2, Juli 2017
ABSTRAK
Pendugaan karakteristik awan wilayah sangat penting bagi keilmuan atmosfer. Penelitian ini menerapkan
interpretasi digital dan visual dalam menentukan karakteristik awan wilayah Jakarta menggunakan data
penginderaan jauh satelit. Data diperoleh dari satelit pengindera sumberdaya alam seri Landsat terbaru yaitu
Landsat 8 OLI/TIRS. Data masukan yakni spectral radiance dari citra satelit kanal tampak mata 4 dan 5, kanal
6 inframerah dekat, serta kanal inframerah termal 10 dan 11. Interpretasi awan menggunakan kanal tampak
mata 4 dan 5, kanal 6 inframerah dekat Landsat 8 OLI untuk mengidentifikasi kelas awan yang dihasilkan
melalui klasfikasi citra secara terbimbing. Kanal inframerah termal digunakan untuk menduga suhu permukaan
awan dan suhu daratan di bawah awan. Data suhu awan dan suhu permukaan daratan dapat digunakan untuk
menganalisis karakteristik awan berdasarkan ketinggian menggunakan persamaan dry adiabatic lapse rate.
Karakteristik awan berdasarkan ketebalan, volume, dan massa air yang terkandung pada awan diturunkan
dengan persamaan saturated adiabatic lapse rate. Setelah sampel awan dikelompokkan berdasar ketinggian
yang sama, interpretasi selanjutnya dilakukan dengan interpretasi visual untuk menentukan karakteristik awan
berdasarkan bentuk menggunakan kombinasi kanal 4, 5, dan 6 Landsat 8 OLI. Analisis karakteristik awan
menggunakan wilayah DKI Jakarta dengan musim penghujan dari data bulan Januari dan bulan Agustus untuk
mewakili musim kemarau. Hasil analisis karakteristik awan di wilayah DKI Jakarta saat musim penghujan
didominasi oleh bentuk awan yang heterogen, mulai dari awan rendah hingga tinggi. Berbeda dengan musim
penghujan, tutupan awan pada musim kemarau didominasi oleh bentuk awan yang homogen yaitu awan rendah
di atas wilayah DKI Jakarta. Informasi tutupan awan dan perbedaannya pada kedua musim di DKI Jakarta ini
dapat menjadi gambaran secara umum kondisi cuaca di wilayah tropis dengan tingkat evaporasi tinggi maupun
wilayah tropis di pesisir pantai. Kajian awan dapat dimanfaatkan dalam bidang hidrometeorologi seperti
pendugaan pola cuaca dan pola curah hujan wilayah, serta peringatan dini terhadap kemungkinan bencana
hidrometeorologi.
Kata kunci: spektral radians, DALR, SALR, klasifikasi terbimbing
ABSTRACT
Estimation of the cloud’s characteristics is very important for science atmosphere. This study applies digital and
visual interpretation to determine the cloud’s characteristics in Jakarta using satellite remote sensing data. The
data for this research was obtained from natural resource sensing satellite, Landsat 8 OLI / TIRS with data input
are the spectral radiance of the satellite imagery visible bands 4 and 5, band 6 as near infrared, and thermal
infrared in bands 10 and 11. Interpretation of the cloud using the
visible bands 4, 5 and near infrared band 6, while creating the cloud classes using supervised image
classification. Thermal infrared band is used to estimate the surface temperature of the clouds and the
temperature of the ground beneath the cloud object. Cloud temperature and land surface temperature data can
be used to analyze the cloud’s characteristics based on altitude using equation of dry adiabatic lapse rate.
