Anda di halaman 1dari 18

Nama :

1. Anisya Sefina Puteri (06111281823025)


2. Desy Suci Permatasari (06111281823027)
3. Alfarizi Ade Karlin Kusuma (06111381823041)
4. Citra Asmara Dewi(0611381823048)

Bencana Alam Kebumian di Indonesia

1. Badai Guruh

Badai guruh dapat terjadi secara individu atau dalam kelompok sel-sel yang dikaitkan
dengan daerah konvergensi skala meso atau front skala sinoptik. Dalam banyak hal badai
guruh dapat menyebabkan banjir, angin kencang, bahaya batu es hujan, bahaya petir dan
dapat menyebabkan hilangnya nyawa manusia.

Badai guruh banyak terjadi di daerah tropis dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Badai guruh termal atau konvektif (convective or termal thunderstroms). Badai ini
disebabkan oleh pemanasan permukaan dari radiasi matahari. Karakteristik badai ini
adalah pertumbuhan cepat, daerah kurang luas, hujan lebat (shower) lokal, arus udara
ke bawah kuat dan angin ribut (Squalls) lokal, serta adanya resiko hujan es batu lokal
dan petir. Karena badai ini tumbuh dengan cepat maka peringatan dini sulit dilakukan.
b. Badai guruh orografik (orographic thunderstorm). Badai ini terjadi jika udara tidak
stabil secara bersyarat atau konvektif naik akibat pegunungan.
c. Badai guruh yang dikaitkan dengan gangguan tropis seperti badai tropis, monsun,
gelombang timuran (easterly wave) dan sebagainya.

Jika ada pemanasan udara lembap permukaan maka parsel udara lembap akan naik akibat
gaya apung termal dan membentuk awan cumulus kecil. Selama bagian kolom udara dalam
awan akan terus tumbuh menjulang ke atas sampai temperatur di dalam awan sama dengan
temperatur udara lingkungan, lihat persamaan (9.1). Jika temperatur udara lingkungan
menjadi dingin secara cepat terhadap ketinggian maka arus vertikal (updraft) di dalam awan
akan menjadi lebih kuat. Awan yang terbentuk ini disebut Cumulus Congestus. Jika awan
Cumulus Congestus tumbuh jauh ke dalam lapisan beku (isoterm 0ºC) maka terbentuk awan
Cumulonimbus (Cb) yang puncaknya dapat mencapai tropopause. Awan Cumulonimbus
adalah awan guruh yang menghasilkan petir.

Gaya apung konveksi per satuan massa (F) dapat diekspresikan sebagai berikut:

T ' −T
F=g
T

(9.1)
Keterangan:

T ' : Temperatur parsel udara

T : Temperatur udara lingkungan

g ; Percepatan gravitasi lokal

Kebanyakan udara di dalam awan konvektif berasal dari lapisan udara dekat permukaan
tanah. Pada waktu arus vertikal terbentuk maka udara akan memusat ke arah awan, udara
tersebut dapat berasal dari jarak yang jauh beberapa kilometer dari pusat awan. Jika tetes-
tetes awan dibawa ke atas melalui 0ºC (paras beku) maka tetes ini tidak spontan membeku.
Beberapa tetes yang tidak membeku disebut tetes kelewatann dingin (supercool droplets). Di
atas isoterm -40ºC tetes awan akan spontan membeku menjadi kristal-kristal es.

Elektrifikasi awan petir merupakan masalah yang belum dipahami dengan baik,
disebabkan kuranganya pengukuran listrik dalam awan guruh. Dari observasi diperoleh
bahwa badai guruh tumbuh sampai melewati isoterm 0ºC yang mengandung partikel es dan
air kelewat dingin. Dalam banyak kasus, permulaan elektrifikasi yang kuat biasanya disertai
dengan hujan lebat dan batu es hujan, sehingga teori generasi muatan dalam awan guruh
dijelaskan dengan efek termoelektrik dalam es. Jika batang es dingin maka bagian yang panas
bermuatan negatif dan yang dingin bermuatan positif.

Teori di atas diterapkan dalam awan petir yang mengandung batu es hujan dan jatuh
melalui tetes kelewatan dingin atau kristal es. Permukaan batu es hujan menjadi lebih panas
daripada permukaan kristal-kristal es karena adanya panas laten pembekuan yang dilepaskan
oleh tetes kelewat dingin pda waktu membentur batu es hujan. Karena itu batu es hujan
bermuatan negatid dan kristal es bermuatan positif. Jika es partikel mempunyai kecepatan
jatuh terminal lebih kecil daripada arus udara ke atas maka muatan positif akan terbawa ke
bagian atas awan, sebaliknya batu es hujan mempunyai kecepatan jatuh terminal lebih besar
daripada arus udara ke atas dan membawa muatan negatid ke bawah. Jadi bagian atas awan
bermuatan positif dan bagian bawah bermuatan negatif, lihat gambar 9.1a.

