350,000
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tahun
Sumber : Bappenas
(2015)
Gambar 2 Proyeksi Senjang Konsumsi dan Produksi Daging dan Telur di Indonesia
Hasil proyeksi menunjukan bahwa tantangan yang dihadapi hanyalah masalah
swasembada daging sapi, sedangkan untuk daging lainnya sudah mencapai swasembada
bahkan surplus. Kelebihan daging sapi adalah citarasanya dan kaitannya dengan budaya
sehingga tidak dapat disubstitusi oleh daging lainnya. Bahkan pada hari-hari besar
keagamaan walaupun harganya meningkat tajam permintaannya masih tetap tinggi.
Berdasarkan hal itu, bahasan berikut hanya yang berkaitan dengan swasembada daging
sapi.
Permasalahannya adalah bagaimana menghilangkan senjang konsumsi dan
produksi daging sapi dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Berdasarkan
pengalaman program swasembada daging sapi 2005 hendaknya dilakukan kebijakan
yang benar-benar langsung mampu menurunkan senjang tersebut. Karena suatu
kebijakan akan efektif jika langsung diarahkan pada masalah yang dihadapi, dalam hal
ini untuk menghasilkan daging. Namun suatu kebijakan akan berhasil jika didukung oleh
kebijakan lain, sistem politik yang baik, dan data yang akurat (Ramdan et al. 2003).
Ternak sebagai sumberdaya pemanfaatannya bertujuan untuk menghasilkan sapi
bakalan yang selanjutnya menghasilkan daging sebagai produk akhir untuk mengurangi
senjang dalam mencapai swasembada. Dengan perkataan lain untuk menurunkan senjang
konsumsi melalui program swasembada membutuhkan penambahan unit produksi
biologis yaitu induk sapi. Oleh karena itu kebijakan utama yang harus diambil adalah
penambahan induk sapi potong.
Upaya penambahan induk sapi tetap memperhatikan sumberdaya lokal. Namun
jika hanya menghandalkan sumberdaya lokal tidak mungkin dapat tercapai swasembada
tanpa harus mengorbankan konsumsi daging sapi penduduk. Dengan demikian diperlukan
masukan induk sapi dari luar. Impor daging sapi adalah upaya terakhir yang dilakukan
pemerintah dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional.
Harga daging impor dan lokal
Hubungan antara harga daging domestik dan internasional relatif berjalan seiring.
Namun seperti kecenderungan produk lainnya, terjadi peningkatan yang cukup signifikan
pada selisih antara kedua harga tersebut. Pada tahun 2000, selisih kedua harga tersebut
hanya mencapai Rp 8956 per kg sedangkan pada tahun 2014 mencapai Rp 40460 per kg.
Hal yang sama juga terjadi antara harga daging di tingkat konsumen dan di tingkat petani.
Pada tahun 2010, selisih rata-rata antara kedua harga tersebut adalah sebesar Rp 36213
per kg sedangkan pada tahun 2014 meningkat secara signifikan dan mencapai Rp 61273
per kg. Pada kasus harga daging sapi, volatilitas harga konsumen lebih besar
dibandingkan dengan harga internasional dalam US$. Koefisien variasi harga daging
tingkat konsumen pada tahun 2000-2014 sebesar 40 persen sedangkan pada harga
internasional hanya sebesar 31 persen.
Sumb
er: Kementerian Perdagangan, Worldbank dan BPS (2015)
Gambar 3 Perbandingan harga daging Internasional, Domestik dan harga di tingkat
petani
Harga daging sapi di tingkat konsumen memiliki trend yang meningkat paling
tinggi yang ditunjukkan pada garis tren pada. Harga tertinggi terjadi pada bulan
Desember 2013 dan memiliki kecenderungan dalam beberapa tahun ini bahwa harga
tertinggi terjadi pada akhir-akhir tahun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya hari-hari
besar atau perayaan agama yang terjadi pada akhir tahun. Selain itu, peningkatan harga
yang sangat tajam ini disebabkan dua faktor, yaitu meningkatnya permintaan pembeli
selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri serta kurangnya pasokan daging. Untuk
menjaga stabilitas harga domestik pemerintah melakukan kegiatan impor.