Characteristics of the cloud by thickness, volume, and the mass of water contained in the clouds are derived by
saturated adiabatic lapse rate equation. After the sample of clouds are classified by the same altitude, further
interpretation is done by visual interpretation to determine the cloud’s characteristics based on its forms using a
combination of bands 4, 5, and 6 of Landsat 8 OLI. The analysis of the cloud's characteristics using area of
Jakarta with January data to represent the rainy season and August to represent the dry season. The results of
the characteristics analysis of clouds in Jakarta shows cloud cover during the rainy season is dominated by
heterogeneous cloud forms, ranging from low to high clouds. In contrast to the rainy season, cloud cover during
the dry season is dominated by homogeneous cloud forms above the area of Jakarta. The characteristics analysis
of the cloud cover able to describe the differences of weather conditions between the rainy and dry season in
area of Jakarta. Information of cloud cover and the difference in the two seasons in Jakarta can be used as
general overview of weather conditions in tropical areas with high evaporation rate and tropical coastal
regions. Thorough study can be utilized for the benefit of hydro-meteorological fields such as estimating weather
patterns or rainfall patterns of region, as well as early warning against the possibility of hydro-meteorological
disasters in the future.
Keywords: spectral radiance, DALR, SALR, supervised classfication
42
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
udara ke atas dalam awan ini mencakup daerah III. METODOLOGI PENELITIAN
yang luas tetapi lemah. Cumuliform adalah
3.1. Lokasi Kajian
awan yang menyebabkan hujan lokal yang
disebabkan oleh konveksi yang terletak dalam Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah
udara labil dengan intensitas hujan tinggi dari dataran rendah yang memiliki ketinggian rata-
hujan normal sampai hujan lebat (shower). Arus rata 7 mdpl, terletak pada 5° 19' 12"-6° 23' 54"
udara ke atas dalam awan cumuliform LS dan 106° 22' 42"-106° 58' 18" BT.
mencakup daerah yang kecil tetapi kuat. Berdasarkan Keputusan Gubernur No. 1227
Sedangkan awan cirriform merupakan bentuk Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta
awan yang digunakan untuk mendeskripsikan adalah 7659,02 km2, terdiri atas daratan seluas
awan tinggi yang memiliki tekstur berserat dan 661,62 km2 termasuk di dalamnya 110 pulau di
relatif tidak berpotensi turun sebagai presipitasi Kepulauan Seribu. Wilayah kajian yang dipilih
(Wang, 2013). meliputi wilayah daratan Provinsi DKI Jakarta
yakni Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Pusat,
Awan juga diklasifikasikan berdasarkan
Kota Jakarta Barat, Kota Jakarta Timur, dan
ketinggiannya yakni pada daerah tropis,
Kota Jakarta Selatan tanpa mengikut sertakan
ketinggian 0-2000 m adalah awan rendah
Kabupaten Kepulauan Seribu. Kepulauan
dengan jenis Stratus, Stratocumulus, dan
Seribu memiliki luasan terlalu kecil pada
Nimbostratus, ketinggian 2000-6000 m adalah
masing-masing pulaunya sehingga lebih sulit
klasifikasi awan menengah dengan jenis awan
diinterpretasikan ketika luasan awan melebihi
Altocumulus dan Altostratus, dan terakhir
luasan pulau yang ditutupi. Wilayah DKI
adalah awan tinggi dengan ketinggian 6000 -
Jakarta dipilih sebagai sampel wilayah pada
18000 m dengan jenis awan Cirrus,
penelitian ini karena kondisi cuaca DKI Jakarta
Cirrocumulis, dan Cirrostratus. Selain dari
menarik dikaji, didukung dengan penelitian dari
ketiga klasifikasi tersebut, ada juga awan yang
BMKG dan Direktur Eksekutif Wahana
diklasifikasikan sebagai awan dengan
Lingkungan Hidup Indonesia yang menyatakan
perkembangan vertikal yaitu awan jenis
bahwa wilayah DKI Jakarta merupakan zona
Cumulus dan Cumulunimbus. Awan jenis ini
konvektif di pesisir barat daya Laut Jawa yang
biasanya memiliki cloud base 1000 m untuk
berpotensi sebagai tempat pertumbuhan awan.
cumulus dengan cloud top bisa mencapai 12000
m (Ahrens, 2016). Walaupun terdapat 3.2. Alat dan Bahan
klasifikasi berdasarkan ketinggian, penentuan Alat yang digunakan dalam penelitian ini
jenis awan tidak bisa hanya didsarkan pada adalah seperangkat komputer yang telah
ketinggian awan, tetapi juga dengan terpasang Microsoft Office, ArcGIS 10.5,
pengamatan visual. Ciri visual yang penting ERDAS IMAGINE 2014, dan GrADS.
