Anda di halaman 1dari 9

Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

SENSITIVITAS MODEL WRF TERHADAP PERBEDAAN


BATAS PUNCAK TEKANAN MODEL
Novvria Sagita1 dan Danang E. Nurdiyanto2
1
Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado dan Institut Pertanian Bogor
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG dan Institut Pertanian Bogor
Pos-el : novvria.sagita@bmkg.go.id

Abstract

Improved horizontal resolution in numerical weather prediction model did not result in
increasing the predicted results, it should also need increasing the vertical grid resolution
numerical weather prediction. Weather Research and Forecasting (WRF) model is used for
this research. The height top pressure numerical weather prediction system will affect the
density of the vertical grid resolution. The density of the vertical grid resolution will affect
the result of weather prediction. In this study tested the impact of density grid resolution to
the prediction of events tornado case studies Bogor, November 30, 2015. Testing of the
impact of density on the grid resolution numerical weather prediction by looking at the
error value and the correlation of the observation data nearest with tornado location at the
Dramaga climatological station and the lability atmospheric index. The results of test
showed a reduction in errors that were not consistent all parameters. Top pressure at 250
mb have smaller errors of the weather prediction parameters than other top pressure
models. In general, the density vertical grid increase value of lability atmospheric index.

Keywords : vertical grid resolution, WRF, weather prediction

Abstrak

Peningkatan resolusi horizontal pada model prediksi cuaca numerik tidak serta merta
menghasilkan peningkatan hasil prediksi, perlu juga peningkatan resolusi grid vertikal
prediksi cuaca numerik. Model Weather Research and Forecasting (WRF) digunakan untuk
simulasi pada penelitian ini. Ketinggian batas puncak tekanan sistem prediksi cuaca numerik
akan mempengaruhi kerapatan dari resolusi grid vertikal. Kerapatan resolusi grid vertikal
akan mempengaruhi hasil prediksi cuaca. Penelitian ini menguji dampak kerapatan resolusi
grid terhadap prediksi kejadian puting beliung studi kasus Bogor, 30 November 2015.
Pengujian dampak kerapatan pada cuaca numerik prediksi resolusi grid dengan melihat nilai
bias terhadap data pengamatan terdekat dengan lokasi tornado di stasiun klimatologi
Dramaga dan indeks labilitas atmosfer. Hasil pengujian menunjukkan pengurangan galat
yang tidak konsisten untuk semua parameter kecuali tekanan permukaan yang cenderung
menaikkan galat. Pada ketinggian batas puncak tekanan 250 mb pada umumnya untuk
prediksi parameter cuaca memiliki galat yang kecil dibandingkan batas puncak tekanan
model yang lain. Pada umumnya kerapatan resolusi grid vertikal meningkatkan nilai indeks
labilitas atmosfer.

Kata Kunci : resolusi grid vertikal, WRF, prediksi cuaca

1. PENDAHULUAN

Resolusi model numerik cuaca merupakan faktor penting dalam hasil prediksi cuaca.
Banyak penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan resolusi model numerik dapat
meningkatkan akurasi prediksi cuaca, namun peningkatan resolusi grid horizontal model tidak
selalu meningkatkan hasil prediksi1,2, maka diperlukan peningkatan resolusi grid vertikal. Pada
simulasi tornado dengan peningkatan resolusi grid vertikal model memberikan peningkatan
prediksi yang signifikan.3,4 Dampak resolusi terhadap prediksi cuaca numerik mempengaruhi

