahari
yang masuk ke dalam kolom perairan meningkat.
Kunarso et al. 2012.Perubahan Kedalaman dan Ketebalan Termoklin pada Variasi Kejadian
ENSO,IOD dan Monsun di Perairan Selatan Jawa Hingga Pulau Timor. Jurnal Ilmu
Kelautan. Vol.17(2):87-98
Dalam identifikasi jenis awan berdasarkan pengamatan satelit, jenis awan
digolongkan menjadi 7 kelompok, yaitu : Ci (awan tinggi), Cm (awan menengah), St
(stratus/fog), Cb (cumulonimbus), Cg (cumulus congestus), Cu (cumulus), dan Sc
(stratocumulus). Jenis awan rendah terdiri dari cumulus (Cu), stratocumulus (Sc), stratus
(St), kabut, dan fractostratus (Fs). Jenis awan menengah terdiri dari altocumulus (Ac),
altostratus (As), dan cumulus yang menjulang tinggi. Jenis awan tinggi terdiri dari cirrus (Ci),
cirrostratus (Cs), cirrocumulus (Cc), dan cumulonimbus (Cb). Awan menengah ditempatkan
ke dalam kategori rendah jika awan tinggi suhunya di bawah ketinggian sekitar 2 km, ke
dalam kategori tingkat menengah jika tingginya adalah antara 2 dan 5 km, dan ke dalam
kategori awan tinggi jika ketinggian di atas sekitar 5 km.
Nardi, Nazori AZ. 2012. Otomasi Klasifikasi Awan Citra Satelit MTSAT dengan Pendekatan
Fuzzy Logic. Jurnal matematika. Vol.4(1)
Awan adalah kumpulan butir-butir air atau kristal es kecil di atmosfer yang merupakan
produk dari proses kondensasi uap air dengan konsentrasi sekitar seratus butri cm3 dan radius
sekitar 10mm. Awan terbentuk ketika uap air menjadi jenuh dan mengalami kondensasi.
Penjenuhan dapat terjadi karena penambahan air (penyatuan), tumbukan, atau kombinasinya.
Proses pembentukan awan merupakan suatu rangkaian yang rumit dan melibatkan proses
dinamik dan proses mikrofisik. Proses dinamik berhubungan dengan pergerakan parsel udara
yang membentuk suatu kondisi tertentu sehingga terbentuk awan. Proses mikrofisik adalah
proses pembentukan awan melalui proses kondensasi uap air dan interaksi antar partikel butir
air.
Rogers, R.R. 1983. A short Course in Cloud Physic. 2nd ed. Pergamon Press. Oxford.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan awan di antaranya adalah pemanasan
permukaan dan free convection, pengangkatan/lifting mechanism yang dipengaruhi oleh
topografi, proses pengangkatan/lifting mechanism akibat konvergensi pada permukaan udara,
pengangkatan udara/lifting mechanism di sepanjang frontal regions. Keberhasilan proses ini
sangat dipengaruhi oleh kandungan uap air di atmosfer, distribusi aerosol higroskopis, dan
gerak udara vertikal
Ahrens. 2007. Meteorology Today; An Introduction to Weather, Climate, and the
Environment. Thomson Brooks:USA.
Apabila suatu tempat menunjukkan distribusi atau sebaran awan yang relatif lebih banyak di
saat musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan, bukan berarti awan tersebut akan
menjadi hujan saat kemarau tersebut. Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut diduga
adanya adveksi udara panas dari Lautan Hindia yang membawa kumpulan awan-awan tadi
bergerak ke arah timur dan jauh meninggalkan tempat tersebut. Biasanya awan yang
terbentuk di tempat seperti ini adalah awan – awan tinggi yang dicirikan oleh awan-awan
dingin (< 0 o C) yang relatif konstan. Berdasarkan suhunya, awan dibedakan atas awan
hangat (warm clouds) dan awan dingin atau beku (freezing clouds). Awan hangat hingga
mencapai puncaknya terdiri butir – butir air bersuhu > 0 o C. Sedangkan awan dingin atau
beku terdiri dari butir – butir es dan butir – butir air bersuhu < 0 o C.
Hermawan, Eddy. 2009. Analisis Perilaku Curah Hujan di Atas Kotabang Saat Bulan Basah
dan Bulan Kering. Jurnal sains dan matematika. Vol.3(2):34-47
Pada umumnya metode estimasi curah hujan berbasis data satelit geostasioner menggunakan
asumsi bahwa suhu puncak awan yang dingin berkaitan erat dengan awan hujan
cumulonimbus. Suhu puncak awan ini direpresentasikan oleh nilai Tbb dari data kanal satelit
MTSAT. Semakin dingin suhu puncak awan (Tbb lebih dingin dari suhu threshold/Tc)
semakin besar potensi akan menghasilkan curah hujan yang lebih tinggi di permukaan. Curah
hujan yang tinggi selalu terkait dengan suhu rendah, tidak berlaku pernyataan sebaliknya
karena suhu rendah tidak selalu berarti curah hujan tinggi
Avia, Qodrita. 2013. Penentuan Suhu Threshold Awan Hujan di Wilayah Indonesia
Berdasarkan Data Satelit MTSAT dan TRMM. Jurnal Sains Dirgantara. Vol.10(2):82-89

Klasifikasi citra merupakan proses pengelompokan piksel pada suatu citra ke dalam
sejumlah kelas, sehingga setiap kelas dapat menggambarkan suatu enstitas dengan ciri-ciri
tertentu (Jhon 1986). Tujuan utama klasifikasi citra penginderaan jauh adalah untuk
menghasilkan peta tematik, dimana satu warna mewakili suatu objek tertentu. contoh objek
yang berkaitan dengan permukaan bumi antara lain, air, hutan, sawah, kota, jalan dan lain-
lain. Sedangkan pada citra satelit meteorologi, proses klasifikasi dapat menghasilkan peta
awan yang memperlihatkan distribusi awan diatas suatu wilayah

Awan-awan penghasil hujan mempunyai tingkat ketebalan awan yang tinggi


karena mengandung banyak uap air sehingga nilai albedonya besar. Sebaliknya, awan
yang tidak potensial hujan mempunyai ketebalan rendah dan mengandung lebih sedikit uap
air sehingga nilai albedonya kecil. Awan dengan albedo kecil biasanya adalah
awan cirrus dan stratus, sedangkan albedo besar biasanya dijumpai pada awan cumulus.
Estimasi curah hujan dapat dilakukan berdasarkan suhu awan dimana pembentukan
hujan terjadi pada awan-awan yang mempunyai suhu rendah (Handokoet.al. 1994).
Rata-rata suhu awan pembentukhujan antara 195K hingga 260 K (Grifithetal.dalam Tahir
2009). Semakin tinggi suhu kecerahan awan maka semakin tinggi curah hujan.
Hubungan antara curah hujan dari radar dengan suhu kecerahan awan padaTOA (top
of the atmosphere) dari kanal inframerah satelit GOES-8 diplotkan dalam persamaan
eksponensial (Vicenteet al.2001).

Pendugaan curah hujan dengan aplikasi penginderaan jauh sudah


dikembangkan sejak tahun 1960 diawali dengan pengamatan distribusi awan global di
atmosfer bumi (Suseno 2009). Dalam perkembangannya terdapat empat metode
dalam pendugaan curah hujan dengan menggunakan satelit, yaitu:
a.Pendugaan curah hujan menggunakan kanal inframerah (IR) dan visible (VIS).
b.Pendugaan curah hujan dengan kanal pasif gelombang mikro.
c.Pendugaan curah hujan dengan kanal radar satelit.
d.Pendugaan curah hujan menggunakan metode kombinasi kanal inframerah dan
gelombang mikro (blended techniques).