Generasi (penimbulan) muatan dalam awan petir dapat dijelaskan dengan teori polarisasi.
Dengan adanya medan listrik cuaca cerah yang berarah ke bawah maka partikel awan dan
presipitasi baik kristal es maupun tetes hujan akan dipolarisasikan, sehingga permukaan
bagian atas akan bermuatan negatif. Jika partikel awan berbenturan dengan partikel
presipitasi yang bergerak ke bawah, maka muatan negatif dialihkan kepada presipitasi.
Pengendapab (gerak ke bawah) gravitasional dari partikel presipitasi bermuatan negatif dan
gerak ke atas awan bermuatan positif menyebabkan pertumbuhan dua pusat muatan utama
dalam badai guruh. Pada waktu dua pusat muatan terbentuk maka medan listrik kebawah
akan diperkuat, lihat gambar 9.1b.
(9.1a&b)

Beberapa ahli telah menyelidiki distribusi muatan dalam awan petir. Studi inimenunjukan
bahwa secara rata-rata badai guruh mengandung muatan positif +24ºC di bagian atas, muatan
negatif -20ºC di bagian bawah tetapi masih positiif +4ºc tepat di bawah paras peleburan, lihat
gambar 9.2.

(9.2)

Kejadian luah (discharge) listrik tinggi dalam waktu yang singkat disebut kilat. Karena
terjadi pemanasan dan pemuaian udara sebagai guruh. Karena itu awan yang menghasilkan
guruh disebut awan atau badai guruh.

2. Gempa Bumi

Gempa bumi memancarkan energi melalui bumi dalam bentuk gelombang. Gelombang-
gelombang ini dirasakan sebagai getaran (gempa) bumi. Meskipun pada jarak yang jauh dari
sumber. Gerakan kerak bumi yang dikaitkan dengan gelombang seismik diukur oleh
seismograf. Ada tiga jenis gelombang seismik:
a. Gelombang primer atau priliminer disebut gelombang P, termasuk gelombang
tercepat. Kecepatan penjalaran gelombang P melalui bumi adalah 3 sampai 8 mil per
sekon, karena itu gelombang ini yang pertama kali sampai pada seismograf dari
gempa bumi. Amplitudonya kecil yaitu 0,5 sampai 5 sekon. Gelombang P serupa
dengan gelombnag longitudinal yang menjalar dengan penekanan (kompresi) dan
peregangan (rarefaction) bumi.
Seperti gelombang suara, maka gelombang P dapat dibengkokkan atau
direfraksi. Refraksi terjadi jika gelombang lewat dari satu jenis material ke dalam
jenis lain dimana kecepatan gelombang berbeda, yaitu dari lapisan batuan ringan ke
lapisan batuan padat. Dari refraksi gelombang diamati, ahli seismologi dapat
menentukan perubahan densitas bumi dengan kedalaman. Pada gelombang seismik
dapat direfraksi pda titik yang dipantulkan secara total.
Kecepatan gelombang P bergantung pada densitas batuan, kekakuannya dan
kepadatannya. Dalam batuan padat, maka kecepatan bertambah dengnan densitas
batuan, karena meningkat dengan meningkatnya kedalaman, akibatnya gelombang
dibengkokkan, seperti dalam gambar 9.3. Ketika gelombang lewat dari lapisan dengan
“kecepatan rendah” ke lapisan dengan “kecepatan tinggi” yang lebih padat, maka
gelombang akan dibengkokkan menjauhi garis vertikal. Ketika gelombang P
memasuki lapisan fluida maka kecepatannya turun dengan tiba-tiba. Jadi gelombang P
yang menembus kebawah dalam inti cair bumi, kecepatannya lambat dan
dibengkokkan kearah bawah. Fenomena ini memberikan munculnya “daerah
bayangan” untuk gelombang P ysng mengarah pada penemuan bahwa inti bumi
adalah cair pekat.

(9.3)
b. Gelombang sekunder, disebut gelombang S. Gelombang ini menjalar lebih lambat
dibandingkan dengan gelombang P, kecepatan gelombang S sekitar 2/3 kecepatan
gelombang P. Gelombang S mempunyai amplitudo lebih besar dan periodenya lebih
lama daripada gelombang P. Gelombang sekunder merupakan gelombang transversal,
osilasinya lateral dan tegak lurus terhadap arah penjalaran gelombang. Gelombang S
juga disebut gelombang geser (shear Wave), karena material yang dilalui gelombang
mengalami deformasi geser. Gelombang transversal tidak mampu menjalar melalui
fluida, karena fluida tidak dapat terpotong. Jadi gelombang S yang memasuki inti cair
bumi akan diserap dan tidak menembus inti fluida. Zona bayangan gelombang S
diilustrasikan pada gambar 9.4.
c. Gelombang permukaan, juga dikenal sebagai gelombang Rayleigh dan gelombang
Love. Gelombang-gelombang ini sangat lambat dengan periode gelombang yang
panjang dan amplitudonya besar, yang menjalar melalui kerak bumi, seperti
gelombang air tetapi tidak menembus ke bagian dalam bumi.