179
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

pengkondisian awal model (initial condition), kondisi batas (boundary condition), dan komponen
dinamik yang disimulasi pada model tersebut.5 Peningkatan resolusi grid vertikal menghasilkan
peningkatan hasil prediksi tetapi peningkatan yang dihasilkan tidak linear.5
Puting beliung merupakan angin yang berputar dengan kecepatan lebih dari 60 - 90 km/jam
yang berlangsung 5 - 10 menit akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam area skala
sangat lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan.6 Puting beliung merupakan fenomena
meteorologi yang memiliki skala yang lokal dalam puluhan kilometer dan dalam waktu yang relatif
singkat, sehingga puting beliung merupakan salah satu fenomena cuaca yang sulit untuk diprediksi.
Penelitian ini menguji dampak resolusi vertikal terhadap prediksi kejadian puting beliung di
Bogor pada tanggal 30 November 2015 dengan menggunakan batas puncak model Weather
Research and Forecasting (WRF) yang berbeda. Analisis yang digunakan melihat bias terhadap
data observasi pada saat kejadian puting beliung dan perbandingan indeks cuaca ekstrem pada
batas puncak tekanan WRF yang berbeda.
WRF model cuaca numerik dimanfaatkan untuk penelitian dinamika atmosfer dan
kebutuhan operasional prakiraan cuaca. Pengembangan WRF merupakan kerjasama antara
National Center for Atmospheric Research (NCAR), the National Centers for Enviromental
Prediction (NCEP), Forecast System Laboratory (FSL), Air Force Weather Agency (AFWA),
Naval Research Laboratory, Universitas Oklahoma dan Federation Aviation Administration
(FAA). Karakteristik model WRF adalah model non-hydrostatic dimana tidak menggunakan
prinsip keseimbangan hidrostatik. Sistem grid horizontal yang digunakan adalah Arakawa-C grid
dan grid vertikal menggunakan sistem tekanan hidrostatik dengan dengan puncak model yang
tetap. Sistem grid vertikal tersebut dikenal dengan sistem sigma7 :
𝜂 = (𝑃ℎ − 𝑃ℎ𝑡 )/(𝑃ℎ𝑠 − 𝑃ℎ𝑡 ) (1)
𝑃ℎ merupakan komponen hidrostatik pada tekanan, sedangkan 𝑃ℎ𝑡 adalah tekanan pada
batas puncak model dan 𝑃ℎ𝑠 adalah tekanan pada permukaan. Penjelasan ditunjukkan pada Gambar
1.

Gambar 1. Koordinat sigma level 8

180
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Nilai 𝜂 berubah jika 𝑃ℎ𝑡 diubah dan akan mempengaruhi kerapatan grid vertikal. Kerapatan
grid vertikal akan mempengaruhi interpolasi dari parameter-parameter atmosfer. Parameter
atmosfer ini yang kemudian mempengaruhi nilai indeks labilitas atmosfer seperti9 :

1. K index (KI) merupakan indeks yang menunjukkan potensi konvektif atmosfer, semakin
tinggi nilai KI maka semakin tinggi potensi konveksi atmosfer.
KI = (T850 - T500) + (Td850 - Tdd700) (2)

2. Cross total (CT) merupakan indeks menggambarkan kondisi kelembapan pada ketinggian
850mb.
CT = Td850 –T500 (3)

3. Vertical total (VT) merupakan indeks yang berhubungan laps rate adiabatik kering.
VT = T850 – T500 (4)

4. Total total (TT) merupakan indeks yang menunjukkan intensitas badai.


TT = (T850 - T500) + (Td850 - T500 (5)

5. Selisih Lifting condentation level (LCL) – Lifting free convection (LFC) menunjukkan
kekuatan konvektivitas. Semakin mendekati 0 semakin kuat konveksi yang terjadi.

Keterangan:
T850 = suhu udara pada ketinggian 850 mb,
T500 = suhu pada ketinggian 500 mb,
Tdd 700 = depresi suhu pada ketinggian 700mb,
Td 850 = suhu titik embun pada ketinggian 850 mb.

2. METODE PENELITIAN

Data input WRF yang digunakan adalah Global Forecast System (GFS) resolusi 0,5o x 0,5o
dengan initial time 28 November 2015 jam 00:00 UTC untuk prediksi 72 jam dengan konfigurasi
WRF sebagai berikut :

Tabel 1. Konfigurasi WRF

Konfigurasi Nilai
Resolusi 3 km
Time step 15 s
Grid
Utara-Selatan 100 grid
Timur-Barat 100 grid
Level vertikal 33 level
Mikrofisik Skema Lin
Suface_Physics RUC
Kumulus Skema Betts-Miller-Janjic (BMJ)

181
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Domain dari penelitian ini adalah wilayah Jawa bagian barat seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.