Informasi dari satelit berupa foto awan dalam skala besar jika digabungkan
dengan data hasil pengamatan dipermukaan bumi (ground truth) dapat diperoleh
analisis sinoptik yang lebih obyektif. Foto awan yang direkam oleh satelit meliputi
foto yang diperoleh dari kanal inframerah dan kanal sinar tampak yang
dipancarkan oleh permukaan awan. Pada foto inframerah awan dapat dibedakan menurut
tingkat keabuannya (graylevel). Permukaanya yang gelap menggambarkan permukaan
yang panas, sedangkan yang lebih dingin tampak lebih putih. Pada foto
visible,tingkat keabuan dari gambar awan tergantung pada daya refleksi awan akan
tampak semakin putih.

2.2.1 MTSAT (Multi-functional Transport Satellite) MTSATmerupakan satelit


pengganti satelit GMS (Geostationary MeteorologicalSatellite) yang mulai beroperasi
tahun 2005 (JMA 2011). Generasi pertama MTSAT adalah MTSAT-1R dengan
operasional dari tahun 2005 sampai dengan 2010. Generasi kedua MTSAT yaitu MTSAT-
S2 direncanakan beroperasi dari tahun 2010 sampai 2015 (JMA 2010). Pelayanan data
secara visual dikelola oleh JMA (JapanMeteorologicalAgency) .Sedangkan pelayanan
data citra dapat diunduh secara gratis melalui alamat website Kochi University dan
University of Tokyo. MTSAT-1R merupakan salah satu satelitn geostasioner dengan
wilayah kerja di Asia Pasifik. Satelit geostasioner merupakan satelit yang orbitnya
mengikuti rotasi bumi. MTSAT-1R berada di ketinggian 35.800 km di atas ekuator dan
145o BT. Sebagaisatelit geostasioner,MTSAT-1R memilikifungsi ganda untuk bidang
meteorologi sekaligus misi penerbangan. MTSAT-1R mampu memberikan informasi suhu
awan dengan resolusi temporal tinggi yaitu setiap satu jam. Berdasarkan spesifkasi
kanal dalam mendeteksi panjang gelombang, maka MTSAT-1R terdiri dari 5
kanal.Kanal MTSAT-1R yang digunakan pada penelitian ini ada dua yaitu
kanalinfrared(IR1) danwater vapour(IR3).

2.2.2 TRMM (TropicalRainfallMeasuring Mission) Satelit TRMM mulai beroperasi


tahun 1997. Satelit ini membawa 5 buah kanal yaitu PR(Precipitation Radar), TMI
(TRMM Microwave Imager), VIRS (Visibleand Infrared Channel), CERES (Clouds andthe
Earth’s Radiant Energy System), dan LIS (Lightning ImagingKanal).Secara khusus
kanal PR dan TMI mempunyai misi dalam estimasi curah hujan. Kedua kanal ini mampu
mengobservasi struktur hujan, jumlah dan distribusinya di daerah tropis dan sebagian
sub tropis serta berperan penting untuk mengetahui mekanisme perubahan iklim
global dan memonitoring variasi lingkungan. Data hujan yang dihasilkan oleh
TRMM memiliki tipe dan bentuk yang beragam yang dimulai dari level 1 sampai
level 3. Level 1 merupakan data yang masih dalam bentuk dan telah dikalibrasi dan
dikoreksi geometrik, level 2 merupakan data yang telah memiliki gambaran paramater
geofisik hujan pada resolusi spasial yang sama akan tetapi masih dalam kondisi asli
keadaan hujan saat satelit tersebut melewati daerah yang direkam, dan level 3 merupakan
data yang telah memiliki nilai-nilai hujan, khususnya kondisi hujan bulanan yang
merupakan penggabungan dari kondisi hujan dari level 2 (Feidas 2010). Data-data hujan
yang diperoleh dari satelit TRMM telah diaplikasikan untuk berbagai kepentingan
seperti pengamatan iklim/cuaca, analisis iklim, analisis anomali hujan, verifikasi model
iklim, dan studi hidrologi. Berbagai produk data dari satelitTRMM dapat diunduh
secara gratis melaluiwebsitehttp://mirador.gsfc.nasa.gov.

2.2.3 Aplikasi Pendugaan Curah Hujandengan Data Satelit Beberapa peneliti


telah melakukan pendugaan curah hujan dengan metode kombinasi, diantaranya
adalah Jobard dan Desbois pada tahun 1992 dalam Lainget al.(1999) yang
mengkombinasikan citra satelit Meteosat dengan (SpecialSensorMicrowaveImager) SSM/I
data di Nigeria. Pada tahun 2006 Maathuis mengkombinasikan citrasatelit Meteosat
dan TRMMMicrowaveImager (TMI) untuk wilayah kajian Afrika Tengah (Suseno 2009).
Keduanya menggunakan teknik pengklasifikasian awan potensi hujandan menurunkannya
menjadi curah hujan. Klasifikasi ini digolongkan dalam bentuk awan berpotensi hujan
dan awan yang tidak berpotensi hujan. Aplikasi ini sangat menarik dikembangkan karena
memiliki beberapa kelebihan,diantaranya adalah dapat menjangkau nilai curah hujan di
daerah terpencil dan lautan serta mampu menyediakan data secara homogen secara spasial
maupun temporal. Hasil akhir dari metode ini berupa data curah hujan denganresolusi
spasial 4 km atau sesuai dengan resolusi spasial satelit geostationary. Metode ini
merupakan metode yang didasarkan untuk mengisi kekurangan-kekurangan dalam
beberapa metode pendugaan sebelumnya. Levizzanietal.(2002) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa salah satumetode yang sering digunakanadalahmetode kombinasi
(blended techniques).Metode ini merupakan pendugaan curahhujan dengan
kombinasi dua kanal,yaitu antara kanal inframerah (IR) dengan kanal gelombang mikro.
Data yang didapat dari kanal inframerah berupa informasi suhu puncak awan(top
cloud temperature),sedangkan informasi yang didapat dari kanal gelombang mikro adalah
data curah hujan setiap jam. Kidderet al.(2005) menyatakan bahwa pengklasifikasian
awan hujan didasarkan pada perbedaan suhu antara kanal pendeteksi suhu uap air pada
6.2 μm dengan kanal pendeteksi suhu puncak awan (infrared) pada 10.8 μm. Kedua
kanal ini dapat mendeteksi awan dengan klasifikasi tinggi dan tebal sehingga berpotensi
menjadi hujan. Ketika terjadi penyerapan uap air maka kondisi awan menjadi gelap
dan dapat dideteksi dengan panjang gelombang 6.2 μm. Gelombang 6,2 μm
mendeskripsikan keadaan atmosfer yang gelap karena ketebalan butir-butir air dan
uap air yang terdapat pada awan. Awan yang terdeteksi oleh panjang gelombang
tersebut merupakan awan tebal dan sulit ditembus oleh cahaya. Nilai suhu kecerahan
uap air cenderung lebih kecil dibanding nilai suhu kecerahan awan pada nilai piksel
yang sama. Semakin kecil selisih antara suhu kecerahan awan dan suhu kecerahan uap air
menunjukkan proses kondensasi yang selanjutnya akan turun menjadi hujan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kidderet al. (2005) maka awan potensi hujan
dapat dipenuhi ke dalam persamaan matematis berikut. T10,8 μm–T6,2 μm< 11K dimana:
T10,8μm :suhu kecerahan awan (kanal 10,8μm/IR1) T6,2 μm: suhu kecerahan uap air (kanal
6,2μm/IR3) Mekanisme terbentuknya awan presipitasi ditentukan oleh perbedaan proses
dinamika dan termodinamika,yang bergantung pada variasi waktu dan tempat. Riset
sebelumnya Adler dan Negri (1988) menyimpulkan bahwa klasifikasi awan akan
menunjukkan perbedaan besar terhadap nilai curah hujan dan sistem secara umum. Hong al.
(2009) menjelaskan tentang evolusi dari awan konvektif dari awal (kecil dan
hangat), sebelum jatuh (sedang dan dingin), dan siap jatuh (besardan dingin), sebelum
akhirnya jatuh dan hilang . Pada setiap tahapnya terlihat perubahan fungsi suhu
kecerahan awan.Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, proses temporal antara awan
dan hujan sangat behubungan dalam setiap tahap pembentukan awan hingga jatuhnya
hujan, meskipun dalam hal ini proses spasialnya tidak tertangkap secara jelas
(diabaikan).