(9.4)

Pusat gempa bumi, yaitu titik di dalam bumi dimana gempa terjadi disebut hiposenter,
dan titik pada permukaan bumi tepat di atas pusat gempa bumi disebut episenter, lihat
gamabar 9.5.

(9.5)

Alat seismograf dirancang untuk merekam gelombang seismik yang dipancarkan dari
sumber gempa bumi. Hasil rekaman seismograf disebut seismogram. Dari seismogram dapat
diketahui intensitas atau amplitudo gelombang seismik yang dipancarkan oleh sumber gempa
bumi. Intensitas atau kekuatan gempa bumi didasarkan pada amplitudo gelombang seismik
yang terekam pada seismogram, dan dinyatakan dalam skala Ritcher. Gempa bumi yang
merusak, biasanya mempunyai kekuatan (magnitudo) di atas 6 dalam skala Ritcher. Gambar
9.6, menunjukan contoh bentuk seismogram.

Berdasarkan proses terjadinya, maka gempa bumi dibagi menjadi:

a. Gempa pendahuluan, amplitudonya kecil dan terjadi sebelum gemba besar atau
gempa utama.
b. Gempa utama, amplitudonya besar sehingga dapat dirasakan oleh manusia.
c. Gempa susulan, terjadinya beberapa menit atau jam setelah gempa utama. Gempa ini
lemah kadang terjadi berulang.

Berdasarkan kadalaman hiposenter, maka gempa bumi dibagi mejadi:

a. Gempa-dalam, kedalaman hiposenter lebih dari 300 km. Gempa ini dapat mencapai
ke permukaan tetapi amplitudonya menjadi kecil sehingga tidak berbahaya.
b. Gempa-sedang, kedalaman hiposenter antara 60 dan 300 km. Pada umunya, gempa
sedang jarang menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi.
c. Gempa-dangkal, kedalaman hiposenter kurang dari 60 km. Gempa dangkal sering
menimbulkan kerusakan si permukaan bumi.

Berdasarkan proses fisis, maka gempa bumi dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Gempa tektonik. Gempa ini disebabkan oleh pergeseran lempeng benua. Gempa
tektonik sering menimbulkan kerusakan dan korban jiwa. Jika episenter berada pada
laut, maka akan menimbulkan Tsunami yaitu gelombang laut yang besar.
b. Gempa vulkanik disebabkan oleh kegiatan magma dekat permukaan bumi atau
disebabkan oleh letusan gunung berapi (vulkano). Gempa vulkanik biasanya
mempunyai intensitas lemah dan terjadi pada daerah sekitar gunung meletus.
Kerusakan dan korban jiwa lebih disebabkan oleh letusannva daripada gempanya.
c. Gempa runtuhan disebabkan oleh runtuhan batuan misalnya pada gua atau
disebabkan oleh longsoran tanah. Gempa runtuhan mempunyai intensitas lemah dan
terjadi secara lokal.
3. Silklon Tropis

Siklon tropis diberi nama dengan menggunakan nama-nama gadis. Pengalaman menunjukkan
bahwa dengan memakai nama gadis komunikasi menjadi lebih mudah. Pada tahun 1960,
telah disusun nama siklon tropis menurut alfabet. Nama siklon tropis pada umumnva tidak
memakai huruf pertama Q, U, X, Y, Z. Sebagai contoh, daftar nama siklon tropis pada tahun
1973 adalah :

Anna, Blanche, Carol. Debbie, Eve. Francelia, Gerda, Hollv. Inga, Jenny, Kara,
Martha, Netty. Orva, Peggy, Rhoda, Tanya, Virgy, Wenda.

Sampai tahun 1978, siklon tropis diberi nama seperti nama wanita, terutama di
Atlantik dan Pasifik, tetapi karena pengaduan kaum wanita tentang prasangka seksual, maka
nama pria mulai dipakai, misalnya siklon Bruno. Namun demikian, nama wanita masih
mendominasi dalam penamaan siklon tropis.

Daerah pembentukan siklon tropis mencakup Atlantik Barat, Pasifik Timur, Pasifik
Utara bagian Barat, samudera Hindia Utara dan Selatan. Australia, dan Pasifik
Selatan.Sekitar dua per tiga kejadian siklon tropis terletak di be lahan bumi utara.

Kebanyakan siklon tropis (65%) terbentuk pada daerah antara 10o dan 20 dari
ekuator, sedikit sekali (± 13%) yang muncul pada lintang di atas 229U. Dan siklon tropis
tidak muncul pada daerah 40 dari ekuator, lihat gambar 9.7. Tidak munculnya siklon tropis di
sekitar ekuator menunjukan pentingnya rotasi bumi atau gaya Coriolis dalam pemben tukan
siklon tropis.