Gambar 2. Wilayah kajian puting beliung Bogor

Parameterisasi kumulus yang digunakan adalah skema Betts Miller Janjic (BMJ) 10 karena
merupakan parameterisasi konveksi yang paling cocok di Indonesia.11 Perbedaan batas puncak
model akan mempengaruhi kerapatan dari grid vertikal suatu model. Dengan menggunakan rumus
dari Laprise11 diperoleh gambaran grid vertikal dengan batas puncak tekanan model yang berbeda
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, semakin rendah batas puncak tekanan WRF maka akan
semakin rapat gridnya pada jumlah grid yang sama yaitu 33 grid.
Pada penelitian ini dilakukan uji dampak perbedaan batas puncak tekanan model terhadap
akurasi prediksi parameter cuaca (suhu, titik embun, tekanan permukaan laut, relative humidity dan
angin) model WRF dengan observasi permukaan di stasiun klimatologi Darmaga pada hari
kejadian puting beliung (30 November 2015). Akurasi prediksi model WRF dilihat dengan
menghitung nilai bias :

a. Mean Absolute Error (MAE) merupakan rata-rata absolut kesalahan model yang tidak
memperhitungkan apakah model underestimate atau overestimate.
∑|𝐹𝑜𝑟𝑒𝑐𝑎𝑠𝑡−𝑂𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖|
𝑀𝐴𝐸 = 𝑛
(6)
b. Root Mean Square Error (RMSE) merupakan akar dari kuadrat kesalahan model.
∑(𝐹𝑜𝑟𝑒𝑐𝑎𝑠𝑡−𝑂𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖)2
𝑅𝑀𝑆𝐸 = √ 𝑛
(7)
c. Mean Absolute Percentage Error (MAPE) merupakan nilai tengah dari perbandingan
kesalahan absolut model.
𝐹𝑜𝑟𝑒𝑐𝑎𝑠𝑡−𝑂𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖
∑| |
𝑂𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖
𝑀𝐴𝑃𝐸 = 𝑛
(8)

Langkah selanjutnya adalah melihat dampak perbedaan batas puncak model WRF terhadap
nilai indeks labilitas atmosfer seperti K index, Total total, Cross total, dan Vertical total.

182
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Resolusi grid vertikal model


Batas Puncak Model (mb)

50 mb
150 mb
250 mb
Ketinggian (mb)

500 mb
350 mb

Gambar 3. Resolusi grid vertikal.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbedaan batas puncak tekanan WRF akan menyebabkan perbedaan kerapatan resolusi
grid vertikal dari WRF. Semakin rendah ketinggian puncak tekanan WRF maka akan semakin rapat
resolusinya jika menggunakan jumlah grid yang sama. Model dengan resolusi grid vertikal yang
berbeda akan mempengaruhi interpolasi data yang dihasilkan. Pada penelitian ini dilihat dampak
perbedaan resolusi grid vertikal terhadap evaluasi prediksi parameter cuaca serta perbandingannya
data pengamatan observasi permukaan Stasiun Klimatologi Darmaga pada 30 November 2014 jam
00.00 UTC hingga 12.00 UTC.

Gambar 4 menunjukkan evaluasi bias tekanan permukaan laut yang menunjukkan semakin
rendah batas puncak tekanan WRF maka akan meningkatkan nilai bias prediksi tekanan permukaan
laut. Berdasarkan nilai MAPE maka prediksi tekanan permukaan laut WRF pada berbagai
ketinggian batas puncak tekanan WRF memiliki nilai yang hampir sama. Nilai MAPE kisaran
0,001 menunjukkan bahwa prediksi tekanan permukaan WRF rata-rata lebih tinggi sekitar 1 mb
dari data observasi. Dampak perbedaan ketinggian puncak tekanan model WRF tidak terlalu
signifikan karena rata-rata memiliki nilai 0,9 yang menunjukkan prediksi WRF memiliki korelasi
kuat terhadap observasi permukaan.