Daftar Pustaka

Adler RF, Andrew JN. 1988. A Satellite Infrared Technique to Estimate Tropical Convective
and Stratiform Rainfall. American Meteorological Society 27: 30–51.

Handokoet al. 1994. Klimatologi Dasar.Pustaka Jaya.

Hong K, Suh MS, Kang JH. 2009. Development of Land Surface Temperature-Retreival
Algorithm from MTSAT-1R Data. Asia-Pacific Jou

[JMA] Japan Meteorological Agency. Meteorological Satellite MTSAT Series.


http://www.jma.go.jp/jma/jma-eng/satellite/. [15 Maret 2011]

John A, Richards. 1986. Remote Sensing Digital Image Analysis, An Introduction. Springer-
Verlag.Belin Haidelberg

Kidder SQ, Kankiewicz JA, Eis KE. 2005. Meteosat Second Generation Cloud Algorithms
for Use at AFWA. Bacimo Monterey.

Laing AG, J Michael F, Andrew JN. 1999. Contribution of Mesoscale Convective Complexes
to Rainfall in Sahelian Africa: Estimates from Geostationary Infrared and Passive
Microwave Data. American Meteorological Society 38: 957–964.

Levizzani V, Amorati R, Meneguzzo F. 2002. A Review of Satellite-based Rainfall


Estimation Methods. Bologna: Consiglio Nazionale delle Ricerche, Istituto di Scienze
dell’Atmosfera e del Clima.

Suseno DPY. 2009. Geostationary Satellite Based Rainfall Estimation for Hazard Studies
and Validation: A case study of Java Island, Indonesia [tesis]. Yogyakarta: Double
Degree M.Sc. Programme, Gajah Mada University and ITC.
Untuk mendapatkan parameter awan atas ,kita dapat menggunakan data dari Radiometer
inframerah atau sinar tampak (VIRS) . Parameter pengukuran awan atas sendiri diantaranya
adalah CTT, CTP, dan CTH.
Parameter atas awan yang diukur adalah kedalaman optikal, ukuran partikel, berat dasar, dan
banyaknya / lapisan. Parameter algoritma mengasumsikan fase awan pada siang hari yang
diaplikasikan secara empiris sebagai koreksi uap air untuk suhu kecerahan yang terobservasi.
Dalam metode seperti ini terdapat dua asumsi implisit, yaitu awan tebal secara optik sehingga
emisi dari awan menembus lapisan tipis yang secara fisik dekat permukaan atas awan dan
emisi/absorbsi di awan ini dapat diabaikan. Dan efek pembiasan dapat diabaikan.
Cloud Top Height (CTH)
Cloud Top Height adalah pembeda untuk setiap awan yang mengkover lokasi Bumi sebagai
suatu paket berat yang diambil dari bagian atas awan dari lapisan awan yang berada di suatu
lokasi. Berat yang didapatkan merupakan rata-rata berat tiap sel yang horizontal secara
spasial. CTH tidak dilaporkan pada sel yang bersih.
Cloud Top Pressure (CTP)
Cloud top pressure didefinisikan untuk tekanan pada bagian atas awan pada setiap awan
yang menututpi permukaan bumi
Cloud Top Temperature (CTT)
Cloud top temperature didefinisikan untuk setiap awan yang menutupi permukaan bumi
sebagai suatu satuan temperature pada bagian atas awan pada suatu wilayah yang secara
spasial dibuat menjadi rata-rata tiap sel.
Untuk mendapatkan parameter awan bagian atas dipelukan suhu kecerahan.Dalam prosesnya
pun, kita memperhatikan dua kondisi yakni fase untuk siang hari dan fase pada malam hari.
Fase siang hari , untuk mengukur tekanan pada awan bagian atas dapat menggunakan VIIRS
kanal M15 (10,763 mikrometer).
Fase malam hari , digunakan untuk mengukur temperature(penjelasannya di metode aja kali
ya)
Klasifikasi citra adalah suatu proses pengumpulan seluruh piksel citra ke dalam dalam
suatu kelas sehingga dapat diinterpretasikan sebagai suatu properti yang spesifik dengan
tujuannyaadalah untuk mendapatkan gambaran yang berisikan bagian-bagian yang
menyatakan suatu obyek atau tema. Tiap obyek pada gambar tersebut memiliki simbol yang
unik yang dapat dinyatakan dengan warna atau pola tertentu(Mukhaiyar 2010). Piksel-piksel
citra dikelompokkan ke dalam kelas-kelas yang telah ditentukan berdasarkan nilai
kecerahannya (brightness value/BV atau digital number/DN). Pada prinsipnya, dalam
interpretasi citra klasifikasi terbimbing mengandalkan delapan bagian dasar, yaitu warna,
ukuran, rona, lokasi, tekstur, pola, bentuk dan asosiasi.
Menurut Kurniawan dan Farda (2013) kelas yang dihasilkan dari klasifikasi tidak
terbimbing adalah kelas spektral. Oleh karena itu, pengelompokan kelas didasarkan pada nilai
natural spectral citra, dan identitas nilai spektral tidak dapat diketahui secara dini. Hal itu
disebabkan analisisnya belum menggunakan data rujukan seperti citra skala besar
untuk menentukan identitas dan nilai informasi setiap kelas spektral. Suhu udara adalah
ukuran energi kinetik rata-rata molekul udara.Tahapan dan rumus-rumus untuk mendapatkan
data suhu udara dari suhu permukaan adalah dengan pendugaan suhu permukaan (surface
temperature), penentuan neraca energi, dan penentuan suhu udara.
Satelit merupakan kebutuhan yang tidak bisa dielakkan lagi pada saat sekarang ini.
Kemampuan satelit mengalami peningkatan yang luar biasa. Satelit dapat digunakan untuk
menemukan semua unit partikel yang ada di seluruh jagat raya. Awan merupakan indikator
utama dalam menentukan keadaan cuaca di suatu daerah dan masing-masing jenis awan
memiliki arti yang berbeda2. Beberapa metode yang dilakukan untuk menentukan kelas
awan, fractal dimension, weather prediction model dengan radiation transfer model, dan
APOLO. Sebuah sistem komunikasi satelit, secara umum dibagi atas dua segmen, ground
dan space segment.
Atmosfer dibagi menjadi 4 lapisan secara vertikal, troposfer, stratosfer, mesosfer,
termosfer. Lapisan troposfer ¾ nya adalah gas aerosol. Semakin itnggi permukaan, maka
permukaan udara akan turun sebesar 6,4oc/km. Laposan stratosfer terdapat sejumlah besar
gas ozon yang berfungsi untuk menyerap radiasi ultraviolet. Di beberapa lapisan atmosfer
terdapat butiran-butiran air kecil hasil kondensasi dan mengambang di atmosfer. Awan
merupakan nada dari kondisi stabil di atmosfer. Sehingga langit yang bebas awan
diasosiasikan dengan kondisi anti siklonik atau pengaruh dari udara kontinental yang kering,
sementara itu keadaan mendung pada wilayah yang luas tidak menunjukan kestabilan. Awan
dapat menyebabkan efek pembauran dari radiasi matahari yang jatuh ke permukaan bumi.
Sehingga intensitas radiasi matahari akan menurun dengan meningkatnya
ketebalan/kepadatan awan. Tutupan awan ini juga menyebabkan adanya sebagian radiasi
matahari yang dipantulkan. Proporsi pemantulan radiasi ini disebut albedo.
Tabel 1 Albedo permukaan