dalam klasifikasi awan menurut Ahrens (2016)
adalah sebagai berikut : Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini
berupa dua (2) buah citra satelit Landsat 8 yang
mewakili waktu dan wilayah kajian, yaitu
Tabel 1. Klasifikasi awan berdasarkan LC81220642016052LGN00 dan
ketinggian dan ciri visual LC81220642016235LGN00, Peta RBI
Administrasi DKI Jakarta sebagai dasar
membuat peta tematik, dan data ECMWF-ERA
Interim tutupan awan (Cloud Cover) yang
digunakan untuk validasi.
3.3. Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan
yakni input, analisis, dan output. Tahap input
meliputi proses memasukkan data citra Landsat
8 dan peta RBI kedalam software berbasis SIG
untuk dianalisis. Tahap analisis terbagi menjadi
empat proses utama yaitu digital image
processing, pemodelan suhu permukaan,
klasifikasi awan, dan GIS analysis terhadap
data hasil klasifikasi awan. Tahap terakhir
44
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
adalah output yang berupa penyatuan data antaranya adalah emisivitas, kapasitas panas
spasial dan layouting peta. jenis, dan konduktivitas termal. Selain itu suhu
permukaan juga di pengaruhi oleh panjang
3.3.1. Digital Image Processing
gelombang. Panjang gelombang yang paling
Digital image processing adalah proses sensitif terhadap suhu permukaan adalah
pengolahan gambar dua dimensi oleh perangkat inframerah termal (Lillesand dan Kiefer, 2004).
komputer digital (Jensen, 1996). Adapun Suhu permukaan (Ts) didapatkan melalui
menurut Acharya dan Ray (2005), digital image perhitungan spectral radiance (Lλ),
processing merupakan proses pengambilan temperature brightness (Tb), dan emisivitas (e)
atribut-atribut pada gambar dengan input dan dengan persamaan sebagai berikut:
output yang berupa gambar. Digital image
processing memiliki berbagai macam fungsi
untuk bermacam-macam bidang seperti koreksi
geometrik, koreksi radiometrik, pendeteksian
objek pada gambar, penajaman gambar, … (3)
pengurangan noise, dan sebagainya.
Koreksi geometrik dilakukan akibat distorsi
geometrik antara citra hasil penginderaan dan
objeknya. Koreksi geometrik dapat dilakukan … (4)
dengan menggunakan posisi geografik (titik
kontrol tanah) yang terdistribusi merata di dimana Lλ adalah spectral radiance puncak
seluruh citra. Posisi geografik ini ditentukan atmosfer (Watt / (m2 srad μm), Tb adalah
dari beberapa obyek yang mudah diidentifikasi brightness temperature (°C), K1 dan K2 adalah
pada citra, sehingga diperoleh koordinat dalam konstanta konversi spesifik kanal termal 10 dan
sistem geografik (X,Y) dan dalam sistem 11 Landsat 8, e adalah emisifitas, Ts adalah
koordinat citra (X,Y) sebagai titik sekutu. suhu permukaan (°C), w adalah nilai tengah
Selanjutnya citra dikoreksi dengan sistem panjang gelombang dari radiasi yang
transformasi polinomial dengan bantuan diemisikan objek (μm), h adalah konstanta
perangkat lunak Erdas Imagine 2014. planck (6,626 * 10-34 Js), s adalah konstanta
Stefan-Boltzmann (1,138 * 10-23 J/K), serta c
Koreksi radiometrik yang dilakukan pada adalah kecepatan cahaya (2,998 * 108 m/s).
penelitian kali ini adalah konversi nilai DN
menjadi spectral radiance. Proses konversi ini 3.3.3. Klasifikasi Awan
memerlukan informasi Gain dan Bias dari Awan diklasifikasikan berdasarkan
sensor di setiap kanal. Transformasi dilakukan ketinggiannya melalui persamaan DALR dan
berdasarkan kurva kalibrasi DN ke radiance SALR dari suhu awan yang diperoleh. Awan
yang telah dihitung secara sistematik. Formula juga diklasifikasikan berdasarkan bentuknya
yang digunakan untuk menghitung nilai Gain melalui klasifikasi terbimbing (supervised
dan Bias bervariasi untuk setiap citra yang classification).