Distribusi bulanan menunjukan bahwa kebanyakan siklon tropis terjadi pada akhir
musim panas dan awal musim gugur, meskipun siklon tropis dapat terjadi pada bulan apa saja
di Pasifik Utara bagian barat.

Waktu hidup siklon tropis dari beberapa jam sampai 2 minggu, dengan rata-rata 6 hari
sejak badai tersebut mulai terbentuk sampai memasuki daratan atau membelok ke daerah
subtropis.
GAMBAR 9.7

Lokasi kejadian siklon tropis

Gaya gesekan menghambat gerak udara sehingga angin melemah. Sementara itu, gaya
gradien tekanan tidak di pengaruhi oleh gesekan karena tidak bergantung pada gerak udara.
Gaya Coriolis dipengaruhi oleh gaya gesekan dan menjadi kecil karena angin melemah.
Akibatnya, keseim bangan geostropik tidak terjadi sehingga angin memotong isobar ke arah
tekanan rendah dan sistem angin menjadi memusat (konvergen), lihat gambar 9.8

GAMBAR 9.8

Pola angin siklon tropis di belahan bumi utara dengan efek gesekan

Syarat perlu kondisi geografis dan klimatologis dalam pembentukan siklon tropis
ialah:

a. Temperatur permukaan laut cukup panas di atas 260 C. Udara pada lapisan bawah lembap,
udara ini menyebar aik dan lebih panas daripada atmosfer lingkungan sampai pada ketinggian
12 km.

b. Parameter Coriolis harus lebih besar dari nilai minimum yang terdapat pada lintang sekitar
50 belahan bumi utara dan selatan. Jika gaya Coriolis lemah, maka siklon tropis tidak
terbentuk. Gaya Coriolis dapat ditulis:

Fc=f.v dengan f=2ΩsinΦ  (9.2)


keterangan:

f: parameter Coriolis

V: kecepatan angin

Φ : lintang tempat

Ω: kecepatan sudut rotasi bumi = 7,292 x 10-5 rad s−1

Di ekuator ( =0), gaya Coriolis menuju nol, sehingga daerah ini bebas dari jejak siklon tropis.
Pada tempat yang memiliki lintang tinggi meskipun gaya Coriolis cukup besar, tetapi siklon
tropis jarang muncul karena lautnya lebih dingin .

c. Geser angin vertikal (dV/dz) lemah di dalam arus tropos ferik yang tebal. Geser troposferik
yang representatif ialah geser angin yang diukur antara ketinggian 950 hPa dan 200 hPa.
Ketinggian 950 hPa dianggap sebagai paras kondensasi rata-rata di daerah oseanik tropis

d. Terdapat rotasional relatif pada lapisan bawah. Siklon tropis membutuhkan kontribusi uap
air secara terus menerus untuk memberi perbekalan energi. Perbekalan ini terletak dalam
konvergensi arus udara. .

e. Kelembapan udara pada troposfer menengah cukup besar, dan terdapat aktivitas cumulus
yang memompa uap air ke dalam lapisan yang lebih tinggi.

Siklon tropis adalah badai sirkuler yang menimbulkan angin yang mampu merusak
daerah sekitar 250 mil dari pusatnya. Kecepatan angin yang paling kencang terdapat pada
cincin yang bergaris tengah 20 mil sampai 30 mil dari pusat siklon. Kecepatan angin di
daerah ini dapat mencapai 150 mil/jam. Hujan deras dan angin terpusat dalam pita (band)
spiral yang berputar dan pada pusat siklon tropis terdapat inti panas yang disebut mata siklon.

Kecepatan angin pada mata siklon tropis antara tenang sampai lemah. Awan
cumulonimbus pada dinding di sekitar mata dapat menjulang sampai ketinggian antara 12 km
dan 15 km. Pada umumnya, mata siklon merupakan daerah bebas awan, kecuali jika ada
pemencaran awan menjadi stratocumulus dan fractostratus yang pecah-pecah. Awan cirrus
atau cirrostratus dapat diamati pada ketinggian puncak cumulonimbus sebagai perisai cirrus,
lihat gambar 9.9.
Gambar 9.9

Penampang vertikal siklon tropis.Garis panah tebal menunjukan angin kuat yang
masuk.Gambar bawah menunjukan perubahan tekanan di permukaan laut.

Pada tahap dewasa, udara lembap panas bergerak spiral ke arah pusat siklon tropis
pada lapisan bawah di luar din ding mata. Gerak udara sirkuler di daerah sekitar 30-40 mil
dari mata siklon terus naik ke lapisan yang lebih tinggi. Gerak vertikal ini memberikan
perbekalan energi siklon tropis dengan memakai energi panas terselubung, yang dile paskan
pada waktu uap air dalam udara yang naik meng kondensasi. Jika siklon tropis bergerak ke
darat, maka sum ber bahan bakar atau uap air menjadi tertutup dan siklon mendapat gaya
gesekan lebih besar sehingga siklon melemah dan akhirnya mati.