Tutupan awan bisa berdampak pada variasi harian suhu udara. Variasi terbesar untuk suhu
harian terjadi tepat di atas permukaan bumi. Faktanya perbedaan antara suhu maksimum dan
minimum harian terjadi tepat di atas permukaan bumi dan semakin ke atas semakin kecil.
Variasi harian tersebut dapat terjadi pada saat langit memiliki awan dengan tutupan yang
tebal dan mencakup wilayah yang luas. Pada siang hri, langit yang cerah membuat energi
matahari dengan cepat memanasi permukaan dimana suhu udara yang tepat di atas
permukaan menjadi sangat panas. Sedang pada malam hari permukaan mendingin lebih cepat
karena adanya pendinginan yang diakibatkan oleh radiasi infra merah yang dipancarkan
permukaan bumi menuju angkasa. Akibatnya suhu udara menjadi lebih dingin pada malam
hari. Awan memiliki pengaruh yang besar terhadap variasi suhu udara. Awan merupakan
reflektor yang baik untuk sinar matahari dan akan menghalau banyak energi matahari untuk
mencapai permukaan bumi. Akibatnya akan membuat suhu udara menjadi turun. Sedang
apabila awan terjadi pada malam hari, akan membuat awan menahan suhu udara agar tetap
hangat. Hal tersebut karena awan menyerap dan mamncarkan gelombang infra merah.

Berdasarkan proses dinamika dan gerak vertikal, secara umum terbentuk dua jenis awan
(Neiburger, 1976) yaitu :
Stratiform ;
 dangkal dan menyebar (disebut juga awan berlapis (layerclouds))
 kecepatan gerak vertikal 1-10 cm per detik.
 Dihasilkan oleh pengangkatan udara konvergensi horizontal atau akibat perputaran
atau turbulensi ireguler yang meluas sehingga gerak vertikalnya kecil dan awan
tersebar lebih seragam untuk wilayah yang luas.
Cumuliform ;
 awan dengan dimensi vertikal dan horizontal hampir seragam sekitar 1-10 km.
 Gerak vertikal dengan kecepatan 1-10 m per detik terus menerus untuk periode
pendek sekitar 30 menit
 Dihasilkan oleh gerak konvektif karena ketidakstabilan hidrostatik; secara potensial
udara yang lebih ringan terangkat dalam pusat sel konvektif dan udara lebih berat
turun.
 Selama itu paket udara mengalami gerakan ke atas dan ke bawah, beberapa di
antaranya dipindahkan ke atas sekitar 5 km atau bahkan untuk thunderstorm lebih dari
10 km.
Pada kondisi atmosfer stabil, pertumbuhan awan terganggu, bahkan awan menjadi tidak
potensial untuk turunnya presipitasi. (Ini dari slide pak rahmat di matkul meteo)
Fitrianti N,Fauziyah AR, dan Fadila R.2015. Analisa pola hidup dan spasial awan
cumulunimbus menggunakan citra radar (studi kasus wilayah bulan januari 2015)
j.Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2(2):51-61

Indonesia adalah wilayah Negara yang berada di wilayah khatulistiwa. Radiasi matahati
sepanjang hari dan suhu permukaan laut yang cukup hangat. Hal tersebut yang menyebabkan
terdapatnya pola pembentukan awan di Indonesia salah satunya cumulonimbus.
Cumulonimbus membutuhkan kelembaban, massa udara yang tidak stabil, dan gaya angkat.
Pembentukan awan cumulonimbus membutuhkan beberapa fase yaitu fase tumbuh, fase
dewasa, dan fase pelenyapan. Fase tumbuh atau cumulus dapat dilihat pada awan yang
tumbuh oke atas dan berbentuk cumulus. Fase dewasa tercapai jika puncak awan membentuk
landasan dengan bagian atas berbenuk datar. Fase pelenyapan atau disipasi ditandai dengan
adanya arus udara ke bawah yang lemah di seluruh sel. Analisa awan dapat digunakan
dengan menggunakan citra radar cuaca menggambarkan potensi intensitas curah hujan yang
dideteksi oleh radar dengan meggunakan besarnya pancaran energy .semakin besar nilai
pancara energy yang terserap maka semakin besar pula NILAI DBZ(decibel). Nilai DBZ
dapat dikonversi ke dalah curah hujan dalam satu tahun
Metode yang digunakan adalah Analisa Grafik dan analisa spasial.Nilai reflektivitas(z)
dibaca sebagai dbZ diolah menggunakan ArcGIS dengan melalui proses Geoferencing dan
digitasi kemudian dipetakan pada grafik tiga dimensi dengan SPSS.Hasil analisa grafik dan
analisa spasial digabungkan untuk analisa dan digunakan untuk memperkuat kesimpulan.
Data Vertical Velocity Harian dan Data Citra Satelit saat jam tertentu. Wilayah daratan
menunjukkan pembentukan awan yang signifikkan sehingga potensi terbentuknya awan
cumulonimbus cukup tinggi dilihat dari gradasi tingkat kecerahan awan menunjukkan bahwa
pada wilayah bima memang berpotensi terbentuknya awan cumulonimbus. Hal ini dibuktikan
dengan analisis vertical velocity dengan nilai sebesar -0.14 pada ketinggian 850mb. Pola
pergerakan awan cumulonimbus di darat dan laut terdapat perbedaan. Awan cumulonimbus
yang tumbuh di darat dominan bergerak kea rah tenggara stasiun meteorology bima
sedangkan untuk laut, awan cenderung ke arah timur laut. Proses tumbuh menjadi matang
bergerak sekita 144m.
Penginderaan jauh (remote sensing) dapat didefenisikan sebagai suatu teknik
pengamatan dan pengumpulan informasi data fisik pada sasaran itu sendiri, karena dipisahkan
oleh jarak tertentu. Gelombang elektromagnetik merupakan gelombag hasil pancaran dari
sasaran yang terindera oleh sensor sistem satelit yang berada di ruang angkasa pada
ketinggian tertentu. Sistem penginderaan jauh menerima radiasi pancaran dan pantulan yang
datang dari sasaran akibat radiasi yang datang padanya. Fluks radiasi yang dipantulkan atau
yang dipancarkan oleh obyek umumnya berada dalam spektrum tampak (Visibel) dan
inframerah. Bagian spektrum sinar tampak berkisar antara pajang gelombag 0,4 mm hingga
0,7 mm. Warna biru berada antara 0,4-0,5 mm, hijau antara 0,5-0,6 mm, dan inframerah
antara 0,6-0,7 mm. Gelombang mikro berada pada panjang gelombang 1 mm - 1m (Lille-sand
& Kiefer, 1990).
Satelit TRMM (tropical Rainfall Measuring Mission) dikeluarkan NASA untuk
mengukur curah hujan di wilayah tropis. Pengamat curah hujan meliputi wilayah lautan yang
dimana tidak ada pengamatan secara manual dilakukakan. TRMM akan memberikan
informasi dimana awan dan hujan. TRMM tidak hanya memberikan data curah hujan tapi
yang lebih penting memberikan informasi panas yang terjadi di atmosfer sebagai bagian
proses hujan. Satelit TRMM memiliki 4 sensor PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM
Microwave Imager), VIRS (Visibel and Infrared Scanner), CERES (Cloud and Earth Radiant
Energy), LIS (Lightning Imaging Sensor) (Findy dan Syaifulloh 2011).
Atmosfer terdiri dari beberapa lapisan, diantaranya troposfer, stratosfer mesosfer, dan
termosfer. Troposfer merupakan lapisan paling bawah yang terdapat pada ketinggian mulai
dari permukaan laut hingga ketinggian 8 km di daerah kutub dan 16 km di daerah ekuator.
Rata-rata ketinggian puncak troposfer adalah 12 km. Pada atmosfer normal, suhu troposfer
berubah dari 15oC pada permukaan laut menjadi -60oC di puncak troposfer (Nasir 1993).
Ada 3 parameter penting yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan ketinggian
tropopause, yaitu Lapse rate tropopause, cold point Temperature, dan 100 hPa surface. Lapse
Rate tropopause adalah ketinggian terendah yang nilai lapse rate-nya antara ketinggian ini
dan ketinggian di dalam 2 km di atasnya tidak elebihi 2 C/Km (WMO 1957). Cold point
temperature merupakan ketinggian suhu terendah di dalam lapisan troposfer, dan merupakan
parameter yang sangat penting di dalam STE (Stratosphere-Troposphere Exchange) yang
digunakan oleh Selkrik (1993).
Temperatur udara permukaan bumi merupakan salah satu unsur penting yang diamati
oleh pengamat cuaca (Meteorological Station maupun Climatological Station). Suhu udara
diukur dengan menggunakan alat thermometer air raksa. Distribusi suhu di dalam atmosfer
sangat Pada suatu tekanan udara dalam suhu yang tinggi akan mengakibatkan rendahnya
kerapatan udara (Swarinoto & Widiastuti, 2003). Tekanan udara merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi dan menentukan kerapatan udara selain daripada suhu udara. Ketinggian
kerapatan udara (density height) adalah suatu ketinggian dalam atmosfer standar ICAO,
dimana kerapatan udaranya sesuai dengan kerapatan udara pada suatu tempat tertentu
(Fadholi 2013).
Awan adalah suatu kumpulan partikel air atau es tampak di atmosfer. Kumpulan
partikel tersebut termasuk partikel yang lebih besar, juga partikel kering seperti terdapat pada
asap atau debu, juga terdapat di dalam awan (Susilo Prawirowardoyo, 1996). Kmenurut
penyebarannya secara vertikal, awan dibedakan menjadi awan tinggi, awan sedang, dan awan
rendah. awan tinggi mempunyai ketinggian lebih dari 6000 meter dengan suhu yang sangat
rendah dan terdiri dari kristal-kristal es berwarna putuh mendekati transparan. Awan sedang
berada pada ketinggian antara 2000-6000 meter diatas permukaan laut yang merupakan
campuran kristal-kristal es dan titik-titik air. Awan rendah berada pada ketinggian kurang
dari 2000 meter. Suatu parcel udara lebih panas dari sekelilingnya, maka udara tersebut akan
naik dan ketinggian yang dicapai akan menyebabkan udara manjadi jenuh Convektif
Condensation Level (CCL). Keadaan tersebut menyebabkan udara menjadi tidak homogen,
sehingga berlaku persamaan hidrostatik yang dapat dinyatakan sebagai berikut :