diproses. Metode menentukan nilai Gain
dan Bias tersebut adalah: Klasifikasi terbimbing data satelit penginderaan
jauh diartikan sebagai metoda klasifikasi pixel
; (picture element) pada citra digital ke dalam
sejumlah kelas objek dengan pengajaran
… (1) pola/ciri kelas penutup/penggunaan lahan
Metode untuk mengkalibrasi nilai DN menjadi melalui ground control point kepada komputer
nilai spectral radiance (Lλ) adalah: pemroses dan klasifikasi didasarkan pada
pengelompokkan pola/ciri yang mirip secara
… (2) alami ke dalam sejumlah kelas tertentu
(clustering) (Mukhaiyar, 2010). Klasifikasi
terbimbing pada penelitian kali ini
3.3.2. Pemodelan Suhu Permukaan menggunakan empat ground control point
Suhu permukaan merupakan suhu bagian untuk menentukan piksel mana yang memiliki
terluar dari suatu obyek dan merupakan unsur spektral serupa dengan piksel lain dan
pertama yang dapat di identifikasi dari cita kemudian mengelompokkan nilai piksel
satelit termal. Suhu permukaan benda tersebut ke dalam berbagai kelas-kelas
tergantung dari sifat fisik permukaan obyek, di homogen dan dihasilkan dua kelas objek utama
45
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
yang berbeda menurut pola digital numbernya, 2.4. Batasan Masalah dan Asumsi
yaitu kelas awan dan non awan. Sedangkan
Batasan dan asumsi yang digunakan dalam
kelas awan terbagi menjadi beberapa sub kelas
penelitian kali ini meliputi, (1) suhu terendah
sesuai dengan sebaran digital number dari
awan merupakan suhu puncak awan dan suhu
threshold yang digunakan sebesar 95%.
tertinggi awan merupakan suhu dasar awan, (2)
Menurut Stull (2000), lapse rate adiabatik kelas-kelas awan yang dihasilkan klasifikasi
kering adalah tingkat pendinginan suatu parcel terbimbing cukup mewakili kelas-kelas awan
udara ketika tidak terjadi pertukaran kalor sebenarnya berdasarkan sebaran digital
antara parcel udara dengan lingkungannya. numbernya, (3) rata-rata suhu daratan pada
Secara teoritis, suatu parcel udara yang dipaksa ketinggian 0 mdpl dianggap mewakili suhu
bergerak naik dalam atmosfer akan mengalami rata-rata daratan Jakarta untuk digunakan
tekanan yang lebih rendah sehingga parcel sebagai suhu dasar dalam perhitungan dry
udara tersebut akan mengembang dan adiabatic lapse rate, serta (4) laju lapse rate
mendingin. Temperatur lapse rate yakni sebesar baik adiabatik kering maupun jenuh
9,8 °C/km mengikuti perubahan ketinggian diaproksimasikan sama disetiap wilayah dan
dianggap sebagai tingkat adiabatik kering. ketinggian pada lapisan troposfer.
… (5)
dimana dT = Tb – Ta adalah perubahan suhu,
dz = Zb – Za adalah perubahan ketinggian, Tb
(suhu dasar awan) < Ta (suhu permukaan laut
atau suhu rata-rata objek permukaan di bawah
awan), dan Zb (ketinggian dasar awan) > Za
(elevasi permukaan dari muka laut).
Lapse Rate Adiabatik Jenuh atau Saturated
Adiabatic Lapse Rate atau Moist Adiabatic
Lapse Rate adalah tingkat pendinginan suhu
parsel udara dalam kondisi jenuh, contohnya
yaitu ketika kelembaban relatif udara mencapai
100%. Saturated lapse rate berkisar antara 5-
9 °C/km (aproksimasi rata-rata lapisan atmosfer
adalah 6 °C/km) mengikuti perubahan
ketinggian dianggap sebagai tingkat adiabatik
jenuh (Marshall dan Plumb, 2010).