183
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Tekanan permukaan laut Suhu permukaan


3 16
14
12
2
10
MAE 8 MAE
RMSE 6 RMSE
1
4
MAPE MAPE
2
0 0
50 150 250 350 500 50 150 250 350 500

Batas puncak ketinggian WRF (milibar) Batas puncak ketinggian WRF (milibar)

Dew point Angin zonal


12 4

9 3

6 2
MAE MAE
RMSE RMSE
3 1
MAPE Korelasi

0 0

50 150 250 350 500 50 150 250 350 500


-1
Batas puncak ketinggian WRF (milibar) Batas puncak ketinggian WRF (milibar)

Relative humidify Angin meridional


30 5
27
24 4
21
18 3
15 MAE MAE
12 2
RMSE RMSE
9
6 MAPE 1 Korelasi
3
0 0
50 150 250 350 500 50 150 250 350 500
-1
Batas puncak ketinggian WRF (milibar) Batas puncak ketinggian WRF (milibar)

Gambar 4. Dampak perbedaan batas puncak tekanan WRF pada evaluasi parameter
cuaca

Pada prediksi suhu permukaan, pada umumnya semakin rendah batas puncak tekanan WRF
maka akan semakin mengecil nilai bias prediksi (terlihat pada grafik MAPE, RMSE dan MAE
yang turun). Prediksi nilai dew point memiliki kecenderungan lebih tinggi nilainya dari data
observasi permukaan, tetapi dampak perbedaan batas puncak tekanan model WRF semakin
berkurang dengan semakin rendahnya ketinggian batas puncak tekanan model WRF. Pada prediksi
angin zonal, penurunan ketinggian batas puncak tekanan WRF menyebabkan kenaikan bias pada
ketinggian 500 mb. Hal ini disebabkan kerapatan tinggi pada lapisan permukaan menyebabkan bias
yang tinggi. Pada angin meridional tidak terlalu terlihat dampak perbedaan ketinggian batas puncak
tekanan WRF.

Tabel 2. Indeks labilitas atmosfer

Indeks 50 mb 150 mb 250 mb 350 mb


KI 18,49 18,33 21,30 18,89
TT 47,06 46,37 47,03 47,85
CT 21,83 21,37 22,15 22,29
VT 25,24 25,00 24,87 25,56

184
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Analisis indeks labilitas atmosfer terkadang tidak sesuai untuk kondisi tropis seperti di
Indonesia karena penentuan nilai indeks berdasarkan data di wilayah subtropis, tetapi peningkatan
indeks labilitas atmosfer menunjukkan adanya penguatan proses konveksi. Dampak perbedaan
ketinggian batas puncak tekanan WRF menunjukkan hasil peningkatan nilai indeks labilitas
atmosfer yang kecil pada umumnya terjadi di Cicadas.

Gambar 5. Selisih ketinggian LFC dan LCL

Pada analisis labilitas atmosfer ada yang disebut Litfting Free Convection (LFC) yaitu
ketinggian suatu lapisan dimana suatu proses konveksi terjadi tanpa perlu adanya gangguan dan
Lifting Condensation Level (LCL) merupakan ketinggian suatu lapisan dimana terjadinya
kondensasi. Selisih yang kecil antara LFC dan LCL menunjukan adanya konveksi pertumbuhan
awan yang kuat karena uap air yang setelah ketinggian LFC langsung mengalami kondensasi.
Gambar 5 menunjukkan selisih ketinggian LFC dan LCL pada ketinggian batas puncak tekanan
WRF yang berbeda. Pada umumnya memiliki nilai yang berbeda jauh tetapi memiliki pola yang
sama. Pada saat kejadian puting beliung 07-09 UTC sama-sama menunjukkan nilai minimum dari
selisih LFC dan LCL.
Max_dbz merupakan prediksi reflektivitas maksimum, nilai max_dbz merupakan konversi
nilai dari prediksi intensitas curah hujan. Perbedaan ketinggian batas puncak tekanan menyebabkan
perbedaan yang signifikan nilai max_dbz. Gambar 6 menunjukkan ketinggian batas tekanan WRF
pada 50 hingga 250 mb tidak terlihat nilai reflektivitas yang tinggi pada saat kejadian puting
beliung 08.00 UTC. Pada ketinggain batas puncak tekanan WRF 350 dan 500 mb menujukkan
reflektivitas yang berbeda dimana terdapat reflektivitas yang tinggi pada Jawa Barat bagian selatan.
Hal ini sesuai dengan citra satelit infrared Himawari dimana pada jam 08.00 UTC terdapat tutupan
awan ditandai dengan suhu puncak awan yang redah di Jawa Barat bagian selatan.