dW/dt= −(1/ ρ′)(∂P′/∂Z)-g


di mana W adalah kecepatan udara yang bergerak vertical (m/s), t adalah waktu (s), ρ’ adalah
rapat massa udara (kg/m3), g adalah percepatan gravitasi bumi (m/s 2), Z adalah ketinggia
parcel (m), dan P’ adalah tekanan parcel udara (N/m2). Sedangkan udara di sekitar parcel
udara adalah homogen, sehingga, dW/dt=0, yang berarti tidak ada perubahan kecepatan gerak
vertikal udara, maka persamaan hidrostatik menjadi:
−(1/ ρ′)(∂P′/∂Z)−g=0 atau −(1/ ρ′)(∂P′/∂Z)=g

Jika kesetimbangan hidrostatik terganggu parsel udara akan mengalami perpindahan


tempat di atmosfer pada arah vertikal. Misalkan parsel udara tersebut bergerak ke atas tanpa
pertukaran panas dengan lingkungannya (bergerak secara adiabatik). Ketika parsel udara
naik, tekanan lingkungan (atmosfer) makin kecil karena massa udara di atasnya berkurang.
Akibatnya, tekanan internal parsel udara relatif terhadap lingkungannya menjadi meningkat
dan cenderung mengembang. Lingkungan membutuhkan kerja (energi) untuk mendorong
udara dan karena asumsi adiabatik, maka yang tersedia hanya energi parsel udara itu sendiri,
sehingga udara yang naik akan mengalami penrunan suhu. Lapse-rate merupakan ukuran
peurunan suhu udara (yang bergerak) terhadap ketinggian, yaitu
Ր = - dT/dz
Ketika Ր>0 berarti suhu urun terhadap ketinggian atau lapse, sedangkan Ր<0 suhu naik
terhadap ketinggian atau inversi.
Informasi dari satelit berupa foto awan dalam skala besar jika digabungkan dengan data
hasil pengamatan dipermukaan bumi (ground truth) dapat diperoleh analisis sinoptik yang
lebih obyektif. Foto awan yang direkam oleh satelit meliputi foto yang diperoleh dari kanal
inframerah dan kanal sinar tampak yang dipancarkan oleh permukaan awan. Pada foto
inframerah awan dapat dibedakan menurut tingkat keabuannya (gray level). Permukaan yang
gelap menggambarkan permukaan yang panas, sedangkan yang lebih dingin tampak lebih
putih. Pada foto visible, tingkat keabuan dari gambar awan tergantung pada daya refleksi
awan akan tampak semakin putih.

DAFTAR PUSTAKA

Fadholi A. 2013. Studi pengaruh suhu dan tekanan udara terhadap daya angkat pesawat di
Bandara S.Babullah Ternate. Jurnal Teori dan Aplikasi Fisika. 1(2): 121-129.
Findy R, Syaifulloh MD. 2011. Kajian meteorologis bencana banjir bandang di Wasior,
Papua Barat. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. 12(1): 33-41.
Selkirk HB. 1993. The tropopause cold trap in Australian Monsoon during STEP AMEX
1987. Jurnal Geophysic. 98: 8591-9610.
WMO.1957. Meteorology - A three dimentional science: second session of the commission
for aerology. WMO Bulletin. 4(4): 134-138.
Massinai MA. 2005. Analisis liputan awan berdasarkan citra satelit penginderaan jauh.
Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV (Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh
Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa); 2005 September 14-15; Surabaya,
Indonesia. Surabaya (ID): TIS. Hlm 208-2013.
Teknologi modifikasi cuaca untuk antisipasi banjir. Penggunaan data meteorologi
skala sinoptik yang berhasil dikoleksi selama kegiatan penelitian teknologi modifikasi cuaca
untuk melihat pengaruh bahan semai kapur tohor (CaO) terhadap awan.
Tri Handoko Seto. 2000. MENGAPA HANYA SEDIKIT AWAN KONVEKTIF YANG
TUMBUH DI ATAS DAERAH BANDUNG PADA PERIODE 10 DESEMBER 1999 S.D
04 JANUARI 2000?. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca. 1[1]:61-66
Kelembaban relatif merupakan prosentase kandungan uap air relatif terhadap
kandungan maksimal yang dapat dikandung uap air pada temperatur tercatat. Semakin tinggi
temperaturnya maka semakin tinggi pula uap air yang dapat dikandung. Secara saintifik
kelembaban relatif merupakan fungsi uap air dan fungsi temperature. Semakin tinggi
kelembabannya maka semakin baik kondisi atmosfer untuk mendukung pertumbuhan awan.
Massa udara yang basah tersebut bisa jadi membentuk konvergensi yang menyebabkan
terjadinya awan konvektif atau hanya sekedar berhembus saja diatas daerah target atau
bahkan membentuk divergensi sehingga tidak berbentuk awan.
Rafi’l S. 1995. Meteorologi dan Klimatologi. Bandung(ID) : Angkasa