… (6)
dimana dT = Tb – Ta adalah perubahan suhu, Gambar 1. Diagram alir membuat peta awan
dz = Zb – Za adalah perubahan ketinggian, Tb berdasarkan data spektral citra satelit Landsat 8
(suhu puncak awan) < Ta (suhu puncak awan),
dan Zb (ketinggian puncak awan) > Za
(ketinggian dasar awan). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Wilayah DKI Jakarta yang terletak di dekat
Laut Jawa menghasilkan uap air cukup besar
3.3.4. Pemodelan Suhu Permukaan yang berperan dalam pembentukan awan-awan
Pada tahap ini dilakukan proses pembentukan konvektif. Variasi harian keawanaan terlihat di
peta baru yang telah diolah secara manual dan atas daratan dan lautan. Kondisi keawanan di
secara komputer. Beberapa alat untuk analisis atas daratan biasanya menjadi maksimum pada
berbasis GIS pada penelitian kali ini meliputi siang hari sampai sore hari yang diakibatkan
generalisasi (merge), konversi (raster to vector oleh proses konveksi terutama di daerah tropis.
atau sebaliknya), overlay (erase, intersect, dan Keawanan minimum terjadi pada malam hari
union), serta extract (clip). ketika udara mulai stabil akibat turunnya suhu
permukaan bumi (Handoko, 2003).
46
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
Data spektral tanpa pengolahan lebih lanjut ketebalan yang lebih tinggi daripada awan-
tidak mampu menghasilkan klasifikasi awan awan lain.
yang baik. Sebagai konsekuensinya, klasifikasi
Komposisi tutupan awan ini ditampilkan pada
awan berdasarkan ketinggian melaui nilai
Gambar 3 yang menunjukkan jenis-jenis awan
spektral diklasifikasikan kembali menggunakan
dan persentase luasan tutupannya pada musim
klasifikasi terbimbing untuk memperoleh peta
kemarau dan penghujan di DKI Jakarta. Awan
awan yang lebih detail, baik ketinggian hingga
cirriform sebagai awan tinggi sulit untuk
bentuknya. Pengklafikasian sampel awan
diidentifikasi karena lapisannya yang tipis
dilakukan secara independen dan selanjutnya
membuat nilai piksel awan ini sulit dibedakan
dianalisis melalui interpretasi visual dan
dengan nilai piksel daratan, oleh sebab itu
menggunakan alat analisis SIG melalui
cirriform hanya mampu teridentifikasi dengan
kombinasi kanal 6-5-4. Kanal 6-5-4 sangat jelas
persentase kecil pada musim penghujan karena
membedakan pola digital number setiap kelas
terdapat di atas lapisan awan
awan, yaitu didapatkan awan tinggi dalam
altocumulus/altostratus. Awan vertikal
bentuk cirriform
cumuluform dan cumulonimbus pada musim
maupun awan altostratus/altocumulus, awan penghujan membentuk kelompok berukuran
menengah dalam bentuk altocumulus/altostratus besar yang menunjukkan potensi yang tinggi
dan cumulunimbus, serta awan rendah dalam untuk turunnya hujan, sedangkan pada musim
bentuk cumulunimbus, cumuluform, dan kemarau awan-awan ini menyebar secara
stratiform seperti yang ditunjukkan pada merata menutupi daratan di DKI Jakarta.
Gambar 3. Hal ini dikarenakan kombinasi band Tutupan awan altocumulus/altostratus dan
6-5-4 merupakan salah satu kombinasi kanal stratiform yang terlihat dari citra satelit
yang detail dalam mengkelaskan objek pada menunjukkan pola yang hampir sama dengan
citra melalui klasifikasi terbimbing, bahkan awan cumuluform yakni menyebar secara
objek awan yang memiliki digital number merata pada musim kemarau dan cenderung
hampir seragam. Setiap sampel awan yang berkumpul di musim penghujan. Perbedaan
dikumpulkan disimpan dalam database bersama tutupan awan pada kedua musim ini
dengan data radiometrik, lokasi, dan menunjukkan awan pada musim penghujan
karakteristik vektorial sampel tersebut seperti memiliki potensi turun hujan yang jauh lebih
luas wilayah tutupan awan. besar dibandingkan dengan tutupan awan saat
kemarau.