Impor sapi berpengaruh negatif terhadap harga konsumen sedangkan impor
daging sapi tidak berpengaruh menunjukkan impor dalam bentuk sapi lebih efektif
dibandingkan impor daging untuk menekan gejolak harga di tingkat konsumen. Hal ini
disebabkan daging yang berasal dari impor tidak diperbolehkan untuk masuk ke pasar
basah/tradisional, daging impor ini hanya diperbolehkan digunakan di hotel, restoran dan
katering (horeka). Sedangkan daging yang berasal dari sapi impor maupun lokal
diperbolehkan dijual di pasar basah/tradisional sehingga lebih mampu meredam gejolak
harga.
Analisis ekonomi bagi kebijakan impor daging sapi
Terkait dengan kebijakan yang telah dilakukan oleh Direktorat Impor pada tahun
2015 terhadap daging sapi, pemerintah telah menyebutkan bahwa dalam hal harga daging
sapi jenis potongan sekunder dipasarkan dalam harga referensi sebesar Rp76.000,00,
maka akan dilakukan impor. Apabila harga pasaran dibawah harga harga referensi maka
akan diberlakukan penunndaan impor terhadap daginng sapi. Harga referensi dilakukan
oleh tim pemantau harga dan sewaktu-waktu dapat dievaluasi.
Sum
ber: Kementerian Perdagangan (2015)
Gambar 4 Realisasi impor daging sapi sepanjang tahun 2014
Realisasi impor daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan impor sapi secara
keseluruhan. Berdasarkan hasil observasi dan informasi hasil FGD, impor daging sapi
tidak secara langsung mempengaruhi harga daging sapi mengingat peruntukan impor
daging sapi adalah untuk Horeka. Harga daging sapi dipengaruhi oleh impor sapi siap
potong, sapi bakalan dan sapi indukan.
Berdasarkan hasil FGD dan diskusi terbatas, permasalahan sebenarnya terkait
efektvitas kebijakan impor daging sapi dalam rangka stabilisasi harga adalah perbedaan
regulasi menurut Permendag dengan Permentan yaitu list impor secondary cut (jeroan)
diperbolehkan oleh Permendag, namun dilarang oleh Permentan. Keterlambatan ijin
impor daging sapi beku (frozen) juga mempersulit kontrak dagang dengan pemasok sapi
luar negeri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran kurangnya supply daging sapi untuk
kebutuhan Horeka. Supply yang kurang akan mengakibatkan kenaikan harga.
Diversifikasi pasar impor juga mempengaruhi harga daging sapi impor. Selama ini impor
hanya diperbolehkan dari Australia dan New Zealand. Selain itu beberapa regulasi masih
dianggap abu-abu, misalnya apakah daging sapi impor diperbolehkan untuk warung-
warung makan (misalnya warung makanPadang).
Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan meningkatnya konsumsi daging sapi
nasional (KDN) maka akan meningkatkan impor daging. Meningkatnya konsumsi daging
sapi salah satunya akibat meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, sehingga ada
kecenderungan mengubah pola konsumsi kearah kebutuhan protein hewani termasuk
daging sapi. Konsumen daging sapi masih pada golongan tingkat atas yang memilih
daging kualitas bagus. Kualitas daging impor yang lebih bagus dibandingkan dengan
daging lokal, mendorong meningkatnya daging sapi impor. Kondisi semakin besarnya
masuknya daging sapi impor, termasuk impor jerohan diduga akan mempengaruhi
perkembangan usaha peternakan rakyat akan semakin terdesak, sehingga diperlukan
langkah proteksi dalam mempertahankan keberadaan usaha peternakan rakyat, sesuai
program permberdayaan peternak kecil.
Daftar Pustaka
Bappenas. 2006. Strategi peningkatan pertumbuhan subsektor peternakan mendukung
peningkatan pendapatan dan diversifikasi [draft]. Jakarta(ID): Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Bappenas. 2015. Populasi sapi potong menurut provinsi 2009-2015. Jakarta(ID): Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Ilham N. 2010. Analisis sosial ekonomi dan strategi pencapaian swasembada daging
2010. Analisis Kebijakan Pertanian. 4(2): 131-145.
Kemendag. 2015. Laporan akhir kajian efektivitas kebijakan impor produk pangan dalam
rangka stabilisasi harga. Jakarta(ID): Kementerian Perdagangan.