Karakteristik pertumbuhan awan di DAS Mamasa pada saat kegiatan pelaksanaan


penyemaian awan untuk menambah curah hujan di DAS Mamasa bagi keperluan PLTA
Bakaru. Observasi langsung menggunakan radar cuaca untuk melihat sebaran awan secara
spasial dan temporal. Hasil observasi radar cuaca menunjukkan bahwa pertumbuhan awan
yang di DAS Mamasa mulai terjadi pada siang hingga sore hari. Faktor lokal seperti angin
laut cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan awan di daerah tersebut. Pertumbuhan awan
yang berada di DAS Mamasa berfluktuasi, atmosfer yang cukup lembab membuat awan
potensial banyak tumbuh di dalam DAS. Atmosfer kemudian berubah menjadi kering,
akibatnya pertumbuhan awan sulit terbentuk. Analisis spasial menunjukkan adanya
keterkaitan antara arah angin dengan lokasi pertumbuhan awan. Pada saat angin baratan
berlangsung, pertumbuhan awan dominan berada di sisi sebelah barat. Hal ini
mengindikasikan adanya pertumbuhan awan akibat proses orografik. Uap air yang datang
dari arah barat dipaksa naik oleh pebukitan di sisi barat sehingga terbentuk awan di daerah
tersebut.
Mulyana Erwin. 2011. OBSERVASI PERTUMBUHAN AWAN DI DAS MAMASA
SULAWESI BARAT DENGAN RADAR CUACA. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi
Cuaca. 12[2]:49-53

Pembentukan awa diiawali dari turunnya hujan, kemudian sinar Matahari yang
sampai di permukaan bumi, lantas diserap bumi, tumbuhan, tanah, sungai, danau dan laut,
sehingga menyebabkan air menguap. Uap air naik ke udara atau atmosfer. Uap air naik
semakin lama semakin tinggi karena tekanan udara di dekat permukaan bumi lebih besar
dibandingkan di atmosfer bagian atas. Semakin ke atas, suhu atmosfer juga semakin dingin,
maka uap air mengembun pada debu-debu atmosfer, membentuk titik air yang sangat halus
berukuran 2 – 100 mm (1 mm = 1 / 1.000.000 meter). Tanpa adanya debu atmosfer, yang
disebut aerosol, pengembunan tidak mudah terjadi. Miliaran titik-titik air tersebut kemudian
berkumpul membentuk awan. Bentuk awan beraneka ragam tergantung dari keadaan cuaca
dan ketinggiannya. Tapi bentuk utamanya ada tiga jenis yaitu, yang berlapis-lapis dalam
bahasa latin disebut stratus, yang bentuknya berserat-serat disebut cirrus, dan yang
bergumpal-gumpal disebut cumulus (ejaan Indonesia: stratus, sirus, dan kumulus).
Stametbawean.com