Sebaran awan pada Gambar 2 dan Gambar 3
membandingkan komposisi tutupan awan Secara umum tutupan awan pada musim
berdasarkan ketinggian pada musim kemarau penghujan lebih heterogen dibandingkan
dan musim penghujan di DKI Jakarta. Gambar dengan musim kemarau. Awan di musim
2a dan 3a menunjukkan bahwa awan stratiform kemarau didominasi oleh awan rendah dan
sudah terklasifikasi melalui data secara spektral sangat sedikit ditemukan awan tinggi.
menjadi awan menengah dan awan rendah yang Sedangkan pada musim penghujan tutupan
kemudian dikoreksi melalui pengamatan secara awan rendah dan menengah sedikit lebih
visual seperti pada Gambar 3a. Sedangkan pada mendominasi dibandingkan awan tinggi.
Gambar 2b dan 3b terlihat bahwa awan Analisis karakteristik awan ini mampu
stratiform tidak terklasifikasi apabila hanya menggambarkan perbedaan kondisi cuaca di
berdasarkan data spektral saja, awan stratiform musim(a)penghujan dan musim kemarau di
baru teridentifikasi melalui interpretasi secara wilayah DKI Jakarta. Informasi tutupan awan
visual. Perbedaan hasil pada klasifikasi ini dan perbedaannya pada kedua musim di DKI
dikarenakan suhu awan stratiform yang Jakarta ini dapat menjadi gambaran secara
terdeteksi pada Gambar 2b mendekati suhu umum kondisi cuaca di wilayah tropis dengan
daratan sehingga tidak terklasifikasi menjadi tingkat evaporasi tinggi maupun wilayah tropis
awan, lain halnya dengan Gambar 2a dimana di pesisir pantai. Kajian awan secara mendalam
suhu awan stratiform cukup berbeda dengan dapat dimanfaatkan untuk bidang
daratan sehingga terklasifikasi dengan baik hidrometeorologi seperti pendugaan pola cuaca,
dengan menggunakan data spektral saja. Awan pola curah hujan wilayah, serta peringatan dini
kumulonimbus terdeteksi secara visual terhadap kemungkinan bencana
menggumpal dan vertikal serta mempunyai hidrometeorologi seperti badai dan banjir di
luasan lebih besar dibandingkan awan lain dan masa depan.
48
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
V. KESIMPULAN
Awan dapat dikelaskan berdasarkan
ketinggiannya, yaitu awan rendah, menengah,
dan awan tinggi menggunakan persamaan dry
(b) adiabatic lapse rate, yakni dengan
menggunakan perbedaan suhu permukaan awan
tertinggi (suhu dasar awan) dan suhu
permukaan objek dibawahnya. Ketebalan awan
dapat diperoleh menggunakan persamaan
saturated adiabatic lapse rate menggunakan
perbedaan suhu permukaan awan tertinggi
(suhu dasar awan) dan suhu awan terendah
(suhu puncak awan). Selain itu, interpretasi
visual awan menggunakan kombinasi kanal 6-
5-4 pada Landsat 8 OLI/TIRS dapat
mengelaskan awan berdasarkan bentuk seperti
cumulus, cumolonimbus, nimbostratus, dan
Gambar 4. Sebaran tutupan awan rendah (a) altostratus. Analisis karakteristik awan wilayah
dan awan tinggi (b) di Jakarta (kotak hitam) DKI Jakarta menunjukkan awan dalam bentuk
tanggal 21 Februari 2016 menggunakan data cirriform, stratiform, cumuluform,
ECMWF-ERA Interim cumulonimbus, dan altostratus/altocumulus.