185
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

Gambar 6. Perbandingan nilai indek max_dbz pada ketinggian batas puncak tekanan
yang berbeda.

4 KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan batas puncak tekanan menghasilkan
nilai prediksi yang berbeda. Penurunan batas puncak tekanan model menghasilkan indeks yang
menguatkan terjadinya cuaca buruk pada tanggal 30 November 2015 jam 08.00 UTC. Prediksi
relative humidity menunjukkan bias yang menurun dengan menurunnya batas puncak tekanan,
tetapi masih memiliki bias yang besar. Prediksi angin zonal dan meridional tidak terlihat dampak
yang berbeda antara ketinggian batas puncak tekanan yang berbeda. Pada ketinggian batas puncak
tekanan 250 mb pada umumnya untuk prediksi parameter cuaca memiliki bias yang kecil
dibandingkan batas puncak tekanan model yang lain. Dampak perbedaan ketinggian batas puncak
tekanan WRF menunjukkan hasil peningkatan nilai indeks labilitas atmosfer yang kecil pada
umumnya di Cicadas. Prediksi selisih LFC dengan LCL menunjukkan nilai yang minimum saat
kejadian puting beliung dengan batas puncak tekanan yang berbeda. Perbedaan ketinggian batas

186
Prosiding SNSA 2016 - ISBN : 976-602-6465-05-4

puncak tekanan menyebabkan perbedaan yang signifikan nilai max_dbz. Pada ketinggian batas
tekanan WRF pada 50 hingga 250 mb tidak terlihat nilai reflektivitas yang tinggi pada saat kejadian
puting beliung 08.00 UTC. Namun pada ketinggian batas puncak tekanan WRF 350 dan 500 mb
menunjukkan reflektivitas tinggi di Jawa Barat bagian selatan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada stasiun klimatologi Darmaga (BMKG) yang
telah menyediakan data observasi cuaca permukaan untuk penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN
1
Phillips, N.A., 1978. A test of finer resolution. New York: NOAA.
2
Roebber, P.J. and J. Eise, 2001. The 21 June 1997 flood: Storm-scale simulations and implications for
operational forecasting. Weather and forecasting, 16(2): 197-218.
3
Chin, H.S., L. Glascoe, J. Lundquist, and S. Wharton , 2010. Impact of WRF physics and grid resolution on
low-level wind prediction: towards the assessment of climate change impact on future wind power.
In Symp. on Computational Wind Engineering Symp. NOAA, Chapel Hill.
4
Kimball, S. K. and Dougherty, F. C., 2006. The sensitivity of idealized hurricane structure and development
to the distribution of vertical levels in MM5. Monthly weather review, 134(7):1987-2008.
5
Aligo, E.A., Gallus Jr, W. A. and Segal, M., 2009. On the impact of WRF model vertical grid resolution on
Midwest summer rainfall forecasts. Weather and Forecasting, 24(2):575-594.
6
Sudibyakto dan Daryono, 2008. Waspadai Puting Beliung. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas
Gajah Mada.
7
Laprise, R., 1992. The Euler equations of motion with hydrostatic pressure as an independent
variable. Monthly weather review, 120(1):197-207.
8
Skamarock, W.C., J. B. Klemp, J. Dudhia, D. O. Gill, D. M. Barker, M. G. Duda, X. Y. Huang, W. Wang,
and J. G. Powers, 2008. A description of the Advanced Research WRF Version 3, NCAR technical note,
Mesoscale and Microscale Meteorology Division. National Center for Atmospheric Research, Boulder.
Colorado:NCEP.
9
Aguado, E. And Burt, J.E., 2007. Understanding weather and climate. Boston: Prentice Hall. 576 hlm.
10
Betts, A., 1973. Non‐precipitating cumulus convection and its parameterization. Quarterly Journal of the
Royal Meteorological Society 99(419):178-196.
11
Kurniawan, R., Hanggoro W., Anggraeni R., Noviati S., Fitria W., Sudewi R. S., 2014. Penggunaan Skema
Konvektif Model Cuaca WRF (Betts Miller Janjic, Kain Fritsch dan Grell 3d Ensemble) (Studi Kasus:
Surabaya dan Jakarta). Jurnal meteorologi dan geofisika Vol 15 No.1: 25-36.

187

Anda mungkin juga menyukai