Analisis temporal dan spasial data tekanan udara dan curah hujan menggunakan data
hasil pengukuran dengan AWS dan penakar hujan manual di DAS Larona, Sulawesi Selatan.
Hasil analisis temporal menunjukkan bahwa tekanan udara permukaan cenderung turun saat
pertumbuhan awan. Penurunan tekanan menjadi energi yang digunakan untuk menarik massa
udara di sekitarnya. Ketika terjadi hujan maka tekanan udara menjadi tinggi akibat adanya
pendinginan massa udara. ketika terjadi pertumbuhan awan di suatu lokasi maka aliran udara
akan masuk menuju lokasi pertumbuhan awan. Semakin kuat pertumbuhan awannya maka
semakin kuat tarikan massa udara dari sekitarnya. Atmosfer merupakan fluida dengan sistim
yang terbuka dan tidak ada pembatas untuk mengisolasi bagian atmosfer supaya tidak saling
berinteraksi. Dengan demikian, perubahan kondisi atmosfer di suatu lokasi akan
mempengaruhi kondisi atmosfer di tempat lain. Perubahan tekanan permukaan di daerah
pertumbuhan awan dan hujan dan perbandingan dengan tekanan permukaan dengan lokasi
sekitar kejadian hujan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pergerakan udara
di suatu wilayah dengan mempelajari pola distribusi spasial tekanan udara di wilayah
tersebut. Dengan informasi ini maka dapat diprediksi lebih lanjut lokasi awanawan hujan
yang akan tumbuh.
Tekanan udara adalah gaya yang disebabkan oleh berat satu kolom udara di atas satu
luasan area. Di alam, perbedaan tekanan udara di permukaan bumi disebabkan oleh proses
mekanik dan thermal. Proses mekanik merubah tekanan udara bila aliran udara tertahan
sehingga terjadi penumpukan udara di lokasi tersebut dan mengakibatkan tekanan udara
meningkat. Proses thermal diakibatkan oleh pemanasan atau pendinginan udara. Jika udara
dipanaskan, udara akan naik dan akan menggeser lapisan udara di atasnya sehingga tekanan
udara di permukaan akan turun. Sebaliknya, bila udara didinginkan, udara akan turun
(subsidence) ke permukaan menyebabkan tekanan permukaan akan naik. Perbedaan intensitas
radiasi matahari terhadap permukaan bumi menyebabkan adanya temperature gradient.
Wilayah yang relatif lebih hangat akan memiliki tekanan permukaan relatif lebih rendah
dibandingkan dengan wilayah yang lebih rendah suhunya (lebih dingin). Perbedaan tekanan
akan menimbulkan pressure gradient. Pressure gradient menyebabkan aliran udara dari
tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Tekanan rendah di permukaan mengindikasikan
suhu udara lebih hangat. Tekanan rendah merupakan akibat adanya massa udara naik ke level
yang lebih tinggi. Jika parcel massa udara lebih hangat dibanding suhu lingkungannya, parcel
massa udara akan terus naik, dan tekanan di permukaan akan semakin turun. Hal ini akan
terus berlangsung sampai parcel massa udara tidak mampu naik ke level yang lebih tinggi
lagi. Proses parcel udara hangat naik ke level yang lebih tinggi akan berulang sampai suplay
massa udara yang masuk tidak cukup membawa uap air dan kondisi atmosfer stabil. Pada
kondisi ini akan sulit tumbuh awan Cu. Bila awan sudah mencapai fasa matang, hujan akan
terjadi dan massa udara dalam bentuk hujan akan turun pada lokasi kejadian hujan. Tekanan
udara pada permukaan akan berangsur naik pada lokasi hujan dibandingkan dengan besarnya
tekanan permukaan sebelum terjadinya hujan. Maka pada saat pertumbuhan awan, tekanan
permukaan akan berkurang dengan waktu sampai terjadi hujan. Pada saat kejadian hujan
tekanan permukaan akan bertambah, sebagai akibat terjadinya sinking massa udara dalam
bentuk hujan.
T.H Seto. 2011. DISTRIBUSI TEMPORAL DAN SPASIAL TEKANAN UDARA
TERKAIT PERTUMBUHAN AWAN DI DAS LARONA, SULAWESI SELATAN. Jurnal
Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca. 12[2]: 55-61
 Awan
Awan adalah suatu kumpulan partikel air atau es tampak di atmosfer. Kumpulan
partikel tersebut termasuk partikel yang lebih besar, juga partikel kering seperti terdapat pada
asap atau debu, juga terdapat di dalam awan (Prawirowardoyo 1996).
Satelit pengideraan jauh (Indraja) semakin besar peranannya dalam berbagai bidang
pembangunan. Data yang dihasilkan dari satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk
mempelajari parameter meteorologi yang meliputi pembuatan peta awan, penentuan korelasi
antara curah hujan dengan jenis awan dan liputan awan, penentuan variasi tahunan liputan
awan, serta pembuatan peta suhu dan peramalan cuaca lainnya (Massinai 2005).
Karakteristik curah hujan dapat dianalisa dari kondisi atau distribusi awan yang
terbentuk. Dengan demikian potensi hujan di suatu wilayah dapat dipelajari berdasar
karakteristik awan. Dewasa ini kemajuan teknologi sangat membantu analisa tersebut,
sebagai contoh dengan adanya radar. Namun demikian perlu adanya validasi atau paling tidak
perbandingan antara hasil analisa menggunakan data radar, dengan hasil observasi di
lapangan (Turyanti et al. 2007).
 Hujan
Hujan merupakan satu bentuk presipitasi yang berwujud cairan. Presipitasi sendiri
dapat berwujud padat (misalnya salju dan hujan es) atau aerosol (seperti embun dan kabut).
Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah jatuh ke bumi dari awan. Hujan memainkan
peranan penting dalam siklus hidrologi. Lembaban dari air laut menguap, berubah menjadi
awan, terkumpul menjadi awan mendung, lalu turun kembali ke bumi, dan akhirnya kembali
ke laut melalui sungai dan anak sungai untuk mengulangi daur ulang itu semula. Besarnya
curah hujan yang terjadi tidak dapat ditentukan secara pasti namun dapat diprediksi atau
diprakirakan. Dengan menggunakan data historis besarnya curah hujan beberapa waktu yang
lampau, maka dapat diramalkan berapa besarnya curah hujan yang terjadi pada masa yang
akan datang (Muharsyah 2009).
Data TRMM adalah data presipitasi (hujan) yang didapat dari satelit meteorologi
TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dengan sensornya PR (Precipitation Radar),
TMI (TRMM Microwave Imager), dan VIRS (Visible and Infrared Scanner). Ada beberapa
satelit meteorologi selain satelit TRMM, yaitu satelit DMSP (Defense Meteorological
Satellite Program) dengan sensor SSM/I (Special Sensor Microwave Imager), satelit Aqua
dengan sensor AMSR-E (Advanced Microwave Scanning Radiometer-Earth Observing
System), dan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dengan
sensor AMSU-B (Advanced Microwave Sounding Unit-B). Pada hasil akhirnya nanti,
beberapa data dari hasil analisis beberapa satelit tersebut digabungkan/dikombinasikan untuk
memproduksi data hujan (presipitasi) yang disebut dengan produk TRMM Multi-satellite
Precipitation Analysis (TMPA) yang memiliki tingkat keakurasian data lebih baik dari data-
data aslinya (Renggono dan Syaifullah 2011).
Daftar Pustaka
Muharsyah R. 2009. Prakiraan curah hujan tahun 2008 menggunakan teknik neural network
dengan prediktor sea surface temperature (SST) di Stasiun Mopah Merauke. Jurnal
meteorologi dan geofisika. 10 (1): 10 – 21.
Renggono F, Syaifullah MD. 2011. Kajian meteorologis bencana banjir bandang di Wasior,
Papua Barat. Jurnal meteorologi dan geofisika. 12 (1): 33 – 41.
Turyanti A, Sunarsih I, Hermawan E. 2007. Analisa potensi curah hujan berdasarkan data
distribusi awan dan data temperature blackbody di Kototabang Sumatera Barat. Jurnal
agromet Indonesia. 21 (2): 39– 45.
Prawirowardoyo S. 1996. Meteorologi. Bandung (ID): Penerbit ITB.
Massinai MA. 2005. Analisis liputan awan berdasarkan citra satelit penginderaan jauh.
Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk
Peningkatan Kesejahteraan Bangsa. (2005 Sep 14-15); Surabaya, Indonesia. Makassar (ID):
208-213. Universitas Hasanuddin.
Awan diklasifikasikan menurut perbedaan albedo. Parameter ini mengindikasikan
ketebalan awan, sehingga klasifikasi awan didasarkan pada tingkat ketebalannya. Namun,
albedo tidak hanya dipengaruhi oleh ketebalan awan saja tetapi juga oleh sudut zenith
matahari. Langit yang bebas awan menandakan kondisi atmosfer Bumi yang cenderung stabil
sedangkan keadaan langit mendung dengan bentangan awan yang cukup luas menandakan
ketidakstabilan atmosfer. Melalui citra sensor satelite penginderaan jauh NOAA/AVHRR
berupa sinyal APT, keadaan cuaca melalui pendeteksian dan pengklasifikasian tutupan awan
dapat dilakukan. Satelit NOAA (US National Oceanographic and Atmospheric) merupakan
salah satu satelit yang sangat luas digunakan dalam teknologi pengindraan jauh. Satelit ini
mampu memantau wilayah perairan Indonesia dengan luas cakupan (swath width) 2400 km.
Dalam satu hari, satelit NOAA melewati Indonesia dua, tiga atau empat kali. Berdasarkan hal
tersebut, satelit ini sangat baik untuk kepentingan pemantauan cuaca dan lingkungan serta
manfaat lainnya yang dapat dipetik.
Awan merupakan indikator utama dalam menentukan keadaan cuaca di suatu daerah
dan masing-masing jenis awan mempunyai arti yang berbeda. Adanya awan cumulonimbus
dengan bentangan awan yang cukup luas pada suatu daerah dapat diasumsikan sebagai
indikasi keadaan cuaca buruk karena akan turun hujan lebat. Awan stratocumulus
menandakan daerah tersebut cenderung hujan gerimis. Namun, sering kali awan ini
merupakan tanda bahwa cuaca yang lebih buruk akan datang. Awan cirrus tidak membawa
hujan, namun jika banyak terdapat awan cirrusdi atmosfer merupakan tanda bahwa 24 jam ke
depan akan terjadi perubahan cuaca. Beberapa metode telah dilakukan untuk menentukan
kelas awan. Diantaranya adalah penentuan melalui fractal dimension [1], weather prediction
model dengan radiation transfer model(RTM) [2], dan APOLLO (Over cLouds, Land and
Ocean) [3]. Dalam penelitian ini, klasifikasi awan dilakukan menggunakan pendekatan
persamaan regresi temperatur terhadap nilai kecerahan piksel.

Tutupan awan pada dataran tinggi lebih banyak dari pada dataran rendah karena pada
dataran tinggi awan akan terbentuk dari udara yang mengandung uap air bergerak naik ke atas
pegunungan, sehingga terjadi penurunan suhu dan terkondensasi dan akhirnya turun hujan di
lereng gunung yang berhadapan dengan datangnya angin. Data citra satelit digunakan untuk
memantau kondisi sebaran awan hujan yang selanjutnya digunakan untuk menambah bahan
pertimbangan dalam melakukan analisa cuaca. Sebelum menginterpretasikan data citra satelit
tersebut, diharuskan memahami dinamika atmosfer untuk mempertimbangkan cuaca yang
sudah, sedang, dan akan terjadi. Secara garis besar awan dapat dibagi menjadi dua, stratiform
dan cumuliform. Jelas kedua jenis awan ini sangat berbeda, mulai dari penyebab dan proses
terbentuknya, ketinggiannya, maupun bentuknya dan sifat hujan yang diturunkannya. Jika
dilihat dari pemicunya, bentukan awan yang disebabkan oleh kondisikondisi lokal ataupun
shear biasanya berupa awan -awan cumuliform satu sel. Sedangkan, wilayah dimana terdapat
ITCZ dan vortex (baik masih berupa eddy, low, depresi tropis, TC maupun TS), pada citra
satelit akan terlihat bentukan awan-awan cumuliform yang bercampur dengan awan-awan
stratiform. Pada kejadian ini, biasanya hujan yang dihasilkan akan mempunyai periode yang
cukup lama dan kontinu, yang akhirnya akan menghasilkan akumulasi curah hujan besar.
Untuk wilayahwilayah rawan banjir hal ini bisa menjadi masalah. Karena ketika akumulasi
curah hujan ini melebihi batas ambang curah hujan maksimum wilayah itu, banjir pun
berpotensi besar terjadi. (Zakir, 2007).

Billa (2011) menyatakan bahwa pembagian awan berdasarkan hasil kongres international
tentang awan yang dilaksanakan di Munchen, Jerman pada tahun 1802 dan Uppsala, Swedia
pada tahun 1894, sampai saat ini masih digunakan sebagai acuan utama. Pembagian awan
menurut para pakar tersebut adalah sebagai berikut.