Ketika musim penghujan, penutupan awan DKI
Jakarta lebih heterogen (terdiri atas berbagai
Pola sebaran awan dilihat pula menggunakan macam kelas awan) dan berpotensi turun
data ECMWF-INTERIM resolusi 0,125o x sebagai hujan dibandingkan pada musim
0,125o (sekitar 13,875 km x 13,875 km), kemarau yang tutupan awannya lebih homogen
resolusi yang sangat rendah apabila dan kurang berpotensi turun sebagai hujan. Pola
dibandingkan dengan resolusi Landsat 8 sebesar tutupan awan rendah pada hasil
30 m x 30 m. Data yang dipakai adalah tutupan) pengklasifikasian menggunakan data spektral
awan (cloud cover) pada 21 Februari 2016 dengan data ECMWF-INTERIM yang sama
yang terdiri atas dua variabel, yaitu LCC (low menunjukkan metode pengklasifikasian tutupan
cloud cover) dan HCC (high cloud cover). Data awan rendah menggunakan data spektral satelit
tutupan awan rendah ECMWF-ERA Interim dapat dilakukan sebagai salah satu metode
menggambarkan pola yang sama dengan pengklasifikasian awan, sedangkan dalam
tutupan awan rendah hasil klasifikasi dari data menentukan awan tinggi cirrus dapat dilakukan
spektral Landsat 8 OLI/TIRS yakni tutupan langsung menggunakan fasilitas kanal 9 pada
awan rendah terbesar berada di wilayah selatan Landsat 8 OLI/TIRS.
dan tenggara DKI Jakarta dan semakin jarang
ke arah barat dan barat laut. Pola yang sama ini
menunjukkan metode pengklasifikasian tutupan DAFTAR PUSTAKA
awan rendah menggunakan data spektral satelit Ahrens C.D dan Henson R., 2016. Meteorology
dapat dilakukan sebagai salah satu metode Today: An Introduction to Weather,
pengklasifikasian awan, sedangkan dalam Climate and the Environment, 11th Ed.
menentukan awan tinggi cirrus sangat lemah Boston: Cengage Learning. 127 hlm.
apabila menggunakan data spektral satelit. Hal
ini dikarenakan pola awan tinggi yang Handoko (Ed.), 2003. Klimatologi Dasar.
ditunjukkan data ECMWF-INTERIM berlainan Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya Press.
dengan pola awan tinggi berdasarkan nilai Kuester M., 2016. Radiometric use of
spektral Landsat 8 di beberapa wilayah. Oleh WorldView-3 imagery. Digital Globe.
karena itu, sebagai konsekuensinya Vol.1, hlm 1- 12.
49
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
Lillesand T.M dan Kiefer R.W., 2004. Remote 2010. Hydrological Process. Vol.27 hlm
Sensing and Image Interpretation. New 1807-1818.
York: John Wiley & Sons.
Marshall J. dan Plumb R.A., 2010. Atmosphere,
Ocean, and Climate Dynamics. New
York: Academic Press.
Mukhaiyar R., 2005. Klasifikasi penggunaan
lahan dari data remote sensing. J.
Teknologi Informasi dan Pendidikan.
Vol.2, no.1 hlm 1-15.
Nardi dan Nazori AZ., 2012. Otomasi
klasifikasi awan citra satelit MTSAT
dengan pendekatan fuzzy logic. J.
Telematika MKOM. Vol.4, no.1 hlm 104-
117.
Setiawan K.T., Anggraini N., Manoppo K.S.,
2016. Estimasi perhitungan luas daerah
di pulau-pulau kecil menggunakan data
citra satelit Landsat 8, studi kasus: Pulau
Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
Seminar Nasional Penginderaan Jauh
2016. 294-100.
Stull R. 2000., Meteorology for Scientist and
Engineers Second Edition. California:
Brooks/Cole CENGAGE Learning.
Tjasyono B. 2012., Mikrofisika Awan. Jakarta:
Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika.
Wang H.J.,Chen Y.N. Chen Z.S., 2013. Spatial
distribution and temporal trends of mean
precipitation and extremes in the arid
region, northwest of China, during 1960-
50
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
51