4. Bencana Kekeringan

Perlu dibedakan antara kekeringan (drought) dan kondisi kering (aridity). Kekeringan
adalah kesenjangan antara air yang tersedia dan air yang diperlukan, sedangkan ariditas
(kondisi kering) diartikan sebagai keadaan dengan jumlah curah hujan sedikit. Kekeringan
dapat terjadi oleh beberapa faktor di daerah dengan jumlah curah hujan banyak. Sementara
itu, ariditas merupakan jabaran iklim di daerah tertentu yang dapat dikatakan tetap.

Kondisi kering disebabkan oleh kombinasi antara kurang nya jumlah curah hujan
(sebagai masukan) dan evapotran spirasi (sebagai keluaran). Tanah merupakan salah satu
faktor yang menentukan kemungkinan terjadinya kekering an. Dalam keadaan tidak ada
vegetasi dan jika tanah mene rima pengaruh radiasi matahari dan angin, maka evaporasi akan
terjadi secara langsung lewat permukaannya. Apabila keadaan ini tidak terkendali, maka
dapat menyebabkar kehilangan air yang cukup besar di daerah pertanian, baik yang memiliki
irigasi maupun yang tidak.

Luas tanah kering di benua Asia (16 juta km2) menduduki nomor 2 di dunia setelah
Benua Afrika (18 juta km2). Tetapi dari prosentase total tanah kering, benua Asia (39%) men
duduki nomor 3 di dunia setelah benua Australia (81%) dan benua Afrika (64%). Benua
Eropa mempunyai sangat sedikit

TABEL 9.1.

Tanah-tanah kering di dunia

BENUA AREA KERING % TOTAL


(Juta km2)
ASIA 16 39
AFRIKA 18 64
AUSTRILIA 6 81
AMERIKA UTARA 4 17
AMERIKA SELATAN 3 16
EROPA 1 1

GAMBAR 9.10

Bagan peristiwa bencana kekeringan meteorologis

tanah kering, yaitu hanya satu juta kilometer persegi atau anya satu persen dari
prosentase total. Tabel 9.1, mem perlihatkan tanah-tanah kering pada 5 benua di dunia.
Penyebab kekeringan adalah gerak turun udara (subsi densi) yang berkuasa akibat tekanan
tinggi yang meng halangi pembentukan awan sehingga kelembapan rendah dan terjadi
defisiensi (kekurangan) curah hujan. Daerah yang dipengaruhi oleh tekanan tinggi
semipermanen sepanjang tahun biasanya daerah gurun, misalnya Gurun Gobi di Asia, Gurun
Sahara dan Kalahari di Afrika. Belahan bumi selatan benua maritim Indonesia, sebagian
kondisi iklimnya dipengaruhi oleh variasi sel tekanan tinggi yang bergantung pada musim
atau gerakan matahari. Ke marau panjang terjadi jika ada anomali pola sirkulasi atmosfer
skala luas yang berlangsung satu bulan, satu musim, atau lebih lama dari itu.

Untuk sistem monsun Asia, sel tekanan tinggi terjadi pada atau dekat benua Australia
saat musim dingin di belah an bumi selatan (Juni -Juli -Agustus). Sebagai kontinen maritim
tropis, wilayah Indonesia dipengaruhi oleh pola-pola variabilitas iklim regional bahkan
global, yang cenderung berulang secara periodik dengan periode sekitar 5 tahunan, misalnya
ENSO (El Nino -Southern Oscillation). Intensitas El Niño ditentukan oleh Osilasi Selatan,
yaitu beda tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (keduanya terletak di be. lahan bumi
selatan). Secara spesifik diketahui bahwa se. bagian besar variabilitas atmosfer yang terjadi
pada skala waktu bulanan sampai tahunan dikaitkan dengan varias temperatur permukaan laut
(TPL) di daerah tropis, yang pada gilirannya menyebabkan variasi tekanan udara per mukaan.

Diagram skematik mekanisme terjadinya kekeringan me teorologis di Benua Maritim


Indonesia dapat dilihat pada gambar 9.10. Unsur iklim utama yang berperan dalam me
kanisme bencana alam kekeringan adalah sel tekanan tinggi atau subsidensi

Faktor utama yang mempengaruhi curah huian adalah monsun (angin musim), selain
faktor-faktor lokal. Monsun Asia dan monsun Australia menunjukkan karakteristik yang
berbeda. Monsun Asia lebih lembap ketimbang monsun Aus tralia. Perbedaan jumlah curah
hujan dalam kedua monsun tersebut disebabkan oleh dua faktor, vaitu:

a) Udara turun di atas benua Australia pada waktu teriadi monsun timur/tenggara,
sebaliknya udara naik di atas Australia pada waktu monsun barat/barat Laut.
b) Dalam monsun timur, arus udara bergerak di atas laut yang tidak terlalu luas,
sedangkan dalam monsun barat arus udara bergerak di atas lautan luas, sehingga
udara dalam monsun barat banyak mengandung uap air.
Tabel 9.2, menunjukkan rasio jumlah curah hujan saat monsun barat (Desember, Januari,
Februari) dan monsun

TABEL 9.2.
Rasio jumlah cuaca hujan monsun barat dan monsun timur di Pesisir Jawa
No. Stasiun Nama Tinggi Hujan (mm) Hujan (mm) MB/MT
Stasiun Tempat (m) dalam dalammonsun
monsun timur (MT)
barat (MB)

PESISIR UTARA JAWA


27 Jakarta 7 914 172 5,3
148 Pamanukan 8 864 103 8,4
10a Klampok 4 847 169 5,0
35 Tegal 1 845 142 6,0
33 Kaliwungu 4 1031 177 5,8
143 Jepara 3 1919 107 17,9
149 Bangsri 80 2367 141 16,8
1a Rembang 3 699 137 5,1
56 Tuban - 574 97 5,9
122 Gresik 5 595 32 18,6
75 Pasuruan 5 709 51 13,9
PESISIR SELATAN JAWA
43a Cisiih 21 1081 258 4,2
238d Cipatujah 30 648 422 1,5
252 Pangandaran 2 741 461 1,6
49 Binangun 8 655 520 1,3
61a Ngombol 8 910 159 5,7
46c Danarejo 60 1378 165 8,4
52a Munjungan 5 1024 482 2,1
70 Batur 300 845 124 6,8
189 Pasirikan 155 633 174 3,6
207a Grajagan - 656 78 8,4

timur (Juni, Juli, Agustus) di beberapa stasiun hujan di pesisir utara dan selatan Pulau Jawa.
Terlihat bahwa rasio antara jumlah curah hujan monsun barat dan monsun timur selalu
menunjukkan lebih besar satu. Untuk stasiun Jepara dan Bangsri, rasio jumlah curah hujan
dalam monsun barat dan monsun timur cukup besar (17,9 dan 16,8). Hal ini disebabkan
kedua stasiun tersebut terletak da depan gunung Muria sehingga efek orografi berperan dalam
peningkatan curah hujan monsun barat khususnya pada lereng di atas angin (windward wide).
Sementara itu, besarnya rasio jumlah curah hujan dalam monsun barat dan monsun timur di
Stasiun Gresik (18,6) dan pasuruan (13,9) disebabkan oleh efek lereng di bawah angin
(leeward side).

Untuk mengetahui tingkat kekeringan di Benua Maritim Indonesia dipakai indeks


kekeringan yang diturunkan dari faktor hujan seperti pada persamaan berikut.

R
I= (9.3)
T

Dimana R adalah curah hujan tahunan (mm) dan T adalah temperatur tehuanan rata-
rata (K). Batas kering dipilih 5.0 dengan mempertimbangkan unsur iklim curah hujan dan
temperatur di Benua Maritim Indonesia.

Karena variasi tahunan temperatur sangat kecil, sedangkan curah hujan cukup besar,
maka indeks kekeringan di Benua Maritim praktis lebih dipengaruhi oleh unsur curah hujan
daripada temperatur udara. Gambar 9.11, meunjukakan distribusi indeks kekeringan pada
lintang 7,5°U - 10°S dan bujur 95°T - 140°T dalam tahun pra ENSO 1996, tahun ENSO
1997, dan tahun pasca ENSO 1998. Dari tabel terlihat bahwa faktor hujan (I) rata-rata dalam
tahun ENSO mempunyai nilai terkecil dibandingkan nilai dalam pra dan pasca ENSO.
Kecilnya nilai indeks kekeringan dalam tahun ENSO lebih disebabkan oleh kecilnya jumlah
curah hujan ketimbang oleh unsur iklim temperatur udara.

5. Bencana Banjir

Bencana banjir menimbulkan banyak kerugian jiwa dan harta benda, merendam areal
pemukiman, persawahan, ladang, kolam, serta mengganggu lalu lintas darat, laut, dan udara.
Beberapa penabab banjir telah banyak dikemukakan orang dalam media massa, serta usaha
penanggulangan bencana telah dilakukan. Akan tetapi, penyebab utamanya belum mendapat
perhatian serius.

Gambar 9.11.
Distributor faktor hujan (I) pada lintang 7.5°U - 10°S
a). Pra-ENSO. b). Tahun ENSO 1997. c). Pasca-ENSO.

Bencana banjir disebabkan oleh buruknya sistem cuaca skala meso atau makro. Faktor
mrtrorologis utama yang menyebabkan bencana banjir adalah hujan torensial (torrential
rains), distribusi hujan, dan durasi hujan. Faktkor lain yang penting adalah sifat fisis
permukaan tanah. Siklon tropis dapat mempengaruhi sistem cuaca di Indonesia, terutama
meningkatkan perawanan, curah hujan, angin dan gelombang laut.
Di daerah monsun, kebanyakan hujan terjadi dalam musim panas atau musim gugur,
kecuali di daerah ekuatorial yang mempunyai distribusi hujan maksimal ganda. Curah hujan
maksimum dalam musim panas berkaitan dengan intensifikasi tekanan rendah-panas (heat-
low). Di Pulau Jawa, pada umumnya banjir terjadi pada bulan Desember, Januari, dan
februari yang berkaitan dengan musim panas belahan bumi selatan (BBS).

Jika geser angin (wind shear) vertikal dan konvergensi troposferik bawah keduanya
kecil, maka curah hujan di daerah monsun disebabkan oleh Cumulus bermenara atau
Cumolonimbus (Cb). Hujan yang dihasilkan Cb disebut “shower” (hujan deras). Jika geser
angin vertikal dan konvergensi troposferik bawah keduanya besar, maka curah hujan
disebbekan oleh Nimbostrarus kuat (deep Ns) dengan umumnya langit mendung, dan hujan
yang dihasilkan disebut “rain” (hujan).

Sebagai wilayah yang dilalui oleh ekuator geografis dan ekuator meteorologis,
Indonesia menerima panas sensibel maksimumm dari radiadi matahri. Sebagai benua maritim
dan wilayah kepulauan, Indonesia menerima panas laten maksimum dari adanya perubahan
fasa uap air menjadi tetes-tets awan. Awan yang dominan di Indonesia disebut awan
konvektif jenis Cumulus yang dapat menghasilkan hujan deras, batu es, dan petir, terutama
dalam tingkat mature (dewasa).

Hujan konvektif terjadi setelah radiasi matahari maksimum, biasanya setelah jam
12.00. pada durasi pertama, intensitas hujan besar (hujan lebat), tetapi durasi berikutnya
intensitas hujan menjadi kecil (hujan sedang sampai gerimis). Tabel 9.3, menunjukkan
intensitas hujan konvektif dalam monsun Asia (musim hujan) dari stasiun hujan ITB
Bandung.

Tabel 9.3
Intensitas hujan konvektif monsun Asia, stasiun hujan ITB Bandung.
Tanggal Curah Hujan R Waktu Hujan Durasi Hujan Intensitas Hujan
(mm) R (mm/j)
12-12-00 13.97 17.30 30 menit 27.9 mm/j
3.05 18.00 2jam 15 menit 1.4 mm/j

15-12-00 3.3 17.00 20 menit 9.9 mm/j


0.76 17.20 1 jam 0.8 mm/j
3.81 18.20 15 menit 15.2 mm/j

01-01-01 3.56 14.10 15 menit 14.2 mm/j


1.27 17.00 5 menit 15.2 mm/j
1.51 17.05 25 menit 1.2 mm/j

05-01-01 2.79 17.30 30 menit 5.6 mm/j


1.78 18.00 4 jam 30 menit 0.4 mm/j

23-01-01 3.05 16.45 15 menit 12.2 mm/j


0.76 17.00 20 menit 2.3 mm/j
28-01-01 15.24 15.45 1 jam 15.2 mm/j
4.06 16.45 3 jam 1.4 mm/j

Pemanasan radiasi matahari terhadap bumi menyebabkan densitas udara permukaan


mengecil, sehingga terjadi sel tekanan rendah. Dalam sistem cuaca lokal, hal ini
menyebabkan konveksi atau arus keatas (updraft). Konveksi ini membawa uap air dari
tempat di sekitarnya karena ada konvergensi udara lokal pada sel tekanan rendah. Konveksi
yang kuat menyebabkan munculnya awan konvektif jenis cumulus atau cumulonimbus yang
menghasilkan hujan deras (shower), batu es (hailstones), dan petir. Jika drainase lokal tidak
berjalan dengan baik, maka hujan dari awan cumulonimbus dapat menyebabkan banjir lokal.

Pada bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari, Daerah Koknvergensi Intertropiis


(DKI) akan berada di atas wilayah Indonesia yang terletak di belahan bumi selatan (BBS).
Karena itu pada periode musim panas di BBS atau musim dingin di BBU, hujan torensial
dapat terjadi di wilayah Indonesia belahan bumi selatan sampai disekitar ekuator geografis.
Hujan torensial di atas daerah konvergensi intertropis dapat menyebabkan bencana banjir
skala luas.

Sebagian besar badai atau siklon tropis muncul pada musim panas. Di belahan bumi
selatan, siklon tropis banyak muncul pada bulan Desember, Januari, dan Februari, sehingga
curah hujan dari siklon ini dapat memperbesar curah hujan yang disebabkan sistem cuaca
skala meso dan makro di atas wilayah Indonesia. Siklon tropis dapat mempengaruhi pola
cuaca di atas wilayah Indonesia.

Baik hujan konvergensi maupun hujan siklon tropis, keduanya disebabkan oleh sel
tekanan rendah di Daerah Konvergensi Intertropis dan sel tekanan rendah pada mata siklon
tropis. Sel tekanan rendah ini menyebabkan konvergensi arus udara dan gerak udara keatas
(updraft) yang membawa uap udara dan gerak udara keatas (updraft) yang membawa uap air.
Baik awan konvergensi maupun awan siklon tropis mempunyai sistem cuaca skala meso atau
makro yang dapat menyebabkan banjir skala luas jika terjadi ketidakseimbangan antara curah
hujan, infiltrasi dan limpasan. Gambar 9.12, menunjukkan bagan peristiwa bencana banjir.

Untuk mengkaji sistem cuaca penyebab banjir, dipakai analisis garis-garis arus udara
(stream lines) karena analisis ini lebih cocok dipakai untuk wilayah tropis di sekitar ekuator
geografis daripada analisis tekanan atau isobar. Analisis garis-garis arus udara (angin)
dilakukan karena perubahan tekanan di wilayah Indonesia dari hari ke hari relatif kecil,
kecuali karena pengaruh badai tropis di sekitar perairan Indonesia.

Karena gradien tekanan di wilayah Indonesia sangat kecil dan lebih kecil dari
kesalahan pengamatan tekanan dan berbagai perubahan akibat efek dinamik lokal dan gaya
Coriolis di sekitar ekuator geografis manuju nol, atau gaya Coriolis di wilayah Indonesia
cukup kecil, maka hubungan antara tekanan atmosfer dan angin yang berlaku dan sering
diterapkan didaerah lintang menengah dan tinggi todak dapat diterapkan dan tidak berlaku
untuk daerah ekuatorial seperti Indonesia.
Cuaca Ekstrim

Sel tekanan rendah atau Konvergensi

Anomali unsur iklim

Kelembapan tinggi. Jumlah uap air besar, liputan awan banyak, durasi penyinaran pendek

Curah hujan berlebihan (Surplus rainfall)

Keseimbangan antara peningkatan curah hujan,


Ketidakseimbangan
infiltrasi dan limpasan
antara peningkatan
(inflow = outflow)
curah hujan, infiltrasi dan limpa

Drainase (saluran air) baik Drainase (saluran air) tidak baik

Kondisi Normal Banjir

Gambar 9.12
Bagan peristiwa bencana banjir

Dari sejumlah bencana banjir dan longsor yang terjadi dalam awal tahun 2002, dapat
diketahui bahwa penyebab utama adalah faktor meteorologis yang berupa curah hujan,
ditribusi hujan, dan durasi hujan. Faktor lain penyebab banjir adalah sifat fisi dari permukaan
tanah, kandungan air tanah, dan permukaan tanah (tanah gandul, tanah bertanaman dan lain-
lain). Karena jaringan stasiun observasi hujan masih belum merata dan padat, serta hampir
semua alat pengukur hujan masih memakai penakar biasa, bukan pencatat (recorder), maka
unsur curah hujan yang dapat diukur hanyalah unsur curah hujan harian.

Jakarta dilanda bencana banjir karena turunnya hujan torensial pada akhir Januari
sampai awal Februari 2002. Demikian juga di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali mengalami
banjir akibat curah hujan lagsung atau melalui banjir bandang akibat meluapnya sungai atau
jebolnya tanggul.

Gambar 9.13, meruoakan garis-garis arus udara padapermukaan 850 mb, tanggal 1
Februaru 2002 jam 00 GMT. Dari gambar 9.13 dapat diketahui bahwa banjir disebabkan oleh
sistem cuaca meso sampai makro, dimana massa udara permukaan antar-tropis konvergen
horisontal, yang menyebabkan timbunan uap air dan gerakan arus udara keatas (updraft).
Konvergensi ini disertai dengan divergensi massa udara atas yang menyebabkan subsidensi.

Jadi konvergensi massa udara permukaan dan disvergensi massa udara atas akan
menimbulkan cuaca buruk skala meso dan makro. Sistem cuaca yang hampir mirip terjadi
pada siklon tropis, bedanya siklon tropis muncul di perairan yang panas (lebih dari 26℃) dan
gaya Coriolis cukup yaitu pada lintang lebih dari 5° baik di BBU maupun BBS. Unsur cuaca
yang dipengaruhi adalah sistem garis-garis arus, sistem perawanan, curah hujan dan
kecepatan angin meningkat, selain itu gelombang laut meningkat. Jumlah curah hujan
normal, terutama pada tempat-tempat yang dekat dengan jalur siklon tropis.

Anda mungkin juga menyukai