1) Awan tinggi, berada pada ketinggian antara 6 km– 12 km, terdiri dari kristal-kristal
es karena ketinggiannya. Kelompok awan tinggi, antara lain sebagai berikut.

a)       Cirrus (Ci): Awan ini halus dengan struktur seperti serat, berbentuk menyerupai
bulu burung dan tersusun seperti pita yang melengkung di langit sehingga tampak bertemu di
satu atau dua titik pada horizon, dan sering terdapat kristal es. Awan ini tidak menimbulkan
hujan. Awan ini terletak pada altitude di atas 7 km dan berbentuk seperti filament tipis.Tipe
ini memantulkan kembali radiasi inframerah (panas) dari permukaan bumi(greenhouse effect)
tapi juga memantulkan sinar matahari kembali keluar bumi. Jika terdapat banyak awan cirrus
di atmosfer,biasanya akan terjadi perubahan cuaca dalam waktu 24 jam. Awan ini muncul
setelah terjadi badai.

B. Cirro Stratus (Ci-St): Awan ini berbentuk menyerupai kelambu putih yang halus
dan rata menutup seluruh langit sehingga tampak cerah, atau terlihat seperti anyaman yang
bentuknya tidak beraturan. Awan ini sering menimbulkan terjadinya hallo, yaitu lingkaran
yang bulat dan mengelilingi matahari atau bulan, dan  biasa terjadi pada musim kering. Awan
tipe ini berada pada ketinggian di atas 6 km. Awan ini menandakan akan turun hujan pada
12-24 jam berikutnya.

c)       Cirro Cumulus (Ci-Cu): Awan ini berpola terputus-putus dan penuh dengan
kristal-kristal es sering kali berbentuk seperti segerombolan domba dan sering dapat
menimbulkan bayangan di permukaan bumi.

2)       Awan menengah, berada pada ketinggian antara 3–6 km. Kelompok awan menengah,
antara lain sebagai berikut.

a)       Alto Cumulus (A-Cu): Awan ini berukuran kecil-kecil, tetapi berjumlah banyak
dan berbentuk seperti bola yang agak tebal berwarna putih sampai pucat dan ada bagian yang
kelabu. Awan ini bergerombol dan sering berdekatan sehingga tampak saling
bergandengan.Awan ini berada pada ketinggian 2,4 – 6,1 km. Awan ini erring didahului oleh
udara dingin dan jika kedatangannya membuat udara menjadi hangat,lembab,dan ketika
ketika pagi hari pada musim panas artinya pertanda akan terbentuknya badai petir.

b)        Alto Stratus (A-St): Awan ini bersifat luas dan tebal dengan warna awan
adalah kelabu. Awan ini berada pad ketinggian 2-5 km dan berpotensi membahayakn
penerbang karena terjadi ice accreation,yaitu terbentuknya lapisan es pada dinding luar
pesawat.

3)       Awan rendah, berada pada ketinggian kurang dari 3 km. Kelompok awan rendah,
antara lain sebagai berikut.

a)       Strato Cumulus (St-Cu): Awan ini berbentuk bola-bola yang sering menutupi
seluruh langit sehingga tampak menyerupai gelombang di lautan. Jenis awan ini relatif tipis
dan tidak menimbulkan hujan. Awan ini berada pada ketinggian di bawah 2,4 km. Awan ini
membawa hujan gerimis namun sering kali merupakan awal dari cuaca yang lebih buruk.

b)       Stratus (St): Awan ini berada pada posisi yang rendah dan agihan yang sangat
luas dengan ketinggian <2000 m. Jenis awan ini menyebar seperti kabut dan tampak berlapis-
lapis. Antara kabut dan awan stratus pada dasarnya tidak berbeda. Awan ini tidak
menimbulkan hujan.

c)       Nimbo Stratus (Ni-St): Awan ini berbentuk tidak menentu dengan tepi
compang-camping tak beraturan. Awan ini hanya menimbulkan hujan gerimis, berwarna
putih kegelapan, dan penyebarannya di langit cukup luas. Awan ini berada pada ketinggian di
bawah 2,4 km. Awan pembawa hujan ini mempunyai hamparan yang luas dan mempunyai
ketebalan 2-3 km sehingga menghalau sejumlah besar sinar matahari untuk jatuh permukaan
bumi.
4)       Awan yang terjadi karena udara naik, berada pada ketinggian antara 500 m–1.500 m.
Kelompok awan ini, antara lain sebagai berikut.

a)       Cumulus (Cu): Awan tebal dengan puncak-puncak yang agak tinggi, terbentuk
pada siang hari karena udara yang naik, dan akan tampak terang jika mendapat sinar langsung
dari matahari dan terlihat bayangan berwarna kelabu jika mendapat sinar matahari dari
samping atau sebagian saja.

b)       Cumulus Nimbus (Cu-Ni): Awan inilah yang  dapat menimbulkan hujan dengan
kilat dan guntur, bervolume besar dengan  ketebalan yang tinggi, posisi rendah dan puncak
yang tinggi sebagai menara atau gunung dengan puncaknya yang melebar.

Terjadinya hujan tidak tergantung pada tebal tipisnya awan, tetapi lebih tergantung
pada musim. Pada waktu musim kering, meskipun ketebalan awan tinggi belum tentu
mendatangkan hujan disebabkan oleh faktor angin yang dominan, begitu sebaliknya pada
musim hujan. Awan yang rendah pada permukaan bumi disebut kabut(Lakitan 2002). Adanya
awan cumulo nimbus dengan bentangan awan yang cukup luas pada suatu daerah dapat
diasumsikan sebagai indikasi keadaan cuaca buruk karena akan turun hujan lebat. Awan
stratocumulus menandakan daerah tersebut cenderung hujan gerimis. Namun, sering kali
awan ini merupakan tanda bahwa cuaca yang lebih buruk akan datang. Awan Cirrus tidak
membawa hujan, namun jika banyak terdapat awan cirrus di atmosfer merupakan tanda
bahwa 24 jam ke depan akan terjadi perubahan cuaca.
Hasil kajian Marsh dan Svensmark (2000) menyimpulkan bahwa sinar kosmik
mempengaruhi proses pertumbuhan awan. Awan rendah sangat dipengaruhi oleh distribusi
aerosol sehingga jika terjadi peningkatan sinar kosmik, pembentukan inti kondensasi awan
rendah akan mengalami percepatan. Sinar kosmik adalah radiasi yang berasal dari ledakan
bintang (supernova) dan biasa disebut Galactic Cosmic Rays. Perambatan sinar kosmik
menuju bumi dipengaruhi oleh aktivitas matahari, jumlah bintik matahari, dan angin matahari
.Peningkatan (penurunan) intensitas ketiga faktor tersebut akan menurunkan (meningkatkan)
intensitas radiasi sinar kosmik yang menuju bumi.Radiasi sinar kosmik yang mencapai bumi
dapat mempengaruhi pemanasan global melalui pembentukan tutupan awan. Sinar kosmik
mempengaruhi proses pertumbuhan awan berdasarkan mekanisme ion-aerosol clear-air dan
ion-aerosol near-cloud melalui ionisasi aerosol oleh sinar kosmik yang mengakibatkan
percepatan pembentukan inti kondensasi awan.
Daftar Pustaka

Billa, S.B. Mansor, A.R. Mahmud.2011. “Quantitative Precipitation Forecasting Using


Cloud-Based Techniques On AVHRR Data”, 1st Phase Research Journal, SNML,
ITMA, University Putra Malaysia,43400 Serdang, Selangor, Malaysia
Lakitan, B . 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Cetakan Ke-dua. RajaGrafindo Persada.
Jakarta.
Marsh, N.D. dan Svensmark, H. (2000) : Low cloud properties influenced by cosmic rays,
Phys. Rev. Lett., 85, 5004-5007.
Zakir, A, dkk, 2007. Analisa Citra Satelit Sebagai Kewaspadaan Atas Potensi Banjir, Sub
Bidang Informasi Meteorologi Publik. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai